Cobalah lihat beberapa situs mereka yang mengaku-aku berpemahaman sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh
http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/3351-di-manakah-allah-8.html
atau
http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/76-mengungkap-tipu-muslihat-abu-salafy-cs
Mereka adalah yang memahami Al-Qur’an dan Hadits dengan metodologi yang kami katakan memahami dengan konsep/metodologi “terjemahkan saja”. Silahkan baca tulisan kami pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Dalih mereka menggunakan metodologi “terjemahkan saja” adalah
“dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195).
Itu pulalah inti yang disampaikan oleh syaikh Al-Albani bahwa semua orang haram hukumnya merujuk kepada ilmu fiqih dan pendapat para ulama. Setiap orang wajib langsung merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan untuk memahaminya, tidak dibutuhkan ilmu dan metodologi apa pun. Keberadaan mazhab-mazhab itu dianggap oleh Al-Albani sebagai bid’ah yang harus dihancurkan, karena semata-mata buatan manusia. Selengkapnya silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/18/paham-anti-mazhab/
Mereka menyeru agar kita wajib langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dapat dipahami tanpa metodologi apapun alias metodologi “terjemahkan saja”. Untuk itu setiap muslim wajib mengetahui bahasa Arab karena bagi mereka dengan kemampuan bahasa Arab sudah cukup untuk memahami Al-Qur’an dan Hadits. Hindari taqlid atau mengikuti imam atau orang-orang sholeh dan bagi mereka, setiap muslim wajib berupaya sendiri untuk memahami Al-Qur’an dan Hadits.
Oleh karenanya mereka berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat di langit dan Allah ta’ala mempunyai tangan, mata, kaki , dll namun tidak serupa dengan makhluk. “Al-Qur’an yang mengatakan seperti itu” kata mereka dan “kita harus berserah diri“.
Tuhan di langit ?
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “langit” ?
Begitu juga dalam peristiwa mi’raj baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dikatakan melewati “langit dunia”. Apakah yang dimaksud dengan langit dunia ?
Sebagian saudara-saudara kita kaum mengaku-aku berpemahaman sebagaimana pemahaman Salafush Sholeh, mereka berkeyakinan Tuhan bertempat di atas langit atau di atas arasy karena mereka memahami “langit” atau “langit dunia” sebagaimana langit bumi.
Sehingga kalau kita katakan Tuhan tidak di langit, langit sebagaimana yang mereka pahami maka mereka bertanya apakah Tuhan di bumi ?
Kalau kita katakan Tuhan tidak pula di bumi dan Tuhan tidak bertempat kemudian mereka bertanya apakah Tuhan ada dimana-mana ?
Kalau kita katakan Tuhan tidak ada di mana-mana dan Tuhan tidak berarah maka mereka bertanya lalu Tuhan ada di mana ?
Jawaban kami, maha suci Allah Azza wa Jalla dari di mana dan bagaimana.
Allah Azza wa Jalla ada atau wujud , tidak memerlukan tempat maupun arah.
Allah Azza wa Jalla ada atau wujud , tidak memerlukan pembuktian.
Dia ada sebelum tempat, arah dan semua bukti itu ada.
“langit” adalah termasuk sesuatu yang ghaib yang tidak dapat diindera oleh panca indera kita seperti alat pembantu untuk melihat (mata), alat pembantu untuk mengecap (lidah), alat pembantu untuk membau (hidung), alat pembantu untuk mendengar (telinga), ataupun alat pembantu untuk merasakan (kulit/indera peraba).
Allah Azza wa Jalla mempunyai nama Az Zahir dan Al Batin.
Begitupula petunjukNya yakni Al-Qur’an, Rasulullah mengatakan bahwa al-Qur’an mempunyai sisi/dimensi/makna lahir dan sisi/dimensi/makna batin.
Jika makna zahir sama dengan makna batin maka disebut muhkamat, jika makna zahir berbeda dengan makna batin atau tidak sama sekali bisa dimakna maka disebut mutasyabihat.
Ayat-ayat muhkamat disebut juga umm al-kitab artinya pokok-pokok isi Al-Qur’an, karena ayat muhkamat tersebut yang menjadi acuan dan rujukan dalam memahamii ayat-ayat mutasyabihat.
Ayat mutasyabihat terbagi menjadi dua.
