Siapa kami dan bagaimana pemahaman kami
Zon merupakan bagian dari nama pemberian orang tua kami. Dari bahasa Belanda yang artinya matahari. Dengan nama itu merupakan doa orang tua kami agar kami dapat memberikan cahaya kepada keluarga dan siapapun juga. Amin ya Robbal Alamin.
Waktu kecil memang kami tinggal di lingkungan warga NU namun Ayah kami lebih condong ke Muhammadiyah yang dalam berdalil selalu berkeinginan untuk mencari yang lebih kuat atau tarjih sebagaimana kebiasaan kaum Muhammadiyah.
Namun Ayah kami sangat menghormati kaum NU bahkan madrasah yang kami ikuti sepulang SD Negeri, ustadz-ustadznya dari kalangan NU. Ayah kami tidak mempermasalahkan pendidikan kami ditangani ustadz-ustadz dari kalangan NU, prinsipnya semua adalah berupaya mengikuti jalan yang lurus, yakni jalan orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah ta’ala. Jalannya Rasulullah, para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh.
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Ulama yang sangat dihormati oleh keluarga kami pada waktu itu adalah Buya Hamka.
Buya Hamka adalah salah satu ulama yang mencontohkan bagaimana bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, bersikap keras terhadap orang-orang kafir, berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“…kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui“. (QS. Al-Maidah: 54)
Beliau terkenal tegas kepada orang-orang yang tidak bersyahadat, contohnya beliau medakwahkan untuk tidak mengucapkan “selamat” kepada kaum Nasrani namun beliau memperlakukan kaum nasransi sebagaimana seharusnya memperlakukan ciptaan Allah ta’ala yang lainnya.
Di mata beliau tetap kaum nasrani bukanlah termasuk orang-orang beragama dan bukanpula orang-orang beriman sebagaimana yang beliau uraikan dalam tafsirnya. Silahkan baca sehubungan itu dalam tulisan
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/28/2009/04/23/jangan-memfitnah-buya-hamka/
dan tafsir beliau atas surat Al Baqarah [2]: 22-26
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/10/28/2009/04/23/toleransi-beragama/
Oleh karenanya berdasarkan dari tafsir beliau dan diolah dari pemahaman kami maka kami tuliskan
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/03/2011/01/21/agama-hanya-islam/
dan
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/03/2010/10/27/orang-orang-beriman/
Buya Hamka lah yang menyadarkan kami ketika dewasa bahwa ada Tasawuf dalam Islam yakni tentang Ihsan, Akhlak yang disebut beliau dengan “Tasawuf Modern” artinya bagaimana penerapan Tasawuf dalam Islam di zaman modern ini. Tasawuf sebagaimana sejak Rasulullah ajarkan dan diikuti oleh para Salafush Sholeh yakni tentang Ihsan atau akhlak
Rasulullah mengatakan “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Sebagaimana yang kami telah jelaskan dalam tulisan pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/11/rasulullah-bertasawuf/
dan
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/14/penjelasan-bertasawuf/
Ketika dewasa kami memperdalam tasawuf dari seseorang yang tinggal daerah LIDO perbatasan kab Bogor dengan kab Sukabumi. Beliau sanad ilmunya InsyaAllah terhubung ke baginda Rasulullah melalui Imam Sayyidina Ali kw.
Ketika kecil, di madrasah dengan ustadz-ustadz dari kalangan NU, mereka memperkenalkan Allah ta’ala dengan “Sifat 20”, Asma ul Husna yang 99 dan sebagaimana Allah ta’ala mengenalkan diriNya seperti firman-firman Allah ta’ala berikut
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” ( Al Baqarah: 186).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah: 85).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)
Allah swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Tidak pernah kami dikenalkan dengan hadits jariyah. Maha suci Allah dari “di mana” dan “bagaimana”
Menarik sekali ketika kami melihat video-video dari cerita mereka yang mengaku warga NU tersebut.
Dari video http://www.youtube.com/watch?v=1iI6CATMeVg pada detik ke 55 mereka mengaku mengikuti paham sebagaimana yang di dakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Dari video http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15 mereka meyakini bahwa Allah ta’ala punya tangan namun tangan Allah tidak serupa dengan makhluk.
Inilah salah satu pangkal perbedaan atau perbedaan utama antara pemahaman kami dengan pemahaman saudara-saudara kami Salafi/Wahhabi adalah dalam memaknai ayat-ayat mutasyabihat.
Kami menolak memaknai ayat-ayat mutasyabihat secara dzahir sedangkan saudara-saudaraku Salafi/Wahhabi memaknai ayat-ayat mutasyabihat sesuai makna dzahir berpegang pada “dengan bahasa Arab yang jelas” (QS Asy Syu’ara [26]:195) Inilah yang kami katakan sebagai konsep/metodologi “terjemahkan saja” https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Kami tidak memaknai dzahir ayat-ayat mutasyabihat untuk menghindari kekufuran sebagaimana yang disampaikan Al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad berkata: “Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada dzahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran“.
Benar bahwa Al-Qur’an “dengan bahasa Arab yang jelas” (QS Asy Syu’ara [26]:195) namun yang tahu jelas makna ayat-ayatnya adalah kaum yang mengetahui atau yang berkompeten atau yang ahlinya yang telah dikaruniakan al-hikmah oleh Allah ta’ala .
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fushshilat [41]:3 )
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”(QS Al Baqarah [2]:269 )
Jika di dalam Al-Qur’an dan Hadits kita menemukan sifat Allah yang makna dzahirnya adalah sifat manusia maka harus ditinggalkan karena Al Imam ath-Thahawi mengatakan: “Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir“.
Di antara sifat-sifat manusia adalah bergerak, diam, turun, naik, duduk, bersemayam, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berubah, berada pada satu tempat dan sebagainya.
DzatNya adalah kekal, tidak berubah, tidak berpindah, tidak mempunyai ukuran/dimensi. Yang berubah, berpindah dan berukuran/dimensi adalah manusia.
Imam malik bin anas ra menghadapi hadis ”Allah turun di setiap sepertiga malam” adalah, yanzilu amrihi ( turunnya perintah dan rahmat Allah ) pada setiap sepertiga malam “adapun Allah Azza wa Jalla, adalah tetap tidak bergeser dan tidak berpindah, maha suci Allah yg tiada tuhan selainNya” lihat pada “at tamhid” 8/143, “siyaru a’lamun nubala” 8/105 “arrisalatul wafiyah” hal 136 karangan Abi Umar Addani dan dalam kitab syarah an-nawawi ala shohih muslim 6/37 dan juga al-inshaaf karangan ibnu sayyit al-bathliyusi hal 82.
Berikut uraian dari habib Munzir
Hadirin hadirat, sampailah kita kepada Hadits Qudsi, dimana Sang Nabi Saw bersabda menceritakan firman Allah riwayat Shahih Bukhari “Yanzilu Rabbuna tabaaraka wa ta’ala fi tsulutsullailil akhir…” (Allah itu turun ke langit yang paling dekat dengan bumi pada sepertiga malam terakhir).
Maksudnya bukan secara makna yang dhohir Allah itu ke langit yang terdekat dg bumi, karena justru hadits ini merupakan satu dalil yang menjawab orang yang mengatakan bahwa Allah Swt itu ada di satu tempat atau ada di Arsy.
Karena apa? kalau Allah itu sepertiga malam turun ke langit yang paling dekat dengan bumi, kita mengetahui bahwa sepertiga malam terakhir itu tidak pergi dari bumi tapi terus kearah Barat. Disini sebentar lagi masuk waktu sepertiga malam terakhir misalnya, Lalu sepertiga malam terakhir itu akan terus bergulir ke Barat, berarti Allah terus berada di langit yang paling dekat dengan bumi. Tentunya rancu pemahaman mereka.
Yang dimaksud adalah Allah itu senang semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat kepada hamba hamba Nya disaat sepertiga malam terakhir semakin dekat Kasih Sayang Allah.
Allah itu dekat tanpa sentuhan dan jauh tanpa jarak. Berbeda dengan makhluk, kalau dekat mesti ada sentuhan dan kalau jauh mesti ada jarak. “[I]Allah laysa kamitslihi syai’un[/I]” ([I]Allah tidak sama dengan segala sesuatu[/I]) (QS Assyura 11)
Allah Swt turun mendekat kepada hamba Nya di sepertiga malam terakhir maksudnya Allah membukakan kesempatan terbesar bagi hamba hamba Nya di sepertiga malam terakhir.
Sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih dinihari.., kalau malam dibagi 3, sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih, sampai sebelum adzan subuh itu sepertiga malam terakhir, waktu terbaik untuk berdoa dan bertahajjud.
Disaat saat itu kebanyakan para kekasih lupa dengan kekasihnya. Allah menanti para kekasih Nya. Sang Maha Raja langit dan bumi Yang Maha Berkasih Sayang menanti hamba hamba yang merindukan Nya, yang mau memisahkan ranjangnya dan tidurnya demi sujudnya Kehadirat Allah Yang Maha Abadi. Mengorbankan waktu istirahatnya beberapa menit untuk menjadikan bukti cinta dan rindunya kepada Allah.
