Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Baju’

Bertawassul adalah adab berdoa

Firman Allah Ta’ala yang artinya

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS Al Baqarah [2]:186 )

Asbabun Nuzul,

“Mu’awiyah bin Haidah berkata, “Seorang Badui mendatangi Rasulullah dan bertanya, “Apakah Tuhan kita dekat, sehingga kita cukup berbisik-bisik saat berdoa pada Nya”, Ataukah Dia jauh, sehingga kita harus berteriak saat memohon padaNya ? Rasul terdiam tidak menjawab pertanyaan itu. Akhirnya turunlah ayat ini” (HR Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih, Abu Syaith dan lainnya)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terdiam karena pertanyaan orang Badui tersebut menyangkut pertanyaan terhadap dzatNya. Hal ini dapat kita pahami dari pilihannya berbisik-bisik atau berteriak yang menandakan dekat dan jauh sebagai jarak / ukuran / dimensi.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”.

Firman Allah Ta’ala dalam (QS Al Baqarah [2]:186 ) menerangkan bahwa hanya Allah Ta’ala lah yang mengabulkan permohonan yang berdoa.

Agar doa terkabul maka hendaklah memenuhi segala perintahNya atau apa yang telah diwajibkanNya  (menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) dan mendekatkan diri kepadaNya dengan amal kebaikan .

Dalam sebuah hadits qudsi , Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa hamba Allah tidak bisa mendekatkan diri dengan apa yang telah diwajibkanNya (disyariatkanNya) melainkan dengan amal kebaikan yang dilakukan atas kesadaran (kemauan) sendiri. Sedangkan segala perkara yang telah diwajibkanNya (disyariatkanNya) adalah suatu keharusan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman yang artinya

“Dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan kebaikan maka Aku mencintai dia

Semakin dekat kita kepada Allah Azza wa Jalla maka semakin pasti doa dikabulkanNya. Hal ini berlaku bagi hamba-hamba Allah yang telah dicintaiNya atau para Wali Allah (kekasih Allah) sebagamana kelanjutan dari hadits Qudisi tersebut,

“jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi.” (HR Bukhari 6021)

Kadang orang dalam memahami ayat seperti ( QS Al Baqarah[2]:186 ) mengambil hanya sebagaian dari ayat itu yakni “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku”. Sehingga ada seorang muslim, ketika selesai berdoa, seolah-olah “menagih janji” Allah Ta’ala berdasarkan apa yang dipahaminya itu. Bahkan sebagian lagi telah berdoa berulang kali dan merasa belum pernah dikabulkanNya sehingga mereka bertanya apakah Tuhan itu ada ?. Pertanyaan yang seharusnya tidak boleh terungkap sekalipun.

Doa agar sampai kepada Allah Ta’ala atau terkabul harus memperhatikan “adab berdoa”

Adab berdoa yang utama adalah bagaimana kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla diterangkan dalam ayat itu juga yakni “hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.

Oleh karenanya mereka yang lebih “didengar” doanya adalah orang-orang yang istiqomah di jalan yang lurus, orang-orang yang telah diberi ni’mat, orang-orang yang di sisi Allah Azza wa Jalla

Firman Allah Ta’ala yang artinya,

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)

“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)

“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)

Jadi orang-orang yang selalu berada dalam kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus adalah orang-orang yang diberi karunia ni’mat oleh Allah atau orang-orang yang telah dibersihkan (disucikan / dipelihara) oleh Allah Ta’ala sehingga terhindar dari perbuatan keji dan mungkar dan menjadikannya muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah dan yang terbaik adalah muslim yang dapat menyaksikanNya dengan hatinya (ain bashiroh)  yakni orang-orang yang telah meraih maqom (derajat) di sisi Allah dan berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah

Upaya kita dekat dengan Allah Azza wa Jalla dengan memenuhi segala perintahNya (menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) adalah dengan amal kebaikan, contohnya bertawassul.

Firman Allah Ta’ala yang artinya

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Ma’idah [5]:35 )

Salah satu adab berdoa adalah bertawasul, bertawasul yang paling sederhana adalah dengan amal kebaikan (amal sholeh) seperti memuji Allah Ta’ala dan sholawat.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)

Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“.

Pada hakikatnya kaum muslim setiap hari bertawassul dengan orang-orang sholeh yang telah wafat.

Para Sahabat ketika duduk dalam shalat (tahiyyat), bertawasul dengan menyebut nama-nama orang-orang sholeh yang telah wafat maupun dengan para malaikat namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan untuk menyingkatnya menjadi “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin”, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba Allah yang sholeh baik di langit maupun di bumi“.

