Jika mereka tidak sepemahaman, mereka bukanlah orang musyrik.
Sebagian mereka yang berpemahaman bahwa Nabi Muhammad SAW seorang manusia biasa, juga kemungkinan berpemahaman bahwa tongkat itu lebih berguna daripada Muhammad SAW, karena tongkat bermanfaat, bisa dipakai untuk memukul ular, sedang Muhammad SAW telah wafat dan tidak ada sedikitpun kemanfaatan yang tersisa darinya.
Oleh karenanya jika seorang muslim ketika berziarah ke makam Nabi SAW, dan sedikit berlama disitu untuk bersholawat dan berdoa, membelakangi Ka’bah maka segeralah laskar-laskar wahabi melarangnya dengan asumsi mencegah perbuatan syirik (berdasarkan pemahaman mereka) dan pemahaman mereka bahwa Nabi Muhammad SAW seorang manusia biasa dan telah wafat.
Benar-benar sebuah kesalahpahaman yang luar biasa.
Cobalah lihat situs-situs sejenis ini http://abufahmiabdullah.wordpress.com/2010/07/26/nabi-maupun-wali-adalah-manusia-biasa-tidak-berhak-disembah/
Perhatikan kesimpulan mereka bahwa, “setiap orang akan bertanggung jawab masing-masing di hadapan Allah Ta’ala, maka janganlah seseorang bergantung kepada manusia yang lain. Karena sesungguhnya seluruh manusia itu tidak akan dapat memberikan manfaat dan madhorot, kecuali sekadar apa yang telah Allah tetapkan. Begitu pula dengan para rasul, manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah Yang Maha Kuasa, mereka tidak dapat berbuat apapun terhadap kekuasaan Allah Ta’ala“.
Mereka seolah tidak mempercayai bahwa seorang muslim dapat memberikan manfaat (menolong) muslim lainnya dengan cara memohonkan ampunan untuk muslim lainnya.
Firman Allah, yang artinya, “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)“. (QS al Maaidah [5] : 55 )
‘…. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya diri, mereka datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun kepada Allah SWT untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.’ – ( QS An-Nisa [4]: 64 )
Selengkapnya, bacalah tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/02/mohonkan-ampunan/
Yang dilarang oleh Allah adalah memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik, sebagaimana firmanNya yang artinya
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” (QS at Taubah [9]: 113).
Bagi saya, seorang yang telah mengucapkan syahadat adalah seorang muslim dan bukan orang musyrik walaupun muslim itu telah berdosa.
Jadi jika ada seorang muslim yang berdosa (menganiya diri), meminta pertolongan kepada seorang ulama, syaikh, wali Allah, untuk memohonkan ampunan kepada Allah, tentu tidak menyalahi firman Allah yang artinya,
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS al fatihah: 5)
Tentu ketika ulama, syaikh, wali Allah yang memohonkan ampunan bagi muslim yang berdosa itu, terlebih dahulu memberikan nasehat dan petunjuk kepada yang meminta seperti petunjuk untuk bertobat.
Suatu kesalahpahaman mereka yang besar lainnya adalah menganggap / menilai bahwa muslim yang mendalami tasawuf, asya’riah dan muslim lainnya yang tidak sepamahaman dengan mereka adalah termasuk orang musyrik
Lihatlah
http://allangkati.blogspot.com/2010/07/keganasan-wahabi-di-pakistan.html
Ini cuplikannya,
Para pengikut ajaran wahabi adalah kelompok yang sangat membencikan orang-orang sufi dan mengkafirkan mereka, mereka menganggap bahwa orang -orang sufi menyembah kuburan-kubura wali sehingga halal darahnya di bunuh, pemahaman ini bersumber dari aqidah merea yang menyatakan bahwa tauhd itu terbagi kepada tiga bahagian, tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah, tauhid asma` dan sifat, orang-orang sufi hanya percaya dengan tauhid rububiyyah dan tidak menyakini tauhid uluhiyyah, sebab itulah mereka kafir dan boleh di bunuh, bahkan mereka mengatakan bahwa orang-orang kafir qurasy lebih bagus tauhidnya daripada orang-orang sufi.
Juga ada wahabi yang beranggapan orang-orang tua muslim terdahulu (mungkin termasuk orang tua mereka sendiri), ulama-ulama terdahulu baik yang sudah meninggal atau masih ada, yang tidak sesuai dengan pemahaman mereka adalah orang-orang musyrik.
Umumnya mereka menganggap sebagai orang musyrik karena (berdasarkan pemahaman mereka) muslim-muslim yang lain, diliputi perbuatan bid’ah, tahayul dan kurafat. Muslim-muslim yang hanya bertauhid Rububiyah. Inilah kemungkinan maksud mereka membagi tauhid menjadi tiga, agar muslim lainnya yang tidak sepemahaman dengan mereka, dapat dimasukkan kedalam kelompok yang bertauhid Rububiyah saja.
