Tidak ada hal yang merintanginya
Mereka menyampaikan bahwa maulid Nabi adalah hal yang dapat dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena tidak ada hal yang merintanginya atau tidak ada laranganNya namun Beliau meninggalkannya (tarku).
Mereka mengqiyaskan dengan adzan sebelum sholat ied. Adzan adalah hal yang baik seruan untuk beribadah shalat ‘ied, maka ketika Rasulullah menyerukan adzan untuk shalat Jum’at dan di lain waktu ketika shalat ‘ied tanpa adzan dan iqamah, berarti hal itu menunjukkan bahwa meninggalkan adzan ‘iedain adalah sunnah.
Kasus adzan ‘iedain bukan lantaran kaidah tarku. Melainkan masuk dalam pembahasan kaidah fikih:
اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ
“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”
Arti dari kaidah itu bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.
Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.
Bila diterapkan pada adzan ‘iedain, maka tidak disyariatkannya adzan ‘iedain bukan lantaran Nabi meninggalkan adzan pada hari raya, melainkan karena Nabi telah menjelaskan dengan perbuatannya tentang apa saja yang disyariatkan pada ‘iedain.
Jadi semakin jelaslah bahwa peringatan Maulid Nabi yang dilakukan oleh kaum muslim tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits karena tidak satupun nash secara qath’i baik Kalamiyyah, Ushuliyyah (Ijma,Qiyas ), dan Fiqhiyyah yang dapat dipergunakan untuk mengharamkan peringatan Maulid Nabi.
Begitupula dengan peringatan hari ulang tahun, dirgahayu, milad atau kejadian apapun di waktu lampau adalah sarana untuk mengambil pelajaran atau intropeksi terhadap apa yang telah dilakukan selama ini sebagai bekal untuk hari esok sesuai dengan firmanNya yang berbunyi, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad” “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18 )
Mereka yang mengikuti fatwa ulama mereka yang bersifat larangan yang jika dikerjakan berdosa atau suruhan yang jika ditinggalkan berdosa namun tidak pernah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, contohnya larangan terhadap peringatan Maulid Nabi maka mereka telah menjadikan ulama mereka sebagai tuhan selain Allah.
Sungguh yang mengetahui atau menetapkan sebuah perbuatan yang jika ditinggalkan berdosa dan perbuatan yang jika dikerjakan berdosa hanyalah Allah Azza wa Jalla dan Allah Azza wa Jalla tidak lupa.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
Begitu halusnya ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi yang menerpa mereka sehingga mereka bertasyabuh dengan kaum Nasrani, menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan selain Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)
Wasallam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Tinggalkan komentar