Kesalahpahaman tentang bid’ah
Kesalahpahaman yang satu ini telah membawa malapetaka berkelanjutan bagi dunia Islam. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sunnah & bid’ah yang selalu dibahas oleh kaum Wahabi atau Salaf(i) adalah pembahasan lama yang sudah tuntas dijelaskan oleh para ulama sejak masa salaf dan seterusnya di dalam kitab-kitab mereka. Para ulama itu seolah sudah menghidangkannya untuk umat dalam bentuk “makanan siap saji” yang dapat langsung diikuti atau diamalkan. Bahkan perbedaan pendapat dalam urusan furu’ (cabang) sekalipun sudah selesai dibahas dengan hasil sangat memuaskan diiringi rasa solidaritas serta saling menghormati antara yang satu dengan yang lain.
Singkatnya, apa yang disampaikan para imam 4 mazhab dalam pembahasan perkara syariat yakni apa yang telah Allah swt tetapkan berupa kewajiban, larangan dan pengharaman, merupakan hasil ijtihad yang sangat maksimal dalam mengkaji seluruh dalil-dalil agama. Itu adalah hadiah yang sangat berharga bagi seluruh umat Islam, terlebih lagi umat belakangan yang bila disuruh mengkaji sendiri dalil-dalil tersebut maka tidak mungkin dapat mencapai hasil yang sama. Mengapa tidak mungkin, apakah pintu ijtihad telah tertutup? Pintu ijtihad memang belum tertutup, tetapi kemampuan dan kriteria berijtihad itulah yang sulit dipenuhi oleh orang belakangan. Syarat orang berijtihad atau mujtahid, silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/31/imam-mujtahid/
Apa yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam dakwahnya yang mengajak umat untuk langsung kembali kepada al-Qur’an & Sunnah Rasulullah Saw., apalagi dengan pemahaman secara tekstual, harfiah, tersurat terhadap ayat-ayat atau hadis-hadis tersebut, adalah bagaikan mengurai kembali benang yang sudah selesai disulam. Artinya, semua itu sudah dikerjakan oleh para ulama terdahulu, dan kesimpulan-kesimpulan hukum dari proses panjang yang rumit dalam mengkaji dalil dengan menggunakan metodologi yang maksimal sudah dihasilkan. Mengapa justru umat yang seharusnya tidak perlu bersusah payah melakukan hal yang sama (apalagi tanpa kemampuan yang dimiliki para ulama tersebut) dan tinggal memanfaatkan pembahasan para ulama itu malah diajak oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menggali lagi dasar-dasar agama tersebut.
Sebagai contoh bagaimana memahami hadits berikut,
Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Rasulullah menerangkan sbb: “Jauhilah olehmu sesuatu yang diada-adakan karena yang diada-adakan itu bid’ah dan sekalian bid’ah adalah dholalah (sesat)”
Hadits ini diterangkan oleh hadits yang lain seperti
“Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang berbuat satu kebid’ahan di dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah azza wajalla telah menyatakan: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian. Dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al- Maidah: 3)
Kedua hadits itu menjelaskan bid’ah dholalah yang dimaksud adalah bid’ah dalam urusan kami atau bid’ah di dalam Islam.
Hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat, adalah masih dapat menerima pengecualian, karena lafadz kullu bid’atin adalah isim yang dimudlafkan kepada isim nakirah, sehingga dlalalah-nya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecualian. Untuk itulah dijelaskan oleh hadits yang lain dengan istilah “di dalam Islam” atau “urusan kami”.
Arti kata-kata “kebid’ahan di dalam Islam” , “dalam urusan kami” ialah kebid’ahan dalam hal yang telah ditetapkan oleh Allah swt yakni berupa kewajiban, larangan dan pengharaman atau disebut ibadah mahdah (ibadah ketaatan), Ibadah yang mau tidak mau harus dilaksanakan dan ditaati bagi seluruh muslim, perkara syariat, Ibadah yang disyaratkan bagi seluruh umat Islam, ibadah yang wajib mengikuti apa yang telah dijelaskan/disampaikan/dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Sedangkan kebid’ahan dalam hal perbuatan/ibadah yang Allah swt telah diamkan/bolehkan tentu dibolehkan. Logikanya segala sesuatu yang Allah swt telah diamkan/bolehkan tentu juga perkara baru, bid’ah, inovasi, kreatifitas dibolehkan asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan perbuatan/ibadah yang Allah swt telah diamkan/bolehkan, sebagian adalah termasuk perbuatan/ibadah yang Allah swt anjurkan sehingga bagi muslim yang melaksanakaannya akan mendapatkan kebaikan/pahala.
Perbuatan/ibadah yang Allah swt telah diamkan/bolehkan dinamakan ibadah ghairu mahdah, ibadah kebaikan, amal kebaikan, amal sholeh, perbuatan/ibadah yang tidak disyaratkan atau tidak dikerjakan tidaklah berdosa, perbuatan/ibadah yang dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw namun boleh dikerjakan sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan tidak melanggar larangan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kebid’ahan dalam ibadah ghairu mahdah disebut bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Rujukan Bid’ah dalam bidang ibadah ghairu mahdah
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:
Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
Perhatikan perkataan Rasulullah saw, “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik” maknanya adalah bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah ghairu mahdah
Pendapat Imam Syafi’i –semoga Allah meridlainya-
“Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)
Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Perhatikan perkataan Imam Syafii ra “apa yang baru terjadi dari kebaikan” maknanya adalah bid’ah dalam ibadah kebaikan atau ibadah ghairu mahdah.
Contoh ibadah ghairu mahdah , berdoa dan bersholawat
Berdoa dan bersholawat bukanlah ibadah mahdah atau ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt sebagai kewajiban atau ibadah yang tidak wajib artinya jika ditinggalkan tidaklah berdosa.
Berdoa dan bersholawat adalah termasuk ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan atau ibadah ghairu mahdah namun termasuk pula ibadah yang dianjurkan sehingga bagi yang mengerjakan akan mendapatkan kebaikan / pahala.
Oleh karenanya berdoa dan bersholawat dapat dikerjakan sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri asalkan memperhatikan adab berdoa dan bersholawat.
Kita boleh berdoa menggunakan bahasa Indonesia namun dianjurkan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Kita boleh bersholawat sesuai dengan kesadaran, keinginan dan kebutuhan kita sendiri atau berdasarkan keinginan kita mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah saw namun dianjurkan mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw seperti sholawat ibrahimiyah. Bacaan sholawat dalam bahasa kita yang sering diucapkan adalah “Salam dan Sholawat atas junjungan kita Nabi Muhammad Saw”. Contoh sholawat lain yang diucapkan oleh Imam Syafi’i ra yang artinya “Ya Allah, limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Muhammad, selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu ”
Dari kesalahpahaman tentang bid’ah kaum wahabi atau salaf(i) secara tidak disadari, mereka dapat keliru menjuluki saudara-saudara muslim lainnya sebagai ahli bid’ah karena mereka tidak dapat dengan baik membedakan perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdah (ibadah ketaatan) dan ibadah ghairu mahdah (ibadah kebaikan)
Sebagian dari mereka bahkan mensesatkan suadara muslim lainnya berdasarkan kesalahpahaman tentang bid’ah, yang sesungguhnya perbuatan mensesatkan itu lebih mendekati perbuatan pentakfiran.
Pen-takfir-an secara gegabah tersebut tidak hanya berdampak negatif bagi yang tertuduh, namun juga bagi dirinya sendiri. Maka siapapun dari kalangan Muslim dilarang memvonis kafir kepada siapapun sebelum ada bukti nyata yang mengarah terhadap perbuatan kafir secara konkrit (qoth’iy). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ ِلأَخِيْهِ يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Apabila ada seseorang berkata kepada saudaranya (sesama muslim), “Hai kafir !“, maka sungguh di antara keduanya itu pulang dengan membawa predikat (kafir) tersebut.“ (HR. Bukhari dari Abu Hurairah RA).
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW adalah suri tauladan bagi kita dalam menyerukan keimanan yang benar dan lurus. Beliau tidak pernah menggunakan takfir kepada para sahabat beliau. Bahkan disebutkan dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, beliau amat marah terhadap sahabat Usamah RA. lantaran ia bertindak gegabah membunuh seorang kafir yang telah bersyahadat yang dikala itu ia sedang terdesak dalam sebuah peperangan. Sahabat Usamah RA sempat memberikan alasan kepada Rasulullah mengapa ia tetap membunuhnya meski telah mengucapkan kalimah syahadat. Besar kemungkinan orang kafir tersebut bersyahadat karena takut di bunuh. Maka apa jawab Nabi Saw. ?
“Halla syaqogta qolbuhu?” Artinya, Apakah engkau telah membelah hatinya, sehingga engkau mengerti kalau ia bersayahadat karana takut kau bunuh?
Dari hadis ini semakin jelas kiranya bahwa sebaik apapun niat dan tujuan kita dalam melaksanakan kebaikan, harus menghindari cara-cara yang mendeskriditkan (menyudutkan) orang lain dengan takfir atau semisalnya. Karena hal itu sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam, sebelum ada bukti nyata bahwa ia benar-benar telah kafir.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830
Silahkan. Seluruh artikel di blog ini diizinkan untuk disebarluaskan dengan menyebutkan sumbernya. Tidak semua artikel merupakan tulisan kami , yang bukan tulisan kami telah dicantumkan sumber tulisannya.
Semoga Allah ta’ala memudahkan dan meridhoi terhadap keinginan antum menyebarluaskannya
sebelum disebar luaskan sebaiknya teliti dulu, apakah artikelnya bertentangan dengan quran & sunnah atau tidak.
takutlah karena akan dipertanggung jawabkan di akherat kelak.
ikhwan pernyataan antum meng-isyaratkan adanya penentangan terhadap qur`an dan Sunnah dalam artikel , dapatkah antum tunjukkan hal itu…..?
menurut saya artikel itu sesuai dengan qur`an dan sunnah dan bertentangan dengan pemahaman anda.
Assalamu’alaikum saudaraku.
Saya masih bingung tentang kaidah2 bid’ah antara Wahabi dan Non-Wahabi sebab keduanya saling berbenturan.
Dalam tulisan diatas anda mengatakan bahwa Ibadah Ghairu Mahdhah adalah Ibadah yang tidak wajib. Betul kan? Anda menyatakan sbb:
“Contoh ibadah ghairu mahdah , berdoa dan bersholawat
Berdoa dan bersholawat bukanlah ibadah mahdah atau ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah swt sebagai kewajiban atau ibadah yang tidak wajib artinya jika ditinggalkan tidaklah berdosa.