Mereka meyakini bahwa pemahaman mereka diatas hadits-hadits yang shahih dan pemahaman yang mereka dapati dengan ilmu yang otentik walaupun mereka hanya mempelajari atau memahamai dari tulisan atau literatur semata. Ulama-ulama merekapun dapat menshahih sebuah hadits walaupun hidup mereka lebih kemudian.
Mereka dikenal sebagai kaum yang tidak mau memahami lebih dalam tentang Ihsan (akhlak/tasawuf) atau ulama-ulama mereka secara tidak sadar mendangkalkan ajaran agama Islam dengan mengingkari salah satu pokok ajaran agama Islam yakni tentang Ihsan (akhlak/tasawuf) sebagaimana yang disampaikan perantara malaikat Jibril.
Dengan adanya pendangkalan ajaran agama Islam tersebut, kita menjadi paham kaum mereka “membatasi” ajaran Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, sebatas apa yang bisa mereka pahami.
Sehingga umat muslim lainnya yang berbeda pemahaman dengan pemahaman kaum mereka dianggap “diluar” ajaran Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam atau seolah-olah “penambahan” ajaran Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam atau dengan kata lain apa yang mereka sangka sebagai bid’ah.
Mereka yakin apa yang mereka pahami atau pemahaman mereka adalah sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh sehingga mereka memberi nama atau mengatasnamakan manhaj mereka adalah manhaj salaf atau kita kenal dengan salaf(i) atau wahabi
Itulah yang saya telah uraikan dalam tulisan kesalahpahaman tentang pemahaman
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/26/salahpaham-pemahaman/
Wassalam
Zon di Jonggol
Tulisan yang tidak bermutu.
Tidak nyambung antara argumentasi dan dalil.
memang, antara yang haq dan batil itu telah jelas.
Tulisan batil dan tidak bermutu ini dalilnya “tidak nyambung”.
namanya juga sufi lawannya sunni (ahlusunnah),
Sufi adalah agama yg bersumber dari mimpi para imam tasawuf, yang sebelumnya mereka bersemedi, mengaku berjumpa dengan Alloh, kemudian membuat syariat baru, sholawat baru, amalan baru (zikir ribuan kali).
Sufi bukanlah sunni atau ahlusunnah. Ahlusunnah menyandarkan seluruh amalan sesuai dengan yang dicontohkan nabi saw dan para sahabat. (Dalil)
Indonesia ini 90% adalah mengikut sufi, ratusan torekot sufiah yang sesat dan menyesatkan tersebar di bumi persada. Amalan tiap thorekot berbeda2 tergantung pada “MIMPI” sang imam pembuat agama thorekot sufiah.
Sufi menyandarkan amalan bukan dari DALIL, tapi baik buruk menurut sang mursyid/wali/habib/orang yang berhak membuat syariat baru.
Sufi di indonesia telah berhasil membuat ayat baru bernama “YASIN FADHILAH”. Ayat baru ini konon mempunyai keutamaan yang melebihi ayat aslinya yaitu “YASIN”, inilah bukti “PRESTASI KESESATAN” sufi indonesia. Firman Alloh swt pun dirubahnya, Alloh swt pun ditandinginya.
masih pengen sesat, IKUTILAH TASAWUF, dijamin SESAT.
Terima kasih atas penilaiannya.
Silahkan baca pula tulisan lainnya tentang kesalahpahaman
Tentang Tasawuf, https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/20/tasawuf-dalam-islam/
Tentang Generasi Terbaik, https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/24/generasi-terbaik/
Tentang Manhaj Salaf, https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/26/salahpaham-pemahaman/
Saya udah baca artikel link diatas, maaf kurang bermutu pak.
Saya mau tanya, kenapa anda tidak tulis artikel tentang “SYIRIK” sebagai bahaya terbesar umat ini, apalagi bangsa indonesia yang secara sejarah adalah mantan penganut Hindu dan Budha. Penuh dengan klenik, perdukunan, penyembahan pada kuburan dsb.
Ibadah yang anda tulis harus dengan ikhlas dan ihsan itu betul sekali, tapi apa gunanya kalau masih bergelimang kesyirikan seperti sebagian besar kamu muslimin di indonesia.
Kenapa anda tidak buat artikel tentang “KESYIRIKAN” pak, takut berbenturan dengan teman-teman anda ya?, atau takut di cap sebagai wahabi? atau takut blog anda tidak laku? atau justru anda ngga peduli dengan fenomena kesyirikan di negeri kita? tidakkah anda tahu bahwa banyak masarakat kita membisikkan keinginannya di kuburan wali/habib? apakah anda tutup mata?
atau anda takut di kecam oleh link blog anda yang sebagian besarnya para pemuja kuburan?
Astaghfirullah, mengapa antum menilai bahwa sebagian besar kaum muslimin di Indonesia masih bergelimang kesyirikan. Bagaimanakah antum sendiri di hadapan Allah ? sudah amankah antum dengan keimanan sekarang ini ?
