Riwayat Perkuburan Al Baqi
Rabu 8 Syawal 1345 Hijriah bertepatan dengan 21 April 1925 mausoleum (kuburan besar yang amat indah) di Jannatul al-Baqi di Madinah diratakan dengan tanah atas perintah Raja Ibnu Saud. Di tahun yang sama pula Raja Ibnu Saud yang Wahabi itu menghancurkan makam orang-orang yang disayangi Rasulullah Saw (ibunda, istri, kakek dan keluarganya) di Jannat al-Mualla (Mekah).
Penghancuran situs bersejarah dan mulia itu oleh Keluarga al-Saud yang Wahabi itu terus berlanjut hingga sekarang.
Menurut beberapa ulama apa yang terjadi di tanah Arabia itu adalah bentuk nyata konspirasi Yahudi melawan Islam, di bawah kedok Tauhid. Sebenarnya, tujuan utamanya adalah secara sistematis ingin menghapus pusaka dan warisan Islam yang masih tersisa agar Kaum Muslim terputus dari sejarah Islam.
Asal Muasal al-Baqi
Secara harfiah “al-baqi” berarti taman pepohonan. Dikenal juga sebagai “Jannat al-baqi” karena “keramatnya” sejak keluarga dan sahabat Rasulullah dimakamkan di tempat ini.
Sahabat pertama yang dimakamkan di al-Baqi adalah Usman bin Madhoon yang wafat 3 syaban tahun 3 hijiriah. Rasulullah memerintahkan menanam pepohonan di sekitar pusaranya. Rasul juga meletakkan dua buah batu di antara makam sahabatnya itu.
Tahun berikutnya putra Rasulullah Ibrahim wafat saat masih bayi. Dengan derai air mata Rasulullah memakamkan putranya tercinta itu di al-Baqi. Sejak itulah penduduk Madina ikut juga memakamkan sanak saudaranya di al-Baqi. Apalagi setelah mendengar sabda Rasulullah,” Salam sejahtera untukmu wahai orang yang beriman, Jika Allah berkenan , kami akan menyusulmu. Ya Allah, ampunilah ahli kubur al-Baqi’.
Tanah pemakaman al-Baqi perlahan pun diperluas. Tak kurang dari 7000 sahabat Rasulullah dikuburkan di sini. Termasuk juga ahlul baytnya yaitu Imam Hasan bin Ali, Imam Ali bin Husayn, Imam Muhammad Al_Baqir, dan Imam Ja’far al-Sadiq.
Selain itu saudara Rasulullah yang dimakamkan di al-baqi adalah, Bibi Safiyah dan Aatikah. Di al-baqi dimakamkan pula Fatimah binti al-Asad (Ibunda Imam Ali bin Abi Thalib).
Khalifah Usman dimakamkan di luar al-Baqi namun belakangan karena perluasan makam maka ia termasuk di al-Baqi. Imam mazhab sunni yang terkenal Malik bin Anas juga dimakamkan di al-Baqi. Tak pelak al-Baqi adalah tempat amat bersejarah bagi Kaum Muslimin di seluruh jagat raya.
Al-Baqi Dalam Perspektif Ahli Sejarah
Umar bin Jubair melukiskan al-Baqi saat ia berkunjung ke Madinah berkata,” al-Baqi terletak di timur Madinah. Gerbang al-Baqi akan menyambut anda saat tiba di al-baqi. Saat anda masuk kuburan pertama yang anda lihat di sebelah kiri adalah kuburan Safiyah, bibi Rasulullah. Agak jauh dari situ terletak pusara Malik bin Anas, Salah seorang Imam Ahlus Sunnah dari Madinah. Di atas makamnya didirikan sebuah kubah kecil. Di depannya ada kubah putih tempat makam putra Rasulullah Ibrahim. Di sebelah kanannya adalah makam Abdurahman bin Umar putra Umar bin Khatab, dikenal sebagai Abu Shahma. Abu Shahma dihukum cambuk oleh ayahnya karena minum khamar. Hukuman cambuk untuk peminum khamar seharusnya tidak hingga mati . Namun Umar mencambuknya hingga ajal merenggutnya. Di hadapan kuburan Abu Shahma adalah makam Aqeel bin Abi Thalib dan Abdulah bin Ja’far al-Tayyar.Di muka kuburan mereka terbaring pusara isteri Rasul dan Abbas bin Abdul Mutalib.