Berdoa dan bersholawat adalah termasuk ibadah yang telah Allah swt diamkan/bolehkan atau ibadah ghairu mahdah namun termasuk pula ibadah yang dianjurkan sehingga bagi yang mengerjakan akan mendapatkan kebaikan / pahala.”
Atau kesimpulan saya yang salah -ketika membaca tulisan anda diatas-?
Jika benar maka shalat Sunnah Rawatib juga termasuk Ibadah Ghairu Mahdhah dong? Trus saya mau tanya. Ulama mana yang mendefinisikan bahwa ibadah Ghairu Mahdhah adalah yang sifatnya Sunnah [bukan Wajib] seperti yang telah anda katakan. Saya minta referensinya. Kalo bisa yang berbahasa arab saja supaya saya lebih puas. Oya, akan lebih baik lagi jika dalam menulis artikel diatas anda menyertakan referensi dari para Ulama tentang pembagian ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdah sebab seperti yang telah anda katakan diatas:
“Pintu ijtihad memang belum tertutup, tetapi kemampuan dan kriteria berijtihad itulah yang sulit dipenuhi oleh orang belakangan.”
Saya khawatir jika anda tidak menyediakan referensi dari para Ulama mengenai pembagian ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah maka berarti anda telah berijtihad dan orang yang berijtihad disebut Mujtahid. Dengan kata lain anda telah memenuhi kriteria yang sulit dipenuhi oleh kebanyakan orang2 belakangan. Juga anda gengsi dan lebih senang bersusah2 lalu tidak mau memakan makanan yang “siap saji” yang telah disediakan oleh para Ulama karena anda adalah seorang Mujtahid. Selamat kalo begitu… *Bercanda kok 😀
Jika komentar saya ini telah anda respon maka saya akan melanjutkan diskusi ini insyaa Allah…
Teirma kasih…
Walaikumsalam warohmatullahi wabarakatuh.
Memang pembagian ibadah kedalam mahdah dan ghairu mahdah menimbulkan perbedaan pemahaman namun ini semua adalah hasil istiqra (telaah) para ulama. Dari asal katanya ghairu adalah umum , jadi gharu mahdah adalah ibadah yang bersifat umum, termasuk perbuatan manusia yang bernilai ibadah. Amal kebaikan atau amal sholeh termasuk di dalamnya doa, sholawat, dzikir adalah ibadah ghairu mahdah. Ibadah yang tidak termasuk perkara mendekatkan ke surga atau menjauhkan ke neraka namun ibadah yang terkait kecintaan Allah ta’ala kepada hambaNya dan kecintaan hambaNya kepada Allah ta’ala dan RasulNya.
Sholat sunnah rawatib adalah termasuk sunnah muakad atau sunnah yang diutamakan, sebagian ulama memasukkannya tetap ke ibadah mahdah atau ibadah khusus yang ada aturan dan contoh yang utamanya untuk diikuti. Sholawat, dzikir dan berdoa adalah ibadah yang dicontohkan pula oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam namun tidak termasuk yang wajib mengikuti apa yang dicontohkan karena perintahnya hanyalah berdoalah, berdzikirlah, bersholawatlah. Ketika berdoa dan berdzikir boleh disesuaikan dengan kecintaan kita kepada Allah ta’ala begitupula dengan bersholawat kita boleh bersholawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam disesuaikan dengan kecintaan kita kepadanya, sebagaimana perkataan para Sahabat ra , “Setelah itu ia boleh memilih pujian yang ia kehendaki”. Silahkan periksa http://www.indoquran.com/index.php?surano=60&ayatno=25&action=display&option=com_bukhari
Wasallam
Jadi yang benar menurut saudara ibadah Ghairu Mahdhah adalah ibadah2 yang tidak ada tata caranya secara khusus dalam Syariat gitu ya? Bukan sekadar ibadah Sunnah seperti yang telah anda katakan sebelumnya? So. Anda meralat definisi anda nih?
Nah, pertanyaan saya yang sebelumnya belum anda jawab. Ulama mana yang mendefinisikan ibadah Ghairu Mahdhah itu sebagai ibadah yang tidak ada tata caranya secara khusus dalam Syariat? Saya minta referensinya dong.
Oya ada satu lagi yg membuat saya heran. Anda katakan:
“Dari asal katanya ghairu adalah umum , jadi gharu mahdah adalah ibadah yang bersifat umum,”
Anda mengatakan ghairu artinya adalah Umum. Apa benar Ghairu artinya adalah Umum? Anda melihat di kamus yang mana? Mahdhah juga dalam bahasa arab artinya juga bukan umum lho…
Simak tanya jawab yg kami nukil berikut ini,
Tanya:
Assalamu’alaikum wrwb.
Saya ingin penjelasan tentang ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdah. Apa saja cakupannya? Beberapa artikel (internet) mengenai hal ini namun tanpa ada referensi, bahkan hanya pendapat penulis.
Saya ingin jika keterangan disertai dari referensi yang kuat (ulama aswaja atau rujukan kitabnya).
Terima kasih sharingnya.
Jawab:
Mungkin ini hanya referensi,
dalam ta’bir dibawah ini tersirat makna Ibadah Mahdlah,
سبل السلام ج: 4 ص: 110
وذهب أكثر الشافعية ونقل عن المالكية إلى أن النذر مكروه لثبوت النهي واحتجوا بأنه ليس طاعة محضة لأنه لم يقصد به خالص القربة وإنما قصد أن ينفع نفسه أو يدفع عنها ضررا بما التزم
sedangkan yang dibawah ini menjelaskan tentang bentuk2 ibadah mahdlah,
أنيس الفقهاء ج: 1 ص: 139
فالعبادات على ثلاثة أنواع بدنية محضة كالصلاة ومالية محضة كالزكاة ومركبة منهما كالحج
Demikian Wallahu a’lam bisshawab.
Ta’bir di atas Dari kitab Subulussalam karya Syeh Mohammad bin Isma’il As Son’ai (773-852 H. ) cetakan Daru Ihya’ Beirut.
Ibadah Mahdlah : sebentuk Perbuatan yang semata2 ditujukan untuk beribadah ( seperti sholat, zakat, puasa, haji, )
lebih jelasnya devinisi ibadah mahdlah itu merupakan jawaban dari sebuah contoh pertanyaan, ” untuk apa orang melaksanakan sholat, puasa, haji atau berzakat ? “
Ibadah ghoiru mahdlah : sebentuk perbuatan yang pada asalnya tidak ditujukan untuk beribadah tapi bisa bernilai ibadah bila dilakukan dengan niat dan tujuan beribadah, seperti makan, tidur, bekerja, kumpul bojo dll.
Ibadah mahdah adalah bentuk Ibadah yang tatacaranya diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah sangat jelas, dan bersifat pasti/mutlak. seperti puasa, zakat, sholat haji dan lain2.
Sedangkan ibadah ghairu mahdah adalah bentuk ibadah yang dapat menjadi ibadah jika diniatkan sebagai ibadah, namun dapat menjadi kegiatan sosial biasa jika tidak disertai niat untuk ibadah, seperti bersedekat, bergotong royong dan membaca-baca buku. terima kasih.
artinya sedekah, tidak ditentukan ukurannya , hanya berdasar kemampuan masing-masing. dan lain-lain.
Tanya:
Di referensi manakah keterangan spt itu dapat kami baca?
Kemudian … bagaimana dengan ibadah2 yg sunnah, spt dzikir, shalawat, baca qur’an dll. Ini termasuk mahdah atau ghairu mahdah?
Jawab:
Silahkan baca di Tahrirut Tankih karya Zakariya al-Anshori atau fathul Mu’in karya al-malabari
ibadah-ibadah tersebut termasuk ibadah ghoiru mahdah, karena tiak ditentukan cara-cara, waktu-waktu dan jumlahnya secara khusus. orang dapat berdzikir kapan pun di manapun. demikian juga dengan membaca al-Qur’an. tentu saja terdapat beberapa pengecualian.
Adapun hadits-hadits yang menerangkan jumlah-jumlah dzikir Rasulullah dalam waktu-waktu tertentu biasanya berfungsi sebagai anjuran.
demikian terima kasih
Atau pahami keterangan berikut
A. Pengertian Ibadah
Ibadah secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu عبد- يعبد -عبادة yang artinya melayani patuh, tunduk. Sedangkan menurut terminologis ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai allah azza wa jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin[1]. Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya[2];
1. Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
Ø Wudhu,
Ø Tayammum
Ø Mandi hadats
Ø Shalat
Ø Shiyam ( Puasa )
Ø Haji
Ø Umrah
‘Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. Haram kita melakukan ibadah ini selama tidak ada perintah.
b. Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
وماارسلنا من رسول الا ليطاع باذن الله … النسآء
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS. 64)
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا…
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebuthikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.
Rumus Ibadah Mahdhah adalah = “KA + SS” (Karena Allah + Sesuai Syariat)
2. Ibadah Ghairu Mahdah
Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama tidak diharamkan oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Rumus Ibadah Ghairu Mahdhah = “BB + KA” (Berbuat Baik + Karena Allah)
Ya saya cocok dengan dua keterangan yang telah anda nukilkan diatas. Terima kasih…
mutiarazuhud ana minta alamat email antum, syukron ana abu nufail domosili di kalimantan selatan
mutiarazuhud ana minta alamat email antum,ana abdul kadir ada di kalimantan selatan
email addres kami zonatjonggol pada server yahoo.com
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam ; “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik……”
——————————————————-
‘memulai’ bukan berarti ‘membuat’ perkara baru bukan?
Terima kasih atas penjelasannya, semoga bisa memperjelas dan mengurangi kebingungan umat atas semakin maraknya pernyataan2 yang membingungkan dan tersebar selama ini 😦
Assalamu’alaikum ustadz. Jika bid’ah terbagi menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah, lantas apa yang membedakan antara maslahah mursalah ustadz? karena ulama Wahabi mengartikan semua bid’ah adalah sesat, kecuali maslahah mursalah. Mngkinkah ulama-ulama ahlus sunnah seperti Imam Syafi’i dll hanya beda bahasa saja dalam mengartikan bid’ah tersebut? apakah mungkin bid’ah yang dimaksud mereka itu adalah maslahah mursalah? mohon penjelasannya ustadz untuk saya yang tidak paham agama ini..
