Ilmu Tasawuf
Pendapat KH Siradjuddin Abbas, dalam buku beliau “40 Masalah Agama” Jilid 3, hal 30.
***** awal kutipan ****
Ilmu Tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam utama, yaitu ilmu Tauhid (Usuluddin), ilmu Fiqih dan ilmu Tasawuf.
Ilmu Tauhid untuk bertugas membahas soal-soal i’tiqad, seperti i’tiqad mengenai keTuhanan, keRasulan, hari akhirat dan lain-lain sebagainya .
Ilmu Fiqih bertugas membahas soal-soal ibadat lahir, seperti sholat, puasa, zakat, naik haji dan lain
Ilmu Tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan lain-lain.
Ringkasnya: tauhid ta’luk kepada i’tiqad, fiqih ta’luk kepada ibadat, dan tasawuf ta’kluk kepada akhlak
Kepada setiap orang Islam dianjurkan supaya beri’tiqad sebagaimana yang diatur dalam ilmu tauhid (usuluddin), supaya beribadat sebagaimana yang diatur dalam ilmu fiqih dan supaya berakhlak sesuai dengan ilmu tasawuf.
******* akhir kutipan ******
Agama kita meliputi 3 (tiga) unsur terpenting yaitu, Islam, Iman dan Ihsan
Sebuah hadits menguraikan sebagai berikut:
Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata,
“Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.”
Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.”
Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang iman.”
Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya.”
Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan.”
Rasulullah berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.
Dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang Assa’ah (azab kiamat).”
Rasulullah menjawab, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah menjawab, “Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat.” Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata.
Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah Saw lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” (HR. Muslim)
Tentang Islam kita dapat temukan dalam ilmu fiqih, sasarannya syari’at lahir, umpanya, sholat, puasa, zakat, naik haji, perdagangan, perkawinan, peradilan, peperangan, perdamaian dll.
Tentang Iman kita dapat temukan dalam ilmu tauhid (usuluddin), sasarannya i’tiqad (akidah / kepercayaan), umpamanya bagaimana kita (keyakinan dalam hati) terhadap Tuhan, Malaikat-Malaikat, Rasul-Rasul, Kitab-kitab suci, kampung akhirat, hari bangkit, surga, neraka, qada dan qadar (takdir).
Tentang Ihsan kita dapat temukan dalam ilmu tasauf, sasarannya akhlak, budi pekerti, bathin yang bersih, bagaimana menghadapi Tuhan, bagaimana muraqabah dengan Tuhan, bagaimana membuang kotoran yang melengket dalam hati yang mendinding (hijab) kita dengan Tuhan, bagaimana Takhalli, Tahalli dan Tajalli. Inilah yang dinamakan sekarang dengan Tasawuf.
Setiap Muslim harus mengetahui 3 (tiga) unsur ini sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dan memegang serta mengamalkannya sehari-hari.
Pelajarilah ketiga ilmu itu dengan guru-guru, dari buku-buku, tulisan atau dalam jama’ah / manhaj / metode / jalan.
Waspadalah jika jama’ah / manhaj / metode / jalan yang “menolak” salah satu dari ketiga ilmu itu karena itu memungkinkan ketidak sempurnaan hasil yang akan dicapai.
Jadi syarat untuk mendalami ilmu Tasawuf (tentang Ihsan) terlebih dahulu harus mengetahui ilmu fiqih (tentang Islam) dan ilmu tauhid / usuluddin (tentang Iman).
Dengan ketiga ilmu itu kita mengharapkan meningkat derajat/kualitas ketaqwaan kita.
Mulai sebagai muslim menjadi mukmin dan kemudian muhsin atau yang kita ketahui sebagai implementasi Islam, Iman dan Ihsan.
Orang-orang yang paham dan mengamalkan ilmu Tasawuf dikenal dengan nama orang sufi.
Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang shaleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah saw. yang didiami para ahli shuffah.
Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat.
Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.
Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi)
terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.
Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu(kesuciannya)
Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya)
Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu(kefanaannya).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya.
Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/01/22/gerakan-pemalsuan-sufi/ bahwa dalam masalah tasawuf janganlah mengambil atau mengikuti pendapat dari orang-orang yang tidak mengamalkan tasawuf atau dari orang-orang yang memahami kitab-kitab ulama tasawuf selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir dari sudut arti bahasa saja.
Kaum sufi dalam mengungkapkan cintanya kepada Allah suka mempergunakan bahasa cinta sehingga kita memahaminya tidak dapat menggunakan makna dzahir melainkan memerlukan ilmu balaghah (satra Arab) seperti makna majaz (makna metaforis / kiasan)
Sebagaimana pula yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/01/22/terhasut-membenci-sufi/ bahkan kaum sufi sering menggunakan istilah-istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh orang yang sudah terjun ke dalam dunia mereka. Istilah-istilah itu jika dipahami secara literal atau tekstual atau makna dzahir akan membawa kepada pemahaman keliru yang dapat mengakibatkan menggangap mereka telah kafir.
Hal itu disampaikan pula oleh Imam Al-Ghazali dalam beberapa kitabnya, sebagaimana dinukil oleh Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi (Info Buat Orang Tolol Tentang Bersihnya Ibnu ‘Arabi) , beliau berkata, “(Perkataan-perkataan mereka) itu menyerupai (ayat-ayat) mutasyabihat dalam Al-Quran dan Sunnah. Barangsiapa memahaminya secara literal (dzahir) maka dia terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.
Oleh karena itu, Imam al-Gazali pernah mewanti-wanti, jika ada orang mengamalkan tasawuf atau menjalani suluk tanpa syekh atau mursyid (pembimbing), dikhawatirkan setan yang akan membimbingnya.
Jadi kalau salah memahami kitab-kitab ulama tasawuf seperti karena memahaminya selalu dengan makna dzahir atau salah memahami perilaku kaum sufi maka akan berakibat menuduh mereka kafir dan bahkan membunuhnya.
Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata , ” Aku menerima sekantung ilmu dari Rasulullah. Separuh kantung aku bagikan kepada kamu semua dan separuhnya lagi aku simpan buat aku sendiri . Karena jika yang separuh lagi itu aku bagikan juga , niscaya kalian akan mengkafirkanku dan menggantungku”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri telah menasehatkan Abu Hurairah radhiyallahu anhu untuk dapat mengikuti kaum Sufi yang dilukiskan sebagai berikut:
Segolongan orang yang tidak takut ketika manusia ketakutan di hari kiamat. Mereka tidak takut siksa api neraka ketika manusia takut. Mereka menempuh perjalanan yang berat sampai mereka menempati tingkatan para nabi. Mereka suka berlapar, berpakaian sederhana dan haus, meskipun mereka mampu. Mereka lakukan semua itu demi untuk mendapatkan ridha Allah. Mereka tinggalkan rezeki yang halal karena akan amanahnya. Mereka bersahabat dengan dunia hanya dengan badan mereka, tetapi mereka tidak tertipu oleh dunia. Ibadah mereka menjadikan para malaikat dan para nabi sangat kagum.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai Abu Hurairah, berjalanlah engkau seperti segolongan orang yang tidak takut ketika manusia ketakutan di hari kiamat. Mereka tidak takut siksa api neraka ketika manusia takut. Mereka menempuh perjalanan yang berat sampai mereka menempati tingkatan para nabi. Mereka suka berlapar, berpakaian sederhana dan haus, meskipun mereka mampu. Mereka lakukan semua itu demi untuk mendapatkan redha Allah. Mereka tinggalkan rezeki yang halal karena akan amanahnya. Mereka bersahabat dengan dunia hanya dengan badan mereka, tetapi mereka tidak tertipu oleh dunia. Ibadah mereka menjadikan para malaikat dan para nabi sangat kagum. Sungguh amat beruntung mereka, alangkah senangnya jika aku dapat bertemu dengan mereka.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menangis karena rindu kepada mereka. Dan beliau bersabda: “Jika Allah hendak menyiksa penduduk bumi, kemudian Dia melihat mereka, maka Allah akan menjauhkan siksaNya. Wahai Abu Hurairah, hendaknya engkau menempuh jalan mereka, sebab siapapun yang menyimpang dari penjalanan mereka, maka ia akan mendapati siksa yang berat”. (Hadis riwayat Abu Hu’aim dalam kitab Al Hilya)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)
Konsep Tasawuf al Jailani
Written by Anwar Ma’rufi
Sumber: http://anwafi.blogspot.com/2011/12/konsep-tasawuf-syaikh-abdul-qadir-al.html
***** awal kutipan ******
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di dalam kitab sir al-asrar menguraikan makna sufi dan tasawufnya tersebut bahwa inti dari tasawuf, sesuai dari huruf-hurufnya.
Huruf pertama adalah “ta” yang berarti taubah.
Pintu taubat adalah selalu merasa khawatir tentang kedudukan dirinya di sisi Allah. Pengertian taubat di sini meliputi dua macam taubat yakni taubat lahir dan taubat batin. Yang dimaksud dengan taubat lahir adalah menyesuaikan perbuatan dan perkataannya dengan ketaatan kepada Allah dan Nabi-Nya. Sedangkan taubat batin sama artinya dengan tashfiyah al-qalb, penyucian hati dari sifat-sifat yang tercela, untuk kemudian diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Inti dari taubat adalah mengerahkan hati sepenuhnya untuk sampai kepada tujuan utamanya, yakni Allah al-Haq.
Huruf kedua adalah “shad” yang berarti “shafa” yang berarti bersih dan bening.
Makna shafa’ disini juga meliputi dua macam shafa’, yakni shafa’ al-qalb dan shafa as-sirr. Maksud dari shafa’ al-qalb adalah membersihkan hati dari sifat-sifat manusiawi yang kotor dan kenikmatan dunia, seperti banyak makan dan minum, banyak tidur, banyak bicara yang tidak berguna, cinta harta, dan lain lain. Untuk membersihkan hati dari yang demikian itu, caranya adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan suara jahr (keras) sampai pada tingkatan takut. Sesuai dengan firman Allah:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (سورة الأنفال: ٢)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, (QS. al-Anfaal: 2)
Sedangkan maksud dari shafa as-sirr adalah mencintai Allah dan menjauhi segala sesuatu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara senantiasa melantunkan asma’ Allah melalui lisannya secara sirr. Apabila keduanya telah dilaksanakan dengan sempurna maka, sempurnalah maqam huruf ‘shad’ ini.
Huruf ketiga adalah ‘waw’ yang bermakna wilayah.
Yaitu keadaan suci dan hening yang ada pada jiwa kekasih Allah. Keadaan ini tergantung pada kesucian seseorang yang tercermin dalam QS. Yunus ayat 62 dan 64:
أَلآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ (سورة يونس: ٦٢)
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus:62)
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ لاَتَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (سورة يونس: ٦٤)
Artinya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus :64)
Orang yang sampai pada tahapan ini, mendapatkan kesadaran dan cinta sepenuhnya dari Allah, sehingga akhlaknya adalah akhlakNya. Dan segala tindak tanduknya bersesuaian dengan kehendakNya. Sebagaimana dalam hadits qudsi, Allah berkata: “…Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi penglihatan, pendengaran, tangan, dan penolong baginya…”
Huruf yang terakhir adalah ‘fa’ yang melambangkan fana’ di dalam kebesaran Allah, yaitu pengosongan dan penghapusan segala macam sifat-sifat manusia dengan menyatakan keabadian sifat-sifat Allah. Terlepas diri dari makhluk dan kedirianya serta sesuai dengan kehendak-Nya. Jika sudah demikian, maka ke-fana’-an manusia akan abadi (baqa’) bersama Tuhannya dan keridhaan-Nya.
Pengertian fana’ al-Jailani ini, jika disandingkan dengan pandangan Ibrahim Madkur ketika mengomentari istilah fana’-nya para sufi falsafi, sangat identik dengan pandangan mereka. Menurut Ibrahim Madkur, pada dasarnya teori fana yang didengungkan oleh para sufi akhirnya hendak menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud dirinya dan kekal di dalam wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa.
Untuk menjelaskan keabadian seorang hamba, al-Jailani lebih hati-hati agar tidak disalah pahami. Menurutnya, keabadian manusia, disebabkan amal shalihnya, sebagaimana yang disinggung oleh Allah dalam firmanNya:
مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فِلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَكْرُ أُوْلَئِكَ هُوَ يَبُورُ (سورة فاطر: ١٠)
Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya.Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (QS. Fathir:10)
Meskipun al-Jailani tidak mensistematisasikan tasawufnya dalam bentuk maqamat-maqamat atau ahwal-ahwal secara berurutan seperti kebanyakan sufi, namun ketika melihat dari ulasan al-Jailani tentang pengertian tasawuf secara harfiah, telah mengarahkan perjalanan ruhani seseorang dalam untuk melewati tahap-tahap tertentu, mulai dari taubat dengan macam-macamnya, pembersihan hati dengan macam-macamnya, yang berakhir pada tingkatan fana’.
Jika dikatakan bahwa memilih hidup sufi berarti memilih hidup dengan menjauhi dunia, maka sekali-kali al-Jailani tidak pernah mempunyai sikap hidup mengasingkan diri –dalam arti membenci dunia- meski ia menolak untuk menikmati keinginan-keinginannya yang menenggelamkan dan mengasyikkan hati, sehingga membuat lupa kepada penciptanya. Mengenai permasalahan ini al-Jailani berkata:
“Kuasai dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kamu diceraikan olehnya. Jangan kamu dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta hamba yang saleh.”
Al-Jailani mengibaratkan dunia bagai sungai besar yang deras airnya, setiap harinya bertambah. Dan perumpamaan nafsu hewani manusia juga tidak ubahnya seperti sungai itu, yang tamak akan segala kenikmatan duniawi. Ia memandang kehidupan yang sejati adalah kehidupan di kemudian hari, yaitu akhirat. Sesuai dengan sabda Nabi: “Tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat nanti.” Dan, “Dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.”
Dunia dipandang olehnya sebagai proses kontinuitas kehidupan akhirat yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Sufisme dalam pandangan al-Jailani merupakan sufisme yang progresif, aktif dan positif, tidak meninggalkan gelanggang dunia sebagai mazra’ah al-akhirah. Ia memandang dunia dalam keseimbangan akhirat. Sebagaimana firmanNya:
وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ ولاَتَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن َمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (سورة القصص: ٧٧)
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. 28:77)
Konsepsi sufistik al-Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, dilandasi oleh ketentuan syari’at Ilahi. Ia melarang seseorang mencebur dalam dunia sufi sebelum orang itu matang dan kuat syariatnya. Sebab, hubungan syari’at di antara thariqah, ma’rifah, dan haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. “Syari’at laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma’rifah adalah daunnya sedangkan haqiqah adalah buahnya” Jadi untuk memetik buahnya seorang sufi harus melalui tahap pengamalan syari’at dengan istiqamah.
****** akhir kutipan ******
Jadi kalau ada orang yang mengaku mengamalkan tasawuf maka mereka akan mengamalkan syariat sebagaimana yang telah disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat barulah memperjalankan dirinya (suluk) untuk dapat sampai (wushul) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Imam Abu Yazid al Busthami juga berkata yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syari’at”
Syaikh Abu Al Hasan Asy-Syadzili, ” Jika pendapat atau temuanmu bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan Al-Qur’an dan Hadits“.
Bagitupula kaum sufi mengatakan bahwa “perkara syariat bukanlah beban” bukanlah berarti mereka meninggalkan syariat namun kaum sufi karena cinta mereka kepada Allah sehingga bergembira menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Kaum sufi dapat melihat Ar Rahmaan Ar Rahiim dibalik laranganNya. Mereka menjalankan perintahNya atau perkara syariat sebagai makanan atau kebutuhan ruhNya dalam rangka wujud syukur kepada Allah ta’ala.
Dari Anas Ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat menikmati ibadah, bahkan beliau pernah berdiri dalam sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. ‘Aisyah pernah bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal ini, bukankah Allah telah memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab: “afala akuuna ‘abadan syakuuraa” , “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sembahlah Allah dengan senang hati. Jika kamu tidak mampu, maka hal yang terbaik bagimu adalah bersikap sabar menghadapi nasib yang tidak kamu sukai.“
Habib Munzir Almusawa menyampaikan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa orang yang beramal karena takut pada neraka, maka itu adalah ibadah para budak, karena taatnya hanyalah karena takut, dan barangsiapa yang beramal karena ingin surga, maka itu amalan para pedagang, karena diotaknya hanya ingin untung, dan barangsiapa yang beribadah karena ingin dekat dengan Allah, itulah orang orang yang merdeka. Ketiga kelompok ini tetap dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun tentunya yang paling mulia adalah yang beribadah karena tak menginginkan apa apa selain kedekatan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, banyak pula teriwayatkan hal seperti ini dari kalangan Sahabat Radhiyallahu ‘anhum, mereka merindukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Allah merindukan mereka, sebagaimana sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang merindukan perjumpaan dengan Allah maka Allah merindukan perjumpaan dengannya”
An-Nafzi Ar-Randi dan Abu Thalib Al-Makki meriwayatkan dari Abu Hazim Al-Madani yang berkata: “Aku malu kepada Tuhanku jika aku menyembah-Nya karena takut siksa. Kalau begitu, aku seperti orang jahat yang jika tidak takut, maka ia tidak akan… beramal. Aku juga malu kepada-Nya jika aku menyembah-Nya karena mengharap pahala-Nya, karena jika aku menyembah-Nya karena mengharap pahala-Nya maka dengan cara seperti itu aku seperti buruh yang jahat yang jika tidak diberi gaji maka ia tidak mau bekerja, namun aku menyembah-Nya karena cinta kepada-Nya.” (Ghautsu Al-Mawahibi Al-Aliyyati, AN-Nafzi Ar-Randi, Jilid I, hal. 242. Juga Qutu Al-Qulubi, Abu Thalib Al-Makki, Jilid II, hal. 56).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah manusia yang paling mencintai Allah ta’ala. Beliau menyembah Allah ta’ala karena mencintaiNya dan Allah ta’ala paling mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Oleh karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat mencintai Allah ta’ala maka Beliau takut kepada Allah ta’ala yakni takut untuk melakukan sesuatu yang dibenciNya atau yang dimurkaiNya. Inilah yang dimaskud takut kepada Allah
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan.
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Buya Hamka penulis buku “Tasawuf Modern” setelah mengikuti Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “Hampa” sebagaimana yang dituturkan oleh Dr Sri Mulyati MA, Dosen Pascasarjana , pengajar tasawwuf UIN Syarif Hidayatullah
“Dirinya bukanlah Hamka tetapi “hampa” adalah ungkapan penyaksian Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat yakni membenarkan dan menyaksikan bahwa selain Allah ta’ala adalah tiada. Selain Allah ta’ala adalah tiada apa apanya. Selain Allah ta’ala adalah bergantung padaNya.
Dalam sebuah wawancara dengan Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) , beliau mengatakan bahwa untuk dapat melihat Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki.
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Sayyidina Umar ra juga menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah karena tidak bertambah hidayahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sungguh celaka orang yang tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.
Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong..
kaum sufi dengan perjalanannya hingga mereka meraih maqom (derajat) di sisiNya sehingga dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) dan berkumpul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Jadi orang-orang yang selalu berada dalam kebenaran atau selalu berada di jalan yang lurus adalah orang-orang yang diberi karunia ni’mat oleh Allah atau orang-orang yang telah dibersihkan atau disucikan atau dipelihara oleh Allah ta’ala sehingga terhindar dari perbuatan keji dan mungkar dan menjadikannya muslim yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah dan yang terbaik adalah muslim yang dapat menyaksikanNya dengan hatinya (ain bashiroh). Mereka adalah para kekasih Allah atau wali Allah
Hubungan yang tercipta antara Allah ta’ala dengan al-awliya (para wali Allah) menurut Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan).
Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadiranNya, hudhur ma’ahu wa bihi.
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (para wali / kekasih); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya (para wali / kekasih) dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka.
Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya. Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni
‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi), ‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali), ‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Jadi jika Allah telah mencintai hambaNya maka akan terpelihara (terhindar) dari dosa atau jikapun mereka berbuat kesalahan maka akan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.
Imam Mazhab yang empat, para ulama yang sholeh yang mengikuti mereka termasuk para ulama yang sholeh dari kalangan Habib atau ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallallahu alaihi wasallam memang tidak maksum namun mereka boleh saja mendapatkan ‘ishmah para wali sesuai dengan manzilah (maqom / derajat) atau kedekatan mereka dengan Allah Azza wa Jalla.
Berikut contoh pemeliharaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap kekasihNya
Imam asy-Syafi’i berkata: ‘Saya mengadu kepada Waqi’ (guru beliau) buruknya hafalanku, maka dia menasihatiku agar meninggalkan maksiat. Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat”.
Setelah Imam asy Syafi’i merunut (mencari tahu) kenapa beliau lupa hafalan Al-Qur’an (hafalan Al-Qur`ânnya terbata-bata), ternyata dikarenakan beliau tanpa sengaja melihat betis seorang wanita bukan muhrim yang tersingkap oleh angin dalam perjalanan beliau ke tempat gurunya.
‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatkan dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorangpun yang mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ (“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri” (QS Asy-Syûra [42]: 30)- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul-Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147)
Itulah contoh mereka yang disayang oleh Allah ta’ala dan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia..
Sedangkan ulama su’u adalah mereka yang tidak menyadarinya atau tidak disadarkan oleh Allah Azza wa Jalla atas kesalahannya atau kesalahpahamannya sehingga mereka menyadarinya di akhirat kelak. Wallahu a’lam.
Tentang ulama yang baik dan ulama yang buruk (su’u) telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/23/ulama-baik-dan-buruk/
Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada. Wajah mereka bercahaya sebagaiman yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/16/wajah-bercahaya/
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/31/sayyid-kaum-bertaqwa/ bahwa bagi kaum muslim yang mengenal dan mengetahui para Wali Allah sangat ikhlas memanggil sayyidina bagi Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena Beliau adalah sekaligus pemimpin atau Imam para Wali Allah
Riwayat dari Sa’ad bin Abi Waqash, Aku mendengar khutbah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hari Jum’at. Ia memegang lengan Ali dan berkhutbah dengan didahului lafaz pujian kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan memuji-Nya. Kemudin beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku adalah wali bagi kalian semua“. Mereka menjawab, “Benar apa yang engkau katakan wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam“. Kemudian beliau mengangkat lengan Ali dan bersabda. “Orang ini adalah waliku, dan dialah yang akan meneruskan perjuangan agamaku. “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui (meyakini) Ali sebagai wali, dan aku juga merupakan orang yang akan memerangi orang yang memeranginya“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda“Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui (meyakini) Ali sebagai wali” maksudnya hanya muslim tertentu yang dapat mengakui (meyakini) Sayyidina Ali ra sebagai Wali Allah atau imamnya para Wali Allah.
Mereka adalah orang-orang yang dapat meyakini pula bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah imamnya para Wali Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskannya dengan kalimat “aku juga merupakan orang yang akan memerangi orang yang memeranginya“. Serupa dengan hadits qudsi, “Allah ta’ala berfirman “Siapa yang memusuhi wali-KU, maka Aku umumkan perang kepadanya“ (HR Bukhari 6021)
Jadi apa yang diperselisihkan oleh kaum Syiah bahwa Sayyidina Abu Bakar ra ataupun Sayyidina Umar ra “merebut” kepemimpinan atau khalifah dari Imam Sayyidina Ali ra atau bahkan anggapan keji bahwa Sayyidina Abu Bakar ra ataupun Sayyidina Umar ra mengkhianati ketetapan Rasulullah di Ghadir Khum adalah merupakan kesalahpahaman karena sesungguhnya kepemimpinan pada wilayah yang berbeda sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di atas pada penjelasan huruf “waw” dalam tasawuf
Para Wali Allah (kekasih Allah) adalah penerus setelah khataman Nabiyyin ditugaskan untuk “menjaga” agama Islam. Rasulullah mengkiaskannya dengan estafet (penyerahan) “bendera”.
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali, -ketika beliau mengangkatnya sebagai pengganti (di Madinah) dalam beberapa peperangan beliau. Ali bertanya; Apakah anda meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak! beliau menjawab: Wahai Ali, tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan Harun dengan Musa? hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Dan saya juga mendengar beliau bersabda pada Perang Khaibar; Sungguh, saya akan memberikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan RasulNya dan Allah dan RasulNya juga mencintainya. Maka kami semuanya saling mengharap agar mendapatkan bendera itu. Beliau bersabda: Panggilllah Ali! (HR Muslim 4420)
Imam Sayyidina Ali ra adalah bertindak sebagai Nabi namun bukan Nabi karena tidak ada Nabi setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau adalah Imam para Wali Allah
Bumi ini tidak pernah kosong dari para Wali Allah dan Imamnya yang akan menjaga agamaNya dan syariatNya. Berapa jumlah mereka dan di manakah mereka berada hanya Allah ta’ala yang mengetahuinya.
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80)
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: “Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya“.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab: “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
As Sarraj at-Tusi mengatakan : “Jika ada yang menanyakan kepadamu perihal siapa sebenarnya wali itu dan bagaimana sifat mereka, maka jawablah : Mereka adalah orang yang tahu tentang Allah dan hukum-hukum Allah, dan mengamalkan apa yang diajarkan Allah kepada mereka. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang tulus dan wali-wali-Nya yang bertakwa“.
Dari Abu Umamah ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “berfirman Allah Yang Maha Besar dan Agung: “Diantara para wali-Ku di hadhirat-Ku, yang paling menerbitkan iri-hati ialah si mu’min yang kurang hartanya, yang menemukan nasib hidupnya dalam shalat, yang paling baik ibadat kepada Tuhannya, dan taat kepada-Nya dalam keadaan tersembunyi maupun terang. Ia tak terlihat di antara khalayak, tak tertuding dengan telunjuk. Rezekinya secukupnya, tetapi iapun sabar dengan hal itu. Kemudian Beliau shallallahu alaihi wasallam menjentikkan jarinya, lalu bersabda: ”Kematiannya dipercepat, tangisnya hanya sedikit dan peninggalannya amat kurangnya”. (HR. At Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hanbal)”.
Para Wali Allah (kekasih Allah) , jika melihat mereka mengingatkan kita kepada Allah
Dari Amru Ibnul Jammuh, katanya: “Ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman: “Sesungguhnya hamba-hambaKu, wali-waliKu adalah orang-orang yang Aku sayangi. Mereka selalu mengingatiKu dan Akupun mengingat mereka.” (Hadis riwayat Abu Daud dalam Sunannya dan Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I hal. 6)
Dari Said ra, ia berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya: “Siapa wali-wali Allah?” Maka beliau bersabda: “Wali-wali Allah adalah orang-orang yang jika dilihat dapat mengingatkan kita kepada Allah.”(Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Auliya’ dan Abu Nu’aim di dalam Al Hilya Jilid I hal 6)
Imam Al-Bazzaar meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia mengatakan, seseorang bertanya, ya Rasulullah shallalahu alaihi wasallam, siapa para wali Allah itu? Beliau menjawab, “Orang-orang yang jika mereka dilihat, mengingatkan kepada Allah,” (Tafsir Ibnu Katsir III/83).
Para Wali Allah (kekasih Allah) selalu sabar, wara’ dan berbudi pekerti yang baik.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ada tiga sifat yang jika dimiliki oleh seorang, maka ia akan menjadi wali Allah, iaitu: pandai mengendalikan perasaannya di saat marah, wara’ dan berbudi luhur kepada orang lain.” (Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya di dalam kitab Al Auliya’)“
Para Wali Allah (kekasih Allah) suka menangis dan mengingat Allah.
‘Iyadz ibnu Ghanam menuturkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Malaikat memberitahu kepadaku: “Sebaik-baik umatku berada di tingkatan-tingkatan tinggi. Mereka suka tertawa secara terang, jika mendapat nikmat dan rahmat dari Allah, tetapi mereka suka menangis secara rahasia, karena mereka takut mendapat siksa dari Allah. Mereka suka mengingat Tuhannya di waktu pagi dan petang di rumah-rumah Tuhannya. Mereka suka berdoa dengan penuh harapan dan ketakutan. Mereka suka memohon dengan tangan mereka ke atas dan ke bawah. Hati mereka selalu merindukan Allah. Mereka suka memberi perhatian kepada manusia, meskipun mereka tidak dipedulikan orang. Mereka berjalan di muka bumi dengan rendah hati, tidak congkak, tidak bersikap bodoh dan selalu berjalan dengan tenang. Mereka suka berpakaian sederhana. Mereka suka mengikuti nasihat dan petunjuk Al Qur’an. Mereka suka membaca Al Qur’an dan suka berkorban. Allah suka memandangi mereka dengan kasih sayangNya. Mereka suka membahagikan nikmat Allah kepada sesama mereka dan suka memikirkan negeri-negeri yang lain. Jasad mereka di bumi, tapi pandangan mereka ke atas. Kaki mereka di tanah, tetapi hati mereka di langit. Jiwa mereka di bumi, tetapi hati mereka di Arsy. Roh mereka di dunia, tetapi akal mereka di akhirat. Mereka hanya memikirkan kesenangan akhirat. Dunia dinilai sebagai kubur bagi mereka. Kubur mereka di dunia, tetapi kedudukan mereka di sisi Allah sangat tinggi. Kemudian beliau menyebutkan firman Allah yang artinya: “Kedudukan yang setinggi itu adalah untuk orang-orang yang takut kepada hadiratKu dan yang takut kepada ancamanKu.” (Hadis riwayat Abu Nu’aim dalam Hilya jilid I, hal 16)
Para wali Allah jika mereka meminta akan dikabulkanNya
Dalam sebuah hadits Qudsi Allah ta’ala berfirman “jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Dari Anas ibnu Malik ra berkata: “Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Berapa banyak manusia lemah dan dekil yang selalu dihina orang, tetapi jika ia berkeinginan, maka Allah memenuhinya, dan Al Barra’ ibnu Malik, salah seorang di antara mereka.” Ketika Barra’ memerangi kaum musyrikin, para Sahabat: berkata: “Wahai Barra’, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: “Andaikata Barra’ berdoa, pasti akan terkabul. Oleh karena itu, berdoalah untuk kami.” Maka Barra’ berdoa, sehingga kami diberi kemenangan. Di medan peperangan Sus, Barra’ berdo’a: “Ya Allah, aku mohon, berilah kemenangan kaum Muslimin dan temukanlah aku dengan NabiMu.” Maka kaum Muslimin diberi kemenangan dan Barra’ gugur sebagai syahid.
Suatu hari Umar r.a. kedatangan rombongan dari Yaman, lalu ia bertanya: “Adakah di antara kalian yang datang dari suku Qarn?”. Lalu seorang maju ke dapan menghadap Umar. Orang tersebut saling bertatap pandang sejenak dengan Umar. Umar pun memperhatikannya dengan penuh selidik. “Siapa namamu?” tanya Umar. “Aku Uwais”, jawabnya datar. “Apakah engkau hanya mempunyai seorang Ibu yang masih hidup?, tanya Umar lagi. “Benar, Amirul Mu’minin”, jawab Uwais tegas. Umar masih penasaran lalu bertanya kembali “Apakah engkau mempunyai bercak putih sebesar uang dirham?” (maksudnya penyakit kulit berwarna putih seperti panu tapi tidak hilang). “Benar, Amirul Mu’minin, dulu aku terkena penyakit kulit “belang”, lalu aku berdo’a kepada Allah agar disembuhkan. Alhamdulillah, Allah memberiku kesembuhan kecuali sebesar uang dirham di dekat pusarku yang masih tersisa, itu untuk mengingatkanku kepada Tuhanku”. “Mintakan aku ampunan kepada Allah”. Uwais terperanjat mendengar permintaan Umar tersebut, sambil berkata dengan penuh keheranan. “Wahai Amirul Mu’minin, engkau justru yang lebih behak memintakan kami ampunan kepada Allah, bukankah engkau sahabat Nabi?” Lalu Umar berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “Sesungguhnya sebaik-baik Tabi’in adalah seorang bernama Uwais, mempunyai seorang ibu yang selalu dipatuhinya, pernah sakit belang dan disembuhkan Allah kecuali sebesar uang dinar di dekat pusarnya, apabila ia bersumpah pasti dikabulkan Allah. Bila kalian menemuinya mintalah kepadanya agar ia memintakan ampunan kepada Allah” Uwais lalu mendoa’kan Umar agar diberi ampunan Allah. Lalu Uwais pun menghilang dalam kerumunan rombongan dari Yaman yang akan melanjutkan perjalanan ke Kufah. (HR Ahmad)
Riwayat tersebut bukan berarti Sayyidina Umar ra tidak termasuk wali Allah (kekasih Allah) namun sekedar mengabarkan Uwais ra adalah seorang wali Allah di antara Tabi’in
Seluruh Khulafaur Rasyidin adalah wali Allah (kekasih Allah) karena mereka termasuk Assab’ul-matsani sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/16/yang-dikaruniai-nikmatnya/
Definisi Tasawuf
Pandangan paling monumental tentang Tasawuf muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa Tasawuf atau Sufi muncul dari akar-akar historis, bahasa, intelektual dan filsafat di luar Islam.
Dalam buku Ar-Risalatul Qusyairiyah ia menegaskan bahwa kesalahpahaman banyak orang terhadap tasawuf semata-mata karena ketidaktahuan mereka terhadap hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah firman Allah swt:
- “Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-8)
- ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia mendzikirkan nama Tuhannya lalu dia shalat.” (QS. Al-A’laa: 14-15)
- “Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa” (QS. Al-A’raf: 205)
- “Dan bertqawalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 282)
Sabda Nabi saw:
- “Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)
- Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf adalah implementasi dari sebuah kerangka agung Islam. Secara lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:
- Muhammad al-Jurairy:
“Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.” - Al-Junaid al-Baghdady:
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu dan menghidupkan dirimu bersama dengan-Nya.”
“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.”
“Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”
“Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”
“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’ dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”
“Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.”
“ Jika engkau meliuhat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.” - Al-Husain bin Manshur al-Hallaj:
“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.” - Abu Hamzah Al-Baghdady:
“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersem, bunyi.” - Amr bin Utsman Al-Makky:
“Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.” - Mohammad bin Ali al-Qashshab:
“Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.” - Samnun:
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun.” - Ruwaim bin Ahmad:
“Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendaki-Nya.”
“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra dan memilih.” - Ma’ruf Al-Karkhy:
“Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”. - Hamdun al-Qashshsar:
“Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk mermaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahklan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu.” - Al-Kharraz:
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian karena kami.” - Sahl bin Abdullah:
“Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.” - Ahmad an-Nuury:
“Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala tidak punya dan peduli orang lain ketika ada.” - Muhammad bin Ali Kattany:
“Tasawuf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf.” - Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary:
“Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engklau diusir.”
“Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan denganya.” - Abu Bakr asy-Syibly:
“Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt tanpa hasrat.”
“Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah swt sebagaimana difirmankan Allah swt, kepada Musa, ‘Dan Aku telah memilihmu untuk Diri-Ku’ (Thoha: 41) dan memisahkanmu dari yang lain. Kemudian Allah swt berfirman kepadanya, ‘Engkau tak akan bisa melihat-Ku’.”
“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”
“Tasawuf adalah kilat yang menyala dan Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”
“Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.” - Al-Jurairy:
“Tasawuf berarti kesadaran atas keadaaan diri sendiri dan berpegang pada adab.” - Al-Muzayyin:
“Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.” - Askar an-Nakhsyaby:
“Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.” - Dzun Nuun Al-Mishry:
“Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.” - Muhammad al-Wasithy:
“Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.” - Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy:
“Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, ‘siapakah, yang menurutmu Sufi itu?’ Lalu ia menjawab, ‘Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit’. Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.” - Ahmad ibnul Jalla’:
“Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah swt tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.” - Abu Ya’qub al-Madzabily:
“Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.” - Abul Hasan as-Sirwany:
“Sufi yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang mehyertainya.” - Abu Ali Ad-Daqqaq:
“Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, ‘Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt, untuk menyapu kotoran binatang’.”
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.” - Abu Sahl ash-Sha’luki:
“Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”
- Muhammad al-Jurairy:
Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya.
Alhasil, dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara hamba dengan Allah swt dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata lain, Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya, pengakuan diri akan haknya sebagai hama dan haknya terhadap sesama di dalam amal kehidupan.
Berikut beberapa video dari Ustadz Wahfiudin
Tema: Mengenal Diri
http://www.youtube.com/watch?v=HmPa_8KUQ9E
http://www.youtube.com/watch?v=Hl_qn3SO58c
http://www.youtube.com/watch?v=Atj_2GdHUVE
Tema Spirituality in Work
http://www.youtube.com/watch?v=UQ-MpQqQK3c
http://www.youtube.com/watch?v=9v8xFgyln_0
Profil ustadz Wahfiudin http://mahmudjonsen.blogspot.com/2013/05/profil-wakil-talqin-kh-wahfiudin-sakam.html
Tharikat ustadz Wahfiudin http://mahmudjonsen.blogspot.com/2013/11/mursyid-thoriqoh-qodiriyyah-wa.html
Video terkait TQN Suralaya
Tema: Kajian Kitab Miftahussudur
http://www.youtube.com/watch?v=AFJFQQkYO6M
http://www.youtube.com/watch?v=XgFwgaTJHDw
http://www.youtube.com/watch?v=TMLztjjPyuU
Ass wr wb. mungkin kalau punya referensi kepada pembaca dimana bisa mencari guru untukmempelajari tasawuf yg tdk menyesatkan kita. saya sampai saat ini belum menemukan ulama salaf untuk berguru. Wass
Walaikumsalam Wr Wb
Langkah awal bisa saja melalui buku, menurut teman saya, untuk mengawali, bacalah karya-karya Ibnu Athoillah sebelum karya-karya ulama lain yang lebih “dalam”. Nanti kebutuhan guru, Allah lah yang lebih mengetahui.
Prinsipnya kita umat muslim hanya diminta beribadah/ mengabdi pada Allah sedangkan urusan lain Allahlah yang mengurusnya sebagaimana janji Allah dalam firmanNya yang artinya,
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3).
Marilah kita berserah diri (Islam) kepada keinginan Allah.
Firman Allah,
“Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan.”(QS Qasas :8)
Sebagai muslim kita harus selalu “berkomunikasi” dengan Alllah untuk mengetahui pilihanNya. Setelah tahu pilihanNya, berharaplah pertolonganNya untuk dapat melaksanakan/menjalankan pilihanNya secara profesional, istiqomah dan diakhiri dengan tawakal.
ada. mau?
Awal agama mengenal Allah.
Tujuan mengenal Allah adalah untuk beragama.
Jadinya mau beragama atau mau belajar tasauf.
Mana satu tujuan anda
Kalau kamu, mau Cari guru cari di kal-sel
setuju dengan apa yg sohib tulis . tanpa tau cara menuju itu bisa jadi nyasar. salah satu contoh para nabi menempuh ridonya dengan cara pake pesawat terbang. para wali pake perahu / kapal laut. sedangkan kita pake kaki itu juga kalau ga bantung .
saya mau tanya, bagaimana sufi menetapkan agama (Islam) itu? dan dari mana juga sufi mengambil sumber aqidah Islam?
Sama seperti saudara-saudara muslim lainnya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
kalau memang demikian, saya ingin tanya juga, apakah ada riwayat yg menyebutkan kalau Rasulullah pernah berdzikir sambil menari-nari, bernyanyi-nyanyi, memimpin para Sahabat berdzikir dengan lafadz “Allah…Allah…”, “Hu….Hu….”, sampai ” Huwa…Huwa…..” -sambil manggut-manggut- (seperti beribadahnya orang-orang yahudi) dengan suara yg keras sebagaimana yg biasa dilakukan oleh orang-orang sufi?
pernahkah Rasulullah melakukan perbuatan demikian?
Begitu juga Imam SYafi’i, pernahkah beliau melakukan ritual-ritual orang-orang sufi semacam itu?
Kalau ada muslim yang menyatakan bahwa dia mengamalkan ilmu Tasawuf namun amalannya bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits maka dia adalah keliru/salah. Bukan berarti ilmu Tasawuf yang salah namun individu / kelompoknya yang kemungkinan keliru/salah
Begitu juga jika ada muslim yang mengamalkan syariat Islam dan ternyata keliru/salah maka bukan berarti syariat Islam yang salah namun individu /kelompoknya yang keliru/salah.
apakah perkataan anda itu mengartikan bahwa menurut anda amaliah-amaliah seperti berdzikir sambil menari-nari (tarian sufi), bernyanyi-nyanyi (nyanyian sufi), berdzikir dengan lafadz “Allah…Allah…”-sampai ribuan kali- yg biasa dilakukan oleh orang-orang sufi selama ini bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits? saya ingin ketegasan sikap anda terhadap amaliah semacam itu.
Saya tidak mendalami amaliah-amaliah lainnya.
Sekali lagi untuk ilmu Tasawuf saya awali dari pemahaman Syaikh Ibnu Athoillah Al Iskandary.
Metode Pemahaman Tasawuf yang Beliau sampaikan lebih mudah dicerna bagi orang awam atau orang yang baru memulai memahami ilmu Tasawuf.
O iya, di dalam tulisan anda, anda mengutip perkataan Abu Yazid al-Bustami (meninggal di Bistam, Iran, 261H/ 874M) yg merupakan pendiri tarekat Naqsyabandiyah.
Mengaku berguru pada Imam Ja’far padahal dia baru
lahir 40 tahun setelah Imam Ja’far meninggal dunia.
ada juga perkataan dia yg mungkin terlewat oleh anda atau mungkin anda sudah tau, yakni ;
Pada suatu waktu dalam pengembaraannya, setelah shalat subuh Yazid al-Bustami berkata kepada orang-orang yang mengikutinya: Innii ana Allah laa ilaaha illaa ana fa’budnii (Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku).” Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang menyertainya mengatakan bahwa al-Bustami telah gila.
Menurut pandangan para sufi, ketika mengucapkan kata-kata itu, al-Bustami sedang berada dalam keadaan ittihad (menyatunya sufi dengan Allah), suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham tasawwuf.
Dalam keadaan ittihad, seorang sufi sering mengucapkan kata-kata yang aneh, seakan-akan ia mengaku sebagai Tuhan, seperti yang diucapkan al-Bustami di atas (Sesungguhnya aku ini Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku). Al-Bustami juga pernah mengucapkan kata-kata: Subhani subhani, ma a’dhama sya’ni (Maha Suci aku, Maha Suci aku, alangkah Maha Agungnya aku).
Al-Bustami juga berkata: Laisa fi al-jubbah illa Allah (tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah).
Kata-kata seperti itu disebut syathahat (perkataan –aneh-aneh– yang keluar dari mulut seorang sufi ketika ittihad, menyatu dengan Tuhan). Dalam pandangan sufi, kata-kata itu bukan keluar dari seorang sufi tetapi kata-kata Allah melalui lisan seorang sufi tetapi sedang dalam keadaan ittihad. Bukan Dzat Allah yang berbicara, tetapi aspek Allah SWT yang ada pada diri shufi itulah yang sedang berbicara. (lihat Ensiklopedi Islam, huruf I, halaman 286-287)
Abu Yazid Al Busthami juga pernah berkata: “Aku heran terhadap orang yang telah mengenal Allah, mengapa dia tetap beribadah kepada-Nya?!” (Dinukil oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’ 10/37).
Jadi, yang ingin saya tanyakan, orang seperti itukah yg dijadikan rujukan anda?
-Na’udzubillaahi min dzaalik-
Yang saya ambil hanya pernyataan beliau semata “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syari’at”. Pendapat seperti ini ada juga diutarakan oleh ulama lain.
Sebagaimana saya sampaikan dalam blog ini, untuk Ilmu Tasawuf saya mengambil pelajaran dari Syaikh Ibnu Athoillah Al-Iskandary. Silahkan antum mendalami kitab-kitab Beliau, InsyaAllah beliau berpegang teguh pada Syariat Islam.
alangkah baikinya tdk terpaku dgn model sufi yg spt itu, mungkin di dlm sufi itu sendiri ada sejarah perkembangannya, atau ada paham aliran sufi yg lain sama halnya dgn banyak kelompo umat Islam lainya yg mempunyai fikih yg ber-beda2 misalnya anara Syiah dgn Sunni, Muhamidaya dgn NU dll dsb, setahu saya para sufi agung yg ternama adalah Syikh Abudul Kadir Jaelani dan Imam Al Ghazali, monggo …
Subhanallah…mungkin Mas Alamsyah banyak membaca referensi tasauf tapi dari referensi anti tasauf….yang bisa juga anti mazhab….makanya ada benang merah yang putus…ulama tasauf mempunyai Ilmu kebatinan yang luas yang tidak bisa dijelaskan oleh Ilmu zahir mas…. mereka telah mampu menguasai HAWANAFSUNYA….SEHINGGA RUHANI MEREKA SANGAT TINGGI UNTUK DIPAHAMI DENGAN ILMU-ILMU ZAHIR MAS. Praktek jahirnya jangan dilihat seperti itu… untuk sederhananya saya nukilkan sebagai berikut : ILMU-ILMU YANG DIKENAL OLEH ULAMA SALAF….
1. Ilmu tauhid (usuluddin) adalah ilmu yang bertugas membahas soal-soal itiqad seperti tauhid uluhiah rubububiyah asmaasifat, kerasulan, kudrat , iradat dan hari akhirat…
2. Ilmu fiqih membahas soal-soal ibadah secara jahir seperti solat, puasa zakat, haji, muamalah dan muasyarah.
3. Ilmu tasauf membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlaq dan budi pekerti yang bertalian dengan hati dan menghilangkan kecintaan pada dunia serta hanya bersandar kepadaa allah semata, memahami nafi isbat secara mendalam yang pada gilirannya akan melahirkan akhlak yang mulia seperti : iklas, khusyu, tawadhu, murakabah, mujahadah,sabar , redha, tawakal,
JADI RINGKASNYA
1. ILMU USULUDDIN (TAUHID) TA’LUK PADA ITIKAD
2. ILMU FIQIH TA’LUK PADA AMAL IBADAH
3. ILMU TASAUF TA’LUK PADA AKHLAQ.
DALAM PERJALANNAN SEJARAH KETIGA ILMU INI TERKONTAMINASI 1. Filsafat dan ilmu kalam itu berkontaminasi dengan Ilmu Usuluddin yang dikenal dengan Ilmu tauhid…melahirkan faham-fakham..seperti mujasimah…dsb
2. Ilmu Fiqih terkontaminasi dengan Faham Anti Mazhab (Ibnu Taimiyah Rah.a sebelum beliau Bertobat) Yang dilanjutkan oleh Faham wahabi kemudian berubah nama salafy (karena nama wahabi menjadi kurang familiar dikaitkan dengan sejarah kelamnya) dengan mengambil pendapat-pendapat Imam Ibnu Taimiyah Rah.a sebelum beliau bertobat.
3. Ilmu Tasauf terkontaminasi dengan Ilmu sihir..Ruqyah sesat yang mengandalkan jin kafir…yang didasari penyakit Waham…(terlalu cinta dunia dan takut mati)..maka lahirlah tarekat-tarekat yang tidak ada hubungannya dengan ilmu Tasauf yang dipahami oleh ulama-ulama salaf….
Kesemua ilmu ini masing-masing dipelopori oleh ulama-ulama generasi salaf juga pada generasi khalaf…
1. Ulama-ulama Ilmu Usuluddin
a. Abu hasan Al Asy’ary wafat 324 H
b. Abu Mansyur Al Maturidi wafat 333 H
c. Al Baqilani wafat 403 H
d. Al Asfaraini wafat 406 H
e. Al Qusyari wafat 465 H
f. Al Juaini wafat 460 H
g. dll
2. Ulama-ulama Ilmu Fiqih
a. Imam Hanafi wafat 150 H
b. Imam maliki wafat 179 H
c. Imam Syafii wafat 205 H
d. Imam Hambali wafat 241 H
e. Imam Juawaini wafat 460 H
f. Dll..
3. Ulama-ulama Ilmu Tasauf
a. Imam Hasan Basri wafat 110 H
b. Rabiatul Adawiayah wafat 135 H
c. Imam Sufyan Tsuri wafat 161 H
d. Ibrahim bin Adam wafat 161 H
e. Syaqiq Al Baqi wafat 185 H
f. Siri Siqthi wafat 257 H
g. Dzin Nun Al Mishri wafat 245 H
h. Juneid Al Bagdadi wafat 297 H
i. Imam Al Gazali
Saya sangat memahami pemahaman anda sangat anti tasauf seperti yang anda tutup dengan -Na’udzubillaahi min dzaalik-….. soal prakteknya orang berzikir sambil mengeraskan suara (saya belum melihat apa menari-nari ya?….setahu saya tidak seperti itu)..kalau dia menari-nari mungkin sudah terkontaminasi….kalau masih asli hanya menggeleng-geleng kepala saja untuk kosentrasi…….. betul seperti mutiarazuhud….jangan kita memfatwakan sebab ada hadis dari Rasulullah….Abu Said Al Khudri menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda :Hendaklah kamu banyak berzikir kepada Allah, sehingga orang orang mengatakan bahawa kamu telah gila. / akhli ria.(HR Al Hakim dan menilainya sahih, Ahmad,Ibnu Hibban dan Al Baihaqi)…untuk perkara ini mungkin Mas Alamsyah akan mengerutkan keningnya…dan saya yakin segra akan cepat-cepat membuka kitabnya…cuman saya sarankan silahkan buka kitabnya yang pasti disarahkan oleh Al bani…tapi saya sarankan juga baca kitab dari ulama tasauf soal menerima atau tidak itu hak Mas Alamsyah….Kalau kita ingin jadi dokter jangan referensi kita ke kitab farmasi…seribu referensi dari kitab farmasi tidak bisa menjadikan antum seorang dokter…wallahualam..