Hamba Allah yang sholeh di langit maknanya penduduk langit, para malaikat dan kaum muslim yang telah meraih maqom disisiNya yang telah wafat, termasuk para Nabi yang dijumpai oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada peristiwa mi’raj , dan hamba sholeh di bumi adalah hamba Allah yang sholeh yang masih hidup.

Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A’masy dia berkata; telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia berkata; Ketika kami membaca shalawat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami mengucapkan: ASSALAAMU ‘ALALLAHI QABLA ‘IBAADIHI, ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selesai melaksanakan shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda: Sesungguhnya Allah adalah As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan; AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN, (penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi. Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih). Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, lalu melanjutkan; ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya). Setelah itu ia boleh memilih do’a yang ia kehendaki. (HR Bukhari 5762)

Oleh karenanya berdoa setelah sholat lebih mustajab karena di dalamnya terkandung pujian kepada Allah, Sholawat atas Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan bertawassul dengan para Malaikat dan orang-orang yang dekat dengan Allah Ta’ala atau orang-orang yang sholeh baik yang masih hidup dan yang sudah wafat

Selain itu dapat kita bertawassul dengan

Dengan amal kebaikan

Dengan waktu seperti berdoa pada sepertiga malam terakhir, berdoa ketika wukuf di pada Arafah, ketika berpuasa dll

Kemulian tempat seperti berdoa di Multazam, Raudoh, Maqam Ibrahim atau disisi kuburan orang-orang yang dekat dengan Allah Ta’ala atau orang-orang sholeh

Bagi kaum muslim yang belum mendapatkan kesempatan mencapai tempat yang mustajab untuk berdoa kepada Allah Ta’ala seperti di Multazam, Raudoh, Hijr Ismail, Maqom Ibrahim dan tempat tempat lainnya di dua tanah suci maka pilihan lainnya kaum muslim boleh berdoa kepada Allah Ta’ala ditempat mustajab seperti di sisi kuburan kaum muslim yang dekat dengan Allah Ta’ala atau kaum muslim yang telah meraih maqom (derajat) disisiNya.

Adz-Dzahabi; dalam karyanya; Siyar A’lam an-Nubala’, jld. 9, cet. 9, tentang biografi Imam Ma’ruf al-Karkhi; beliau adalah Abu Mahfuzh al-Baghdadi. Dari Ibrahim al-Harbi berkata: “Makam Imam Ma’ruf al-Karkhi adalah obat yang paling mujarab”. Adz-Dzahabi berkata: “Yang dimaksud ialah terkabulnya doa di sana yang dipanjatkan oleh orang yang tengah kesulitan, oleh karena tempat-tempat yang berkah bila doa dipanjatkan di sana akan terkabulkan, sebagaimana terkabulkannya doa yang dipanjatkan di waktu sahur (sebelum subuh), doa setelah shalat-shalat wajib, dan doa di dalam masjid-masjid……”.

Dengan kemuliaan benda seperti berdoa memohon kesembuhan kepada Allah dengan perantaraan baju, perantaraan ludah orang-orang yang mulia disisi Allah

Firman Allah Ta’ala yang artinya,

“Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku” (QS Yusuf [12]:93)

Setelah itu, ia meneruskan ucapannya; ‘Jubah ini dahulu ada pada Aisyah hingga ia meninggal dunia. Setelah ia meninggal dunia, maka aku pun mengambilnya. Dan dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengenakannya. Lalu kami pun mencuci dan membersihkannya untuk orang sakit agar ia lekas sembuh dengan mengenakannya. (HR Muslim 3855)

“Dan Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ibnu Numair dan Abu Kuraib mereka berkata, telah mengabarkan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Hisyam dengan isnad ini. Adapun Abu Bakr, maka ia berkata dalam riwayatnya; (Beliau bersabda kepada tukang cukur): HAA (cukurlah rambutku). Beliau sambil memberi isyarat ke arah kepala bagian kanannya seperti ini. Lalu beliau membagi-bagikan rambutnya kepada mereka yang berada di dekat beliau”. (HR Muslim 2298)

“Lalu Rasulullah bertanya; Di mana Ali bin Abu Thalib? Para sahabat menjawab; Ia sedang menderita sakit mata ya Rasulullah. Rasulullah berkata, Bawalah ia kemari! Tak lama kemudian, Ali bin Abu Thalib datang menemui Rasulullah. Lalu Rasulullah meludahi kedua matanya dan berdoa untuk kesembuhannya. Tak lama kemudian kedua mata Ali sembuh tanpa ada rasa sakit lagi. (HR Muslim 4423)

Telah menceritakan kepadaku Shadaqah bin Al Fadl telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari ‘Abdurrabbihi bin Sa’id dari ‘Amrah dari ‘Aisyah dia berkata; Biasanya dalam meruqyah, beliau membaca: BISMILLAHI TURBATU ARDLINA BI RIIQATI BA’DLINA YUSYFAA SAQIIMUNA BI IDZNI RABBINA (Dengan nama Allah, Debu tanah kami dengan ludah sebagian kami semoga sembuh orang yang sakit dari kami dengan izin Rabb kami (HR Bukhari 5304)

Yang dimakasud “ludah sebagian kami” adalah ludah hambaNya yang telah meraih maqom disisiNya.