Hadirin hadirat, maka Allah Swt berfirman (lanjutan dari hadits qudsi tadi) “Man yad u’niy fa astajibalahu” (siapa yang menyeru kepada Ku maka aku akan menjawab seruannya).
Apa maksudnya kalimat ini?
Maksudnya ketika kau berdoa disaat itu Allah sangat….,. sangat… ingin mengabulkannya untukmu. “Man yasaluniy fa u’thiyahu” (barangsiapa diantara kalian adakah yang meminta pada Ku maka Aku beri permintaannya).
Seseorang yang bersungguh sungguh berdoa di sepertiga malam terakhir sudah dijanjikan oleh Allah ijabah (terkabul).
Kalau seandainya tidak dikabulkan oleh Allah berarti pasti akan diberi dengan yang lebih indah dari itu. “Wa man yastaghfiruniy fa aghfira lahu” (dan siapa yang beristighfar mohon pengampunan pada Ku disaat itu, akan Kuampuni untuknya).
Betapa dekatnya Allah di sepertiga malam terakhir. Hadirin hadirat, disaat saat itu orang orang yang mencintai dan merindukan Allah pasti dalam keadaan bangun dan pasti dalam keadaan berdoa.
Diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari “manusia yang paling khusyu’ (Sayyidina Muhammad Saw) didalam tahajjudnya beliau berdoa “Allahumma lakal hamdu antanurrussamawati wal ardh, Allahumma lakal hamdu anta qayyimussamawati wal ardh, Wa lakal hamdu anta rabbussamawati wal ardh””.
“Allahumma lakal hamdu antanurrussamawati wal ardh” (Wahai Allah bagi Mu puji – pujian yang indah, Engkaulah Cahaya langit dan bumi, yang Maha Menerangi langit dan bumi dengan kehidupan, kesempurnaan dan kemegahannya). Cahaya langit dan bumi, Dialah Allah. “Allahumma lakal hamdu anta qayyimussamawati wal ardh” (Wahai Allah bagi Mu puji – pujian yang indah, Engkaulah yang Membangun langit dan bumi). “Wa lakal hamdu anta rabbussamawati wal ardh” (dan untuk Mu puji – pujian, Engkaulah yang Memelihara langit dan bumi).
Sumber: http://www.majelisrasulullah.org/index.php?option=com_content&task=view&id=181&Itemid=1
Wajar, kalau beberapa pemahaman kami sama dengan kaum Syiah karena kami meyakini apa yang disampaikan oleh Khataman Khulafaur Rasyidin yakni Imam Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah. Namun kami berbeda pemahaman dengan kaum Syiah dibanyak sisi yang lain.
Imam Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah adalah Wali Allah sebagaimana Rasulullah dan satu-satunya Khulafaur Rasyidin yang berpredikat Imam.
Karramallahu wajhah artinya Allah memuliakan wajahnya, gelar untuk sayyidina Ali yg tak pernah memandang yang tidak Haq. Beliau hanya memandang Allah Azza wa Jalla. Berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Begitu pula riwayat yang selalu kami sampaikan
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Imam Ali menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat (zahir)
tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”. (batin)
Imam Sayyidina Ali KW yang selalu memandang Allah Azza wa Jalla mengatakan
“Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat” (Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).
Hal itu sesuai pula dengan hadits berikut
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath menyatakan: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada (pada azal) dan belum ada tempat serta makhluk, dan Dia pencipta segala sesuatu”.
Begitupula Imam Sayyidina Ali KW yang selalu memandang Allah Azza wa Jalla mengatakan
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi DzatNya” (diriwayatkan oleh Abu manshur al baghdadi dalam kitab alfarq baynal firoq hal 333)
Kami selalu menyampaikan maha suci Allah ta’ala dari “di mana” dan “bagaimana” berdasarkan perkataan Imam Sayyidina Ali KW yang selalu memandang Allah Azza wa Jalla, “Sesungguhnya yang menciptakan tempat tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana dan sesungguhnya yang menciptakan al kayf (sifat-sifat benda) tidak dikatakan bagi-Nya bagaimana”
Demikianlah sekilas perkenalan diri kami dan bagaimana kami mengenal Allah Azza wa Jalla dari semula kami diajarkan oleh guru-guru kami sampai kami dewasa saat ini
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
hallo mas slm kNl ya, sya tertarik dan sya dapt pngetahuan dgn Mbaca artikel mas di blog….o ya mas klw bisa follow blog sya ya….biar sya bs dgn mudah tuk brkunjung ke blog mas…..
assalamu’alaikum boleh ya sharing artikelnya …
Walaikumsalam
Alhamdulillah, silahkan dishare, semoga bermanfaat
saya tertarik dengan tulisan2 sampean kang,,semoga tetap berimbang tidak berat sebelah,
Semoga Allah swt selalu menyertai cahaya pengetahuan-NYa agar kita bisa lebih mengenal kekasih-Nya.
Saya ingin mencari yg benar dan tentunya selamat untuk dunia dan akhirat. Mohon Mas Zon bisa menjawab beberapa hal yg saya tanyakan dibawah ini khususnya mengenai akidah.
Imam Malik ketika ditanya ttg Istiwa, dia tidak mengatakan istiwa itu “duduk” maknanya. Tetapi istiwa itu sifat Allah, kita tdk boleh memaknainya dg penyerupaan thdp makhluk.
“”Jangan disalahpahami bahwa Imam Malik melegalisasi kita untuk memaknakan bahwa Allah benar-benar bersemayam atau duduk di atas arasy hanya karena beliau mengatakan; al-istiwa’ ghoiru majhul, namun maksud Imam Malik adalah bahwa istiwa telah jelas penyebutannya (dalam Al Qur’an). Hal ini sama dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an.”” (ini tulisan Mas Zon, di pembagian tauhid/ tauhid dibagi 3 kalau tdk salah)
IbnuTaimiyyah dan ulama yg sepakat dg dia sya kira tidak mengatakan makna istiwa itu duduk, istiwa ‘alal ‘arsy adalah sifat Allah dan kita yakini itu karena ada dlm Al Qur’an, tanpa menanyakan maknanya atau caranya seperti apa. apakah berbeda..?? ketika ada ayat al qur’an “Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman : 27), kita katakan itu sifat Allah, dan kita tdk boleh memaknainya dan tidak boleh menyerupakannya dg makhluk. Ini jelas ada di Al Qur’an, kita yakini kebenarannya, namun sekali lagi kita tdk boleh menanyakan caranya, atau bentuknya maupun, menyerupakannya dg makhluk. (Jadi Wajhullah adalah sifat Allah yg telah disebutkan di Al Qur’an dan Kita tdk boleh memaknainya sebagaimana wajah manusia, artinya Wajhullah ya tetap wajhullah, dan kita beriman kepada itu, namun kita tdk menyerupakan dg makhluk, menanyakan bentuknya). Jadi yg haram adalah menyerupakan wajhullah dg wajahnya manusia. Namun kalau menetapkan wajhullah sbg sifat Allah , itu bukan berarti menyamakan dg makhluk karena itu disebutkan dlm al qur’an), sama dg Istiwa’: ya tetap istiwa’ atau diterjemahkan dlm bhs Indonesia yaitu bersemayam atau lebih aman kita katakan istiwa’ saja. begitu juga dg Wajhullah , ya tetap wajhullah, itu sifat Allah (kalau bahasa indonesianya ya wajah Allah, atau kalau ragu katakan saja wajhullah seperti di ayatnya, apakah ketika kita membaca ayat “wajhullah” kita akan merubah menjadi rahmatullah atau kata lainnya….??? ini yg salah karena harus ada dalil kalau merubah ayat ataupun maknanya.
Mohon dikaji :
Sifat Allah diantaranya :1. Wajhullah , 2. Asma Allah (nama2 Allah yg baik) , 3. kekuatan /kekuasaan Allah
wajah, nama, kekuasaan dan kekuatan KETIGANYA dimiliki makhluk juga. Namun bukan berarti serupa/ menyerupakan, jelas ini salah dan dosa,
Apakah kita akan meniadakan Nama Allah atau Kekuasaan Allah , seperti pengingkaran thdp Wajhullah…???
Menurut Ibnu Taimiyyah : tidak boleh menyerupakan sifat Allah dg makhluk, tidak boleh menghilangkan/mengingkari sifat Allah, tidak boleh memalingkan maknanya diganti dg makna lain seperti Yadullah dg kekuasaan (padahal sama saja makna kekuasaan itu dimiliki juga oleh manusia, tapi sekali lagi bukan berarti sama/serupa (naudzubillahimindzalik, Maha Suci Allah ), namun disatu sisi kita juga bisa dikatakan mengingkari sifat Allah kalau tidak mau mengakui Sifat Allah yg ada di Al QUr’an.
Allah SWT mempunyai Dzat , akan tetapi kita tidak boleh menanyakan bagaimana bentuknya. Sementara yg ada di AL Qur’an adalah Sifat Allah yg telah Allah informasikan kpd ummat ini, Tetapi kita tdk boleh menanyakan, mnyerupakan dan menyamakan bentuk / tatacaranya seperti apa , karena hal ini bid’ah. (Wallohu A’lam), semoga Allah memberi petunjuk kpd Kita smua.