Walaikumsalam
Mereka menyibukkan diri hanya dalam perkara syariat karena mereka terkena fitnah atau ghazwul fikri (perang pemahaman) alias hasutan yang dilakukan oleh kaum Zionis Yahudi untuk tidak mempercayai hasil jerih payah pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat sehingga mereka mengulangi kembali apa yang telah dilakukan oleh Imam Mazhab yang empat namun sayangnya mereka belum berkompetensi seperti kompetensi Imam Mazhab yang empat dan bahan ijtihad mereka terbatas pada hadits yang telah dibukukan sedangkan kita tahu bahwa hadits yang telah dibukukan hanya sebagian saja dan sebagian lagi masih dalam bentuk hafalan para penghafal hadits.
Pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat contohnya Imam Syafi’i ra sudah menyampaikan
“Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)
Imam as Syafii ra berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dlalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Tulisan kami diatas adalah mengikuti pemahaman bahwa ibadah terbagi dalam dua kategori yakni Ibadah Mahdah dan Ibadah Ghairu Mahdah. Namun ternyata menjelaskan tentang bid’ah dengan kategorisasi seperti itu dapat menimbulkan kesalahpahaman. Oleh karenanya dalam tulisan-tulisan berikutnya kami jelaskan bahwa ibadah terbagi dalam dua kategori yakni amal ketaatan (perkara syariat) dan amal kebaikan.
Amal ketaatan (perkara syariat) adalah syarat menjadi hamba Allah yakni menjalankan segala kewajibanNya (ditinggalkan berdosa) , menjauhi laranganNya (dikerjakan berdosa) serta menjauhi apa yang telah diharamkanNya (dikerjakan berdosa)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas/larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Sedangkan amal kebaikan adalah ibadah diluar amal ketaatan (perkara syariat) yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Hal yang harus sesuai dengan apa yang dicontohkan/dikerjakan oleh Rasulullah adalah amal ketaatan. Sedangkan diluar amal ketaatan (perkara syariat) tidak harus selalu sesuai dengan apa yang dicontohkan/dikerjakan oleh Rasulullah yang terpenting tidak bertentangan dengan Al qur’an dan As Sunnah.
Jadi perkara baru yang dibolehkan hanyalah dalam amal kebaikan, perkara baru dalam amal ketaatan (perkara syariat) pastilah dholalah
Jadi Ahli bid’ah adalah mereka yang mengada-ada atau membuat perkara baru (bid’ah) sehingga mengubah-ubah apa yang telah ditetapkanNya (amal ketaatan/perkara syariat)
Ahli bid’ah adalah mereka yang membuat perkara baru atau mengada-ada yang bukan kewajiban menjadi kewajiban (ditinggalkan berdosa) atau sebaliknya, tidak diharamkan menjadi haram (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya dan tidak dilarang menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya.
Rasulullah mencontohkan kita untuk menghindari perkara baru dalam kewajiban (jika ditinggalkan berdosa). Rasulullah meninggalkan sholat tarawih berjama’ah dalam beberapa malam agar kita tidak berkeyakinan bahwa sholawat tarawih adalah kewajiban (ditinggalkan berdosa) selama bulan Ramadhan.
Rasulullah bersabda, “Aku khawatir bila shalat malam (tarawih) itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687). Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=10&ayatno=120&action=display&option=com_bukhari
Bid’ah hasanah , jika yang melakukan sholat tarawih berjamaah sebulan penuh berkeyakinan bahwa itu adalah amal kebaikan selama bulan ramadhan walaupun Rasulullah tidak mencontohkan/melakukannya sebulan penuh.
Bid’ah dholalah, jika mereka berkeyakinan bahwa sholat tarawih berjamaah sebulan penuh adalah kewajibanNya atau perintahNya (ditinggalkan berdosa) karena sholat tarawih sebulan penuh tidak pernah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan berdosa). Yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai kewajiban (ditinggalkan berdosa) yang harus dikerjakan sebulan penuh pada bulan Ramadhan adalah berpuasa.
Begitu juga kita dapat ambil pelajaran dari apa yang terjadi dengan kaum Nasrani
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat yang artinya, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah [9] : 31) , kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu“. Maka jawab Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Bid’ah dholalah adalah perbuatan syirik karena penyembahan kepada selain Allah.
Bid’ah dholalah adalah perbuatan yang tidak ada ampunannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Imam Syafi’i berkata : “Barangsiapa yang menganggap BAIK (suatu perkara) maka dia telah membuat syari’at” (Perkataan Imam As-Syafi’i ini dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi’i, diantaranya Al-Gozaali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur’aan, dan Ibnu Qudaamah dalam Roudhotun Naadzir)
Imam Syafi’i berkata: ”Sesungguhnya ANGGAPAN BAIK hanyalah menuruti selera hawa nafsu.” (Ar-Risalah oleh Imam Syafi’i hal. 507)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Andaikata aku menemui Allah (wafat) dengan membawa segala dosa selain syirik, lebih aku sukai daripada aku menjumpai Allah dengan membawa sedikit saja dari kebid’ahan.” (Sanadnya shahih, dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah)
Barokallohu Lakum……, sungguh kajian yang komprehensif .
Syaikh Ibnu Malik Rodhiallohu Anhu Wa ardhoh Pernah Berkata :
¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
“Beliau berhak atas sanjunganku yang indah..” ^_^
Assalamu Alaikum Nyai……:
Izinkan Saya Memasukkan Blog Ini ke dalam Katagori “SITUS SITUS AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH “
woooooow mantap isix…..
Assalamu’alaikum
Afwan, Coba ditelaah lagi hadits yg berbunyi:
“Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
Hadits ini disabdakan oleh Rasul SAW ketika beliau SAW memerintahkan orang lain utk bersedekah krn orang2 yang datang kepada beliau berada dalam kesulitan. Kemudian datanglah seorang laki2 anshor dgn membawa sekantong perak yg cukup berat ditangannya, lalu dia meletakkannya di kediaman Nabi SAW. kemudian Beliau SAW bersabda spt hadits diatas.
Dgn kita mengetahui asal kejadian suatu hadits menghindarkan kita dari kesalahan dalam menterjemahkan maksud dr hadits tsb.
Dgn jelas hadits tersebut menjelaskan “Barangsiapa yg memulai (merintis) dlm islam sebuah perkara yg baik”. Memulai perkara yg baik dalam islam yg tersebut dlm hadits itu bukanlah menjelaskan ttg ibadah baru, melainkan kalimat tersebut yg dimaksud adalah Shodaqoh spt yg diperintahkan nabi diwaktu kejadian tadi, Shodaqoh adalah perintah dr Allah melalui nabi langsung & bukanlah bentuk ibadah baru, sehingga hal tsb tidak bertentangan dgn perintah Alloh yg sudah ada. maka adalah suatu kesalahan kalau kita beranggapan bahwa maksud hadits tsb adalah diperbolehkannya membuat suatu ibadah baru yg dianggap bisa mendatangkan kebaikan spt contohnya Maulid Nabi.
Sebaiknya janganlah membuat-buat larangan yang tidak dilarangNya
Sebaiknya janganlah termakan hasutan atau ghazul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi sehingga membuat-buat larangan yang tidak dilarang oleh Allah Azza wa Jalla
Hanya Allah Azza wa Jalla yang menetapkan perkara terkait dengan dosa yakni
1. Segala perkara yang jika ditinggalkan berdosa (kewajiban)
2. Segala perkara yang jika dilanggar atau dikerjakan berdosa (larangan dan segala apa yang telah diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla)
Perkara yang terkait dengan dosa disebut dengan urusan agama (urusan kami) atau perkara syariat yakni perkara yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya atau mensyariatkannya bagi manusia agar terhindar dari dosa atau terhindar dari siksaan api neraka.
Perkara syariat atau urusan agama (urusan kami) yakni perintah dan larangan hanya berasal dari Allah Azza wa Jalla
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak turunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya (tidak turunkan keterangan padanya) maka perkara itu tertolak.” (HR Bukhari 2499)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Telah sempurna agama Islam maka telah sempurna atau tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang didiamkanNya atau dibolehkanNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.”
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Para Imam Mujtahid dalam beristinbat menghindari metodologi istinbat seperti al-Maslahah al-Mursalah atau Al-Istislah yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata yang oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang”
Metode istinbat, al maslahah-mursalah atau istislah pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik ra (W. 97 H.), pendiri mazhab Malik namun pada akhirnya beliau meninggalkannya. Sejak setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahahmursalah kepada Imam Malik ra.
Menurut Imam Syafi’i cara-cara penetapan hukum seperti itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakannya sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri (akal pikiran sendiri) yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Ibnu Hazm termasuk salah seorang ulama yang menolak cara-cara penetapan hukum seperti itu Beliau menganggap bahwa cara penetapan seperti itu menganggap baik terhadap sesuatu atau kemashlahatan menurut hawa nafsunya (akal pikiran sendiri), dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil (Allah ta’ala tidak turunkan keterangan padanya).
Jadi mereka yang mengikuti para ulama yang melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya akan terjerumus kekufuran karena menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Tidak semua bid’ah dunyawiyyah dibolehkan
Abuya Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili berkata
وذلك لأنهم لما حكموا بأن البدعة الدينية ضلالة – وهذا حق – وحكموا بأن البدعة الدنيوية لا شيء فيها قد أساءوا الحكم لأنهم بهذا قد حكموا على كل بدعة دنيوية بالإباحة وفي هذا خطر عظيم ، وتقع به فتنة ومصيبة ، ولا بد حينئذ من تفصيل واجب وضروري للقضية ، وهو أن يقولوا : إن هذه البدعة الدنيوية منها ما هو خير ومنها ما هو شر كما هو الواقع المشاهد الذي لا ينكره إلا أعمى جاهل
Dan itu semua nampak jelas ketika mereka menghukum bid’ah diniyyah (urusan agama) sesat, itu memang benar, dan menvonis bid’ah dunyawiyyah tidak ada sanksi apa-apa, itu berarti mereka telah menciptakan hukum yang buruk. Karena mereka telah berani sekali menjatuhkan vonis setiap bid’ah dunyawiyyah dibolehkan. Inilah bahaya besar yang akan menjadi fitnah dan musibah bagi dunia Islam. Saat itulah sangat dibutuhkan suatu perincian masalah, mana yang wajib dan dharury, yang selayaknya mereka berkata: ‘bid’ah dunyawiyyah ada yang baik ada juga yang jelek sebagaimana realitas yang disaksikan yang tidak mungkin diingkari kecuali oleh orang buta dan jahil.