Pertama, ayat mutasyabihat yang pengertiannya hanya Allah ta’ala yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal ghaib misalnya ayat-ayat mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain atau seperti “Alif laam miim“. Dan kedua, ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikhun fi al’ilm). Mereka memahami berdasarkan karunia dari Allah Azza wa Jalla berupa al-hikmah atau pemahaman yang dalam. Mereka adalah yang termasuk “ulil albab”. Siapa yang dimaksud dengan “ulil albab” silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/2010/05/07/ulil-albab/
Jika kita memaknai zahir ayat-ayat mutasyabihat maka itulah salah satu pangkal kekufuran.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad menyatakan:
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat mutasyabihat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Allah di langit , Allah di atas arasy adalah sesuatu yang dapat diyakini dengan makna batin atau sesuatu yang diyakini namun tidak dapat diindera oleh panca indera kita.
Sesuatu yang tidak dapat diindera oleh panca indera kita maka pada hakikatnya tidak pula dapat didalami dengan akal karena akal bergantung dengan “masukan” dari panca indera. Maka mereka mengatakan itu tidak ilmiah atau mistik atau ghaib bahkan sebagian mengatakan tahayul atau khurafat.
Kami sangat mengkhawatirkan sebagian keimanan saudara-saudara kami berlandaskan keilmiahan atau ke-masuk akal-an. Mereka kerap bertanya “mana bukti”, “mana dalil”, “mana contoh”. Sehingga kalau mereka mendapatkan “bukti” yang baru dan bertolak belakang dengan apa yang mereka yakini selama ini maka keimanan merekapun goyah. Mereka tanpa disadari terpengaruhi akibat ghazwul fikri dari kaum berpaham materialisme yang berlandaskan ilmiah, bukti dan materi sehingga mereka menolak dimensi/sisi immateri atau ghaib atau batin.
Inilah yang kami khawatirkan ketika Syaikh Ibnu Baz berfatwa bahwa “seseorang yang berkeyakinan Rasulullah mengetahui hal ghaib maka ini adalah keyakinan kufur yang pelakunya dianggap sebagai orang kafir karena melakukan kekufuran yang besar”. Fatwa tersebut termuat salah satunya pada http://fatwaulama-online.blogspot.com/2008/03/hukum-orang-yang-meyakini-bahwa.html .
Fatwa tersebut secara tidak di sadari akan mengakibatkan umat Islam menolak sisi/dimensi immateri atau ghaib atau batin sebagaimana yang diketahui oleh Rasulullah.
Bagi pemahaman kami untuk mengenal Allah Azza wa Jalla (ma’rifatullah) kita tidak dapat lagi “memandangnya” dari sisi materi/lahiriah/akal dan nafsu namun harus memandangnya pula dari sisi immateri/ghaib/batin atau memandangnya dengan hati atau hakikat keimanan.
Sebagaimana yang diriwayatkan berikut
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”
Kita memandang dari sisi/dimensi hakikat yang semua itu bisa kita dapatkan dalam tasawuf. Tasawuflah yang menguraikan tentang syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat yang tidak bisa ditemukan dalam ilmu fiqih, ushuluddin atau yang lainnya.
Dengan tasawuflah kita akan mencapai muslim tingkatan terbaik atau muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati atau hakikat keimanan.
Tasawuflah jalan orang-orang yang ihsan atau orang-orang yang baik atau orang-orang sholeh sebagaimana Salafush Sholeh.
Kita wajib mengikuti jalan orang-orang sholeh karena mereka pada jalan yang lurus dan mereka dikarunia ni’mat oleh Azza wa Jalla.
Landasan kami mengatakan seperti itu adalah:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus“, (QS Al Fatihah [1]: 6 )
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. “(QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Orang-orang sholeh atau ulama-ulama Tasawuf mengatakan bahwa Mengenal Allah Azza wa Jalla (ma’rifatullah) hanya dapat melalui NamaNya, SifatNya dan PerbuatanNya
Oleh karenanya ketika ada yang bertanya Allah yang mana yang kami sembah maka kami menjawab dengan mengutarakan sifatNya
Kami menyembah Allah ta’ala yang Wujud (ada), Qidam (Terdahulu), Baqo’ (Kekal), Mukhollafatuhu lil hawaadits (Tidak Serupa dengan MakhlukNya), Qiyamuhu Binafsihi (Berdiri dengan sendirinya), Wahdaaniyah (Esa), Qudrat (Kuasa), Iroodah (Berkehendak), Ilmu (Mengetahui), Hayaat (Hidup), Sama’ (Mendengar), Bashor (Melihat), Kalam (Berkata-kata), Qoodirun (Yang Memiliki sifat Qudrat), Muriidun (Yang Memiliki Sifat Iroodah), ‘Aalimun (Yang Mempunyai Ilmu), Hayyun (yang Hidup), Samii’un (Yang Mendengar), Bashiirun (Yang Melihat), Mutakallimun (Yang Berkata-kata).