Perlu dalil dari As-Sunnah/hadits untuk memalingkan/merubah makna dari sifat2 Allah SWT, tapi saya kira salafus shalih pun tdk prnah menanyakan hal ini, karena buat mereka sudah jelas tdk ada keraguan lagi mengenai sifat2 Allah SWT :
(Penegasan kembali )beberapa ayat perlu dicermati :
1. Istiwa kalau dibaca ya tetap istiwa, kalau diterjemahkan tetap istiwa
Arrahmaanu ‘Alal Arsyistawa (Thaha : 5)
artinya ; Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.
Kita tdk boleh merubah makna istiwa dg istaula atau dan lain2, kita wajib meyakini ayat ini benar (Allah istiwa diatas arsy) . Istiwa sering diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bersemayam, tapi kita tdk boleh menyerupakan dg makhluk yaitu bersemayamnya Allah seperti bersemayamnya manusia (ini bid’ah dan sesat), apalagi mengatakan bahwa duduk seperti duduknya manusia (itu jelas tasybih). Jadi tasybih itu penyerupaan bentuk/tatacara sifat2 Allah dg makhluknya.
Adapun menetapkan sifat Allah seperti istiwa, hal ini adalah benar adanya sesuai Al Qur’an dan kita tidak menghilangkan sifat Istiwanya Allah diatas Arsy, namun tatacaranya hanya Allah yg Tahu, dan kita dilarang menanyakan, atau menyerupakan dg tatacara makhluknya). Begitu juga dg ayat2 dibawah ini.
2. Wajhullah kalau dibaca ya tetap wajhullah,, kalau diterjemahkan tetap Wajhulloh والإكرام جلال الذو ربك وجه ويبقى (Wayabqo Wajhurobbika Dzul Zalaali wal ikroom: Arrahman : 27) . Yg tidak boleh adalah menyerupakan wajah Allah dg Makhluknya, ini yg terlarang./kufur. Adapun menetapkan sifat Allah (wajhullah) , hal ini sama dg Istiwa yaitu sesuai dg Al Qur’an. Namun Maknanya/tatacaranya/bentuk dzatnya Hanya Allah yg Tahu, dan kita dilarang menanyakan itu.
3. bi Yadayya, pasti kita baca Bii Yadayya (bukan diubah jadi bii quwwata ), kalau diterjemahkan secara dzohir pasti Bi yadayya (kedua tanganku), kalau diterjemahkan menjadi quwwata : maka harus ada dalil dari Al QUr’an dan As-Sunnah.
(Qoola yaa iblisu maa mana’aka antasjuda limma kholaqtu bi yadayya astakbarta am kunta minal a’lamiin)
artinya : Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. (Shad : 75)
Coba direnungkan dan difikirkan secara jernih : apakah kalimat bi Yadayya harus diubah dg bi Quwwah/dg kekuatan-Ku. Hanya karena takut menyerupakan Allah dg Makhluk…???, sekali kali tidaklah berarti menyerupakan Allah dg makhluk ketika kita menyifatkan sifat Allah sebagaimana sifat yg ada dimakhluk. Allah punya nama (asmaul husna), kekuatan/kekuasaan/ mendengar (sifal As-Sami’), melihat (Al Bashar), manusia pun punya itu smua namun BERBEDA/TIDAK SAMA/TDK SERUPA dg Kepunyaan Allah SWT (baik sifat Bentuk / tatacaranya), .
Yang dilarang itu menyerupakan Allah , seperti kita katakan Wajah Allah (Wajhullah) sama dg wajahnya makhluk (nah ini yg salah/ mutasyabihaha dan mujasiimah itu). Kalau ibnu Taimiyyah tidak demikian Saudaraku, Justru beliau sendiri berpedoman pada ayat Laisaa Kamitslihi Syaiun (Tdk ada yg serupa dg-Nya).
Justru kalau kita menerjemahkan dg merubah makna dzohir menjadi makna kiasannya. Ini adalah suatu pengingkaran/tidak mengakui sifat Allah SWT yg jelas jelas Allah sampaikan dalam Al Qur’an, perubahan makna ini harus berdasarkan dalil bukan berdasarkan akal/logika.
Berdasarkan kaidah ini , kaum asy’ariah pada awalnya berkeyakinan : sesuatu yg diberi sifat pasti berjisim (memiliki raga), dan jisim 2 itu memiliki keserupaan. Jadi kalau Allah diberi sifat akan terjadi tasybih (penyerupaan dg makhluk), oleh karenanya menafikan/menghilangkan sifat2 Allah.
Hal ini dpt dibantah :
1. Sesungguhnya menetapkan asma dan sifat Allah berdasarkan akal adalah menyelisihi salafus shalih (seperti Yadullah diganti dg Kekuatan /keuasaan. Ini yg menurut akal fikiran sebenarnya, karena harus dg dalil), yg dikatakan Sahabat Ali r.a, maksudnya menyerupakan bentuk dari sifat Allah dg bentuk yg ada pada makhluk, sedangkan menetapkan sifat Allah sesuai al Qur’an , sya yakin ini yg benar.
2. Harusnya menetapkan sifat Allah berdasarkan al Qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadits, tanpa : tamsil (menyerupaka), ta;thil (meniadakan), takyif(menyakan bagaimana), dan tahrif( menyimpangkan dari makna aslinya)
Imam Abul Hasan Al As’ari dulunya tidak berani menetapkan sifat2 Allah, karena takut tasybih (penyerupan thdp makhluk), adapun setelan itu , Imam Al Asy’ari pun dalam kitab Al Ibânah ‘An Ushûli Diyânah , akhirnya mengakui akan sifat2 Allah SWT (wajhullah, yadullah, dll). http://www.persis.or.id (Pokok-Pokok Aqidah Ahlus Sunnah (I) 23 May 2011, hal 1) , linknya : http://www.persis.or.id/?mod=sitelogo&cmd=aqidah.
Perbedaan dalam masalah ini, memang krusial, akhirnya silahkan mempercayai menurut keyakinan dan ilmu masing2, kita tetap terus belajar sampai kahir hayat, dg tetap memohon petunjuk kepada Allah SWT agar tetap pada akidah yg benar sesuai Yg Dikehendaki-Nya.
Mas Heri , silahkan kalau mas mau mengikuti pemahaman ulama-ulama yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun kenyataannya mereka tidak bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh
Kami berupaya mengikuti pemahaman Imam Mazhab yang empat yang telah disepakati oleh jumhur ulama sejak dahulu sampai sekarang sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya (Imam Mujtahid Mutlak)
Imam Mazhab yang empat bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salafush Sholeh.
Imam Mazhab yang empat mengetahui dan mengikuti pemahaman Salafush Sholeh melalui lisannya Salafush Sholeh.
Imam Mazhab yang empat melihat sendiri penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh.
Dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang Sifat Allah maka perhatikan peringatan dari ulama-ulama yang mengikuti Imam Mazhab yang empat seperti
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Begitupula peringatan yang disampaikan oleh khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Contoh ulama yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush sholeh dan kenyataannya tidak bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh adalah ulama Ibnu Taimiyyah
Ulama Ibnu Taimiyyah semula bermazhab Hambali, bertalaqqi (mengaji) kepada ulama-ulama bermazhab Hambali. Namun pada akhirnya ulama Ibnu Taimiyyah memahami Al Qur’an dan As Sunnah lebih menyandarkan dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah). Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/01/01/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/
Klik untuk mengakses ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Saya ingin mas menjawab substansi sifat2 Allah yg dari AL Qur’an.
Istiwa’ —Imam malik Meyakini Ini karena ada di AL Qur’an
Wajhullah—Ada juga di Al Qur’an
Yadullah—ada juga di AL Qur’an
Coba cek lagi pemahaman Imam Abu Hasan Al Asy’ari (di kitab AL Ibanah), dulunya beliau mengingkari sifat2 ini, namun diakhirnya justru meyakini sifat2 Allah.