Begitupula telah dicotohkan oleh para Sahabat bertawassul dan bertabarruk dengan surah Al Fatihah

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi; Telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Al Mutawakkil dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa beberapa orang sahabat melakukan perjalanan jauh dan berhenti untuk istirahat pada salah satu perkampungan ‘Arab, lalu mereka minta dijamu oleh penduduk kampung itu. Tetapi penduduk enggan menjamu mereka. Penduduk bertanya kepada para sahabat; ‘Adakah di antara tuan-tuan yang pandai mantera? Kepala kampung kami digigit serangga.’ Menjawab seorang sahabat; ‘Ya, ada! Kemudian dia mendatangi kepala kampung itu dan memanterainya dengan membaca surat Al Fatihah. Maka kepala kampung itu pun sembuh. Kemudian dia diberi upah kurang lebih tiga puluh ekor kambing. Tetapi dia enggan menerima seraya mengatakan; ‘Tunggu! Aku akan menanyakannya lebih dahulu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah aku boleh menerimanya.’ Lalu dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakannya hal itu, katanya; ‘Ya, Rasulullah! Demi Allah, aku telah memanterai seseorang dengan membacakan surat Al Fatihah.’ Beliau tersenyum mendengar cerita sahabatnya dan bertanya: ‘Bagaimana engkau tahu Al Fatihah itu mantera? ‘ Kemudian sabda beliau pula: ‘Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah aku bagian bersama-sama denganmu.’ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abu Bakr bin Nafi’ keduanya dari Ghundar Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Abu Bisyr melalui jalur ini, dia menyebutkan di dalam Haditsnya; ‘Kemudian orang itu mulai membacakan Ummul Qur’an, dan mengumpulkan ludahnya lalu memuntahkannya, setelah itu orang itu sembuh. (HR Muslim 4080)

Berdoa kepada Allah Ta’ala dengan diawali bertawassul dengan mensedekahkan bacaan Al Fatihah bagi orang-orang yang dekat dengan Allah Ta’ala yang sudah wafat atau Wali Allah dan orang-orang sholeh termasuk bagi guru-guru kita yang telah menyampaikan ilmu agama.

Bertawassul dengan mensedekahkan bacaan Al Fatihah bagi kesembuhan saudara muslim lainnya umumnya diawali dengan komando seperti “Marilah kita bacakan Al Fatihah bagi kesembuhan si fulan”

Bertawassul dengan Mu’awwidzat (surat Al Ikhlas, An Nas dan Al Falaq)

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwasanya; Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menderita sakit, maka beliau membacakan Al Mu’awwidzaat untuk dirinya sendiri, lalu beliau meniupkannya. Dan ketika sakitnya parah, maka akulah yang membacakannya pada beliau, lalu mengusapkan dengan menggunakan tangannya guna mengharap keberkahannya. (HR Bukhari 4629)

Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Musa telah mengabarkan kepada kami Hisyam dari Ma’mar dari Az Zuhri dari ‘Urwah dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meniupkan kepada diri beliau sendiri dengan Mu’awwidzat (surat Al Ikhlas, An Nas dan Al Falaq) ketika beliau sakit menjelang wafatnya, dan tatkala sakit beliau semakin parah, sayalah yang meniup dengan kedua surat tersebut dan saya megusapnya dengan tangan beliau sendiri karena berharap untuk mendapat berkahnya. Aku bertanya kepada Az Zuhri; Bagaimana cara meniupnya? dia menjawab; Beliau meniup kedua tangannya, kemudian beliau mengusapkan ke wajah dengan kedua tangannya. (HR Bukhari 5294)

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id Telah menceritakan kepada kami Al Mufadldlal bin Fadlalah dari Uqail dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah bahwa biasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan: QULHUWALLAHU AHAD.. dan, QUL `A’UUDZU BIRABBIL FALAQ… serta, QUL `A’UUDZU BIRABBIN NAAS.. Setelah itu, beliau mengusapkan dengan kedua tangannya pada anggota tubuhnya yang terjangkau olehnya. Beliau memulainya dari kepala, wajah dan pada anggota yang dapat dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi sebanyak tiga kali. (HR Bukhari 4630)

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Read Full Post »

Older Posts »