Kalau mau mengenal Allah ta’ala melalui perbuatanNya, contohnya dapat dipahami melalui tulisan pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/02/perbuatan-afal/
Sedangkan mengenal Allah ta’ala melalui namaNya telah banyak diuraikan oleh para ulama baik ulama syariat maupun ulama tasawuf.
Akhirnya kami sampaikan bahwa mengenal Allah ta’ala tidak dapat diyakini melalui “di mana” dan tidak layak ditanyakan “di mana” atau “bagaiamana” bagi Allah Azza wa Jalla.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830
Mrk memg kaum jahiliah.
Sebaiknya tidak berkata begitu. Mereka tetaplah saudara muslim kita, sama-sama telah bersyahdat, kita hanya berbeda pemahaman saja.
Perbedaan pemahamaan (ikhtilaf) adalah kehendak Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla memberikan karunia pemahaman kepada siapa yang dikehendakiNya sebagaimana firmanNya yang artinya,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]: 269)
sepakat bang Zon …..sesuai dong dgn filosofi Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.
Keyanikan berdasarkan bukti-bukti yang tampak, argumen deduktif adalah keyakinan melalui akal dengan panca indera sebagai alat masukkan (input).
Allah Azza wa Jalla, tidak dapat didalami dengan akal
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Tsauban ibn Ibrahim Dzu an-Nun al Mishri, salah seorang murid terkemuka al Imam Malik -semoga Allah meridlai keduanya- berkata: “Apapun yang terlintas dalam benakmu (tentang Allah) maka Allah tidak menyerupai itu (sesuatu yang terlintas dalam benak)” (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi dan al Khathib al Baghdadi)
Kita tidak dapat mendalami tentang Allah Azza wa Jalla dengan akal namun dengan hati atau hakikat keimanan.
Kita tidak dapat memahami nash-nash mutasyabihat dengan akal atau sebagaimana tertulis (terindera oleh mata atau pendengaran) atau secara dzahir. Kita memahaminya dengan hati atau hakikat keimanan berdasarkan karunia Allah ta’ala dalam bentuk al-hikmah
Al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad berkata: “Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”.
Mutasyabihat artinya nash-nash al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam yang dalam bahasa arab mempunyai lebih dari satu arti dan tidak boleh diambil secara zhahirnya, karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), akan tetapi wajib dikembalikan maknanya sebagaimana perintah Allah dalam al Qur’an pada ayat-ayat yang Muhkamat, yakni ayat-ayat yang mempunyai satu makna dalam bahasa Arab, yaitu makna bahwa Allah tidak menyerupai segala sesuatu dari makhluk-Nya.
Allah tidak bertempat di langit. Langit sebagaimana kita bisa indera ataupun melalui alat pembantu penglihatan. Sesuatu yang dapat diindera maka itu adalah hasil kemampuan akal atau melalui akal.
Allah Azza wa Jalla tidak dapat didalami atau diyakini melalui akal.
Allah Azza wa Jalla tidak memerlukan tempat atau Dia tidak memerlukan ciptaanNya. Maha Suci Allah dari bertempat dan dari bagaimana.
Allah berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.:
“Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam yang maknanya: “Engkau azh-Zhahir (segala sesuatu ada karena Dia), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya).
Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.
Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar/tinggi) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya“
Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Allah Azza wa Jalla didalami/diyakini dengan hati melalui namaNya, sifatNya dan perbuatanNya
Apa yang bisa didalami dengan keyakinan bahwa Allah ta’ala mempunyai tangan, mata, kaki dll namun tidak serupa dengan makhlukNya. Dengan keyakinan seperti itu tidak akan dapat “menemukan” Allah Azza wa Jalla
Kita pasti bisa “menemukan” Allah Azza wa Jalla melalui namaNya, sifatNya dan perbuatanNya
Contoh
Ar-Rahmaan Ar Rahiim maknanya secara zahir,/tertulis Pemurah dan Penyayang
Kalau kita melalui akal maka tidak dapat “ditemukan” apa yang dimaksud dengan pemurah dan penyayang karena tidak terindera oleh panca indera namun dapat “ditemukan” melalui hati yakni rasa pemurah dan rasa penyayang. Dengan melalui “pintu” Ar-Rahmaan Ar Rahiim kita dapat menemukan Allah Azza wa Jalla. Begitu pula dengan namaNya yang lain, sifatNya dan perbuatanNya.
Wassalam
MZ berkata:
Begitupula petunjukNya yakni Al -Qur ’ an, Rasulullah mengatakan bahwa al -Qur ’ an mempunyai sisi/ dimensi/makna lahir dan sisi/dimensi /makna batin .
minta tolong,ni hadist riwayat siapa bang MZ ?dan derajatnya ya..sukron.
Alhamdulillah, sebelumnya kami berterima kasih atas kunjungan dan pertanyaannya.