Makam Imam Hasan bin Ali, terletak di sisi kanan dari gerbang al-Baqi. Makam ini dilindungi kubah tinggi . Di sebelah atas nisan Imam Hasan adalah makam Abbas bin Abdul Muthalib. Kedua makam diselimuti kubah tinggi. Dindingnya dilapisi bingkai kuning bertahtakan bintang indah. Bentuk serupa juga menghias makam Ibrahim putra Rasulullah. Di belakang makam Abbas berdiri rumah yang biasa digunakan Fatimah binti Rasulullah as. Biasa disebut “Bayt al-Ahzaan” (rumah duka cita). Di tempat ini putri Rasulullah biasa berkabung mengenang kepergian ayahnya tercinta rasulullah SAWW. Di ujung penghabisan al-Baqi berdiri kubah kecil tempat Usman di makamkan. Di dekatnya terbaring ibunda Ali bin Abi Thalib Fatimah binti Asad”.
Satu setengah abad kemudian pengelana terkenal Ibnu Batutah mengunjungi al-Baqi dan menemukan al Baqi tidaklah berbeda dengan yang dilukiskan Ibnu Jubair. Ia menambahkan,” Al-Baqi adalah kuburan sejumlah kaum Muhajirin dan Anshar dan sahabat nabi lainnya. Kebanyakan mereka tidaklah dikenal’.
Berabad-abad lamanya al-Baqi tetap keramat dengan berbagai perbaikan bangunan yang diperlukan. Semuanya berakhir diabad 19 kala Kaum Wahabi muncul. Mereka menajiskan pusara mulia dan menunjukkan sikap kurangajar pada para syahid dan para sahabat nabi yang dimakamkan di sana. Muslim yang tidak sependapat dicap sebagai kafir dan dikejar-kejar untuk dibunuh.
Penghancuran Pertama al-Baqi
Kaum Wahabi percaya menziarahi makam dan pusara Nabi, Imam dan para syuhada adalah pemujaan terhadap berhala dan pekerjaan yang tidak Islami. Mereka yang melakukanya pantas dibunuh dan harta bendanya dirampas. Sejak invasi pertama ke Irak hingga kini, faktanya, Kaum Wahabi, dan penguasa Negara teluk lainnya membantai Kaum Muslim yang tidak sepaham dengan mereka. Tak pelak lagi seluruh dunia Islam sangat menghormati pemakaman al-Baqi. Khalifah Abu Bakar dan Umar bahkan menyatakan keinginannya untuk dimakamkan di dekat makam Rasulullah.
Sejak 1205 Hijriah hingga 1217 Hijriah Kaum Wahabi mencoba menguasai Semenanjung Arabia namun gagal. Akhirnya 1217 Hijriah mereka berhasil menguasai Thaif dengan menumpahkan darah muslim yang tak berdosa. Mereka memasuki Mekah tahun 1218 Hijriah dan menghancurkan semua bangunan dan kubah suci, termasuk kubah yang menaungi sumur Zamzam.
Tahun 1221, Kaum Wahabi masuk kota Madinah dan menajiskan al-Baqi dan semua mesjid yang mereka lewati. Kaum Wahabi bahkan mencoba menghancurkan pusara Rasulullah , namun entah dengan alasan apa usaha gila itu dihentikan. Di tahun-tahun berikutnya jemaah haji asal Irak, Suriah dan Mesir ditolak untuk masuk kota Mekah untuk berhaji. Raja al-saud memaksa setiap muslim yang ingin berhaji harus menjadi wahabi atau jika tidak akan dicap sebagai kafir dan dilarang masuk kota Mekah.