Yg lebih faham orang yg merasakan, dan dibrikan banyak bukti tentang kekuasaan, WASALM
dari pengalaman pribadi , zikir awalnya jelas kalimatnya, namun bila diteruskan cepat maka suaranya tidak jelas lagi, juga dengan suara yang keras. baru sadar setelah mendapat hidayah bahwa ALLAH SWT itu dekat dan tidak tuli serta menyukai kelembutan. maka yang benar zikirlah dengan kalimat yang jelas, perlahan dan lembut sehingga bisa khusyuk. pada orang tertentu orang yg zikir cepat, tdk jelas kalimatnya, cepat dan goyang berlebihan, bisa dimasuki setan yang mengaku wali, baik dalam keadaan sadar ataupun kesurupan. benar seperti yang dikatakan oleh mutiara zuhud, niatkanlah ibadah demi ALLAH SWT semata mata, maka kita akan diberi ilmu yang langsung maupun melalui seorang guru.
InsyaALLAH sy yakin RASULALLAH SAW, Imam Syafi’i Ra serta Sufi yang asli tdk akan zikir seperti orang kemasukan setan. itu adalah perbuatan orang wahabi yang menyebarkan kesesatan. apalagi ngaku Sufi terus memberi benda seperti jimat, keris, batu dll untuk dikeramatkan, jadinya kita andalkan benda rersebut, lupa bahwa ALLAH SWT pemilik langit, bumi dan segala isinya, hanya kepadaNYA kita berlindung dan memohon pertolongan. banyak orang awam yg diberi benda yg memang memiliki kekuatan, tapi darimana kita tahu apa isi benda itu sesungguhnya, kalau ada makhluk gaibnya, makanannya apa, bagaimana mengontrolnya, disinilah setan bermain, kita jadikan benda teman dekat namun kita sekeluarga disesatkan dan diserang dengan kejam!!!
saya hanya ingin ketegasan sikap anda tentang amaliah-amaliah seperti berdzikir sambil menari-nari (tarian sufi), bernyanyi-nyanyi (nyanyian sufi), berdzikir dengan lafadz “Allah…Allah…”-sampai ribuan kali-
sekali lagi saya tanya, bagaimana sikap anda terhadap amaliah-amaliah tsb? apakah amaliah-amaliah tsb termasuk sunnah atau bid’ah?
hanya ada dua pilihan saja mas, saya rasa pilihan seperti itu tidaklah sulit bagi seorang mutiara zuhud yg bahkan sudah ‘mampu’ mengkritisi seorang ulama besar macam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah……
Kita harus melakukan “verifikasi” kepada mereka yang melakukan amaliah-amaliah tersebut. Untuk itu saya merasa bukan wewenang saya secara pribadi. Kegiatan “verifikasi” seperti iitu merupakan wewenang sebuah majelis ulama dan hasilnya merupakan sebuah kesepakatan ulama atau fatwa ulama.
Saya pribadi menghindari fatwa pribadi atau fatwa kelompok yang sepemahaman saja.
Saya tidak ingin seperti saudara-saudara ku Salafy yang membuat fatwa berdasarkan metode pemahaman mereka sendiri.
saya bukannya meminta anda untuk berfatwa, keliru anda…..yang ada, saya hanya meminta anda untuk mengungkapkan apa yang anda ketahui mengenai amaliah-amaliah seperti itu berdasarkan dengan apa yang sudah anda pelajari selama ini,
lagipula, mengapa anda tidak mempunyai wewenang? bukankah anda sudah mampu mengkritik seorang ulama besar seperti Ibnu Taimiyah? masa’ untuk menentukan sikap terhadap hukum amalan seperti itu saja anda tidak mempunyai wewenang? apakah anda tidak mengetahui hukum tentang amaliah-amaliah tersebut? tentu mustahil bagi orang yang telah mampu mengkritik Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah seperti anda. itu yang pertama,
yang kedua, kalau memang anda tidak mempunyai wewenang memverifikasi hukum suatu amalan, lalu apa wewenang anda mengkritik Ibnu Taimiyah di dalam blog anda ini? bahkan sampai menganjurkan umat muslim untuk meninggalkan beliau, seorang ulamakah anda? sebandingkah ilmu anda dengan beliau?
ketiga, kalau memang anda menghindari ‘fatwa pribadi’ atau ‘fatwa kelompok’, lalu apa artinya blog anda ini? untuk apa anda membuat blog ini? padahal di dalam blog ini, anda berkata : “Saya menyarankan kepada saudara-saudara muslim Salafy, sebaiknya untuk meninggalkan metode pemahaman Salafy (Salaf ala Syaikh Ibnu Taimiyah).”, apakah itu bukan ‘fatwa pribadi’?
ternyata ucapan dan perbuatan anda tidaklah sesuai.
keempat, salafi tidak pernah berfatwa berdasarkan pemahaman sendiri, melainkan berdasarkan Al-Quran dan Hadits menurut pemahaman Salafush Shalih yakni orang-orang terdahulu yang shalih-shalih tentunya.
kelima, mengapa jika untuk mengkritik seorang ulama, anda mempunyai wewenang, akan tetapi untuk menentukan sikap terhadap amaliah yang ada di dalam kelompok atau golongan anda, anda tidak mempunyai wewenang? kenapa? kenapa? kenapa? apakah didalam tasawuf memanglah seperti itu? yakni seorang sufi di beri wewenang seluas-luasnya untuk mengkritik ulama Ahlus Sunnah seperti Ibnu Taimiyah walaupun keilmuan mereka masih terbatas?
saya harap pertanyaan-pertanyaan saya diatas di jawab satu persatu dan saya harap juga jawabannya tidaklah dalam berbentuk link atau kata-kata copy-paste.
-terima kasih-
Sekali lagi saya tidak akan menyatakan pendapat/penilaian tanpa saya melakukan verifikasi kepada mereka yang melakukan amaliah-amaliah tersebut. Saya tidak akan mengulang apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Taimiyah mengeluarkan pendapat atau menilai saudara muslim lain sebagai ahlul bid’ah secara sepihak berdasarkan pemahaman beliau dan kaumnya tentang bid’ah. Padahal dengan menyebut saudara muslim lain sebagai ahlul bid’ah dan menurut pemahaman mereka segala bid’ah tertolak maka dengan kata lain mereka menyatakan sesat kepada saudara muslim lainnya. Kita ketahui ada sebuah proses yang harus dilakukan untuk menyatakan seorang atau sekelompok muslim itu sesat atau bahkan kafir, agar pihak yang dinilai diberikan hak menjawab atau menguraikan pemahaman mereka. Sedangkan proses tersebut tidak dilakukan orang per orang namun dilakukan sebuah majelis atau lembaga yang berwenang.
Sekali lagi saya tidak melakukan kritik kepada Ibnu Taimiyah, saya sekedar menyampaikan perbedaan metode pemahaman Ibnu Taimiyah dengan metode pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah. Apalagi perbedaan tersebut ada pada masalah mendasar/pokok yakni i’tiqad. Sehingga hasil / upaya ijtihad Ibnu Taimiyah ditolak oleh jumhur ulama pada zamannya. Imam Mujtahid yang diakui adalah yang tidak ditolak oleh jumhur ulama. Lihatlah bantahan-bantahan ulama pada ijtihad Ibnu Taimiyah khususnya pada bidang pokok yakni i’tiqad di https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/07/itiqad-salafi/
Perlu saya tekankan disini, saya tidak meminta anda untuk menilai orang per orangnya, akan tetapi saya meminta anda untuk menilai PERBUATAN dari amaliah-amaliah tersebut, terlepas dari orang yang melakukannya.
seperti contohnya zina, perbuatan zina itu hukumnya haram, terlepas dari apakah zina itu dilakukan atas dasar suka sama suka atau tidak, akan tetapi tetap bahwa hukum zina adalah haram, tanpa perlu kita selidiki terlebih dahulu orang yang melakukan perbuatan zina tersebut,
seperti itulah kira-kira analoginya.
dan satu lagi yang perlu anda pahami bahwa tidak semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah itu dikatakan ahlul bid’ah, karena bisa saja orang yang melakukan perbuatan bid’ah tersebut tidak tau kalau perbuatan tersebut adalah bid’ah. Lain halnya jika orang yang melakukan bid’ah itu telah mengetahui kalau perbuatan itu bid’ah, namun ia masih tetap melakukannya, barulah dia bisa dikatakan ahlul bid’ah. Sebagaimana kita juga tidak boleh menyebut orang sembarangan dengan sebutan ‘kafir’.
Seperti itulah akhlak dan keyakinan dari Salafush Shalih.
maka, perlu dibedakan antara ahlu bid’ah dengan orang yang melakukan bid’ah,
pertanyaan saya nomor dua dan tiga belum dijawab mas,
ulama mana yang menolak fatwa Ibnu Taimiyah? ulama Shufiyyah iya jelas, sampai kapanpun, sufi dengan tasawuf-nya akan menentang Ibnu Taimiyah sebagaimana para pendahulu mereka yang menentang dakwah sunnah-nya Ibnu Taimiyah dahulu karena sampai kapanpun antara dakwah sunnah dengan dakwah bid’ah akan terus terjadi pertentangan.
jadi, saya tidak heran jika ada seorang sufi dengan ilmu ala kadarnya menentang seorang Ulama Besar seperti Ibnu Taimyah, semoga Allah merahmati beliau.
Jika patokan dasar anda menolak Ibnu Taimiyah karena beliau ditolak oleh jumhur ulama (ulama sufi) pada zamannya. Tentu hal itu merupakan dasar pemikiran yang keliru.
Jika anda membaca sejarah, bukan hanya Ibnu Taimiyah saja mas yang ditolak bahkan dipenjara karena beliau mempertahankan Sunnah, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah juga pernah mengalami hal yang serupa.
Beliau (Imam Ahmad) juga pernah dipenjara selama 28 bulan, ketika dipenjara beliau mengimami shalat para penghuni penjara dalam keadaan kedua kakinya diborgol, bahkan beliau juga pernah dicambuk hingga darah mengalir dari tubuh beliau.
Bernyanyi-nyanyi mungkin suatu tambahan…sehingga Ilmu Tasauf sudah terkontaminasi dengan Ilmu sihir..Ruqyah sesat yang mengandalkan jin kafir…yang didasari penyakit Waham…(terlalu cinta dunia dan takut mati)..maka lahirlah tarekat-tarekat yang tidak ada hubungannya dengan ilmu Tasauf yang dipahami oleh ulama-ulama salaf…. apalagi kalau dikutib oleh faham anti tasauf ….Kalau mas Alamsyah mau tahu hadisnya ya itu seperti saya sudah kemukakan….hadis dari Rasulullah….Abu Said Al Khudri menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda :Hendaklah kamu banyak berzikir kepada Allah, sehingga orang orang mengatakan bahawa kamu telah gila. (HR Al Hakim dan menilainya sahih, Ahmad,Ibnu Hibban dan Al Baihaqi)… dalam riwayat lain…..”Berzikirlah sebanyak2nya sehingga org2 munafik menganggap kau ahli riak.” Orang orang yang berzikir itu akan dianggap sebagai gila atau akhli ria apabila mereka ini berzikir sebanyak2nya dan sekuat2nya (jahr), bukanlah dengan perlahan (sirr).
Hadrat Fudhail rah a berkata”Bahawa meninggalkan suatu amalan kerana takut diperlihatkan, maka inilah riak namanya dan melakukan sesuatu supaya orang melihatnya ini adalah syirik yang nyata” yang pasti dalam suatu kolompok akan ada bias yang dibuat oleh murid-muridnya berkenan dengan sumpah Iblis untuk menyesatkan manusia….jadi betul pak Badar katakan “apalagi ngaku Sufi terus memberi benda seperti jimat, keris, batu dll untuk dikeramatkan, jadinya kita andalkan benda rersebut, lupa bahwa ALLAH SWT pemilik langit, bumi dan segala isinya, hanya kepadaNYA kita berlindung dan memohon pertolongan. banyak orang awam yg diberi benda yg memang memiliki kekuatan, tapi darimana kita tahu apa isi benda itu sesungguhnya, kalau ada makhluk gaibnya, makanannya apa, bagaimana mengontrolnya, disinilah setan bermain, kita jadikan benda teman dekat namun kita sekeluarga disesatkan dan diserang dengan kejam!!!”…..disitulah masalahnya mas… kuncinya yang perlu kita pegang….
1. ILMU USULUDDIN (TAUHID) TA’LUK PADA ITIKAD
2. ILMU FIQIH TA’LUK PADA AMAL IBADAH
3. ILMU TASAUF TA’LUK PADA AKHLAQ.
Ilmu Tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan lain-lain.
Kalau ilmu tasawuf itu sebatas seperti di atas saja, maka dalam hal apa ketidak sepahaman syaikh ibnu taimiyah dengan ilmu tasawuf ?
saya berani nyatakan bahwa zikir kesurupan bukan zikir Sufi asli dan ahlul sunah wal jama’ah. itu zikir sesat dan ditemani setan. apa kurang jelas yang saya terangkan diatas? kalau mau jelas jangan tanyakan sebelum menjalankan hal tersebut, nanti seperti orang buta masuk jurang. ibnu tai miyah kalau sama dengan LDII, salafiyah, dll yang merasa diri paling benar, nyatakan bid’ah sesuka hatinya terhadap hal seperti qunut, doa, orang mati tdk usah ditahlilkan, baca Yasindll. punya masjid sendiri, kalau orang shalat disana bukan golongannya, bekas tempat shalatnya disiram air. sesungguhnya merekalah manusia najis dan menjijikkan.
saya tidak pernah menyinggung-nyinggung soal dzikir kesurupan mas, yg saya tanyakan itu adalah hukum dzikir sambil menari-nari, tolong kata-kata saya jangan dipelintir seperti itu, sejak kapan menari-nari itu disinonimkan dengan kesurupan? tolong juga jangan dialihkan permasalahannya ke dzikir kesurupan, soalnya dari makna kedua kata tsb aja sudah beda mas antara menari dengan kesurupan….
Ibnu Taimiyah koq disamain dengan LDII? Salafi koq disamain dengan LDII? koq anda bisa ya bicara seperti itu? dasarnya apa ya? kalo ternyata tidak terbukti kan namanya jadi fitnah mas….tolong dipelajari dulu, diteliti dulu sebelum bicara, siapa itu Salaf, siapa itu Salafi, dan siapa itu LDII….lucu sekali menurut saya, Salaf koq disamain dengan LDII…..?
kalo bahasa jawanya itu, anda itu ngomongnya udah ‘asal jeplak’ mas, kalo ‘asal jeplak’ seperti itu, anak kecilpun juga bisa melakukannya….
kalo soal merasa paling benar, itu sudah tabi’at, sifat, dan kodrat manusia mas, seperti halnya anda yg juga pastinya apa yg anda sampaikan adalah benar menurut keyakinan anda, bukankah begitu? akan tetapi merasa paling benar itu haruslah disertai dengan ilmu dan ada pembuktian ilmiahnya, tidak asal bicara saja…..
ini adalah kelucuan anda yg kedua, apakah benar yg membuat masjid sendiri itu adalah ikhwan salaf? benarkah yg bukan golongannya tidak boleh shalat disitu? bahkan bekas tempat shalatnya disiram dengan air, benarkah demikian? kalo tidak benar, hukumnya jadi fitnah mas…
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata.” (Q.S An-Nisa’ : 112)
“Barangsiapa yg menuduh seorang muslim secara dusta, maka Allah akan menempatkannya di tanah lumpur neraka sehingga dia mencabut ucapannya.” (H.R Abu Dawud : 3597, Ahmad 11/70, al-Hakim dalam al-Mustadrak 11/27 dan beliau menshahihkannya)
atau apakah anda cuma dengar dari orang-orang saja?
kalo cuma dengar dari orang lain saja, cukuplah Sabda Rasulullah yg menjelaskannya ;
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Cukuplah seseorang dianggap berdusta apabila dia senantiasa menceritakan semua yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam mukadimah shahihnya)
kalo LDII yg melakukannya, saya percaya mas karena mereka memang memiliki masjid sendiri dan orang-orang diluar kelompoknya kafir bahkan najis.
berdasarkan pengalaman, justru selama ini sebaliknya mas, ikhwan salaflah yg suka mendapat perlakukan tidak menyenangkan, bahkan saya pernah diinjak kaki saya hanya karena saya ingin menempelkan kaki saya demi merapatkan shaf shalat…..
kalo tuduhan-tuduhan bahwa Salafi membuat masjid sendiri (tidak mau bergabung dengan kaum muslimin), mengkafirkan seorang muslim bahkan menajiskan seorang muslim itu saya berani katakan kalo itu hanyalah tuduhan-tuduhan kosong tanpa bukti, karena selama ini banyak orang yg mengaku-aku Salaf mas, sebagaimana banyaknya ahlul bid’ah yg mengaku-aku Ahlus Sunnah,
seperti pengalaman saya dulu, saya pernah shalat di masjid yg nama masjidnya ‘As-Salafiyah’ di daerah Jakarta, ternyata masjid tsb ada kuburannya, padahal yang saya pelajari bahwa Aqidah Salaf yang berdasarkan Al-Quran, Hadits dan ijma para Sahabat tidak pernah mengajarkan mendirikan masjid di kuburan atau sebaliknya karena Rasulullah bersabda :
“Laknat Allah atas Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (H.R Al-Bukhari (no.435, 436, 3453, 3454, 4443, 4444, 5815, 5816) dan Muslim (no.531(22)) dari ‘Aisyah)
‘badar’ berkata berdasarkan hawa nafsunya ;
“…..sesungguhnya merekalah manusia najis dan menjijikkan……”
Subhanallah….inikah ajaran tasawuf yg katanya beragama menurut ‘mata hati’ itu? beragama berdasarkan ‘mata hati’ koq bisa sampai keluar ucapan-ucapan ‘kotor’ seperti itu ya?
Jadi bisa terlihat sekarang, sebenarnya siapa disini yg menajiskan dan siapa yg dinajiskan? Salafi yg dinajiskan atau Salafi yg menajiskan? jawabannya bisa terlihat dari perkataan bung ‘badar’ diatas ini…
Sejauh yg saya pelajari selama ini, Salafi tidak pernah menajiskan Sufi bahkan LDII, ga tau juga kalo misalnya Sufi yg menajiskan Salafi…..
…..waallahu ‘alam……
Bagi saya sebesar apapun karunia yang diperoleh dalam pemahaman Al-Qur’an dan Hadits, sebaiknya tidak menilai atau memvonis atau melabeli yang tidak baik atau menajiskan atau bahkan mengkafirkan terhadap saudara-saudara muslim kita lainnya. Termasuk pengakuan bahwa “pemahaman saya” yang paling benar , bisa merupakan sebuah kesombongan atau bahkan ujub karena besaran karunia Allah, dalam pemahaman Al-Qur’an dan hadits begitu luas dan dalam.
Firman Allah yang artinya,
“Maka jika Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya Roh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS Al Hijr (15):29)
“Kemudian Dia menyempurnakan penciptaannya dan Dia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Dia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, tapi sedikit sekali kamu bersyukur” (QS As Sajadah (32):9)
Sesungguhnya ruhNya yang ditiup kepada manusia akan terrefleksi pada manusia. jika manusia itu mengikuti sifat-sifat Allah seperti contoh manusia yang pemurah dan penyayang. Sedangkan sebaliknya sebagai contoh manusia yang pemarah, kikir, pembohong adalah bentuk keterkukungan ruh dalam hawa nafsu belaka.
assalamualikum hai saudara2 ku sekalian,,,jngn lah kita saling menyalah kan dan mersa ajaran kita yang paling benar..ingat,,kebenaran itu hanyalah milik allah swt semata.dia lah yang bsa menilai dan memutuskan mana yang baik dan mana yang tidak baik..kita sebagai manusia hanya lah mahkluk yang dciptakan untuk menyembah dan mematuhi semua aturan yang di buat oleh nya..jadi jangan telalu banyak ber argument dan berandai2 kalo kita tidak tau kebenaran diatas yang benar..
Dalil Bolehnya Mengahayunkan Badan Sambil Berdzikir (Nampak Seperti menari)
Berkenaan dengan dzikrullah, Allah SWT berfirman (ArtinyaNya) : ” Yaitu orang -orang yang menyebut dan mengingati Allah semasa mereka berdiri dan duduk dan semasa mereka berbaring mengiring, dan mereka pula memikirkan tentang kejadian langit dan bumi (sambil berkata) : “Wahai Tuhan kami! Tidaklah Engkau menjadikan benda-benda ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab neraka.” ( Surah Ali ‘Imran, ayat 91 ). Ayat ini memberi isyarat bahwa ddzikrullah boleh dilakukan dalam berbagai keadaan dan gaya.
Ummul Mukminin ‘Aisyah R.Ha pernah melaporkan bahwa Rasulullah SAW berddzikirullah ( berddzikir kepada Allah ) dalam semua keadaan. Sedang berjalan, menaiki kenderaan, berbaring, duduk, dan bermacam-macam lagi pernah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW. Dalam suatu riwayat pernah diceritakan bahwa Jaafar bin Abi Talib ( sepupu Rasulullah ), pernah menari-nari melenggok lentuk di hadapan Rasulullah SAW sebaik saja beliau mendengar Rasulullah SAW menyebut kepada beliau, ” Allah menjadikan rupa paras mu seiras dengan Allah menciptakan daku.” Mendengar kata-kata yang seindah dan semurni itu, terus di ta’birkan dengan menari-nari di hadapan Rasulullah SAW. Tingkah laku beliau itu atau body language beliau tidak ditegur Rasulullah SAW.
Di sinilah dikatakan atau dijadikan asal usul sandaran bahwa menari-nari sambil berddzikir kepada Allah yang dilakukan oleh ahli tarekat atau golongan sufiyyah, ada sandarannya. Sahlah berlaku tarian di majlis dzikir yang dihadiri oleh ulama’ besar yang muktabar. Antara mereka ialah Al-Imam Izzuddin Abdus Salam dan tidak diingkarinya. Ditanya Syaikhul Islam Sirajuddin al-Balqini tentang persoalan tari menari dalam majlis dzikir, lalu dijawab beliau dengan mengiyakannya, yakni boleh dilakukan. Ditanya al-A’llamah Burhanuddin al-Abnasi, perkara yang sama maka beliau menjawab dengan membolehkannya. Ditanya ulama’ besar dalam mazhab Hanafi dan Maliki, semuanya menjawab, ‘tidak mengapa dan boleh dilakukan.’ Semua jawaban ini dibuat dengan bersandarkan kepada ayat di Surah Ali Imran di atas beserta hadis yang diriwayatkan oleh Jaafar Abi Talib.
dzikir (dalam hati) sambil buang air besar aja boleh….!!
masa dzikir sambil mengayunkan badan tak boleh!!
dzikir dimana dan kapan saja….!!
saudara alamsyah terus menekankan bahwa zikir kesurupan adalah zikirnya sufi dan kaum ahlus sunah wal jama’ah, padahal itu adalah zikirnya orang yg mengaku sufi, aslinya cucu dajjal. anda sungguh berani menyamakan hukum zina dengan zikir. niat saudara adalah berharap mutiara zuhud akan mengatakan zikir kesurupan yang dilakukan sufi palsu itu bid’ah, maka semua zikir itu bid’ah, seperti zina dalam bentuk apapun tetap zina. ingatlah kaum Muslimin, hati hati dengan orang yang hanya pandai berbicara, tdk ada isinya. tujuannya hanya menyesatkan kita agar jangan berzikir. ALLAH SWT menyuruh kita untuk mengingatNYA(dalam bentuk zikir) dalam kondisi duduk, jalan, diam, sepanjang hari, tentunya semampu kita dengan penuh keikhlasan.
sekali lagi, saya tidak pernah menyinggung-nyinggung soal dzikir kesurupan, saya hanya tanya hukum dzikir sambil menari-nari, apa kurang jelas kata-kata saya?
siapa juga yg menyamakan dzikir dengan zina? tolong cermati dulu kata-kata saya, orang Islam paling bodoh (dalam hal agamanya) juga tau kalo dzikir dan zina itu berbeda, tidak sama, dzikir itu perbuatan taat, sedangkan zina perbuatan maksiat,
jadi (maaf) tidak sedangkal itu anda memahami kalimat saya….
kalo seandainya saya bilang bahwa dzikir sambil menari-nari (bukan kesurupan sebagaimana yg anda katakan) itu adalah bid’ah yg sesat, maka bukan berarti perbuatan dzikir itu adalah sesat, adapun dzikirnya bukanlah bid’ah yg sesat, bahkan termasuk Sunnah, akan tetapi yg bid’ah itu adalah cara pelaksanaan dan sifat dzikirnya itu sendiri,….
seperti contohnya jika ada seseorang yg melarang shalat subuh 3 rakaat, lantas bukan berarti orang yg melarang tsb telah melarang orang lain untuk shalat shubuh, yg terlarang adalah cara pelaksanaan shalatnya tsb yg menyelisihi Sunnah Rasulullah…..
kalo anda bilang bahwa orang-orang seperti saya tujuannya hanya untuk menyesatkan kita (ummat muslim) agar jangan berzikir.
maka saya bilang itu namanya su’udzon mas, bahkan saya berani bilang itu fitnah…..
kalo memang tuduhan anda benar, coba anda tunjukan satu kalimat saja dari saya yg menggambarkan tuduhan anda tsb….
hari gini bicara bid’ah mau jadi pahlawan kesiangan apa?
anda benar
orangmah g usah neko neko
waktunya shalat salat
: tidur tidur
: makan makan
Saudara Badar benar adanya.
Biasanya orang yang pintar bicara alias banyak omong biasanya seperti tong kosong nyaring bunyinya. justru orang mengerti dan paham di ibaratkan seperti padi, semakin dia berisi maka dia semakin tunduk.
Menurut saya Alamsyah and mutiarazuhud sebetulnya tidak memahami betul bagaimana mengenal allah dalam tasauf. justru dengan zikir dalam kondisi duduk sepanjang malam [semampunya] allah akan semakin dekat kepada kita. allah itu hanya sekedar menyandang nama, tapi tahukah anda siapa itu allah. justru dengan kita sering menyebut namanya kita akan melihatnya dengan mata batin kita. tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu dan menghidupkan dirimu bersama dengan-Nya.pahami kata ini dan jangan hanya pintar ngomong!!!!!!
kalau saya bisa memahami pendapat dari saudara alamsyah dia murni orang sareat dan hanya memahami perintah lima kali sehari semalam dan pada ahirnya nanti akan mati busuk setelah hidupnya pisah dari jasadnya atau kalau dia orang tarekat, jasadnya tidak busuk setelah berpisah dari hidup dan nyawanya. beda dengan tasauf yang tidak lepas dari Qur’an dan hadis yang lebih mengerti hakekat dan ma’rifat. orang yang mati ma’rifat adalah orang mengerti posisi semua hurup alip sampai hurup ya’ karena semua hurup itu punya posisi pada tubuh manusia itu sendiri.kalau kalan tidak bisa memahami ini, jangan banyak mengeluarkan energy nanti kalian menjadi lemah dan akan mati busuk
Maaf saya cuma coba MENYELA diskusi ini kebetulan saya agak terlambat masuk…maka saya mencoba menyimak kembali diskusi yang sudah ada agar bisa berimbang, indah dan kita dapatkan manfaat Imu didalamnya…shahih ??…mungkin menari-nari itu satu tambahan yang dibuat-buat kelompok mereka atau mungkin suatu tambahan…anti tasauf….tapi yang pasti Ilmu Tasauf sudah terkontaminasi dengan Ilmu sihir..Ruqyah sesat yang mengandalkan jin kafir…yang didasari penyakit Waham…(terlalu cinta dunia dan takut mati)..maka lahirlah tarekat-tarekat yang tidak ada hubungannya dengan ilmu Tasauf yang dipahami oleh ulama-ulama salaf…. apalagi kalau dikutib oleh faham anti tasauf ….MUNGKIN YANG DIINGINKAN MAS ALAMSYAH BELIAU MAU tahu hadisnya ya itu seperti saya sudah kemukakan….hadis dari Rasulullah….Abu Said Al Khudri menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda :Hendaklah kamu banyak berzikir kepada Allah, sehingga orang orang mengatakan bahawa kamu telah gila. (HR Al Hakim dan menilainya sahih, Ahmad,Ibnu Hibban dan Al Baihaqi)… dalam riwayat lain…..”Berzikirlah sebanyak2nya sehingga org2 munafik menganggap kau ahli riak.” Orang orang yang berzikir itu akan dianggap sebagai gila atau akhli ria apabila mereka ini berzikir sebanyak2nya dan sekuat2nya (jahr), bukanlah dengan perlahan (sirr). kETERANGAN Amak Alaudin juga dapat dijadikan pegangan….
MENGENAI KESURUPAN MEMANG ADA MAS….BELUM TAHU YA ??? KAYAKNYA MAS ALAMSYAH INI PAKAR KITAB..ATAU PAKAR TEORI TIDAK PERNAH TURUN LAPANGAN..
Alamsayah, Ilmu tasawuf banyak digunakan walisongo dalam mengislamkan penduduk indonesia pada waktu itu.Intinya Kalo anda katakan ilmu tasawuf sesat,sama saja anda katakan bahwa banyak ulama2 yang mempelajari ilmu tasawuf sesat.Apa wahabi dan antek2nya bisa melakukan apa yang dilakukan oleh walisongo, faham anda itu hanya soal bid’ah2 melulu,ampe butek juga berputerputer dalam hal itu.Padahal sejarah mencatat,perkembangan wahabi diikuti oleh pertumpahan darah yang nyata,mungkin karena mereka tidak pernah mempelajari ilmu tasawuf dan menyatakan bahwa tasawuf sesat dan bid’ah. mereka hanya pintar berputar2 dalam soal makna harfiah,seperti gelas tanpa isi.
Apakah benar walisongo beraqidah tassawuf? atau hanya klaim semata?
Siapa bilang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak punya kontribusi pada negara ini?
kalo anda belajar tentu tau, anda tau Imam Bonjol? anda tau Tuanku Nan Receh, anda tau Tuanku Nan Gapuk? mereka adalah beberapa pahlawan nasional yg telah berani memerangi bid’ah, kurafat dan maksiat dari kalangan kaum adat di zamannya sehingga meletuslah perang Padri dan mereka semua ini adalah para pejuang Islam yg memerangi kolonialisme Belanda.
(Lihat Pustaka Indonesia Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air oleh Tamar Djaja, cet. VI, 1965, Penerbit Bulan-Bintang, Jakarta, hal.339 dst.)
kenapa dakwah tentang bid’ah itu sangat penting? karena iblis dan bala tentaranya lebih menyukai anak adam melakukan bid’ah daripada maksiat, karena perbuatan maksiat bisa membuat seseorang suatu saat bertobat, akan tetapi orang yg melakukan bid’ah akan sulit untuk bertobat karena merasa bahwa tindakannya itu benar…..
itulah bahayanya bid’ah selain syirik…..
karena lawan dari tauhid adalah syirik dan lawan dari sunnah adalah bid’ah…..
maka sunnatullah-nya adalah
jika kita berdakwah tauhid, maka siap-siaplah akan mendapat pertentangan dari orang-orang musyirikn, begitu juga jika kita berdakwah sunnah, maka akan mendapat pertentangan dari ahlul bid’ah dan orang-orang yg melakukan bid’ah……
tasawwuf koq dibilang aqidah?
Iblis juga suka dg orang yg sombong dan merasa tinggi dg ilmunya…
Dan iblis pulalah yg menyuruh kita untuk mengaku-ngaku sbg kaum Salaf, padahal mungkin akhlak kita jauuuuh dr akhlak kaum Salaf. Bahkan bisa jadi kita sibuk mengaku2 sbg Salafi, tapi Allah tak mengakui sbg Salafi.
Ibadah itu tidak usah pakai ngaku-ngaku, cukup menghamba saja.
Semakin berilmu semakin merasa tak berilmu…(Kiasan)
Semakin beribadah semakin merasa tak beribadah…(Kiasan)
Pertumpahan darah / peperangan demi kebenaran itu diajarkan oleh Rasulullah SAW. buktinya sekarang Masjid nabi bebas dari perbuatan orang2 sufi dan kesesatan serta penyimpangan-penyimpangan lainnya yang menjerumuskan ke dalam kesyirikan.
Ciri2 dr kaum Khawarij, mereka lebih senang menumpahkan darah sesama muslim drpd memerangi akidah org2 kafir
Salafi…salafy…wahabi…wahabi…. tidak bisa membedakan Ilmu Akidah (tauhid) dan Ilmu Akhlak (tasauf) ….”Apakah benar walisongo beraqidah tassawuf? atau hanya klaim semata? “makanya tidak bisa membedakan mana ikhtilaf (khilafiyah) mana bidah….sehingga tega membenarkan pembunuhan ulama-ulama mazhab(seperti Mufty mekah seorang ulama syafii yang dibunuh oleh kelompok syekh Abdul wahab…)..baru mensejajarkan dirinya dengan Rasulullah saw. Nauzubillahi minzalik…….INI PERNYATAAN MEREKA SENDIRI YANG PERTAMA DALAM DISKUSI INI…CATAT INI BAIK-BAIK……..
Walisongo tidak belajar tasawuf, makanya mereka langsung memenggal kepala syaikh siti jenar ahli sufi pada masa itu.
Apakah karena walisongo itu wahabi ?
syaikh siti jenar itu mengikuti paham ittihad/hulul/wihdatul wujud oleh karena itu aqidah ini bertentangan dengan tasawuf
PENDAPAT MANUNGGALING KAWULO-GUSTI, LAHIR DARI KEBODOHAN DALAM ILMU TAUHID (Lihat Al hawi Lil Fatawa Lil Al hafidz Jalaluddin As-syuyuti Juz 2 Halaman 134)
ooo..rupanya antek wahabi yg bicara, pantas kita yang menjalankan sunah Nabi MOHAMMAD SAW dianggap syrik dan ahli bid’ah!!! pahlawan nasional bukan pahlawan Islam, juga akhlaknya yg asli belum diketahui. banyak pahlawan kesiangan yang ternyata cucu dajjal. sudah jelas alamsyah bin ibnu tai miyah bin aduh wahab tdk pernah mempelajari tasawuf, berani meremehkan pahlawan Islam seperti WALISONGO. kalau tidak ada WALISONGO, kita mungkin saat ini sedang menyembah sapi,tikus, monyet, pohon, berhala yang merupakan agama asli di Indonesia.kontribusi wahabi di Indonesia adalah merusak agama Islam dan menyebarkan kebencian kepada junjungan kita NABI BESAR MOHAMMAD SAW. kalau mau tahu, wahabi bilang orang tua RASULALLAH SAW masuk neraka, Ka’bah mau dipindahkan, kita semua juga masuk neraka kalau tdk ikut wahabi. saya hanya dapat berdoa semoga ALLAH SWT memberikan kekuatan iman kepada Ahlus sunah wal jama”ah, azablah dengan penuh kesengsaraan kepada orang yg merusak Islam didunia dan akherat, aminnn ya Robbal Alamin.
Siapa bilang orang tua rasulullah SAW masuk Surga mana dalilnya. mereka berdua di dalam neraka ada dalilnya.
Rasulullah SAW aja ridho menerima takdirnya, kenapa kita tidak ?
Mana cerita kaum sufi mengikuti menjalankan sunnah Rasulullah SAW?
Kaum sufi menghormati wali/orang soleh dengan membuat bangunan di atas kuburnya. tapi rasulullah SAW bilang bahwa perbuatan itu adalah perbuatan SEJAHAT-JAHAT MAKHLUK supaya jangan diikuti.
Rasulullah SAW bilang jangan melakukan ibadah dan perayaan di kuburan, tapi mereka melanggarnya.
Siapa bilang orang tua rasulullah SAW masuk Surga mana dalilnya. mereka berdua di dalam neraka ada dalilnya.
Rasulullah SAW aja ridho menerima takdirnya, kenapa kita tidak ?
Na’udzubillah minjalik! Ya Allah ampunilah kami.
Bagi orang-orang yg memiliki akal, tentu bisa melihat disini kadar keilmuan dari seorang manusia yg bernama ‘badar’ ini, si ‘badar’ ini berbicara tanpa ilmu, perkataannya tidak lain hanyalah luapan emosi belaka yg lebih mengedepankan hawa nafsunya, perkataannya tsb semakin menandakan ketidakmampuan si ‘badar’ ini dalam berargumen secara ilmiah, yg ‘badar’ bisa hanyalah menuduh (tanpa bukti), mencela, memfitnah, mencaci maki serta bersumpah serapah saja, seperti itulah akhlak dan adab seseorang yg tidak memiliki ilmu tapi ngomongnya besar…..saya maklumi……
si ‘badar’ berkata ;
“……berani meremehkan pahlawan Islam seperti WALISONGO…..”
komentar saya ;
Siapa yg meremehkan Walisongo? coba tunjukan bukti bahwa saya meremehkan walisongo, kalo tidak ada bukti, maka sama saja bahwa anda telah memfitnah saya…..
saya hanya bertanya, apakah benar walisongo itu beraqidah tasawuf? ataukah itu hanya klaim sepihak dari orang-orang sufi saja sebagaimana mereka (sufi) juga mengklaim bahwa Rasulullah adalah seorang sufi?
si ‘badar’ ini menganggap orang-orang yg bersebrangan dengannya (dalam hal ini yg dimaksud pastinya adalah Salafi) sebagai cucu dajjal (baca; kafir), bukankah itu artinya bahwa si ‘badar’ dengan kepandirannya ini secara tidak langsung telah mengkafirkan Salafi? jadi siapa disini yg suka mengkafirkan seorang muslim? Salafi yg suka mengkafirkan atau justru Salafi yg dikafirkan? jawablah dengan akalmu itu…..
Merupakan Sunnatullah bahwa akan banyak celaan, fitnah, dan tuduhan yang miring yang dilontarkan kepada orang-orang yang menyebarkan dakwah tauhid, memberantas syirik, bid’ah dan mengingatkan ummat atasnya.
Sebagaimana yg pernah menimpa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yang dalam menyebarkan dakwahnya beliau dicela, difitnah, bahkan disakiti oleh orang-orang yang tidak menyukai dakwah tauhid beliau.
Maka barangsiapa yang mengaku mengikuti Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam beragama dan berdakwah, pasti akan mengalami hal yang sama seperti Rasulullah dahulu yakni dicela, difitnah dan mendapat tuduhan-tuduhan yang jauh dari kebenaran untuk menjauhkan ummat kepada dakwah tauhid yang dibawanya.
Sederhana aja akhi…
Sedikit tentang hadits riwayat yang ditulis oleh pemilik blog ini tentang Abu Hurairah Radliyallahu anhu yg menyimpan separuh dari sekantong ilmu. Ini tidak ada satupun dari kitab 4 imam mazhab(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dan 9 imam pencatat kitab hadits termasyhur ( Malik, Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Darimi) yg mencatatnya . Hadits tersebut maudhu ’ alias palsu.
Perbedaan paling nyata antara para pengikut Nabi beserta Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (tabi’in dan tabiut tabi’in dan seterusnya) di Ridhai ALLAH Subhanahu wata’ala ( At-Tawbah : 100 ) mengikuti dengan baik perintah ALLAH bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah (baca ayat Q.S.ke – 9 At-Tawbah : 6) dan ALLAH berada di Arsy NYA.
Sedangkan para sufi sependapat dengan Jahmiyah dan Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan ALLAH ada dimana – mana.
Pepatah orang tua kita terdahulu “Jangan mengukur baju orang lain di badan sendiri” maksudnya janganlah menetapkan sesuatu tentang orang lain dengan membandingkan dan mengukurnya dengan ukuran kita sendiri. Janganlah menghukumi perbuatan orang lain berdasarkan sebatas pengetahuan atau pemahaman kita sendiri terhadap Al Qur’an dan Hadits.
Sebaiknya hindarilah menghukumi perbuatan atau amalan muslim lainnya hanya berbekal hadits-hadits yang terbukukan dalam kitab-kitab hadits saja karena banyak pula hadits-hadits terkait amal kebaikan yang tidak terbukukan dan disampaikan secara turun temurun (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin ) yakni amalan yang dipraktikan dan diwariskan secara turun temurun sejak zaman Nabi sampai sekarang.
Hal yang perlu kita ingat, tidak semua hadits-hadits terbukukan dalam kitab-kitab hadits, seperti hadits-hadits terkait amal kebaikan untuk taqarrub ilallah yang tidak harus disampaikan dan diketahui kebanyakan orang yakni hadits-hadits yang harus disampaikan secara langsung melalui lisan dalam bentuk bimbingan karena kalau salah menerima dan memahaminya sehingga salah paham bahkan berakibat akan membunuh orang yang menyampaikannya.
Sahabat Nabi, Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata , ” Aku menerima sekantung ilmu dari Rasulullah. Separuh kantung aku bagikan kepada kamu semua dan separuhnya lagi aku simpan buat aku sendiri . Karena jika yang separuh lagi itu aku bagikan juga , niscaya kalian akan mengkafirkanku dan menggantungku”
Separuh kantung yang telah dibagikan dan harus diketahui kebanyakan orang adalah ilmu syariat dan separuh kantung lainnya adalah ilmu seperti “Hai’atil Maknun”
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata “Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menggambarkan ilmu yang tidak dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia sebagai “Haiatul Maknun” artinya “perhiasan yang sangat indah” yang diterima oleh para ulama Allah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seorangpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salamy)
Salah satu perhiasaan yang indah adalah amal kebaikan berupa tawasul dengan hadiah bacaan Al Fatihah sebelum doa inti kita panjatkan kepada Allah Azza wa Jalla
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi; Telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Al Mutawakkil dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa beberapa orang sahabat melakukan perjalanan jauh dan berhenti untuk istirahat pada salah satu perkampungan ‘Arab, lalu mereka minta dijamu oleh penduduk kampung itu. Tetapi penduduk enggan menjamu mereka. Penduduk bertanya kepada para sahabat; ‘Adakah di antara tuan-tuan yang pandai mantera? Kepala kampung kami digigit serangga.’ Menjawab seorang sahabat; ‘Ya, ada! Kemudian dia mendatangi kepala kampung itu dan memanterainya dengan membaca surat Al Fatihah. Maka kepala kampung itu pun sembuh. Kemudian dia diberi upah kurang lebih tiga puluh ekor kambing. Tetapi dia enggan menerima seraya mengatakan; ‘Tunggu! Aku akan menanyakannya lebih dahulu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah aku boleh menerimanya.’ Lalu dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakannya hal itu, katanya; ‘Ya, Rasulullah! Demi Allah, aku telah memanterai seseorang dengan membacakan surat Al Fatihah.’ Beliau tersenyum mendengar cerita sahabatnya dan bertanya: ‘Bagaimana engkau tahu Al Fatihah itu mantera? ‘ Kemudian sabda beliau pula: ‘Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah aku bagian bersama-sama denganmu.’ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abu Bakr bin Nafi’ keduanya dari Ghundar Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Abu Bisyr melalui jalur ini, dia menyebutkan di dalam Haditsnya; ‘Kemudian orang itu mulai membacakan Ummul Qur’an, dan mengumpulkan ludahnya lalu memuntahkannya, setelah itu orang itu sembuh. (HR Muslim 4080)
Dari pertanyaan Rasulullah dalam riwayat di atas , ‘Bagaimana engkau tahu Al Fatihah itu mantera? menunjukkan ilmu tersebut tidak disampaikan kepada orang kebanyakan.
Pada hakikatnya hadiah bacaan Al Fatihah, surat Yasin dan surat lainnya bukanlah “transfer pahala” namun bagian dari tawasul dengan amal kebaikan berupa bacaan surat sebelum doa inti kepada Allah Azza wa Jalla yang kita panjatkan untuk ahli kubur maupun kepentingan kita sendiri.
Sedangkan berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan Rasulullah, Ahlul Bait, Salafush Sholeh, para Wali Allah maupun guru-guru agama kita terdahulu adalah sebagai wujud syukur kita kepada mereka sehingga agama Islam sampai kepada kita dan sekaligus untuk menyambung tali silaturrahmi dengan ahli kubur.
KH. Maimoen Zubair berwasiat tentang pentingnya wasilah (Tawassul). Beliau mengingatkan bahwa, “yang termasuk orang yang tidak punya adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala itu nak, orang yang selalu berdo’a langsung minta yang diinginkan tanpa memuji Allah dahulu, tanpa wasilah menggunakan salah satu Asma’ul Husnahnya Allah tanpa wasilah kepada baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dahulu, sukanya langsung minta apa yang di inginkan”.
Salah satu perintah Allah Azza wa Jalla adalah berdoa kepadaNya diawali dengan bertawasul
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Maa’idah [5]: 35 )”
Jadi bertawassul adalah adab dalam berdoa , yakni berdoa kepada Allah diawali dengan permohonan keberkahan (bertabarruk) kepada Allah dengan hadiah bacaan surat, ucapan salam atau pujian bagi ahli kubur ataupun istighatsah dengan menyebut para Nabi, para kekasih Allah (wali Allah) atau orang-orang sholeh sebelum doa inti kepada Allah Azza wa Jalla yang dipanjatkan untuk ahli kubur maupun kepentingan sendiri.
Tabaruk berasal dari kata al-Barakah. Arti al-Barakah adalah tambahan dan perkembangan dalam kebaikan / keutamaan (az-Ziyadah Wa an-Nama’ Fi al-Khair) atau sesuatu yang mempunyai keutamaan (berkat).
Contoh lain berdoa kepada Allah meminta kesembuhan, bertawassul dengan bertabarruk atau berperantara dengan barokah Mu’awwidzat (surat Al Ikhlas, An Nas dan Al Falaq)
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwasanya; Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menderita sakit, maka beliau membacakan Al Mu’awwidzaat untuk dirinya sendiri, lalu beliau meniupkannya. Dan ketika sakitnya parah, maka akulah yang membacakannya pada beliau, lalu mengusapkan dengan menggunakan tangannya guna mengharap keberkahannya. (HR Bukhari 4629)
Contoh berdoa kepada Allah untuk kesembuhan, bertawasul dengan bertabarruk atau berperantara dengan “ludah sebagian kami” yakni ludah hambaNya yang telah meraih maqom (derajat) disisiNya.
Telah menceritakan kepadaku Shadaqah bin Al Fadl telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari ‘Abdurrabbihi bin Sa’id dari ‘Amrah dari ‘Aisyah dia berkata; Biasanya dalam meruqyah, beliau membaca: BISMILLAHI TURBATU ARDLINA BI RIIQATI BA’DLINA YUSYFAA SAQIIMUNA BI IDZNI RABBINA (Dengan nama Allah, Debu tanah kami dengan ludah sebagian kami semoga sembuh orang yang sakit dari kami dengan izin Rabb kami (HR Bukhari 5304)
Contoh berdoa kepada Allah untuk kesembuhan, bertawasul dengan bertabarruk atau berperantara dengan barokah jubah atau gamis
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku” (QS Yusuf [12]:93)
Setelah itu, ia meneruskan ucapannya; ‘Jubah ini dahulu ada pada Aisyah hingga ia meninggal dunia. Setelah ia meninggal dunia, maka aku pun mengambilnya. Dan dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengenakannya. Lalu kami pun mencuci dan membersihkannya untuk orang sakit agar ia lekas sembuh dengan mengenakannya. (HR Muslim 3855)
Begitupula yang sudah kita kenal adalah sunnah Rasulullah bertawasul (beperantara) sebelum doa inti yang dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla dengan permohonan keberkahan (bertabarruk) kepada Allah dengan tempat seperti Multazam, Raudah, Hijr Ismail, Hajar Aswad, Maqom Ibrahim (tempat pijakan Nabi Ibrahim Alaihisalam) dan lain lain.
Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani dalam https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/12/paham_yang_harus_diluruskan.pdf menjelaskan
****** awal kutipan *******
Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang berjihad di jalan Allah. Atau karena ia meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah : يحبّونهم ويحبّونه atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan mendapat pahala karenanya.
Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu.
Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemaha-tahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, itu sama dengan orang yang mengatakan : Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepada Nabi-Mu. Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
******* akhir kutipan *****
Jadi berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) yang telah wafat pada hakikatnya bertawassul dengan amal kebaikan yakni rasa cinta kepada Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah)
Contoh berdoa kepada Allah untuk kesembuhan, bertawasul dengan bertabarruk atau berperantara dengan barokah menyebut nama orang yang dicintai dari para kekasih Allah (Wali Allah)
Dari Al Haitsam ibn Khanas, ia berkata, “Saya berada bersama Abdullah Ibn Umar. Lalu kaki Abdullah mengalami kram. “Sebutlah orang yang paling kamu cintai !”, saran seorang lelaki kepadanya. “Yaa Muhammad,” ucap Abdullah. Maka seolah-olah ia terlepas dari ikatan.
Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya.
Umat Islam setiap hari selalu bertawasul dengan Rasulullah yang sudah wafat dengan mengucapkan “ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH,”
Sejak dahulu kala, para Sahabat bertawasul dengan penduduk langit yakni para malaikat dan kaum muslim yang meraih manzilah (maqom/derajat) disisiNya yakni orang-orang shalih baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup
Pada awalnya para Sahabat bertawasul dengan ucapan
ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN
(Semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan)
Namun kemudian Rasulullah menyederhanakan ucapan tawasulnya dengan ucapan
“ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN”
(Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih)
Kemudian Rasulullah menjelaskan
“Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi“
Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A’masy dia berkata; telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia berkata; Ketika kami membaca shalawat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami mengucapkan: ASSALAAMU ‘ALALLAHI QABLA ‘IBAADIHI, ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selesai melaksanakan shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda: Sesungguhnya Allah adalah As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan; AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN, (penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi. Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih). Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, lalu melanjutkan; ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya). Setelah itu ia boleh memilih do’a yang ia kehendaki. (HR Bukhari 5762)
Oleh karenanya berdoa setelah sholat lebih mustajab karena sholat berisikan pujian kepada Allah, bertawasul dengan bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam dan tawasul dengan hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi
Begitupula dalam susunan doa setelah sholat, sebelum doa inti, kita bertawasul dengan memohonkan ampunan kepada kaum muslim yang telah wafat.