Mereka yang salah memahami tentang perkara bid’ah , pada umumnya berpendapat setiap perkara yang tidak dicontohkan oleh para Sahabat maupun Rasulullah adalah pasti bid’ah sayyiah atau bid’ah dholalah
Pendapat tersebut tentulah keliru. Contohnya ratib Al Haddad , tentulah para Sahabat tidak pernah membaca ratib Al Haddad karena untaian doa dan dzikir ratib Al Haddad dibuat oleh Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad sekitar 1071 H namun ratib Al Haddad tidak termasuk bid’ah sayyiah ataupun bid’ah dholalah
Segala perkara di luar perkara syariat atau diluar dari apa yang telah disyariatkanNya yakni perkara kebiasaan atau adat berlaku kaidah ushul fiqih, “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan (adat) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh)
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh)
Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah: 29)
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah: 13)
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman: 20)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya. Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.
Begitupula kaidah yang serupa berbunyi
Laa tusyro’u ‘ibadatun illaa bi syar’illah, wa laa tuharramu ‘adatun illaa bitahriimillah…
“Tidak boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyariatkan oleh Allah; dan tidak dilarang suatu adat atau kebiasaan kecuali yang diharamkan oleh Allah.”
Contoh lainnya
Kebiasaan atau membiasakan bersededekah untuk anak yatim setiap hari Jum’at sebelum sholat jum’at adalah kebiasaan yang baik karena memang tidak ada dalil yang melarangnya.
Kebiasaan atau membiasakan membaca surah Yasin setiap malam Jum’at bukanlah bid’ah dalam urusan agama namun kebiasaan yang baik karena tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Begitupula para Sahabat melakukan kebiasaan atau membiasakan puasa sunnah setiap bulannya melebihi apa yang dicontohkan oleh Rasulullah yang hanya 3 hari dalam sebulan adalah kebiasaan yang dibolehkan karena memang tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Syahin Al Washithiy telah menceritakan kepada kami Khalid bin ‘Abdullah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abu Qalabah berkata, telah mengabarkan kepada saya Abu Al Malih berkata; Aku dan bapakku datang menemui ‘Abdullah bin ‘Amru lalu dia menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikabarkan tentang shaumku lalu Beliau menemuiku. Maka aku berikan kepada Beliau bantal terbuat dari kulit yang disamak yang isinya dari rerumputan, lalu Beliau duduk diatas tanah sehingga bantal tersebut berada di tengah antara aku dan Beliau, lalu Beliau berkata: Bukankah cukup bagimu bila kamu berpuasa selama tiga hari dalam setiap bulannya? ‘Abdullah bin ‘Amru berkata; Aku katakan: Wahai Rasulullah? (bermaksud minta tambahan) . Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Lima hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Tujuh hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sembilan hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sebelas hari. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Tidak ada shaum melebihi shaumnya Nabi Daud Aalaihissalam yang merupakan separuh shaum dahar, dia berpuasa sehari dan berbuka sehari. (HR Bukhari 1844).
Jadi ketika kita hendak melakukan suatu kebiasaan atau adat yang menurut pengetahuan kita tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka kita cari adakah larangannya dalam Al Qur’an dan As Sunnah atau bertentangankah dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Setiap perkara kebiasaan atau adat yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , kita tetapkan hukum perkaranya kedalam hukum taklifi yang lima yakni wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh, haram. Barulah kita memutuskan melakukan atau tidak melakukannya. Perbuatan ini termasuk dzikrullah atau mengingat Allah
Al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam.
أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]
Di dalam kitab “Qawa’idul Ahkam fi Mashalihul Anam” karya Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam (wafat 660 H/ 1262 M) cetakan “Al-Maktabah Al-Husainiyah” Mesir tahun 1353 H / 1934 M juz 2 halaman 195 diterangkan sebagai berikut:
Artinya: “Bid’ah adalah suatu pekerjaan yang tidak dikenal di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Bid’ah terbagi ke dalam 5 bagian, yaitu: 1. Bid’ah Wajib, 2. Bid’ah Haram, 3. Bid’ah Sunnah, 4. Bid’ah Makruh, dan 5. Bid’ah Mubah.
Adapun cara untuk mengetahui kelima bid’ah tersebut adalah engkau harus menjelaskan tentang bid’ah berdasarkan atas kaedah-kaedah hukum syara’.
Maka seandainya engkau masuk di dalam kaedah-kaedah tentang kewajiban bid’ah, maka disebut bid’ah wajib.
Seandainya engkau masuk di dalam kaedah-kaedah tentang keharaman bid’ah, maka disebut bid’ah haram.
Seandainya engkau masuk di dalam kaedah-kaedah kesunnahan bid’ah, maka disebut bid’ah sunnah.|
Seandainya engkau masuk di dalam kaedah-kaedah kemakruhan bid’ah, maka disebut bid’ah makruh.
Seandainya engkau masuk di dalam kaedah-kaedah kebolehan bid’ah, maka disebut bid’ah mubah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda adanya sunnah hasanah dan sunnah sayyiah
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ وَأَبِي الضُّحَى عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِيِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ نَاسٌ مِنْ الْأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ الصُّوفُ فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَةٌ فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ قَالَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir bin ‘Abdul Hamid dari Al A’masy dari Musa bin ‘Abdullah bin Yazid dan Abu Adh Dhuha dari ‘Abdurrahman bin Hilal Al ‘Absi dari Jarir bin ‘Abdullah dia berkata; Pada suatu ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu Rasulullah memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan. Selain itu, mereka pun sangat membutuhkan pertolongan. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para sahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk melaksanakan anjuran Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau. Jarir berkata; ‘Tak lama kemudian seorang sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang turut serta menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Kata sunnah dalam sunnah hasanah dan sunnah sayyiah bukan berarti sunnah Rasulullah karena tidak ada sunnah Rasulullah yang sayyiah (jelek).
Kata sunnah dalam sunnah hasanah dan sunnah sayyiah artinya contoh atau suri tauladan atau perkara kebiasaan yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya atau perkara baru (bid’ah) dalam kebiasaan (adat)
Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-pokok syar’i “ maksudnya perbedaan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits
Sunnah Hasanah (baik) adalah contoh, suri tauladan, perkara baru (bid’ah) dalam perkara kebiasaan (adat) yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits
Sunnah Sayyiah (buruk) adalah contoh, suri tauladan, perkara baru (bid’ah) dalam perkara kebiasaan (adat) yang menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Berikut pendapat Imam Syafi’i ra
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyelahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Contoh bid’ah hasanah atau perkara baru (bid’ah) dalam perkara kebiasaan (adat) yang paling terkenal adalah peringatan Maulid Nabi.
Peringatan Maulid Nabi bukan termasuk bid’ah dalam urusan agama (urusan kami) namun bid’ah dalam perkara kebiasaan yang baik atau bid’ah hasanah
Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi): “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“.
Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah, dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi shallallahu alaihi wasallam”
Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.
Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok. Begitupula memperingati hari kelahiran diri sendiri dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di akhirat kelak adalah bukan perkara dosa atau terlarang.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Kemungkinan terjadi kesalahan adalah cara kita mengisi peringatan Maulid Nabi atau cara kita mengisi peringatan hari kelahiran itu sendiri seperti janganlah berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan.
Sedangkan peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini
Kullu Bid’atin Dholalah
Semua bid’ah adalah sesat
Bid’ah=Sesat
Sesat ada 2.
sesat baik dan sesat buruk.
logika anak SD bahkan TK aja paham.
awalnya dan intinya, istilah bid’ah dan musyirik dijadikan senjata untuk memecahbelah islam, sedangkan kata kafir sebagai pembenaran untuk membunuh islam lainnya, demi uang dan kekuasaan. jadi percuma menerangkan panjang lebar ini itu hadis dalil, segala rupa, buktinya yang jelas jelas non islam, aman aman aja tu….
di arab saudi aja tempat pelacuran tumbuh subur.. jadi rahasia umum.. para tkw pulangnya bawa anak dan uang. kadang pulangnya dalam keadaan hamil.
IZIN BAGI-BAGI ILMU…
Sepertinya tidak tepat jika ada yang meyakini bid’ah secara syar’i itu sesat tiada bid’ah hasanah itu adalah dari kelompok ‘salafi’, ‘wahabi’, ‘takfiri, ‘tanduk setan’, atau apalah. Apalagi kalau ada komentator yang mulai terlihat kritis untuk menanggapi artikel mutiarazuhud di atas buru-buru dianggap bahwa komentator tsb telah termakan ghazwul fikiri zionis yahudi, dsb.
Saya berbagi ilmu mengenai persoalan bid’ah, terutama dalam pendefinisian syar’i dan perkataan ulama ahlussunnah (ahlussunnah lo) dlam menanggapi istilah ‘bid’ah hasanah’nya umar Ra dalam shalat tarawih atau pembagian 2 bid’ah (hasanah dan sayyiah) oleh imam syafi’i.
Penjelasan tsb sangat penting karena banyak temen-temen yang menetapkan bid’ah hasanah dengan makna syar’i dengan argumen dua tokoh di atas, dan menuduh ‘kelompok wahabi-salafi’ bersebrangan dengan 2 tokoh tsb. Benarkah demikian? Mari kita bahas…
DEFINISI BID’AH
kalau secara bahasa sudah jelas lah ya, artinya ‘baru’, atau ‘sesuatu yang belum ada contoh sebelumnya’, bisa telusuri definisi tsb di “mbah google”.
Secara syar’i? saya lebih sreg dengan definisi yang diuraikan oleh Imam syathibi dalam kitabnya “al-i’tishom” (1/37):
Imam As-Syathibi rahimahullah berkata:
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهيِ الشَّرِيْعَةَ يُراَدُ بِا لسُّلُوْكِ عَلَيْهاَ مُبَالَغَةً فِي التَّعَبُّدِ أَوْ ماَ يُراَدُ باِلطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
“Bid’ah adalah suatu cara di dalam agama yang diada-adakan (baru) menyerupai syari’at dan dimaksudkan dalam melakukannya, untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah, atau memiliki tujuan seperti tujuan syari’at.”
Perhatikan ucapan beliau :Bid’ah adalah suatu cara di dalam agama yang diada-adakan (baru)…”ini menandakan bahwa yang dinyatakan bid’ah yang sesat hanya berlaku pada sesuatu yang diada-adakan di dalam agama, bukan dunia. Jadi pengadaan sarana transportasi, penemuan-penemuan baru pada bidang IPTEK atau sesuatu yang bersifat duniawi bukanlah bid’ah yang dimaksud oleh Nabi.