Apakah Mas mengingkari adanya sifat Wajhullah dan Yadullah yg sudah jelas -jelas ada di Al Qur’an, seperti ayat2 diatas?? atau ayat terakhir surat Yasin , coba baca terjemahannya :
Maka Maha Suci (Allah) yang di TANGAN-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan (Yasiin : 83)
Jadi bagaimana..menurut Mas…??? Ibnu Taimiyyah itu berprinsip : Tidak ada yg serupa dg Allah. Justru dia menekankan tidak boleh menyerupakan dg makhluk, tidak boleh merubah/menanyakan maknanya (krn ini harus pakai dalil/hadits), tdk boleh menghilangkan maknanya (misal : mengingkari wajhullah, berarti mengingkari al QUr’an), Akal dan hati sya lebih sepakat dg ini karena tidak menafsirkan dg Logika atau hawa nafsu, Justru Ibnu Taimiyyah membiarkan sifat ALlh yg ada di AL Qur’an sebagaimana adanya, (Istiwa ya tetap Istiwa, tatacaranya tdk diketahui, wajhullah ya wajhullah: sifat/bentuknya tdk diketahui dan yg jelas JANGAN di bayangkan seperti Makhluk, karena ini yg DILARANG/HARAM itu)
Kalau saya : meyakini adanya sifat Yadullah, karena ada dalam AL Qur’an. APakah Mas tidak meyakini sifat ini…??? berarti tidak meyakini Isi Al Qur’an donk…??? padahal sudah jelas2 ada di AL Qur’an
Imam As-suyuti / Sahabat Ali R.A : menurut pemahaman sya : adalah jangan menyerupakan sifat2 Allah dg kepunyaan Makhluk. Misal menyerupakan Yadullah dg tangan manusia, dll. Jelas ini terlarang, dan Ibnu Taimiyyah sudah pasti tahu itu Mas. Dia yg memerangi syi’ah dahulu kala karena akidahnya yg menyesatkan (memposisikan Sahabat Ali R.A dan Imam2 Syiah tidak sebenar-benarnya). Apakah kita senang karena ada beberapa kesamaan dg akidah Syi’ah (dlm hal menyifati sifat Allah)…????, kalau merasa senang justru dikhawatirkan termasuk pada hadits “man tasabaha bikaumin fahuwa minhum”.
Mohon Mas, dapat menjawab substansi yg pokok ini, bukan penjelasan seperti di atas yg sya inginkan Mas, karena kurang mengena menurut saya. (mari kita kaji sebenarnya yg mana yg benar itu). Wallohu A’lam.
Masalah bertalaqi kepada salafusshalih, hal ini ada dlm wilayah perbedaan yg luas sekali. Berbeda dg pemahaman salaf dlm sebagian masalah, apakah terlarang dan kita dicap tidak mengkaji kpd salafussholih…??? menurut sya pernyataan seperti ini tdk bisa dipukul rata.
Imam Syafii: mengajarkan supaya kita ambil hadits shahih (krn beliau menyadari, bahwa beliau bukan ahli hadits seperti Imam AHmad). Begitu juga Imam AHmad mengajarkan kita supaya mengambil dari sumbernya langsung (Al QUr’an dan Al Hadits).
Hal ini memberikan pengajaran kpd kita, Jika kita sepakat dg Imam 4 Madzhab itu, ya tidak masalah asalkan tahu dalilnya, dan jika kita tdk sepakat ya tdk masalah asalkan dalilnya shahih.
Kalau dlm masalah Aqidah : khususnya NU di Indonesia lebih mengambil kepada Imam Abu Hasan Al Asy’ari, yg sebelumnya menetapkan sifat2 Allah tidak berdasarkan kepada dalil, tetapi memakai akal fikiran, sehingga tdk berani menetapkan sifat Allah seperti yadullah, Wajhullah karena takut menyerupakan dg makhluk. Yg pada akhirnya dia meyakini kebenaran sifat2 tadi karena ada dlm Al Qur’an (Cek di Kitab Al Ibanah). Padahal menetapkan sifat2 Allah seperti Istiwa’, Wajhullaj, yadullah, itu semuanya ada di al Qur’an, namun untuk menyikapinya / cara beriman kepada ayat tersebut adalah seperti Imam Malik bin Annas, Yaitu beriman kepada sifat2 tersebut, namun kaifiyatnya/tatacaranya/bentuknya tidak diketahui. TIDAK Susah Mas, Jangan khawatir , Insya Allah ini yg benar Mas, saya sudah Yakin, dan terus menerus memohon petunjuk Allah SWT.
mas Hery maaf mengganggu ana ingin menanyakan……..dari penjelasan nt diatas bagaimana Seperti ayat : ”Nasuullaha fanasiahum” mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka, (QS. At-taubah : 67), dan ayat : ”Innaa nasiinaakum” sungguh kami telah lupa pada kalian, (QS. Assajdah : 14). apakah Alloh ta’ala lupa namun tidak spt lupanya mahluk ??? Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk-Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba-Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits No.2569)… Apakah Alloh itu sakit namun sakitNya tidak sama dgn sakitnya mahluk ???maafkan ana mengganggu diskusi anta ……mohon pencerahannya mas Hery terimakasih ……….
Bismillah. hamba yg lemah ini mohon petunjuk Allah SWT
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya[648]. Mereka telah LUPA kepada Allah, maka Allah MELUPAKAN mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. (At-Taubah ayat 67).
Maka rasailah olehmu (siksa ini) disebabkan kamu MELUPAKAN akan pertemuan dengan harimu ini. Sesungguhnya Kami telah MELUPAKAN kamu (pula) dan rasakanlah siksa yang kekal, disebabkan apa yang selalu kamu kerjakan. (As-Sajdah: 14),
Allah MELUPAKAN mereka/kamu, saya beriman kepada ayat ini, namun kaifiyatnya/caranya saya tidak tahu bagaimana Allah MELUPAKAN makhluknya.
Jadi Allah bukan lupa /hilaf/ tetapi MELUPAKAN saudaraku…, ALLAH sendiri saya beriman bahwa ALLAH tidak akan pernah LUPA (karena lupa adalah sifat kekurangan, dan itu mustahil bagi Allah SWT).
Adapun untuk hadits qudsi ini :
untuk hadits ini, kan sudah ada penjelasannya, bahwa yang dimaksud itu hambanya yg sakit, adapun firman Allah Aku sakit dan kau tak menjenguk-Ku, berdasarkan lanjutannya maka akan diketahui maknanya (yaitu makna majazi). Wallohu a’lam
Adapun yg sya coba sampaikan diatas sejauh yg sya tahu , sya belum menemukan tafsir/penjelasan yg lainnya, jika ada pendapat yg shahih dari penjelasan Rosulullah atau para sahabatnya, tafsir2 ulama…maka sampaikanlah kepada saya…, insya Allah saya akan mengikutinya.
Mudah2an kita mendapat taufik Allah SWT. amin..
Sebagai orang awam saya mohon bertanya, jika hadits kudsi di atas tidak ditakwil sepertinya akan muncul pemahaman sbb :
1. Allah “sakit” sebagai pernyataan Allah sendiri
2. Ada pula hambaku “si Fulan yang sedang sakit”.
3. Kalau anak adam menengok si Fulan yang sedang sakit, maka “Allah berada di sisi yang sedang sakit”.
Jadi sebaiiknya bagaimana, “sebagian ditakwil sebagian tidak, atau bagaimana”, mohon pencerahan ?
Terima kasih
he he he jomplang dong mas Bima ………
Bismillaahirrohamanirrohiim.
Menurut hemat saya: kalau ada takwilnya berdasarkan Al Qur’an dan As-Sunnah, maka sya beriman terhadap itu. Tetapi kalau takwilnya berdasarkan logika/akal2an, buat saya pribadi lebih baik mengikuti pemahaman Imam Malik menyikapinya Istiwa’. Wallohu a’lam. Silahkan meyakini sesuai keyakinan masing2. dan kita pertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah masing2.
Sya beriman terhadap hadits qudsi tersebut, adapun Firman Allah : “Aku Sakit dan kau tdk menjengung-Ku. Maknanya bukan berarti sakit seperti sakitnya manusia, sya pun tdk tahu makna sebenarnya, hanya Allah SWT yg mengetahui. Karena kita pun tdk mungkin menjenguk Allah dalam artian sebagaimana menjenguk manusia, oleh karena itu Allah jelaskan apa yg dimaksud “Aku Sakit dan kau tdk menjengung-Ku” pada kalimat selanjutnya yg merupakan penjelasannya. Coba bandingkan dg ayat2 al Qur’an yg tlah sya sebutkan diatas (komentar 1 artikel ini), apakah ada penjelasan selanjutnya…??? (wallohu a’lam)
Masalah jomplang atau tidak, silahkan pegang teguh apa yg akhi2 yakini, dan kita petanggungjawabkan dihadapan Allah kelak. Sya tdk pernah memaksakan pemahaman sya yg telah sya kaji dan telusuri sendiri mulai dr pemahamn NU, ikhwanul muslimin, salafy, muhammadiyyah, dll. Buat saya apa yg kita yakini adalah tanggung jawab pribadi masing2, adapun orang yg mengajak kepada kebenaran akan dapat pahala dan orang yg mengajak kesesatan maka akan mendapat dosa, tentunya mengajak kepada kebenaran ini harus dg cara yg ikhsan, sya bukan termasuk golongan diantara satupun diatas, tetapi sya bisa sepakat dg siapa saja selama dalilnya shahih.
Ringkasnya :
1. Jika ada takwil sesuai Al Qur’an dan As-Sunnah, maka wajib beriman thd takwil trsbt.
2. Jika tdk ada takwil/penjelasan dlm Al Qur’an dan As-Sunnah, maka kita beriman thdp ayat/hadits tsbt, namun mengenai maknanya hanya Allah SWT yg Tahu,dan sya pribadi lbh sepakat dg ulama2 yg tidak melakukan :
> takwil,
> merubah maknanya,
> meniadakan sifatnya,
> Menyerupakan dg makhluk
Mas Hery , atas kehendak atau karunia dari Allah Azza wa Jalla manusia diberikan kemampuan menta’wilkan.