Al-Baqi pun diratakan dengan tanah tanpa menyisakan apapun, termasuk nisan atau pusara .Belum puas dengan tindakan barbarnya Kaum Wahabi memerintahkan tiga orang kulit hitam yang sedang berziarah ke pusara Nabi untuk menunjukkan tempat persembunyian harta benda. Raja Ibnu Saud merampas harta benda itu untuk dirinya sendiri.
Ribuan Muslim melarikan diri dari Mekah dan Madinah . Mereka menghindari kejaran Kaum Wahabi. Muslim seluruh dunia mengutuk tindakan Saudi dan mendesak khalifah kerajaan Otoman menyelamatkan situs-situs bersejarah dari kehancuran.
Dibawah pimpinan Muhammad Ali Basha mereka menyerang Hijaz , dengan bantuan suku-suku setempat, akhirnya mereka menang.lalu ia mengatur hukum dan pemerintahan di Hijaz, khususnya Mekah dan Madinah. Sekaligus mengusir keluarga al-Saud. Muslim di seluruh dunia bergembira. Di Mesir perayaan berlanjut hingga 5 hari! Tak diragukan lagi kegembiraan karena mereka bisa pergi haji dan pusara mulia pun diperbaiki lagi.
Tahun 1818 Masehi Khalifah Ottoman Abdul Majid dan penggantinya Abdul Hamid dan Mohammad, merekonstruksi semua tempat suci, memperbaiki semua warisan Islam yang penting. Dari 1848 hingga 1860, biaya perbaikan telah mencapai 700 ribu Poundsterling. Sebagian besar dana diperoleh dari uang yang terkumpul di makam Rasulullah.
Tindakan Barbar Kedua Kaum Wahabi
Kerajaan Ottoman telah mempercantik Madinah dan Mekah dengan memperbaiki semua bangunan keagamaan dengan arsitektur bercita rasa seni tinggi. Richard Burton, yang berkunjung ke makam rasulullah tahun 1853 dengan menyamar sebagai muslim asal Afghanistan dengan nama Abdullah mengatakan Madinah dipenuhi 55 mesjid dan kuburan suci. Orang Inggris lain yang dating ke Madinah tahun 1877-1878 melukiskan keindahan yang setara dengan Istambul. Ia menulis tentang dinding putih, menara berhias emas dan rumput yang hijau.
Tahun 1924 Wahabi masuk ke Hijaz untuk kedua kalinya Untuk kedua kalinya pula pembantaian dan perampasan dilakukan. Orang-orang di jalan dibantai. Tak terkecuali perempuan dan anak-anak jadi korban. Rumah-rumah diratakan dengan tanah.
Awn bin Hashim menulis: lembah-lembah dipenuhi kerangka manusia, darah kering berceceran di mana-mana. Sulit untuk menemukan pohon yang tidak ada satu atau dua mayat tergeletak di dekat akarnya.
Madinah akhirnya menyerah setelah digempur habis Kaum Wahabi. Semua warisan Islam dimusnahkan. Hanya pusara Nabi Saw yang tersisa.
Ibnu Jabhan (Ulama Wahabi) memberikan alasan mengapa ia merasa harus meratakan makam Nabi Saw, ” Kami tahu nisan di makam Rasulullah bertentangan dengan akidah dan mendirikan mesjid di pemakamannya adalah dosa besar’.
Pusara Sang Syahid Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi) beserta syahid perang Uhud lainnya dihancurkan. Masjid Nabi dilempari. Setelah protes dari Kaum Muslim dunia Ibnu saud berjanji akan memperbaiki bangunanbersejarah tersebut. Namun janji itu tidak pernah ditempati. Ibnu saud juga berjanji Hijaz akan dikelola pemerintahan multinasional, khsusnya menyangkut Madinah dan Mekah. Namun janji itu tinggalah janji.