“Astaghfirullahalazim li wali waa lidaiya wali jami il muslimina wal muslimat wal mukminina wal mukminat al ahya immin hum wal amwat”
“Ampunilah aku ya Allah yang Maha Besar, kedua ibu bapaku, semua muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat yang masih hidup dan yang telah mati.”
Sebaliknya penduduk langit mendoakan penduduk dunia yang menjalin tali silaturahmi dengan mereka
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Jadi jika seseorang melakukan ziarah kubur dalam rangka silaturahmi dan berbicara hajatnya dengan ahli kubur bukan berarti ahli kubur yang mengabulkan atau mewujudkan hajat pemohon melainkan ahli kubur dengan maqamnya (manzilah, kedudukan, derajat) disisi Allah mendoakan hajat pemohon kepada Allah Azza wa Jalla.
Contoh berdoa kepada Allah untuk meminta ampunan, bertawasul dengan bertabaruk atau berperantara dengan barokah pujian kepada Rasulullah adalah sebagaimana kisah yang termuat dalam kitab tafsir Ibnu Katsir tentang Arab Badui yang bertawassul ke makam Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Amat disayangkan dalam kitab tafsir Ibnu Katsir terbitan akhir ada pula kisah tawasul tersebut telah “dihilangkan” oleh tangan-tangan jahil.
Kita masih bisa mendapatkannya pada kitab Tafsir Ibnu Katsir , terbitan Sinar Baru Algensindo, th 2000, juz 5, hal 283-284. Silahkan periksa pada gambar di atas atau pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ikjuz5p281_285.pdf
**** awal kutipan *****
Al-Atabi ra menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat kubur Nabi Shallallahu alaihi wasallam, datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan,
“Assalamu’alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah). Aku telah mendengar Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa [4]: 64),
Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.”
Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu: “Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.“
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!”
****** akhir kutipan *****
Prof, DR Ali Jum’ah menjelasakan tentang (QS An-Nisa [4]: 64) dalam kitab berjudul ”Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammi qadlayahum” telah diterbitkan kitab terjemahannya dengan judul ” Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ ” diterbitkan oleh penerbit Khatulistiwa Press beralamat Jl Datuk Ibrahim No. 19, Condet, Balekambang, Jakarta Timur. Telp 021 8098583. Website: http://www.khatulistiwapress.com/
Berikut kutipan penjelasan Prof, DR Ali Jum’ah.
***** awal kutipan *****
Adapun ayat ketiga ini (QS An-Nisa [4] : 64) berlaku secara umum (mutlak), tidak ada sesuatupun yang mengikatnya, baik dari nash maupun akal. Di sini tidak ada sesuatu makna yang mengikatnya dengan masa hidup Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dunia. Karena itu akan tetap ada hingga hari kiamat.
Di dalam Al Qur’an, yang menjadi barometer hukum adalah umumnya lafaz, bukan berdasarkan khususnya sebab. Oleh karena itu, barang siapa yang mengkhususkan ayat ini hanya ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih hidup, maka wajib baginya untuk mendatangkan dalil yang menunjukkan hal itu.
Keumuman (kemutlakan) makna suatu ayat tidak membutuhkan dalil, karena ‘keumuman’ itu adalah asal. Sedangkan taqyid (mengikat ayat dengan keadaan tertentu) membutuhkan dalil yang menunjukkannya.
Ini adalah pemahaman ulama ahli tafsir, bahkan mereka yang sangat disiplin dengan atsar seperti Imam Ibnu Katsir. Dalam tafsirnya, setelah menyebutkan ayat di atas, Ibnu Katsir lalu mengomentarinya dengan berkata “Banyak ulama dalam kitab Asy Syaamil menyebutkan kisah yang sangat masyur ini”
***** akhir kutipan *****
Begitupula ulama-ulama terdahulu yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat seperti, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan ayat ini (QS An-Nisa [4]: 64) menjadi petunjuk dianjurkan datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk minta ampun dosa kepada Allah di sisi Beliau dan Beliau minta ampun dosa umatnya. Dan ini tidak terputus dengan wafat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 12)
Imam Ibnu al-Hajj al-Abdari, ulama dari mazhab Maliki berkata,
***** awal kutipan *****
“Tawasul dengan beliau merupakan media yang akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan. Karena keberkahan dan keagungan syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam di sisi Allah itu tidak bisa disandingi oleh dosa apapun. Syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam lebih agung dibandingkan dengan semua dosa, maka hendaklah orang menziarahi (makam) nya bergembira.
Dan hendaklah orang tidak mau menziarahinya, mau kembali kepada Allah Ta’ala dengan tetap meminta syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Barangsiapa yang mempunyai keyakinan yang bertentangan dengan hal ini, maka ia adalah orang yang terhalang (dari syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam).
Apakah ia tidak pernah mendengar firman Allah yang berbunyi:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. ( QS An Nisaa [4] : 64 )
Oleh karena itu, barang siapa yang mendatangi beliau, berdiri di depan pintu beliau, dan bertawassul dengan beliau, maka ia akan mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan pernah ingkar janji.
Allah Ta’ala telah berjanji untuk menerima tobat orang yang datang, berdiri di depan pintu beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) dan meminta ampunan kepada Tuhannya.
Hal ini sama sekali tidak diragukan lagi, kecuali oleh orang yang menyimpang dari agama dan durhaka kepada Allah dan RasulNya. “Kami berlindung diri kepada Allah dari halangan mendapatkan syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam” (Ibnu al Hajj, Al Madkhal, 1/260)
****** akhir kutipan ******
Imam an Nawawi, ulama dari kalangan Syafi’iyah, ketika menerangkan mengenai adab ziarah makam Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata “Kemudian ia (peziarah) kembali ke tempat awalnya (setelah bergerak satu hasta ke kanan untuk menyalami Abu Bakar dan satu hasta yang lain menyalami Umar) sambil menghadap ke arah wajah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Lalu ia bertawassul dari beliau kepada Allah. Sebaik-baik dalil dalam masalah ini adalah atsar yang diceritakan oleh Imam al Mawardi al Qadhi, Abu ath-Thayyib dan ulama lainnya (An Nawawi, Al Majmuu’, 8/256)
Sedangkan Imam Ibnu Qudamah dari kalangan mazhab Hanbali juga memberikan petunjuk di dalam adab ziarah ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, agar peziarah membaca ayat di atas, mengajak bicara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan memakai ayat tersebut dan meminta kepada beliau untuk dimintakan ampunan kepada Allah.
***** awal kutipan ******
Maka setelah peziarah membaca salam, doa dan shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam hendaknya ia berdoa,
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah berfirman, sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. ( QS An Nisaa [4] : 64 )
Aku datang kepadamu (Nabi shallallahu alaihi wasallam) sebagai orang yang meminta ampunan atas dosa-dosaku, dan sebagai orang yang meminta syafaat melaluimu kepada Tuhanku. Aku memohon kepadaMu , wahai Tuhanku, berilah ampunan kepadaku, sebagaimana Engkau berikan kepada orang yang menemui beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) ketika masih hidup.”
Setelah itu, peziarah berdoa untuk kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh kaum muslimin
****** akhir kutipan *******
Begitupula kita dianjurkan berdoa kepada Allah diawali dengan bertawassul dengan sholawat bukan berarti Rasulullah membutuhkan sholawat dari umatnya namun kita mendapatkan balasan salam dari Rasulullah dengan maqamnya (manzilah, kedudukan, derajat) di sisi Allah.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku sehingga aku membalas salam .” HR. An-Nasa’i Al-Hakim 2/421 )
Sunnah Rasulullah agar doa inti yang kita panjatkan kepada Allah lebih mustajab maka kita disunnahkan diawali bertawasul dengan amal kebaikan berupa memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertawasul dengan amal kebaikan berupa sholawat (menghadiahkan doa selamat bagi Rasulullah) sebelum doa inti kita panjatkan kepada Allah Azza wa Jalla
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“.
Begitupula cara mendekati Rasulullah adalah dengan sering “mendatangi” Beliau, salah satunya dengan sering bertawasul dengannya yakni bersholawat kepadanya sehingga kita dikenal oleh Rasulullah.
Al Habib Umar bin Hafidz menasehatkan bahwa “tanda kerinduan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang sungguh-sungguh di dalam diri seseorang akan menjadikannya benar-benar mengikuti Rasulullah dan banyak bersholawat padanya”
Dari Ibnu Mas’ud ra. bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : ”Orang yang paling dekat denganku nanti pada hari kiamat, adalah mereka yang paling banyak membaca shalawat untukku” (HR. Turmudzi)
Hujjatul Islam Al Ghazali meriwayatkan
***** awal kutipan *****
Ada seorang laki-laki yang lupa membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Lalu pada suatu malam ia bermimpi melihat Rasulullah tidak mau menoleh kepadanya, dia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau marah kepadaku?”
Beliau menjawab, “Tidak.”
Dia bertanya lagi, “Lalu sebab apakah engkau tidak memandang kepadaku?”
Beliau menjawab, “Karena aku tidak mengenalmu.”
Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana engkau tidak mengenaliku, sedang aku adalah salah satu dari umatmu? Para ulama meriwayatkan bahwa sesungguhnya engkau lebih mengenali umatmu dibanding seorang ibu mengenali anaknya?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Mereka benar, tetapi engkau tidak pernah mengingat aku dengan shalawat. Padahal kenalku dengan umatku adalah menurut kadar bacaan shalawat mereka kepadaku.”
Terbangunlah laki-laki itu dan mengharuskan dirinya untuk bershalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, setiap hari 100 kali.
Dia selalu melakukan itu, hingga dia melihat Rasululah lagi dalam mimpinya.
Dalam mimpinya tersebut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sekarang aku mengenalmu dan akan memberi syafa’at kepadamu.” Yakni karena orang tersebut telah menjadi orang yang cinta kepada Rasulullah dengan memperbanyak shalawat kepada Beliau…
***** akhir kutipan *****
Jadi wujud dari mencintai Rasulullah sehingga dikenal oleh Rasulullah adalah dengan memperbanyak shalawat kepada Beliau
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])
Salah satu contoh shalawat yang mengandung panggilan kesayangan Allah kepada Rasulullah adalah sholawat Badar, karya ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Kyai ‘Ali Manshur, cucu Kyai Haji Muhammad Shiddiq , anak saudara / keponakan dari Kiyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq bin ‘Abdullah bin Saleh bin Asy`ari bin Muhammad Adzro`i bin Yusuf bin Sayyid ‘Abdur Rahman (Mbah Sambu) bin Sayyid Muhammad Hasyim bin Sayyid ‘Abdur Rahman BaSyaiban bin Sayyid ‘Abdullah bin Sayyid ‘Umar bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Abu Bakar BaSyaiban bin Sayyid Muhammad AsadUllah bin Sayyid Hasan at-Turabi bin Sayyid ‘Ali bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad Ba ‘Alawi al-Husaini sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/02/sholawat-badar/
Sholawat Badar berisikan tawassul dengan nama Allah, dengan junjungan Nabi shallallahu alaihi wasallam serta para mujahidin teristimewanya para pejuang Badar.
Shalatullah salamullah, ‘ala Thaha Rasulillah
Shalatullah salamullah, ‘ala Yasin Habibillah
Semoga shalawat dan salam selalu kepada Thaaha, Rasulullah
Semoga shalawat dan salam selalu kepada Yasin, Rasulullah
(Thaha dan Yaasiin adalah panggilan / gelar untuk Rasulullah)
Surah Yasin adalah surah yang menempati urutan ke 36 dalam mushaf Al-Qur’an. Nama ini diambil dari ayat permulaan surah ini yang terdiri dari huruf singkatan (muqaththa’ah) ya dan sin.
Ya adalah huruf untuk memanggil (nidaa) artinya wahai dan sin adalah singkatan dari kata insan artinya manusia, maksudnya adalah manusia sempurna.
Manusia sempurna yang dituju oleh huruf muqaththa’ah ini adalah Sayyidina Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam karena Beliaulah seorang nabi yang telah menerirma wahyu Al-Qur’an, kitab suci Allah yang sempurna, sehingga seluruh kehidupan beliau berada di atas jalan yang lurus benar
Hadits riwayat Imam Dailami
ذكر الأنبياء من العبادة وذكر الصالحين كفارة، وذكر الموت صدقة، وذكر القبر يقربكم إلى الجنة. [رواه الديلمي] اهـ الجامع الصغير : 158
Artinya :
“Menyebut-nyebut para Nabi itu termasuk ibadah, menyebut-nyebut para shalihin itu bisa menghapus dosa, mengingat kematian itu pahalanya seperti bersedekah dan mengingat alam kubur itu bisa mendekatkan kamu dari surga”. (HR. Dailami)
Adz Dzahabi (w 748 H) muridnya Ibnu Taimiyyah (w 728H) dalam nasehat kepada gurunya sendiri mengungkapkan, Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang shaleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang shaleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah sebagaimana informasi yang kami arsip (salin) pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/05/nasehat-adz-dzahabi-atas-kesombongan-ibnu-taimiyyah.pdf
Begitupula para ulama yang sholeh kelak akan memberikan syafa’at jika kita menyambung tali silaturahmi termasuk dengan menziarahi mereka atau menghadiahkan bacaaan Al Fatihah sehingga mereka mengenal kita.
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Kamu akan bersama orang yang kamu cintai (HR Bukhari dan Muslim)
8 Jenis Syafaat Di Padang Mahsyar Kelak
1. Al-Quran
Bacalah al Quran , sesungguhnya pada hari kiamat nanti al Quran akan datang sebagai pembawa syafaat kepada yang membacanya (HR Muslim)
2. Puasa
Puasa dan al-Quran akan memberi syafaat kepada seseorang hamba pada hari kiamat. (Hadis riwayat Imam Ahmad)
3. Malaikat
Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah (Surah Al-Anbiya: 28)
4. Nabi Muhammad
Sesungguhnya syafaatku diperuntukkan buat umatku yang berbuat dosa besar. (HR. Tirmidzi)
5. Para Syuhada
Orang yang mati syahid itu dapat memberikan syafaat kepada 70 orang di kalangan keluarganya. (HR Abu Darda)
6. Ulama
Dari Utsman bin Affan r.a, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Di hari kiamat, yang memberi syafaat tiga golongan, iaitu para Nabi, kemudian ulama, kemudian syuhada” (H.R. Ibnu Majah)
7. Para Hafiz Al-Quran
Barangsiapa membaca Al Quran dan mengamalkannya, menghalalkannya yang halal dan mengharamkan yang haram maka Allah memasukkannya ke dalam syurga dan dia boleh memberi syafaat 10 orang keluarganya yang sudah pasti masuk neraka. (Hadis Riwayat Tarmizi)
8. Syafaat kecil termasuk daripada para sholihin dan shadiqqin serta anak yang meninggal dunia sebelum ditaklifkan.
logikanya saja, apa mungkin manusia yg paling mulia didunia lahir dari orang tua yg masuk neraka? darimana situ tahu, apa saudara salafi ini lurah di neraka sehingga bisa tahu pasti penghuninya siapa.
buta kali ya… tidak melihat kita yg menjalankan sunah Nabi seperti ziarah kubur, baca Yasin, tahlil tujuh hari untuk orang yg meninggal, doa sesudah shalat jama’ah, shalat Sunah sebelum dan sesudah shalat wajib, hajatan/syukuran dengan zikir dan doa bersama saudara/tetangga, baca doa qunut, zikir semampunya, memperingati maulid Nabi, shalat tidak bergerak berlebihan dll.
makam para wali aslinya sederhana, hanya ada nisan sebagai tanda, tapi pengurusnya kemudian membuatnya demikian, lalu bagaimana dengan dedengkot wahabi di arabsaudi yg sengaja membangun makam Nabi dengan semewah mewahnya? seolah olah NABI MOHAMMAD SAW itu orang yg cinta dunia?
ziarah kubur yg benar adalah berdoa memohon ampunan untuk ahli kubur dan kita kepada ALLAH SWT dengan zikir dan baca Yasin, yg bid’ah itu mintanya kepada selain ALLAH SWT, apanya yang salah? apa tidak sebaiknya ajarkan cara ziarah kubur yg benar daripada bisanya bilang bid’ah.
si ‘badar’ berkata ;
“…….logikanya saja, apa mungkin manusia yg paling mulia didunia lahir dari orang tua yg masuk neraka?………”
komentar saya ;
mungkin saja hal tsb bisa terjadi, kenapa tidak bisa? buktinya Nabi Ibrahim memiliki ayah yg notabenenya adalah seorang pembuat sekaligus penyembah berhala….
Perkataan/logika anda itu lemah hukumnya dan layak untuk ditolak karena tidak didukung dengan dalil, hujjah atau referensi dan argumentasi yang jelas dan akurat, dan hanya berdasarkan kepada persangkaan dan dugaan saja, yang tentunya jauh dari ilmu.
itu bantahan saya secara akal, adapun berdasarkan dalil bahwa orang tua Rasulullah masuk neraka adalah ;
Hadits Pertama.
“Artinya : Dari Anas, bahwa seorang laki-laki pernah bertanya, “Ya Rasulullah ! Di manakah tempat ayahku ?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Di Neraka!”
Maka tatkala orang itu berpaling hendak pergi, beliau
memanggilnya, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu tempatnya di neraka” [Hadits shahih Riwayat Muslim juz I halaman 132 dan
133]
Hadits Kedua.
“Artinya : Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ziarah ke kubur ibunya, lalu ia menangis yang menyebabkan orang-orang disekelilingnya (para shahabat) turut menangis.
Lalu beliau bersabda, ‘Aku meminta izin kepada Tuhanku supaya aku dibolehkan untuk memohonkan ampun baginya, tapi tidak diizinkan bagiku. Lalu aku meminta izin
supaya aku dibolehkan menziarahi kuburnya, maka diizinkan bagiku. Oleh karena itu ziarahilah kubur-kubur itu, karena menziarahi kubur itu dapat
mengingat mati” [Hadits shahih Riwayat Muslim (3/65), Abu Daud (no 3234), Nasa’i (2/72), Ibnu Majah (no. 1572), Baihaqi (4/76), Ahmad dan Thahawi (3/189).
(Periksalah kitab : Tafsir Ibnu Katsir jilid 2 halaman 393, 394 dan 395, Ahkamul Janaaiz halam 187, 188 masalah ke-121 oleh Muhaddits Syaikh Muhammadn Nashiruddin Al-Albani.)
Hadits Ketiga.
“Artinya : Dari Buraidah, ia berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan/safar, lalu beliau turun bersama kami, sedangkan kami pada waktu itu mendekati seribu orang. Kemudian beliau shalat dua rakaat (mengimami kami), setelah selesai beliau menghadapkan wajahnya kepada kami sedangkan kedua matanya mengalir air mata. Lalu
bangkitlah Umar bin Khaththab menghampirinya dan berkata. ‘Ya Rasulullah, mengapakah engkau (menangis)?’
Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku telah meminta kepada Tuhanku Azza wa Jalla untuk memohon ampunan bagi ibuku, akan tetapi Ia tidak memberiku izin kepadaku, maka dari itulah mengalir air mataku karena kasihan kepadanya yang ia termasuk (penghuni) neraka”. [Hadits shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Hakim (1/376), Ibnu Hibban (no.
791), Baihaqi (4/76) dan Tirmidzi]
“Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam” (At-Taubah : 113)
Maka, bisa saya simpulkan bahwa logikanya si ‘badar’ ini bathil dan sangat layak untuk ditolak berdasarkan dalil diatas….
astaghfirullahhal ‘azim…wahai saudara2ku sekalian islam itu gak mngajarkan kita untuk saling menjatuh kan sesama muslim.ingat itu!!
gimana islam mau besar dan berkembang kalo dalam tbuh islam itu sendiri mash tedapat pertikaian dan perbedaan dalam diri masing2 individu.saling berdebat dlm masalah dalil dan hadits.saling merasa benar dengan ajaran nya.
logika nya gini aja..1.alqur’an adlh prktaan allah,
2.hadits adalah perkataan nabi besar muhammad SaW.
3.DALIL adlh perkataan ataupun perkiraan para ulama.
nah dari 3 poin di ats setidak sodara2 sekalian bsa berfikir secara logika mana yang harus di jadikan panutan.
kalo menurut pribadi saya sendiri”kalo ingn slmata dunia akhirat berpegang teguh lah pada alqur’an dan hadits krna itu adalah kbenaran yang hakiki yang datang nya dari allah dan nabi muhammad S.A.W.
Pertanyaan saya apakah anda yakin bahwa kedua orang tua Rasulillah SAW di neraka? Kalau anda yakin inilah sebenar benar bid’ah.
Telah jelas ada dalil bahwa kedua orang tua Rasulullah ada di neraka beliau sendiri yang menyebutkannya.
Kalo cuma pake logika wah gak berdasar …
Mas badar, saudi bukan wahabi, dari zaman dulu juga gak ada ulama yang setuju memasukkan kuburan ke dalam masjid biar jadi luas, Apakah mereka para ulama diam saja ketika itu sampai sekarang? jawabnya adalah ulama itu bukan pemberontak sampai saat ini tidak punya kekuatan untuk amar maruf nahi munkar.
Kalau saja sekarang saudi itu betul-betul wahabi salafi, maka insya Allah bakal direnovasi agar terpisahkan kuburan dengan masjid, BONGKAR SEKALIAN KUBAHNYA JUGA.
Shalat di dalam masjid nabi BOLEH KARENA ADA DALIL TENTANG KEUTAMAANNYA DAN SAMPAI KIAMAT PUN TETAP DALILNYA BERLAKU.
SODARA KU..DALIL jangan terlalu dijadikan patokan ataupun ukuruan dalam memutuskan dan memvonis sesuatu hal apalagi yang berkaitan dengan islam.jangan sampai kita sesama muslim saling berperang mulut hanya gara2 dalil.bisa aja ulama terdahulu salah dlam menafsirkan suatu hadits,nah.kalo mereka slah otomatis kita juga ikut salah donk .y gak?kerna kita gak prnah ketemu langsung ataupun membaca TEKS asli dalil yang di tulis oleh ulama2 yang terdahulu..bisa aja kan dalil yang prnah kita bca sudah banyak di tambah2 ataupun di kurang2in oleh para pnulis.logika kan?contoh umum nya aja gini..”saya bercrta sama si fulan dari A sampai C nah sifulan menceritakan lagi cerita yng saya ceritain td sama si fulin dari A sampai ke D”brrti dah nambah satu poin donk.krna gak mngkin sifulan bisa ingat semua kata yang saya ceritakan td,jd ats ini siatif si fulan sendiri d tambahin lah kalimat D.krna mnusia tu gak ada yang sempurna..ksempurnaan hanya milik allah semata.
tahlilan dan maulidan disangka sunnah nabi, yang benar aja…..
siapa bilang siti jenar sufi/Islam? pengikutnya sekarang adalah orang aliran kepercayaan/kejawen. bisa marah mereka kalau siti jenar dibilang orang Islam.
yang mengalahkan/menangkap siti jenar adalah SUNAN KALIJAGA yg notabene orang jawa asli. jangan coba coba adu domba ya , dasar manusia licik…
siapa bilang siti jenar dipenggal kepalanya? emang ente lihat langsung kejadiannya? yg benar moksa {pindah kealam gaib}. tanya dulu sama pengikutnya sebelum membuat pernyataan memfitnah.
siapa bilang LDII dan wahabi tdk sama? prinsip dasar mereka adalah: selain golongan mereka, semua masuk neraka!!! jadi bukannya mereka anggap kita semua itu najis dan pantas masuk neraka??? emang surga kepunyaan bapak moyangmu?????
gosip aja nih, anda ini kata siapa? laki-laki koq suka ngegosip sih?
Aqidah Salaf yang berdasarkan Al-Quran, Hadits dan ijma para Sahabat itu tidak pernah bilang bahwa si fulan masuk surga, si fulan masuk neraka, si A masuk neraka, si B masuk surga…tidak pernah….
adapun Salaf berkeyakinan bahwa Allah akan mengampuni semua dosa kecuali syirik dan akan kekal ia di neraka jika sampai ajal menjemputnya ia tidak bertaubat dari dosa syiriknya itu.
tertibnya adalah sebagai berikut ;
Pertama, Dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48 dan 116)
Kedua, Allah mengharamkan surga dimasuki oleh orang yang berbuat syirik. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tiada seorang penolongpun bagi orang-orang zhalim tersebut.” (QS. Al Maa’idah: 72)
Ketiga, seorang musyrik akan kekal berada di dalam siksa neraka. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik berada di dalam neraka Jahannam dan kekal di dalamnya, mereka itulah sejelek-jelek ciptaan.” (QS. Al Bayyinah: 6)
Keempat, dosa kesyirikan akan menghapuskan semua pahala amal shalih, betapapun banyak amal tersebut. Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada para Nabi sebelum engkau, ‘Jika kamu berbuat syirik maka pastilah seluruh amalmu akan lenyap terhapus dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)
Kelima, syirik adalah kezhaliman yang paling zalim. Allah ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)
Maka dari itu, dakwah para Nabi dan Rasul dari zaman ke zaman adalah dakwah tauhid karena tauhid adalah lawan dari syirik.
Terus prinsip beragama sodara Badar ini bagaimana saya pengen tau ? apakah golongan lain benar semuanya artinya tidak ada yang sesat ?
marah nih ye… ha ha ha….., saya ingatkan Muslimin yg beriman, ciri khas mereka memang seperti itu, mengeluarkan argumen yg bagi orang yg tidak mengetahui hadist secara mendalam akan tertipu. yang untuk jelasnya bacalah fileheboh: DINASTI SAUD SATU TRAH DENGAN YAHUDI di blog ini. baru tahu siapa mereka itu.bacalah juga halaman ini dari awal sampai akhir, perhatikan bagaimana manusia munafik seperti mereka membalik kata.
wah… kita dibilangin munafik…hmmm
Oo…saya tau, ternyata cara dan adab anda dalam berdiskusi adalah sengaja memancing orang lain untuk marah toh….
lagipula, tidak ada yg marah-marah disini, bukankah malah anda sendiri yg marah-marah? meledak-ledak, mencaci-maki, menghina, memfitnah, bahkan bersumpah serapah…..seolah-olah anda lebih membenci Salafi daripada yahudi dan nasrani, atau bahkan secara tidak langsung menyamakan Salafi dengan yahudi dan nasrani…..
memang seperti itulah adab dan akhlak ahlul bid’ah dan para pengikutnya, dikarenakan minimnya ilmu yg mereka miliki, jadi yg mereka bisa hanyalah melontarkan tuduhan demi tuduhan, caci maki, bahkan tidak segan-segan memfitnah…..
menuduh orang lain suka mengkafirkan seorang muslim, akan tetapi dia sendiri justru tanpa disadari telah mengkafirkan seorang muslim dengan menyamakan seorang muslim dengan cucu dajjal, bahkan me-yahudi-kan seorang muslim…
Na’udzubillah min dzalik……semoga saya tidak termasuk orang-orang yg seperti itu…..
Bacalah juga halaman ini dari awal sampai akhir, perhatikan bagaimana seorang anak manusia yg bernama ‘badar’ ini berargumen, tidak ada satupun dalil dari ayat Al-Quran dan Hadits yg dia bawakan, tidak ada sedikitpun ilmu yg bisa dipetik dari perkataannya, semakin memperlihatkan kadar keilmuan dia yg sesungguhnya…..ibarat tong kosong nyaring bunyinya….
Padahal yg saya harapkan adalah diskusi ilmiah, bukan ‘perang mulut’ seperti yg diharapkan si ‘badar’ ini…..
mengenai fileheboh: DINASTI SAUD SATU TRAH DENGAN YAHUDI, benarkah demikian? bukankah itu pelu diteliti lebih jauh lagi? siapa penulisnya? kapabilitas penulisnya seperti apa? jangan main ‘telan’ mentah-mentah begitu saja, karena hal ini menyangkut kehormatan dan ke-islaman seorang muslim dan berita tsb sama saja secara tidak langsung telah mengkafirkan pemerintahan Saudi yg notabenenya mereka adalah seorang muslim….
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. “ (Q.S Al-Hujarat : 6)
“Barangsiapa yg menuduh seorang muslim secara dusta, maka Allah akan menempatkannya di tanah lumpur neraka sehingga dia mencabut ucapannya.” (H.R Abu Dawud : 3597, Ahmad 11/70, al-Hakim dalam al-Mustadrak 11/27 dan beliau menshahihkannya)
Kalau seandainya benar bahwa dinasti Saudi masih keturunan yahudi, maka sudah tidak akan ada lagi umat Islam yg bisa menunaikan ibadah Haji, karena sampai kapanpun yang namanya yahudi tidak akan ridho umat Islam melakukan ibadahnya, sebagaimana firman Allah ;
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka…..”
(Al-Baqarah : 120)
Dan seandainya benar kalau dinasti Saudi itu masih keturunan yahudi, tentu masjid-masjid disana akan penuh dengan kuburan-kuburan orang-orang shalih pastinya, karena Rasulullah bersabda ;
“Laknat Allah atas Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (H.R Al-Bukhari (no.435, 436, 3453, 3454, 4443, 4444, 5815, 5816) dan Muslim (no.531(22)) dari ‘Aisyah)
“Mereka itu adalah suatu kaum, apabila ada orang yang shalih atau seorang hamba yang shalih meninggal diantara mereka, mereka bangun diatas kuburannya sebuah tempat ibadah dan mereka buat di didalam tempat itu rupaka-rupaka. Mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah pada hari Kiamat.”
(H.R Al-Bukhari (no.427, 434, 1341) dan Muslim (no.528) bab an-Nahyu’an Binaa-il Masaajid ‘alal Qubuuri wa Ittikhadzish Shuwari Fiiha wa Nahyu’an Ittikhadzil Qubuuri Masaajid (Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Memasang di Dalamnya Gambar-Gamabar Serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid) dan Abu ‘Awanah (I/401))
kalau juga seandainya benar bahwa dinsati Saudi itu masih keturunan yahudi, bagaimana bisa kota suci dikuasai oleh orang yahudi? dikuasai disini maksudnya adalah dikuasai dalam hal pemerintahan……
Bahkan dajjal saja tidak bisa memasuki kota suci (Mekkah dan Madinah),
Dari Anas bin Maalik, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda :
”Tidak ada satu negeri/kota pun nanti yang tidak dimasuki Dajjal, kecuali Makkah dan Madinah. Setiap jalan masuk kedua kota tersebut dijaga oleh para Malaikat yang berbaris-baris, kemudian Madinah akan mengguncang penghuninya tiga kali guncangan, sehingga semua orang kafir dan munafik keluar dari tempat itu”
(HR. Al-Bukhari no. 1881 dan Muslim no. 2943)
jawablah wahai orang-orang yg berakal…….
Dajjal memang tidak bisa masuk ke dalam 2 kota suci. Tetapi org2 munafik dan kafir bisa masuk kedalamnya.
Saya pernah baca hadist yg intinya Makkah dan Madinah akan diguncang 3 kali, dan guncangan yg ke-3 akan keluarlah org2 munafik dan kafir dr dalamnya.
Jadi saat ini di Makkah dan Madinah ada org2 munafik dan org2 kafir, dan mungkin mrk bekerjasama satu sama lain.
Hadist lain yg pernah saya baca, bahwa Imam Mahdi akan memerangi Arab, Persia, Rhum, dan Dajjal. Mungkin itu tempat munculnya fitnah2 bagi kaum muslim
Allahualam
Yup, buktinya maling, copet, “penyiksa” tenaga kerja wanita ada di sana
perbedaan pendapat adalah rahmat tapi berdebat itu yng tidak di bolehkan,berilah contoh yng baik dalam berbagi pendapat bukan nya saling menghujat!………
Silahkan baca pula tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/11/11/perdebatan-yang-dihindari/
Dr Deliar Noer dalam bukunya berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 menyebutkan, Ibnu Sa’ud yang berhasil mengusir penguasa Makah sebelumnya, yakni Syarif Husein pada tahun 1924, mulai melakukan “pemurnian agama” yakni pembersihan dalam kebiasaan praktik beragama sesuai dengan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab atau ajaran Wahabi. Tindakannya itu sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian ditolak.
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan bahwa orang-orang yang mengikuti ajaran atau pola pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah orang-orang bermazhab dzahiriyyah yakni memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun berfatwa selalu berpegang pada nash secara dzahir
**** awal kutipan *****
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Jadi pada umumnya firqah salafi wahabi adalah orang-orang yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun berfatwa selalu berpegang pada nash secara dzahir atau makna dzahir dan kurang memperhatikan ilmu-ilmu tafsir.
Contoh uraian cara memahami hadits “kullu bid’atin dholalah” telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/05/18/pentingnya-kaidah-tafsir/
Contoh akibat meraka salah memahami tentang bid’ah sebagaimana yang diberitakan pada http://www.suara-muslim.com/2014/05/syaikh-shalih-fauzan-sms-jumat-mubarak.html
***** awal kutipan *****
Syaikh Shalih Fauzan adalah ulama saudi berfaham Wahabi yang menjadi anggota dewan istimewa di Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta dan Hai’ah Kibaril ‘Ulama, Saudi Arabia, sejak 15 Rajab 1412 H. Disela-sela tugasnya sebagai anggota Al Lajnah Ad Daimah, Syaikh Shalih Fauzan juga menjadi anggota Hai’ah Kibaril Ulama (Persatuan Ulama Besar) juga anggota dewan di Al Ma’jma Al Fiqhi (Asosiasi Ahli Fiqih) di Makkah Mukarramah. Beliau juga anggota Al Lajnah Al Isyraf ‘Alad Da’wah Fil Hajj (Komisi Urusan Da’wah Untuk Jama’ah Haji).
Suatu ketika Syaikh Shalih Fauzan ditanya:
ما حكم إرسال رسائل الجوال كل يوم جمعه وتختم بكلمة جمعة مباركة؟
Bagaimana hukumnya saling mengirim SMS tiap hari jumat dan mengakhirinya dengan kalimat “Jumat Mubarak?
Syaikh Salih Fauzan menjawab:
ما كان السلف يهنئ بعضهم بعضاً يوم الجمعة فلا نحدث شيئاً لم يفعلوه
“Para salaf tidak pernah saling mengucapkannya pada hari jumat, janganlah mengadakan sesuatu (kebid’ahan) yang tidak pernah dikerjakan oleh para salaf”. selesai. (Majalah Dakwah Islamiyah).
***** akhir kutipan ******
Begitupula Wasekjen MUI Pusat, Ustadz Tengku Zulkarnaen ketika memberikan catatan pada fatwa MUI tentang nikah wisata yang dapat dibaca pada http://tengkuzulkarnain.net/index.php/artikel/pena/kumpulan-tulisan/188/nikah-wisata.html mengatakan bahwa firqah Wahabi mengikuti ahli zahir (selalu berpegang pada nash secara dzahir) dan kurang memperhatikan ilmu-ilmu tafsir.
Ustadz Tengku Zulkarnaen menyampaikan bahwa nikah wisata maupun peringatan maulid nabi, Isra’ dan Mi’raj, Nuzul Qur’an, Tahun Baru Islam adalah sama-sama tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. namun nikah wisata adalah bid’ah yang sesat sedangkan peringatan maulid nabi, Isra’ dan Mi’raj, Nuzul Qur’an, Tahun Baru Islam ada kebaikan di dalamnya
Berikut kutipannya
****** awal kutipan ******
Nikah misar (nikah wisata) ini telah difatwakan “haram” oleh Majelis Ulama Indonesia. Sayangnya “Lajnah ad-Daimah Saudi Arabia” pimpinan Syekh Abdullah bin Baz menghalalkan nikah wisata ini.
Padahal dalam fatwa itu salah satu kutipan yang diambil adalah pendapat Ibnu Hazm, seorang tokoh Zahiri (ahli zahir, alias tekstual), dan Abul Walid Sulaiman Khalaf al Bajiy, dalam kitab “al-Muntaqa Syarhul Muwatha’ “, Jilid 3 Halaman 336, mengatakan: Barangsiapa yang menikahi wanita, dan tidak berkeinginan utk menahannya sebagai isterinya, kecuali hanya ingin bersenang-senag untuk menyetubuhinya dan menceraikannya setelah itu, maka menurut Imam Maliki dari riwayat Muhammad hukumnya “boleh”, tetapi tidak bagus, dan bukan merupakan akhlak manusia….”
Lihatlah pendapat Imam Maliki, beliau mengatakan ini bukan merupakan akhlak manusia….! Berarti akhlak binatang? Seperti kambing, monyet, babi dan lain-lain…? Astaghfirullah. Pantaskah manusia memakai akhlak bukan manusia?
Dalam madzhab Imam Syafi’i ra, menceraikan isteri setelah menyetubuhinya, masih dalam keadaan suci dari haidh, maka perceraian itu disebut “talaq bid’i”, yakni “talak bid’ah”.
Padahal kelompok Wahabi Salafy selalu mengatakan bahwa setiap bid’ah itu pasti tempatnya akan berada dalam neraka. Jadi bagaimana persoalan bid’ah seperti ini bisa difatwakan oleh Lajnah mereka sebagai perbuatan halal? Bukankah Rasulullah tidak pernah melakukan perbuatan nikah misar ini….?
Selama ini kelompok Salafy Wahaby sangat tegas dengan pendapat mereka bahwa setiap perbuatan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah wajib ditolak, karena merupakan perbuatan yang bid’ah dholallah. Kenapa dalam hal misar ini sikap mereka jadi berubah? Sementara tidak ada sebuah riwayat pun yang mengatakan ada generasi sahabat Nabi yang melakukan nikah misar ini.
Jika dibandingkan dengan sikap mereka yang menolak secara tegas tanpa syarat peringatan Maulid Nabi, Isra’ dan Mi’raj, Nuzul Qur’an, Tahun Baru Islam, dan lain-lain yang ditolak secara tegas dan dianggap bid’ah yang sesat hanya karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Sahabat Nabi, tanpa memandang sedikit pun kebaikan yang ada pada peringatan itu, maka menjadi sangat aneh-lah serta menimbulkan tanda tanya besar atas fatwa Salafy Wahabi terhadap persoalan nikah misar ini, yang sama-sama tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
***** akhir kutipan ******
Begitupula Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Ali Mustafa Yakub sebagaimana yang telah disampaikan pada http://www.muslimedianews.com/2014/01/imam-besar-masjid-istiqlal-curigai-ada.html mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah yang terlarang. Menurut Kiai Ali Mustafa, peringatan Maulid Nabi masuk wilayah muamalah. “Selama tidak melakukan hal-hal yang mengharamkan, ya boleh-boleh saja.
Hal yang harus kita perhatikan adalah bentuk kegiataan yang mengisi peringatan tersebut jangan sampai melakukan kegiataan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Sejauh melakukan kegiatan yang tidak diharamkan maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)
KH Ali Mustafa Yakub telah menegaskan bahwa salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena kurang memperhatikan ilmu-ilmu tafsir dapat memecah belah umat Islam.
Sampai kapapun berdiskusi dengan firqah salafi wahabi tidak akan ada ujungnya karena mereka mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah yakni memahami Al Qur’an dan As Sunnah atau berfatwa selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir)
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa Al-Quran dan As-Sunnah, diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima.
Hal yang perlu diketahui dan dikuasai bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seperti ilimu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
Selain itu perlu mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
Tidak sempurna pula jika hanya mengetahui dan menguasai ilmu nahwu dan sharaf tanpa mengetahui dan menguasai ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-ketidakseimbangan/ atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/10/ilmu-sastra-arab/
Fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata hati yang berujung dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Kalau dalam berijtihad dan beristinbat atau menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa akan bermunculan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni “orang-orang muda” yang suka berdalil dengan Al Qur’an dan As Sunnah namun mereka salah paham.
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: Akan datang di akhir zaman suatu kaum yang masih muda belia namun lemah pemahaman (sering salah paham). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (mengambilnya dari Al Qur’an dan As Sunnah) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3342)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang pada akhir zaman, orang-orang muda dan berpikiran sempit. Mereka senantiasa berkata baik. Mereka keluar dari agama Islam, sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Mereka mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran, padahal mereka sama sekali tidak mengamalkannya. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka berasal dari bangsa kita (Arab). Mereka berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab). Kalian akan merasa shalat kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa mereka.”
Saya (Khudzaifah Ibnul Yaman) bertanya ‘Apakah sesudah keburukan itu ada kebaikan lagi? ‘Tentu’ Jawab beliau, dan ketika itu ada kotoran, kekurangan dan perselisihan. Saya bertanya ‘Apa yang anda maksud kotoran, kekurangan dan perselisihan itu? Nabi menjawab ‘Yaitu sebuah kaum yang menanamkan pedoman bukan dengan pedomanku, engkau kenal mereka namun pada saat yang sama engkau juga mengingkarinya. Saya bertanya ‘Adakah steelah kebaikan itu ada keburukan? Nabi menjawab ‘O iya,,,,, ketika itu ada penyeru-penyeru menuju pintu jahannam, siapa yang memenuhi seruan mereka, mereka akan menghempaskan orang itu ke pintu-pintu itu. Aku bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka! Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita. Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu? Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka! Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana? Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (HR Bukhari 3338 dan 6557)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di atas telah dijelaskan ciri-ciri orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim yakni orang-orang bangsa Arab yang sebatas berkemampuan berbahasa Arab sebatas mengetahui (menguasai) arti bahasa sehingga mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim adalah orang-orang yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga menuduh muslim lainnya telah musyrik atau telah kafir atau berhukum dengan hukum thagut.
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.
Jadi menuduh muslim lainnya musyrik akan sama hukumnya dengan mengatakan kepada muslim lainnya “wahai kafir” yakni kembali kepada penuduhnya karena menuduhnya disebabkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad. (HR Muslim 1762)
Sabda Rasululullah di atas yang artinya “mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala” maksudnya mereka memahami Al Qur’an dan As Sunnah dan berkesimpulan atau menuduh kaum muslim lainnya telah musyrik (menyembah selain Allah) seperti menuduh menyembah kuburan atau menuduh berhukum dengan selain hukum Allah, sehingga membunuhnya namun dengan pemahaman mereka tersebut mereka membiarkan para penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya.
Penyembah berhala yang terkenal adalah kaum Yahudi atau yang sekarang dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason, iluminati, lucifier yakni kaum yang meneruskan keyakinan pagan (paganisme)
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (QS Al Baqarah [2]:101-102)
Rasulullah masuk ke kamarku dalam keadaan aku sedang menangis. Beliau berkata kepadaku: ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Aku menjawab: ‘Saya mengingat perkara Dajjal maka aku pun menangis.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Jika dia keluar sedang aku masih berada di antara kalian niscaya aku akan mencukupi kalian. Jika dia keluar setelah aku mati maka ketahuilah Rabb kalian tidak buta sebelah. Dajjal keluar bersama orang-orang Yahudi Ashbahan hingga datang ke Madinah dan berhenti di salah satu sudut Madinah. Madinah ketika itu memiliki tujuh pintu tiap celah ada dua malaikat yang berjaga. maka keluarlah orang-orang jahat dari Madinah mendatangi Dajjal.”
Orang-orang jahat dari Madinah yang mendatangi Dajjal adalah orang-orang yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka bersekutu dengan Zionis Yahudi dan menemui Dajjal
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa orang-orang yang membunuh orang-orang Islam karena dituduh musyrik atau dituduh kafir atau dituduh berhukum dengan selain hukum Allah ditetapkan sebagai orang yang telah murtad atau telah keluar dari agama Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya sebagaimana yang telah kami sampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/28/pembunuh-dan-murtad/
Dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd ra bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim yang menampakkan amalnya namun berakhlak buruk dengan pertanyaan, “Wahai Rasulullah, orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah sunnahnya: matanya merah karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan janggut mereka pun lebat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum tuhib’būnallāh fattabi’unī – Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikaplah penuh kasih, cintai orang-orang miskin dan papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh perhatian dan cintai saudara-saudaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”
Indikator atau ciri-ciri atau tanda-tanda orang yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah sehingga menjadi wali Allah (kekasih Allah) adalah sebagaimana yang disampaikan dalam firmanNya dalam (QS Al Maidah [5]:54)
1. Bersikap lemah lembut terhadap sesama muslim
2. Bersikap keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir
3. Berjihad di jalan Allah, bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
4. Tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Allah ta’ala telah berfirman bahwa jika bermunculan orang-orang yang murtad atau keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya karena membunuh umat la ilaha illallah yang dituduh musyrik atau dituduh berhukum dengan selain hukum Allah maka Allah Azza wa Jalla akan tetap menjaga adanya kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah seperti ahlul hadramaut (Yaman).
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , ‘Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari, dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di muka bumi’
Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguhnya aku menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman”. Masih dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Sebaik-baiknya lelaki, lelaki ahlu Yaman‘.
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku”
Pada masa sekarang, salah satu cara menjaga sanad ilmu (sanad guru) agar tetap tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah dengan bertalaqqi (mengaji) kepada para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/04/07/menjaga-sanad-ilmu/
Kalau ada waktu dan dana bertalaqqilah (mengajilah) kepada para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat di propinsi Hadramaut (Yaman), tempat menimba ilmu agama yang disarankan dan didoakan oleh Rasulullah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa jika telah bermunculan fitnah atau perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat maka hijrahlah ke Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah atau merujuklah kepada pendapat Ahlul Hadramaut, Yaman.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dann banyak dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib Telah menceritakan kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang berperasaan dan hatinya paling lembut, kefaqihan dari Yaman, hikmah ada pada orang Yaman.” (HR Bukhari 4039)
Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Kita dapat telusuri apa yang telah disampaikan oleh ahlul Yaman melalui apa yang disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almuqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthoriqoh dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra
Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas
Kita dapat pula menemukan orang-orang yang meninggalkan para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah karena menganggapnya sebagai kaum syiah sebagaimana contoh tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/07/ke-alam-barzakh/
Padahal para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan pengajaran agama dari dua jalur yakni
1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik disampaikan melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
2. Melalui sanad ilmu ( sanad guru). Pengajaran agama dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat yang mengikuti Salafush Sholeh dengan cara bertemu langsung bukan melalui perantaraan mutholaah (menelaah kitab).
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Dari http://www.facebook.com/photo.php?fbid=364436613697536 ada sebuah pernyataan “mengapa firqah Wahabi hampir tidak pernah menukil pendpat dari Sayyidina Ali ?”
Oleh karena firqah Wahabi mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah maka kita telusuri apa pendapat Ibnu Taimiyyah terhadap Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu, contohnya dari situs http://ustadchandra.wordpress.com/2010/02/13/sosok-dan-pemikiran-ibn-taimiyah/
Dari situs tersebut maka kemungkinannya Ibnu Taimiyyah tidak menukil atau berfatwa berdalilkan perkataan atau mengambil hadits yang dirawyatkan oleh Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu adalah karena Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak sah, sebab beliau masuk Islam sebelum baligh. Imam Ali ra. menurutnya mempunyai 17 kesalahan. Dan beliau berperang karena cinta kedudukan.
Sedangkan Sayyidina Ali karramallahu wajhu sebagaimana sabda Rasulullah , “Aku adalah kota ilmu, manakala Ali pula pintunya. maka barangsiapa yang inginkan ilmu maka hendaklah datang melalui pintunya (Ali).”
Bahkan Rasulullah bersabda “Wahai Ali sungguh berdusta orang yang mengaku mencintaiku namun membencimu”
Orang-orang yang membenci ahlul bait dan keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam disebut dengan An-Nawaashib mufradnya naashib atau biasa disebut dengan nashibi
Imam at Tirmidzi dan Imam ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra., ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Cintailah Allah agar kalian memperoleh sebagian nikmat-Nya, cintailah aku agar kalian memperoleh cinta Allah, dan cintailah keluargaku (ahlul baitku) agar kalian memperoleh cintaku.”
Imam Syafi’i ~rahimahullah bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian adalah kewajiban dari Allah diturunkan dalam al-Quran cukuplah bukti betapa tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa shalawat bagi kalian.”
Jabir ibnu Abdillah berkisah: “Aku melihat Rasulullah dalam haji Wada` pada hari Arafah. Beliau menyampaikan khutbah dalam keadaan menunggangi untanya yang bernama Al-Qashwa. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian dua perkara yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat yaitu kitabullah dan ‘itrati ahlul baitku.” (Hadits diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3786, kitab Al-Manaqib ‘an Rasulillah , bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu alaihi wa sallam)
Abu Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam meriwayatkan, “Sungguh aku meninggalkan pada kalian perkara yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu dari perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu kitabullah tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi. Dan (perkara lainnya adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di haudl. Maka lihatlah dan perhatikanlah bagaimana kalian menjaga dan memperhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 3/14,17 dan At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3788)
Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya
Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/04/11/sanad-dan-akhlak/ bahwa tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad guru (sanad ilmu) adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi pendapat gurunya dan guru-gurunya terdahulu hingga tersambung kepada Rasulullah serta berakhlak baik
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Jadi fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari orang-orang yang menjadikan gurunya syaitan karena memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri sebagimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/07/fitnah-tanduk-syaitan/
Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu secara turun temurun yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh yang disampaikan secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Dalam memahami kalimat “pewaris para Nabi” kita pahami dahulu arti kata mewarisi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia atau contoh penjelasan pada http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/185 pengertian mewarisi adalah: 1. memperoleh warisan atau 2. memperoleh sesuatu yang ditinggalkan
Jadi ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh sebelumnya secara turun-temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya.
Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat
Kembali ke masalah tasawuf.
Para wali Allah/sufi/kiyai/ulama/habaib memang punya karamah yang tidak masuk akal…….. SEPERTI BERJALAN DI ATAS AIR, MENGHIDUPKAN ORANG MATI, DAN LAIN-LAIN,
Bahkan seorang wali Allah bisa saja keluar atau menentang syariat Islam seperti membunuh seorang yang haram untuk dibunuh, dll, karena dia mempunyai asalan untuk itu…..
TAPI ITU SEMUA MENURUT BUKU KARANGAN HABAIB MUNZIR YANG BERJUDUL “MENITI KESEMPURNAAN IMAN” baca halaman 100 sampai selesai.
kalau mau baca e-book onlinenya :
http://read.kitabklasik.co.cc/2009/09/meniti-kesempurnaan-iman-habib-munzir.html
Kalau nabi Khidir membunuh anak kecil dalam surah Al-Kahfi, itu bagaimana menurut Wahabi?
siapa nih yang datang bertamu tanpa diundang? pakai peci hitam dan muka hitam. terima kasih atas kirimannya, semoga ALLAH SWT memberikan balasan yang setimpal. saya memang manusia biasa yang lemah , bodoh dan penuh kesalahan, namun hanya kepada ALLAH SWT kami berlindung dan memohon pertolongan. bila ALLAH SWT menghendaki, kalian dengan mudah dan sekejab dijadikan debu yang beterbangan. kalian dibiarkan merajalela hanya sebagai cobaan bagi hambaNYA yang beriman. tidak kami mulai selain membela diri.
sdr. badar udah pernah bedah bukunya bagaimana? tolong jelaskan.
Kenapa gak sekalian bilang Abu Lahab itu muslim mukmin, karena dia saking cintanya kepada nabi sampai-sampai membebaskan seorang budak untuk menyusui nabi shalallahu alayhi wasallam ?
hebat semuanya….saya disini hanya ingin menimba ilmu.Yang bila hati saya menerima akan saya pakai insaallah,jika tidak ya tidak kucela.Karena aku yakin semua telah diatur,sebab hak prerogatif ada ditangan allah swt.Sauaraku yang salafy hebat dengan hafalan hadisnya dan alquran.Sungguh maha benar Allah dengan segala firmanNya.sebenarnya berdebat tidak saya sukai.makanya saya menghimbau pada saudara2ku kembalilah kekomunitas masing2.yang salafi ya jangan senggol lainnya,begitu pula yang lain.
Kalau masalah tasawuf/sufi atau apalah itu perlu pemahaman yang dalam.Perbanyaklah istigfar.mulailah dari dalam hati ikuti dengan lisan.hilangkan semua yang menghalangimu dalam menghadap ilahi.terpejam misalnya..atau tunduk.bacaan dzikir yang disari’atkan bukanlah bid’ah,diamalkan dengan istikomah ribuan kalipun takada larangan.membatasipun bukan sesuatu yang salah.Jika ada perubahan yang tanpa kita kehendakipun takmasalah.karena semua itu lilahita’ala…..
Tarikat-tarikat sufi itu banyak bid’ahnya, apalagi keyakinan-keyakinannya yang menyimpang dari tarikat muhammad shalallahu a’laiyhi wasallam dan para sahabatnya yang mengikuti beliau.
Kalau soal disenggol, mestinya golongan yang katanya banyak dzikir, sabar, dan zuhud itu kan mestinya gak mesti marah-marah ITU BUKTI KETIDAK BERHASILAN METODA MEREKA DALAM TAZKIYATUN NAFS.
jangan terlalu mempersoalkan masalah surga neraka karena itu haknya Allah di mana kita di letakn maka kita harus terima,yang penting kita persiapkan dirikita untuk menghadap kpda robatu iza jangn terlalu banyak cincong kalok ingn selamat ikut jejak nabi kitta biar selamat itu intinya
Pada hakikatnya, kita sebagai umat muslim haruslah beragama berdasarkan dalil, bukan beragama berdasarkan logika, akal atau perasaan semata….
Ini bukan masalah soal senggol menyenggol pak, ini hanyalah sebatas kewajiban sesama muslim aja untuk saling mengingatkan, bukankah Rasulullah pernah bersabda yg isinya menjelaskan bahwa sampaikanlah walaupun hanya satu ayat?
kalo soal nantinya penjelasan saya dkk malah hanya mendapatkan celaan, hinaan, makian, fitnah, atau bahkan disumpah-sumpahi, yaa itu biar masyarakat aja yg menilai, siapa sebenarnya yg mewakili Islam dalam hal adab-adab berbicara…..
seandainya diskusi disini lebih banyak mudharat-nya daripada manfaat-nya, maka saya hanya bisa meminta ampun kepada Allah……
lagipula seandainya penjelasan saya ditolak, itu hak anda dan yg lainnya, karena tidak ada paksaan dalam Islam, saya disini hanya menyampaikan sebatas yg saya tau aja, tidak lebih !
tidak ada maksud saya disini untuk menggurui, saya berbicara panjang lebar begini bukan berarti anda semua yg ada disini harus ikut saya….tidak seperti itu…..
adapun saya disini hanya ingin membahas ilmu…..
itu aja…..!
sodara2 ku sekalian..
1.alqur’an adlah kata alllah yang tersurat
2.hadits adalh kata nabi yang tersurat juga
3.kitab yang d peruntuk kan bagi orng2 yang pilih OLH allah SWT
4.dalil adlah tafsiran atw perkiraan para ulama
”berpegang teguh lah pada alqur’an dan hadits”sudah jelas disitu di tekan kan kalo kita sebagai umat islam harus brpgang tguh pada poin 1 dan 2 d ats,,bkan kepda dalil yang di tafsirkan olh para ulama.
untuk orang awam yg membaca halaman ini, perlu saya beritahukan bahwa saya tahu lebih banyak hadist daripada mereka, bahkan punya satu lemari. saya berbicara dengan bahasa rakyat agar mudah dipahami,
yang penting adalah pahami ini:
1 .bila kita punya orang tua, anak,saudara yang sudah meninggal dan sangat kita hormati dan cintai, lalu kita datang berziarah menghadiahkan AL FATEHAH dan zikir dan berdoa agar dosa mereka diampuni ALLAH SWT, tiba tiba datang orang wahabi mengusir kita karena itu perbuatan sirik kata mereka. kalau kita melawan, pasti dibunuh. itu akan terjadi kalau mereka dibiarkan berkuasa seperti di arabsaudi.
2. bila kita bukan orang wahabi, maka kita semua masuk neraka.
3. tidak boleh kita tahlilkan dan doakan orang/saudara kita tercinta yg baru meninggal, cukup gali lobang. lempar kedalamnya dan tutup dengan tanah.
4. dilarang kita berdoa sesudah shalat jama’ah, baca Yasin, baca doa qunut, pakai tasbeh,pakai sajadah.
5. mereka terus menanamkan kebencian kepada Junjungan kita NABI MOHAMMAD SAW, dengan cara menjelekkan keluarga dan orang tua Beliau. mereka ingin berkata kasarnya sbb: orang tua dan pamannya masuk neraka, bagaimana anaknya? harapan mereka kecintaan kita kepada RASULALLAH SAW hilang bahkan membencinya. ingatlah!!! siapa yang akan menolong kita ketika kiamat terjadi, kita dibangkitkan dan harus mempertanggungjawabkan dosa kita dihadapan ALLAH SWT? Hanya NABI MOHAMMAD SAW yg sungguh sungguh mencintai dan mati matian membela umatnya dihadapan ALLAH SWT. soal siapa masuk surga/neraka, hanya ALLAH SWT yg berkuasa menentukannya. tapi apakah ALLAH SWT tega menolak pembelaan dari RASULALLAH SAW? jika kita membenci Beliau, bagaimana nasib kita?
6. ikatan persaudaraan dalam iman berusaha mereka hancurkan dengan melarang hajatan/syukuran yang didalamnya diisi dengan zikir, baca Yasin dan doa.
bayangkan orang semacam ini , apa bukan dajjal?
cara mereka merekrut anggotanya adalah mendatangi orang yang tertarik dengan ceramah yg penuh dengan ayat QUR’AN yg dipelintir, dirayu beramai ramai, bila tertarik akan di bai’at dengan cara diberi air minum dan dimandikan. yang berbahaya adalah air minum telah di isi dengan mantera yg akan mengikat dan menutup batin sehingga sulit untuk mengembalikan orang tersebut ke jalan yg lurus.
semua yg saya katakan adalah berdasarkan apa yang saya lihat dan alami. sebenarnya harapan kita pemerintah dan ulama turun tangan mengharamkan ajaran wahabi , tapi belum terjadi sampai sekarang.
Ayah nabi Ibrahim adalah musuh Allah padahal nabi ibrahim adalah kekasih Allah.
anak dan istrinya nabi nuh, istrinya nabi luth, mereka juga kafir.
Jadi jangan pake perasaan kalau menghukumi orang itu, mesti pakai dalil.
Sodara badar mengatakan bahwa dia lebih tau banyak hadits daripada orang2 wahabi maksudnya ibnu taimiyah? ya udah jangan sombong dong …. sifat yang gak baik buat orang tasawwuf,
Kalau saya cuma punya fotokopian sahih bukhari tok.
si ‘badar’ ini, tolonglah, jadilah orang yg amanat dalam mengabarkan suatu berita, jangan sepotong-sepotong dalam mengabarkan kepada khlayak ramai karena pengertiannya akan jadi berbeda, malah akhirnya cenderung fitnah….
Salafi tidak pernah melarang orang untuk mendoakan kerabat atau orang lain yg telah wafat, tidak pernah melarang orang berdzikir setelah shalat berjamaah, tidak pernah melarang orang membaca Yasiin, tidak pernah melarang orang berziarah kubur, kesemuanya itu kalo sepotong-sepotong menyampaikannya, akhirnya jadi fitnah….
Perlu diketahui bahwa yg terlarang itu adalah sifat, cara dan ketentuan pelaksanaan amaliah-amaliah tsb yg menyelisihi Sunnah, sebagaimana jika ada orang yg melarang shalat shubuh 3 rakaat, lantas bukan berarti orang tsb telah melarang orang itu shalat shubuh bukan?
si ‘badar’ berkata ;
“mereka terus menanamkan kebencian kepada Junjungan kita NABI MOHAMMAD SAW……..”
komentar saya ;
Bagaimana bisa, Salafi yg berdalil dengan sabda Rasulullah dibilang membenci Rasulullah?
si ‘badar’ berkata dengan hawa nafsunya ;
“……tiba tiba datang orang wahabi mengusir kita karena itu perbuatan sirik kata mereka. kalau kita melawan, pasti dibunuh……”
komentar saya ;
bisa terlihat koq, siapa sebenarnya yg suka memvonis sembarangan, sampai-sampai berani bilang PASTI DIBUNUH ! Na’udzubillah…….
ini adalah fitnah yg keji menurut saya, aqidah Salafush Shalih tidak membenarkan membunuh orang kafir tanpa haq, coba perhatikan ! membunuh orang kafir ! apalagi membunuh seorang muslim? karena Rasulullah besabda ;
” Barangsiapa yang membunuh kafir mu’ahad (kafir yg terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin), ia tidak akan mencium bau surga, dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan 40 tahun ” . [HR. Al-Bukhary dalam Shohih-nya (3166)]
si ‘badar’ berkata ;
“….itu akan terjadi kalau mereka dibiarkan berkuasa…”
komentar saya ;
tenang aja, dakwah Salafi orientasinya bukanlah kekuasaan atau massa, melainkan tegaknya kebenaran, tegaknya sunnah dan tegaknya tauhid, itu yg lebih penting ketimbang kekuasaan di dunia yg fana ini….
si ‘badar berkata ;
“bayangkan orang semacam ini , apa bukan dajjal?”
komentar saya ;
Jadi, siapa sebenarnya disini yg suka mengkafirkan seorang muslim? Salafi yg suka mengkafirkan atau justru malah Salafi yg dikafir-kafirkan? bahkan tidak segan-segan didajal-dajalkan……Subhanallah……
Ingat ! kajian-kajian ilmiah Salaf itu terbuka untuk umum, dilaksanakan dimasjid-masjid umum, siapa saja boleh ikut, tanpa harus memakai ‘code dress’, tidak dilakukan dirumah-rumah kontrakan, tidak tertutup, diumumkan di media-media informasi seperti internet dan radio….
Jadi, ga ada itu pembaiatan dengan cara diberi air minum dan dimandikan, bahkan diberi air minum telah di isi dengan mantera…..
lucu sekali menurut saya, Salaf tidak mengenal mantra-mantra, jampe-jampe dsb, itu hanyalah cerita-cerita kurafat yg sengaja dikarang…sangking tidak punya hujjah dan alasan lagi untuk menolak dakwah Salaf, jadinya dbuatlah cerita-cerita karangan seperti itu…..
Akh, Alamsyah, semoga dirahmati Allah
Dilematis memang kaum Salafi, karena mereka “menolak” penamaan / identitas kaum. Sehingga sebagian yang sekedar “mengaku” manhaj salaf namun berkelakukan tidak sebagaimana manhaj Salaf seperti kerap menuduh saudara muslim lain dari mereka sebagai sesat atau bahkan kafir. Padahal mereka menuduh saudara muslim lain berbekal atau sebatas pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an dan Hadits. Padahal kita ketahui bahwa merupakan kehendak Allah kepada siapa, Allah karuniakan pemahaman yang dalam sebagaimana firman Allah yang artinya, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269)
Untuk itu dalam blog ini saya batasi yang dimaksud Salafy adalah yang mengikuti metode pemahaman Ibnu Taimiyah dan ulama yang sepemahaman dengan beliau.
Soalnya ada pula saudara-saudara muslimku yang ber manhaj Salaf, secara visual mereka yang pria, berpakaian mengikuti sunnah dengan celana ngantung dan baju/kemeja yang disesuaikan, menghafal Al-Qur’an dan banyak hafal hadits, mengutamakan sholat wajib berjamaah dan diwaktu awal, menjalankan sholat sunnah, puasa senin-kamis, namun mereka tidak mengikuti metode pemahaman Ibnu Taimiyah dan ulama yang sepemahaman dengan beliau.
Salah satu yang tampak perbedaan secara kasat mata adalah mereka ketika mengimami sholat yang dijaharkan, mereka menjaharkan “Bismillaahirrahmaanirrahiim” baik ketika membaca Al-Fatihah maupun awal pembacaan surah.
Orang-orang yg tidak suka dengan dakwah Salaf selalu menuduh dengan hawa nafsunya bahwa Salafi suka mengkafirkan kaum muslimin, akan tetapi tanpa disadari justru mereka yg menuduh itulah yg mengkafir-kafirkan Salafi seperti yg bisa terlihat disini…..
Bagi anda yg masih memiliki akal sehat, tentu bisa menilai dan melihat, Salafi yg suka mengkafirkan atau justru Salafi yg dikafir-kafirkan? sampai-sampai disamakan dengan yahudi bahkan dajjal…..
Renungkanlah wahai orang-orang yg berakal !
Mengenai al-Hikmah (kefahaman tentang Al Quran dan As Sunnah) yg terdapat di dalam surat al-Baqarah : 269 tsb, apakah di ayat itu disebutkan bahwa al-Hikmah HANYA diberikan kepada orang-orang sufi? tidak untuk orang lain? seolah-olah HANYA orang sufi sajalah yg mendapatkan al-Hikmah dari Allah, jika ada orang lain yg tidak sepaham dengan mereka (sufi), itu artinya dia tidak (belum) diberikan al-Hikmah dari Allah….pemahaman macam apa ini?
Jadi, siapa sebenarnya disini yg merasa dirinya paling pintar? merasa dirinya paling paham terhadap Al-Quran dan Hadits, merasa hanya dirinya dan kelompoknyalah yg mendapatkann al-Hikmah dari Allah, sedangkan orang lain tidak !
Saya meyakini bahwa sesungguhnya al-Hikmah (kefahaman terhadap Al-Quran dan As-Sunnah) tidak ‘turun’ begitu saja seperti turunnya air hujan ke bumi, tidak ‘turun’ hanya lewat mimpi semata atau tidak ‘turun’ hanya lewat pertapaan saja, akan tetapi saya percaya kalo ilmu dalam memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu bisa ‘turun’ melalui proses belajar (menuntut ilmu) dengan dibimbing oleh seorang guru pastinya, sebagaimana dahulu juga para Sahabat berguru kepada Rasulullah, Imam Syafi’i yg berguru kepada Imam Malik, dan juga Ibnu Qayyim al-Jauzy, Ibnu Katsir, serta Ibnu Hajar yg berguru kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah……
Dari Abu Hurairah, dia berkata :” Telah bersabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam : “Hanyasanya aku ini kepada kamu, berkedudukan sebagai bapak yang mengajarkan kepada kamu…..”
(H.R Abu Dawud (no.8))
Berkata Abu Musa al Asy’ariy : “Sesungguhnya Rasulullah pernah berkhotbah kepada kami. Lalu beliau menjelaskan kepada kami Sunnah kami dan mengajarkan kepada kami (cara) shalat kami….”
(H.R Muslim juz II hal. 14-15. Abu Dawud (no.972), Nasaa-i juz II hal.241, Ibnu Majah (no.601), Ahmad juz IV hal.394, 401 & 405, ad-Daarimi juz I hal.300-301 dan Baihaqiy juz II hal.140-141)
Ass Wr Wb.
saudaraku Joko Sutikno benar, semua yang terjadi adalah kehendak ALLAH SWT. hanya saja kita diperintahkan menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran. tidak setitikpun ria yang saya niatkan, sesungguhnya ALLAH SWT menciptakan segalanya berpasangan dan seimbang. kesombongan , merekalah yg mulai. mohon maaf kepada pembaca dan ampun kepada ALLAH SWT bila ada kesombongan dari diri saya baik yang disengaja maupun tidak disengaja. mohon pamit, cukup sampai disini tulisan saya.
Ass Wr Wb.
Mas Mutiara Zuhud, sebagai tamu saya lupa pamit dan minta maaf bila ada kesalahan, semoga ALLAH SWT membalas dengan pahala yang sebesar besarnya atas usaha Mas untuk menegakkan kebenaran. semoga juga dikuatkan hati dan iman serta diberikan kesabaran. Mudah mudahan kita ada jodoh untuk menjalin persaudaraan.
Wass
Walaikumsalam Wr. Wb.
Akh Badar, semoga Allah merahmati akhi.
Terima kasih atas komentar-komentar yang diberikan khususnya pada tulisan tentang ilmu Tasawuf dan secara umum pada blog mutiara zuhud ini.
Saya pribadi dapat memahami “semangat” yang tampak pada komentar-komentar yang akhi tuliskan namun pada ujungnya akhi menuliskan kata “pamit” ?
Sebaiknya tidak perlu “pamit”, cukuplah “istirahat” sejenak atau menurut kaum Tasawuf, “mati”lah sejenak untuk merasakan dan mengalami bersama Allah. Kemudian dengan “bersama” Allah tulislah komentar-komentar yang perlu disampaikan dengan begitu akhi akan membebaskan tulisan Akhi dari hawa nafsu. Pesan untuk saya, akhi dan pembaca pada umumnya, lakukanlah apa yang Allah kehendaki. Kesadaran inilah yang InsyaAllah mengendalikan hawa nafsu kita.
Dalam blog ini ada beberapa tulisan-tulisan saya dan tulisan-tulisan yang saya sebutkan sumbernya dalam rangka untuk mengingatkan saudara-saudaraku Salafy (khusus untuk pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah dan sepemahaman). Kelemahan mereka saya telah tuangkan dalam tulisan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/13/kelemahan-salafiyyah/
salah satu kelemahan mereka adalah menolak pengajaran bidang Ilmu Tasawuf (tentang Ihsan / Ma’rifat).
Andaikan saja saudara-saudaraku salafy mau meluangkan waktu dan membaca kitab/buku, sebagai contoh “Ar Risalatul Qusyairiyah fi ‘Ilmit Tashawwuf, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi atau versi terjemahan “Risalah Qusyairiyah”, sumber kajian ilmu tasawuf, penterjemah Umar Faruq, penerbit Pustaka Amani, Jakarta. InsyaAllah dengan buku/kitab tersebut, saudara-saudara ku Salafy dan pembaca pada umumnya dapat memahami tentang dasar-dasar Ma’rifatullah sehingga dapat memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang Allah “di atas langit”.
Syaikh Al-Qusyairy adalah seorang imam dalam majelis tadzkir. Pembicaraannya amat berpengaruh hingga meresap kedalam sanubari para jama’ahnya. Abu Hasan Ali bin Hasan Al-Bakhirizi yang hidup di tahun 462 H/ 1070M, sering menyebut-nyebut kehebatannya, bahkan memujinya dengan sanjungan yang amat istimewa. Beliau mengatakan, “seandainya sebuah batu cadas diketuk dengan “tongkat peringatan”-nya niscaya akan meleleh menangis, dan seumpama iblis tetap aktif mengikuti majelis tadzkirnya, niscaya dia akan tobat. Subhanallah.
Pamit mau kemana, memangnya sudah cukup puas menuduh dan memfitnah wahabi ?
Wahabi tidak merekrut orang untuk menjadi anggota, tapi mendakwahkan dengan terang-terangan….
tuh lihat Toko Buku Gramedia penuh dengan kitab2 dakwah ulama wahabi.
Pengalaman dari orang Awam
Dulunya saya seminggu sekali ikut pengajian umum habib
Yang namanya pengajian untuk umum baik dari salafy maupun biasa awalnya mmg belum kelihatan beda,
saya belum menyadarinya
pernah saya beberapa kali, awalnya belum diketahui kalau itu pengajian dari salafy, setelah beberapa lama barulah kelihatan perbedaanya, yang aneh masalah pembacaan sholawat perayaan maulid yang katanya itu dari ajaran syiah
oo ternyata anggapannya begitu, pantas saja, kalau tidak dicegah dari sekarang, bisa-bisa orang yang tidak bersalah jadi sasaran pengkafiran, sejarah hitam jangan sampai terjadi di Indonesia.
dari pengikut mashab 4 ilmunya jelas bisa dipertanggungjawabkan
Maksudnya apa ya ?
Belagak pilon?
Ya Allah…ma’afkanlah kami semua yang mengaku umat Mohammad swa,dan mengaku hambaMu.karena yang ada pada kami hanyalah pengakuan.Diakui atau tidak kami tidak tau.qusnul kotimah atau su’ul kotimah,sahid atau tidak diakhir hidup kamipun kami tak tau.ya Allah ampuni kami semua…..Amin.
untuk saudaraku yang banyak hafal hadis dan qur’an aku sangat senang bisa banyak tau dan menimba ilmu.untuk yang bertasaufpun aku bangga.tapi ingat….mengingat allah tidak perlu hitungan (tasbih,tahmid,takbir,tahlil dan lainnya).Allah tak ada hitungan pada kita,alangkah nistanya kita kalau berhitung kepadaNya.yang penting istikomah dan mencari,mengingat kesalahan2 diri untuk dimohonkan ampun dan menggantinya dengan kebaikan2.bukankah islam mengajarkan hari ini harus lebih baik dari kemarin,dan besuk harus lebih baik dari pada hari ini.jika terbalik maka termasuk orang yang merugi.Begitu indah islam.tapi sayang,perang madhab membuat islam terpuruk.dan itu terjadi diseluruh negara mayoritas islam.contoh nyata ibnu sina dinas sebagai zindik (ilmuwan yang lambangnya masih dipakai sampai sekarang,yaitu gelas dan ular dikedokteran)Dengan gampangnya orang menganggap bid’ah sesuatu,ironisnya pukul rata hingga islam tidak berkembang.Padahal ayat pertama turun “ikhro'” bacalah.Semua kemajuan dunia sekarang ini non muslim penemunya.pertanyaannya dimanakah ikro’nya orang islam?Mari kita renungkan semua itu.Tinggalkan perdebatan yang tiada guna.Kalau kita mengingatkan cukup sebatas gugur kewajiban.karenakita harus ingat semua itu tergantung dalangnya…………yang salafy teruskan….Yang tasawuf teruskan(hati-hati licin)….. wassalam…..
kalo soal perdebatan, perpecahan, dan perselisihan antar umat Islam, itu semua sudah merupakan sunatullah pak dan itu semua pasti terjadi, karena Rasulullah jauh sebelumnya telah mengabarkan kepada kita (umat muslim) dalam sabdanya, sekaligus memberikan solusi dalam mengatasi perselisihan tsb ;
“Barangsiapa yang hidup diantara kamu sesudahku (yakni sepeninggalku), niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kamu berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin al Mahdiyyin. Berpeganglah dengannya dan gigitlah dengan gigi gerahammu ! Dan jauhilah olehmu segala urusan yang baru/muhdats ! karena sesungguhnya, setiap urusan yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
(H.R Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Daarimi, Hakim, dan lain-lain dari hadits Irbadl bin Sariyah)
Dari Auf bin Malik ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam : Sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, satu golongan masuk surga, dan tujuh puluh dua golongan masuk neraka”. Beliau ditanya : “Ya Rasulullah, Siapakah satu golongan itu ?”. Beliau menjawab ; “Al-Jama’ah”.
(H.R Ibnu Majjah : Kitabul Fitan, bab Iftiraaqil Umam II:1322 nomor 3992, Ibnu Abi ‘Ashim 1:32 nomor 63, Al-Laaikaaiy Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1:101)
Pada riwayat lain, Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitabul Iman, bab Maaja’ Fiftiraaqi Hadzihi Ummah No. 2779 dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash dan Imam Al-Lalikaiy juga meriwayatkan dalam kitabnya Syarah Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah I:99 No. 147 dari shahabat dan dari jalan yang sama, dengan ada tambahan pertanyaan, yaitu : Siapakah golongan yang selamat itu?. Beliau menjawab :
“Ialah golongan yang mengikuti jejakku dan jejak para shahabatku”.
mantafffff pinter-pinter semuanya….. tp jadikan lah semua perbedaan itu rahmat dan islam manjadi lebih berkembang,asal jangan keluar dr akidah islam ,al-qur’an dan hadits……
kalo soal dzikir itu ada itungannnya, tapi Allah yang menentukan jumlah dan pahalanya, misalnya ucapan subhanallah 100 x, banyak dalilnya, yang gak boleh itu menentukan sendiri jumlahnya lalu mengajak orang untuk mengikuti anjurannya itu.
Islam mengajarkan bahwa hari ini harus lebih baik dari sekarang dan besok harus lebih baik dari hari ini??????
Tidak mungkin Nabi Muhammad bisa melakukannya.
Saya rasa cuma malaikat yang bisa melakukannya.
Yang salah bukannya imam madzhab, tapi yang salah mengikuti ijtihad madzhab yang menyelisihi hadits shahih tapi pengikutnya tetap taqlid.
Memangnya perkembangan Islam dilihat dari ipteknya??
Nabi muhammad menyuruh para sahabatnya dakwah untuk mengajak kepada Islam dan melaksanakan sunnahnya bukan menciptakan Iptek.
Ass Wr Wb.
maafkan saya Mas Mutiara Zuhud soal pamit, sebenarnya sewaktu membaca surat Mas tertanggal 17 Mei , hati saya tergetar tidak karuan karena takut kepada ALLAH SWT.
Saat shalat tanpa terasa saya menangis tak tertahan dan dengan segala kerendahan hati hambanya mohon ampun dan minta diberikan ketentraman hati.
Alhamdulillah dengan segera saya dibukakan banyak hal yang sebelumnya tidak saya ketahui, sungguh ALLAH SWT Maha Pemurah.
semoga ilmu bermanfaat menyertaimu hingga akhir hidup duhai saudaraku Mutiara Zuhud.
ALLAHHUMMA SHOLLI ALA SAYYIDINA MOHAMMAD WA ALA ALI SAYYIDINA MOHAMMAD.
Wass
Wassalammualaikum Wr. Wb
Subhanaallah.
Segala sesuatu yang antum alami atas kehendak Allah.
Sesungguhnya, kita sejak bayi dalam kandungan Ibu, dalam keadaan bersih dan suci, telah bersaksi “sebenar-benarnya” bersaksi sebagaimana firman Allah yang artinya
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)
Setelah anak manusia terlahir ke dunia, keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh anak. Ibu dan ayah adalah manusia-manusia dewasa kepada siapa anak belajar kata-kata yang pertama. Khususnya kepada Ibu, anak belajar kasih sayang. Kepada ayah, anak belajar tanggung jawab dan kepemimpinan. Bagaimana sikap ibu dan ayah kepada anak, sikap ayah kepada ibu dan sebaliknya ibu kepada ayah, adalah pola interaksi yang pertama dipelajari anak.
Dengan telinga dan matanya, anak belajar menyerap fakta dan informasi. Semakin banyak yang terekam, itulah yang paling mudah ditirunya. Bagaikan kertas putih bersih, orang tuanya yang akan memberinya coretan dan warna yang pertama. Betapapun sederhananya pola pendidikan dalam sebuah keluarga, tetap-lah sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Keluarga merupakan awal bagi pertumbuhan pola pikir dan perasaan anak.
Untuk itu bagi kita yang telah menjadi orang tua, dalam mendidik anak, sebaiknya selalu berharap atau memohon pertolonganNya karena segala sesuatu atas kehendakNya. Kita hanya menjalankan keinginanNya. Janganlah dengan hawa nafsu kita, memberikan “coretan” pada “kertas putih” anak kita. Kesadaran dan selalu mengingat Allah setiap saat dalam kehidupan kita dunia mutlak kita hadirkan agar segala perbuatan kita sesuai dengan kehendakNya.
Setelah kita mencapai akil balik dengan segenap ilmu yang telah kita pelajari dan pahami, baik dari pengajaran orang tua, guru dan lingkungan beserta karunia Allah akan pemahaman Al-Qur’an dan Hadits, kita “memulai” mengarungi kehidupan dunia. Kemanakah tujuan arungan kehidupan kita ?
Sebagaimana keinginan Allah yang disampaikan dalam firmanNya yang artinya,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Az Zariyat : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (al Hijr: 99)
Arungan kehidupan kita di dunia sesungguhnya adalah menuju kepada Allah, selalu sadar dan yakin akan keberadaan Allah, selalu mengingat Allah, sepanjang kehidupan kita di dunia sampai kematian menjemput kita.
Sehingga kita bisa bersaksi kepada Allah yang Maha Esa dalam sebenar-benarnya “bersaksi” sebagaimana kita dalam kandungan Ibu dahulu. Sayangnya setelah bayi dan kita tumbuh dewasa, kita tidak dapat mengingat perjalanan ketika berada dalam kandungan rahim ibu. Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan,agar dirinya dapat kembali menemui Allah.
“Dan sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada aat itu kamu tinggalkan dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….” (QS Al An’am 6: 94)
“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman: “ Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu” (QS Al Kahfi 18:48).
Dengan segenap ilmu dan pemahaman yang kita peroleh, kembalilah kepada Allah.
Sekali-lagi saya mengingatkan saya pribadi dan pembaca sekalian. sebaiknya kita tidak bergantung pada ilmu dan pemahaman, semua itu hanyalah sarana, bergantunglah hanya pada Allah. Semakin dalam ilmu dan pemahaman yang kita peroleh maka semakin tertunduk kita kepada Allah dan pada satu titik nanti, InsyaAllah kita akan “lebur” karena kita akan syahid yakni sebenar-benar bersaksi kepada Allah yang Maha Esa.
Sesungguhnya karunia Allah akan pemahaman tentang ma’rifatullah bisa kita lalui jika mendalami ilmu Tasawuf.
Merugilah mereka yang menolak memahami ilmu Tasawuf.
Untuk itulah, Insyaallah, saya hadirkan blog ini untuk mengingatkan diri saya pribadi dan saudara-saudaraku Salafy (pengikut pemahaman Ibnu Taimiyah dan yang sepemahaman), teruntuk saudara-saudara muslimku yang anti tasawuf, teruntuk para pembaca pada umumnya serta juga teruntuk saudara-saudaraku yang terbiasa mengikuti “motivator-motivator” kehidupan yang cenderung mengikuti atau menginginkan materi semata atau memperturutkan hawa nafsu dan menjurus mencintai dunia. Semoga Allah melindungi kita semua.
Wassalammualaikum Wr. Wb
Ass. Wr. Wb.
Salam sejahtera kpd saudara-saudari sekalian.. Bnyk ilmu yg bisa sy petik dsni.., kpd sdra/sdri, Bpk/Ibu, sy haturkan bnyk terima kasih dan mohon kerelaannya atas ilmunya.., khususnya kpd Bpk. Mutiarazuhud dan Bpk. Alamsyah.. Smoga apa yg mnrt sy baik dan dpt sy amalkan akan mendapat ridho Allah SWT. Semoga suatu perbedaan akan menjadi indah… Dan dibalik sebuah perbedaan pasti ada hikmahnya, tergantung dari sudut mana kita memandangnya…
Wassalam….
kamu yang pernah bilang syaikh islam Ibnu Taimiyah itu sakit jiwa ya …..
maksud saya Sdr Badar.
Assalammualaikum Wr Wb.
Mas, boleh saya minta ijin untuk berbagi cerita yang mudah mudahan bermanfaat bagi saudara kita yg baru berniat untuk bisa lebih mendekatkan diri kepada ALLAH SWT melalui jalan Tasawuf namun belum bertemu guru Ulama Mursyid?
Harapan saya ada manfaatnya bagi kita semua.
Wassalammualaikum Wr Wb.
Walaikumsalam Wr. Wb
Silahkan akhi, jika ingin berbagi cerita.
Belum bertemu guru Ulama Mursyid bukanlah halangan karena sesungguhnya sebagaimana firman Allah yang artinya “….hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (Al-Fatihah:5).
Sungguh Allah yang tahu persis akan kebutuhan / keperluan kita dan akan “mengirimkan” guru Ulama Mursyid sesuai dengan kebutuhan.
Namun inti tharekat (jalan) utama adalah apa yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Guru Ulama Mursyid, atas kehendak Allah, “membantu” kita “menapaki” atau “melalui” perjalanan ruhani (suluk) masing-masing, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Persiapan kita sebagai murid, jadilah “orang yang berakal”. Semua manusia mempunyai akal namun yang dimaksud “orang yang berakal” adalah sebagaimana firman Allah yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran (3): 191). Selalulah “mengingat Allah” dan ini sesuai dengan keinginan Allah sebagaimana firman Allah yang artinya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Az Zariyat : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (al Hijr: 99)
Tujuan menjadi “orang yang berakal” adalah untuk mepersiapkan diri menerima karunia hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) sebagaimana firman Allah yang artinya, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269)
Ibnu ‘Atha’illah menganjurkan kepada salik (murid dalam perjalanan ruhani) yang ingin mencapai ma’rifat agar menempuh tujuh langkah dan senantiasa bersungguh-sungguh (al-Juhd), merendahkan diri kepada Allah (al-taddharu), membakar hawa nafsu (ahrtiraq al-nafs), kembali dan taubat kepada Allah (al-inabah), senantiasa sabar (al-sabr), selalu bersyukur pada nikmat Allah (al-sykr), dan senantisa rela atas takdir dan ketentuan Allah (al-ridha), Allah akan tetap menjalankan takdir-Nya kepada hamba-Nya baik diminta ataupun tidak, maka cukuplah bagi seorang hamba untuk berserah diri kepada Allah dan Dia akan mencukupi hamba-Nya yang senantisa tawakal.
Ibnu ‘Atha’illah juga mengatakan “janganlah engkau tinggalkan dzikir dikarenakan engkau tidak merasakan kehadiran Allah dalam dzikir tersebut, sebab kelalaianmu terhadap-Nya dengan tidak ada dzikir kepada-Nya itu lebih berbahaya daripada kelalaianmu terhadap-Nya dengan adanya dzikir kepada-Nya”. Dzikir adalah sebaik-baiknya jalan menju Allah Swt. Jadi tidak boleh ditinggalkan walaupun tidak sedang konsentrasi penuh. Dzikir sebaiknya adalah dengan menghadirkan Tuhan dalam hati, sehingga mampu melupakan segalanya selain Allah Swt.
Jadi klo ketemu orang yang mengaku guru ulama mursyid namun tidak menjalankan syariat Islam sebagai contoh sederhana adalah sholat 5 waktu, maka jauhilah segera.
Kenapa gk ada yang mau bedah buku habaib munzir al musawwa ya yang berjudul “MENITI KESEMPURNAAN IMAN”..
A’uudzu billaahi minasysyaithannirrajiim.
Bismillahirrohmanirrohim, Alhamdulillahhirobbilaalamiin.
Assalammualaikum Wr Wb.
dengan segala kerendahan hati saya tuliskan kisah ini untuk saudaraku yg belum mendalami Hadist, namun ingin mendekatkan diri kepada ALLAH SWT.
Suatu hari Ada sebuah majelis dzikir yg merupakan kumpulan saudara dan sahabat melakukan shalat malam.
dalam dzikir didapat sebuah berita gaib sbb:
mereka melakukan perjalanan yg lurus dan jauh, sampai suatu saat mereka berdiri dibawah sebuah pohon yang sangat besar dan rimbun. tidak berapa jauh mereka memandang sebuah pagoda yang sangat besar, indah dan mempesona. dibawah pagoda ada sebuah pintu yang sifatnya menghisap, dan diatas pintu ada tertulis surat “AL ASR” yg artinya ” DEMI MASA, SESUNGGUHNYA MANUSIA BERADA DALAM KERUGIAN, KECUALI ORANG ORANG YANG BERIMAN DAN MENGERJAKAN KEBAJIKAN SERTA SALING MENASEHATI UNTUK KEBENARAN DAN SALING MENASEHATI UNTUK KESABARAN”
Berita ini meninggalkan kesan yg sangat mendalam, namun tidak seorangpun memahami arti yang sesungguhnya.
Bertahun berlalu barulah ALLAH SWT singkap arti yg sesungguhnya. maknanya sbb:
Majelis dzikir ini telah melakukan ibadah mendekatkan diri kepada ALLAH SWT selama bertahun tahun dijalan yg lurus, sampai suatu titik ALLAH SWT telah menganugerahkan kepada mereka kekuatan iman, ketenangan, perlindungan, kesejukan yg dilambangkan berdiri dibawah pohon yg besar dan rindang , namun pada saat itu pula ALLAH SWT menguji keimanan mereka untuk memandang kepada segala kesenangan dunia berupa kekayaan, ketenaran dan kedudukan yg dilambangkan sebagai pagoda yg mempesona. tertarikkah mereka? terbuaikah? bila ada yg tertarik dan mendekat, diwajibkan bagi saudara/sahabatnya untuk mengingatkan akan peringatan yg tertulis dalam surat ” AL ASR “, bila tidak dihiraukan dan terus mendekat maka dia akan terhisap kedalam pagoda yg ternyata didalamnya adalah sebuah lubang hitam yg tidak diketahui kedalamannya dan yg dapat menolongnya hanya ALLAH SWT.
Inti dari kisah tersebut adalah pertanyaan kepada diri kita sendiri, apa tujuan ibadah kita yg sesungguhnya? bila kita ibadah bukan demi ALLAH SWT semata mata, maka iman kita tidak akan kuat menghadapi cobaan berupa kesenangan dunia,namun bila ikhlas, kita insyaALLAh akan berpaling dari pagoda dan melanjutkan perjalanan untuk mendapatkan lebih banyak lagi anugerah dan ridhoNYA hingga maut menjemput kita.
niat ibadah kita, itulah yg kita dapatkan. diantara anggota majelis tersebut ada yang berniat:
== mendapat ilmu sakti yg bisa digunakan setiap saat untuk berpraktek sebagai “orang pintar”demi mendapatkan materi. jelas orang ini akan kecewa, sebab ilmu ALLAH SWT bukan untuk diperjual belikan dengan harga yg murah. kecewa, lalu menuntut ilmu yg bisa dipraktekkan langsung(ilmu hitam yg dibantu jin kafir) sehingga dia berpraktek sebagai dukun segala macam masalah.
==mendapat rejeki yg banyak dan mudah, tentu orang ini juga akan kecewa, sebab tanpa usaha dan kerja keras bagaimana bisa menjadi kaya? kecewa, marah dan putus asa sampai punya niat minta kekayaan ke sebuah bukit.
untuk mereka ternyata ibadah bertahun tahun sia sia, malah terjerumus kedalam kenistaan.
untuk orang awam yg oleh suatu sebab ingin beribadah semata mata demi ALLAH SWT,ada beberapa saran dari saya:
1 . hancurkan semua patung , gambar berbentuk mahluk hidup yg dipajang dirumah. turunkan foto dan masukkan dalam lemari. boleh pajang foto separuh dada.
2 . jangan kenakan perhiasan dari emas, walaupun sepuhan.(untuk laki laki)
3 . jangan menerima barang berupa keris, jimat yg dibungkus kain, sorban dijahit rajah, tombak, trisula, pisau, badik, uang soekarno, andarun, gigi petir, batu cincin dll yg katanya memiliki kekuatan. bila benda benda tersebut ada dirumah, segera kembalikan kepemiliknya dengan alasan tidak sanggup merawatnya, atau dibuang kesungai yg dalam. modal kita kalau punya hanya baju gamis,tasbih dan sajadah. cukup itu saja.
4 . membaca Qur’an dan hadist agar tidak tertipu.
5 . Bacalah sejarah hidup junjungan kita NABI MOHAMMAD SAW, Resapilah akan kisah tentang akhlak Beliau yg begitu mulia, sehingga timbul kecintaan kita yg tak terlukiskan terhadap Beliau, keluarga dan sahabatnya.
6 . pelajari tata cara dzikir bertawasul kepada para Nabi dan wali ketika shalat malam dan ziarah ke makam.
7. bila tidak sanggup shalat malam, mulailah dengan yg mudah dan ringan asal terus menerus.
8 . jangan menerima wirid/bacaan dari siapapun yg bukan berasal dari Al Qur’an untuk diamalkan.
9. jangan pernah puasa , shalat malam sambil wiridkan sesuatu walaupun dari Al Qur’an, hal ini harus diawasi oleh seorang guru yg mursyid agar melindungi kita dari serangan setan, bila tidak kuat , bisa gila.
10. biasakanlah hidup sederhana walau kita kaya, keluarkan zakat dan beramal saleh.
Shalawat Nabi adalah ibarat fondasi sebuah rumah dan wadah untuk menampung ilmu lainnya. cobalah wiridkan ” ALLAHHUMMA SHOLLI ALA SAYYIDINA MOHAMMAD WA ALA ALI SAYYIDINA MOHAMMAD ” 500 x dalam sehari. lakukan terus menerus dengan penuh keikhlasan, insyaALLAH akan terasa:
1. hidup lebih tenang, semua masalah bisa dihadapi .
2. wajah lebih cerah dan bercahaya.
3. sehat, bila biasa masuk angin, insyaALLAH hilang. dll
jalankanlah ibadah dengan istiqomah, selanjutnya kita akan dituntun untuk menemukan guru ulama mursyid atau ALLAH SWT akan turunkan langsung ilmu kepada kita.
selalu bersyukur atas pemberian ALLAH SWT walau sedikit, insyaALLAh hati kita akan dibuat lembut, tunduk dan hanya takut kepada ALLAH SWT.
demikianlah yg dapat saya sampaikan, kurang lebihnya mohon dimaafkan.
Wassalammualaikum Wr Wb
Persoalan tawassul itu ada tawassul istighosah yaitu tawassul yang menyeru sesuatu yang gaib (punya kekuatan) di samping Allah.. ini adalah tawassul PEMBATAL KEISLAMAN KEIMANAN.
Point no.9 juga praktek2 yang gak ada dalilnya gak mesti ada mursyid, kalau ingin puasa sunah ingin shalat sunnah tingal cari kitab2 nya di GRAMEDIA asalkan shahih.. tak perlu ada mursyid.
Saya sependapat untuk masalah puasa sunnah dan sholat sunnah sudah ada syariat dan ketentuannya. Kita dapat dengan mudah mengetahui melalui buku ataupun ulama agama.
Sedangkan mengenai wirid atau dzikir boleh mengikuti saran atau bimbingan mursyid / pembimbing dengan memahami maknanya agar mengetahui kesesuaian dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Mursyid / pembimbing atau ulama Sufi sudah saya tuliskan di
Perlu atau tidak perlu mursyid tergantung kebutuhan dan Allah Maha Mengetahui.
poin no.9 yg saya maksud adalah:
besok misalnya niat puasa khusus, malamnya shalat sunah,wiridkan suatu surat di Al QUR’An dalam jumlah tertentu, doa tertentu, tawasul tertentu, jumlah hari puasa tertentu. puasa ini yg harus dijaga oleh seorang guru Mursyid karena setan akan menyerang sekuatnya agar tidak berhasil dijalankan.
kalau puasa sunah misal senen kamis, tengah bulan, dll tidak perlu guru mursyid.
saya pernah ikut suatu majelis zikir sesat yg melakukan shalat taubat dan hajat berjama’ah, ada satu hadiah AL FATIHAH terakhir yg bertawasul sengaja tidak disuarakan jelas untuk siapa, ternyata yg diundang (dihadiahkan AL FATIHAH) adalah serombongan besar jin kafir yg memiliki tugas khusus untuk mengikat anggota majelis agar tertutup mata batinnya. majelis semacam ini dipimpin oleh seseorang yg memiliki ilmu dari AL QUR’AN yg dibalik balik isinya. tawasul semacam ini yg sesat.
hati hati beli buku agama, banyak yg menyesatkan, terutama dari group “komando pastur”, sementara ini yg lebih aman di toko buku Gunung Agung.
Ini ada nukilan dari Ust. Hartono Ahmad Zaid penulis buku Tasawuf Belitan Iblis..
Garis-garis Besar Aqidah Sufisme
1. Aqidah sufisme mengenai Allah:
Orang-orang tasawwuf percaya kepada Allah dengan aqidah-aqidah yang macam-macam di antaranya al-hulul (inkarnasi, penitisan/ penjelmaan Tuhan dalam diri manusia) seperti pendapat Al-Hallaj (menyebabkan ia memaklumkan dirinya sebagai “kebenaran” dengan ucapan “anal Haq” = Akulah Kebenaran. Al-Haq adalah salah satu nama Tuhan. Dengan perkataannya itu berarti ia mengaku: “Akulah Tuhan.” )
Faham Hulul, faham yang menyatakan, bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu sebagai tempat-Nya, setelah sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh tersebut dihilangkan. Faham Hulul dalam tasawwuf ditimbulkan oleh Husein Ibnu Manshur al-Hallaj (lahir di Persia tahun 858M) yang mengajarkan bahwa: Allah memiliki dua (2) sifat dasar (natur), yaitu sifat ke-Tuhan-an (lahuut) dan sifat kemanusiaan (Nasuut). Hal tersebut dilihat dari teori kejadian makhluk-Nya, sebagai berikut: Sebelum Tuhan menciptakan makhluk, Ia hanya melihat diriNya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu, terjadilah dialog antara Tuhan dengan diriNya.
Dialog yang dalam, tidak terdapat dalam kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanya kemuliaan dan ketinggianNya dan Allah pun cinta pada zatNya sendiri. Cinta yang tidak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak dan Ia-pun mengeluarkan dari yang tiada, bentuk (copy) diri-Nya, yang mempunyai segala sifat dan namaNya, dan
bentuk (copy) tersebut adalah Adam, dan seterusnya. Setelah Adam tercipta dengan cara-Nya, maka Ia sangat mencintai dan memuliakannya di syurga dan sebagai khalif di bumiNya. (Drs Shodiq SE, Kamus Istilah Agama, CV Sienttarama Jakarta, cetakan kedua, 1988, hal 122-123).
Kemudian akibat pendapatnya yang mengandung kemusyrikan itu maka Al-Hallaj yang lahir di Fars, Parsi (Iran) 244H/ 858M ini dihukum bunuh pada tanggal 24 Zulqa’dah tahun 309H/ 26 Maret 922M, di Baghdad di bawah kekhalifahan Abbasiyah, khalifah ke-18 dari 37 khalifah, Al-Muqtadir bi ‘l-lah (Ja’far Abu ‘l-Fadhl, yang berkuasa pada tahun 295-320H/ 908-932M. Selain Al-Hallaj dituduh membawa paham yang menyesatkan (paham hulul), ia juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syi’ah Qaramitah, suatu kelompok Syi’ah garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah sejak abad ke-10 sampai abad ke-11. (lihat Ensiklopedi Islam, Kafrawi Ridwan dkk ed, PT Ichtiar Baru van Hoeve Jakarta, cet V, 1999, huruf H, hal 74-75).
Sumber lain menyebutkan, Abu Mughits Al-Husein bin Mansur Al-Hallaj (244-309H) dilahirkan di Persia, seorang cucu dari penganut Zoroaster, dibesarkan di Irak. Tokoh inilah yang terkenal dengan “Hululiyin” (para penganut faham panteisme) dan “Ittihadiyyin” (para penganut faham manunggaling kawula gusti). Ia dituduh kafir, dibunuh dan disalib karena 4 perkara yang dituduhkan kepadanya:
1. Karena berhubungan dengan orang-orang Qaramithah (Syi’ah ekstrim).
2. Karena ucapannya: “Aku adalah Tuhan Yang Haq.”
3. Karena pengikutnya meyakini akan ketuhanan dirinya.
4. Karena pendapatnya tentang haji, bahwa haji ke Baitullah tidak termasuk suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.