Yang terlarang adalah mencari-cari ta’wil berdasarkan akal pikiran sendiri
Doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk Ibnu Abbas ra untuk dapat menta’wilkan , Allahum ‘allimhu al hikmah dan allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al Ta’wil.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Dijelaskan dalam (QS Ali Imron [3]:7) bahwa yang dapat menta’wilkan atau mengambil pelajaran dari ayat-ayat mutasyabihat adalah Ulil Albab, muslim yang menggunakan lubb atau akal qalbu atau muslim yang menundukkan akal pikirannya kepada akal qalbu
Selengkapnya telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/01/29/tundukkan-akal-pikiran/
ya saya juga sepakat bahwa ibnu abbas pernah didoakan untuk mengerti ta’wil terhadap al qur’an. Oleh karena itu, penakwilan /tafsir al qur’an itu harus berdasarkan as-sunnah (baik sunnah Rosulullah SAW maupun sahabatnya yg mendapat petunjuk). Karena kalau bertentangan dg mereka, maka dikhawatirkan banyak yg tdk sesuai dg tuntunan Rosulullah SAW.
Sya sepakat dg Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
jadi tafsirannya adalah tilawahnya seperti Istiwa’ ya istiwa (maknanya, tatacaranya hanya Allah SWT), wajhullah kalau dibaca ya tetap wajhullah (makna, bagaimana bentuknya hanya Allah Yg Tahu). Yang menurut mas ini adalah makna majazi (karena menyebut wajah berbeda dg makna sebenarnya), buat saya ga masalah mau majazi atau apalah namanya, yg penting, Sifat Wajhullah, Sifat Yadullah itu : disebutkan dlm Al Qur’an, adapun maknanya hanya Allah Yg Tahu. Kenapa Allah menyifati diri-Nya seperti pd ayat2 mutasabihat…??? Ya kita juga tidak tahu(Hanya Allah yg Maha Tahu). karena Allah SWT menetapkan sifatnya seperti itu, maka kewajiban kita adalah taat/beriman sesuai apa Yg dikehendaki Allah, nah apakah kita mau mengingkari apa yg telah Allah Sifatkan untuk Diri-Nya…???. Lbh baik mengikuti Imam Malik dan Imam Ibnu Uyainah itu, yaitu menafsirkan sesuai bacaannya —> atau yg sering disebut dzohir ayatnya/tulisannya/ucapannya dan diam setelah itu (artinya tdk menanyakan/ memaknai dg yg lain2), bukan kah ini sesuai pemahamn Ibnu Taimiyyah…???,sesuai sekali Mas.., beriman kepada dzohir ayat itu lbh selamat dari pada merubah maknanya, menghilangkan sifanya(menghilangkan dzhohir ayat), menyerupakan dg makhluk.
Menakwilkan berdasarkan akal pikiran itu, bukan hanya tanpa ilmu, tetapi banyak juga yg berilmu namun pada titik tertentu menggunakan akal fikirannya. Tidak kembali pada AL Qur’an dan As-Sunnah, dan bahkan ada yg tetap memegang teguh pendapat ulama/madzhabnya walaupun bertentangan dg hadits shahih, dan ada juga yg mengatasnamakan fatwa imam madzhab…padahal Imam Madzhabnya tdk berfatwa sebagaimana yg diklaimkan. padahal Imam Syafii pun bilang ” jika ada hadist shahih maka itulah mazdhabku” –(imam syafii pun faham, bahwa kita ini harus perpedoman pada Rosulullah SAW, dan beliau pun menyadari bahwa, tidak semua hadits beliau hafal, namun beliau hanya berusaha/berijtihad semampunya). Kita ketahui bahwa ulama ahli hadits (Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim , dll). Nah apakah Imam Syafii berdosa jika salah…??, ya tentu tidak, karena beliau berijtihad, salahnya juga akan mendapat pahala. Beda halnya dengan kita saat ini, yg sudah disuguhi semua karya2 ulama, tentunya akan berbeda hukumnya jika kita mengikuti pendapat yg bertentangan dg hadits shahih.
Ok sya sudah baca artikel tundukan akal, karena memang kita ini wajib tunduk terhadap Syari’at ( Al Qur’an dan As-Sunnah), walau bertentangan dg akal/ ketentraman hati.
Minta fatwa kepada hatimu itu betul dan bisa terdeteksi ketika yg dilakukan adalah kemaksiatan yg sudah terang benderang dan banyak orang yg mengetahuinya. Adapun kalau hanya sebatas justifikasi/pembenaran terhadap faham/keyakinan tertentu,….maka hal ini harus dicocokan terlebih dahulu dengan syari’at( Al Qur’an dan As-Sunnah). Misal:
1. Ahmadiyyah, Syiah, dan faham2 lainnya: apakah mereka tdk tentram dg yg dianutnya…?????, mereka merasa tentram karena apa, karena sudah mendarah daging, membentuk karakter, dan kokoh didalam hati mengenai keyakinan yg batil itu. Kalau sudah begini bagaimana…?? ya minta fatwa kepada hatimu itu : menjadi relatif /tdk mutlak. Karena yg harus dikedepankan adalah dalil bukan perasaan hati. kalau bertentangan dg dalil, meskipun tentram dihati, maka harus kita tinggalkan, termasuk penganut faham2 diatas..harusnya menyadari ini. (namun itu kewenangan Allah yg memberi taufik)
2. Mas tahu , para koruptor, dan para pelaku dosa kecil, mereka menganggap sepele, karena, apa…??, didalam hatinya mereka mungkin sudah tdk merasa dosa, sudah biasa dan akhirnya menjadi kebiasaan dan menjadi biasa saja, mereka merasa tentram2 aja bukan, sebelum dikejar2 KPK/ketahuan orang lain…
3. Kebiasaan/keyakinan yg telah lama difahami, dilaksanakan, dan sudah dijiwai—> akan susah diubah, karena kalau diubah akan membuat hati terusik, dan merasa ga nyaman. Walaupun yg merubah itu adalah suatu kebenaran/ilmu Al Qur’an dan As-Sunnah. Karena itulah sifat dasar manusia.
4. Kalau hati yg dijadikan ukuran, maka yahudi, nasrani, dll juga merasa tentram hatinya dg apa yg yelah mereka yakini. Lantas apakah keyakinan mereka menjadi benar menurut sudut pandang Islam…??? , tentu tidak bukan…??, karena apa, karena bertentangan dg Syari’at Islam (Al Qur’an dan As-Sunnah)
5. Jadi perlu hati2, dalam menggunakan hadits tentang minta fatwa pada hatimu. Perlu dibatasi/ perlu memakai rem yaitu Al Qur’an dan As-Sunnah, artinya jangan sampai bertentangan dg Al Qur’an dan As-Sunnah. Syaikh Abdul Qodir Al Jailani pun sering menegaskan bahwa kita ini harus tetap berpegang teguh pada syariat. Raihlah hakikat dan jangan abaikan syari’at.
Mas Hery, Ulil Albab adalah muslim yang dapat menundukkan akal pkiran mereka kepada akal qalbu berdasarkan karunia hikmah yang diberikan oleh Allah Azza wa Jalla.
Mas Hery, apakah Ulil Albab hanya muncul pada masa Sahabat saja ?
Mas Hery buanglah jauh-jauh pembatasan generasi salaf dan khalaf, karena hal itu termasuk hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/27/salaf-dan-khalaf/
mas Hery maaf nimbrung dalam tulisan terakhir nt “Syaikh Abdul Qodir Al Jailani pun sering menegaskan bahwa kita ini harus tetap berpegang teguh pada syariat. Raihlah hakikat dan jangan abaikan syari’at.”………..pertanyaannya 1. apa nt setuju dgn fatwa Syaikh Abdul Qodir Al Jailani tsb 2 . bagaimana meraih hakikat menurut nt mas Hery ……mohon pencerahannya ……….terimakasih …..
Ulil Albab adalah muslim yang dapat menundukkan akal pikiran mereka kepada akal qalbu berdasarkan karunia hikmah yang diberikan oleh Allah Azza wa Jalla. Saya sepakat dengan ini. Namun hikmah yg diberikan Allah azza wa jalla itu seperti apa….??? setiap orang akan meyakini dan mengklaim bahwa qolbunya dikaruniai hikmah, namun indikatornya apa…??apa perasaan hati….???? sya belum sepakat dg ini, karena perasaan hati harus dibimbing oleh Al Qur’an dan As-Sunnah,
Ulil albab, tentu mas Zon pun tahu…, bukankah tidak sebatas pada sahabat saja. Namun fokus permasalahannya bukan pada batasan ini. Tetapi memahami agama ini hendaknya tdk bertentangan dg para sahabat yg mendapat petunjuk. Kita sudah mengetahui bahwa ahlusunnah waljamaah itu adalah yg mengikuti SUnnah Rosulullah SAW dan para sahabat yg mendapat petunjuk sebagaimana hadits tentang perpecahan ummat. Jadi artinya apa…, bukan terbatas kepada mereka masalah ulil albab itu, namun kalau pemahaman kita dalam islam menyelisihi mereka…maka dhawatirkan akan menyimpang, hal ini bukan berarti mengkerdilkan akal fikiran itu, kan kita sudah tahu bahwa akal ini untuk berfikir, namun untuk masalah agama maka harus mengedepankan dalil.