Juga Antum belum paham membedakan pemuja kuburan dengan ziarah kubur
pak, kita tidak perlu menyembunyikan kondisi masyarakat kita. Di lingkungan saya tinggal (cirebon) yang dikenal sebagai kota wali, fenomena kesyirikan begitu nyata, diantaranya :
– upacara munggah suwunan, ketika akan membangun atap rumah, bikin tumpeng, bagian atas ditaruh di atap rumah, kemudian dililit bendera merah putih. jika tidak akan mendapat musibah (tolak bala). mereka meyakini ada kekuatan lain yang ditakuti dan harus diibadahi selain Alloh swt, ini jelas syirik.
– Upacara 7 bulan kehamilan, dengan berbagai keyakinannya (aqidah) yang bukan dari islam, gambar wayang, bendera, dll, yang aneh2, jika tidak dilakukan takut terkena musibah.
– sedekah bumi, laut, makam, dengan berbagai keyakinan dari hindu dan budha.
– Tahlilan hari 1s/d 7 kematian, roh masih berada di rumah, s/d hari ke 40 ada di atap, hari ke 100 di halaman, 1000, haul dan haul (ulang tahun kematian). ini jelas suatu keyakinan yang batil, jika tidak dilaksanakan dianggap anak durhaka, bakal ada musibah yang menimpa.
– ketika hajatan selalu menyediakan kopi dan sesajen pada sudut rumah.
– Pada sawah dan ladang memberikan sesajen.
– Anda cek siapa yang pergi ke dukun?..ya umat islam, dan dukun di negeri kita sangat laris pak, dari ki joko bodo, hingga yang pake baju koko (dukun ngaku kyai)
– Anda bisa cek dari mulai karyawan, pedagang, pegawai pemerintahan, siapa yang tidak punya dukun, hampir semuanya punya penasehat spiritual.
– Penasehat Feng Sui (dukun tiong hoa) juga laris, pasiennya ya umat islam juga. Rumah kalo mau banyak rejeki harus ada ikan arwana, patung macan, astagfirulloh.
-kalo lewat jembatan harus klakson 3x, kencing harus “dehem” 3 x, ada suara gagak pertanda kematian.
– Puncaknya pada acara “MAULID NABI” seluruh benda keramat, berhala, dikeluarkan, dicuci, air cuciannya dianggap mengandung berkah untuk cuci muka dsb, kemudian di arak keliling kampung, setelah itu “ULAMA TASAWUF” berceramah tentang keutamaan maulid nabi, mereka “TUTUP MATA” dengan “KESYIRIKAN”. Mereka menjadikan hari lahir nabi kita untuk memuja tuhan lain selain Alloh swt, nauzubillah….
– Anda bisa tanyakan pada mereka yang ziarah kubur pada makam2 wali itu untuk apa? mereka akan menjawab : usaha saya ingin maju, saya pengen sembuh, saya ingin punya jodoh, ujian biar lulus, anak saya sakit, dsb. kalau bukan meminta pada kuburan, sejak kapan syariat ini mengajarkan berdoa di kuburan itu diijabah? mana dalilnya? tempat yang paling mulia adalah masjid, bukan kuburan.
Mana peranan tasawuf, torekot2 dalam memahamkan tentang bahaya syirik? atau justru menyuburkan kesyirikan-kesyirikan baru? Orang yang memerangi kesyirikan malah anda musuhi, difitnah, diusir….taubatlah wahai saudaraku…sebelu bicara amal, kita bicara aqidah dulu.
oOo, kalau yang antum uraikan tentang “upacara” adat seperti itu sudah jelas perlu kita luruskan secara baik-baik
Mana peranan tasawuf, torekot2 dalam memahamkan tentang bahaya syirik? atau justru menyuburkan kesyirikan-kesyirikan baru? Orang yang memerangi kesyirikan malah anda musuhi, difitnah, diusir….taubatlah wahai saudaraku…sebelu bicara amal, kita bicara aqidah dulu.
Setahu saya, umumnya ulama-ulama dengan tarekat tidak “membicarakan” amal-amal mereka
Ya, ulama torekot tidak peduli terhadap ketauhidan atau kesyirikan yang merajalela di masyarakat kita, mereka sih cuma berfikir yang penting mau sholat dan zikir bareng, beres.
“Bagaimana mungkin pohon berbuah (sholatnya diterima)jika akarnya (tauhid) tidak ada?”
“Bagaimana mungkin setelah sholat mereka memberikan sesajen, dan menyembelih untuk sesembahan selain Alloh swt?”
Jawab ulama torekot : ah…yang penting mah udah mau syahadat dan sholat….
ini adalah musibah terbesar yang menimpa dunia tasawuf….
Tidak baik berprasangka buruk terhadap saudara muslim sendiri, ulama-ulama tarekat.
Astaghfirullah, antum telah melampaui batas, mengatakan mereka tidak ada tauhid.
Astaghfirullah, sesajen ? menyembelih untuk sesembahan selain Allah swt ? Itu jelas bukan dilakukan ulama tarekat sesungguhnya.
Mungkin itu yang mengaku-aku saja.
Insyaallah, ulama-ulama tarekat sesungguhnya setiap melakukan perbuatan selalu mengingat Allah.