2. Aqidah Shufi Mengenai Rasulullah SAW
Sufisme dalam hal mempercayai Rasulullah juga ada bermacam-macam aqidah. Di antaranya ada yang menganggap bahwa Rasul SAW tidak sampai pada derajat dan keadaan mereka (orang-orang shufi). Dan Nabi SAW (dianggap) jahil (bodoh) terhadap ilmu tokoh-tokoh tasawwuf seperti perkataan Busthami: “Kami telah masuk lautan, sedang para nabi berdiri di tepinya.”
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, pengarang kitab Ila at-Tashawwuf ya ‘Ibadallaah menisbatkan perkataan tersebut kepada At-Tijani (pendiri tarekat At-Tijaniyah). Lalu Al-Jazairi berkomentar: Kelanjutan ucapan At-Tijani ini bahwa quthub-quthub (wali-wali yang ada di kutub-kutub dunia) shufi itu menurut pendapat mereka lebih tahu dibanding Nabi-nabi tentang Allah dan lebih mengerti tentang syari’atNya yang mengandung kecintaan dan kemarahan. Bukankah (kepercayaan) ini merupakan kekafiran wahai hamba-hamba Allah? komentar Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Khatib Masjid Nabawi Madinah. (Ila at-Tashawwuf ya ‘Ibadallaah, Jam’iyyah Ihyait Turats Al-Islami, halaman 40).
3. Aqidah Shufi Mengenai Wali-wali.
Sufisme dalam hal wali-wali juga mempercayai dengan kepercayaan yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang melebihkan wali di atas nabi. Pada umumnya orang shufi menjadikan wali itu menyamai/sejajar dengan Allah dalam segala sifatnya, maka ia (wali) itu mencipta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam.
Orang shufi membagi-bagi wali menjadi beberapa bagian, ada yang disebut wali Al-Ghauts yang mempunyai kemauan sendiri dalam segala sesuatu di dunia ini, dan ada 4 Wali Kutub yang memegangi pojok-pojok yang empat di dunia ini atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Abdal yang tujuh, masing-masing mempunyai kekuasaan di satu benua dari 7 benua atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Nujaba’, yang mereka itu memiliki kekuasaan di kota-kota setiap wilayah di kota. Di kota-kota, demikianlah seterusnya, maka jaringan wali-wali internasional ini menguasai makhluk, dan mereka punya dewan tempat mereka berkumpul yaitu di Gua Hira’, setiap malam mereka melihat taqdir. Cekak aosnya (pendek kata), dunia perwalian (shufi) itu adalah dunia khurafat (kepercayaan yang menyeleweng dari kemurnian Islam) total.
Ini otomatis berbeda dengan kewalian dalam Islam yang ditegakkan di atas agama dan taqwa, amal shaleh dan ibadah yang sempurna kepada Allah, dan membutuhkan (pertolongan) Allah. Sebenarnya wali itu tidak bisa menguasai urusan dirinya sendiri (untuk mendatangkan manfaat dan madharat) sedikitpun, lebih-lebih untuk menguasai orang lain.
Pokok ajaran Islam ada tiga yakni, Islam (rukun Islam, Fikih), Iman (rukun Iman, Ushuluddin atau i’tiqad) dan Ihsan (seolah-olah melihatNya, tasawuf )
Apa yang disampaikan oleh Ust. Hartono Ahmad Zaid, mungkin saja adalah yang mendalami tasawuf namun terbelit setan.
Sedangkan pokok ajaran islam tentang Ihsan wajib kita imani , sebagaimana yang disampaikan oleh malaikat Jibril dan Rasululllah di depan para Sahabat.
Seorang sufi sejati tdk pernah mengatakan”saya ini seorang sufi”,apalagi berdebat dengan orang2 yg mengaku tlh memahami ilmu tasawuf. Pahamilah bhw sekalipun seseorang itu tlh menela’ah berjuta kitab tasawuf bukanlah berarti orang tsb tlh memahami jalannya kaum sufi. Wahai akhi2 ku sekalian janganlah berdebat hal2 yg menyangkut dengan ilmu tasawuf,krn kalian bukanlah ahlinya.Dan jangan memvonis dlm bentuk hukum apapun terhadap ulama baik yg akhi anggap sufi maupun yg bukan.krn sekali lagi saya tekankan bhw kalian bukanlah ahlinya.
Kita sebaiknya tidak mengatakan saya seorang sufi, saya muslim yang ihsan atau muhsin, karena ini adalah hak Allah semata untuk memutuskan tingkatan seorang muslim atau menentukan panggilan kepada seorang muslim. Bahkan sebagian ulama juga menganjurkan untuk tidak mengatakan “saya seorang mukmin”, yang diperbolehkan mengatakan “saya seorang muslim”. Sedangkan jika kita memanggil muslim yang lain dengan “kamu seorang sufi” atau mukmin atu muhsin adalah tidak mengapa sebagai penghormatan atau panggilan yang baik.
nya.woeng…
sy sangat setuju dengan perkataan an
maaf ….
saya sangat se
kalau membaca kitab karangan SYECH ABDUL QODIR AL JAELANI R.A , beliau yang diakui sebagai Sultan para wali, tidak satu kalimatpun yg pernah beliau katakan bahwa para wali ALLAH bisa berbuat semaunya, tidak membutuhkan pertolongan ALLAH, itu adalah fitnah yg keji!!!. beliau selalu menasehatkan agar kita jangan berbuat apapun selain kehendak ALLAH SWT dan kalimat ini hanya dipahami oleh orang yg mengerti bahwa ALLAH SWT yang maha kuasa, pemilik langit bumi dan segala isinya, tiada daya upaya yg dapat dilakukan selain dengan pertolongan ALLAH SWT.
bila ada sufi palsu yg melebihkan Wali daripada Nabi SAW, maka itu adalah sufi yg otaknya kena stroke dan diduduki setan, ujung ujungnya buka semua pakaian dan berkeliaran dijalanan.
saya lebih percaya kalau busthami (yg mana orangnya?) berkata ” kami telah masuk lautan, lalu tenggelam dan mati, sedangkan para Nabi berdiri ditepian”
maksud perkataanku..
sy sangat setuju dengan apa yang di katakan oleh nya.woeng..
berdebat seperti itu tidak akan ada endingnya.untuk itu jalani apa yang menjadi keyakinan anda, yang menurut anda itu benar..
satu lagi hati-hati mengucapkan kata dari hati karena smua itu hrus dipertanggung jawabkan kelak..subehanallah.
hai semua umat islam yg sya hrmati sesungghnya kalian di dalam tipu daya setan krna ilmu yg klian dpt hnya untk brdbat dan merasa benar maka ,kajilah kitab imam gozali ,(bidayatul hidayah) mka smua akan terbuka inti kesempurnaan ibadah dgan mnjaga hati dan mjlnkan hkum syara dri ulama salaf solihin dan jnganlah kau masuk kedalam partai2 politik yg hanya akan membwa mu ke dlam neraka.
ilmu yg klian pkai hya kalian dptkan dr buku2 cetakan bda kalau kalian benar2 tholabul ilmi kpd ulama2 haq itu bru berkah jd kpd alamsyah dan bandr mendingan kalian pesantren dulu’ jngn ngapalin dri buku2 anak kecil’ juga bisa
coba terka kesombongan itu berasal dari siapa ? jgn lah kau tiru sifat iblis yang sungguh di laknat oleh allah SWT.
Islam akan terpecah menjdi
73 golongan hanya satu golongan yg akan slamat!? Dan menurut imam syasfi,i adalah ahlushunah waljamaah yg benar2 menjalan kan sunnah dan jnganlah kalian menyepelekan sunnah kalau kalian mengaku umat nabi s.a.w mkanya klau sholat pk peci dan srung ya dn belajarlah ilmu fiqih dn tasawuf
Agar kamu tidak tersesat
sudah ngaku bodoh dan menyiksa diri kok ngajarin orang? tambah bodoh dong yg dengerin…ck..ck..ck
mantaffff aku stuju …….
Saudara seiman dalam wadah bikalimati syahadat
Saya merasa kl saya adalah manusia yang masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam diri saya..
Tapi saya akan sangat merasa tersiksa dan sedih hati saya bila melihat sesama muslim saling merasa benar, saling mengumpat….apakah tujuan dari ISLAM…sebenarnya..
..apakah makna kata yang tersirat dari kata agama rohmatan lil’alamin…
tolong pahami kalimat syahadat yang tersirat..setiap bacaan sholat yang kita lakukan…
Saya hanya bisa mengingatkan bukan membenarkan atau menyalahkan…setidaknya kita harus berpegang pada AL-Quran dan Hadist rosullullah
Kita tidak untuk merasa benar tp mencari kebenaran …bukan dg jalan saling merasa benar, dan menyalahkan…
hati saya lebih tersiksa, sedih dan marah bila ada yg berani menghina junjungan kita Sayyidina wa Habibina wa Syafiina wa Maulana MOHAMMAD SAW dan para Wali ALLAH SWT, jangankan sekedar menghujat, membunuhpun akan saya jalankan terhadap orang tersebut, dengan ijin ALLAH SWT.
Islam itu penyayang, sabar, bijaksana, namun bukan berarti harus lembek dalam segala hal.
Banyak orang munafik menggunakan kalimat Islam untuk berbicara namun isi hati yg sesungguhnya …..?
“Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dialah Yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. AL QALAM:7)
”Katakanlah:” Wahai Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui barang ghaib dan yang nyata. Engkaulah Yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka memperselisihkannya. “” (QS. AZ-ZUMAR:46)
”Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat),” (QS. AL HIJR:97-99)
Saudaraku kaum muslimin dan muslimat mengapa kita selalu mencaci,memaki,merasa benar,merasa tau,merasa yang paling benar, ….apakah kita manusia merasa yang paling benar dan yang paling benar..?
Setidaknya kita harus merasa kita tidak ada yang paling benar, kecuali Allah Yang Maha Benar ….dan manusia yang sempurna hanya Rosullullah Muhammad SAW…rosul penutup akhir zaman..tidak ada yang lain..
Saudaraku, saya hanya sekedar meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman yan telah terjadi selama ini. Khususnya ketika ulama-ulama kaum Wahabi atau Salaf(i) mencoba berijtihad (memahami) Al-Quran dan Hadits. ~kita harus bisa bedakan dengan kaum/ulama salaf ~
Silahkan baca https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/17/kesalahpahaman-bidah/
dan kesalahpahaman-kesalahpahaman lainnya, lihat indeks tulisan disisi/lajur kanan
Wassalam
Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
Saya berharap dari perdebatan dan perbedaan pandangan
yg telah terjadi diantara saudara2 kita bisa menjadi renungan dan intropeksi diri dan memperkuat ” UKHUWAH ISLAMIYAH “….
Yup semoga dapat tercipta ukhuwah Islamiyah dengan salah satunya meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman selama ini. Tidak mungkin tercipta ukhuwah Islamiyah jika umat muslim saling mensesatkan atau mentakfirkan.
agara2perbedan pendapat bnyak sekali yang bermusuhan karena beda pendpat ‘kalok saya tidak mau ambil pusing2 kalok memang tidak sesuai dengan AL-QURAN dan hadist kenapa harus di perkuat karena kata nabi kalok berlainan pendapat kembalikan kepada al-quran dan hadits biar tidak ada pertikain yang terjadi
Saya yang awam sangat menggagumi ilmu tasawuf, setelah membaca beberapa blog dan kena hujjah iblis oleh salafy wahabiyah di tempat saya.
Kelemahan mendasar mereka wahabiyah adalah hanya melihat dalil dan sejarah kesesatan kelompok yang mengaku sufi dan menghamba pada nafsunya.
Mereka cendrung menyamaratakan dan mengharamkan amalan yang belum tentu salah seluruhnya bukan pada definisi ilmu tasawuf yang jelas 2 berpatokan pada AlQuran dan Hadits.
Sebagai muslim jika ragu sebaiknya kita menghilangkan praktek ibadah yang meragukan kebaikannya seperti perkataan mereka zikir sambil nari2.
Tapi dalam berzikir kita boleh melakukan hal yang terbaik selama tidak akan merusak nilai zikir. Saya telah merasakan manfaatnya, jiwa menjadi tenang, hati selalu ingat Allah SWT dan pikiran lebih fokus dalam kehidupan sehari2. Kita sebaiknya dan mengharap ridhoNya.
Begitulah seorang muslim seharusnya bersikap. Bagaiman kita bisa berdakwah tapi didahului itu sesat, bid’ah, kurafat. Yang timbul pertama kali adalah kebencian pada diri mereka .
Rasulullah berdakwah dengan akhlakul kharimah tak lain yang sama sifatnya dengan tasawuf . Menyampaikan larangan secara bertahap dan bukan ektrim seperti wahabiyah.
Semoga kritikan ini bisa menjadi masukan, sadarlah banyak hal yang lebih penting sekarang untuk umat islam. kalau ada kata saya yang salah , mohon maaf setulusnya, kebenaran datang dari Allah, dan saya hanya menyampaikan maksud dengan hati yang suci
Sesungguhnya manusia adalah diciptakan oleh Allah sebagai hamba Allah yang diharapkan selalu menerima dan bersyukur atas semua kehendak Nya. Karena sesuatu yang tidak baik bagi kita belum tentu bagi Nya.Sesuatu yang baik bagi kita belum tentu tidak baik bagi Nya.
sesama islam aja udh ribut, gmn mau kokoh agama ini. kita harus memilih hal yg benar menurut dalil wahyu dan akal sehat. jangan karena hawa nafsu kita.. jangan karena mempertahankan pendapat sendiri. ambillah sesuatu itu yg benar krn ada dalilnya dan masuk akal, jangan krn kita seperti si A sehingga berpihak kepada si A. mari satukan hati menuju rahmat ALLAH.
mantaaaaafffffff mkch tas ilmu nya…..
waduh mantafffff pinter-pinter semuanya.. mimang islam ini agama ,yang membawa berkah dan manfaat…dan perbedaan pendapat jadikan suatu berkah dan karunia..asal jgn melinceng aja tetap ya bertinggir pada al-qur’an dan hadits…….
Ada baiknya kalau masing2 pihak ketemuan saja, pihak wahhabi salafy dan pihak yg diklaim tasawuf sama-sama duduk bareng..Kalauperlu makan-makan bareng abis diskusi, kan enak..Saya bersedia jadi mediatornya..Masjid dekat rumah saya bisa dipake..
Daripada bicara di sini jatohnya fitnah..karena beda loh komunikasi dunia maya dgn komunikasi nyata..
Mari pererat ukhuwah.
salam,
http://www.abuicanimovic.blogspot.com
Alhamdulillah.
Sejatinya tidak ada masalah dengan ukhuwah Islamiyah, sejauh masing-masing pihak untuk saling menghargai apa yang menjadi kehendak Allah Azza wa Jalla. Msalahnya timbul jika ada pihak yang gemar mengkafirkan pihak lain yang berbeda pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
Assalamu’alaikum wrwb..
Subhanallah fa’aalullima yurid
Mohon ijin nyimak ya akhi…
akan muncul tanduk syetan di wilayah nejb.saudaraku,pertahankan akidahmu dari rongrongan wahabi kaum mujasimmah.amit2 jabang bayi.ya alloh,jauhkan hamba dan keluarga hamba dari fitnah kaum wahabi.
akan muncul tanduk syetan di wilayah nejb. saudaraku,pertahankan akidahmu dari rongrongan wahabi kaum mujasimmah.amit2 jabang bayi.ya alloh,jauhkan hamba dan keluarga hamba dari fitnah kaum wahabi. Seribu dalil tidak akan cukup untuk membungkam mereka,karena hati dan akal mereka telah tertutup oleh doktrin dan taklid buta kepada ulama2 sempalan saudi.
Asslam…bgaimna ya..caranya mendekatkan diri ke alloh swt dan menjadi umat rosullah nabi muhamad s.a.w.yg benar dan iklas tks wasslam.
Walaikumsalam.
Pertanyaannya luas sekali.
Pertama yang dilakukanlah adalah penuhi dahulu syarat sebagai hamba Allah ta’ala yakni melakukan hal-hal yang wajib yakni yang wajib dilakukan (syahadat, sholat 5 waktu, zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan ibadah haji bila mampu) kemudian baru lakukan amal kebaikan (amal sholeh) . Silahkan ikuti tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/21/tips-bertasawuf/
mantap blog nya gan..ane bakal sering2 kunjungin buat nambah2 ilmu pengetahuan.mohon maaf dngn setulus nya kalo ane punya slah dalam ngasih koment.
I love tasawwuf
Apakah yang punya blog ini menjalani tasawwuf? iNGAT !! Tasawwuf identik dengan MURSYID. Bila bertasawwuf tanpa MURSYID, maka syetanlah MURSYIDnya. Nah bagaimana untuk mencari MURSYID yang muthabarah ? Dan apakah itu MURSYID?
Sabar…sabar…sabar..wahai saudaraku sesama muslim, berdebatlah dengan baik sesuai sunnah rasul. Karena kebenaran hakiki itu hanya milik Allah, Ilmu Hakiki itu hanya milik Allah, bahkan diri-diri kalian semuanya milik Allah. Segala kebaikan datang dari Allah dan keburukan itu datang dari diri kita sendiri, dan semuanya kembali kepada-Nya.
Yang masuk neraka dan yang masuk surga adalah hak dan kehendak Allah semata. Tak seorang pun mengetahui bahwa dirinya akan selamat dari api neraka ataupun masuk surga, kecuali apa yang telah diterangkan Rasulullah SAW. Maka marilah kita semua bertobat dan terus meningkatkan keimanan dan amal saleh. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Mengampuni semua dosa hambanya kecuali dosa syirik dan dosa terang-terangan.
Allah Ta’ala Menciptakan segala sesuatu
Maha Suci Allah dari segala kekurangan dan keserupaan dengan makhluk karena Dia laisa kamitsilihi sai’un (Tiada yang menyerupai Dia dari segala makhluk-Nya).
Mencintai Nabi adalah kewajiban tiap-tiap muslim.
Jadi tak pantaslah kita orang2 awam ini menyakiti orang yang kita cintai. termasuk mengolok-olok orang tua rasul. Bagaimana perasaan rasul jika mendengar ada umatnya memperolok-olok orang tua beliau.
Kembalikan kepada dirimu…bagaimana jika orang tuamu yang dicap masuk neraka….bagaimana perasaanmu….saudaraku.
Oleh karena itu mempelajari ilmu agama haruslah dengan kecerdikan….bukan ingin mengetahui hal-hal yang tidak penting,,,,seperti apakah masuk neraka si anu…?
ilmu agama yang terpenting ada 3, yaitu Aqidah (mengenal Allah dan Rasul-Nya), kemudian Ilmu syariat (amalan lahir yang sesuai Sunnah) dan Ilmu Hati (amalan batin) yang merupakan asal ilmu tasawuf.
AlQuran dan Hadis mengajarkan manusia untuk selalu shalat, zakat, zikir, dll…
Shalat dengan mengerjakan rukun2nya ataupun sunnatnya merupakan ilmu syariat (ilmu lahiriah). Al Quran menyatakan dengan jelas bahwa shalat bertujuan untuk mengingat/berzikir kepada-Nya. Zikir (ingat) itu adalah pekerjaan hati, nah …kalau hati kita kotor dengan hawa nafsu, mana mungkin bisa bezikir kepada Allah.
membersihkan hati adaah bagian dari ilmu tasawuf.
Membersihkan hati hanya dengan menghafal dalil-dalil …tidak akan tercapai, melainkan dengan mengamalkan dalil-dalil itu antara lain yang paling umum kita tahu adalah menghormati orang lain, tetangga, tamu, dsb sesuai hadis Rasul.
Berbuat baik dan menekan nafsu sangat lah sulit, kecuali pertolongan Allah. Maka dari sinilah kaum sufi berangkat…..bahwa tidaklah diterima segala amal tanpa keikhlasan Lillahi ta’ala, tanpa Meng-Esa-kan Allah.
Sehingga perlu perjuangan yang namanya Mujahadah melawan hawa nafsu.
Inilah sebagian dari ilmu tasawuf.
kaidahnya : Ilmu tasawuf tidak akan tercapai, tanpa aqidah yang benar dan syariat yang benar.
Alhamdulilah….para wali Allah mencapai derajatnya dihadapan Allah karena menjalani dan mengamalkan 3 ilmu itu. Itulah Sunnah Rasulullah Saw.
mencintai wali-wali Allah adalah kewajiban tiap-tiap muslim
Barang siapa memusuhi wali Allah (memusuhi ajaran dan amalannya) berarti dia menyatakan perang kepada Allah Yang Maha Perkasa.
wali Allah itu adalah orang yang dekat dan kenal betul dengan Tuhan tanpa prasangka, tanpa dalil, tanpa penghalang-hijab karena mereka mendapat karunia dari Tuhannya.
ketahuilah bahwa wali Allah itu pada umumnya adalah pengamal ilmu tasawuf.
Wassalam….ini saya …saudaramu sesama muslim yang tidak berdaya dan tidak banyak tau, kecuali sedikit.
Alhamdulillah syukran
Jangan takut bertasawuf….kalau anda tidak suka istilah tasawuf, silakan anda ganti namanya….misalnya ilmu membersihkan hati..he..he. he.. sama aja.
Tasawuf bertujuan membersihkan diri lahir dan batin dari selain Allah. bukan dengan dalil..tetapi dengan keyakinan dan pandangan tanpa hijab.
Dalil itu berfungsi sebagai petunjuk jalan…..menuju keridhoan Ilahi.
jadi dalil itu sebagai batasan dalam beramal. amal yang tidak berdalil akan tertolak.
kaum Sufi itu memiliki ilmu penguasaan dalil yang sangat kuat dibanding sebagian orang-orang sekarang. contohnya Al Gazali kurang lebih 300.000 hadis beliau hafal. Imam Nawawi Al Banten disebut Hujjatul Islam juga karena hafalan dalil hadisnya. dan masih banyak kaum sufi lainnya yang menghafal dalil-dalil yang sangat sangat sangat banyak dibanding kita ini….sadarlah kalian semua.
Para Imam mahzab adalah kaum sufi..
kalau anda ingin membersihkan agama Allah dari kesyirikan umatnya…maka mulailah dari diri anda sendiri, jangan anda melihat orang lain sepeti para pengikut tasawuf. karena para pengikut tasawuf memiliki tujuan yang sama yaitu Meng-Esa-kan Allah Azza Wa Jalla.
anda tidak perlu pusing dengan mereka. karena mereka lebih mengetahui ke esaan Allah dari pada orang yang tidak bertasawuf.
dalil tauhid kaum sufi (tasawuf) adalah QS Al Ikhlas dan Qs. Asy Syuraa. 11 Laisa kamitsilihi syai’ (Tuhan tidak ada yang menyerupainya dari segala sesuatu)
jadi mustahil kaum sufi menyamakan dirinya dengan sang Khaliq.
jadi mustahil kaum sufi menyatakan dirinya Tuhan atau bersatu dengan Tuhan.
adapun perkataan2 yang sebagian dari mereka ucapkan itu…..adalah diluar kesadaran mereka. Kita sebagai manusia biasa tidak memiliki pengetahuan tentang keadaan mereka. kecuali prasangka….Prasangka buruk itu adalah dilarang oleh Nabi SAW.
kaum Sufi (pengamal tasawuf) dengan izin Allah, telah banyak berjasa dalam pengislaman manusia di seluruh dunia. Contoh..wali 9 dan penerusnya di tanah Jawa, Wali Tujuh di Sulawesi, Para Syeikh Tarekat di Nusantara. antara lain Abdur Rauf Singkel, Abdus samad palembang, Arsyad Banjari, Ismail Minangkabawi, Syeikh Yusuf al taj Khalwaty Al Makassar, serta para Sayyid ahlu bait. mereka semua adalah pengamal ajaran tasawuf yang sukses lahir dan batin…..sehingga kalian semua sekarang ini tau shalat, tau puasa, dsb, makanya jangan sok tau….he heh hehe. Maaf.
Kitab-kitab islam yang dibaca di pesantren sekarang ini pada umumnya berasal dari ulama-ulama klasik nusantara,
masih beranikah anda menentang para ulama tersebut?….ha yo….
Mereka semua yang saya sebutkan itu adalah khalifah Nabi SAW.
Wallahu A’lam.
assalamu alaikum….pak.ada orang yang tidak pernah ikhtiar /kasab dan tidak prnh syiar agama islam.kecuali ada org datang ke rumhnya,baru syiar (kunjungan).yang saya tanyakan apakh ada ajaran islam untuk mendptkn rezeki tanpa ikhtiar.tapi realisasinya dia pun rezeki trus mengalir dan bertambah tanpa ikhtiar…yg sy tnykn ajarn islam seprti apa itu pak.trimksh
bp alamsyah yang terhormat,sebenarnya dzikir itu d anjurkan oleh rasul dn tidak di larang bilanganya mau berapa jg,adapun dzikir sambil menari memang tidak di contohkan rasul,sebaeknya anda bertanya hal itu kepada ahlinya ya itu sufie yang suka melakukanya karena tdk semua sufir mlakukan dkir dengan menari dn perlu kita ktahui bahwa sufie dengan tasauf itu beda,
ikutilah yang lebih banyak,ya itu ahlusunah waljama,ah yang beritihad kpd imam mujtahid mutlq ya itu imamul arba,ah,nanti ente2 tahu apa sbenarnya yang terkadung dlm ilmu tasawuf,ente mau tahu tasawuf gmna klo belum mendalami hehehe
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Masya Allah, Subhanallah, Alhamdulillah….saya yang sangat hina, bodoh dan tidak tahu apa-apa ini sangat berterima kasih kepada semua tanpa terkecuali. setelah saya membaca sekilas perdebatan, perselisihan pendapat dan pada akhirnya….(Insya Allah) ternyata panjenengan semua tetap mempertahankan keutuhan UKHUWAH kita sebagai sesama Muslim (Insya Allah), Alhamdulillah….semoga semua yang telah panjenengan paparkan selalu dalam dzikir kepada Allah SWT. semoga Allah SWT. senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah serta pertolonganNya kepada kita semua dalam berikhtiar menjalankan segala yang diperintahkan dan berikhtiar menjauhi segala yang dilarang Allah SWT. Amin Ya Robb…..
hanya itu yang bisa saya ( Al-Fakir) sampaikan…
Terima kasih.
Wassalau’alaikum Wr. Wb.
saya ingin bertanya, bagaimana kita hendak mengenali diri sendiri. Sebab kata hamba Allah untuk mengenali Allah.kenalah diri sendiri barulah kita dapat memahami siapa Pencipta kita.saya harap saudara/saudari dapat menjelaskan kepada saya.
Silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/11/04/kenali-diri/ dan seluruh tulisan pada bagian perjalan hidup (suluk). Lihat indeks / daftar isi pada kolom paling kanan
mas MZ, mantap ulasannya, ana yg faqir ini mohon ijin mencopy link ini????
Alhamdulillah, silahkan
Bagaimana anda tahu rasanya madu itu manis kalo anda tidak mencobanya. Tasawuf itu jalan yg indah thanks for my mursyid…
tasawuf adalah bagian ilmu daripada agama islam,, yang mana tingkatan pendekatan Allah sudah dekat.. kemudian para penganutnya yang telah benar2 mendalami ilmu ketuhananya mendapatkan gelar bernama sufi..
akan tetapi,,jika ada para sufi yang masih menyukai duniawi (nafsu) maka beliau masih belum bisa dikatan seorang sufi..
mendekatkan dirilah pada Allah (sesuai dengan syari’at islam),.lakukanlah apa yang diperintahkan Allah,,jauhilah apa yang dilarang Allah,,dan ikutilah apa yang dicontohkan Nabi Muhammad..
saya kira dengan seperti itu semua akan berjalan dengan baik,,tanpa harus saling mencela..apalagi yang dibahas masalah agama..
agama tidak untuk diperdebatkan..
jika merasa ada yang tidak cocok dengan peraturan agama,,maka diamlah..
jika merasa ada yang berbuat lebih daripada aturan yang ada,,selama masih baik,,tolong jangan dipersoalkan..
ingatlah,,Allah maha mengetahui..!!
saudara-sadaraku,
aku sungguh bahagia banyak yang saling membagi ilmu yang diketahuinya.
tapi saya sedih melihat kalian tidak saling menghargai pendapat masing-masing.
kita jalani perintahnya dan kita jauhi laranganya,niscaya kita ditunjukkan jalan yang benar.
kita ini siapa…..seberapa ilmu kita…….sekuat apa kita beribadah…..dan apa yang telah kita perjuangkan dijalanya, semoga ini bisa menjadi kerendahan hati bagi kita semua.
Ustad Zon, mohon penjelasan bagaimana perbedaan (kelebihan & kekurangan) bertasawuf dengan tarekat dan tanpa ikut tarekat..
Afwan & sukron.
Dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/05/perjalankanlah-diri-kita/
Buya Hamka, seorang ulama yang kita kenal menguasai perkara syariat menyampaikan bahwa “antara makhluk dan Khaliq itu ada perjalanan yang harus kita tempuh . Inilah yang kita katakan Tharikat”
Tharikat si A artinya tharikat atau jalan yang pernah ditempuh si A
Ibarat naik gunung , tentu lebih mudah melalui jalan/lintasan yang pernah dilalui seseorang daripada mencari dan membuat lintasan sendiri.
Apalagi perjalanannya diikuti seorang pembimbing (mursyid) akan lebih mudah dan lebih aman dari kemungkinan “tersesat”
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/28/maqom-wali-allah/
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian (kedekatan dengan Allah ta’ala).
Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah).
Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.
Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah. Keikhlasan dan kesungguhanya memperjalankan diri mereka agar sampai (wushul) kepada Allah ta’ala.
Maaf,
apakah berarti dalam mempelajari dan menjalankan tasawuf kita ‘wajib’ ikut dalam tarekat tertentu seperti ‘wajib’nya kita bermazhab dalam mempelajari dan menjalankan ilmu syariat / fiqih??
Bermazhab bukanlah kewajiban namun sebuah kebutuhan ketika kita tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid. Kompetensi Imam Mujtahid silahkan baca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/20/2010/03/31/imam-mujtahid/
Begitupula bertarekat bukanlah kewajiban namun sebuah kebutuhan ketika tidak berkompetensi membaca “rambu-rambu” atau petunjuk selama perjalanan (suluk). Bagaimanapun juga tentu lebih mudah memperjalankan diri kita kepada Allah ta’aladitemani pendamping yang sudah memperjalankan diri mereka. Namun tetap harus kita ingat bahwa kalau Allah ta’ala mengehendakinya maka tidak ada yang tidak mungkin untuk itulah kita kembalikan kepada Allah ta’ala. Silahkan baca juga tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/21/tips-bertasawuf/
Masalah tarekat yang telah dijabarkan dalam: https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/21/tips-bertasawuf/ , Apakah semua sanad tarekat hanya melalui jalur imam Ali Kwa? Apakah sahabat RA yang lain tidak bertasawuf dengan sistem tarekat?
Di antara Khulafaur Rasyidin yang menjadi Imam para Wali Allah adalah Imam Sayyidina Ali ra. Silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/siapakah-wali-allah/
SubhaaaanaLLOOOOH
Assalamu ‘alaikum warohmattullaahi wa barokaatuh.
hanya org2 bodoh….,yg mempertahankan pendapatnya dlm berdebat , karna merasa pendapatnya benar.
meski itu melalui keterangan2 dari sumber2 terpercaya.
Hakikat Kebenaran yg Nyata…,akn terbukti setelah kita mati.
apa pun pendapat masing pribadi itu pasti berbeda-beda..,trgantung taraf ilmu & pemahamannya. Namun hormati & hargailah.
Dan jgn merasa hanya pendapat kita yg benar.
Berprasangka baiklah pd tiap2 sesuatu, krna Allah Maha Mengetahui apa yg hamba-Nya tdk ketahui.
apa yang disebut ilmu tasawuf menurut kamu
Mba’ Ifah , silahkan berkunjung ke perguruan-perguruan tingi Islam. Lihatlah kurikulum atau silabus dari tasawuf. Pastilah tasawuf adalah tentang akhlak atau tentang Ihsan
Tasawuf adalah upaya memperjalankan diri hingga sampai (wushul) kepada Allah
Tasawuf adalah jalan (thoriqoh) untuk mencapai muslim yang Ihsan
Apakah Ihsan ?
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Kondiri terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh) atau berma’rifat
Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Muslim yang telah mencapai Ihsan atau muslim yang telah berma’rifat, minimal mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau yang terbaik mereka yang dapat melihat Allah dengan hati maka mereka mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah sesuai dengan tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Akhlak yg baik, Ihsan, Zuhud, Tidak cndong kepada dunia, menganggap akhirat lebih utama itu, belajar ilmu, berdzikir sebanyak-banyaknya adalah bagian dari Islam, kalau memang tasawuf memagang teguh ini, sya akan sepakat. Gapailah akhirat jangan abaikan syariat. Ihsan itu adal dalam islam dan orang yg sudah mampu ihsan tentunya harus dicapai dengan ilmu syariat yg sesuai AL Qur’an dan As-Sunnah.
Tetapi sya tidak sepakat dengan khulul, ittihad, wihdatul wujud, zikir2 yg tdk dicontohkan rosulullah SAW. Kenapa melakukan zikir2 tertentu yg seolah2 serupa dg syariat, misalnya menetapkan jumlah, waktu,seribu kali, dst. Padahal dihadistpun sudah banyak contoh dzikir yg disyariatkan/diperintahkan rosulullah SAW, kenapa membuat tata cara sendiri, bentuk dzikir sendiri…??apakah merasa lbih utama, lebih dahsyat efeknya, lebih baik dari apa yg dicontohkan rosulullah SAW….??? padahal agama ini mudah tinggal ikuti AL Qur’an dan As-Sunnah, jangan dipersulit…dan dipersusah dg ajaran2 yg baru hasil buatan pemikiran manusia.
Disinilah inti perbedaannya tasawuf yg menyimpang dan yg tidak. Sya pernah ikut di abah anom (suryala), namun Allah SWT berkehandak lain, sya merasa malas untuk berzikir ala tasawuf yg diajarkan abah anom itu. Buat saya pemahaman muhammadiyyah, ikhwanul muslimin, salafi, lebih baik dari pada mengikuti tasawuf yg menyimpang itu. Kalau Mas Zon, sya gak tahu…apakah sepakat dg para pendahulu tasawuf itu….?. kebenaran itu harus disampaikan walaupun pahit, tetapi memang harus secara ikhsan,..dlm hal ini sya lebih sepakat dg IM, dan Muhammadiyyah kalau dr segi dakwahnya…, namun dari segi ilmu ulama salafi lebih rinci dan mendalam dalam membahas sesuatu…, namun konsep mereka ttg bid’ah itu sama: yaitu dalam urusan agama/ibadah dan semuanya menyimpang, adapun dlm hal kebiasaan maka itu bukan bid’ah.
Jadi ushul fiqh (hukum awal ibadah itu haram, kecuali ada dalil yg memerintahkan, dan hukum asal muamalah/kebiasaan itu boleh kecuali ada larangan), hal ini menurut hemat saya lebih aman dan selamat, dibandingkan ushul fiqh yg mas zon kemukakan dibeberapa artikelnya. Dg kaidah ini akan mudah dan gampang menilai amalan itu menyimpang dari tuntunan rosul atau tdk….? contoh : berdikir dg menari nari, zikir dg keras, kepala dibolak balikan….itu menjadi tdk sesuai petunjuk rosul, karena tdk ada perintah dan contohnya dari rosul. (Apakah sesat…???, kalau orang yg belum tahu mungkin beda hukumnya, makanya harus dikasih tahu, tapi kalau orang yg sudah tahu..maka hukumnya pun akan berbeda juga, apalagi seorang kayai atau ulama yg melakukan hal itu, padahal dia tahu rosul tdk mengajarkannya). Syari’at ini sudah sempurna, konsekuensi sempurna adalah tidak perlu penambahan dan pengurangan terhadap syariat yg telah ada. (kalau dzikir , sholat, sholawat, ya ikuti rosulullah SAW, tidak susah). Jadi intinya ikutilah Rosulullah SAW (AL Hadits) meskipun bertentangan dg hati nurani dan imam madzhab.
Mas Hery, tidak ada larangan dari Rasulullah untuk menggunakan untaian doa, dzikir maupun sholawat yang berlainan dengan yang dicontohkan oleh Beliau.
Mas Hery sebaiknya jangan membuat-buat larangan karena larangan hanyalah bersumber dari Allah ta’ala
Perkara agama atau perkara syariat termasuk perkara larangan bersumber hanya dari Allah ta’ala.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Perkara larangan adalah hak Allah ta’ala menetapkannya dan Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Urusan agama atau perkara syariat atau perkara yang diwajibkanNya termasuk perkara larangan telah sempurna atau telah disampaikan seluruhnya oleh Rasulullah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatkan dari surga” = perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)
Kalau ada larangan yang tidak pernah disampaikan oleh Rasulullah maka ini termasuk bid’ah dholalah
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim).
mas Hery ana yakin berbohong dalam ikut abah anom …..mohon dijelaskan coba apa yang anda dapat dari beliau ( abah anom ) bagaimana penjelasan anta dgn dzikir kepala ” dibolak dibalik ” versi nt ….itu ada ilmunya mas ….coba nt jelasin kalau nt nggak berbohong ……..apa thoriqoh abah anom alm coba ………syukron
Astagfirullah, mohon maaf jika perkataan sya tidak meyakinkan Mas Mamo, sehingga Mas Mamo anggap saya berbohong (kenapa secepat itu membohongkan orang lain…???, apalagi merasa yakin, justru keyakinan anda..yg saya pertanyakan, dapat darimana keyakinan bahwa saya berbohong….???, jangan dibiasakan seperti itu yah…, (itu prasangka yg tidak baik, dan dalam prasangka itu terdapat dosa, coba hayati kembali nasihat2 Imam Ghazali dan Syaikh Abdul Qodir Al Jailany dan amalkan…kalau memang mengaku mengikuti mereka..)
Bismillah sekitar tahun 2002 saya diajak ke suryalaya, sya pada saat itu belum tahu apa itu tarekat qodiriyyah wa naqsabandiyah, sya hanya ikut2an aja, kebetulan teman saya yg mengajak. Saya pernah belajar dzkir zahar dzikir hoffy, namun entah kenapa..buat saya pribadi ga cocok untuk mengikuti itu, terasa ada yg mengganjal dihati, yg akhirnya dikemudian hari sya tdk pernah lagi mengamalkan itu, sya tahu apa yg dimaksud gerakan kepala itu yaitu —->pengucapan laa ilaaha ilalloh, sebanyak 165 kali setelah sholat dan tidak usah membaca dzikir (subhanalloh, lahamdulillah , allahuakbar 33x…yg sudah2 jelas ada haditsnya)
Laa ditarik dari bawah keatas ubun-ubun
ilaa —> didada kanan atas. ha—->.didada kiri bawah
illalloh didada kiri, (pas kata loh nya di dbagian bawahnya/hati)
sedangkan dzikir hoffy adalah lidah dilipatkan keatas langit langit mulut, kepala menunduk kesebelah kiri. kemudian hati mengucapkan Allah dengan bilangan tertentu.
Saya tidak mengatakan sesat seperti orang2 yg lebih keras dr pd saya, namun saya khawatir kita lebih mengikuti mursyid/kyai/apalah dibandingkan dengan sunnah Rasulullah SAW. Sehingga kita dianggap bukan ummat Nabi sebagaimana dalam hadits (manrogibba ‘ansunnati falaisaa minni)…barang siapa yg tidak menyukai sunnahku maka bukan ummatku), ini yg membuat sya takut, khawatir. Kalau memang buat Mas Mamo tidak hawatir, silahkan saja, saya tidak akan memaksakan pemahaman saya, saya hanya menyampaikan sebatas kemampuan sya, adapun masalah mau ikut atau tidak itu buka kewenangan saya, namun kewenangan ALlah yg Memberi Taufik.
Kurang lebih seperti itu, yg saya pelajari, maaf jika kurang sempurna. namun sya kira cukuplah untuk membuktikan bahwa saya tdk berbohong bukan…??? apakah Mas Mamo, masih yakin saya berbohong…????, perlu bukti apalagi ….????
yg jelas sya tdk sepakat dg tasawwuf kalau bertentangan dg syariat. Pondasi Islam itu Al Qur’an dan As-Sunnah, ulama2 terdahulu seperti Fudhail bin Iyyad, Imam Hasan Al Bashri adalah pemegang AL Qur’an dan As-Sunnah. Namun belakangan ini sya kurang sepakat, dengan tatacara buatan sendiri dalam rangka beribadah/mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sya baca juga karangangan Imam Ghazali, Syaikh Abdul Qodir Jailany, karena banyak ilmu disana terutama dibidang akhlak, zuhud, waro, dll. Sekali lagi sya akan sepakat dengan siapapun jika berdasarkan dalil yg shahih, namun jika ada dalil yg diketahui lemah/palsu dikemudian hari…ya saya akan tinggalkan dalilnya itu, bukan sya tinggalkan secara keseluruhan pemahaman Syaik Abdul Qodir Al Jailani maupun Abu Hamid Al Ghazali.
Alhamdulillah mas Hery nt menjelaskan dan maaf kalau ana cepat menuduh nt berbohong ini bukan lain karena komentar nt ( tidak perlu ana copas ) silahkan nt baca sdri mas layaknya bukan seorang yang tau ilmu tarekat …… apa yang nt ulas masalah tarekat dlm komen jawaban betul petanyaannya apa nt dah dibaiat langsung sama mursyid ??? apa nggak diberikan keilmuannya dulu dgn tahapan ??? memang apa yang ada di tarekat tsb melanggar al qur’an n sunnah ??? mohon dijelaskan ……….
mas Hery maaf kalau ana pribadi tetap menjalani tasawuf karena apa ana mengikuti Imam mujtahid muthlak sedangkan nt bukanlah mujtahid …..maaf ….mustahil para imam menyuruh kita bertasawuf kalau itu hal yang sesat …..
Mas Zon
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Perintah itu : ada yg ditetapkan waktu dan tatacaranya oleh Allah dan Rosul-Nya ada juga yg tidak. Contoh Sholat–Tatacara dan waktunya sudah ditetapkan dan kita wajib mengikutinya (Ittiba’), sholat subuh 2 rokaat, tidak boleh ditambah2 karena ini perintah wajib.
Sholawat pun menurut hemat saya , lebih utama dan lebih baik dan selamat kita sesuai hadits sebagai taat kepada Allah dan Rosul-Nya.
Dan rosulpun bukankah sudah mengajarkan bagaimana caranya memuliakan beliau…??? terutama untuk bacaan didalam sholat, maka menurut hemat saya wajib sesuai dg hadits.
Adapun kalau membuat sendiri, harus ada perintah dulu, apakah kita diperkenankan untuk membuat bacaan sholawat atau tidak, kenapa harus buat sendiri, apakah tidak cukup apa yg diajarkan oleh Rosulullah SAW…??? bukankan Kita Sudah sepakat Bahwa perintah dan larangan itu sudah dijelaskan semuanya…???
Adapun yg tidak sepakat ya sudah tidak apa2, kita tanggungjawab masing2 bukan…???
Berdo’a: ini kita diperbolehkan mau minta apa saja sesuai kebutuhan tentunya dalam perkara yg baik. Ada juga contoh do’a rosulullah SAW. Jadi khusus dalam berdo’a ada yg telah dicontohkan Rosulullah SAW, dan ada juga yg dipersilahkan memohon kepada Allah sesuai keperluan. Namun do’a2 didalam sholat seperti iftitah, dan lainnya…, apakah boleh buat sendiri…??? tidak boleh kan…?? ya karena kita wajib mengikuti rosulullah SAW dalam menegakkan sholat. APa yg Rosul contohkan ya kita tinggal ikuti saja, taat kalau memang mengaku ummat Nabi SAW , bukan begitu Mas….???
Melarang orang yg melakukan ibadah yg menyelisishi rosulullah SAW itu bukan berarti membuat larangan sendiri. Karena Rosul pun mengajarkan untuk saling mengingatkan dan menasehati sesama ummat bukan…??? namun kita tidak boleh memaksakan kehendak, karena taufik itu datang dari Allah kepada orang Yg dikehendaki-Nya, jadi hanya dalam posisi menyampaikan Perintah dan Larangan Allah SWT.
Contoh larangan : ” Barang siapa yg melakukan amalan yg tidak kami perintahkan maka tertolak (al Hadits), artinya kalau tertolak itu apa…?? bukankah tidak diterima karena ALlah dan Rosul-Nya tidak memerintahkan-Nya, sedangkan perintah itu rinciannya telah sya sampaikan diatas.
kalau MEMERINTAH kepada KESYIRIKAN/KEMAKSIATAN/BID’AH INI yg dilarang itu, yg kalau kita mengikuti orang yg berfatwa seperti ini baru kita dianggap menuhankan Ulama Ulama seperti nasrani kepada pendeta/rahib2 mereka
BEGITU JUGA MELARANG APA YG TELAH Allah halalkan, seperti Menikah, kalau ada orang yg melarang ini jelas Ini Sesat, seperti rahib2 itu…???
Jadi mohon dicermati, rincian perintah dan larangan itu, bagaimana sebenarnya makna menghalalkan apa yg diharamkan Allah dan menghalalkan apa yg diharamkan Allah itu.
hal ini berbeda dg ulama2 yg berijtihad menetapkan hukum Allah berdasarkan AL Qur’an dan As-SUnnah bukan….??? (jadi harus rinci, jangan sepenggal sepenggal memahaminya)
COBA cermati hadits ini ya telah Mas Zon sampaikan diatas:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia;
dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
kita sudah sepakat dg hal ini bukan…??
Perintah dan Larangan sudah jelas.
Sesuatu yg diharamkan Sudah Jelas
dan Allah mendiamkan beberapa hal….
maksud Allah mendiamkan beberapa hal itu apa maksudnya menurut mas Zon…??? apakah sebuah legalitas untuk kita membuat tatacara ibadah yg baru dalam agama ini, karena memang tidak ada larangan secara tegas, misal larangan memakai sayyidina…
Ya tidak akan menemukan secara tegas larangan seperti itu, karena larangan dalam ibadah itu sangat banyak dan tidak perlu disebutkan satu persatu (misal jangan sholat subuh 3 rokaat, jangan sholat subuh 5 rokaat dst sampai sejuta rokaat mungkin…, belum larangan lainnya). Oleh karena itu larangan dalam perkara ibadah ini cukup dengan hadits ” (” Barang siapa yg melakukan amalan yg tidak kami perintahkan maka tertolak).
Amalan yg tidak kami perintahkan itu apa saja: ?? pasti banyak sekali bukan…??? amalan itu bisa satu kesatuan amalan, bisa tatacaranya, ucapannya), karena amalan itu tatacara dan ucapannya sudah disampaikan oleh rosulullah SAW, adapun dalam hal Ibadah yg Umum seperti berdzikir sebanyak banyaknya (itu ada yg terikat waktu maupun tatacaranya/ucapannya ada juga yg tidak, seperti membaca al qur’an kapanpun bisa dilakukan selama syarat2nya terpenuhi/suci dari hadats/najis). Sholat aja kalau tatacaranya, waktunya/bacaannya tidak sesuai dg tuntunan Rosulullah SAW pasti akan tertolak (kecuali orang yg baru belajar yg belum hafal).
Ini pendapat sya, kalau Mas Zon tidak sepakat yo monggo silahkan saja….
Mas Mamo, tidak perlu minta maaf sama saya kalau masih tetap bertasawuf, saya tidak pernah mengatakan tasawuf itu sesat, sya hanya sepakat dengan tasawuf yg sesuai dengan Al Qur’an dan As-Sunnah, saya bukan Imam Mujtahid, jauh sekali kapasitas ilmu saya untuk menjadi itu, saya hanya berusaha semampu saya dengan tetap berdo’a memohon petunjuk Robbul A’lamiin, juga mempelajari dari berbagai karya ulama, diskusi dg para ustad, karena saya ingin mencari kebenaran (saya diskusi tidak hanya dg NU, tetapi dengan Muhammadiyyah, PKS/IM, Salafy,HTI…..kenapa seperti itu…karena saya ingin mengetahui pandangan2 mereka….dan saya akan pedomani kalau bersesuaian dg sunnah/al hadits Rosulullah SAW……,
oleh karena itu bukan saya tidak mengikuti imam mujtahid, yg namanya mujtahid berarti ada ijtihad dalam fatwanya, adapun ijtihad kita bisa sepakat dengan Imam Syafii disatu sisi dan bisa juga dengan Imam lainnya disatu sisi, kenapa demikian karena patokannya /standarnya bukan Imam tetapi AL Qur’an dan As-SUnnah. Imam Syafii pun menyampaikan jika ada hadits shahih , maka itulah madzhab ku. Beliau pun menyadari bahwa dirinya tidak ma’sum, bisa saja salah ijtihadnya, karena belum mengetahui haditsnya/ penafsiran yg kurang pas..(misalnya), namun karena belaiu ijtihad jadi kalau salahpun akan mendapat pahala.
adapaun kita sekarang ini sudah disuguhi karya2 Imam ahli hadits tentang mana yg shahih dan mana yg tidak, jadi akan berbeda hukumnya kalau kita memegang teguh pendapat imam padahal berbeda dg hadits shahih. Dalam masalah hukum hasil ijtihad para Imam saya lebih banyak mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal…karena beliau (ahli hadits), jadi dia tdk berani menafsirkan sesuatu tetapi akan dikembalikan kepada dzahir haditsnya.