Kembali kepada shifat2 Allah SWT: Mas, sepakat dg Imam Malik, Imam Ibnu Uyainah yg kita beriman kepada Istiwa’ …??kalau iya, kenapa tidak beriman juga kepada Wajhullah, Yadullah yg telah jelas Allah sifatkan itu dalam AL Qur’an.
Imam AHmad pun berkata ttg sabda Rosul :
Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia (HR Bukhari 1145)
Sesungguhnya ALlah akan dilihat di Hari kiamat (HR Bukhari :573)
Kita wajib beriman kepadanya dan membenarkannya, tanpa menetapkan bentuk dan caranya, tanpa makna. Kita tidak boleh menolak sesuatu pun darinya. Kita wajib mengetahui (yakin) bahwa apa yg dibawa Rasulullah SAW adalah kebenaran, kita tdk boleh menyangkal Rosulullah SAW, kita tidak menyifati Allah lebih dari apa yg telah dia sifatkan untuk Diri-NYa tanpa batas dan akhir.
Kita wajib mengatakan sebagaimana yg Dia Firmankan, kita menyifatiNya dengan apa yg telah Dia tetapkan untuk DiriNya tanpa melampau batas, Penetapan sifat oleh orang yg menyifatiNya tdk akan meliputiNya, kita wajib beriman kepada AL Qur’an seluruhnya, baik yg muhkam(jelas) maupun yg mutasyabih, kita tdk boleh menanggalkan dari Allah satu sifat sekalipun diantara sifat-sifatNya hanya karena kebencian yg dikobarkan orang, kita tidak boleh lancang terhadap AL Qur’an dan Hadits, kita tidak mengetahui bagaimana bentuk dan cara sifat tersebut kecuali dengan membenarkan Rasulullah SAW dan mengukuhkan AL Qur’an (silahkan merujuk Manaqib Imam AHmad, karya ibnul jauzi, biografi Imam AHmad milik adz zahabi)
Imam Syafii berkata ” AKu beriman kepada Allah dan kepada apa yg datang dari Allah dan aku beriman kepada Rosulullah SAW sesuai apa yg diinginkan Rosulullah SAW.
Ibnu Taimiyyah berkata” apa yg dikatakan As-Syafii ini merupakan kebenaran yg wajib diyakini oleh setiap musli. Siapa yg meyakininya dan tidak melakukan apa yg membatalkannya, maka dia telah meniti jala keselamatan di dunia dan akhirat. Saya berkata diantara perkataan As-Syafii yg penting dibidang Asma wa Shifat Allah adalah ucapannya ,
” Allah SWT mempunyai nama-nama dan sifat sifat, tidak patut bagi siapapun yg mengetahuinya untuk menolaknya, jika dia tetap menolaknya padahal dia mengetahuinya maka dia kafir, namun sebelum dia mengetahui maka dia dimaklumi karena ketidaktahuannya, karena ilmu tentang itu tidak diketahui melalui akal, tidak pula dengan perenungan dan pemikiran. sifat2 ini harus ditetapkan melalui tasybih sebagaimana Allah menafikannya dari DiriNya. (Ar Risalah Al Madaniyah ibnu Taimiyyah dalam Lum’atu I’tiqod karya Imam Ibnu Qudamah al Maqdisi seorang ulama madzhab Hanbali).
Diatas prinsip inilah Salafusshalih dan para Imam Khalaf berjalan, mereka semua sepakat untuk mengakui, membiarkannya (secara makna zahir) dan menetapkan bagi sifat-sifat Allah yg termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa bertingkah untuk menakwilkannya.
Coba difahami pernyataan Imam AHmad dan Imam As-Safii: mereka beriman thdp Apa yg datang dari Allah. Saya yakin Mas Zon pun sepakat, namun yg berbeda adalah masalah takwil, sedangkan para ulama tidak berani menakwilkannya artinya apa…?? mereka membiarkan sesuai zhahirnya, adapun jika ada penjelasan mengenai makna sifat Allah dalam hadits, maka kita juga beriman bukan….???
Coba mas, telusuri bagaimana orang yg mengartikan yadullah dengan kekuatan. Ini mengartikan bukan berdasarkan ilmu, namun berdasarkan perasaan/akal, padahal Allah dan Rasulnya tidak menjelaskan seperti itu, jadi sebenarnya mana yg lebih kuat /benar….??? apakah menakwilkannya sesuai akal dan perasaan atau membiarkannya sesuai makna zhahirNya…sebagaimana Imam AHmad dan Imam Syafii sampaikan.
namun jika kita tdk mengerti dan belum memahami perkara ini, insya ALlah ada ampunan Allah, karen Allah tdk membebani kita diluar kemampuan kita (sesuai ilmu yg dimiliki)
Mengenai gazwul fikr, saya tidak melihatnya seperti itu. Sejauh pemahaman sya justru Yahudi tdk suka dg mereka, karena mereka mengajak dan menghidupkan Al Qur’an dan As-Sunnah, sehingga mereka membuat fitnah fitnah yg keji agar umat Islam menjauh dari pemahaman mereka, sehingga umat ini terhalang dari kebenaran. (silahkan cari saya dituduh wahabi Karya Prof Nashir Al Aql, yg menjelaskan siapa itu wahabi secara objektif).
MAS MAMO,
Hakikat dalam artian ihsan, saya sepakat dengan ini, karena artinya kita beribadah seolah2 melihat Allah, atau kalau tidak mampu maka Allah melihat kita (sesuai hadits Jibril yg menanyakan Iman, Islam, Ihsan kepada Rasulullah SAW dlm rangka mengajarkan para sahabat). Ihsan atau apapun namanya baik hakikat atau ma’rifat, kalau bertentangan dengan syariat dalam menempuhNya, maka saya tidak akan pernah sepakat, misal berdzikir dengan tatacara/metode sendiri , menari2, . Karena prinsip sya semuanya harus berdasarkan syariat yg dibawa oleh Rosulullah SAW. Kita betul diperintah untuk mencari jalan (wasilah), namun tidak boleh keluar dari batas2 syariat. Karena yg berhak menetapkan Syariat itu Allah SWT ug disampaikan oleh Rosulullah SAW. Hadits Rosul itu bukan dari hawa nafsunya namun wahyu yg diwahyukan kepadanya melalui Jibril ( Firman Allah : Wamaa yantiquu ‘anil hawaa inhuwa illa wahyuu yuuhaa). Jadi untuk mencapai ihsan itu harus sejalan dengan AL Qur’an dan As-Sunnah, dan tidak boleh berlebih-lebihan (Firman ALlah : Latagluu fii dinikum), apalagi membuat tata cara baru yg menyerupai syaria’t… sya tdk sepakat dg hal seperti itu, karena sya khawatir bertentangan dengan Rasulullah SAW.
jadi hemat saya : seyogyanya ummat ini tidak terkungkung dengan faham yg dianutnya, namun perlu fikiran yg terbuka, mau membaca/mempelajari karya2 ulama dari madzhab/manhaj yg lainnya, agar tidak fanatik, dan tidak merasa benar sendiri, sya sering diskusi sama penganut NU, muhammadiyyah, PKS, termasuk juga salafy, dan kepada pengikuti salafy pun saya sering mengatakan akan pentingnya akhlak, nilai2 sosial, bagaimana cara berperilaku terhadap sesama muslim, lebih utamakan ukhuwah, sampaikanlah pemahaman dengan ikhsan, tidak memaksakan, dan tidak merasa benar sendiri.
Untuk Mas Mamo, coba sampean ajarkan sya bagaimana sebenarnya mencapai hakikat menurut syaikh abdul qodir al jailany menurut pemahaman dan pengalaman ente yg mungkin sudah mencapai hakikat ,,,,, agar saya yg masih bodoh ini dapat tambahasan wawasan. t kasih
mas Hery ini komentar nt di atas : 5. Jadi perlu hati2, dalam menggunakan hadits tentang minta fatwa pada hatimu. Perlu dibatasi/ perlu memakai rem yaitu Al Qur’an dan As-Sunnah, artinya jangan sampai bertentangan dg Al Qur’an dan As-Sunnah. Syaikh Abdul Qodir Al Jailani pun sering menegaskan bahwa kita ini harus tetap berpegang teguh pada syariat. Raihlah hakikat dan jangan abaikan syari’at.
kok nt malah nanya ke ana ……….???
Maksudnya begini, tasawuf kan identik dengan pembedaan syari’at dan hakikat. Sya pribadi hanya menyarankan bahwa jika ingin mencapai hakikat seperti mursyid, atau syaikh2 tasawwuf sebagaimana cita2 para penganut tasawuf , maka jangan abaikan syari’at. Sya pribadi gak pernah mikirin hakikat, sya lebih suka “ihsan” (sesuai hadits Rosul)…adapun untuk mencapai ikhsan, ya kita berusaha mengikuti langkah Rosulullah SAW dan para sahabatnya yg mendapat petunjuk, dan para ulama/imam madzhab selama berdasarkan AL Qur’an dan As-Sunnah.