Nasehat Imam Malik ra,
“dia yang sedang Tasawuf tanpa mempelajari fikih rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia . hanya dia siapa memadukan keduannya terjamin benar .
wahabi super ngaur , gak ketulungan ngaurnya. awas hati-ahati terhadap bahaya lateng sekte wahabi.
Ulama torekotnya mungkin paham, namun yang jadi masalah mereka tidak memberikan pemahaman pada masyarakat kita tentang bahaya kesyirikan, mungkin karena takut dianggap sebagai wahabi yang identik dengan dakwah tauhid.
Sehingga masyarakat dilingkungan thorekot tidak paham tauhid, tidak paham syirik, yang mereka paham adalah zikir bersama, mengagungkan sang guru. Dan beberapa torekot sangat senang dan dekat terhadap kuburan, karena menganggap bahwa kuburan/ orang sholeh yang sudah mati mempunyai karomah (walaupun sudah mati), inilah kesyirikan terbesar. Sehingga banyak dari mereka yang ngalap berkah, minta kesembuhan, dsb kepada mayit orang sholeh.
Kebanyakan masyarakat kita adalah mengikut torekot, karena ngga perlu banyak belajar dan tahu tentang ilmu agama, yang penting bisa menjalankan ritual berjamaah seperti sholawatan, nariyahan, yasinan, tahlilan, ….yang ada ahiran an,…an. Dan pada malam jum’at mereka pergi ke kuburan tertentu, jika malam kliwon ke kuburan orang sholeh (kramat). Berbagai sesajen pun masih semarak di lingkungan guru-guru torekot, tanpa upaya memberantas sedikitpun dari mereka. nauzubillah…
Astaghfirullah, akhi Sunan tampaknya antum sudah melampau batas.
Kenapa antum berprasangka seperti itu kepada ulama-ulama Tarekat bahwa mereka tidak memberikan pemahaman atau memperingatkan bahaya syirik ?
Tarekat = Jalan = Manhaj.
Ulama Tarekat, ulama yang mengadakan perjalanan menuju kepada Allah, mengharapkan ridho Allah semata
Anta maksudi Waridhoka matlubi, Engkau adalah Tujuanku, dan Ridho Mu adalah yg kucari.
Antum sebaiknya tidak dzalim, kita tahu yang salah adalah salah yang benar adalah benar. Yang sesajen, ya keliru, yang penyembah kuburan, ya keliru, yang meminta pertolongan kepada orang yang sudah mati, ya keliru. Sebaiknya tidak menyamaratakan semuanya.
Kalau antum sudah paham tentang Islam (fiqih), Iman (Ushuluddin) dan belum mau memahami lebih lanjut tentang Ihsan (tasawuf/akhlak) silahkan.
Kalau belum mau mendalami tasawuf, atau belum mempunyai pengetahuan tentang tasawuf, sebaiknya jangan mengomentari tentang tasawuf apalagi memperolok-olok. Terlebih kita mendapatkan peringatan dari Allah melalui firmanNya yang artinya.
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. ” (QS Lukman [31]:6 )”
pake nama sunan omongan kaya setan, naudzubillah
Masya Allah…
Kanjeng Sunan, coba di cek supaya tidak “gebyah uyah” / pukul rata kepada sodara sodara kita terlebih pada ulama ulama kita…
Antum seharusnya bisa cek dan klarifikasi.
Kalo emang ga mau ngecek memang bener bener ga mau tau dan hanya asal tuduh saja seperti kebanyakan orang pengikut wahabi
Dan bisa jadi anda tidak tahu apa apa tentang apa yang dikerjakan ulama ulama kita dari ahlus sunnah
Wallahu A’lam
@ sunan hati2 kalo berkata2 bsa2 dgn kata2 tersebut berbalik ke sendiri,,
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, dia berkata, “Telah bersabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , “Sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidak ada bentuk taqarrub seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding (mengerjakan) apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan terus menerus seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan nawafil (amalan sunnah) sehingga Aku mencintainya. Dan jika Aku mencintai nya maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang dia melihat dengannya, menjadi tangannya yang dia gunakan memukul, serta menjadi kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku maka Aku pasti memberinya, dan jika dia minta tolong kepada-Ku niscaya Aku pasti menolongnya.” (HR al-Bukhari),,
@sunan bnyk2 beristigfar,,
Illahi.. Anta maksudi Waridhoka matlubi, Engkau adalah Tujuanku, dan Ridho Mu adalah yg kucari.