Tahun 1925 giliran Janat al-Mulla pemakaman di Mekah dihancurkan. Ikut juga dihancurkan rumah tempat Rasulullah dilahirkan. Sejak itulah hari duka untuk semua muslim di jagat raya.
Tidakkah mengherankan Kaum Wahabi menghancurkan makam, pusara mulia dan semua tempat-tempat bersejarah bagi dunia islam (semuanya diam tak bergerak), sementara itu Raja-raja Saudi dijaga dengan ketat mengabiskan jutaan dolar?
Hujan Protes
Tahun 1926 protes massal Kaum Muslim bergerak di seluruh dunia. Resolusi diluncurkan dan daftar kejahatan wahabi dibuat. Isinya di antaranya adalah:
1. Penghancuran dan penodaan tempat suci ,di antaranya rumah kelahiran Nabi, pusara Bani Hasyim di Mekah dan Jannat al-Baqi (Madinah), penolakan wahabi pada muslim yang melafalkan al-fatihah di makam-makam suci tersebut.
2. Penghancuran tempat ibadah di antaranya Masjid Hamzah, Masjid Abu Rasheed, dan pusara para Imam dan sahabat.
3. Campurtangan pelaksanaan ibadah haji
4. Memaksa muslim mengikuti inovasi wahabi dan menghapus aturan atas keyakinan yang diajarkan para Imam mazhab
5. Pembantaian para sayid di Thaif, madina, Ahsa dan Qatif
6. Meratakan kuburan para Imam di al-Baqi yang sangat di hormati kaum Syiah
Protes yang sama bermunculan di Iran, Irak, Mesir, Indonesia dan Turki. Mereka mengutuk tindakan barbar Saudi Wahabi. Beberapa ulama menulis traktat dan buku untuk mengabarkan dunia fakta-fakta yang terjadi di Hijaz adalah konspirasi karya Yahudi melawan Islam dengan berkedok Tauhid. Tujuan utama adalah menghapus secara sistematis akar sejarah Kaum Muslim sehingga nantinya Kaum Muslim kehilangan asal-usul keagamaannya.
Tindakan barbar Kaum Wahabi boleh jadi menginspirasi peristiwa bersejarah lainnya.Sejarah perang dunia kedua mengingatkan kita akan kekejaman Nazi Jerman. Orang-orang Yahudi melarikan diri setelah dikejar-kejar untruk dibunuh Nazi. Kekejaman Hitler diperingati dunia (Khususnya Jerman dan sekutunya). Kini Nazi dilarang dan orang yang mengusung simbol-simbolnya bisa dihukum dan diusir dari Jerman. Hitler dan Nazi Jerman membantai jutaan Yahudi (versi Ahmadinejad tidak mungkin sebanyak itu). Hitler tidak merusak bangunan karya Yahudi. Hitler tidak merusak kuburan. Bandingkan dengan tindakan Kaum Wahabi yang tidak saja membunuh dan mengusir orang hidup tapi juga orang-orang yang sudah wafat juga ikut “dibunuh’!!!”
Berikut ini daftar makam dan tempat yang juga dihancurkan Kaum Wahabi
-Pemakaman al-Mualla di Mekah termasuk pusara isteri tercinta Nabi, Sayidah Khadijah binti Khuwailid , Makam Ibunda Rasul Siti Aminah binti Wahhab, makam pamananda Rasul Abu Thalib (Ayahanda Ali bin Abu Thalib) dan makam kakek Nabi Abdul Muthalib
-makam Siti Hawa di Jedah
-makam ayahanda Rasul Abdullah bin Abdul Muthalib di Madinah
-rumah duka (baytl al-Ahzan) Sayidah Fatimah di Madinah
-Masjid Salman al_Farisi di Madinah
-Masjid Raj’at ash-Shams di Madinah
-Rumah Nabi di Madinah setelah hijrah dari Mekah
-Rumah Imam Ja’far al-Shadiq di Madinah
-Komplek (mahhalla) bani Hasyim di Madinah
-Rumah Imam Ali bin Abi Thalib tempat Imam Hasan dan Imam Husein dilahirkan
-Makam Hamzah dan para syuhada Uhud di gunung Uhud
Sumber: Buku ‘Terbongkar !, lumbung dinar, jaringan Islam Radikal dan pertikaian faksi-faksi Wahabi”, Penerbit Jassira Press, Bantul Jogyakarta, Cetakan Maret 2010
wahai pengikut WAHABI dgn adanya artikel ini masih pantaskah antum menyebut pengikut salaf ?????? bertauhid paling murni ????? itibba Rosul ????? dikajilah kembali saudara2ku, apakah hal ini benar ????? kalau hal ini benar dan baik tentu sahabat sudah dahulu menghancurkannya ……..salam .