Perhatikan kembali ucapan beliau selanjutnya:”…MENYERUPAI SYARI’AT…” pernyataan inilah yang menjadi pembatas antara ‘bid’ah’ dan ‘wasilah’, karena bid’ah itu hanya terjadi pada suatu perkara yang menyerupai syari’at, berupa persoalan-persoalan ta’abbudiyyah (peribadatan) yang meliputi perkara aqidah, ibadah maupun muamalah. Inilah yang menjadi ruang lingkup pembahasan dalam persoalan bid’ah.
Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah kasus 3 orang ahli ibadah yang bersemangat dalam beribadah pada masa nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Hadits Anas bin Malik ra:
جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ ‘إَلىَ بُيُوْتِ أَزْواَجِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَدْ غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ تَأَ خَرَ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا فَإِنِّيْ أُصَلِّيْ الَّيْلَ أَبَدًا, وَقَالَ آخَرَ؟ أَنَا أَصُوُمُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ, وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا, فَجَاءَ رَسُلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ: أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّيْ لأَخْشَاكُمْ لِلّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّيْ أَصُوُمُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّيْ وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ
“Ada tiga orang mendatangi istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka bertanya tentang bentuk ibadah yang dilakukan beliau. Setelah para istri Nabi menjelaskannya,seketika itu mereka berkata kepada diri mereka sendiri,’Apa artinya kedudukan kita dibanding dengan kedudukan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan dosa-dosa beliau yang lalu dan yang akan datang telah diampuni?’ Lantas salah seorang diantara mereka berkata,’Saya akan shalat malam selama-lamanya.’ Yang lain berkata,’Saya akan shiyam terus-menerus tanpa berbuka.’ Dan yang lainnya berkata,’Saya akan membujang dan tidak akan menikah (untuk mendekatkan diri kepada Allah) selamanya’. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam datang dan bersabda,’kaliankah yang mengatakan ini dan itu? Ketahuilah demi Allah saya adalah manusia yang paling takut dan bertakwa kepada Allah, tapi saya juga shiyam dan berbuka, bangun shalat dan tidur, selain itu saya juga menikah. Maka barangsiapa yang membenci sunnahku dia bukan golonganku.”(HR. Al-Bukhari)
Kalau kita perhatikan mereka, ketiga orang tersebut menghendaki kebaikan, bahkan sama sekali mereka tidak menghendaki keburukan, akan tetapi mereka telah melakukan syari’at-syari’at baru dalam beragama yang tidak ditetapkan syariat. Apakah perkataan salah seorang dari mereka “Saya akan menjauhi para wanita” karena ia lemah syahwat??, tentu tidak, namun tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Perkataan salah seorang dari mereka “Saya akan sholat malam selama-lamanya” menunjukan ia akan sungguh-sungguh bermujahadah melawan hawa nafsunya demi beribadah sujud kepada Allah.
Bukankah ibadah shalat, puasa dan bermujahadah yang dilakukan oleh para shahabat di atas secara asal (ashlun) ada perintahnya di dalam Islam? Namun demikian, Nabi sama sekali tidak memberi kesempatan kepada mereka. Nabi tidak memandang niat baik mereka, karena amal yang hendak mereka lakukan tidak sebagaimana yang disunnahkan Nabi. Bahkan Nabi membantah perkataan mereka satu persatu, beliau berkata “aku berpuasa dan berbuka” untuk membantah perkataan orang yang pertama, “aku sholat (yaitu sholat malam) dan tidur” untuk membantah perkataan orang yang kedua, “dan aku menikahi para wanita” untuk membantah perkataan orang yang ketiga, kemudian Nabi mengakhiri bantahannya dengan perkataannya yang keras, “Barangsiapa yang MEMBENCI sunnahku maka ia bukan golonganku”
BEGINILAH CARA KITA MEMAHAMI KARAKTER BID’AH, SESUATU KETETAPAN DALAM AGAMA YANG DIADA-ADAKAN, MENYERUPAI SYARI’AT, DAN DILAKUKANNYA UNTUK BERSUNGGUH-SUNGGUH DALAM BERIBADAH.
Melakukan syari’at-syari’at baru pun bisa kita temui di dalam aktifitas keberagamaan yang dilakukan oleh kaum muslimin, contohnya adalah mereka melaksanakan wirid – wirid bid`ah:
– Barang siapa yang mau tidak mempan di bacok, maka dia harus membaca ayat ini “( وإذا بطشتم بطشتم جبّارين) الشعرى :131
Sebanyak 41 pada setiap sesudah solat.
-. Barangsiapa membaca Shalawat Nariyah 4444 kali dengan niat agar kesusahannya dihilangkan, niscaya akan terpenuhi
-. Atau melakukan amalan-amalan seperti: puasa mutih, puasa ngebleng, puasa mati geni, wirid-wirid untuk mendapatkan kekuatan supra natural dan pesugihan dan semacamnya.
Termasuk di dalamnya adalah perayaan Maulid Nabi, karena melakukan acara perayaan telah menjadi sesuatu yang dibicarakan di dalam syari’at, dan syari’at membatasinya dengan dua perayaan saja: ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul adha.
Hal-hal semacam inilah yang dibid’ahkan dalam agama, menyerupai syari’at dan memiliki tujuan seperti tujuan syari’at.
Sekarang, jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.Apakah media elektronik maupun massa (seperti TV, internet, speaker, majalah, koran, dll) yang digunakan sebagai sarana berdakwah pada zaman ini bisa dikatakan menyerupai syari’at sehingga disebut bid’ah secara syar’i?
2. Apakah sarana transportasi pada zaman ini yang digunakan untuk memudahkan seseorang dalam melakukan perjalanan
ibadah haji bisa dikatakan menyerupai syari’at sehingga disebut bid’ah secara syar’i?
3. Apakah peristiwa pengumpulan dan pembukuan al-Qur’an yang terjadi pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq bisa dikatakan menyerupai syari’at sehingga bisa disebut bid’ah secara syar’i?
Jika kita memahami karakter bid’ah yang didefinisikan oleh Imam Syathibi di atas tentu akan kita katakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut tidak masuk ke dalam kriteria “menyerupai syari’at” sehingga tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah.
Seseorang yang berdakwah menggunakan TV, Radio, Internet, atau melakukan perjalanan ibadah haji menggunakan paspor, pesawat, dan semacamnya tentu sarana yang digunakan adalah semata-mata UNTUK MEMUDAHKAN dalam melaksanakan aktifitas keagamaan, bukan karena adanya keutamaan khusus terhadap sarana yang digunakan.
Demikian pula saat para shahabat mengadakan pengumpulan al-Qur’an adalah bersifat DHARURAT, mereka melakukannya semata-mata untuk MENJAGA al-Qur’an agar terpelihara keberadaannya. Hal inilah yang biasa disebut oleh ulama ushul sebagai Maslahat Musrasalah.
MASLAHAH MURSALAH SANGAT BERBEDA DENGAN BID’AH, SEBAB MASLAHAT MURSALAH TIDAKLAH DILAKUKAN MELAINKAN KARENA SEMATA-MATA SEBAGAI SARANA DALAM MENJAGA DAN MELAKSANAKAN PERKARA YANG WAJIB ATAU MENGHINDARKAN SUATU KERUSAKAN.
SEDANGKAN BID’AH ADALAH ”SYARI’AT BARU” YANG MENYAINGI SYARI’AT ALLAH DALAM MASALAH PERIBADATAN YANG MELIPUTI AQIDAH, IBADAH, DAN MUAMALAH.
Tentang bid’ah pembahasannya ada pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/11/12/pengeculian-bidah/
IMAM SYAFI’I MENETAPKAN ADANYA BID’AH HASANAH?
Sampai disini, mungkin di sebagian kalangan ada yang masih mempersoalkan tentang penetapan “Semua Bid’ah itu Sesat”. Biasanya mereka mengemukakan perkatan Imam Syafi’iy (salah satu ulama madzhab ahlussunnah) dalam menetapkan pembagian bid’ah menjadi dua bagian; Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.
Berdasarkan pembagian bid’ah di atas mereka pun meyimpulkan bahwa tidaklah semua bid’ah itu sesat, dalam artian adanya pengecualian terhadap hadits Nabi “Kullu bid’atin dhalalah-setiap bid’ah itu sesat” lalu mereka berargumen dengan ucapan Imam syafi’iy tersebut.
Bisa dikatakan bahwa sesungguhnya mereka yang berargumen dengan ucapan imam syafi’iy untuk memberikan pengecualian terhadap sabda Nabi “setiap bid’ah itu sesat’ hanyalah berdiri di atas KESALAHPAHAMAN DAN KEKELIRUAN YANG TERUS DIULANG-ULANG.
Kami katakan:Imam syafi’i saat menetapkan pembagian bid’ah di atas pada hakikatnya beliau tidak sedang memberikan pengeculian terhadap sabda Nabi. Imam syafi’i hanya melakukan pembagian bid’ah hanya dari sisi Lughoh (bahasa) saja, bukan makna syar’i. Pesoalan ini telah didudukkan oleh Imam Ibnu Rajab al Hambali Rahimahulloh di dalam kitabnya “JAM’UL ‘ULUM WAL HIKAM, Hadits no. 28). beliau mengatakan:
وَمُرَادُ الشَّافِعِي رَحِمَهُ اللهُ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ قَبْلِ أَنَّ أَصْلَ البِدْعَةُ المَذْمُوْمَةُ مَا لَيْسَ لَهَا أَصْلٌ فِي الشَّرِيْعَةِ تُرْجَعُ إِلَيْهِ وَهِيَ البِدْعَةُ فِي إِطْلاقِ الشَّرْعِ وَأَمَّاالْبِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ يَعْنِي مَا كَانَ لَهَا أَصْلٌ مِنَ السُّنَّةِ تُرْجَعُ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا هِيَ بِدْعَةٌ لُغَةً لا شَرْعًا لِمُوَافَقَتِهَا السُّنًّةُ
“Yang dimaksud oleh Imam Syafi’iy rahimahullah mengenai apa yang telah kami kemukakan, bahwasannya asal bid’ah yang tercela adalah apa-apa yang tidak mempunyai asal dalam syari’at sebagai tempat kembali kepadanya, dan inilah yang dimaksud “bid’ah” menurut syari’at. Adapun “bid’ah mahmudah (yang baik) yakni yang sesuai dengan sunnah, yaitu apa-apa yang ada asalnya berupa sunnah sebagai tempat merujuk kepadanya, dan yang dimaksudkan oleh beliau tersebut hanyalah merupakan pengertian bid’ah secara “bahasa”, bukan menurut syara’ sebab ia sesuai dengan sunnah.”