Masalah tasawuf, sya kira itu pilihan anda…silahkan kalau merasa yakin dengan yg sekarang ini. Kalau anda katakan mengikuti Imam mujtahid…ya silahkan saja…berarti anda sepakat dg ijtihadnya mereka. .Sya pribadi ingin mengikuti Rosulullah SAW dalam beragama ini, oleh karena itu sya tidak fanatik terhadap satu Imam Madzhab, sya akan sepakat dengan ulama siapapun dia selama dia berpedoman dan sesuai dengan apa yg diajarkan oleh Rosulullah SAW. Tidak ada yg mustahil bahwa seorang imam itu berbuat salah…karena manusia setelah Rosulullah ini tdk ada yg Ma’sum.
Kalau kita lihat Syi’ah, Murji’ah, Mujassimah, Mu’tajilah, Musabihah, Ahmadiyyah…mereka punya imam yg menurut mereka adalah benar dan lurus. padahal kita ketahui bahwa mereka adalah menyimpang…., sepakat kan mereka menyimpang dari kebenaran…?? dari mana tahu mereka menyimpang…???apakah berdasarkan perasaan hati….???tentu tidak, tetapi berdasarkan standar aqidah yg dibawa oleh Rosulullah SAW.., dengan itulah kita akan mengetahui dan menilai suatu faham itu menyimpang atau tidak. Jadi Indikator untuk menilainya adalah Al Qur’an dan As-Sunnah.
Syiah itu bersahadat, namun dia tdk mengakui sahabat Abu bakar dan Umar bin Khatab. Mereka bersahadat, mereka shalat, dan melakukan jg kewajiban yg lain, namun sikap mengenai sahabat mereka berbeda dg ahlusunnah…yg membuat mereka melenceng dari kebenaran. Jadi Indikatornya yg dipakai untuk menilai menyimpang atau tidak suati faham itu harus menggunakan standar yg menyeluruh dari Al Qur’an dan As-SUnnah. Misal kalau kita hanya memakai sahadat saja, ya berarti mereka org yg beriman, padahal tdk bukan..?? karena mereka tdk mengikuti petunjuk Rosulullah SAW dalam menyikapi para sahabat…??
Mereka masih islam…??, ya tetap islam, bahkan masih diaku sbgai ummat Nabi SAW. tetapi mereka termasuk kedalam 72 golongan yg menyimpang (sesuai hadits terpecahnya Umat ini menjadi 73 golongan).
Begitu juga dg tasawwuf, NU, Muhammadiyyah, Salafi, IM, kalau sesuai AL Qur’an da As-Sunnah ya saya sepakat. Jadi saya tidak menyama ratakan dalam penilaian terhadap manhaj/madzhab ini, jadi kalau ada yg tdk sesuai ya sya tinggalkan, tapi yg sesuainya saya ambil.
Kalau mau…saya bisa saja tekuni itu tasawwuf sampai jadi mursyid mungkin…, namun Allah SWT berkehendak lain…dan yg telah sya jalani itu adalah takdir Allah SWT. Jadi sekali lagi kalau mau tetap di tasawwuf, silahkan saja. Tapi kalau boleh saya memberi saran, kita jangan terkungkung/ terdoktrin/ terpaku dengan satu faham saja, coba tengok dan pelajari manhaj/madzhab lainnya dengan memohon petunjuk kepada Allah SWT agar ditunjukkan kepada jalan yg lurus (sesuai AL Qur’an dan As-Sunnah) yg dirdilhoi oleh-Nya.
Kalau saya boleh bilang, bagaimana hukum orang yg mengikuti tasawwuf…?? menurut pandangan saya, kalau mereka masih terkungkung /belum tahu faham yg lain , maka Insya Allah akan menemui ampunan Allah JIKA ada yg Salah. Namun Jika telah mengetahui faham lainnya(yg lebih sesuai dg petunjuk Rosulullah SAW)…maka keputusannya hanya pada Allah apakah akan mengampuninya atau tidak. (Wallohu a’lam). Tapi yg jelas Allah tidak akan membebani umatnya diluar batas kemampuannya. Mohon maaf jika terlalu panjang dan kalau ada kata2 yg kurang berkenan….ini pendapat saya, kalau setuju silahkan, kalau tdk ya tidak apa2. Semoga kita mendapat petunjuk Allah SWT. amin..
Mas Hery…
Anda katakan kalau membuat shalawat itu bid’ah dan menyalahi sunnah Rosulullah Saw. Tapi anda coba kaji lagi, karena para sahabat Nabi juga membuat shalawat sendiri lho…
Apakah anda berani bilang kl para sahabat itu menyalahi sunnah???
Ini jelas terbukti bahwa ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah dholalah.
Bid’ah hasanah jika sholawat yg dibuat para sahabat itu dilakukan di luar urusan ibadah mahdoh. Jika sudah masuk ibadah mahdoh tentunya jadi dholalalah
kalo sahabat mereka dpat rekomendasi dn wewenang dr nabi u di ikuti dan membua baru dlm agama jd perkara baru yg di buat oleh sahabat itu hnya bleh d lakukan olh sahabat dn gk tercela dan statusny sama dg sunnah nabi TETAPI selain sahabay mka tdak boleh u membuat buat yg baru dlm agama
gk ada bidah hasanah yg ada hnya sunnah hasanah
” kalau mau.. saya bisa saja tekuni itu tasawuf sampai jadi mursyid mungkin…” kalimat yg sombong! bercerminlah dahulu. karena mursyid yg asli harus ada garis turunan dari Nabi MOHAMMAD SAW. kalau zikir yg diajarkan Abah Anom tdk sesuai, lebih baik diam dan tinggalkan, janganlah disalahkan, bisa kualat bagi seorang yg mengaku muridnya. zikir ada tingkatannya, dari yg sedikit sampai tak terbilang jumlahnya. kalau seseorang zikir angkanya dia tetapkan sendiri karena kemampuannya, dimana salahnya? kurang atau lebih dari yg dicontohkan Nabi SAW juga tdk masalah. zikir itu harus ikhlas karena ALLAH SWT, baru terasa nikmatnya. setelah merasakan nikmatnya, akan terasa kurang sehingga ada dorongan keras untuk menambah jumlahnya dan mencari sunah lain yg juga nikmat, semua itu tentu atas hidayah dan ridho dari ALLAH SWT. kalau orang yg mencari kenikmatan zikir berdasarkan prasangka buruk, kesombongan, ketidak sabaran, tdk akan mungkin merasakan nikmatnya sehingga malah menyalahkan zikir utk pelampiasan kekecewaannya.
Saudara Badar
ass…
setuju dengan perkataan SAUDARA BADAR… perkataan yg mereka katakan itu terlalu angkuh… mereka tdk menyadari perkataannya!!!! sy terus terang tertawa membaca kalimat orang yg angkuh!!!! kita ini manusia yg tdk punya hal bisa kita banggakan SAUDARA HERY kecuali ALLAH.SWT yg menjadikannya. perbanyak ISTIGFAR SAUDARA HERY.
wassalam…..
ayo sekarang waktunya khuruj fisabililah dakwah wa tabligh.tinggalkan dulu diskusinya. Umat terlantar menunggu asbab hidayah. persatuan terancam bila hanya diskusi yang tidak berujung.karena perbedaan paham tidak bisa dipaksakan untuk sepaham.maka jangan memaksakan faham. dan perbedaan itu sebenarnya sudah ada tapi tidak menjadi masalah. menjadi masalah karena ada yang menumpangi. siapa lagi kalau bukan yahudi?.pencetus politik devide at impera(memecah belah).
klo bukan jemaah tabligh…jemaah mana lagi yg mau mnyebarkan AGAMA ISLAM? KALIAN SEMUA SIBUK DENGAN BERDEBAT…UMMAT BANYAK YG BERMAKSIAT.BAGAIMANA CARA MENYELESAIKANNYA?
klo bukan jemaah tabgligh,,jemaah mana lagi yg mau menyebarkan agama Islam?ummat banyak yg maksiat.bagaimana cara menyelesaikannya?
allahu akbar
DIKIT – DIKIT BID’AH , SEDIKIT – SEDIKIT BID’AH ………..APA’AN !!!
EMANGNYA ISI DUNIA INI HANYA BID’AH !!!
Ma Heri berprinsip dan berpendirian diatas adalah bagus, karena ke hati hatiannya dalam beramal. tetapi menganggap bid’ah amalan tasawuf yang tidak dimengerti ilmunya oleh mas heri itu tidak boleh. Kalau tidak paham, maka tak usah diamalkan,dan itu tidak merupakan kewajiban. Hanya bagi yang pingin mendalami dan diberi kepahaman, maka itu suatu karunia. Tetapi sekali lagi kalau mas heri tidak paham ya jangan mengamalkan, tetapi tidak boleh membidahkan, karena tidak tahu ilmunya. Dan Kepahaman itu anugerah Alloh kepada hamba yang dikehendakiNya. Saya sendiri pun sekarang ini tidak mengamalkan Thoriqot/tasawuf tertentu. Saya hanya mengamalkan dzikir pagi petang dan wirid wirid yang diajarkan Rosululloh. Lalu apakah saya tidak bertasawuf? Tetap saja saya bertasawuf,dalam tahap awal. Entah kalau Alloh kehendaki saya lebih memperdalam lagi dalam bertasawuf dengan bimbingan mursyid. Insya Alloh.
aalah kalian semua sog tau…emang kalian pernah ketemu allooh dan rosululoh paling ngertinya cuma dari tuliisan doank
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda bahwa “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
terima kasih atas komentarnya pada saudara2ku semua, mohon maaf jika ada y= perkataan yg salah, nda ada bermaksud sombong ataupun menyinggung perasaan sesama saudara muslim, sya hanya hamba Allah yg lemah…, sya hanya menyampaikan apa yg saya yakini setelah mempelajarinya, silahkan jika nda sepakat…, mudah2an kita mendapat taufik dan hidayah dari Allah SWT.amin ya robbal a’lamin..
Aamiin mas hery………Imam Mujtahid aja tidak maksum apa lagi nt ….he he he ……
Gimana tata cara untuk mempelajari ilmunya
Bagi yang tau tata cara untuk mempelajari ilmunya tolong dong kasih tau
Silahkan baca dahulu tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/21/tips-bertasawuf/
saudara-saudaraku bagus-bagus saja jika apa yang dikatakan atau dijelaskan untuk meninggikan kalimat Alloh; tapi alangkah baiknya jangan menghina antara satu golongan muslim yang satu dengan lainnya, karena semua sudah dibentuk dengan dasar-dasar falsafah masing-masing , yang penting setelah tahu mana yang salah kita tinggalkan, yang benar kita kerjakan. Marilah kita jaga toleransi inter umat beragama islam, bukan hanya antar umat beragama. Ayo majukan dakwah kita masing-masing dari NU, Muhamadiyah, Persis, Salafi,jamaah tablig, LDII,Perti,Matlaul Anwar,……….. Semoga Al Islam menjadi bangunan kokoh yang membawa kita masing-masing untuk masuk surga selamat dari neraka, dengan keridloanNYA. Semoga Alloh menunjukkan jalan kita yang benar!
Kalau begini indah jadinya…
Islam terpecah menjadi 73 golongan, yg 72 golongan adalah yg masuk neraka. Mungkin krn yg 72 golongan adalah yg merasa sombong, ujub, berburuk sangka, krn merasa hanya golongannya paling baik.
Yg saya perhatikan dari orang-orang yang shaleh, yang pernah bertemu dg baginda Nabi Saw, mereka justru menjauhi untuk “mempersoalkan” hal-hal yang sifatnya furu’. Mereka lebih asyik menghisab diri. Semakin bertambah ilmu mereka, semakin mereka merasa jauh dari baik, semakin merasa takut tidak selamat di akhirat nanti. Mereka dikenali dari bekas tanda sujud mereka, bukan dari jidat yg hitam…tapi dari wajah-wajah mereka yang bercahaya dan akhlak mereka yang baik
Amin A’a….(Moga-moga yg nulis ini A’a Gym idola saya…hehe)
Saudara-saudara muslimku, saya hanya mau bernyanyi sambil mengingatkan
“Jagalah hati..jangan kau kotori…jagalah hati…lentera hidup ini…”
Suatu perkara kalau yg melihat dari sudut pandang yang berbeda ya tidak nyambung/berkait, ini yang namanya hub gelap, ilmu iku kalakone kanthi laku masuk belajar baru komentar itu orang arif, anjing dikalungi emas tidak tahu maksudnya, kebanyakan ngoceh tidak bisa ngatasi masalah wahabi salafi mengaku bener ning ora pener
Assalaamu’alaikum, artikelnya bagus banget begitu dalam, saya mau tanya, apa sebenarnya makna di balik huruf alief lam miem
Tau sebab perselisihan, perpecahan dan peperangan
1. Tamak
2.Sombong ( merasa paling hebat, paling tahu, paling benar ,dll) dan karena kesombongan inilah Allah murka kepada Iblis ( mohon dikoreksi bila salah)
Apa ada orang yang tau bahwa ia sudah pasti masuk syurga?
Syurga dan neraka itu URUSAN ALLAH.
seandainya Allah menyalahi janjinya, siapa yang bisa menentang dan menghalanginya?
kekuasaan mutlak ada pada ALLah. Jalankan keyakinan yang menurut anda benar. tapi ingat keputusan akhirnya ada pada ALLAH jika anda percaya pada kekuasaan ALLAH.
ingat saudaraku ! ada kepentingan lain yang ingin merusak islam dari luar dan dari dalam islam itu sendiri. perbedaan ini janganlah menjadi pemicu perselisihan dan perpecahan antara umat islam sendiri. jika islam terpecah belah maka berbahagialah orang-orang yang menginginkan perpecahan itu. Dan janganlah kita menjadi bagian dari pemecah belah agama yang mulia ini. dan kepada ALLAH lah kita kembalikan segala sesuatu
assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
alhamdulillah syukur kepada Allah karena ilmu-Nya meliputi kita semua amin…..
islam ini menurut saya yang awam ibarat rumah megah dengan segala perhiasannya yang indah. mustahil rumah megah ini berdiri jika hanya satu unsur saja yang membangunnya. semuanya berperan dengan fungsinya masing-masing……
adapun yang sariat menjalankan fungsinya dengan baik
pun yang hakiki juga menjalankan fungsinya dengan benar
jadi menurut pemahaman saya tidak ada yang salah ataupun yang benar, yang ada cuma semata-mata keyakinan bahwa Allah itu Esa, Muhammad itu Utusan-Nya, Islam itu akidah-Nya dan kita semua adalah insan-Nya
Subhanaallah tulisan yang sangat bagus dan sangat menentuh hati sekali… Alhamdulillah blok ini harus dibaca oleh semua orang yang ingin benar2 bermakrifat kepada allah…. Terimakasih jazakumullah khairal jaza’
Kira kira ada tidak referensi kenalan ustadz yang bisa membimbing saya untuk belajar dikota palembang? Kalau ada saya akan berterima kasih sekali mau menunjukkan saaya atau bisa sms ke saya 081311461686 atau email. Ke sukmojati46@yahoo.com atau nuryasinarlan@ymail.com
lam kenal
aslamuallaikum wr.wb maf sodara alamsyah,mengenai zikir tiada yg melarang meskipun ia lakukan dlm keadaan apapun,asal kn yg dia sbut asma allah.jngn kta liat prilakunya tp kta liat ucapan zikir nya. . Misalkan dia zikir dngan menggunakan nama alamsyah itu pasti sesat,tp kalo dia zikir dngn asma allah itu benar.menurut aq ilmu piqih,tauhid,syaraf,nawhu,tasawuf ato ma’rifat.tidak ada brtentangan dngn hadist.sperti org2 syariat,sholat,zakat,puasa,ibadah haji dll.isi dri bacaan syariat pun tidak ada yg berbeda.tp org2 ma’rifat lebih ada sopan santun nya trhadap ajaran islam,. Ada tata cranya sopan santun nya saat kta menghadap sang pencipta.pada waktu sholat,dngn cra istinja jahir,seperti membersihkan kemaluan,pantat,bdan kta.bru kta wudhu.itu sdikit penjelasan aja.menganai bapa rasullah s.a.w abudalah aku tidak stuju kalo beliau masuk neraka! Itu fitnah yg sngat keji.apa kah kamu ingat pada saat abdulah wafat,rasullah mash sangat kecil dan blm menerima wahyu?ato mengajarkan sholat k pada abdulah.rasullah org yg sangat suci.dan d lahir kan oleh org2 suci pula dan pasti itu utusan allah untk melahirkn rasul. . Dan org itu (abdulah) pasti d jamin masuk surga?hai alamsyah pemikiran apa yg membuat kau brkata seperti itu.tobat lah.jangn kau pecah belah umat islam dngan kta2 yg tdak lazim.kta junjungan muhamad s.a.w ku halal kn api neraka buat org yg sedikit dikit karna aku. Wahai org2 yg bhatil! Jngn lah kau slewengkan ajaran tasawuf yg sesat,dmi ke untungan duniawi mu smata,itu adalah rojongan buat kamu.sebenarnya tasawuf sah menjalankan ilmu syariat dan berpegang qur’an dan hadis.
Assalamualaikum WWW.
Saya insan pemula yang ingin belajar tasawwuf lebih mendalam
mohon kasi tau ke mana saya harus belajar
oh ya saat ini saya tinggal di kota Bangkinang Kabupaten Kampar Pekanbaru Riau. trims
zon Jonggol anda menulis tentang perkataan Imam syafi’i dengan terjemahkan :
فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح
Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik?
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]
dalam pandangan saya terjemahan diatas terlalu anda politisir,
qoidah bahasanya gimana ?
jika engkau berada dipihak yang benar maka ajari aku jika tidak maka itu namanya berkhianat..
dalam terjemahan saya kalimat diatas memiliki arti :
fiqh dan sufi, maka jadilah dengan tidak mengambil salah satunya,
karena sesungguhnya aku demi haqnya Allah akan menasehati kepadamu kekerasan itu tidaklah merasakan ketakwaan dihati, dan ini adalah kejahilan bagaimana memiliki sifat jahil akan dapat melakukan perbaikan ?.
pertanyaan saya :
terjemahan pada kalimat
“Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik”
diambil dari kalimat yang mana..?
tentu ini dalam pandangan saya berkhianat..
jika kita terjemahkan secara mufrodat kata-kata diatas :
فقيها = fiqh
و صوفيا= dan sufi
فكن = maka jadilah
ليس = tidak/bukan
واحدا = satu
ف = karena
إني = sesungguhnya aku
و = demi ( waw qosam)
حـــق الله = haqnya Allah
إيـــاك = kepadamu
أنــــصح = aku akan menasehati
فذالك = karena itu
قاس = kekerasan
لم = tidak
يـــذق = merasakan
قـلــبه = hatinya
تقى = ketakwaan
و = dan
هذا = ini
جهول = kejahilan
كيف = bagaimana
ذو = memiliki
الجهل = jahil
يصلح = melakukan perbaikan
Mas silahkan baca penjelasan lebih lanjut dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/08/ihsan-yang-terlupakan/
apanya yang dibaca, jawab pertanyaan saya, kenapa terjemahannya tidak amanah..?
saya inginkan
terjemahan anda pada kalimat
Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik
itu diambil dari mana sedang tidak tercantum lafadzh yang anda tulis berbunyi seperti itu
lihat bahasa arabnya yg anda tulis
فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح
tidak ada seperti kalimat yang anda terjemahkan…
Diwan Imam Syafi’i dipahami dengan ilmu balaghoh bukan dengan makna dzahir
فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا
Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى
Terjemahan secara dzahir adalah “kekerasan itu tidaklah merasakan ketakwaan dihati”
Kekerasan = tidak mau menjalani tasawuf
Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa
وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح
Terjemahan secara dzahir adalah “dan ini adalah kejahilan bagaimana memiliki sifat jahil akan dapat melakukan perbaikan”
Kejahilan = tidak mau mempelajari ilmu fiqih
Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik
Contoh pembahasan hilangnya diwam Imam Syafi’i dalam tulisan pada http://www.sarkub.com/2011/pemalsuan-kitab-diwan-imam-asy-syafii/
Tasawuf adalah jalan untuk mencapai muslim yang ihsan sebagaimana yang dijelaskan lebih lanjut dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/12/14/jika-terjadi-fitnah/
cukuplah perbaiki kesalahan, mohon ampun kepada Nya.. kalau tidak bisa bahasa arab, belajar lagi tunda dulu menulis yang memang belum tahu apa yang ditulis
Diwan Imam Syafi’i dipahami dengan ilmu balaghoh bukan dengan makna dzahir
فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا
Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى
Terjemahan secara dzahir adalah “kekerasan itu tidaklah merasakan ketakwaan dihati”
Kekerasan = tidak mau menjalani tasawuf
Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa
وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح
Terjemahan secara dzahir adalah “dan ini adalah kejahilan bagaimana memiliki sifat jahil akan dapat melakukan perbaikan”
Kejahilan = tidak mau mempelajari ilmu fiqih
Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik
Contoh pembahasan hilangnya diwam Imam Syafi’i dalam tulisan pada http://www.sarkub.com/2011/pemalsuan-kitab-diwan-imam-asy-syafii/
Tasawuf adalah jalan untuk mencapai muslim yang ihsan sebagaimana yang dijelaskan lebih lanjut dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/12/14/jika-terjadi-fitnah/
Sepertinya aku mulai menyukai tasawuf… 😉
Lagi pula mau ikut pengajian salafi agak susah, di negeri tempat aku tinggal, salafi dan syi’ah tidak diijinkan masuk oleh pemerintah.
Kalau terjemahannya semaunya,walau dengan alasan balaghah,ya itu dia mencocok2kan sebuah ungkapan dengan faham yg kita anut,di sini kekeliruannya,Tapi kita tak bingung wong Al-Qur’an dan sunnah saja yg lebih tinggi derajatnya berhasil Mas Zon bawa ke pemaknaan yg di kehendaki apalagi cuma ungkapan selain dari Al-Qur’an dan Sunnah ntu,,salut dah sama Mas Zon ^__^
Mas Ihsan Ilahy Dzahir, Diwam adalah sebuah syair yang dipahami dengan balaghoh
Tasawuf hanyalah sebuah istilah yang kaitannya dengan akhlak atau ihsan
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak dan Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sangat menyayangkan sirnanya pendidikan tasawuf (pendidikan akhlak) dalam kurikulum pendidikan di negeri kita sebagaimana kutipan tulisan beliau yang dimuat pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Orang yang berhasil menjalankan tasawuf sehingga meraih maqom disisiNya atau dekat dengan Allah ta’ala disebut sufi atau wali Allah (kekasih Allah)
Contoh syair yang lain dari Imam Syafi’i ~rahimahullah ketika beliau ditanya apalah beliau termasuk seorang sufi.
Uhibbu asshalihiina wa lastu minhum La’alli an anaala bihim syafa’ah
Uhibbu asshalihiina = Aku mencintai orang shalih
walastu minhum = Walaupun.. aku tidak seperti mereka
La’ali an anaala bihim syafa’ah = Beliau berharap / semoga memperoleh Syafa’at / pertolongan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (untuk menjadi orang yang Sholeh)
Ini tauladan yang disampaikan Imam Syafi’i ~rahimahullah bahwa kita tidak boleh mengatakan / mengakui sebagai saya serupa dengan mereka termasuk orang sholeh, atau saya seorang sholeh atau saya seorang sufi atau saya seorang muhsin, karena orang sholeh, orang sufi, orang muhsin adalah dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia atau hasil penilaian Allah pada manusia. Bagi kita manusia hanya boleh berharap pertolongan Allah dan berupaya untuk mencapainya.
Kita simak doa Nabi Ibrahim as
“(Ibrahim berdo’a): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh (QS Asy Syu-ara [26]:83 )
Oleh karenanya kita harus berupaya menjadi orang-orang sholeh, orang-orang yang baik atau ihsan (muhsinin) dengan mengamalkan tasawuf dalam Islam yakni tentang ihsan / akhlakul karimah.
Jika kita menjadi orang-orang yang sholeh, maka seluruh muslim mendoakan kita ketika mereka mendirikan sholat.
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
Maqom atau maqamat tertinggi menurut beliau adalah al-munfaridǔn. Al Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna tingkat kewalian mereka. Hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah. Seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada pada maqam munfaridin atau posisi malak al-fardaniyah, yaitu merasakan kemanunggalan dengan Allah.
Al-Hakim al-Tirmidzi tidak menggunakan istilah ittihad seperti Abu Yazid al-Busthami (w.261H-875M) atau hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul wujud seperti Ibn ‘Arabi (w.638H/1240M) dalam menjelaskan persatuan seorang wali dengan Allah. Ia menggunakan istilah liyufrida (agar manunggal / merasakan kemanunggalan).
Kita kadang menemukan perkataan para sufi atau para wali Allah (kekasih Allah) yang telah mencapai puncak kewalian tertinggi kalau menurut akal pikiran atau logika adalah sesat seperti kemanunggalan atau bersatu dengan Allah atau bahkan “aku adalah Allah“.
Sejauh mereka menyatakannya tidak keluar dari sifat ubudiyah , sifat penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla maka perkataan itu pada hakikatnya tidaklah masalah.
Ungkapan cinta mereka sebaiknya janganlah dimaknai secara dzahir. Ibarat sepasang kekasih mereka bersatu namun secara dzahir mereka tidak bersatu. Allah Azza wa Jalla dekat tidak bersentuh, jauh tidak berjarak dan tidak berarah.
Ungkapan cinta mereka berbalas dengangan ungkapan cinta Allah ta’ala kepada hambaNya sebagaimana yang terlukis dalam sebuah hadits qudsi, Allah ta’ala berfirman “jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Ungkapan cinta Allah ta’ala kepada hambaNya dalam hadits qudsi di atas pun tidak dapat dimaknai secara dzahir seperti yang artinya “Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar”.
Begitupula ungkapan seorang kekasih seperti “di dalam dadaku ada kamu” , tidak bisa dimaknai secara dzahir
Begitupula tidak dapat dimaknai secara dzahir terhadap hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a. Alah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Dalam sebuah hadit Qudsi yang lain, Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”
Hati orang beriman yang menjadi wadah dari nikmat-nikmat Allah yakni nikmat cahayaNya atau nikmat ilmuNya
Jasad adalah wadah bagi bathin, bathin adalah jasad bagi ruhani, ruhani adalah wadah bagi hati, hati adalah wadah bagi akal qalbu, akal qalbu adalah wadah bagi sirr al ghaib atau wadah dari nikmat-nikmat Allah, nikmat cahayaNya, nikmat ilmuNya tanpa batas.
Imam Sayyidina Ali r.a. menyampaikan bahwa hati (qalb) mempunyai lima nama,
Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya Islam (nuuru-l-islaam). Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya untuk Islam….” (QS Az Zumar [39] :22)’.
Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiamana firman-Nya, “Mereka itulah yang ditulis dalam hatinya terdapat keimanan.” (QS Al Mujaadilah [58]:22)’
Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS An Najm [53]:11).
Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang adalah ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik lubb)’ (QS Ali Imran [3]:190).
Kelima, disebut syagf, karena hati merupakan tempat terbitnya rasa saling menyayangi dan mencintai sesama makhluk. Hal ini sebagaimana firman-Nya, ’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa cinta yang membara….’ (QS Yusuf [12]:30)
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah.
Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah).
Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk kemudian masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali melihat kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan tersingkaplah baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut dari pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.
Hubungan yang tercipta antara Allah dengan al-awliya (para wali) menurut al-Tirmidzi adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan). Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadirannya, hudhur ma’ahu wa bihi (merasakan kehadiran-Nya oleh diri-Nya).
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (parawali); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.
Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni
‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi),
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah dalam Ar Risalatul Qusyairiyah fi ‘Ilmit Tashawwuf atau versi terjemahan “Risalah Qusyairiyah”, sumber kajian ilmu tasawuf, penterjemah Umar Faruq, penerbit Pustaka Amani, Jakarta berkata
***** awal kutipan *****
“Kaum Sufi, Allah benar-benar telah menjadikan kaum ini sebagai kelompok para waliyullah terpilih; mengutamakan mereka atas semua hambaNya setelah para Rasul dan Nabi-Nya. Semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada mereka.
Allah menjadikan hati mereka tambang berbagai rahasiaNya; dan mengkhususkan mereka lebih dari umatNya yang lain dengan pantulan cahayaNya. Mereka bagai hujan bagi mahlukNya yang selalu berputar dan berkeliling bersama Al-Haqq dengan kehakikatanNya ditengah “keumuman” tingkah laku manusia.
Allah menjernihkan mereka dari segala kekotoran sifat manusia; melembutkan hati dan rohani mereka pada pencapaian tempat-tempat (maqam) musyahadat (persaksian ruhani pada kebesaran dan kegaiban Allah) dengan “penampakan Al-Haqq dari segala hakikat keesaanNya; menempatkan mereka untuk “tetap tegak” dengan sikap penyembahan dan mempersaksikan pada mereka saluran-saluran hukum ketuhanan.
Karena itu mereka mampu menunaikan segala bentuk kewajiban yang dibebankan kepada mereka; mampu menghakikati segala yang dianugerahkanNya, berupa perubahan-perubahan dan berbagai putaran hidup, kemudian kembali kepada Allah dengan kebenaran iftiqar (butuh dan menggantung pada kehadiran dan peran Allah) dan hati yang remuk redam karena Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Luhur dan Tinggi; bebas berbuat apa yang dikehendakiNya; bebas memilih siapa saja yang dikehendakiNya; tidak ada yang memberi ketentuan hukum kepada Nya; tidak ada kebenaran bagi makhluk yang mengharuskan pada Allah; sebab pahalaNya adalah awal keutamaan dan siksaanNya adalah hukum keadilanNya; perintahNya adalah ketentuan yang mutlak dari Allah.”
***** akhir kutipan *****
Berikut catatan tentang sufi seperti yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Athaillah.
*****awal kutipan *****
Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang shaleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah saw. yang didiami para ahli shuffah.
Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat.
Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.
Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi)
terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.
Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu(kesuciannya)
Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya)
Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu(kefanaannya).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya.
Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
***** akhir kutipan ******
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)
Muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.
Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (QS Al Hajj [22]:46 )
“Pada hari itu tidak berguna lagi harta dan anak-anak, kecuali yang kembali kepada Allah dengan hati yang lurus.” (QS. Asy-Syu’araa: 88)
Oleh karenanya ketika penduduk surga dalam keadaan tidak berdosa maka mereka dapat melihat Allah tidak terhalang sama sekali, kemudahannya bagaikan melihat bulan ketika purnama yang tidak ada awan
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Bapakku dari Ibnu Syihab dari Atha’ bin Yazid al-Laitsi bahwa Abu Hurairah mengabarkan kepadanya, bahwa manusia berkata, Wahai Rasulullah! Apakah kami (bisa) melihat Rabb kami pada Hari Kiamat? Beliau pun balik bertanya: Apakah kalian akan mendapatkan kesulitan ketika melihat bulan di malam purnama yang tidak ada awan? Mereka menjawab, Tidak wahai Rasulullah. Beliau bertanya lagi: Apakah kalian akan mendapatkan kesulitan ketika melihat matahari di siang hari yang terang tanpa awan di bawahnya? Mereka menjawab, Tidak wahai Rasulullah. Lalu beliau bersabda: Sesungguhnya kalian bisa melihatNya seperti itu juga. (HR Muslim 267)
Malaikat juga makhluk yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala kecuali menampilkannya dalam bentuk tertentu namun malaikat juga dapat dilihat dengan pandangan hati
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau telah melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Seandainya bukan karena dosa yang menutup kalbu Bani Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad dari Abi Hurairah)
Untuk dapat melihat Allah dengan hati adalah memulainya dengan taubat, memperbaiki akhlak, membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI) atau melihat Rabb dengan hati (bermakrifat).
Ketika seorang muslim telah melihat Allah dengan hatinya maka dia akan bergembira menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Mereka dapat melihat Ar Rahmaan Ar Rahiim dibalk laranganNya. Mereka menjalankan perintahNya atau perkara syariat sebagai makanan atau kebutuhan ruhNya dalam rangka wujud syukur kepada Allah ta’ala.
Dari Anas Ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat menikmati ibadah, bahkan beliau pernah berdiri dalam sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. ‘Aisyah pernah bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal ini, bukankah Allah telah memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab: “afala akuuna ‘abadan syakuuraa” , “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
Oleh karenanya ulama tasawuf mengungkapkan bahwa “perkara syariat bukanlah beban” . Namun sebagian orang memahaminya bahwa jika telah menjalankan tasawuf maka tidak perlu lagi menjalankan perkara syariat.
Berkata Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syari’at”
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran tasawuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]
Mereka yang menjalankan tasawuf atau mereka yang memperjalankan diri kepada Allah diistilahkan oleh Imam Syafi’i ra dalam nasehat beliau di atas adalah mereka yang merasakan “kelezatan takwa”. Mereka yang mendapatkan kenikmatan bertemu dengan Tuhan
Mereka yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya sholat itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).
Syaikh Abdul Qadir Jailani mengatakan bahwa para Wali Allah ketika mereka berdzikir dan yang utama adalah ketika mereka sholat maka mereka melintasi alam secara cepat dari alam nasut (alam mulk), alam malakut, alam jabarut, alam lasut sehingga mereka mengetahui apa yang dimakasud ‘Arsy , Kursi, Sidratul Muntaha.
Di dalam shalat bertemu Allah. Di dalam dzikir bertemu Allah. Saat puasa bertemu Allah. Saat haji pun bertemu Allah. Bahkan dalam seluruh aktifitas kita sehari-hari kita bertemu Allah. Asalkan kita tahu caranya, seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an, dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah bersabda “Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Rasulullah bersabda ““Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badanmu telanjang, mudah-mudah an qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini (HR Bukhari).
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, ”Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji (mulia), dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah)
Pahamlah kita kenapa kaum muslim ketika selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan kembali dalam keadaan suci bersih, kembali fitri dengan kiasan “berbaju baru” yakni kemenangan menjaga hawa nafsu, mensucikan jiwa, berakhlak baik dan beradab mulia.
Rasulullah bersabda: “Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” [Abu Dawud no. 4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.]
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menasehatkani “Muutu qabla an tamuutu” yang artinya “matilah sebelum mati”
Nasehat Rasulullah tersebut sarat dengan makna. Mati pada hakikatnya adalah terbebasnya ruh (ruhani) dari jasad (jasmani). Jadi upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak terkukung oleh jasmani atau tidak terkukung oleh hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.
kalam imam Syafi’i yang anda sandarkan kepada imam Syafi’i itu zon semakin jelas membuktikan anda berkhianat,
karena bahkanSufi di timur tengah sendiri pada sebuah diskusi masih mempertanyakan perkataan imam ssyafi’i itu pujian atau celaan
setelah menukil nukilan seperti yang anda terjemahkan :
فقيها وصوفيا فكن ليس واحدا فإني وحـــــــــق الله إياك أنــــصح
فذاك قاس لم يــــــذق قلبه تقى وهذا جهول كيف ذو الجهل يًصـل
lalu ia bertanya
هل هذا ذم أم مدح؟؟
apakah kalam ini celaan atau pujian ??
lihat disini :
http://www.dd-sunnah.net/forum/showthread.php?t=131292&page=3
maka semakin jelas bahwa anda berkhianat dalam terjemahan.
اهل السنة و الجماعة (@minhajussunnah)……mohon petunjuknya Sufi di timur tengah itu siapa ya …….terus yang nggak berkhianat menurut anda bagaimana …..terimakasih .
Hal yang perlu kita ingat adalah ulama yang dapat menjelaskan apa yang disampaikan oleh Imam Syafi’i ~rahimahullah adalah para ulama yang mengikuti beliau yakni para ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Syafi’i
dan kalau demikian pemahamannya semua orang bisa menterjemahkan meski tanpa ‘ilmu sekalipun
misal ada sebuah terjemahan:
ana uhibbuki liannaki jamilah
artinya : aku mencintaimu karena kamu cantik
kalau ada yang menterjemahkan dengan bentuk lain :
aku benci kamu karena kamu jelek
maka itupun bisa terkategorikan benar jika diterjemahkan dengan kaedah sesat ‘ilmu kalam ala sufi
dengan cara mencocok-cocokkan kalimat walau tidak ada qorinah yang mengindikasikan bahwa kalimat itu adalah majaz
sehingga terjemahan
“aku benci kamu karena kamu jelek”
yang notabenenya bertentangan dengan lafadzhpun dapat diputarkan maknanya
dengan alasan
itu maksudnya majaz yang digunakan dalam ‘ilmu balaghoh untuk menyatakan kinayah (kiyasan), meski tidak ada keterangan bahwa kalam itu adalah kinayah
jadi terjemahannya :
aku benci kamu karena kamu jelek
itupun bisa menjadi benar
maka sungguh tidak jelas apa yang menjadi dhowabith (batasan-batasan) untuk membedakan apakah kalimat itu majaz atau bukan dalam pemahaman sufi meski tidak ada qorinah (penunjuk bahwa kata itu kiasan) sekalipun dipaksa-paksakan untuk dikiaskan jika sudah terpojok..
dan dengan demikian sufi seakan-akan ingin menjadikan tidaklah perlu adanya alquran dan sunnah karena semua bisa diputar balikkan menjadi cocok asal bisa bersilat lidah.
ketika anda memutar-mutar berkhianat dalam terjemahan diatas dengan alasan penggunaan ilmu balaghoh,
mari kita kupas ilmu balaghoh sebelum kita panjang lebar
dan saya ingin membuktikan apakah dirimu sejati faham tentang balaghoh atau hanya asbun saja, disebabkan karena sudah kepentok ketauan kepergok penyelewengannya atau karena kebodohannya,
karena dalam pandanganku anda tidak pandai dalam balaghoh karena tidak punya pondasi dan kaidah
untuk itu dalam suatu ungkapan mudah disebutkan
الحياء من الإيمان كالرأس من الجسد
al-Hayau minal imani ka arro’si minal jasadi
dan
dalam Surah al-Baqarah ayat 74 berbunyi :
ثم قست قلوبكم مِن بعد ذَلك فهي كالحجارة أو أشد قسوة
Tsumma qosat qulubukum min ba’di dzalika fahiya kalhijaroti aw assyaddu qoswah
dan jelaskan kepadaku dalam ayat diatas kata apa yang menjadi bayan miqdari halil musyabbah nya..?
nah jika engkau sejati jago dalam balaghoh maka jelaskan kepadaku
apa yang menjadi musyabbah, adat, dan musyabbah bih nya pada masing-masing kalimat?
setelah mengetahui jabatan masing-masing maka terjemahkan dan jika ada makna yang tersembunyi maka apa qoidah yang menyebabkan sebuah lafadzh bisa diterjemahkan menjadi sebuah terjemahan baru ?.
jangan-jangan engkau akan memberi tahrif diluar kaidah lagi..
Note :
‘afwan saya bukan bermaksud menggurui tapi karena zon sudah berlagak sebagai seorang guru maka tidak salah saya lancarkan berbagai macam pertanyaan karena guru adalah tempat untuk bertanya.
zonnya dah lari
SKAK MAAAT DAH TU USTAD ZON
Tentu ada saja orang yang mengaku mengamalkan tasawuf sebatas pengakuan
Tentulah ada orang-orang yang mengaku-ngaku mengamalkan tasawuf sebatas pengakuannya saja dan tidak mengamalkan apa yang telah disampaikan oleh para ulama tasawuf (kaum sufi) yang sesungguhnya.
Imam Al Baihaqi ketika menjelaskan perkataan Imam Syafi’i , “Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia menjadi kekurangan akal (dungu).” mengatakan bahwa “sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208)
Imam Al Baihaqi juga menjelaskan maksud perkataan Imam Syafi’ , ”Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya 4 perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.” mengatakan bahwa ”Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).
Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena perilaku mereka yang mengatasnamakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)
Walhasil, Imam As Syafi’I disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini.
Tasawuf adalah istilah yang dipergunakan untuk segala perkara terkait dengan akhlak atau segala perkara tentang ihsan
Silahkan periksa kurikulum atau silabus pada perguruan tinggi Islam maka tasawuf adalah ihsan atau akhlak. Contoh silabus pada tingkatan sekolah lanjutan dapat dilihat pada http://img.docstoccdn.com/thumb/orig/125464278.png
Silahkan periksa pula struktur organisasi mufti Kerajaan Negeri Sembilan, Malaysia ada bagian yang menangani tarekat tasawuf https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/01/sto-mufti-negeri-sembilan.png
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak dan Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sangat menyayangkan sirnanya pendidikan tasawuf (pendidikan akhlak) dalam kurikulum pendidikan di negeri kita sebagaimana kutipan tulisan beliau yang dimuat pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Al Habib Luthfi ketika ditanya apa pandangan-pandangan beliau tentang tasawuf. Beliau menjelaskan sebagaimana yang termuat pada http://www.habiblutfiyahya.net/index.php?Itemid=18&catid=34:berita&id=133:pengamalan-tasawuf-ala-al-habib-luthfi&lang=ar&option=com_content&view=article
***** awal kutipan *****
Tasawuf adalah pembersih hati. Dan tasawuf itu ada tingkatan-tingkatannya. Yang terpenting, bagaimana kita bisa mengatur diri kita sendiri. Semisal memakai baju dengan tangan kanan dahulu, lalu melepaskannya dengan tangan kiri.
Bagaimana kita masuk masjid dengan kaki kanan dahulu. Dan bagaimana membiasakan masuk kamar mandi dengan kaki kiri dulu dan keluar dengan kaki kanan. Artinya bagaimana kita mengikuti sunah-sunah Nabi. Itu sudah merupakan bagian dari tasawuf.
Para orang tua kita dulu sebenarnya sudah mengeterapkan tasawuf. Hanya saja hal itu tak dikatakannya dengan memakai istilah tasawuf. Mereka terbiasa mengikuti tuntunan Rasulullah. Seperti ketika mereka menerima pemberian dengan tangan kanan, berpakaian dengan memakai tangan kanan dahulu. Mereka memang tak mengatakan, bahwa itu merupakan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Tapi mereka mengajarkan untuk langsung diterapkannya. Kini kita tahu kalau yang diajarkannya itu adalah merupakan tuntunan Nabi. Itu adalah tasawuf. Sebab tasawuf itu tak pernah terlepas dari nilai-nilai akhlaqul karimah. Sumber tasawuf itu adalah adab. Bagaimana adab kita terhadap kedua orang tua, bagaimana adab pergaulan kita dengan teman sebaya, bagaimana adab kita dengan adik-adik atau anak-anak kita. Bagaimana adab kita terhadap lingkungan kita.
Termasuk ucapan kita dalam mendidik orang-orang yang ada di bawah kita. Kepada anak-anak kita yang aqil baligh, kita harus bener-bener menjaganya agar jangan sampai mengeluarkan ucapan yang kurang tepat kepada mereka. Sebab ucapan itu yang diterima dan akan hidup di jawa anak-anak kita.
***** akhir kutipan *****
Begitupula ketika Al Habib Luthfi ditanyakan apa yang sebenarnya menarik dari Al-Habib, sehingga begitu getol menekuni dunia tasawuf, beliau menjawab
***** awal kutipan *****
Yang menarik, karena tasawuf itu mengajarkan pembersihan hati. Saya ingin mempunyai hati yang sangat bersih. Jadi tak sekedar bersih tidak sombong karena ilmunya, tidak sombong karna setatusnya, tidak sombong karena ini dan itu. Namun hati ini betul-betul mulus, selalu melihat kepada kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada kita. Itu karena fadhalnya Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Sehingga kita tidak lagi mempunyai prasangka-prasangka yang buruk, apalagi berpikiran jelek dalam pola pikir dan lebih-lebih lagi di hati. Sebab tasawuf itu tazkiyatul qulub, yakni untuk membersihkan hati. Jika hati kita ini bersih, maka hal-hal yang selalu menghalangi-halangi hubungan kita kepada Allah itu akan sirna dengan sendirinya. Sehingga kita senantiasa mengingat Allah.
Ibarat besi, hati kita itu sebenarnya putih bersih. Hanya karena karatan yang bertumpuk-tumpuk lantaran tak pernah kita bersihkan, sehingga cahaya hati itu tertutup oleh tebalnya karat tadi. Na’udzubillah kalau sampai hati kita seperti itu.
***** akhir kutipan *****
Salah satu pelopor tasawuf dari kalangan Tabi’in , Al Hasan al-Basri ra (Madinah,21H/642M – Basrah,110 H/728M) , berkata: ”Barangsiapa yang memakai tasawuf karena tawaduk (kepatuhan) kepada Allah akan ditambah Allah cahaya dalam diri dan Hatinya, dan barang siapa yang memakai tasawuf karena kesombongan kepadanya akan dicampakkan kedalam neraka”.
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran tasawuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang rusak (berakhlak tidak baik).
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]
Sebagaimana wawancara dengan Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang selengkapnya dapat ditemukan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/09/24/komunitas-spiritual-kota/ , beliau mengatakan bahwa untuk dapat melihat Allah dengan hati sebagaimana kaum sufi, tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki.
Muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.
Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh
Jadi jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka dia tidak akan membiarkan sampah bukan pada tempatnya karena muslim tersebut memandang Allah dengan hatinya atau karena muslim tersebut selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka dia bekerja dengan tekun, profesional, menghargai waktu dalam menepati janji, tidak bermalas-malasan, tidak bermewah-mewahan atau tidak boros dan tidak melakukan hal buruk lainnya karena muslim tersebut memandang Allah dengan hatinya atau karena muslim tersebut selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka jika dia seorang pelajar atau mahasiswa maka dia tidak akan melakukan perkelahian atau tawuran antar siswa atau antar mahasiswa karena mereka memandang Allah dengan hatinya atau karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka jika dia seorang pejabat maka dia akan melaksanakan jabatannya dengan amanah, jujur, adil, profesional dan tidak akan melakukan korupsi karena muslim tersebut memandang Allah dengan hatinya atau karena muslim tersebut selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Kesimpulannya adalah bahwa kehidupan Islami terbentuk karena kaum muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya sehingga jika bersikap dan melakukan perbuatan maka akan bersikap dan melakukan perbuatan yang dicintaiNya karena kaum muslim memandang Allah dengan hatinya atau karena kaum muslim selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau telah melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Seandainya bukan karena dosa yang menutup kalbu Bani Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad dari Abi Hurairah)
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (QS Al Hajj [22]:46 )
“Pada hari itu tidak berguna lagi harta dan anak-anak, kecuali yang kembali kepada Allah dengan hati yang lurus.” (QS. Asy-Syu’araa: 88)
Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang.
Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka, seperti yang dialami Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan untuk mengontrol diri manusia, seperti yang terjadi pada Qobil.
Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. Ia putera seorang konglomerat Makkah. Namanya menjadi buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya. Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set. Namun, suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika mendengarnya sudah menjadi pribadi lain.
Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya. Sehingga cobaan beratpun ia terima dengan senyuman dan kesabaran. Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai juru dakwah kepada penduduk Madinah.
Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah mengikuti kafilah dakwah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, jiwa negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhirnya ia mati terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu peperangan.
Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada garis-garis yang benar dan haq. Akan tetapi seringkali harapan ini tak kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan.
Disinilah betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri manusia baik keluarga kawan, tetangga, guru kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun lainnya. Semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.
Islam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya.
Disamping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta peningkatan pengalamnnya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebaliknya , apabila jiwanya terkotori oeh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya”(QS. Asy Syams [91] : 7-10).
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan Allah, lingkungan maupun dirinya.
Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan, adalah benar bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits. Tetapi ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah.
Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran antara perilau lahiriah dan batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan Din. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya. Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar dan Perkasa , kepada tuntunan dan ajaran-Nya.
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbakan. Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak menguras tenaga.
“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Mansusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al khams); Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allah Subhanahu wa Ta’ala, Pencipta alam semesta dan segala isinya.
Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya. Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.
“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang yang terasing”. (Al Hadist).
Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya.
Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan berlari. Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang –Nya.
“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.Al Fajr [89] : 27-30)
am 2507 dan abu jenggot , pertanyaan2 minhajusunnah diatas adalah pertanyaan2 yang cocok ditujukan untuk para pemula ( mubtadiin ) , pertanyaan seperti itu jika ditujukan kepada Ustadz zon tentu merupakan pelecehan , sehingga ustadz zon tidak perlu menjawabnya karena itu hanya pantas ditujukan untuk para pemula.
justru minhajusunnahlah yang tidak mengerti perkataan Imam As-syafi`i , dengan kata lain minhajusunnah berkhianat dalam penterjemahan.
lihatlah terjemahan minhajusunnah :
fiqh dan sufi, maka jadilah dengan tidak mengambil salah satunya,karena sesungguhnya aku demi haqnya Allah akan menasehati kepadamu
sedang kalimatnya : فقيها وصوفيا فكن ليس واحدا فإني وحـــــــــق الله إياك أنــــصح
kita minta minhajusunnah untuk meng `irab kalimat diatas , sebab terjemahan minhajusunnah diatas menunjukkan jika yang bersangkutan tidak mengerti atau sengaja memlintir perkataan imam syafi`i. sehingga difahami dari pemelintiran terjemahan ini : Imam syafi`i melarang mempelajari Fiqh dan Tasawwuf , padahal Imam syafi`i adalah pendiri salah satu Madzhab Fiqh masa iya melarang belajar Fiqh.
inilah bahanya pemelintiran terjemahan. (minhaju sunnah berkhianat)
lalu kita lihat terjemahan mihajusunnah selanjutnya :
kekerasan itu tidaklah merasakan ketakwaan dihati, dan ini adalah kejahilan bagaimana memiliki sifat jahil akan dapat melakukan perbaikan ?.
sedangkan kalimatnya :
فذاك قاس لم يــــــذق قلبه تقى وهذا جهول كيف ذو الجهل يًصـل
kita minta minhajusunnah untuk menampilkan apa yang mahdzuf dari bait diatas.
jadi ringkasnya minhaju sunnah merasa mengerti padahal ngawur.
idzin nyimak…tapi dari awal diskusi sudah kelihatan mana yang ilmiyah, mana yang tidak ilmiyah, mana yang cuma emosi saja, dan mana yang asnul (asal nulis) aja…hehe
kalo sahabat mereka dpat rekomendasi dn wewenang dr nabi u di ikuti dan membua baru dlm agama jd perkara baru yg di buat oleh sahabat itu hnya bleh d lakukan olh sahabat dn gk tercela dan statusny sama dg sunnah nabi TETAPI selain sahabay mka tdak boleh u membuat buat yg baru dlm agama
gk ada bidah hasanah yg ada hnya sunnah hasanah
apa ilmu nt melebihi ilmu Imam Syafi’i ??????? am 2507 .