assalamu’alaikum
afwan….
apakah datanya falid???
Walaikumsalam.
Silahkan tanyakan pada sesepuh dari NU
afwan …
tolong antum tanyain dong..he he he..
asalnya, kuburan baqi’ itu rata dengan tanah. ini pulalah yang sesuai dengan sunnah Rasulullah. namun karena kejahilan dan kedzoliman, mulailah dibangun kubah. maka yang salah bukan yang membongkar kubah itu, namun justru yang membangun kubah yang salah.
wahai kaum asy’ariyun yang ngakunya pengikut Imam Asy Syafi’i, coba simak perkataan Imam kalian:
“Saya suka kalau tanah kuburan itu tidak ditinggikan dari selainnya dan tidak mengambil padanya dari tanah yang lain. Tidak boleh, apabila ditambah tanah dari lainnya menjadi tinggi sekali, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja. Saya hanya menyukai ditinggikan (kuburan) di atas tanah satu jengkal atau sekitar itu dari permukaan tanah” (Syarah Muslim 2/666, Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah,
1/257)
“Saya suka bila (kuburan) tidak dibangun dan ditembok, karena itu menyerupai penghiasan dan kesombongan, dan kematian bukan tempat bagi salah satu dari keduanya. Dan saya tidak melihat kuburan para sahabat Muhajirin dan Anshar ditembok. Seorang perawi menyatakan dari Thawus, bahwa Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam telah melarang kuburan dibangun atau ditembok. Saya sendiri melihat sebagian penguasa di Makkah menghancurkan semua bangunan di atasnya (kuburan), dan saya tidak melihat para ahli fikih mencela hal tersebut. (al-Umm 1/277. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/258)
“Saya melarang dibangun masjid di atas kuburan dan disejajarkan atau dipergunakan untuk shalat di atasnya dalam keadaan tidak rata atau shalat menghadap kuburan. Apabila ia shalat menghadap kuburan, maka masih sah namun telah berbuat dosa”. (al-Umm 1/278. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/261)
=========================================
dalam artikel di atas ada sub judul “Asal Muasal Al-Baqi'”. tapi kenapa tidak disebutkan keadaan Al Baqi’ pada zaman Rasulullah? apakah keadaannya sudah ada kubah atau malah rata dengan tanah?
justru yang disebutkan keadaan Al Baqi’ yang sudah ada kubahnya adalah keadaan yang bukan pada zaman Rasulullah dan para sahabat masih hidup, melainkan sesudahnya. disebutkan 2 nama sebagai sumber, yakni Umar bin Jubair dan Ibnu Bathutah. Umar bin Jubair hidup sekitar abad 6 H dan Ibnu Bathutah sekitar abad 8 H.
Dari Abu Hayyaj berkata; Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku: ‘Maukah engkau aku utus kepada sesuatu yang Rasulullah telah mengutusku dengannya? (yaitu) jangan kamu membiarkan patung kecuali kamu hancurkan dan kuburan yang meninggi melainkan kamu ratakan.” (Riwayat Muslim)
Perintah Sayyidina Ali ini adalah karena Abu Hayyaj akan diutus untuk menyebarkan Islam ke sebuah negeri yang mana penduduknya memang menjadikan patung dan kuburan sebagai sesembahan.