#untuk sodaraku Sunan, mengapa anda memakai kata sunan, namun omongan anda jauh dari para sunan zaman dahulu yang sangat tawadhu, lemah lembut dan indah dalam mengajarkan Islam, sesungguhnya tarekat adalah sesuatu yang lumrah di kalangan ulama indonesia, mereka menjadikan Islam di indonesia itu arif, damai, tentram,, jauh dari kata hujatan, kafir mengkafirkan,, sungguh saya sendiri adalah santri di kalangan ahlussunah waljamaah cirebon, disana banyak tasawuf/tarekat yang tujuannya jelas mendekatkan diri kepada Allah, dzikir kepada Nya, berpuasa, sholawat, dlsb,,
Apakah itu dilarang,?? padahal di zaman Rasulullah pun rasul pernah memberikan amalan kepada Muadz r.a “hai muadz, inni uhibbuk,, amalkan ini setelah selesai sholat fardu “allahuma ‘ala dzikrika wasyukrika wahusni ibadatik,,”.. bukankah itu amalan?? hati2 dalam berargument karena sesungguhnya bisa saja anda sendiri yang dalam bahaya itu,,
Kenapa indonesia tidak maju2.. karena jauh dari nilai keislaman mereka, mereka sibuk mencari dunia, bukan karena yang anda tuduhkan kepada kami, itu sungguh naif,.. tidak berdasar dan berdasarkan kebencia,,” ulama kami almarhum Kang Ayip Muh Jagastatru pernah berpesan,,
“pertama, berdakwah, menyampaikan ilmu, dan bertutur bijak kepada masyarakat luas. Kedua, berpikir, berbuat, dan menebar manfaat dengan penuh rasa ikhlas”
ini bukan masalah mana yg benar dan mana yg salah,,, namun mari sama2 menghormati, cara sesama muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah,,
karena tujuan kita sama, yaitu mengharap ridho Allah,, apa artinya merasa benar sendiri, sedangkan yg paling benar adalah Robbul ‘Alamin, Allah SWT..
mari … kita sama2 berfikir dengan jernih,, 🙂
Salam kanggo seduruh sedanten, saking santri muhibbin cirebon 🙂
Berburuk sangka yang jelas……….semoga saudara kita Sunan diampuni dan dibukakan pintu hatinya oleh Allah SWT….amin YRA
Ingatlah saudara-saudaraku.. apa yang kita ucapkan dan perbuat semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. termasuk ucapan-ucapan yang menyinggung perasaan. Rosulullah pernah menegur Sahabat Umar Ibnu Khatab yang mengatakan sahabat lainnya seorang munafik dan hendak memukulnya saat diketahui dia membocorkan rencana perang kaum muslimin kepada pihak musuh. Jangan menilai orangnya. Cukup nilailah perbuatannya. Maka tidak akan ada yang dipertentangkan. Semua akan sepaham dengan anda. Tetapi saat anda akhi Sunan memasukkan unsur orang apalagi ulama di dalam statement anda, maka jangan sampai Rosulullah pun menegur anda andai beliau masih hidup. Astagfirullah. Afwan. Wallahu’alam.
Wahhh… Kayak nya ada yg pengen meruba sesuatu yg suda di tentukan oleh ALLAH ni?
ALLAHU AKBAR.. (ALLAH maha besar)
Saudara-saudara tida perlu besar mulut untuk meluruskan islam.. Nabi mulia saja (MUHAMMAD s.a.w) adala utusan yg di tunjuk langsun untuk umat islam, yg di bekali dengan keahlian berdakwa.. Tapi apa? Nabi mulia saja tida sangup mengislamkan dunia, karena memang tida di isinkan oleh ALLAH, apa yg tida mungkin bila ALLAH berkehendak??
Mending selamatkan diri anda masing-masing.
Salah dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bukan ahli istidlal akan menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan sehingga timbullah firqah dalam Islam.
Perhatikanlah tulisan-tulisan mereka contohnya pada http://tukpencarialhaq.com/ maka akan dapat kita temukan bertebaran nama-nama firqah yang masing-masing merasa paling benar seperti salafi jihadi, salafi haraki, salafi Turotsi, salafi Yamani atau salafi Muqbil, salafi Rodja atau salafi Halabi, salafi Sururi, salafi Quthbi atau salafi Ikhwani dan firqah-firqah yang lain dengan nama pemimpinnya.
Contohnya pengikut Ali Hasan Al Halabi dinamakan oleh salafi yang lain sebagai Halabiyun sebagaimana contoh publikasi mereka pada http://tukpencarialhaq.com/2013/11/17/demi-halabiyun-rodja-asatidzah-ahlussunnah-pun-dibidiknya/ berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Kita lanjutkan sedikit pemaparan bukti dari kisah Haris, Jafar Salih dkk.
Cileungsi termasuk daerah terpapar virus Halabiyun Rodja pada ring pertama.
Tak heran jika kepedulian asatidzah begitu besar terhadap front terdepan (disamping daerah Jakarta tentunya).
Daurah-daurah begitu intensif dilaksanakan, jazahumullahu khaira. Kemarahan mereka telah kita saksikan bersama dan faktanya, amarah/ketidaksukaan ini juga mengalir deras pada sebagian dai yang menisbahkan diri dan dakwahnya sebarisan dengan kita.
Berdusta (atas nama Asy Syaikh Muqbil rahimahullah-pun) dilakukan, menjuluki sebagai Ashhabul Manhaj sebagaimana yang dilontarkan dengan penuh semangat oleh Muhammad Barmim, berupaya mengebiri pembicaraan terkait kelompok-kelompok menyimpang sampaipun Sofyan Ruray mengumumkan melalui akun facebooknya keputusan seperempat jam saja!!