Selama kami berguru kepada guru yang sanad ilmunya insyaallah tersambung ke Rasulullah melalui Sayyidina Ali ra, jarang kami menanyakan hadits riwayat siapa dan bagaimana derajatnya. Kalau kami belum jelas atau paham dengan sebuah hadits maka kami minta penjelasan apa yang dimaksud dengan hadits tersebut. Oleh karenanya lebih baik kami jelaskan apa yang dimaksud dengan perkataan Rasulullah tersebut.
Nash-nash Al-Qur’an dan Hadits mempunyai makna zahir dan makna batin artinya jika makna zahir sama dengan makna batin maka disebut muhkamat, jika makna zahir berbeda dengan makna batin atau tidak sama sekali bisa dimakna maka disebut mutasyabihat.
Contoh yang mengungkapkan adanya makna zahir
Al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad berkata: “Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”.
Ayat-ayat muhkamat disebut juga umm al-kitab artinya pokok-pokok isi Al-Qur’an, karena ayat muhkamat tersebut yang menjadi acuan dan rujukan dalam memahamii ayat-ayat mutasyabihat.
Ayat mutasyabihat terbagi menjadi dua.
Pertama, ayat mutasyabihat yang pengertiannya hanya Allah ta’ala yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal ghaib misalnya ayat-ayat mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain atau seperti “Alif laam miim“. Dan kedua, ayat mutasyabihat yang dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikhun fi al’ilm). Mereka memahami berdasarkan karunia dari Allah Azza wa Jalla berupa al-hikmah atau pemahaman yang dalam. Mereka adalah yang termasuk “ulil albab”. Siapa yang dimaksud dengan “ulil albab” silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/12/2010/05/07/ulil-albab/
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]: 269)
Akhir-akhir ini kami semakin khawatir melihat saudara-saudara kita yang mengaku berpemahaman Salafush Sholeh dalam sistem pengajaran tentang pengenalan Allah selalu dimasukkan pertama kali adalah “di mana Allah” berdasarkan hadits Jariyah. . Maha suci Allah Azza wa Jalla dari “di mana” dan “bagaimana”. Hadits itu bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat secara naqli dan `aqli. Hadits itu adalah hadits mudltharib, yang disebabkan oleh banyaknya versi dari hadits ini, baik secara redaksional maupun secara sanad hadits. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan hadits ini adalah sahih tapi syadz dan tidak bisa dijadikan landasan menyangkut masalah akidah.
Pengenalan Allah ta’ala yang pertama kali sebaiknya melalui petunjukNya sendiri yakni “Aku adalah dekat”, agar mereka menjadi dekat dengan Allah ta’ala, sebagaimana yang disampaikan dalam
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” ( Al Baqarah: 186).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah: 85).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)
Allah swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Demikianlah penjelasan kami semoga antum dapat memahaminya.
Wassalam
terimakasih pencerahanya bang Zon ……..
Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.
Ustadz Zon yang dimuliakan Allah… saya mengikuti diskusi antum dengan ustadz Jibril di blog ustadz jibril, tentang permasalahan “Istiwa’ Bersemayam diatas Arsy (Pandangan Al-Imam Abul Hasan Asl-Asy’ary dalam kitab Al-Ibaanah An-Ushulid Diyanah)”
Yang perlu menjadi perhatian adalah, ada beberapa terbitan Kitab Al Ibanah yang saling berlainan, artinya ada indikasi pemalsuan di dalamnya, salah satunya pada bab Istiwa’.
Sampai saat ini telah ditemukan sekira ada 3 buah kitab Al Ibanah dari 3 penerbit:
1. Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd (al-Ibânah dengan cetakan sama yang terdapat di Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan edisi Syeikh Zâhid al-Kautsarî, seorang ulama pada masa Khilâfah ‘Utsmâniyyah).
2. Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia bekerja sama dengan Maktabah Dâr al-Bayân Suriah edisi Basyîr Muhammad ‘Uyûn.
3. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.
Semoga bermanfaat.
Alhamdulillah,
Kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu menaungi hari hari akhi
Terima kasih atas infonya Akhi. Memang secara samar indikasi pemalsuan kitab ada diinformasikan Syeikh Al Azhar, Dr. Ahmad At Thayyib pada pertemuan “Forum Alumni Al Azhar VI,” yang mengangkat tema tentang persatuan dalam komunitas Ahlu Sunnah. Silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/27/ikhtilaf-dalam-persatuan/
Wassalam
assalamualaikum…,
tambahan aja kang dr apa yg di katakan kang jundumuhammad ada juga di blog:
1.http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/11/wahhabi-tipu-al-ibanah-lagi.html
2.http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/10/wahhabi-tipu-al-ibanah.html
wassalam..