Adapun umat Islam, maka tak pernah sekalipun ada sejarahnya umat Islam menyembah kubur. Umat Islam membina kubur hanya untuk memuliakan ahlul qubur (terlebih kubur orang yang sholeh), menjaga kubur daripada hilang terhapus zaman, dan memudahkan para peziarah untuk berziarah, dalam menemukan kubur di tengah-tengah ribuan kubur lainnya, juga sebagai tempat berteduh para peziarah agar dapat mengenang dan menghayati dengan tenang orang yang ada di dalam kubur beserta amal serta segala jasa dan kebaikannya.
Sangat pantas sekali Sayyidina Ali menyuruh Abu Hayyaj untuk meratakan kubur-kubur sesembahan mereka dengan tanah. Tapi adapun untuk Umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jawabannya adalah: tidak.
Komentar tersebut dapat dibaca pada http://sufimedan.blogspot.com/2010/11/makam-para-nabi-tinggi-tinggi-semua.html atau
http://sufimedan.blogspot.com/2011/04/wisata-ruhani-ke-makam-para-auliya.html
di atas sudah ana sebutkan bahwa Imam Syafi’i membenci kubur yang dibangun dan beliau tidak mengingkari pembongkaran bangunan di atas kuburan.
perintah Rasulullah kepada Ali dan kemudian Ali memerintahkan hal yang sama kepada Abu Hayyaj adalah dalam rangka untuk menutup jalan2 kesyirikan. Beliau sangat khawatir jika umatnya akan terjatuh ke dalam kesyirikan, karena itulah beliau berusaha menjauhkannya dari pintu2 kesyirikan.
perintah meratakan kubur adalah sama pentingnya dengan perintah menghancurkan patung.
bukankah salah satu alasan dilarangnya membuat gambar dan patung adalah karena hal tersebut merupakan pintu menuju kesyirikan? bukankah dilarangnya berkholwat antara laki2 dan wanita yang ajnabih adalah karena hal tersebut merupakan pintu menuju perzinahan? bukankah dilarangnya bergaul dengan ahli bid’ah adalah karena hal tersebut merupakan pintu menuju kebid’ahan?
perintah meratakan kubur ini tetap berlaku untuk kaum mukminin, sekalipun itu para sahabat, sebagaimana tetap berlakunya perintah menghancurkan patung bagi mereka.
‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata : “Kalau bukan karena takut (laknat) itu, niscaya kuburan beliau ditempatkan di tempat terbuka. Hanya saja beliau takut kuburannya itu akan dijadikan sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1330, Muslim no. 529, Ahmad 6/80 & 121 & 255, Ibnu Abi Syaibah 2/376, Abu ‘Awaanah 1/399, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 508, Al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad 13/52 & 183, Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath no. 7730, dan yang lainnya].
dapat kita pahami dari perkataan Ummul Mu’minin bahwa sebenarnya para sahabat biasa menguburkan jenazah dengan kuburan yang nampak/terbuka, tidak dibangun kubah atau bangunan apapun. adapun kubur Rasulullah adalah pengecualian/pengkhususan bagi beliau.
@ajam
kaum asy’ariyun kaum apa si???
kaum yang ngaku-ngaku sebagai pengikut Imam Abul Hasan Al Asy’ari
@ Ajam kalau nt dikata kata yang ngaku ngaku pengikut salaf gimana ????? hilangkanlah prasangka buruk Jam …..
@ajam…
afwan ane mo nanya lagi…siapakah imam abul hasan al-asyari???
kira2 d jaman siapa imam tersebut hidup…
syukron
beliau imam ahlus sunnah yang sebelumnya terjerumus dalam kesesatan pemahaman Mu’tazilah dan Kullabiyah.