****** akhir kutipan ******
Asy-Syathibi mengatakan bahwa orang-orang yang berbeda pendapat atau pemahaman sehingga menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan. maka mereka menjadi firqah-firqah dalam Islam sebagaimana yang Beliau sampaikan dalam kitabnya, al-I’tisham yang kami arsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/ciri-aliran-sesat/
****** awal kutipan *****
Salah satu tanda aliran atau firqoh sesat adalah terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105).
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya, kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”
Kemudian Asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wasallam, tetapi mereka tidak bercerai berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan nash-nya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam.
Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan, maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama.
Persoalan tersebut berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menafsirkan ayat berikut ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.”
******* akhir kutipan *******
Salah satu fitnah akhir zaman adalah orang-orang pada masa kini (khalaf) yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun pada kenyataannya tentu mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh
Pada kenyataannya ajakan untuk mengikuti pemahaman Salafush Sholeh adalah ajakan untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf (terdahulu) bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri dan pemahamannya selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”
Perlu kita ingat bahwa nama para Sahabat tercantum pada hadits pada umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad atau istinbat mereka melainkan para Sahabat sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi (para Sahabat) yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.
Jadi pendapat atau pemahaman para Sahabat tidak bisa didapatkan dari membaca hadits.
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri bukan pendapat atau permahaman para Sahabat
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman para Sahabat berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman para Sahabat.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap para Sahabat.
Imam Mazhab yang empat walaupun mereka tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur ulama sejak dahulu kala sampai sekarang sebagai ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga patut untuk dijadikan pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”.
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/04/08/kita-butuh-bermazhab/
Pada hakikatnya sangat sulit untuk memenuhi kompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak pada masa sekarang ini karena tidak lagi dapat bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush Sholeh.
Bahasa tulisan mempunyai keterbatasan dibandingkan dengan bertalaqqi, mendapatkan ilmu agama dengan bertemu atau mengaji.
Sebagaimana tulisan ust Ahmad Zarkasih yang kami arsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/06/matang-sebelum-waktunya/ bahwa orang-orang yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri dapat menjadi liberal atau bahkan atheis. Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Memang wajar, bahkan sangat wajar sekali jika ada seseorang mempertanyakan adanya perbedaan pandangan. Tapi tidak wajar kalau mereka membawa-bawa label “Kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah” kemudian meyalahkan para Imam Mujtahid, seakan-akan para Imam Mujtahid tidak mengerti isi ayat dan kandungan hadits.
Justru para Imam Mujtahid orang yang paling mengerti madlul ayat dan hadits dibanding kita-kita yang masih berlabel “Muqollid”, bahkan dengan strata taqlid paling rendah.
Mereka bilang “Saya tidak mau terpaku dengan ajaran orang tua dan guru saya. Saya mau mencari ajaran yang benar”. Hal ini yang membuat kita semakin khawatir. Dengan umur yang masih seperti itu, mereka begitu yakin untuk tidak ber-taqlid (ikuti) kepada yang memang seharusnya ia taqlid.
Mereka menolak untuk menerima sepenuhnya apa yang ia dapatkan dari rumah, juga dari gurunya tapi mereka tidak punya pegangan untuk bisa berdiri dan menjadi sandaran sendiri.
Akhirnya, yang dilakukan kembali mencari di jalanan, seperti dengan buka laptop, searching google dan akhirnya bertemu dengan ratusan bahkan ribuan hal yang sejatinya mereka belum siap menerimanya semua. Sampai saat ini kita masih tidak memandang google sebagai sumber pencarian ilmu yang valid dan aman. Mendatangi guru dan bermuwajahah dengan beliau itu yang diajarkan syariah dan jalan yang paling aman.
Hal yang kita khawatirkan, nantinya mereka besar menjadi muslim yang membenci para imam mazhab dengan seluruh ijtihadnya. Dan kelompok pemuda semacam ini sudah kita temui banyak disekitar kita sekarang.
Dengan dalih “Kembali kapada al-quran dan sunnah”, mereka dengan pongah berani mecemooh para imam, padahal apa yang dipermasalahkan itu memang benar-benar masalah yang sama sekali tidak berdampak negatif kalau kita berbeda didalamnya.
Atau lebih parah lagi, ia menjadi orang yang anti dengan syariahnya sendiri. Karena sejak kecil sudah terlalu matang dengan banyak keraguan di sana sini.
Seperti orang yang belum matang dengan agamanya sendiri tapi kemudian sudah belajar perbandingan agama. Ujung-ujungnya mereka jadi atheism, karena banyak kerancuan yang dia temui.
Sama juga orang yang belum matang fiqih satu mazhab, kemudian mereka tiba-tiba belajar perbandingan mazhab. Satu mazhab belum beres, kemudian sudah dibanding-bandingkan. Ujung-ujungnya jadi Liberal, yang menganggap bahwa ijtihad itu terbuka untuk siapa saja dan dimana saja. Jadi sebebas-bebasnya lah mereka menfasirkan ini itu.