Ibnu Hajar Asqalani pun menegaskan bahwa bid’ah secara syar’i hanya dimaknai sebagai kesesatan saja, adapun secara lughoh (bahasa) tdk. Beliau mengatakan d dalam kitab Fathul Baari (Jilid 13, bab “Kitabul I’tishom”, hlm.291-292):
اَلْبِدَعُ فَهُوَ جَمْعُ بِدْعَةٍ وَهِيَ كُلُّ شَيْءٍ لَيْسَ لَهُ مِثَالٌ ثَقَدَّمَ, فَيَشْمَلُ لُغَةً ماَ يُحْمَدُ وَ يُدَمُّ, وَيَخْـتَصُّ فِيْ عُرْفِ أَهْلِ الشَّرْعِ بِمَا يُذَمُّ, وَإِنْ وَرَدَتْ فِيْ الْمَحْمُوْدِ فَعَلَى مَعْنَا هاَ اللُّغَوِى
“Al-Bida’ adalah jama’ dari bid’ah, yaitu setiap sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Secara bahasa bid’ah itu mencakup yang tepuji dan tercela. Dan terkhusus dalam istilah ahli syar’iy bid’ah diartikan sesuatu yang tercela. Adapun jika ada yang baik, maka makna bid’ah tersebut hanya secara bahasa.”
Pada halaman sebelumnya (hlm. 267) Ibnu Hajar mengutip pernyataan imam syafi’i atas pembagian bid’ah. Ini sekaligus menegaskan bahwa ketika beliau mengutip pernyataan imam syafi’i atas pembagian bid’ah itu hanya dimaknai dengan bidah secara bahasa.
BAGAIMANA TANGGAPANNYA?
KOMENTAR PARA ULAMA MENGENAI UCAPAN UMAR:
Mengenai ucapan Umar (ni’matul bid’ah hadzihi) pada kasus shalat tarawih, maka para ulama ahlussunnah telah mendudukkan persoalan tsb:
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
اَلْبِدْعَةُ عَلَى قِسْمَيْنِ تَارَةً تَكُوْنُ بِدْعَةً شَّرْعِيَّةً كَقَوْلِهِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَتَارَةً تَكُوْنُ بِدْعَةً لُغَوِيَّةً كَقَوْلِ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عُمَرُ بْنِ الْخَطَابِ عَنْ كَمْ إِيَّاهُمْ عَلَى صَلاَةِ التَّرَاوِيْحِ وَاسْتِمْرَارِهِمْ نِعْمَتُ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Bid’ah itu ada dua macam: terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menurut syara’/istilah, seperti sabda beliau: “Karena sesungguhnya setiap perkara yang dibuat- buat (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat” Terkadang bid’ah tersebut adalah bid’ah menurut bahasa, sebagaimana perkataan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab mengenai perbuatannya ketika mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih (berjama’ah) dan secara kontinyu:”inilah sebaik-baik bid’ah” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat:118.)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
وَأَمَّا مَا وَقَعَ فِي كَلَامِ السَّلَفِ مِنْ اِسْتِحْسَانِ بَعْضُ الْبِدَعِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ فِي الْبِِدَعِ اللُّغَوِيَّةِ لَا الشَّرْعِيَّةِ فَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لمَاَّ جَمَعَ النَّاسُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ عَلَى إِمَامٍ وَاحِدٍ فِي الْمَسْجِدِ وَخَرَجَ وَرَآهُمْ يُصَلُّوْنَ كَذَلِكَ فَقَالَ نِعْمَتُ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَمُرَادُهُ أَنَّ هَذَا الْفِعْلُ لَمْ يَكُنْ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ قَبْلَ هَذَا الْوَقْتِ وَلَكِنْ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرِيْعَةِ يُرْجَعُ إِلَيْهَا
“Adapun apa yang terdapat pada perkataan para ulama salaf mengenai adanya anggapan baik terhadap sebagian bid’ah maka yang dimaksud adalah bid’ah lughawiyyah (menurut bahasa), bukan syar’iyyah (menurut istilah agama). Di antaranya adalah perkataan Umar: “Inilah sebaik-baik bid’ah.” Maksudnya adalah bahwa perbuatan tersebut belum ada dengan cara demikian pada saat itu, namun sebelumnyaia mempunyai asal dari syari’at yang dijadikan rujukan.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hadits no. 28.)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Paling jauh dalam hal bahwa Umar menyebutkan sebagai bid’ah yang dianggap baik, namun merupakan penamaan menurut tinjauan bahasa saja, bukan menurut syara’. Karena “bid’ah” dalam pengertian bahasa meliputi segala apa yang dikerjakan pertama kali tanpa mempunyai contoh sebelumnya. Adapun bid’ah menurut syara’ adalah segala sesuatu yang tidak ada dalilnya dalam syara’. (Lihat Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.272)
Muhammad Rasyid Ridho rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya kata bid’ah itu digunakan dalam dua makna:1) Penggunaan secara “bahasa, maknanya adalah sesuatu yang baru yang beliau ada contoh sebelumnya. Menurut makna ini, maka benarlah perkataan mereka yang menyatakan bahwa bid’ah itu bisa dihukum dengan lima (5)hukum syari’at (wajib, sunnah, dst). Di antaranya adalah perkataan Umar saat mengumpulkan orang-orang untuk bermakmum kepada satu imam dalam shalat tarawih:”ini sebaik-baik bid’ah.
2) dalam pengertian syar’i (agama). Maknanya adalah segala sesuatu dari urusan agama yang beliau pernah diajarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pada masa beliau,seperti dalam masalah-masalah aqidah, ibadah dan pengharaman sesuatu yang syar’i. inilah yang terdapat dalam hadits:
فَإنَّ َكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Karena sesungguhnya setiap perkara yang dibuat-buat (dalam agama) itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”
Dan bid’ah menurut syara’ ini yang ada hanyalah kesesatan belaka….” (Lihat Tafsir al-Manar, IX/660)
Sebaiknya janganlah mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah
Berikut adalah nasehat para ulama tentang ajaran Wahabi yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah
Al-Imam Al-Amir Muhammad bin Ismail Ash-Shon’ani (Penulis Kitab Subulus Salam syarah Bulughul Marom, Yaman) Beliau meralat pujiannya kepada Muhammad bin Abdul Wahhab yang sebelumnya dimuat pada Diwan Ash-Shon’ani, hal 128-129, sebagaimana dalam Majmu’atur Rosaail At-Taujihaat Al-Islamiyah Li Ishlahil Fardi wal Mujtama’, 3/239
Gubahan bait-bait Ash Shon’ani ini sangat masyhur dan tersebar kemana-mana. Maklum, Al Allamah Ash Shon’ani dikenal sebagai ulama besar yang zuhud, wara’ dan alim. Karangannya yang amat masyhur adalah Subulus Salam, syarh kitab Bulughul Marom
Setelah qasidah itu tersebar kemana-mana, para ulama menegur Ash-Shon’ani, beliau pun diam mempertimbangkan. Apakah aku telah memuji orang yang salah?
Adalah Syaikh Marbad bin Ahmad At Tamimi, yang atas kehendak Allah menyingkap tabir, datang ke Yaman, bertemu dengan Imam Al Amir Ash shon’ani, dan menjelaskan semua.
Bahkan sebelumnya, juga datang dari najd bernama Syeikh Abdurrahman An Najdi menjelaskan tentang ulama Muhammad bin Abdul Wahhab. Kedatangan dua ulama Nejd ini telah mengungkapkan kenyataan di hadapan Iman Ash Shon’ani.
Imam Al Amir Ash shon’ani pada akhirnya menasehatkan Muhammad bin Abdul Wahhab untuk tidak mentaklidi orang tidak patut untuk ditaklidi seperti Ibnu Taimiyyah dan pengikutnya Ibnu Qoyyim Al Jauziah
**** awal kutipan *****
Telah datang kepadaku, seorang alim dari Najd bernama Marbad bin Ahmad At Tamimi. Dia tiba bulan Shofar tahun 1170 H dan tinggal di negeri kami selama 8 bulan. Dia kembali ke negerinya bulan Syawal tahun 1170 bersama dengan jamaah haji. Dia mengabariku, bahwa bait-bait qasidahku telah disampaikan kepada Muhammad bin Abdul Wahab, namun dia hanya diam tak menjawab
Sebelumnyanya, pernah datang juga kepadaku, Asy Syaikh al Fadhil Abdurrahman An Najdi. Dia bercerita kepadaku tentang Muhammad bin Abdul Wahab banyak hal. Suka menumpahkan darah, perampokan, pembunuhan dan tudingan kafirnya pada umat nabi Muhammad di mana-mana. Aku diam memikirkan apa yang disampaikan Syaikh Abdurrahman, hingga datanglah Marbad at Tamimi membawa beberapa pernyataan Muhammad bin Abdul Wahab
Semua menjadi jelas bagiku, tampaknya Muhammad bin abdul Wahab ini orangnya baru mengenal syari’at baru setengah, tak melihat secara teliti. Tak mau belajar dari orang yang telah berjasa padanya (ayahnya yakni syeikh Abdul Wahab) membimbingnya dan mengajarinya ilmu yang bermanfaat.
Sebaliknya, dia malah mempelajari tulisan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan bertaklid buta pada keduanya, padahal mereka berdua tidaklah layak ditaklidi.
Saat telah jelas bagiku tentang pribadi Muhammad bin Abdul Wahab, dan telah kulihat ucapan-ucapannya, bagaimana ketika bait-baitku telah sampai padanya, dia berusaha mengelak dari apa yang kusampaikan, kulihat tanggapannya atas perkataanku, adalah jawaban yang jauh dari keinsafan.
***** akhir kutipan ******
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkamal-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat.
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy) berkata ” Maka berhati-hatilahkamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telahAllah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Para ulama ahlus sunnah terdahulu juga telah membantah pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yang telah banyak menyelisihi pendapat para ulama terdahulu yang mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana contohnya termuat pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/kontrofersi-paham-taimiyah/
Sebagaimana tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahimsebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendakmengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyimal-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Kabar yang lain dari Malaysia tentang pemahaman Wahhabi
Taklimat tentang Fahaman Wahhabiy anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Abdullah Jalil dari USIM
Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy Dan Ancamannya Terhadap Aqidah Umat Islam anjuran Jabatan Mufti Negeri Sembilan disampaikan oleh Ustaz Zamihan al-Ghari
Ucapan pengangguhan oleh SS Dato’ Haji Mohd Yusof Bin Hj Ahmad, Mufti Negeri Sembilan dalam Taklimat Khas Fahaman Wahhabiy
Bedah buku terbaru tulisan Ustaz Zamihan al-Ghari bertajuk “Penyelewengan Fahaman Tajsim Wahhabiy” membongkar segala permasalahan Aqidah Tajsim Wahhabiy.