Jadi bukan berarti sya sudah faham bagaimana caranya mencapai hakikat sesuai tasawwuf. Sya hanya menyarankan : jangan abaikan syariat…kalau ingin lebih dirdhoi Allah SWT.
Dalam beribadah/mendekatkan diri kepada Allah SWT, tentunya Allah telah menyampaikan bagaimana caranya, yaitu yg telah diajarkan oleh Rosulullah SAW, baik dari Jenis Ibadahnya, bentuk dan Tatacaranya, Ucapan atau dzikirnya. Karena hak untuk memerintahkan (ibadah dan tatacaranya termasuk ucapan/bacaan/dzikir) adalah kewenangan Allah SWT, Rosulullah SAW pun mengajarkannya bukan berdasarkan hawa nafsunya/pemikiran pribadinya namun berdasarkan wahyu Allah SWT. (Wamaa yantiquu a’nil hawaa inhuwaa illa wahyuu yuuhaa).
berikut adalah beberapa contoh hadits dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT, sya lebih suka mengamalkan hadits2 ini, dari pada membuat ucapan atau tatacara sendiri, ini sebagai salah satu bukti taat kepada Allah dan Rosul-Nya. Sya pribadi hanya melakukan semampu saya, namun saya pribadi jika tidak melakukannya bukan berarti saya tidak menyukai hadit2 ini, sya tetap menyukainya dan melakukannya semampu saya.
Rosulullah SAW bersabda:
” apa2 yg diperintahkan kepadamu, maka lakukanlah semampumu”
” barang siapa yg tidak menyukai sunnahku maka bukan ummatku”
2 hadits inilah yg memotivasi saya untuk berusaha melakukan ibadah sesuai kemampuan dan sesuai petunjuk Rosulullah SAW.
Coba bayangkan , bagaimana kalau kita melakukan diluar kemampuan kita misal dzikir sekian ribu, maka ini akan timbul ketidak ikhlasan dan bersikap berlebih lebihan dlm agama (Allah berfirman : Laa taghlu fii dinikum” janganlah berlebih2an dlm agamamu), terus sebenarnya apa yg ingin diraih dari dzikir sebanyak itu dengan batasan tertentu, maka sya khawatir terkena hadits diatas dan timbul ketidak ikhlasan dalam beramal disebabkan ingin mencapai tujuan duniawi dg dizkir sekian ribu itu. Betul ada ayat yg memerintahkan kita untuk berdzikir sebanyak banyaknya, kepada Allah SWT. Namun caranya telah Rosulullah SAW ajarkan, bukan membuat buat sendiri….(bukankan ini salah satu bukti taat kepada Sunnah Rosulullah SAW…??) dalam hal ini sunnah itu maknanya bukan hukum setelah wajib, namun jalan yg ditempuh/ metode/ al hadits, hukumnya bisa wajib bisa sunah tergantung penekanan/konteksnya. Misal Soluu kamaa roaitumunii usolli: solatlah kamu sebagaimana aku sholat, maka hadits ini menjadi WAJIB bahwa kita harus meneladani tatacara dan bacaan Rosulullah SAW dlm menegakan sholat (tidak boleh membuat tatacara/ucapan sendiri).
berikut contoh hadits dimaksud :
1. Barang siapa yg bershalawat 10 kali di pagi hari dan 10 kali di sore hari, maka ia akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat (shahihut taghrib wa tahrib no. 259). Ucapan sholawat, sya lebih suka sperti yg ada dihadits Imam Bukhari (sholawat ibrohimiyyah: tanpa sayyidinaa)
2. Istigfar dh Sayyidul Istighfar (jika membaca di sing hari trus meninggal di sebelum sore maka termasuk ahli surga, dan jika dibaca malam dan ia yakin akan diampuni Allah terus menigggal sebelum pagi, maka ia termasuk ahli surga)
3. Barang siapa membaca “Astaghfirullahaladzii lailaha illa huwal hayyul qoyyum waatubu ilaih”, maka akan diampuni dosanya meski lari dari medan perang (HR Abu Dawud no.466)
4. “Barang siapa yg merutinkan istighfar , maka Allah akan :
-menjadikan jalan keluar dari setiap kesempitan
-Menjadikan kelapangan dari setiap kesedihan
-Memberi rizki dari arah yg tdk disangka2 (HR.Abu Dawud (II/5))
5. Ketika masuk Masjid Rosulullah SAW membaca: Audzubillahil a’dzhiim wabiwajhihil karim, wasultonihil qodiim minsyaitonirrojiim. Setan berkata “ia dijaga dariku sehari penuh”. HR Abu Dawud no. 466
6. “Lailaha illalloh wahdahulaa syarikalahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa a’la kulli syaiin qodiir. 10 kali pagi dan sore , maka ditulis baginya 100 kebaikan dan dihapus 100 kesalahan, senilai dg memerdekakan hamba sahaya, dan dijaga dr pagi sampe sore(dari berbagai bahaya) (HR. Imam Ahmad, IV/60)
Dan yg membacanya 100 kali, senilai dg memerdekakan 10 hamba sahaya, dituliskan 100 kebaikan , dihapus 100 keburukan, dzikir ini menjadi pelindung dr syetan sampai sore, tdk ada seorangpun yg lbh utama yg ia lakukan, kecuali yg membacanya lbh banyak. (HR. Bukhari (XI 168-169)
7. Siapa yg keluar rumah mengucapkan : Bismiilaahi twakaltu a’lallohi laahaula walaa quwwata illa billah, maka dikatakan kepadanya kamu akan dilindungi, dicukupi, dan ditunjuki. Dan syetan menjauh darinya (HR.Attarmidzi no.3422) ia mengatakan hadits hasan shahih.
8. “Barang siapa membaca hasbiyallohu laailaha illahuwa a’laihi tawakaltu wahuwa robbul arsyil adzhimu (i)” sebanyak 7 kali, maka Allah akan mencukupi apa yg dicita citakannya, baik perkara dunia maupun akhirat”. (HR Ibnu sunni dlm ‘malul yaumi wallaialah (70)dishahihkan oleh syaikh al arnauth, lihat zaduul ma’ad (II/376).
Smoga bermanfaat, mohon maaf jika ada kata2 yg kurang berkenan.
Jadi bagaimana dg Asma Wa SHifat …????
Apakah sepakat dengan dg Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
jadi tafsirannya adalah tilawahnya :
1. seperti Istiwa’ ya istiwa (maknanya, tatacaranya hanya Allah SWT),
dan kita harus konsisten dengan sifat Allah yg lainnya:
2. wajhullah kalau dibaca ya tetap wajhullah
(makna, bagaimana bentuknya hanya Allah Yg Tahu). Yang menurut mas ini adalah makna majazi (karena menyebut wajah berbeda dg makna sebenarnya), buat saya ga masalah mau majazi atau apalah namanya, yg penting, Sifat Wajhullah,
3.Sifat Yadullah itu :
disebutkan dlm Al Qur’an, adapun maknanya hanya Allah Yg Tahu.
Kenapa Allah menyifati diri-Nya seperti pd ayat2 mutasabihat…??? Ya kita juga tidak tahu(Hanya Allah yg Maha Tahu).
karena Allah SWT menetapkan sifatnya seperti itu, maka kewajiban kita adalah taat/beriman sesuai apa Yg dikehendaki Allah, nah apakah kita mau mengingkari apa yg telah Allah Sifatkan untuk Diri-Nya…???.
Lbh baik mengikuti Imam Malik dan Imam Ibnu Uyainah itu, yaitu menafsirkan sesuai bacaannya —>
atau yg sering disebut dzohir ayatnya/tulisannya/ucapannya dan diam setelah itu (artinya tdk menanyakan/ memaknai dg yg lain2),
bukan kah ini sesuai pemahaman Ibnu Taimiyyah…???,sesuai sekali Mas.., beriman kepada dzohir ayat itu lbh selamat dari pada merubah maknanya, menghilangkan sifanya(menghilangkan dzhohir ayat), menyerupakan dg makhluk.
Mas Hery, para Salaf yang sholeh , tafsirannya adalah tilawahnya bukan tafsirannya adalah menterjemahkan atau memaknainya secara dzahir
Salaf yang sholeh membiarkan ayat-ayat sifat sebagaimana datangnya tanpa menafsirkannya baik dengan mengambil makna hakiki (zhahir). Inilah yang dimaksud dengan perkataan punggawa-punggawa salaf radhiyallahu anhum di bawah ini:
وقال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir.”
Ulama Salaf tidak mentafsirkan ayat-ayat sifat dengan tafsiran apapun, tidak memperdalam maknanya dan menyerahkan saja makna dan hakekat ayat itu kepada Allah Ta’ala. Allah yang tahu artinya apa.