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/21/terhasut-mengikuti-shahafi/ bahwa mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Mereka terhasut untuk membuang-buang waktu atau menyibukkan diri mengulang kembali apa yang telah dikerjakan dan dihasikan oleh Imam Mazhab yang empat namun mereka tidak berkompetensi sebagai mujtahid mutlak.
Protokol Zionis yang ketujuhbelas
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan…..
Salah satu upaya mengdiskreditkan Imam Mazhab yang empat adalah menyalahgunakan perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang jsutru untuk meninggalkan apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/13/tidak-bermazhab/
Mereka yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) meninggalkan Imam Mazhab yang empat dengan alasan seperti “kita harus mengikuti hadits shahih bukan mengikuti ulama.
Mereka mengingatkan bahwa Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Mereka pada umumnya juga salah memahami pendapat seperti Imam Syaukani yang berkata: “Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.
Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlak
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/20/tetaplah-sebagai-ormas/ bahwa Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan pada http://www.sangpencerah.com/2013/08/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-ini.html bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih, ormas Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah diteladani oleh pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan
Jadi ketika sebuah jama’ah minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.
Sedangkan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh ataupun Albani maupun Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, mereka bukanlah Imam Mujtahid Mutlak sehingga tidak patut untuk ditaklidi (diikuti) oleh kaum muslim
Ulama yang sholeh terdahulu kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai Semenanjung Tanah Melayu, Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri Siam atau Thailand yakni KH. Sirajuddin Abbas (lahir 5 Mei 1905, wafat 23 Ramadhan 1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku berjudul I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet Barat XA No.28, Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah sekte atau firqoh dalam Islam yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari halaman 296 sampai 351 dan firqoh berdasarkan pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352 sampai 380.
Sebagaimana tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahim sebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana wasiat di atas, para ulama memasukkan mazhab atau pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim Al Jauziyah maupun yang tidak bertemu langsung seperti Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab khawarij artinya mazhab yang menyempal keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat.
Marilah kita mengikuti sunnah Rasulullah untuk menghindari firqah-firqah yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut juga dengan khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Mayoritas kaum muslim pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in
Sedangkan pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Allah ta’ala berfirman yang artinya
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa Al-Quran dan As-Sunnah, diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima.
Hal yang perlu diketahui dan dikuasai bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seperti ilimu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
Selain itu perlu mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
Tidak sempurna pula jika hanya mengetahui dan menguasai ilmu nahwu dan sharaf tanpa mengetahui dan menguasai ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-ketidakseimbangan/ atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/10/ilmu-sastra-arab/
Fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata hati yang berujung dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Kalau dalam berijtihad dan beristinbat atau menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm mengatakan
***** awal kutipan ****
Sementara kita memperbincangkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya malah di masa salaf, alias di masa lalu.
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalah seorang Abu Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik lahir tahun 93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi’i lahir tahun 150 hijriyah dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka bukan orang salaf?
Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali dia perlu belajar sejarah Islam terlebih dahulu. Sebab mazhab yang dibuangnya itu ternyata lahirnya di masa salaf. Justru keempat mazhab fiqih itulah the real salaf.
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Jadi pada umumnya firqah salafi wahabi adalah orang-orang yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun berfatwa selalu berpegang pada nash secara dzahir atau makna dzahir dan kurang memperhatikan ilmu-ilmu tafsir.
Contoh uraian cara memahami hadits “kullu bid’atin dholalah” telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/05/18/pentingnya-kaidah-tafsir/
Contoh akibat meraka salah memahami tentang bid’ah sebagaimana yang diberitakan pada http://www.suara-muslim.com/2014/05/syaikh-shalih-fauzan-sms-jumat-mubarak.html
***** awal kutipan *****
Syaikh Shalih Fauzan adalah ulama saudi berfaham Wahabi yang menjadi anggota dewan istimewa di Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta dan Hai’ah Kibaril ‘Ulama, Saudi Arabia, sejak 15 Rajab 1412 H. Disela-sela tugasnya sebagai anggota Al Lajnah Ad Daimah, Syaikh Shalih Fauzan juga menjadi anggota Hai’ah Kibaril Ulama (Persatuan Ulama Besar) juga anggota dewan di Al Ma’jma Al Fiqhi (Asosiasi Ahli Fiqih) di Makkah Mukarramah. Beliau juga anggota Al Lajnah Al Isyraf ‘Alad Da’wah Fil Hajj (Komisi Urusan Da’wah Untuk Jama’ah Haji).
Suatu ketika Syaikh Shalih Fauzan ditanya:
ما حكم إرسال رسائل الجوال كل يوم جمعه وتختم بكلمة جمعة مباركة؟
Bagaimana hukumnya saling mengirim SMS tiap hari jumat dan mengakhirinya dengan kalimat “Jumat Mubarak?