Tasawuf hanyalah sebuah istilah bukan perkara baru
silahkan baca penjelasan kami dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/12/15/tasawuf-adalah-ihsan/
Tapi apa pun,yg jelas Imam Asy-Syafii rohimahulloh berkata: “Tidaklah ada seorang yang berteman dengan orang-orang sufi selama 40 (empat puluh) hari, kemudian akalnya akan kembali selama-lamanya.”
Dan beliau membacakan syair:
ودع الذين اذا أتوك تنسكوا … واذا خلوا فهم ذئاب خفاف
Tinggalkan orang-orang yang bila datang kepadamu menampakkan ibadah
Namun jika bersendirian, mereka serigala buas (Talbis Iblis hal. 371)
Mas Ihsan Ilahy Dzahir ,Tasawuf adalah tentang ihsan
Pada hakikatnya upaya kaum Zionis Yahudi menjauhkan kaum muslim dari tasawuf adalah dalam rangka merusak akhlak kaum muslim sebagaimana mereka menyebarluaskan pornografi, gaya hidup bebas, liberalisme, sekulerisme, pluralisme, hedonisme dan lain lain.
Salah satu contoh penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf. Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.
Contoh hasutan yang terkenal adalah penyalahgunaan perkataan Imam Syafi’i ra yang dikutip dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi yakni ungkapan “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.” Penjelasan perkataan Imam Syafi’i ra tersebut telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/06/apakah-tasawuf/
Dalam agama Islam ada tiga pokok yakni Iman, Islam dan Ihsan
Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’ Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah iman itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman kepada takdir semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)
Tentang Islam diuraikan dalam ilmu fiqih
Tentang Iman diuraikan dalam akidah atau i’tiqod atau ushuluddin
Tentang Ihsan diuraikan dalam tasawuf
Ada yang bertanya apakah Rasulullah dan para Sahabat mengamalkan tasawuf ?
Tasawuf hanyalah sebuah istilah untuk perkara yang berkaitan dengan ihsan atau akhlak
Silahkan periksa kurikulum atau silabus pada perguruan tinggi Islam maka tasawuf adalah ihsan atau akhlak. Contoh silabus pada tingkatan sekolah lanjutan dapat dilihat pada http://img.docstoccdn.com/thumb/orig/125464278.png
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak dan Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sangat menyayangkan sirnanya pendidikan tasawuf (pendidikan akhlak) dalam kurikulum pendidikan di negeri kita sebagaimana kutipan tulisan beliau yang dimuat pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Jadi pertanyaan tersebut sebenarnya adalah “Apakah Rasulullah dan para Sahabat mengamalkan ihsan?
Tentu jawabannya adalah, “Benar, Rasulullah maupun Salafush Sholeh mengamalkan ihsan atau tasawuf”
Dalam hadits di atas muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah adalah muslim yang dekat dengan Allah ta’ala sehingga seolah-olah menyaksikan Allah ta’ala atau menyaksikan Allah ta’ala dengan hatinya (ain bashiroh)
Pada hakikatnya seluruh manusia sebelum terlahir , ketika kita belum dapat ber-lisan atau ketika kita belum dapat menulis atau ketika jasmani belum disempurnakan telah bersaksi bahwa tuhan kita adalah Allah ta’ala.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)
Jadi jiwa kita atau ruhani kita sudah bersaksi ketika kita sebelum terlahir dari rahim ibu. Namun ketika kita (manusia) lahir maka kitapun suci, lupa, tidak tahu , ummi bahwa ruhani kita pernah bersaksi. Hakikat kata insan (manusia) adalah nasiya , nis yan, tidak tahu, lupa.
Fitrah manusia adalah bertuhan, mencari Allah atau ingin kembali menyaksikan Allah. Syarat untuk dapat menyaksikan Allah adalah fitri, suci sebagaimana sebelum manusia lahir ke dunia. Syarat untuk dapat kembali menyaksikan Allah adalah berakhlak baik atau berakhlakul karimah.
Tujuan beragama atau tujuan hidup adalah untuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Sejak Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lahir sampai dewasa sebelum menerima wahyu , beliau telah dikenal berakhlak baik.
Jadi pada hakikatnya agama adalah sebuah sistem yang harus diikuti setiap manusia agar dapat meneladani akhlak Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk” (QS Adh Dhuhaa [93]:7)
“seorang yang bingung” yang dimaksud adalah kebingungan – kehilangan arah untuk memperoleh kebenaran mutlak (al-Haqiqah al-Muthlaqah) yang tidak bisa dicapai oleh akal pikiran, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sebagai jalan untuk memimpin ummat (masyarakat jahiliyah yang tidak berakhlak baik atau terjangkiti penyakit moral – minum-minuman keras, membunuh, mencuri, main judi, makan riba, main perempuan) untuk kembali menyaksikan Allah atau untuk menuju kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkhalwat (mengasingkan diri dari keramaian) dan bertahanuts (perenungan/kontemplas dirii) di gua hira untuk mencari solusi mengatasi kerumitan masyarakat jahiliyah.
Pada akhirnya Allah Subhanahu Wata’ala berkenan menurunkan kepadanya wahyu Al-Quran. Yang berisi perintah dan laranganNya atau agama atau perkara syariat agar manusia dapat meneladani manusia paling mulia yakni Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga menjadi muslim yang berakhlakul karimah.
Manusia dikatakan berada pada “on track” untuk dapat kembali menyaksikan Allah adalah setelah mereka mengucapkan syahadat.
Syahadat adalah penyaksian Allah yang diucapkan dan kemudian dibuktikan dengan memenuhi perkara syariat yang merupakan syarat sebagai hamba Allah yakni menjalankan kewajibanNya (ditinggalkan berdosa) , menjauhi laranganNya (dikerjakan berdosa) dan menjauhi apa yang telah diharamkanNya (dikerjakan berdosa)
Muslim yang membuktikan syahadat dengan menjalankan perkara syariat disebut mukmin, orang beriman
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imron [3]:31 )
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (QS Ali Imron [3]:32 )
“dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (QS Al Anfaal [8]:1 )
Setelah memenuhi perkara syariat atau syarat sebagai hamba Allah maka diikuti dengan menjalankan amal sholeh atau amal kebaikan untuk mendekatkan diri atau memperjalankan diri melalui maqom-maqom hakikat hingga sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla sehingga menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) dan termasuk muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau muslim yang sholeh (sholihin) sehingga menjadi wali Allah (kekasih Allah)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Inilah ayat-ayat Al Qura’an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan rahmat bagi muhsinin (orang-orang yang berbuat kebaikan), (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Lukman [31]:2-5)
Dalam hadits qudsi, Allah ta’ala berfirman “hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan (perkara syariat), jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan kebaikan, maka Aku mencintai dia” (HR Bukhari 6021)
Orang yang berhasil menjalankan tasawuf sehingga meraih maqom disisiNya atau dekat dengan Allah ta’ala disebut sufi atau wali Allah (kekasih Allah)
Imam Syafi’i ~rahimahullah ketika beliau ditanya apalah beliau termasuk seorang sufi dan beliau pun menjawab dalam sebuah syair yang harus dipahami dengan balaghoh
Uhibbu asshalihiina wa lastu minhum La’alli an anaala bihim syafa’ah
Uhibbu asshalihiina = Aku mencintai orang shalih
walastu minhum = Walaupun.. aku tidak seperti mereka
La’ali an anaala bihim syafa’ah = Beliau berharap / semoga memperoleh Syafa’at / pertolongan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (untuk menjadi orang yang Sholeh)
Ini tauladan yang disampaikan Imam Syafi’i ~rahimahullah bahwa kita tidak boleh mengatakan / mengakui sebagai saya serupa dengan mereka termasuk orang sholeh, atau saya seorang sholeh atau saya seorang sufi atau saya seorang muhsin, karena orang sholeh, orang sufi, orang muhsin adalah dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia atau hasil penilaian Allah pada manusia. Bagi kita manusia hanya boleh berharap pertolongan Allah dan berupaya untuk mencapainya.
Kita simak doa Nabi Ibrahim as
“(Ibrahim berdo’a): “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh (QS Asy Syu-ara [26]:83 )
Oleh karenanya kita harus berupaya menjadi orang-orang sholeh, orang-orang yang baik atau ihsan (muhsinin) dengan mengamalkan tasawuf dalam Islam yakni tentang ihsan / akhlakul karimah.
Jika kita menjadi orang-orang yang sholeh, maka seluruh muslim mendoakan kita ketika mereka mendirikan sholat.
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
Maqom atau maqamat tertinggi menurut beliau adalah al-munfaridǔn. Al Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna tingkat kewalian mereka. Hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah. Seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada pada maqam munfaridin atau posisi malak al-fardaniyah, yaitu merasakan kemanunggalan dengan Allah.
Al-Hakim al-Tirmidzi tidak menggunakan istilah ittihad seperti Abu Yazid al-Busthami (w.261H-875M) atau hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul wujud seperti Ibn ‘Arabi (w.638H/1240M) dalam menjelaskan persatuan seorang wali dengan Allah. Ia menggunakan istilah liyufrida (agar manunggal / merasakan kemanunggalan).
Kita kadang menemukan perkataan para sufi atau para wali Allah (kekasih Allah) yang telah mencapai puncak kewalian tertinggi kalau menurut akal pikiran atau logika adalah sesat seperti kemanunggalan atau bersatu dengan Allah atau bahkan “aku adalah Allah“.
Sejauh mereka menyatakannya tidak keluar dari sifat ubudiyah , sifat penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla maka perkataan itu pada hakikatnya tidaklah masalah.
Ungkapan cinta mereka sebaiknya janganlah dimaknai secara dzahir. Ibarat sepasang kekasih mereka bersatu namun secara dzahir mereka tidak bersatu. Allah Azza wa Jalla dekat tidak bersentuh, jauh tidak berjarak dan tidak berarah.
Ungkapan cinta mereka berbalas dengangan ungkapan cinta Allah ta’ala kepada hambaNya sebagaimana yang terlukis dalam sebuah hadits qudsi, Allah ta’ala berfirman “jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Ungkapan cinta Allah ta’ala kepada hambaNya dalam hadits qudsi di atas pun tidak dapat dimaknai secara dzahir seperti yang artinya “Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar”.
Begitupula ungkapan seorang kekasih seperti “di dalam dadaku ada kamu” , tidak bisa dimaknai secara dzahir
Begitupula tidak dapat dimaknai secara dzahir terhadap hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a. Alah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Dalam sebuah hadit Qudsi yang lain, Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr. Dan di dalam sirr itu ada Aku.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”
Hati orang beriman yang menjadi wadah dari nikmat-nikmat Allah yakni nikmat cahayaNya atau nikmat ilmuNya
Jasad adalah wadah bagi bathin, bathin adalah jasad bagi ruhani, ruhani adalah wadah bagi hati, hati adalah wadah bagi akal qalbu, akal qalbu adalah wadah bagi sirr al ghaib atau wadah dari nikmat-nikmat Allah, nikmat cahayaNya, nikmat ilmuNya tanpa batas.
Imam Sayyidina Ali r.a. menyampaikan bahwa hati (qalb) mempunyai lima nama,
Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya Islam (nuuru-l-islaam). Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya untuk Islam….” (QS Az Zumar [39] :22)’.
Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini sebagaiamana firman-Nya, “Mereka itulah yang ditulis dalam hatinya terdapat keimanan.” (QS Al Mujaadilah [58]:22)’
Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal ini sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS An Najm [53]:11).
Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang adalah ayat-ayat bagi ulil albaab (sang pemilik lubb)’ (QS Ali Imran [3]:190).
Kelima, disebut syagf, karena hati merupakan tempat terbitnya rasa saling menyayangi dan mencintai sesama makhluk. Hal ini sebagaimana firman-Nya, ’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa cinta yang membara….’ (QS Yusuf [12]:30)
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah.
Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah).
Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk kemudian masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali melihat kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan tersingkaplah baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut dari pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.
Hubungan yang tercipta antara Allah dengan al-awliya (para wali) menurut al-Tirmidzi adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan). Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadirannya, hudhur ma’ahu wa bihi (merasakan kehadiran-Nya oleh diri-Nya).
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (parawali); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.
Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni
‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi),
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumnya).
Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah dalam Ar Risalatul Qusyairiyah fi ‘Ilmit Tashawwuf atau versi terjemahan “Risalah Qusyairiyah”, sumber kajian ilmu tasawuf, penterjemah Umar Faruq, penerbit Pustaka Amani, Jakarta berkata
***** awal kutipan *****
“Kaum Sufi, Allah benar-benar telah menjadikan kaum ini sebagai kelompok para waliyullah terpilih; mengutamakan mereka atas semua hambaNya setelah para Rasul dan Nabi-Nya. Semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada mereka.
Allah menjadikan hati mereka tambang berbagai rahasiaNya; dan mengkhususkan mereka lebih dari umatNya yang lain dengan pantulan cahayaNya. Mereka bagai hujan bagi mahlukNya yang selalu berputar dan berkeliling bersama Al-Haqq dengan kehakikatanNya ditengah “keumuman” tingkah laku manusia.
Allah menjernihkan mereka dari segala kekotoran sifat manusia; melembutkan hati dan rohani mereka pada pencapaian tempat-tempat (maqam) musyahadat (persaksian ruhani pada kebesaran dan kegaiban Allah) dengan “penampakan Al-Haqq dari segala hakikat keesaanNya; menempatkan mereka untuk “tetap tegak” dengan sikap penyembahan dan mempersaksikan pada mereka saluran-saluran hukum ketuhanan.
Karena itu mereka mampu menunaikan segala bentuk kewajiban yang dibebankan kepada mereka; mampu menghakikati segala yang dianugerahkanNya, berupa perubahan-perubahan dan berbagai putaran hidup, kemudian kembali kepada Allah dengan kebenaran iftiqar (butuh dan menggantung pada kehadiran dan peran Allah) dan hati yang remuk redam karena Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Luhur dan Tinggi; bebas berbuat apa yang dikehendakiNya; bebas memilih siapa saja yang dikehendakiNya; tidak ada yang memberi ketentuan hukum kepada Nya; tidak ada kebenaran bagi makhluk yang mengharuskan pada Allah; sebab pahalaNya adalah awal keutamaan dan siksaanNya adalah hukum keadilanNya; perintahNya adalah ketentuan yang mutlak dari Allah.”
***** akhir kutipan *****
Berikut catatan tentang sufi seperti yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Athaillah.
*****awal kutipan *****
Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang shaleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah saw. yang didiami para ahli shuffah.
Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat.
Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.
Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi) terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.
Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu(kesuciannya)
Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya)
Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu(kefanaannya).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya.
Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
***** akhir kutipan ******
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya diantara hamba-hambaku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatkan maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mudah-mudahan kami menyukainya“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)
Muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.
Jika belum dapat melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) atau bermakrifat maka yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh
Jadi jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka dia tidak akan membiarkan sampah bukan pada tempatnya karena muslim tersebut memandang Allah dengan hatinya atau karena muslim tersebut selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka dia bekerja dengan tekun, profesional, menghargai waktu dalam menepati janji, tidak bermalas-malasan, tidak bermewah-mewahan atau tidak boros dan tidak melakukan hal buruk lainnya karena muslim tersebut memandang Allah dengan hatinya atau karena muslim tersebut selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka jika dia seorang pelajar atau mahasiswa maka dia tidak akan melakukan perkelahian atau tawuran antar siswa atau antar mahasiswa karena mereka memandang Allah dengan hatinya atau karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Jika seorang muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya maka jika dia seorang pejabat maka dia akan melaksanakan jabatannya dengan amanah, jujur, adil, profesional dan tidak akan melakukan korupsi karena muslim tersebut memandang Allah dengan hatinya atau karena muslim tersebut selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Kesimpulannya adalah bahwa kehidupan Islami terbentuk karena kaum muslim mengamalkan ihsan (tasawuf) atau meng-ihsan-kan dirinya sehingga jika bersikap dan melakukan perbuatan maka akan bersikap dan melakukan perbuatan yang dicintaiNya karena kaum muslim memandang Allah dengan hatinya atau karena kaum muslim selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla.
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (QS Al Hajj [22]:46 )
“Pada hari itu tidak berguna lagi harta dan anak-anak, kecuali yang kembali kepada Allah dengan hati yang lurus.” (QS. Asy-Syu’araa: 88)
Oleh karenanya ketika penduduk surga dalam keadaan tidak berdosa maka mereka dapat melihat Allah tidak terhalang sama sekali, kemudahannya bagaikan melihat bulan ketika purnama yang tidak ada awan
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Bapakku dari Ibnu Syihab dari Atha’ bin Yazid al-Laitsi bahwa Abu Hurairah mengabarkan kepadanya, bahwa manusia berkata, Wahai Rasulullah! Apakah kami (bisa) melihat Rabb kami pada Hari Kiamat? Beliau pun balik bertanya: Apakah kalian akan mendapatkan kesulitan ketika melihat bulan di malam purnama yang tidak ada awan? Mereka menjawab, Tidak wahai Rasulullah. Beliau bertanya lagi: Apakah kalian akan mendapatkan kesulitan ketika melihat matahari di siang hari yang terang tanpa awan di bawahnya? Mereka menjawab, Tidak wahai Rasulullah. Lalu beliau bersabda: Sesungguhnya kalian bisa melihatNya seperti itu juga. (HR Muslim 267)
Malaikat juga makhluk yang tidak dapat dilihat dengan mata kepala kecuali menampilkannya dalam bentuk tertentu namun malaikat juga dapat dilihat dengan pandangan hati
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau telah melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Seandainya bukan karena dosa yang menutup kalbu Bani Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad dari Abi Hurairah)
Untuk dapat melihat Allah dengan hati adalah memulainya dengan taubat, memperbaiki akhlak, membersihkan hati (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya beroleh kenyataan Tuhan (TAJALLI) atau melihat Rabb dengan hati (bermakrifat).
Ketika seorang muslim telah melihat Allah dengan hatinya maka dia akan bergembira menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Mereka dapat melihat Ar Rahmaan Ar Rahiim dibalk laranganNya. Mereka menjalankan perintahNya atau perkara syariat sebagai makanan atau kebutuhan ruhNya dalam rangka wujud syukur kepada Allah ta’ala.
Dari Anas Ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “….kesenanganku dijadikan dalam shalat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat menikmati ibadah, bahkan beliau pernah berdiri dalam sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. ‘Aisyah pernah bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal ini, bukankah Allah telah memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?” Beliau menjawab: “afala akuuna ‘abadan syakuuraa” , “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”
Oleh karenanya ulama tasawuf mengungkapkan bahwa “perkara syariat bukanlah beban” . Namun sebagian orang memahaminya bahwa jika telah menjalankan tasawuf maka tidak perlu lagi menjalankan perkara syariat.
Berkata Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syari’at”
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “Pokok-pokok metode ajaran tasawuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 47]
Mereka yang menjalankan tasawuf atau mereka yang memperjalankan diri kepada Allah diistilahkan oleh Imam Syafi’i ra dalam nasehat beliau di atas adalah mereka yang merasakan “kelezatan takwa”. Mereka yang mendapatkan kenikmatan bertemu dengan Tuhan
Mereka yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai “Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin“, “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila sholat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”
Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya sholat itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45).
Syaikh Abdul Qadir Jailani mengatakan bahwa para Wali Allah ketika mereka berdzikir dan yang utama adalah ketika mereka sholat maka mereka melintasi alam secara cepat dari alam nasut (alam mulk), alam malakut, alam jabarut, alam lasut sehingga mereka mengetahui apa yang dimakasud ‘Arsy , Kursi, Sidratul Muntaha.
Di dalam shalat bertemu Allah. Di dalam dzikir bertemu Allah. Saat puasa bertemu Allah. Saat haji pun bertemu Allah. Bahkan dalam seluruh aktifitas kita sehari-hari kita bertemu Allah. Asalkan kita tahu caranya, seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an, dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah bersabda “Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Rasulullah bersabda “Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badanmu telanjang, mudah-mudah an qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini”
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, ”Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji (mulia), dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah)
Pahamlah kita kenapa kaum muslim ketika selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan kembali dalam keadaan suci bersih, kembali fitri dengan kiasan “berbaju baru” yakni kemenangan menjaga hawa nafsu, mensucikan jiwa, berakhlak baik dan beradab mulia.
Rasulullah bersabda: “Kalian tidak akan pernah melihat Rabb kalian hingga kalian mati.” [Abu Dawud no. 4320, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (Dhilaalul-Jannah) no. 428, dan Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 848.]
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menasehatkani “Muutu qabla an tamuutu” yang artinya “matilah sebelum mati”
Nasehat Rasulullah tersebut sarat dengan makna. Mati pada hakikatnya adalah terbebasnya ruh (ruhani) dari jasad (jasmani). Jadi upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak terkukung oleh jasmani atau tidak terkukung oleh hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.
makrifat adalah pengenalan,, mana mungkin seorang bisa menjabarkan tentang rasa manisnya gula kepada orang lain selama orang lain tersebut belum merasakannya sendiri?? hadis qudsi “SIR yang ada padamu melebihi kekuatan langit dan bumi, SIRmu tidak tidur di malam hari dan terjaga di siang hari, tapi SIRmu tidak dapat memberitahukan dimana keberadaanku kata Allah”, semoga jadi renungan,
banyak orang merasa bisa tapi tidak banyak orang bisa merasa..kalaulah orang itu belum merasa berarti belumlah orang itu tau…setelah orang itu memakan buah kurma barulah dia mengatakan bahwa kurma itu manis…
” Sami’na wa atho’na ”
Bang mutiara zuhud
Benarlah yang abang bilang,,,
Dakwalah terus bang Allah tidak tidur Allah tidak mengantuk Allah pulalah yang akan membalas hamba-hambanya yang sholeh
Tetaplah rendah hati bang,sebagaimana orang-orang yang sudah mengenal dan cinta padaNya,
”Apabila engkau sudah meminum madu janganlah engkau menceritakan rasanya,karena engkau tidak akan mampu menceritakan rasanya,biarlah lidah yang merasakan.”
Begitu juga bang,kalau kita sudah merasakan kehadiranNya,,betul-betul hadir,,biarlah hati yang merasakannya,karena kalau di ungkapkan,,akan menimbulkan salah paham,,tapi kalau kita cerita kepada orang yang sama-sama mampu merasakanya pasti dia mengerti dan paham.kewajiban kita cuma menjelaskan jalanNya,,sesungguhnya ibadah itu bungkusnya dan mengenal Allah itu isinya,,sehingga ibadah kita bukan sekedar karena kewajiban saja namun karena kecintaan dan kerinduan padaNya,,maka rawatlah bungkusnya namun jangan lupakan isinya,,biarlah hati yang menikmatinya.
terima kasih bang zon
Dunia ini sudah menjadi surga sebelum surga yang sebenarnya.
alamsyah itu…Orang kok sombong kayak iblis…
Indonesia loh dari dulu Negara Asy’ariyah…di bawa ulama yg jelas sandaranya….kenapa situ gak terima?
elo iblis…jdi sombong…gk mau menerima kebenaran dri ajaran yg elo tuduh sesat….dripada elo repot memerangi asyariyah di indonesia..mending elo le saudi..ke nejd….d situ tempatnya dulu org yg ngaku nabi…
HHHHH…..alamsyah
ente seperti si buta suruh megang gajah…..
atau mungkin katak dalam tempurung.
walaupun diberi penjelasan sperti apa aje kl didalam otak ente semua yg tdk dicontoh nabi itu sesat ya udah …..
kl itu sesat ditanggung sndr kok…
sampai kiamat g bakalan ktm jg…
kl ente jantan,,,tu ajak dbt ulalma’ aswaja di TV,,
sy yakin ga ada apa2nya …….
lihat tu Di TV yg sepaham yu g laku……
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh. Segala puji bagi Allah SW.T. , Sholawat dan salam kepada baginda Rosulullah S.A.W. beserta keluarga dan para Sahabatnya, Saudaraku sesungguhnya kita semua dalam mencari kebenaran. untuk itu mari kita tinggalkan berdebat kusir, karena hanya akan mengeraskan hati. Perbedaan pandangan dalam Islam memang sudah ada sejak jaman Sahabat R.Anhum, namun mari kita saling menghormati, menghargai, dan saling mendo’akan agar Allah S.W.T. memberikan pemahaman yang benar. dan marilah kita tidak memaksakan jawaban dari saudara Admin karena hal tsb. membutuhkan kehati2an. Saling mencaci-maki, saling merendahkan justru akan membuat kita rendah disisi Allah S.W.T. Bukankah kita semua tidak tahu, bahwa siapa diantara kita yang paling sukses, yang paling mulia, mati dengan husnul khotimah ? Masih ada waktu untuk bertaubat, ishlah diri, dgn belajar, beramal sholih ?
opiniku : Nabi Muhammad SAW, adalah Maha Gurunya Sufi, kalau dilihat dari sejarahnya seorng Muhammad menjadi Rosulullah itu krn laku Sufi, mukzijat Al Qur’anul Karim itu disampaikan oleh Malaikat Jibril adalah melalui laku Sufinya Rosulullah SAW, Islam keserurhan smp tuntas itu didapat adalah melalui laku SUFInya Nabi Muhammad SAW, yakin dgn cara menyendiri menyunyikan diri, khusuk, khidmat atau disebut TAFAKUR, merenungkan dgn KALABU/ HATINURANI/ BATIN ttg alam ciptaan Allah SWT, shg bisa tahu bhw Allah SWT ada NYATA, akan tdk terasa nyata hanya dgn kata, fikiran logika dan segala keinginan manusia,
kalaupun ada umat Muhammad kemudian meniru Nabiuka Rosulullah, dgn cara sufi, itu adalah sah2 sahaja, krn cara itu adalah dirasa paling maknyus tumaninah, tapi bkn berarti utk menjadi Nabi atau menjadi seorg Sufi,
pada hakekatnya laku sholat kita dari Takbiratul ihram smp tahiyat akhir adalah dijiwai dgh Ruh laku Sufi dgn KALBU HATI, sebab bila tdk maka akan menjadi terasa, hampa dan hambar, silahkan DICOBA SENDIRI, Insha Allah amin
Bagi saudara muslim yang ingin tahu beberapa penyakit hati seperti riya’, sum’ah, ‘ujub, hasad dll, maka itulah ilmu Tassawuf. bagi saudara muslim yang ingin memperbaiki hati sehingga di harapkan mencapai maqam yang tinggi di sisi Allah S.W.T. juga hendaknya mempelajari ilmu Tassawuf … saya pribadi berterima kasih kepada saudaraku yang telah menulis di web ini, semoga Allah memberi pahala yg berlipat ganda. Dan bagi saudara yang belum pernah belajar ilmu Tassawuf, maka tidak ada kata terlambat …. semoga kita semua diberi kefahaman yang benar, dan di beri taufiq untuk meng’amalkannya … amiin
ALHAMDULILAH trimakasih
halah mau debat 1001 bulan juga gak akan ada ujungnya…..
karna setiap manusia punya pandangan n keyakinan masing masing
dan yang jelas tiap orang punya pengalaman spiritual antara hamba n tuhan masing masing.jadi gak usah debat,klo udah sesuai dengan aturan tata hukum ( al qur’an dan hadist ) ya itu yg harus dijlnkn…..
Seng Penting ISLAM Lan manut aturane qur’an n hadist
Almsyah benar….mutiara zuhud jg benar….dan sodara ku smua jg benar.. Ilmu seseorang itu kan bertahap2… Ada yg ahli syareat…ahli tafsir, ahli fikh, ahli tasawuf dll….yg penting kita sama2 islam yg muslim…
Kesombongan dan keteguhan hati adalah dua hal yang seRUPA namun tak SAMA,cermatilah agar tidak salah dalam melangkah.sesungguhnya Allah hanya melihat isi dalam hatimu.
Seseorang yang (sudah) merasakan maka mengetahui, tetapi orang yang mengetahui (keadaan atau hal) belum mengetahui yang sebenarnya jika belum merasakan. Allah adalah yang nyata tetapi tidak terjangkau oleh apapun dan penglihatan apapun. Saat menyaksikan dan disaksikan adalah yang mustahil anda uraikan dengan kata-kata… mana mungkin huruf..kata.. dan kalimat .. menggambarkan yang menciptakannya… semoga menjadi petunjuk… amin
Tasawuf adalah toto kromo lahir dan batin,tulus dan ikhlas.
Bagi IBNU SINA , AL GHAZALI, IBNU RUSYID, MUHAMAD QUTUB, AL KINDI, AL FARABI dll yang termasuk ketagori Filsuf Islam termasyhur, jika mereka masih hidup mungkin akan berdiskusi secara kondusif dengan Filsuf Sunda Mandalajati Niskala.
Terutama Al Farabi mungkin akan diberi tahu oleh Mandalajati Niskala tentang Wujud Tuhan, tapi pastinya harus berjanji untuk dirahasiakan.
Saya bertanya kepada Mandalajati Niskala tentang Syekh Siti Jenar. Beliau menjawab: “Tidak perlu bertanya tentang Syekh Siti Jenar, yang penting adalah kenali Tuhan dengan sebenar-benarnya, maka kau AKAN SEPERTI SYEKH SITI JENAR”.
Atas segala pencapaian Produk Berpikir mereka, Mandalajati Niskala memberikan apresiasi dengan rasa hormat.
MANDALAJATI NISKALA
Seorang Filsuf Sunda Abad 21
Menjelaskan Dalam Buku
SANG PEMBAHARU DUNIA
DI ABAD 21,
Mengenai
HAKEKAT DIRI
Salah seorang peneliti Sunda yang sedang menulis buku
“SANG PEMBAHARU DUNIA DI ABAD 21,
bertanya kepada Mandalajati Niskala:
“Apa yang anda ketahui satu saja RAHASIA PENTING mengenai apa DIRI itu? Darimana dan mau kemana?
Jawaban Mandalajati Niskala:
“Saya katakan dengan sesungguhnya bahwa pertanyaan ini satu-satunya pertanyaan yang sangat penting dibanding dari ratusan pertanyaan yang anda lontarkan kepada saya selama anda menyusun buku ini.
Memang pertanyaan ini sepertinya bukan pertanyaan yang istimewa karena kata “DIRI” bukan kata asing dan sering diucapkan, terlebih kita beranggapan diri dimiliki oleh setiap manusia, sehingga mudah dijawab terutama oleh para akhli.
Kesimpulan para Akhli yang berstandar akademis mengatakan BAHWA DIRI ADALAH UNSUR DALAM DARI TUBUH MANUSIA.
Pernyataan semacam ini hingga abad 21 tidak berubah dan tak ada yang sanggup menyangkalnya. Para Akademis Dunia Barat maupun Dunia Timur banyak mengeluarkan teori dan argumentasi bahwa diri adalah unsure dalam dari tubuh manusia. Argumentasi dan teori mereka bertebaran dalam ribuan buku tebal. Kesimpulan akademis telah melahirkan argumentasi Rasional yaitu argumentasi yang muncul berdasarkan “Nilai Rasio” atau nilai rata-rata pemahaman Dunia Pendidikan.
Saya yakin Andapun sama punya jawaban rasional seperti di atas.
Tentu anda akan kaget jika mendengar jawaban saya yang kebalikan dari teori mereka.
Sebelum saya menjawab pertanyaan anda, saya ingin mengajak siapapun untuk menjadi cerdas dan itu dapat dilakukan dengan mudah dan sederhana.
Coba kita mulai belajar melacak dengan memunculkan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan kata DIRI, JIWA dan BADAN, agar kita dapat memahami apa DIRI itu sebenarnya. Beberapa contoh pertanyaan saya susun seperti hal dibawah ini:
1)Apa bedanya antara MEMBERSIHKAN BADAN, MEMBERSIHKAN JIWA dan MEMBERSIHKAN DIRI?
2)Apa bedanya KEKUATAN BADAN, KEKUATAN JIWA dan KEKUATAN DIRI?
3)Kenapa ada istilah KESADARAN JIWA dan KESADARAN DIRI sedangkan istilah KESADARAN BADAN tidak ada?
4)Kenapa ada istilah SEORANG DIRI tetapi tidak ada istilah SEORANG BADAN dan SEORANG JIWA?
5)Kenapa ada istilah DIRI PRIBADI sedangkan istilah BADAN PRIBADI tidak ada, demikian pula istilah JIWA PRIBADI menjadi rancu?
6)Kenapa ada istilah KETETAPAN DIRI dan KETETAPAN JIWA tetapi tidak ada istilah KETETAPAN BADAN?
7)Kenapa ada istilah BERAT BADAN tetapi tidak ada istilah BERAT JIWA dan BERAT DIRI?
8)Kenapa ada istilah BELA DIRI sedangkan istilah BELA JIWA dan BELA BADAN tidak ada?
9)Kenapa ada istilah TAHU DIRI tetapi tidak ada istilah TAHU BADAN dan TAHU JIWA?
10)Kenapa ada istilah JATI DIRI sedangkan istilah JATI BADAN dan JATI JIWA tidak ada?
11)Apa bedanya antara kata BER~BADAN, BER~JIWA dan BER~DIRI?
12)Kenapa ada istilah BER~DIRI DENGAN SEN~DIRI~NYA tetapi tidak ada istilah BER~BADAN DENGAN SE~BADAN~NYA dan BER~JIWA DENGAN SE~JIWA~NYA?
13)Kenapa ada istilah ANGGOTA BADAN tetapi tidak ada istilah ANGGOTA JIWA dan ANGGOTA DIRI?
Beribu pertanyaan seperti diatas bisa anda munculkan kemudian anda renungkan. Saya jamin anda akan menjadi faham dan cerdas dengan sendirinya, apalagi jika anda hubungkan dengan kata yang lainnya seperti; SUKMA, RAGA, HATI, PERASAAN, dsb.
Kembali kepada pemahaman Akhli Filsafat, Ahli Budaya, Akhli Spiritual, Akhli Agama, Para Ulama, Para Kyai dan masyarakat umum BAHWA DIRI ADALAH UNSUR DALAM DARI TUBUH MANUSIA. Mulculnya pemahaman para akhli seperti ini dapat saya maklumi karena mereka semuah adalah kaum akademis yang menggunakan standar kebenaran akademis.
Saya berani mengetasnamakan Sunda, bahwa pemikiran di atas adalah SALAH.
Dalam Filsafat Sunda yang saya gali, saya temukan kesimpulan yang berbeda dengan pemahaman umum dalam dunia ilmu pengetahuan.
Setelah saya konfirmasi dengan cara tenggelam dalam “ALAM DIRI”, menemukan kesimpulan BAHWA DIRI ADALAH UNSUR LUAR DARI TUBUH MANUSIA. Pendapat saya yang bertentangan 180 Derajat ini, tentu menjadi sebuah resiko yang sangat berat karena harus bertubrukan dengan Pendapat Para Akhli di tataran akademik.
Saya katakan dengan sadar ‘Demi Alloh. Demi Alloh. Demi Alloh’ saya bersaksi bahwa diri adalah UNSUR LUAR dari tubuh manusia yang masuk menyeruak, kemudian bersemayam di alam bawah sadar. ‘DIRI ADALAH ENERGI GAIB YANG TIDAK BISA TERPISAHKAN DENGAN SANG MAHA TUNGGAL’. ‘DIRI MENYERUAK KE TIAP TUBUH MANUSIA UNTUK DIKENALI SIAPA DIA SEBENARNYA’. ‘KETAHUILAH JIKA DIRI TELAH DIKENALI MAKA DIRI ITU DISERAHTERIKAN KEPADA KITA DAN HILANGLAH APA YANG DINAMAKAN ALAM BAWAH SADAR PADA SETIAP DIRI MANUSIA’.
Perbedaan pandangan antara saya dengan seluruh para akhli di permukaan Bumi tentu akan dipandang SANGAT EKSTRIM. Ini sangat beresiko, karena akan menghancurkan teori ilmu pengetahuan mengenai KEBERADAAN DIRI.
Aneh sekali bahwa yang lebih memahami mengenai diri adalah Dazal, namun sengaja diselewengkan oleh Dazal agar manusia sesat, kemudian Dazal menebarkan kesesatan tersebut pada dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan ‘DI UFUK BARAT’ maupun ‘DI UFUK TIMUR’.
Sebenarnya sampai saat ini DAZAL SANGAT MEMAHAMI bahwa DIRI adalah unsur luar yang masuk menyeruak pada seluruh tubuh manusia. DIRI merupakan ENERGI KEMANUNGGALAN DARI TUHAN SANG MAHA TUNGGAL. Oleh karena pemahaman tersebut DAZAL MENJADI SANGAT MUDAH MENGAKSES ILMU PENGETAHUAN. Salah satu ilmu yang Dia pahami secara fasih adalah Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu. Ilmu ini dibongkar dan dipraktekan hingga dia menjadi SAKTI. Dengan kesaktiannya itu Dia menjadi manusia “Abadi” dan mampu melakukan apapun yang dia kehendaki dari dulu hingga kini. Dia merancang tafsir-tafsir ilmu dan menyusupkannya pada dunia pendidikan agar manusia tersesat. Dia tidak menginginkan manusia mamahami rahasia ini. Dazal dengan sangat hebatnya menyusun berbagai cerita kebohongan yang disusupkan pada Dunia Ilmu Pengetahuan, bahwa cerita Dazal yang paling hebat agar dapat bersembunyi dengan tenang, yaitu MENGHEMBUSKAN ISU bahwa Dazal akan muncul di akhir jaman, PADAHAL DIA TELAH EKSIS MENCENGKRAM DAN MERUSAK MANUSIA BERATUS-RATUS TAHUN LAMANYA HINGGA KINI.
Ketahuilah bahwa Dazal bukan akan datang tapi Dazal akan berakhir, karena manusia saat ini ke depan akan banyak yang memahami bahwa DIRI merupakan unsur luar dari tubuh manusia YANG DATANG MERUPAKAN SIBGHOTALLOH DARI TUHAN SANG MAHA TUNGGAL. Sang Maha Tunggal keberadaannya lebih dekat dari pada urat leher siapapun, karena Sang Maha Tunggal MELIPUT SELURUH JAGAT RAYA dan kita semua berada TENGGELAM “Berenang-renang” DALAM LIPUTANNYA.
Inilah Filsafat Sunda yang sangat menakjubkan.
Perlu saya sampaikan agar kita memahami bahwa Sunda tidak bertubrukan dengan Islam, saya temukan beberapa Firman Allohurabbul’alamin dalam Al Qur’an yang bisa dijadikan pijakan untuk bertafakur, mudah-mudahan semua menjadi faham bahwa DIRI adalah “UNSUR KETUHANAN” yang masuk ke dalam tubuh manusia untuk dikenali dan diserah~terimakan dari Sang Maha Tunggal sebagai JATI DIRI, sbb:
1)Bila hamba-hambaku bertanya tentang aku katakan aku lebih dekat (Al Baqarah 2:186)
2)Lebih dekat aku daripada urat leher (Al Qaf 50:16)
3)Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami disegenap penjuru dan pada nafasmu sendiri (Fushshilat 41:53)
4)Dzat Allah meliputi segala sesuatu (Fushshilat 41:54)
5)Dia (Allah) Bersamamu dimanapun kamu berada (Al Hadid 57:4)
6)Kami telah mengutus seorang utusan dalam nafasmu (AT-TAUBAH 9:128)
7)Di dalam nafasmu apakah engkau tidak memperhatikan (Adzdzaariyaat 51:21)
8)Tuhan menempatkan DIRI antara manusia dengan qolbunya (Al Anfaal 8:24)
9)Aku menciptakan manusia dengan cara yang sempurna (At Tin 95:4)
Jawaban mengenai APA DIRI ITU. DARIMANA & MAU KEMANA (Sangkan Paraning Dumadi), akan saya jelaskan secara rinci dan tuntas pada sebuah buku.
JAMAN BARU DATANG UNTUK MEMBUKA TABIR
SANGKAN PARANING DUMADI
SANGKAN PARANING DUMADI
SANGKAN PARANING DUMADI
Dalam Penggalian MANDALAJATI NISKALA
Memasuki Ruang Insun, Telah Melahirkan
Konsepsi SANGKAN PARANING DUMADI
Yang Fitrah, Original & Sangat Anyar.
KONSEPSI TERSEBUT BETUL BETUL BEGITU
SEDERHANA, NAMUN SANGAT MENYERUAK
DI KEDALAMAN YANG TANPA BATAS, sbb:
1♥Barang siapa yang memahami NAFAS~nya,
akan memahami rahasia HU~DA~RA~nya.
(HU~DA~RA adalah Whitehole berupa potensi
JAWAHAR AWAL, yang menjadi sistem
TRI TANGTU DI BUWANA, dan jadilah ketentuan
Tuhan SEGALA MACAM KEJADIAN
SECARA SISTEMIK TERMASUK MANUSIA)
2♥Barang siapa yang memahami HU~DA~RA~nya,
akan memahami potensi HI~DI~RI~nya.
(Potensi HI~DI~RI meliputi:
HI adalah alam Subconcious
DI adalam alam Concious
RI adalah alam HIperconcious)
3♥Barang siapa yang memahami HI~DI~RI~nya,
akan memahami satuan terkecil DI~RI~nya.
(Tribaka, Panca Azasi Wujud &
Panca Maha Buta)
4♥Barang siapa yang memahami DIRI~nya,
akan memahami HI~DIR~nya.
(Kesadaran Semesta = Kesadaran Manunggal)
5♥Barang siapa yang memahami HI~DIR~nya,
akan memahami satuan terkecil ATMA~nya.
(Kehidupan JAWAHAR AKHIR yang mengendap
pada Tribaka)
6♥Barang siapa yang memahami ATMA~nya,
akan memahami TAMAT~nya.
(Reaktor Nuklir dari akumulasi satu
Oktiliun Tribaka pada tubuh manusia,
yang segera memasuki Blackhole
untuk keluar dari Jagat Raya
dan meledak menjadi Bigbang,
di ruang hampa, gelap gulita,
bertekanan minus)
7♥Barang siapa yang memahami TAMAT~nya,
akan memahami WIWIT~nya.
(Ledakan Bigbang membentuk Whitehole
yaitu berupa potensi Jawahar Awal
di Jagat Raya Baru)
Peringatan dari Mandalajati Niskala:
“JIKA ANDA SULIT UNTUK MEMAHAMI,
LEBIH BAIK ABAIKAN SAJA. TERIMA KASIH)
════════════════════════════
Syair Sunda:
JAWAHAR AKHIR NGARAGA~DIA
ditulis ku Mandalajati NIskala
Atma na sakujur raga.
Hanargi museur na tazi.
Bobot Bentang JAGAT RAYA panimbangan.
Paeunteung eujeung.
Ziro sazironing titik Nu Maha Leutik.
Madet dina JAGAT LEUTIK.
Gumulung sakuliahing cahya.
Ngahideung Nu Maha Meles.
Ngan beuratna Maha Beurat.
Insun gumulung nu Tilu NGAMANUNGGAL;
PARA~TRI~NA, NI~TRI~NA jeung
HOLIK~TRI~NA dina Jawahar Akhir.
Tandaning Insun lulus nurubus.
Lolos norobos, Robbah lalakon.
Kaluar tina Sapanunggalan Gusti Nu Maha Suci.
Bitu ngajelegur.
Manggulung-gulung kabutna.
Huwung nungtung ngahujung.
Jadi jumadi ngajadi.
INSUN ROBBAH NGARAGADIA.
Gelar Ngajawahar Awal.
Gusti papanggih jeung Gusti.
Dina babak carita SAWA~RAGA~ANYAR.
Ahuuung Ahuuung Ahuuung Aheeeng.
════════════════════════════
Artikulasi Sunda:
PANTO JAWAHAR AWAL
KA PANTO JAWAHAR AKHIR
ditulis ku Mandalajati NIskala
Manusa sategesna bagian ti Gustina.
Kum eusi samesta KOKOJAYAN
di jero HAWA~K GUSTI NU MAHA AGUNG
(Zibghotulloh).
Sagala rupa kaasup Manusa MANUNGGAL
DINA JERO HAWA~K GUSTI NU MAHA AGUNG
(Sapanunggalan).
Gusti NU MAHA AGUNG mibanda TILU
ENERGI PRIMER (Tri Tangtu Di Buwana),
nu gumulung jadi tunggal tampa wates
disebut;
JAWAHARA HAWAL WAL HAKHIR (JHWH)
SANG MAHA AGUNG
nyaeta “JHWH” dina CAKUPAN ALAM MAKRO,
mibanda:
Energi “HU” Acining Cahi,
Energi “DA” Acining Taneuh,
Energi “RA” Acining Seuneu.
Tiluanana Gumulung dina SAJATINING HUDARA,
salaku PANTO HAWAL Zat Abadi Makro,
nu disebut JAWAHAR HAWAL WHITEHOLE,
nyaeta proses DIA NGAJADIKEUN INSUN.
SANG MAHA LEMBUT
nyaeta “JHWH” dina CAKUPAN ALAM MIKRO,
mibanda:
Energi “HU” Proton,
Energi “DA” Netron,
Energi “RA” Elektron.
Tiluanana Gumulung dina SAJATINING HATOM,
salaku PANTO HAKHIR Zat Abadi Mikro,
nu disebut JAWAHAR HAKHIR BLACKHOLE,
nyaeta proses INSUN JADI DIA.
════════════════════════════
Filsuf Sunda MANDALAJATI NISKALA, sbg:
Zaro Bandung Zaro Agung
Majelis Agung Parahyangan Anyar.
Klik di google Mandalajati Niskala
BACALAH SELURUH SULUR BUAH PIKIRANNYA.
Pengirim Komentar:
@Sandi Kaladia
bagus………… yaaaaaa
Tulisan tentang tasawuf yang terbaru silahkan baca pada
seorang arif bertanya seorang sufi yang sedang bernyanyi di hadapan banyak orang, apa yang anda lakukan wahai syeih..jawab syeh sufi tersebut “aku sedang memuji allah”
tanya orang arif “apakah engkau mencintai rasulullah”.jawab syeh sufi “aku mencintainnya lebih dari diriku
jawab si arif kalau demikian engkau berdusta..kenapa timpal syeh
caramu memuji allah dengan cara baginda berbeda….lantas dr mana engkau mendapatkan cara memuji allah seperti itu
jawab syeh dari akal dan sebagian dari pengalaman dan turunan dari guruku
lantas siarif tertawa kalau begitu terbukti engkau lebih memilih akal dan para tetuamu daripada rasululah
wallahu alam
Mas Didit bagaimana cara mendapatkan pengetahuan apa yang diajarkan oleh Rasulllah tanpa melalaui para guru yang tersambung kepada lisannya Rasulullah ?
Silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/05/05/nikah-wisata/ atau tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/04/07/menjaga-sanad-ilmu/
Apakah semua yang berbeda dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah maupun semua yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah perkara terlarang ?
Bid’ah hasanah adalah perkara baru dalam ibadah ghairu mahdhah yang ada kebaikan di dalamnya
Maliki menyebutkan dalil kedua belas, dengan berkata,
“Perayaan Maulid dianggap baik oleh ulama dan kaum Muslimin di seluruh negeri dan dikerjakan di seluruh pelosok. Karena itu, perayaan Maulid itu perintah syar’i, berdasarkan kaidah dari hadits mauquf dari Ibnu Mas’ud, ‘Apa saja yang dipandang baik oleh kaum Muslimin maka juga baik menurut Allah dan apa saja yang dipandang jelek oleh kaum Muslimin maka jelek juga menurut Allah’.
Begitupula Wasekjen MUI Pusat, Ustadz Tengku Zulkarnaen ketika memberikan catatan pada fatwa MUI tentang nikah wisata yang dapat dibaca pada http://tengkuzulkarnain.net/index.php/artikel/pena/kumpulan-tulisan/188/nikah-wisata.html
Ustadz Tengku Zulkarnaen menyampaikan bahwa nikah wisata maupun maulid nabi, Isra’ dan Mi’raj, Nuzul Qur’an, Tahun Baru Islam adalah sama-sama tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. namun nikah wisata adalah bid’ah yang sesat sedangkan maulid nabi, Isra’ dan Mi’raj, Nuzul Qur’an, Tahun Baru Islam ada kebaikan di dalamnya
Berikut selengkapnya
****** awal kutipan ******
Nikah misar (nikah wisata) ini telah difatwakan “haram” oleh Majelis Ulama Indonesia. Sayangnya “Lajnah ad-Daimah Saudi Arabia” pimpinan Syekh Abdullah bin Baz menghalalkan nikah wisata ini.