Ini pula yang dimaksud dengan perkataan Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah ingin memalingkan kita dari mencari makna zhahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat & mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Mayoritas mereka tidak mau mentafsirkan ayat-ayat sifat, jika ditafsirkan secara zhahir maka akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Begiutpula peringatan yang disampaikan ulama-ulama terdahulu dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Begitupula peringatan yang disampaikan Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Mas mengatakan bahwa :
ayat-ayat sifat sebagaimana datangnya tanpa menafsirkannya baik dengan mengambil makna hakiki (zhahir).
Bagaimana perkataan Imam Malik tentang Istiwa’……………??????
Imam Malik menetapkan Istiwa’ itu salah satu sifat Allah bukan…???
Bukankah ini sesuai dzohirnya….??? Di dalam al Qur’an itu Arrohmanuu a’lal arsyis tawa’…
(Yang Maha Pengasih Istiwa’ diatas Arsy)\
Maknanya kita tidak mengetahui , Imam malikpun hanya menetapkan saja sesuai dzohir ayatnya (lafadz), dan ini sesuai dg Imam Ibnu Uyainah Tafsirnya adalah tilawahnya (bacaannya).
Bukankah kita juga ketika membaca ayat diatas TIDAK merubah kata Istiwa’…?? Begitu juga dengan sifat yg lainnya.
Nah ini yg saya tidak sepakat dg Mas…, sya konsisten dg fatwa Imam Malik, sedangkan Mas…, kenapa tidak konsisten dg pernyataan Imam Malik dalam menetapkan sifat yg lainnya….???
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku:
“Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir.”
Ulama tdk menafsirkan, namun Menetapkan seperti datangnya (Membiarkannya sebagaimana ia datang).
nt sepakat dalam satu masalah dgn Imam Malik namun ana yakin nt nggak bermadzhab kan ………hanya menukil nukil tujuannya untuk mendebat namun nggak sepakat dgn yang lain he he he he he nt merasa lebih hebat dari imam madzhab ya …………..innalillahi ……
ya sukur kalo anda sepakat….., artinya anda harus konsisten dalam menyikapi asma washifat yg tertera dalam Al Qur’an bukan…???
ya betul jujur saja…sya ga bermadzhab. Begini : prinsip saya kebenaran itu tidak terbatas pada madzhab namun ada pada Al Qur’an dan As-Sunnah. Imam Madzhab itu berijtihad…., jadi yg namanya ijtihad itu bisa diikuti dan bisa tidak ditinggalkan bukan…?? dan ini disesuaikan dg ilmu dan keyakinan masing2 toh….???
Saya tanya sama anda, apakah para sahabat, tabi’in tabut tabiin..jaman dulu, terus ulama2 sezaman dengan 4 madzhab seperti al auza’i, sofwan tsauri, apakah mereka bermadzhab….??? ok anda bermadzhab syafii, anda tahu perkataan Imam Syafii kepada Imam AHmad: bahwa jika ada pendapatnya yg bertentangan dg hadits shahih maka ambilah hadits shahih itu. Ini maknanya apa menurut anda…???
Saya tdk bermaksud mendebat, namun mari kita belajar secara objektif jangan fanatik terhadap madzhab sehingga orang diluar madzhabnya/ yg tdk bermadhab selalu disalahkan….,
Anda tahu…apakah imam syafii mengajarkan tahlilan atau maulid…???? kalau memang anda konsisten mermadzhab syafii…ikutilah secara total. Ulama2 sekarang tidak ada yg menyalahkan imam syafii…namun terkadang para pengikutnya tidak konsisten dalam bermadzhab kpd Imam Syafii….ini yg dikritisi.
Innalilahi….., siapa yg bilang saya lebih hebat, sungguh fitnah naudzubillah. Bukankah fitrah manusia itu bisa sepakat dengan si A pada satu perkara dan sepakat dg si B dalam satu perkara. Dan Tolak ukur kebenaran itu AL Qur’an dan As-Sunnah, dan kita diperintah belajar dan mengamalkan semampu kita.
Para imam madzhab itu mengHARAMkan taklid buta. Sementara kita dalam rangka mempelajari ilmu dan berusaha semaksimal mungkin menggali sumber hukum berdasarkan bimbingan ulama (orang2 yg berilmu) bukan, insya Allah …akan dinilai ibadah dari pada orang yg hanya ikut2an tanpa tahu dalilnya bukan…???
saya tanya anda…. siapa Imam ahli hadits…???? apakah ada peluang Imam Syafii tdk mengetahui / belum menggunakan hadits shahih dlm perkara terntentu…. atau mungkin terpakainya hadits lemah/palsu dalam perkara terntentu…(coba anda kaji kitab ar risalah dan bandingkan dengan hasil tahqiq para ahli hadits)???
Peluang ini masih ada saudaraku….., karena imam syafii bukanlah Rosulullah SAW. Kalau mengenai madzhab, ok lah saya akan pilih madzhab ahlul hadits. Objektif lah dalam berfikir, jangan main ejek2 begitu…., bantahlah pernyataan saya dengan ikhsan dan ilmu. Semogha ALlah membimbing kita kejalan yg diridhoi-Nya…amin.
Mas Hery, intinya kami tidak pernah menyepakati memahamai ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah dengan makna dzahir karena hal itu akan menjerumuskan kedalam kekufuran dalam i’tiqod
Perhatikanlah peringatan Imam Sayyidina Ali ra dan ulama-ulama terdahulu yang sholeh.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Jadi Imam Malik yg meyakini Istiwa’ sebagaimana ayatnya (lafadz/zhahirnya): apa hukumnya Mas…???
Ustadz zon sudah mempersilahkan saudara kita yg satu ini untuk memahami sesuai yang dikehendakinya. Tapi sepertinya dia memaksakan kehendak agar kita menerima pemahaman yang sesuai dengan kehendaknya……
LICIK!!!!!!
Sebenarnya anda sdh banyak menebar syubhat.. tp stelah baca siapa anda saya jadi tau kalo anda adalah orang pengecut yg tidak berguna، tdk berani menampakkan diri..
kalo anda adalah orang yang bertujuan baik silahkan perkenalkan diri anda..
segala puji bagi Allah yg menjadikan kami mengambil ilmu dari manusia yg jelas.. sebab agama ini jelas.. islam telah jelas sejelas matahari disiang hari..
maaf ikut nimbrung, berhubung saya awam masalah agama,apalagi masalah dalil dalil naqli, maka saya hendak bermain kata untuk contoh, berikut kata katanya:
“singa itu sedang mengejar rusa,”
“singa itu sedang menyetir mobil.”
keduanya sama sama bertuliskan “singa”, tp tentu saja mempunyai pengertian yg berbeda,
“singa itu mengejar rusa ” singa disini maksudnya ya binatang yg nama nya singa sedang mengjar rusa yg merupakan buruan nya
“singa itu sedang menyetir mobil ” hmm…klo di artikan secara textual tentunya jadi gak nyambung, seumur hidup pun gak ada seorangpun yg pernah melihat singa menytir mobil,lalu bagaimana memaknai kalimat tersebut? yaitu dengan majas atau penggeseran arti dari kata tersebut, maka di lihat lah sifat apa yg wajib ada pada seekor singa, diantaranya garang,liar,menakutkan dll yg ada pada sifat singa, kemudian diterapkan lah kepada yg menyetir mobil tersebut yg tidak lain adalah manusia, karena hanya manusia yg bisa menyetir mobil dan mempunyai sifat seperti singa, jadi maksud “singa itu sedang menyetir mobil” adalah orang yg garang liar dan menakutkan itu sedang menyetir mobil, maka cocok lah kalimat tersebut. memaknai kata “singa” tanpa perlu tahu apa itu singa dan bagimana singa itu berarti orang tersebut belom pernah mendapat informasi tentang singa, sehingga wajar sama kalo orang tersebut memaknai “singa itu sedang menyetir mobil” ya benar benar “singa” lalu bagaimana cara yg menyetirnya? hanya singa saja yg tahu bagaimana ia menyetir mobil, jawaban ini dikarenakan ia tidak tahu klo singa itu tidak bisa menyetir mobil,
mungkin contoh ini tidak ada hubungan nya dgn topik di atas, tapi saya pernah membaca bahwa beberapa rosul itu diberikan mukjizat sesuai dengan budaya kehebatan kaum dimasa nya, semisal nabi musa yg di utus kepada bani israil yg sedang ramai dengan kehebatan sihirnya maka di tandingaknlah kehebatan para ahli sihir dimasa itu dengan mukjizat nabi musa,begitupun di zaman rosululloh muhammad saw, yg sedang ramai dengan budaya bermain kata dan syair dengan di turunkan nya al-quran untuk menandingi kehebatan ahli syair di zaman beliau..
mohon maaf bila tidak berkenan,sesungguhnya setiap muslim itu adalah saudara,saling menolong dgn penuh kesantunan dan berahlak mulia antara sesama muslim itulah tujua di utusnya nabi, sesuai sabdanya “sesungguhnya aku di utus ke dunia ini untuk menyempurnakan ahlak yg mulia” jadi tolong jgn mengomentari saya denagn mencela saya karena menulis tanpa dalil hadits atau nash alquran, karena bukan tujuan rutama rosullullah di utus ke dunia ini supaya saya hapal hadits dan alquran 😀