Syaikh Salih Fauzan menjawab:
ما كان السلف يهنئ بعضهم بعضاً يوم الجمعة فلا نحدث شيئاً لم يفعلوه
“Para salaf tidak pernah saling mengucapkannya pada hari jumat, janganlah mengadakan sesuatu (kebid’ahan) yang tidak pernah dikerjakan oleh para salaf”. selesai. (Majalah Dakwah Islamiyah).
***** akhir kutipan ******
Begitupula Wasekjen MUI Pusat, Ustadz Tengku Zulkarnaen ketika memberikan catatan pada fatwa MUI tentang nikah wisata yang dapat dibaca pada http://tengkuzulkarnain.net/index.php/artikel/pena/kumpulan-tulisan/188/nikah-wisata.html mengatakan bahwa firqah Wahabi mengikuti ahli zahir (selalu berpegang pada nash secara dzahir) dan kurang memperhatikan ilmu-ilmu tafsir.
Ustadz Tengku Zulkarnaen menyampaikan bahwa nikah wisata maupun peringatan maulid nabi, Isra’ dan Mi’raj, Nuzul Qur’an, Tahun Baru Islam adalah sama-sama tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. namun nikah wisata adalah bid’ah yang sesat sedangkan peringatan maulid nabi, Isra’ dan Mi’raj, Nuzul Qur’an, Tahun Baru Islam ada kebaikan di dalamnya
Berikut kutipannya
****** awal kutipan ******
Nikah misar (nikah wisata) ini telah difatwakan “haram” oleh Majelis Ulama Indonesia. Sayangnya “Lajnah ad-Daimah Saudi Arabia” pimpinan Syekh Abdullah bin Baz menghalalkan nikah wisata ini.
Padahal dalam fatwa itu salah satu kutipan yang diambil adalah pendapat Ibnu Hazm, seorang tokoh Zahiri (ahli zahir, alias tekstual), dan Abul Walid Sulaiman Khalaf al Bajiy, dalam kitab “al-Muntaqa Syarhul Muwatha’ “, Jilid 3 Halaman 336, mengatakan: Barangsiapa yang menikahi wanita, dan tidak berkeinginan utk menahannya sebagai isterinya, kecuali hanya ingin bersenang-senag untuk menyetubuhinya dan menceraikannya setelah itu, maka menurut Imam Maliki dari riwayat Muhammad hukumnya “boleh”, tetapi tidak bagus, dan bukan merupakan akhlak manusia….”
Lihatlah pendapat Imam Maliki, beliau mengatakan ini bukan merupakan akhlak manusia….! Berarti akhlak binatang? Seperti kambing, monyet, babi dan lain-lain…? Astaghfirullah. Pantaskah manusia memakai akhlak bukan manusia?
Dalam madzhab Imam Syafi’i ra, menceraikan isteri setelah menyetubuhinya, masih dalam keadaan suci dari haidh, maka perceraian itu disebut “talaq bid’i”, yakni “talak bid’ah”.
Padahal kelompok Wahabi Salafy selalu mengatakan bahwa setiap bid’ah itu pasti tempatnya akan berada dalam neraka. Jadi bagaimana persoalan bid’ah seperti ini bisa difatwakan oleh Lajnah mereka sebagai perbuatan halal? Bukankah Rasulullah tidak pernah melakukan perbuatan nikah misar ini….?
Selama ini kelompok Salafy Wahaby sangat tegas dengan pendapat mereka bahwa setiap perbuatan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah wajib ditolak, karena merupakan perbuatan yang bid’ah dholallah. Kenapa dalam hal misar ini sikap mereka jadi berubah? Sementara tidak ada sebuah riwayat pun yang mengatakan ada generasi sahabat Nabi yang melakukan nikah misar ini.
Jika dibandingkan dengan sikap mereka yang menolak secara tegas tanpa syarat peringatan Maulid Nabi, Isra’ dan Mi’raj, Nuzul Qur’an, Tahun Baru Islam, dan lain-lain yang ditolak secara tegas dan dianggap bid’ah yang sesat hanya karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Sahabat Nabi, tanpa memandang sedikit pun kebaikan yang ada pada peringatan itu, maka menjadi sangat aneh-lah serta menimbulkan tanda tanya besar atas fatwa Salafy Wahabi terhadap persoalan nikah misar ini, yang sama-sama tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
***** akhir kutipan ******
Begitupula Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Ali Mustafa Yakub sebagaimana yang telah disampaikan pada http://www.muslimedianews.com/2014/01/imam-besar-masjid-istiqlal-curigai-ada.html mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah yang terlarang. Menurut Kiai Ali Mustafa, peringatan Maulid Nabi masuk wilayah muamalah. “Selama tidak melakukan hal-hal yang mengharamkan, ya boleh-boleh saja.
Hal yang harus kita perhatikan adalah bentuk kegiataan yang mengisi peringatan tersebut jangan sampai melakukan kegiataan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Sejauh melakukan kegiatan yang tidak diharamkan maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)
KH Ali Mustafa Yakub telah menegaskan bahwa salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena kurang memperhatikan ilmu-ilmu tafsir dapat memecah belah umat Islam.