Padahal dalam fatwa itu salah satu kutipan yang diambil adalah pendapat Ibnu Hazm, seorang tokoh Zahiri (ahli zahir, alias tekstual), dan Abul Walid Sulaiman Khalaf al Bajiy, dalam kitab “al-Muntaqa Syarhul Muwatha’ “, Jilid 3 Halaman 336, mengatakan: Barangsiapa yang menikahi wanita, dan tidak berkeinginan utk menahannya sebagai isterinya, kecuali hanya ingin bersenang-senag untuk menyetubuhinya dan menceraikannya setelah itu, maka menurut Imam Maliki dari riwayat Muhammad hukumnya “boleh”, tetapi tidak bagus, dan bukan merupakan akhlak manusia….”
Lihatlah pendapat Imam Maliki, beliau mengatakan ini bukan merupakan akhlak manusia….! Berarti akhlak binatang? Seperti kambing, monyet, babi dan lain-lain…? Astaghfirullah. Pantaskah manusia memakai akhlak bukan manusia?
Dalam madzhab Imam Syafi’i ra, menceraikan isteri setelah menyetubuhinya, masih dalam keadaan suci dari haidh, maka perceraian itu disebut “talaq bid’i”, yakni “talak bid’ah”.
Padahal kelompok Wahabi Salafy selalu mengatakan bahwa setiap bid’ah itu pasti tempatnya akan berada dalam neraka. Jadi bagaimana persoalan bid’ah seperti ini bisa difatwakan oleh Lajnah mereka sebagai perbuatan halal? Bukankah Rasulullah tidak pernah melakukan perbuatan nikah misar ini….?
Selama ini kelompok Salafy Wahaby sangat tegas dengan pendapat mereka bahwa setiap perbuatan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah wajib ditolak, karena merupakan perbuatan yang bid’ah dholallah. Kenapa dalam hal misar ini sikap mereka jadi berubah? Sementara tidak ada sebuah riwayat pun yang mengatakan ada generasi sahabat Nabi yang melakukan nikah misar ini.
Jika dibandingkan dengan sikap mereka yang menolak secara tegas tanpa syarat peringatan Maulid Nabi, Isra’ dan Mi’raj, Nuzul Qur’an, Tahun Baru Islam, dan lain-lain yang ditolak secara tegas dan dianggap bid’ah yang sesat hanya karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Sahabat Nabi, tanpa memandang sedikit pun kebaikan yang ada pada peringatan itu, maka menjadi sangat aneh-lah serta menimbulkan tanda tanya besar atas fatwa Salafy Wahabi terhadap persoalan nikah misar ini, yang sama-sama tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
***** akhir kutipan ******
Begitupula Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Ali Mustafa Yakub sebagaimana yang telah disampaikan pada http://www.muslimedianews.com/2014/01/imam-besar-masjid-istiqlal-curigai-ada.html mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah yang terlarang. Menurut Kiai Ali Mustafa, peringatan Maulid Nabi masuk wilayah muamalah. “Selama tidak melakukan hal-hal yang mengharamkan, ya boleh-boleh saja.
Walaupun Rasulullah mencontohkan memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa hari senin namun kaum muslim boleh memperingatinya dengan kegiatan-kegiatan yang lainnya selama kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa puasa Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya
Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.
Pada hadits yang lain dapat kita ketahui alasan lain puasa Senin dan Kamis
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda, Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Daud 2436)
Jadi kesimpulannya alasan puasa Senin adalah
Hari dilahirkan Rasulullah
Hari diangkat menjadi Rasulullah
Hari diturunkan Al Qur’an
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Alasan puasa Kamis adalah
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula memperingati hari kelahiran diri sendiri dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di akhirat kelak adalah bukan perkara dosa atau terlarang.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermadzhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
Pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah, “walhasil, sesungguhnya bid’ah hasanah itu selaras dengan sebuah kesunnahan, dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid’ah hasanah”
Pendapat Al-Imam Al-Hafidz Al-Qasthalaniy Rahimahullah, “maka Allah akan memberikan rahmat bagi orang-orang yang menjadian Maulid Nabi yang penuh berkah sebagai perayaan…” Kitab Mawahid Al-Ladunniyah (1/148) –Syarh ‘alaa Shahih Bukhari-, karangan Al-Imam AL-Qasthalaniy
Para ulama yang sholeh terdahulu mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah sebagaimana contoh pembahasan pada http://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairu-mhadhah/
Landasan klasifikasi adalah
Prinsip-prinsip ibadah mahdhah, , KA + SS = karena Allah dan sesuai dengan syariat.
1. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
2. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
3. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.
4. Tatacaranya harus berpola kepada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah adalah terlarang.
Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)
Imam Malik berkata “Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama”
Berikut riwayat yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan perkataan Imam Malik tersebut
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram?”
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”
Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.
Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”
Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.
Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”
Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Jadi jelaslah terlarang menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkanNya dan sebaliknya terlarang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang yang tidak dilarangNya atau mengharamkan yang tidak diharamkanNya
Ibadah haji maupun umrah termasuk ibadah mahdhah
Contoh lainnya, sholat lima waktu termasuk ibadah mahdhah.
Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal), azasnya “taat”, tatacaranya harus berpola kepada apa yang telah dijelaskan, dicontohkan, dilakukan oleh Rasulullah shallallallahu alaihi wasallam
Tidak boleh sholat subuh tiga rakaat walaupun (rasional) menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).
Tidak boleh azan dalam sholat ied walaupun (rasional) menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul fiqih
اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ
“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”
Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.
Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.
Sedangkan prinsip-prinsip ibadah ghairu mahdhah, BB + KA , Berbuat Baik + Karena Allah
1. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.
2. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
3. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan
4. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan. Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Jadi kaidah “asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang memerintahkannya” adalah ibadah yang sifatnya mahdhah saja, bukan semua ibadah.
Salah satu cara membedakan ibadah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Amalan atau perbuatan anda menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu bukan ibadah maka hukumnya mubah (boleh). Namun karena tujuan (maqoshid) anda menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala.
Jadi perantara (wasail) anda menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana), maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah , kebiasaan atau adat selama tidak melanggar laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah ta’ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Jadi perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syara’ atau selama tidak menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebaliknya perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika bertentangan atau jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.
Imam Syafi’i berkata bahwa perkara baru (bid’ah atau muhdats) atau perkara yang tidak terdapat pada masa Rasulullah yang tidak menyalahi atau yang tidak bertentangan dengan syara’ atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah)
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Oleh karenanya ketika kita menghadapi dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah maka kita menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Contoh bid’ah wajib adalah menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf (terdahulu) sebagaimana yang dicontohkan oleh Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339) dan dapat dibaca kutipannya pada http://syeikhnawawial-bantani.blogspot.com/2011/12/pembagian-bidah-menurut-imam-izzuddin.html
Kita sepakat bahwa menuntut ilmu termasuk ibadah ghairu mahdhah.
Sedangkan menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah adalah termasuk bid’ah hasanah dan hukumnya wajib.
Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
Contoh bid’ah mubah adalah bersalaman setelah sholat.
Dalam Qawaid Al Ahkam (2/339), dengan cukup gamblang Imam Izzuddin menyatakan bahwa bersalaman setelah ashar dan shubuh merupakan bid’ah mubah. Ketika Imam Izzudin menjelaskan pembagian bid’ah sesaui dengan hukum lima bersama contohnya, beliau menjelaskan bid’ah mubah, ”Dan bagi bid’ah-bid’ah mubah, contoh-contohnya bersalaman setelah shubuh dan ashar.”
Hal ini juga dinukil juga oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (3/22), serta Al Adzkar dalam Al Futuhat Ar Rabaniyah (5/398) dengan makna yang sama.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ (3/459),”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah shalat shubuh dan ashar saja telah menyebut As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam rahimahullah Ta’ala,’Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah, tidak bisa disifati dengan makruh dan tidak juga istihbab (sunnah).’ Dan yang beliau katakan ini baik.”
Ba Alawi mufti As Syafi’iyah Yaman, dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al Mustrasyidin (hal. 50) juga menyebutkan pula bahwa Imam Izzuddin memandang masalah ini sebagai bid’ah mubah sebagaimana pemahaman Imam An Nawawi,”Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat shubuh dan ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam bahwa hal itu merupakan bid’ah-bid’ah mubah.”
Bukan hanya ulama As Syafi’iyah saja yang memahami istilah khusus yang digunakan oleh Imam Izuddin. Meskipun As Safarini seorang ulama madzhab Hanbali, beliau memahami bahwa Imam Izzuddin menyatakan masalah ini sebagai bi’dah mubah. Tertulis dalam Ghidza Al Albab (1/235), dalam rangka mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat tangan di dua waktu tersebut adalah bid’ah yang tidak dilakukan oleh Rasul dan tidak disunnahkan oleh seorang ulama sekalipun, ”Aku berkata, dan yang dhahir (jelas) dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As Syafi’iyah bahwa sesungguhnya hal itu adalah bid’ah mubah”
Contoh bid’ah haram, Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan di antaranya: Golongan Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah (musyabbihah). Menolak terhadap mereka termasuk bid’ah yang wajib.
Contoh orang-orang yang pada awalnya bermazhab Hambali namun kemudian menjadi imam atau guru besar kaum musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk) karena memahami Al Qur’an dan As Sunnah selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) dan mengingkari makna majaz (makna kiasan/metaforis) seperti,
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdadial-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali. Beliau ini pengarangbuku ushuluddin yang bernama “syarah usuluddin” dimana diuraikan banyak tentang tasybihm yaitu keserupaan Tuhan dengan manusia.
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmadal-Baghdadi al-Hanbali, dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali. Lahir tahun 380 H, wafat 458 H. Beliau ini banyak mengarang kitab Usuluddin yang banyak menyampaikan tentang tasybih. Ada ulama mengatakan bahwa “Aib yang dibuat Abu Ya’ala ini tidak dapat dibersihkan dengan air sebanyak air laut sekalipun”. Tampaknya cacat pahamnya terlalu besar.
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghunial-Hanbali, wafat 527 H. Beliau ini pengarang sebuah buku dalam usuluddin yangberjudul “Al Idah”, di mana banyak diterangkan soal tasybih dan tajsim.
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama yang semula Hanabila yang merupakan guru guru besar kaum Musyabbihah atau Mujassimah.
Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادمعلى صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata,mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki.
Sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”,
Mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu–dan ini yang sangat menyesakkan– mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah mereka memahaminya secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’li” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan“Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Jika memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir maka menyerupai (bertasyabuh) kepada kaum Yahudi
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits diatas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Jikalau beri’tiqod (beraqidah) selalu dengan makna dzahir (selalu berpegang pada nash secara dzahir) maka “jari Allah” juga berada disetiap hati manusa
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya. (HR Muslim 4798)
Ibn Al Jawzi berkata , “Hadits ini menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah kekuasaan Allah. Ketika diungkapkan “بين أصبعين ”,artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah maha berkehendak untuk “membolak-balik” hati setiap manusia.
Dari Syahru bin Hausyab berkata; saya telah mendengar Ummu Salamah meceritakan bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam memperbanyak dalam do’anya: Allahummaa muqallibalqulubtsabit qalbi ‘ala dini (Ya Allah,yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu). Ia berkata;saya berkata; “Wahai Rasululah! Apakah hati itu berbolak balik?” beliau menjawab: “Ya, tidaklah ciptaan Allah dari manusia anak keturunan Adam kecuali hatinya berada di antara dua jari dari jari-jari Allah. Bila Allah Azza wa Kalla berkehendak, Ia akan meluruskannya, dan jika Allah berkehendak,Ia akan menyesatkannya. Maka kami memohon kepada Allah; ‘Wahai Tuhan kami,janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah kami diberi petunjuk.’ Dan kami memohon kepada-Nya supaya memberikan kepada kita rahmat dari sisinya, sesungguhnya dia adalah Maha Pemberi’.” (HR Ahmad No 25364)
Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah
Awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Awal dalam beragama adalah mengenal Allah. Oleh karenanya sejak dini sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam mazhab yang empat yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal Allah.
20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Waspadalah jika tidak bermakrifat atau tidak mengenal Tuhan yang disembah maka ibadahnya tidak akan diterima.
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata:
مَنْ زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ (رَوَاه أبُو نُعَيم
“Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata:
لاَ تَصِحُّ الْعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
Oleh karenanya jika belum mengenal Allah dengan benar maka ibadahnya tidak sah atau belum beriman kepadaNya, maksudnya barangsiapa mengatakan “tiada tuhan selain Allah” namun Allah yang diyakini (di’itiqodkan) berlainan dengan Allah sebenarnya maka dia telah menyekutukan Allah dengan sesuatu yang diyakininya.
Jadi permasalahan terbesar yang dapat menjerumuskan kekufuran dalam i’tiqod dan tidak bermakrifat atau tidak mengenal Tuhan yang wajib disembah yang akan berakibat tidak sah ibadahnya adalah cara mereka menetapkan sifat Allah yang selalu berpegang pada nash secara dzahir atau penetapan sifat Allah selalu berdasarkan makna dzahir
Para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in terhadap ayat-ayat sifat mereka tidak memahaminya dengan makna dzahir namun mereka menyerahkan maknanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Salaf yang sholeh mengatakan, “Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan berdasarkan maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kufur dalam i’tiqod secara pasti.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jism (contohnya tangan) sebagaimana jisim-jisim lainnya (sebagaimana tangan lainnya), maka orang tersebut hukumnya Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (contohnya tangan) namun tidak serupa dengan jisim-jisim lainnya (tidak serupa dengan tangan makhlukNya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod) karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Imam ath Thahawi dalam kitabnya Aqiidah ath Thaahawiyah berkata, “Barangsiapa yang enggan (tidak mau) menafikan sifat makhluk kepada Allah atau menyamakan-Nya dengan sifat makhluk, maka ia telah sesat dan tidak melakukan tanzih (mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk). Karena sesungguhnya Tuhan kami yang Maha Agung dan Maha Mulia itu disifati dengan sifat-sifat wahdaniyyah (tunggal) dan fardaniyyah (kesendirian). Hal ini artinya, tidak ada satupun makhluk yang menyamaiNya. Maha Suci Allah dari segala macam batasan, tujuan, pilar, anggota dan aneka benda. Allah ta’ala tidak butuh enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk ( Abu Ja’far Ahmad bin Salamah Ath Thahawi , Aqidah Ath Thahaawiyyah halaman 26)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis)”
Orang-orang yang menolak atau mengharamkan takwil dengan makna majaz (metaforis) maka termasuk orang-orang yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah tanpa ilmu sehingga akan sesat dan menyesatkan karena makna majaz adalah bagian dari ilmu balaghah
Point ke lima dari sepuluh kriteria aliran sesat yang disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah
5. Melakukan penafsiran Al Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa Al-Quran dan As-Sunnah diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima.
Hal yang perlu diketahui dan dikuasai bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seperti ilimu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
Selain itu perlu mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
Tidak sempurna pula jika hanya mengetahui dan menguasai ilmu nahwu dan sharaf tanpa mengetahui dan menguasai ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-ketidakseimbangan/ atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/10/ilmu-sastra-arab/
Fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata hati yang berujung dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Kalau dalam berijtihad dan beristinbat atau menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Allahuakbar. Subhanallah. Alhamdulillah, mudah2an Allah SWT menambah ilmu yang bermanfaat kepada saya dengan perantaraan bloknya Ustad Zon. Amiin.
Ustad Zon semoga Allah SWT menjaganya, umat muslim Indonesia kan jumlahnya ratusan juta jiwa kalau mau belajar tasawuf kan harus ada mursyidya/gurunya ( sanadnya itu harus nyambung sampai ke Sayidina Ali bin Abi Tholib Rodli Allahuanhu, sedangkan lulusan IAIN jurusan tasawuf saja akhlaknya yang saya lihat akhlaknya biasa2 saja dan tidak menunjukan nilai plus, memang di negara RI ada berapa mursyid/guru tasawuf tolong rekomendasikan. Dan negara manakah yang paling banya mencetak mursyid/guru tasawuf ? Sebab yang saya tahu negara Mesir saja yang punya Universitas Al-Azhar mayoritas Ihwanul Muslimin/Salafi Wahabi. Kalau ke Hadromat Yaman Syaih Osmah bin Laden markas disana bahkan Salafi Wahabi juga markasnya di Yaman terus kalau ke Iran pusatnya Syi’ah di Iraq kelahiran Syaih Abdul Qodir Jailani rohimahullah sekarang yang berkuasa Syi’ah, di Palestina yang ada Masjil Aqsonya Yahudi, apalagi di kota suci Mekah/Madinah ratusan tahun dijajah Salafi Wahabi, India/Pakistan Jamaah Tabligh, di Aljazair Hisbut Tahir/Salafi Wahabi. Tolong ustad Zon atau Sauada-saudaraku semuanya tolong dibalas. Oh iya Indosia juga sudah banyak Salafi Wahabinya seperti Al-Irsyad, PKS, Muhammadiyyah, LDII, JIL, HT dan lain-lain).
Mas Jarwo, markas firqah Syiah maupun Salafi Wahabi tidak ada di propinsi Hadramaut, Yaman
Salah satu markas firqah Salafi Wahabi ada di Dammaj, Yaman
Majalah dakwah Islam “Cahaya Nabawiy” Edisi no 101, Januari 2012 memuat topik utama berjudul “SYIAH-WAHABI: Dua seteru abadi” , Berikut sedikit kutipannya,
***** awal kutipan ****
“Sebenarnya ada fakta lain yang luput dari pemberitaan media dalam tragedi itu.
Peristiwa itu bermula dari tertangkapnya mata-mata utusan Darul Hadits oleh orang-orang suku Hutsi yang menganut Syiah. Selama beberapa lama Darul Hadits memang mengirim mata-mata untuk mengamati kesaharian warga Syiah. Suku Hutsi merasa kehormatan mereka terusik dengan keberadaan mata-mata ini.
Kehormatan adalah masalah besar bagi suku-suku di Jazirah Arab. Tak ayal, suku Hutsi pun menyerbu Darul Hadits sebagai ungkapan amarah mereka.
Selama beberapa hari Darul Hadits dikepung orang-orang Hutsi yang kebanyakan tergabung dalam milisi pemberontak
Dua warga Indonesia tewas dalam baku tembak, sementara yang lainnya bersembunyi di kampus. Anehnya, meskipun beberapa kali dibujuk , para mahasiswa tetap tak mau dievakuasi pihak kedutaan. Mereka berdalih bahwa diri mereka sedang berjihad melawan musuh. Doktrin yang ditanamkan kepada mahasiswa Darul Hadits cukup, sangar yakni, “Jihad terhadap syiah rafidah al-Houtsi”
***** akhir kutipan *****
Ironis sekali , mereka merasa berjihad dan memerangi sesama manusia yang telah bersyahadat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi: ‘Apakah kamu yang telah membunuhnya? ‘ Dia menjawabnya, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak ia datang (untuk minta pertanggung jawaban) pada hari kiamat nanti? ‘ (HR Muslim 142)
Jika dua orang muslim saling bertemu (untuk berkelahi) dengan menghunus pedang masing-masing, maka yang terbunuh dan membunuh masuk neraka. aku pun bertanya: Wahai Rasulullah, ini bagi yang membunuh, tapi bagaimana dengan yang terbunuh? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Dia juga sebelumnya sangat ingin untuk membunuh temannya.(HR Bukhari 30)
Pepatah orang tua kita dahulu menyatakan: “Menang jadi arang, kalah jadi abu”. artinya mereka sama-sama dalam kerugian.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku mendahului kalian ke telaga. Lebar telaga itu sejauh antara Ailah ke Juhfah. Aku tidak khawatir bahwa kalian akan kembali musyrik sepeninggalku. Tetapi yang aku takutkan ialah kamu terpengaruh oleh dunia. Kalian berlomba-lomba untuk mendapatkannya kemudian berbunuh-bunuhan, dan akhirnya kalian musnah seperti kemusnahan umat sebelum kalian”. (HR Muslim 4249)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kaum Anshar, “sepeninggalku nanti, akan kalian jumpai sikap atsarah (sikap egoism, individualisme, orang yang mementingkan dirinya sendiri dan kelompok). Maka bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku dan tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah telaga al-Haudl (di surga)” . (HR Bukhari 350)
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Bukhari 5552) (HR Muslim 4685)
Sebagaimana yang disampaikan oleh Majalah dakwah Islam “Cahaya Nabawiy” di atas bahwa firqah Syiah adalah “seteru abadi” bagi firqah Wahabi
Walaupun para pengikut firqah Wahabi sangat membenci firqah Syiah namun suka pula firqah Wahabi menyenangkan hati para pengikut firqah syiah yakni suka menambah jumlah pengikut firqah syiah dengan cara menuduh muslim lainnya yang tidak sependapat dengan mereka sebagai syiah
Salah satu contoh yang sering dituduh Syiah adalah Habib Muhammad Rizieq Syihab
Habib Muhammad Rizieq Syihab menyampaikan bahwa sekte (firqoh) Wahabi maupun Syiah masing-masing terbagi kedalam 3 bagian
****** awal kutipan *****
WAHABI
Pertama, WAHABI TAKFIRI yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang tidak sepaham dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama muslim, lalu bersikap MUJASSIM yaitu mensifatkan Allah SWT dengan sifat-sifat makhluq, dan sebagainya dari berbagai keyakinan yang sudah menyimpang dari USHULUDDIN yang disepakati semua MADZHAB ISLAM. Wahabi golongan ini KAFIR dan wajib diperangi.
Kedua, WAHABI KHAWARIJ yaitu yang tidak berkeyakinan seperti Takfiri, tapi melakukan penghinaan/penistaan/pelecehan secara terbuka baik lisan mau pun tulisan terhadap para Ahlul Bait Nabi SAW seperti Ali RA, Fathimah RA, Al-Hasan RA dan Al-Husein RA mau pun ‘Itrah/Dzuriyahnya. Wahabi golongan ini SESAT sehingga mesti dilawan dan diluruskan.
Ketiga, WAHABI MU’TADIL yaitu mereka yang tidak berkeyakinan Takfiri dan tidak bersikap Khawarij, maka mereka termasuk MADZHAB ISLAM yang wajib dihormati dan dihargai serta disikapi dengan DA’WAH dan DIALOG dalam suasana persaudaraan Islam.
SYIAH
Pertama, SYI’AH GHULAT yaitu Syi’ah yang menuhankan/menabikan Ali ibn Abi Thalib RA atau meyakini Al-Qur’an sudah di-TAHRIF (dirubah/ditambah/dikurangi), dan sebagainya dari berbagai keyakinan yang sudah menyimpang dari USHULUDDIN yang disepakati semua MADZHAB ISLAM. Syi’ah golongan ini adalah KAFIR dan wajib diperangi.
Kedua, SYI’AH RAFIDHOH yaitu Syi’ah yang tidak berkeyakinan seperti Ghulat, tapi melakukan penghinaan/penistaan/pelecehan secara terbuka baik lisan atau pun tulisan terhadap para Sahabat Nabi SAW seperti Abu Bakar RA dan Umar RA atau terhadap para isteri Nabi SAW seperti ‘Aisyah RA dan Hafshah RA. Syi’ah golongan ini SESAT, wajib dilawan dan diluruskan.
Ketiga, SYI’AH MU’TADILAH yaitu Syi’ah yang tidak berkeyakinan Ghulat dan tidak bersikap Rafidhah, mereka hanya mengutamakan Ali RA di atas sahabat yang lain, dan lebih mengedapankan riwayat Ahlul Bait daripada riwayat yang lain, secara ZHOHIR mereka tetap menghormati para sahabat Nabi SAW, sedang BATHIN nya hanya Allah SWT Yang Maha Tahu, hanya saja mereka tidak segan-segan mengajukan kritik terhadap sejumlah sahabat secara ilmiah dan elegan. Syi’ah golongan inilah yang disebut oleh Prof. DR. Muhammad Sa’id Al-Buthi, Prof. DR. Yusuf Qardhawi, Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, Mufti Mesir Syeikh Ali Jum’ah dan lainnya, sebagai salah satu Madzhab Islam yang diakui dan mesti dihormati. Syi’ah golongan ketiga ini mesti dihadapi dengan DA’WAH dan DIALOG bukan dimusuhi.
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/03/20/perseteruan-antar-firqah/ bahwa salah dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bukan ahli istidlal akan menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan sehingga timbullah firqah dalam Islam.
Perhatikanlah tulisan-tulisan mereka contohnya pada http://tukpencarialhaq.com/ maka akan dapat kita temukan bertebaran nama-nama firqah yang masing-masing merasa paling benar seperti salafi jihadi, salafi haraki, salafi Turotsi, salafi Yamani atau salafi Muqbil, salafi Rodja atau salafi Halabi, salafi Sururi, salafi Quthbi atau salafi Ikhwani dan firqah-firqah yang lain dengan nama pemimpinnya.
Contohnya pengikut Ali Hasan Al Halabi dinamakan oleh salafi yang lain sebagai Halabiyun sebagaimana contoh publikasi mereka pada http://tukpencarialhaq.com/2013/11/17/demi-halabiyun-rodja-asatidzah-ahlussunnah-pun-dibidiknya/ berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Kita lanjutkan sedikit pemaparan bukti dari kisah Haris, Jafar Salih dkk.
Cileungsi termasuk daerah terpapar virus Halabiyun Rodja pada ring pertama.
Tak heran jika kepedulian asatidzah begitu besar terhadap front terdepan (disamping daerah Jakarta tentunya).
Daurah-daurah begitu intensif dilaksanakan, jazahumullahu khaira. Kemarahan mereka telah kita saksikan bersama dan faktanya, amarah/ketidaksukaan ini juga mengalir deras pada sebagian dai yang menisbahkan diri dan dakwahnya sebarisan dengan kita.
Berdusta (atas nama Asy Syaikh Muqbil rahimahullah-pun) dilakukan, menjuluki sebagai Ashhabul Manhaj sebagaimana yang dilontarkan dengan penuh semangat oleh Muhammad Barmim, berupaya mengebiri pembicaraan terkait kelompok-kelompok menyimpang sampaipun Sofyan Ruray mengumumkan melalui akun facebooknya keputusan seperempat jam saja!!
****** akhir kutipan ******
Asy-Syathibi mengatakan bahwa orang-orang yang berbeda pendapat atau pemahaman sehingga menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan. maka mereka menjadi firqah-firqah dalam Islam sebagaimana yang Beliau sampaikan dalam kitabnya, al-I’tisham yang kami arsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/ciri-aliran-sesat/
****** awal kutipan *****
Salah satu tanda aliran atau firqoh sesat adalah terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105).
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya, kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”
Kemudian Asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wasallam, tetapi mereka tidak bercerai berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan nash-nya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam.
Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan, maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama.
Persoalan tersebut berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menafsirkan ayat berikut ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.”
******* akhir kutipan *******
Dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/20/tetaplah-sebagai-ormas/ Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan pada http://www.sangpencerah.com/2013/08/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-ini.html bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih, ormas Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah diteladani oleh pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan
Jadi ketika sebuah jama’ah minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.
Sedangkan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh ataupun Albani maupun Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, mereka bukanlah Imam Mujtahid Mutlak sehingga tidak patut untuk ditaklidi (diikuti) oleh kaum muslim
Ulama yang sholeh terdahulu kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai Semenanjung Tanah Melayu, Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri Siam atau Thailand yakni KH. Sirajuddin Abbas (lahir 5 Mei 1905, wafat 23 Ramadhan 1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku berjudul I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet Barat XA No.28, Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah sekte atau firqoh dalam Islam yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari halaman 296 sampai 351 dan firqoh berdasarkan pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352 sampai 380.
Sebagaimana tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahim sebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana wasiat di atas, para ulama memasukkan mazhab atau pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim Al Jauziyah maupun yang tidak bertemu langsung seperti Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab khawarij artinya mazhab yang menyempal keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat.
Marilah kita mengikuti sunnah Rasulullah untuk menghindari firqah-firqah yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut juga dengan khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Mayoritas kaum muslim pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in
Sedangkan pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Allah ta’ala berfirman yang artinya
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa Al-Quran dan As-Sunnah, diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima.
Hal yang perlu diketahui dan dikuasai bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seperti ilimu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
Selain itu perlu mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
Tidak sempurna pula jika hanya mengetahui dan menguasai ilmu nahwu dan sharaf tanpa mengetahui dan menguasai ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-ketidakseimbangan/ atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/10/ilmu-sastra-arab/
Fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata hati yang berujung dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Kalau dalam berijtihad dan beristinbat atau menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Orang yang mendengarkan perkataan lisan atau melihat perbuatan orang lain dan berpendapat menggugurkan iman , pada kenyataannya ada yang berdasarkan prasangka buruk semata
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memperingatkan dengan sabdanya “sudahkah engkau membelah dadanya”
Rasulullah lalu bertanya: ‘Kenapa kamu membunuh orang yang telah mengucapkan Laa Ilaaha Illaahu? ‘ Aku menjawab, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya lelaki itu mengucap demikian karena takutkan ayunan pedang. Rasulullah bertanya lagi: Sudahkah kamu membelah dadanya sehingga kamu tahu dia benar-benar mengucapkan Kalimah Syahadat atau tidak? Rasulullah terus mengulangi pertanyaan itu kepadaku hingga menyebabkan aku berandai-andai bahwa aku baru masuk Islam saat itu. (HR Muslim 140)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka (kecurigaan), karena sebagian dari berprasangka itu dosa”. (QS Al Hujuraat [49]:12)
Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik” Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.
Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Begitulah nasehat ulama-ulama terdahulu bahwa janganlah berprasangka buruk jika kita mendengar perkataan atau melihat perbuatan saudara muslim kita yang menurut kita tidak baik namun berprasangka baiklah dengan mengatakan pada diri kita sendiri , “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Al-Allamah Al-Imam Al-Sayyid Ahmad Masyhur Al-Haddad mengatakan, “ Telah ada konsensus ulama untuk melarang memvonis kufur ahlul qiblat ( ummat Islam ) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur meniadakan eksistensi Allah, kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui ummat Islam tanpa pandang bulu (Ma ‘ulima minaddin bidldloruroh), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau yang telah mendapat konsensus ulama dan wajib diketahui semua ummat Islam tanpa pandang bulu.
Ajaran-ajaran yang dikategorikan wajib diketahui semua ummat Islam (Ma‘lumun minaddin bidldloruroh) seperti masalah keesaan Allah, kenabian, diakhirinya kerasulan dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, kebangkitan di hari akhir, hisab ( perhitungan amal ), balasan, sorga dan neraka bisa mengakibatkan kekafiran orang yang mengingkarinya dan tidak ada toleransi bagi siapapun ummat Islam yang tidak mengetahuinya kecuali orang yang baru masuk Islam maka ia diberi toleransi sampai mempelajarinya kemudian sesudahnya tidak ada toleransi lagi.
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan sekelompok perawi yang mustahil melakukan kebohongan kolektif dan diperoleh dari sekelompok perawi yang sama. Kemutawatir bisa dipandang dari :
1. Aspek isnad seperti hadits :
من كذب عليّ معتمدا فليتبوا مقعده من النار
” Barangsiapa berbohong atas namaku maka carilah tempatnya di neraka.”
2. Aspek tingkatan kelompok perawi seperti kemutawatiran Al-Qur’an yang kemutawatirannya terjadi di muka bumi ini dari wilayah barat dan timur dari aspek kajian, pembacaan, dan penghafalan serta ditransfer dari kelompok perawi satu kepada kelompok lain dari berbagai tingkatannya sehingga ia tidak membutuhkan isnad.
Kemutawatiran ada juga yang dikategorikan mutawatir dari aspek praktikal dan turun-temurun ( tawuturu ‘amalin wa tawarutsin ) seperti praktik atas sesuatu hal sejak zaman Nabi sampai sekarang, atau mutawatir dari aspek informasi ( Tawaturu ‘ilmin ) seperti kemutawatiran mu’jizat-mu’jizat. Karena mu’jizat-mu’jizat itu meskipun satu persatunya malah sebagian ada yang dikategorikan hadits ahad namun benang merah dari semua mu’jizat tersebut mutlak mutawatir dalam pengetahuan setiap muslim.
Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh orang yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur dan batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam hukum syari’at Islam.
Tidak diperkenankan bagi siapapun memasuki wilayah ini dan menjatuhkan vonis kufur berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati-hatian, kepastian dan informasi akurat. Jika vonis kufur dilakukan dengan sembarangan maka akan kacau dan mengakibatkan penduduk muslim yang berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.
Demikian pula, tidak diperbolehkan menjatuhkan vonis kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda janganlah memvonis kafir atau mengeluarkan dari Islam akibat perbuatan dosa apalagi hanya karena perbedaan pemahaman atau pendapat
Dari Anas radhiyallahuanhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tiga hal merupakan pokok iman ; menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada Tuhan kecuali Allah. Tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ; dan meyakini kebenaran takdir”.
Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah (wafat 671 H) berkata : “Adapun seorang muslim dia tidak dikafirkan walaupun melakukan dosa besar.
Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah (wafat 671 H) berkata : “Adapun seorang muslim dia tidak dikafirkan walaupun melakukan dosa besar.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa kelak akan bermunculan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni “orang-orang muda” yang suka berdalil dengan Al Qur’an dan As Sunnah namun mereka salah paham sehingga menjadi penyeru-penyeru menuju pintu jahannam sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/04/04/ke-pintu-jahannam/
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Akan datang pada akhir zaman, orang-orang muda dan berpikiran sempit. Mereka senantiasa berkata baik. Mereka keluar dari agama Islam, sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. Mereka mengajak manusia untuk kembali kepada Al-Quran, padahal mereka sama sekali tidak mengamalkannya. Mereka membaca Al-Quran, namun tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka berasal dari bangsa kita (Arab). Mereka berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab). Kalian akan merasa shalat kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa mereka.”
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Dalam riwayat-riwayat di atas telah dijelaskan ciri-ciri orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim yakni orang-orang bangsa Arab yang sebatas berkemampuan berbahasa Arab sehingga mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim adalah orang-orang yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga menuduh muslim lainnya telah musyrik atau telah kafir atau berhukum dengan hukum thagut.
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad. (HR Muslim 1762)
Sabda Rasululullah di atas yang artinya “mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala” maksudnya mereka memahami Al Qur’an dan As Sunnah dan berkesimpulan atau menuduh kaum muslim lainnya telah musyrik (menyembah selain Allah) seperti menuduh menyembah kuburan atau menuduh berhukum dengan selain hukum Allah, sehingga membunuhnya namun dengan pemahaman mereka tersebut mereka membiarkan para penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya.
Penyembah berhala yang terkenal adalah kaum Yahudi atau yang sekarang dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason, iluminati, lucifier yakni kaum yang meneruskan keyakinan pagan (paganisme)
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (QS Al Baqarah [2]:101-102)
Rasulullah masuk ke kamarku dalam keadaan aku sedang menangis. Beliau berkata kepadaku: ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Aku menjawab: ‘Saya mengingat perkara Dajjal maka aku pun menangis.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Jika dia keluar sedang aku masih berada di antara kalian niscaya aku akan mencukupi kalian. Jika dia keluar setelah aku mati maka ketahuilah Rabb kalian tidak buta sebelah. Dajjal keluar bersama orang-orang Yahudi Ashbahan hingga datang ke Madinah dan berhenti di salah satu sudut Madinah. Madinah ketika itu memiliki tujuh pintu tiap celah ada dua malaikat yang berjaga. maka keluarlah orang-orang jahat dari Madinah mendatangi Dajjal.”
Orang-orang jahat dari Madinah yang mendatangi Dajjal adalah orang-orang yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka bersekutu dengan Zionis Yahudi dan menemui Dajjal
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
Tampaknya apa yang telah diperingatkan oleh Rasulullah telah dapat pula kita saksikan seperti Imam Masjid Yaman dibunuh karena dituduh musyrik sebagaimana contoh berita dari http://generasisalaf.wordpress.com/2014/07/15/imam-masjid-yaman-habib-husein-al-jufri-di-bunuh-karena-di-tuduh-musyrik-oleh-isis/
****** awal kutipan *******
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun…
Seorang Ulama dan Imam Masjid Al Jufri di kampung Al Jufri Hadramaut, Habib Husein bin Abdullah Al Jufri, wafat di tembak waktu ashar/magrib setelah shalat jum’at 3 hari yang lalu oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai anggota Isis Wahabi Takfiri.
“Pintu masuk tarim dijaga ketat oleh pihak keamanan bersenjata api setelah kejadian 2 hari yang lalu seorang tokoh agama daerah Trisst ditembak didepan keluarganya setelah adzan magrib. Sekitar 20 peluru bersarang ditubuh Assyahid Alhabib Husain bin Umar Al Djufri (Imam di Masjid Al-Djufri), dengan alasan mereka bahwa habib tersebut termasuk orang musyrik & penyembah kuburan dan lain-lain lagi.
Setelah mereka membunuh sang habib mereka keluar dengan membaca takbir….. Semua pemuka Tarim serta sejumlah wilayah di Hadramaut baik para habaib dan lain-lain lagi telah diberikan peringatan untuk berjaga2, kerana tujuan utama mereka ialah untuk membunuh para tokoh ulama & habaib. Hampir setiap hari didaerah Syewun ada yang terbunuh. Source Abd Qodir Al Hamid https://www.facebook.com/abdkadir.alhameed/posts/10203087778092644
***** akhir kutipan *****
Begitupula oleh karena kebencian mereka sehingga mereka tidak dapat membedakan antara para ulama dari firqah syiah dengan para ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al Maaidah [5]:8)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa jika telah bermunculan fitnah atau perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat maka hijrahlah ke Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah atau merujuklah kepada pendapat Ahlul Hadramaut, Yaman.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dann banyak dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib Telah menceritakan kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang berperasaan dan hatinya paling lembut, kefaqihan dari Yaman, hikmah ada pada orang Yaman.” (HR Bukhari 4039)
Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Kita dapat telusuri apa yang telah disampaikan oleh ahlul Yaman melalui apa yang disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almuqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthoriqoh dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra
Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas
Kita dapat pula menemukan orang-orang yang meninggalkan para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah karena menganggapnya sebagai kaum syiah sebagaimana contoh tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/07/ke-alam-barzakh/
Padahal para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan pengajaran agama dari dua jalur yakni
1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik disampaikan melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
2. Melalui sanad ilmu ( sanad guru). Pengajaran agama dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat yang mengikuti Salafush Sholeh dengan cara bertemu langsung bukan melalui perantaraan mutholaah (menelaah kitab).
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Dari http://www.facebook.com/photo.php?fbid=364436613697536 ada sebuah pernyataan “mengapa firqah Wahabi hampir tidak pernah menukil pendpat dari Sayyidina Ali ?”
Oleh karena firqah Wahabi mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah maka kita telusuri apa pendapat Ibnu Taimiyyah terhadap Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu, contohnya dari situs http://ustadchandra.wordpress.com/2010/02/13/sosok-dan-pemikiran-ibn-taimiyah/
Dari situs tersebut maka kemungkinannya Ibnu Taimiyyah tidak menukil atau berfatwa berdalilkan perkataan atau mengambil hadits yang dirawyatkan oleh Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu adalah karena Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak sah, sebab beliau masuk Islam sebelum baligh. Imam Ali ra. menurutnya mempunyai 17 kesalahan. Dan beliau berperang karena cinta kedudukan.
Sedangkan Sayyidina Ali karramallahu wajhu sebagaimana sabda Rasulullah , “Aku adalah kota ilmu, manakala Ali pula pintunya. maka barangsiapa yang inginkan ilmu maka hendaklah datang melalui pintunya (Ali).”
Bahkan Rasulullah bersabda “Wahai Ali sungguh berdusta orang yang mengaku mencintaiku namun membencimu”
Orang-orang yang membenci ahlul bait dan keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam disebut dengan An-Nawaashib mufradnya naashib atau biasa disebut dengan nashibi
Imam at Tirmidzi dan Imam ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra., ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Cintailah Allah agar kalian memperoleh sebagian nikmat-Nya, cintailah aku agar kalian memperoleh cinta Allah, dan cintailah keluargaku (ahlul baitku) agar kalian memperoleh cintaku.”
Imam Syafi’i ~rahimahullah bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian adalah kewajiban dari Allah diturunkan dalam al-Quran cukuplah bukti betapa tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa shalawat bagi kalian.”
Jabir ibnu Abdillah berkisah: “Aku melihat Rasulullah dalam haji Wada` pada hari Arafah. Beliau menyampaikan khutbah dalam keadaan menunggangi untanya yang bernama Al-Qashwa. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian dua perkara yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat yaitu kitabullah dan ‘itrati ahlul baitku.” (Hadits diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3786, kitab Al-Manaqib ‘an Rasulillah , bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu alaihi wa sallam)
Abu Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam meriwayatkan, “Sungguh aku meninggalkan pada kalian perkara yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu dari perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu kitabullah tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi. Dan (perkara lainnya adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di haudl. Maka lihatlah dan perhatikanlah bagaimana kalian menjaga dan memperhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 3/14,17 dan At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3788)
Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya
Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Jadi fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari orang-orang yang menjadikan gurunya syaitan karena memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri sebagimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/07/fitnah-tanduk-syaitan/
Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Dalam memahami kalimat “pewaris para Nabi” kita pahami dahulu arti kata mewarisi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia atau contoh penjelasan pada http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/185 pengertian mewarisi adalah:
1. memperoleh warisan atau
2. memperoleh sesuatu yang ditinggalkan
Jadi ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh sebelumnya secara turun-temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Sederhana saja ya akhi, gak usah dikeluarin semua ilmu yang bikin anda kelihatan seolah-olah sangat berilmu.
Saya hanya ingin penjelasan tentang Sufi yang berkeyakinan Al-Qur’an adalah makhluk dan ALLAH itu ada dimana – mana . Apakah anda menyetujuinya?
Dan tolong cariin riwayat shahih tentang apa itu Jahmiyah, apa itu Mu’tazilah dan apa itu sufi dikacamata 4 imam mazhab ( Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali ) dan juga dari kacamata 9 Imam termasyhur ( Malik, Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Darimi ).
Tolong ya akhi dijelaskan disini ya?
Walaikumsalam Warahmatullahi wabarakatuh
Astaghfirullah mas Abdallah mengapa anda sampaikan mengatakan bahwa “Ada Sufi berkeyakinan Al-Qur’an adalah makhluk dan ALLAH itu ada dimana – mana”
Silahkan baca tulisan tentang mereka yang belum dapat membedakan antara sifat kalam Allah dengan bacaan Al Qur’an pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/28/bacaan-al-quran/
Tulisan tentang Tasawuf era Salafush Sholeh dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/11/tasawuf-era-salaf/
Tasawuf adalah istilah yang dipergunakan untuk segala perkara terkait dengan akhlak atau segala perkara terkait dengan ihsan sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/13/tasawuf-tentang-ihsan/
Silahkan periksa kurikulum atau silabus pada perguruan tinggi Islam maka tasawuf adalah ihsan atau akhlak.
Contoh silabus pada tingkatan sekolah lanjutan dapat dilihat pada http://img.docstoccdn.com/thumb/orig/125464278.png
Contoh hasil scan buku guru kelas XI kurikulum 2013 bahwa tasawuf adalah pendidikan akhlak dapat dilihat pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/06/tasawuf-dalam-buku-guru-kelas-xi-kurikulum-2013.jpg
Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak dan Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sangat menyayangkan sirnanya pendidikan tasawuf (pendidikan akhlak) dalam kurikulum pendidikan di negeri kita sebagaimana tulisannya yang diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/
Tulisan tentang mereka yang diperangi oleh Allah Ta’ala akibat termakan hasutan atau ghazwul fikri oleh kitab palsu atau pemalsuan kitab tawasuf dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/04/13/terhasut-kitab-palsu/
Sedangkan ungkapan-ungkapan seperti
“Allah wujud (ada) di mana mana”
“apa yang terlihat di mana mana adalah wujud (keberadaan) Allah”
“Hakekat alam dan isinya atau atau semua yang terlihat oleh mata, hakekatnya adalah wujud Allah”
Bukan berarti Allah Ta’ala bertempat di mana mana namun maknanya adalah bahwa dengan kita memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah maka kita bisa mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala
Manusia mengenal Allah (makrifatullah) melalui tanda-tanda kekuasaanNya yang merupakan ayat-ayat kauniyah yaitu ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya. Ayat-ayat ini meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos).
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53)
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran [3]:191).
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat , Maha Mendengar namun terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang, dua mata, dua tangan dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Begitupula Rasulullah melarang kita untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya dan menyarankan untuk meyakini keberadaan Allah dengan memikirkan nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla sebagai wujud perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah“.
shufi-indonesia.blogspot.com
Asamu’alaikum Warhmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, atas semua ilmu yang telah dititipkan kepada hamba2Nya yang dikehendakiNya.
Salam perkenalan dan kedamaian kepada saudara2 yang mulia yang telah telah meluangkan waktunya untuk berbagi di blok ini, Alhamdulillah dan termakasih atas ilmu/dialok yang dibagikan lewat blok ini karena amat banyak pelajaran yang mendalam insya Allah semoga diizinkanNya untuk saya amalkan.
Semoga berkenan untuk memperkenalkan diri.
Nama saya: Adul Zega
Tinggal di Kota Sibolga Sumatera Utara.
Tanggal 27 Juli 2011 silam, denga rahman dan izinNya, saya dan keluarga mengucapkan dua kalimat syahadad.
Saya sadar, bahwa Allah memindahkan kami dalam agama yang diridhoiNya ini, bukan karena amal soleh kami tapi karena ketentuanNya semata. Selama empat tahun ini saya merasakan persaudaraan yang begitu mulian kepada saudara2 saya yang seakaidah baik yang langsung maupun melalu tulisan, saya merakasakan banyak perbedaan pendapat dan paham namun tetap bersatu dalam rukun islam dan iman. Semoga kita termasuk golongan orang2 yang selalu tetap berdiri atas kedua rukun islam dan iman, tentu perbedaan paham/pendapat dan kerakter tidak pernah sama. Langit berlapis 7 dan setiap lapisan tentu suhu dan karakternya berbeda, itu ketentuan yang Maha Kuasa. Rasulullah SAW, telah melewati lapisan langit dimulai dari lapisan 1-7 dan menjadi fana. Setelahnya beliu kembali kemuka bumi ini dimulai lapisan 7-1 dan menjadi seorang hamba yang hanya mengabdi kepada Allah (tidak mengharap dan menghindari) semoga kita menjadi pengikut jejak Beliau.
Jari tangan kita tidak sama tingginya tetapi sangat sempurnya dan indah atas perbedaanya. Maha Agung Allah.
Wasalaam…
Subanallah lengkap sekali pak.. ijin share ya. terima kasih.
alhmdulillah dapat ilmu baru
Silahkan baca tulisan terbaru yang terkait pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/04/13/terhasut-kitab-palsu/
Hati hati dgn orang pemilik blog ini….
nauzubillah summanauzubillah..
Kamu umat Islam sekedar menyampaikan kenyataan bahwa upaya penyesatan umat Islam adalah dengan menghasut atau mengajak “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri.
Rasulullah bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Dalam sabda Rasulullah di atas telah ditegaskan bahwa mereka yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) hanyalah mereka yang “merasa benar” sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/20/firqah-merasa-benar/
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203.
Jadi pengikut syaitan atau wali syaitan dapat diakibatkan karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti orang-orang yang mengaku muslim namun pengikut radikalisme dan terorisme.
Kekerasan yang radikal adalah kekerasan yang memperturutkan hawa nafsu sehingga menzhalimi orang lain karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Kekerasan yang tidak radikal adalah kekerasan yang dilakukan berdasarkan perintah ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha
Mantan mufti agung Mesir Syeikh Ali Jum’ah telah mengajukan untuk menyatukan lembaga fatwa di seluruh dunia untuk membentuk majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia yang terdiri dari para fuqaha.
Piihak yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad (mujahidin) atau jahat (teroris) sehingga dapat diketahui apakah mati syaihd atau mati sangit adalah “ulil amri di antara kamu”atau ulil amri setempat yakni para fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal muslimin) tidak terbebas dari fitnah.
Pada kenyataannya radikalisme yang diperlihatkan ISIS, Al Qaeda dan turunannya maupun mereka yang merasa sebagai mujahidin adalah akibat mereka mengembalikan kepada Allah (Al Qur’an) dan RasulNya (As Sunnah) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Oleh karenanyalah penguasa negeri yang seharusnya mengakui ketidak mampuannya dalam pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dalam memimpin negara seharusnya dibawah nasehat dan pembinaan para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri yang sudah dibina dan dibimbing oleh para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam)
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.
Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama.
Ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri (umaro) dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****
Selengkapnya piagam Madinah pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/03/piagam-madinah.pdf
Jadi rakyat mentaati umaro (penguasa negeri) dan penguasa negeri mentaati para fuqaha.
Kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam Brunei Darussalam berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei.
Sultan Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam menentukan keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.
Negara kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Salah satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak effisien.
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para ahli fiqih untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati penguasa negeri.
Asy‐Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al‐Bantani Rahimahullah Ta’ala, di dalam kitabnya, Nasha‐ihul Ibad fi bayani al‐Faadzi al‐Munabbihaat ‘alal Isti’daadi Li Yaumil Ma’adi membawakan sepotong hadits yang memperingatkan akibat meninggalkan atau tidak mentaati ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha.
Rasulullah bersabda, “Akan datang satu zaman atas umatku dimana mereka lari (menjauhkan diri) dari (ajaran dan nasihat) ulama’ dan fuqaha’, maka Allah Taala menimpakan tiga macam musibah atas mereka, iaitu
1. Allah mengangkat (menghilangkan) keberkahan dari rizki (usaha) mereka,
2. Allah menjadikan penguasa yang zalim untuk mereka dan
3. Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman
kalau mau diskusi bisa di MAIYAH-an,..bebas!!!