Begitupula sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/11/18/fatwa-terhadap-wahabi/ bahwa mufti Negeri Perak, Malaysia telah mengeluarkan fatwa terhadap ajaran Wahabi sebagaimana yang termuat pada http://mufti.perak.gov.my/perkhidmatan/e-book/372-fatwa-penegahan-menyebarkan-aliran-dan-dakyah-wahabiah.html
Ngomong2 kalau ingin tau masalah tahlilan, yasinan dan semacamnya bisa datangi ke situs milik ust firanda andirja: firanda.com
Insya Allah beliau siap diskusi terbuka jika memang diperlukan dan bermanfaat sebagai bentuk amanat ilmiah beliau dalam mempertanggung jawabkn tulisannya. Salah satu contohnya ust firanda siap debat terbuka dengan ust idrus ramli terkait dngan persoalan bid’ah (terutama masalah tahlilan). Pernyataan beliau bisa dilihat di situs pribadinya.
semoga info ini bermanfaat.
Sebaiknya janganlah mengambil ilmu dari para pendusta sebagaimana yang diingatkan oleh
http://tukpencarialhaq.com/2013/11/05/parodi-rodja-bagian-14-firanda-rodja-tu-khang-bo-hong/
http://tukpencarialhaq.com/2013/02/24/parodi-rodja-go-liat-cs-geli-at/
http://tukpencarialhaq.com/2013/07/14/parodi-rodja-bag-10-beking-dakwah-halabiyun-firanda-adalah-pendusta-besar/
http://tukpencarialhaq.com/2013/05/06/parodi-rodja-bag-6-caldok-firanda-dedengkot-halabiyun-rodja-lindungi-arur-yang-sesat/
Pembahasan mengapa mereka berselisih ada dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/15/istinbat-dan-perselisihan/ dan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/16/ustadz-manhaj-salaf/
Mutiara Zuhud :Ibadah Ghairu Mahdah
Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya. Hmmm benar nih definisnya ya? Dzikir bukannya Ibadah Mahdah kan,sejak kapan jadi ibadah ghairah mahdah? Sedangkan klo belajar dan tolong-menolong klo gak diniatkan karena Allah ya jadi mubah kan masuk dalam kaidah asal muamalat adalah mubah.
Mas Dwi sebagaimana contoh tulisan pada http://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairu-mhadhah/ dijelaskan bahwa prinsip-prinsip ibadah ghairu mahdhah
1. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.
2. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
3. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan
4. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan.
Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)
Sedangkan dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Jadi kita boleh berdzikir sebagaimana kita inginkan selama tidak melanggar laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Berikut contoh perkara baru (bid’ah atau muhdats) dalam perkara kebiasaan yang tidak terlarang (bid’ah atau muhdats yang baik) atau kebiasaan-kebiasaan Salafush Sholeh walaupun tidak dicontohkan atau dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam namun bukan perkara terlarang karena tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Para Sahabat ada yang mempunyai kebiasaan membaca surah al Ikhlas sehingga Sahabat yang lain mempertanyakan kebiasaan yang tidak dicontohkan tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb telah menceritakan kepada kami Amru dari Ibnu Abu Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman menceritakan kepadanya dari Ibunya Amrah binti Abdurrahman yang dahulu dalam asuhan Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki tersebut membaca untuk sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD (Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga dengan surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tolong tanyailah dia, mengapa dia berbuat sedemikian? ‘ Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, ‘Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR Bukhari 6827)
Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu membaca surat Al Ikhlas, setiap sholat ia selalu membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya. Ada orang yang mengadukannya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu? Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” , Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
Jadi kebiasaan membaca surat al ikhlas sebagaimana yang dilakukan oleh Sahabat di atas adalah termasuk ibadah ghairu mahdhah, BB + KA = berbuat baik dan karena Allah
Alasannya dilakukan kebiasaan tersebut bersifat rasional dan azasnya manfaat dan tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah yakni
‘Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya.
Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” , Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
Kebiasaan membaca surat al ikhlas dalam sholat sebagaimana yang dilakukan oleh Sahabat di atas tidak melanggar satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Dalam riwayat berikut, contoh para Sahabat melakukan tidak sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam berpuasa sunnah dalam sebulan yakni melebihi tiga hari.
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Syahin Al Washithiy telah menceritakan kepada kami Khalid bin ‘Abdullah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abu Qalabah berkata, telah mengabarkan kepada saya Abu Al Malih berkata; Aku dan bapakku datang menemui ‘Abdullah bin ‘Amru lalu dia menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikabarkan tentang shaumku lalu Beliau menemuiku. Maka aku berikan kepada Beliau bantal terbuat dari kulit yang disamak yang isinya dari rerumputan, lalu Beliau duduk diatas tanah sehingga bantal tersebut berada di tengah antara aku dan Beliau, lalu Beliau berkata: Bukankah cukup bagimu bila kamu berpuasa selama tiga hari dalam setiap bulannya? ‘Abdullah bin ‘Amru berkata; Aku katakan: Wahai Rasulullah? (bermaksud minta tambahan) . Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Lima hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Tujuh hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sembilan hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sebelas hari. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Tidak ada shaum melebihi shaumnya Nabi Daud Aalaihissalam yang merupakan separuh shaum dahar, dia berpuasa sehari dan berbuka sehari. (HR Bukhari 1844).
Jelaslah berpuasa sunnah lebih dari tiga hari dalam sebulan bukanlah perkara terlarang walaupun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan tiga hari dalam sebulan.
Begitupula kaum muslim melaksanakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan bukanlah perkara terlarang walaupun Rasulullah tidak mencontohkan melakukannnya berkesinambungan setiap malam dan meninggalkannya pada beberapa malam agar umat Islam tidak menganggapnya sebagai sebuah kewajiban di bulan Ramadhan.
Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para sahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.”
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270 )
Sehingga kita dapat memahami apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab bahwa melaksanakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam berkesinambungan setiap malam di bulan Ramadhan adalah “Alangkah bagusnya bid’ah ini!”
وَعَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qariy bahwa dia berkata; Aku keluar bersama ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Alangkah bagusnya bid’ah ini!” (atau diterjemahkan juga sebagai “sebaik-baik bid’ah adalah ini” ) (HR Bukhari)
Umar bin Khattab mengatakan sholat taraweh berjama’ah dipimpin seorang Imam adalah bid’ah yang baik pada malam berikutnya karena Beliau tahu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melakukannya berkesinambungan setiap malam.
Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Jadi shalat tarawih berjama’ah yang berkesinambungan setiap malam pada bulan Ramadhan adalah perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yakni kebiasaan yang baik dan berfungsi sebagai syiar Islam
Setiap kebiasaan yang baik atau setiap kebaikan yang dilakukan atas kesadaran sendiri bukan karena diwajibkanNya adalah ibadah ghairu mahdhah.
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Utsman bin Karamah telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal telah menceritakan kepadaku Syarik bin Abdullah bin Abi Namir dari ‘Atho` dari Abu Hurairah menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah (amalan kebaikan) maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Setiap ruas tulang manusia harus disedekahi setiap hari selama matahari masih terbit. Engkau mendamaikan dua orang (yang berselisih) adalah sedekah,menolong seseorang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkatkan barangnya ke atas kendaraan adalah sedekah,kata-kata yang baik adalah sedekah,setiap langkah kaki yang kau ayunkan untuk shalat adalah sedekah,dan engkau menyingkirkan aral dari jalan adalah juga sedekah. “(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah, bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala.(HR Muslim 1674)
Begitupula walaupun Rasulullah mencontohkan memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa hari senin namun kaum muslim boleh memperingatinya dengan kegiatan-kegiatan yang lainnya selama kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa puasa Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya
Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.
Pada hadits yang lain dapat kita ketahui alasan lain puasa Senin dan Kamis
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda, Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Daud 2436)
Jadi kesimpulannya alasan puasa Senin adalah
Hari dilahirkan Rasulullah
Hari diangkat menjadi Rasulullah
Hari diturunkan Al Qur’an
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Alasan puasa Kamis adalah
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula memperingati hari kelahiran diri sendiri dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di akhirat kelak adalah bukan perkara dosa atau terlarang.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermadzhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah.
Al-Imam Abu Syamah menuturkan,
قال الامام أبو شامة شيخ المصنف رحمه الله تعالى: ومن أحسن ما ابتدع في زماننا ما يفعل في كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده (صلى الله عليه وسلم): من الصدقات والمعروف وإظهار الزينة والسرور، فإن ذلك مع ما فيه من الاحسان إلى الفقراء يشعر بمحبة النبي (صلى الله عليه وسلم) وتعظيمه وجلالته في قلب فاعل ذلك، وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسوله الذي أرسله رحمة للعالمين
“merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
Pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah,
قد قال ابن حجر الهيثمي رحمه الله تعالى والحاصل أن البدعة الحسنة متفق على ندبها، وعمل المولد واجتماع الناس له كذلك، أي بدعة حسنة
“walhasil, sesungguhnya bid’ah hasanah itu selaras dengan sebuah kesunnahan, dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid’ah hasanah”
Pendapat Al-Imam Al-Hafidz Al-Qasthalaniy Rahimahullah,
فرحم الله امرءا اتخذ ليالي شهر مولده المبارك أعيادا، ليكون أشد علة على من في قلبه مرض وإعياء داء
“maka Allah akan memberikan rahmat bagi orang-orang yang menjadian Maulid Nabi yang penuh berkah sebagai perayaan…” Kitab Mawahid Al-Ladunniyah (1/148) –Syarh ‘alaa Shahih Bukhari-, karangan Al-Imam AL-Qasthalaniy
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Ali Mustafa Yakub sebagaimana yang telah disampaikan pada http://www.muslimedianews.com/2014/01/imam-besar-masjid-istiqlal-curigai-ada.html mengatakan bahwa “Kalau alasannya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mengerjakan (Maulid Nabi), jadi itu kemudian diharamkan? Maka sekarang haramkan saja umrah di bulan Ramadhan. Kan Nabi gak pernah mengerjakan.”
Kiai Ali Mustafa mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah.
Menurut Kiai Ali Mustafa, peringatan Maulid Nabi masuk wilayah muamalah. “Selama tidak melakukan hal-hal yang mengharamkan, ya boleh-boleh saja.
Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah ta’ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Jadi perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syara’ atau selama tidak menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebaliknya perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika bertentangan atau jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ .
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Begitupula Al-Baihaqi dalam manaqib Asy-Syafi’i (1/469) bahwa beliau berkata:
ﺍَﻟْﻤُﺤْﺪَﺛَﺎﺕُ ﺿَﺮْﺑَﺎﻥِ : ﻣَﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻒُ ﻛِﺘَﺎﺑًﺎ ﺃَﻭْ ﺳُﻨَّﺔً ﺃَﻭْ ﺃَﺛَﺮًﺍ ﺃَﻭْﺇِﺟْﻤَﺎﻋًﺎ ﻓَﻬَﺬِﻩِ ﺑِﺪْﻋَﺔُ ﺍﻟﻀَّﻼَﻝِ, ﻭَﻣَﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻻَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻒُﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻬَﺬِﻩِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻣَﺔٍ
“Perkara yang baru ada dua bentuk: (pertama) apa yang diada-adakan dan menyelisihi kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’, inilah bid’ah yang sesat. dan (yang kedua) apa yang diada-adakan berupa kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatupun dari hal tersebut, maka inilah perkara baru yang tidak tercela”.
Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata
ﺍَﻟْﺒِﺪْﻋَﺔُ ﺑِﺪْﻋَﺘَﺎﻥِ : ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩَﺓٌ ﻭَﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻣَﺔٌ, ﻓَﻤَﺎ ﻭَﺍﻓَﻖﺍﻟﺴُّﻨَّﺔَ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩٌ ﻭَﻣَﺎ ﺧَﺎﻟَﻒَ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔَ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻡٌ
“Bid’ah itu ada dua: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Semua yang sesuai dengan sunnah, maka itu adalah terpuji, dan semua yang menyelisihi sunnah, maka itu adalah tercela.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/113)
Hal yang dimaksud “semua yang sesuai dengan sunnah” bukan berarti sesuai dengan sunnah Rasulullah karena jika sesuai dengan sunnah Rasulullah maka tidak dikatakan bid’ah atau muhdats atau perkara baru atau contoh.
Hal yang dimaksud “semua yang sesuai dengan sunnah” artinya “tidak menyelisihi sunnah Rasulullah” atau tidak bertentangan dengan syara’ atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Jadi menurut Imam Syafi’i, contoh atau perkara baru (bid’ah atau muhdats) atau perkara yang tidak terdapat pada masa Rasulullah yang tidak menyalahi atau yang tidak bertentangan dengan syara’ atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah bid’ah yang terpuji atau bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i pada kesempatan yang lain seperti
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Oleh karenanya ketika kita menghadapi dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah maka kita menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Contoh bid’ah wajib adalah menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf (terdahulu) sebagaimana yang dicontohkan oleh Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab beliau Qawaid Al Ahkam (2/337-339) dan dapat dibaca kutipannya pada http://syeikhnawawial-bantani.blogspot.com/2011/12/pembagian-bidah-menurut-imam-izzuddin.html
Kita sepakat bahwa menuntut ilmu termasuk ibadah ghairu mahdhah.
Sedangkan menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah adalah termasuk bid’ah hasanah dan hukumnya wajib.
Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
Contoh bid’ah mubah adalah bersalaman setelah sholat.
Dalam Qawaid Al Ahkam (2/339), dengan cukup gamblang Imam Izzuddin menyatakan bahwa bersalaman setelah ashar dan shubuh merupakan bid’ah mubah. Ketika Imam Izzudin menjelaskan pembagian bid’ah sesaui dengan hukum lima bersama contohnya, beliau menjelaskan bid’ah mubah, ”Dan bagi bid’ah-bid’ah mubah, contoh-contohnya bersalaman setelah shubuh dan ashar.”
Hal ini juga dinukil juga oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al Lughat (3/22), serta Al Adzkar dalam Al Futuhat Ar Rabaniyah (5/398) dengan makna yang sama.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ (3/459),”Adapun bersalaman yang dibiasakan setelah shalat shubuh dan ashar saja telah menyebut As Syeikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam rahimahullah Ta’ala,’Sesungguhnya hal itu bagian dari bid’ah-bid’ah mubah, tidak bisa disifati dengan makruh dan tidak juga istihbab (sunnah).’ Dan yang beliau katakan ini baik.”
Ba Alawi mufti As Syafi’iyah Yaman, dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al Mustrasyidin (hal. 50) juga menyebutkan pula bahwa Imam Izzuddin memandang masalah ini sebagai bid’ah mubah sebagaimana pemahaman Imam An Nawawi,”Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat shubuh dan ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam bahwa hal itu merupakan bid’ah-bid’ah mubah.”
Bukan hanya ulama As Syafi’iyah saja yang memahami istilah khusus yang digunakan oleh Imam Izuddin. Meskipun As Safarini seorang ulama madzhab Hanbali, beliau memahami bahwa Imam Izzuddin menyatakan masalah ini sebagai bi’dah mubah. Tertulis dalam Ghidza Al Albab (1/235), dalam rangka mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat tangan di dua waktu tersebut adalah bid’ah yang tidak dilakukan oleh Rasul dan tidak disunnahkan oleh seorang ulama sekalipun, ”Aku berkata, dan yang dhahir (jelas) dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As Syafi’iyah bahwa sesungguhnya hal itu adalah bid’ah mubah”
Contoh bid’ah haram, Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan di antaranya: Golongan Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah. Menolak terhadap mereka termasuk bid’ah yang wajib.
Begitupula akhlak buruk yang diperlihatkan oleh orang-orang yang mengaku ahlus sunnah namun suka mencela, memperolok-olok, merendahkan muslim yang tidak sependapat dengan mereka termasuk bid’ah haram karena Rasulullah tentu tidak pernah mencontohkannya dan bahkan mereka secara sadar melanggar larangan Rasulullah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Orang yang fasik adalah orang yang secara sadar melanggar larangan Rasulullah atau larangan agama sebagaimana firmanNya yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al Baqarah [2]:27)
Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka jahannam
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam” (QS Sajdah [32]:20)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan akan bermuncululan orang-orang yang bertambah ilmunya namun semakin jauh dari Allah karena tidak bertambah hidayahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sungguh celaka orang yang tidak berilmu. Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu Sungguh celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.
Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Sayyidina Umar ra juga menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Kesimpulannya bid’ah hasanah adalah sunnah hasanah yakni contoh atau perkara baru atau bid’ah atau muhdats dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak menyalahi laranganNya atau yang tidak bertentangan dengan syara’ atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Sedangkan bid’ah sayyiah termasuk bid’ah dholalah adalah sunnah sayyiah yakni contoh atau perkara baru atau bid’ah atau muhdats dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat yang menyalahi laranganNya atau yang bertentangan dengan syara’ atau yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Bid’ah dholalah yang lain adalah penyembahan ulama akibat selalu berpegang pada nash secara dzahir sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/02/15/penyembahan-ulama/
Diriwayatkan dari Rifa’ah bin Rafi’ Al-Zuraqy, ketika Nabi Muhammad saw mengucapkan “sami’a Allahu liman haamidahu” (saat i’tidal bangkit-tegak dari ruku’ dalam sholat) ada seorang laki-laki (bermakmum) di belakang Nabi- mengucapkan “rabbana wa laka al-hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (wahai Tuhan kami ,(dan) hanya milik-Mu segala pujian yang banyak,bagus, dan berkah (pada pujiantersebut).
Setelah sholatnya selesai, Nabi Muhammad saw, bertanya, “Siapakah yang berkata (mengucapkan kata-kata itu) ? “ Seseorang makmum sholat dibelakang Rasulu menjawab “Aku”, Rasulullah saw bersabda , “Aku melihat tigapuluh sekian malaikat yang berlomba/berburu untuk mendapatkannya dan siapakah diantara mereka itu yang paling duluan mencatatnya”
HR Imam Bukhari dalam shahihnya (II.284). Hadis tersebut mengandung (dibolehkannya) bid’ah hasanah karena orang tersebut mengucapkan suatu doa yang tidak pernah dia dengar dari Nabi Muhammad saw, dan tidak pula diajari oleh Nabi Muhammad saw, Tetapi ketika ia mengucapkannya. Atau tidak seperti lazimnya (Lihat hadits sahih diriwayatkan oleh Imam Muslim (I.347) dari Abu Sa’id Al Khudry, dia mengatakan, “Jika Rasulullah saw, telah mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau membaca Rabbana laka al-hamdu mil’a as-samawati….”) Tetapi ketika bacaan makmum tadi berbeda dan tidak seperti yang diajari Rasul, mengucapkannya dalam sholat seperti peristiwa diatas, Nabi Muhammad saw, justru menyanjungnya dan tidak menolaknya, serta tidak menuduhnya melakukan bid’ah (yang sesat). Ada sebagian yang berkata “Kalau begitu Nabi menetapkannya sehingga menjadi sunnah(nya)”.
Mengomentari hadis tersebut, Ibn Hajar Al-Asqalany dalam Al-Fath (II.287) mengatakan, Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur-yang dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw, Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara – bagi makmum – selama tidak mengganggu orang yang ada dekatnya,…”
Semoga menjadi renungan, peristiwa dizaman Rasulullah saw, masih hidup dan bermakmum dengan imam sholat Rasulullah saw, Salah seorang sahabat kala itu menjadi makmum membaca dzikir dalam sholatnya yang tidak diajari Rasulullah, dan Rasulullah tidak pula mengatakannya sebagai bid’ah.
Wassalam.
bagi yg bilang semua bid’ah itu sesat, sebaiknya MULAI DETIK INI JUGA anda BERHENTI BERDAKWAH pake laptop, pake jejaring sosial, pake LCD projector, pake motor atau mobil ke sana kemari, pake microphone/pengeras suara, dan semua piranti dakwah yg GAK PERNAH DIPAKE (artinya gak pernah dicontohkan) oleh Nabi Muhammad SAW……..
ini hanya logika sederhana saya yg awam saja…
karena saya merasa saya LEBIH AMAN berpegang pada 4 MADZAB yg sdh disepakati SEBAGIAN BESAR kaum muslim sejak jaman dulu… dan pastinya juga sudah dipertimbangkan, diteliti, didiskusikan, dirembug, dimusyawarahkan, atau apapun prosesnya, secara sangat matang dan sangat berhati-hati oleh ULAMA-ULAMA BESAR jaman dahulu…
Tulisan terkait dapat dibaca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/05/18/pentingnya-kaidah-tafsir/