Ulama pewaris Nabi
Salah satu hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi adalah agar setiap orang wajib menggali sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah walaupun hanya berbekal pandai berbahasa Arab.
Kami kutipkan dari tulisan KH. Muhammad Nuh Addawami tentang makna ittiba’ sebenarnya,
***** awal kutipan *****
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal / mujtahid) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi).
Pewaris Nabi artinya menerima dan mengikuti risalah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan baik dan benar secara kaaffah meliputi aqidah (Iman) , ibadah (Islam/syariat) dan akhlaq (Ihsan/tasawuf)
Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’ Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah iman itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman kepada takdir semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)
Ulama pewaris Nabi, menerima dari ulama-ulama sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Jika ulama hendak menggali sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah maka ulama tersebut tidak cukup berbekal hanya kemampuan berbahasa Arab saja.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Kompetensi yang dibutuhkan untuk boleh menggali sendiri dari Al Qur’an dan As Sunnah adalah
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. Semua itu masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
– Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
– Imam Malik bin Anas;
– Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
– Imam Ahmad bin Hanbal.
Apa yang terjadi di wilayah kerajaan Arab Saudi adalah para penguasa kerajaan dinasti Saudi mengarahkan para ulama di sana untuk mengikuti pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah berdasarkan muthola’ah, menelaah kitab karya Ibnu Taimiyyah. Jika ulama Muhammad bin Abdul Wahhab salah memahami kitab maka ulama Ibnu Taimiyyah tentu tidak dapat mengkoreksi atau menegurnya. Inilah salah satu pokok kelemahaman memahami ilmu agama hanya berlandaskan muthola’ah, menelaah kitab apa lagi hanya berbekal kemapuan mengerti bahasa Arab saja.
Akibatnya mereka berpendapat bahwa Imam Baihaqi, Imam Nawawi maupun Ibnu Hajar telah sesat dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah atau telah terjatuh/tergelincir pada penakwilan terhadap sifat-sifat Allah. Pendapat mereka bahwa pemahaman tersebut tidak sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh. Pada kenyataannya yang dimaksud oleh mereka adalah tidak sesuai dengan pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau tidak sesuai dengan pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya. Hal ini terurai dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/07/klaim-mereka/
Dalam memahami ilmuNya atau memahami agama Islam, sebaiknya janganlah berhenti atau berpuas diri bersandar pada akal pikiran Muhammad bin Abdul Wahhab ataupun Ibnu Taimiyyah. Apalagi mereka berdua bukanlah seorang yang dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak
Dalam memahami agama Islam sebaiknya telusurilah terus sampai tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran adalah apa yang diwahyukanNya dan disampaikan oleh Nabi kita , Sayyidina Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Telusurilah kembali apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui dua jalur utama yakni
1. Jalur ulama yang sholeh, bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
2. Jalur ulama yang sholeh, bernasab atau bersilsilah keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mendapatkan pengajaran agama dari orang tua-orang tua terdahulu tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Telusurilah terus hingga yakin bahwa yang diterima adalah benar dari lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukan akal pikiran manusia yang didalamnya ada unsur hawa nafsu dan kepentingan.
Kaum Nasrani yang merupakan korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi, mereka tidak dapat lagi menelusuri kembali apa sebenarnya yang telah disampaikan oleh Nabi Isa a.s. Mereka berhenti pada akal pikiran manusia seperti Paulus (Yahudi dari tarsus) di mana surat menyuratnya dijadikan dasar untuk kitab perjanjian baru.
Hal seperti itu tidak boleh terulang kembali kepada kaum muslim. Agama Islam tidaklah sebatas apa yang dipahami oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau sebatas yang dipahami oleh ulama Ibnu Taimiyyah.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Tinggalkan komentar