@ajam, tidak ada yg mengaku-ngaku. Apalagi ulama-ulama asyariyah juga mempunyai sanad kepada Imam Asy ari.
bicara tentang Imam Abul Hasan Al Asy’ari tidak akan lepas dari pembicaraan tentang kitab Al Ibanah fii Ushuli Dinayah.
kata orang2 yang menisbatkan dirinya sebagai pengikut beliau, kitab ini telah dipalsukan oleh orang2 yang menisbatkan dirinya sebagai pengikut salafush sholeh. tuduhan pemalsuan itu dikarenakan didapati perbedaan teks pada manuskrip yang ada.
golongan asy’ariyun memiliki 3 teks manuskrip, yaitu:
1. Dâr al-Anshâr Mesir edisi Doktor Fawqiyyah Husein Mahmûd
2. Maktabah al-Mu’ayyad Saudi Arabia
3. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah Lebanon edisi ‘Abdullâh Mahmûd Muhammad ‘Umar.
tuduhan pemalsuan ini berangkat dari kurangnya pengetahuan mereka tentang manuskrip kitab Al Ibanah. adapun manuskrip yang dimiliki oleh Salafiyun di antaranya:
1. Daarul-Kutub Al-Quumiyyah Al-Mishriyyah di Kairo,
2. Maktabah Jaami’ah ‘Utsmaniyyah di Heidar-Abad
3. Maktabah Azhariyyah
4. Cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud,
5. Cet. Daarul-Bayan Beirut
6. Cet. Daarun-Nafaais Beirut
dll.
justru manuskrip yang jadi pegangan oleh Asy’ariyun yang lebih banyak kesalahannya jika dikomparasi dengan seluruh manuskrip yang ada. tapi karena kemuliaan kaum Salafiyun, kami tidak pernah menuduh bahwa Asy’ariyun telah melakukan pemalsuan, sekalipun ada kesempatan besar untuk melakukannya.
=========================================
kembali pada ikap ngaku-ngaku Asy’ariyun sebagai pengikut Imam Abul Hasan, jelas ini adalah fakta karena aqidah mereka dibantah habis-habisan oleh Imamnya sendiri dalam kitab Al Ibanah.
karena itu, tidak heran bahwa Asy’ariyun mati-matian membuat tuduhan pemalsuan kitab Al Ibanah oleh Salafiyun. anehnya, sebelum ini mereka menuduh bahwa kitab Al Ibanah ini hanyalah kitab rekaan Salafiyun yang dinisbatkan pada Imam Abul Hasan. akan tetapi setelah bukti keaslian eksistensi kitab tersebut ditunjukkan, sekarang mereka membelokkan tuduhan bahwa Salafiyun memalsukan kitab Al Ibanah.
=========================================
sebaiknya materi pembahasan kita kembalikan pada masalah kuburan Al Baqi’
Mas Ajam, semoga kesejukkan rahmatNya menaungi hari-hari antum.
Banyak ulama (ahli ilmu) yang telah menguraikan adanya perbedaan kitab Al Ibanah. Salah satunya yang kami muat dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/11/al-ibanah/. Begitupula pada pertemuan “Forum Alumni Al Azhar VI” Dr. Ahmad At Thayyib juga memperingatkan adanya pihak-pihak yang jelas-jelas “mempermainkan” fiqih madzhab imam empat dan menggantinya dengan fiqih baru dan mewajibkannya kepada masyarakat.
Beliau juga memperingatkan adanya upaya negatif terhadap buku para ulama, “Demikian juga adanya permainan terhadap buku-buku peninggalan para ulama, dan mencetaknya dengan ada yang dihilangkan atau dengan ditambah, yang merusak isi dan menghilangkan tujuannya.” Info selengkapnya silahkan baca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/27/ikhtilaf-dalam-persatuan/
Antum sebagai orang yang ditakdirkan lahir di Indonesia , mengapa harus fanatik dengan ulama-ulama dari dinasti Saudi ?
Tengoklah apa yang melatarbelakangi pendirian organisasi massa Nahdatul Ulama, silahkan baca tulisan pada http://nu.or.id/page/id/static/9/Sejarah.html
Wasallam
coba antum pikirkan hal ini:
manuskrip kitab Al Ibanah itu ada banyak jumlahnya. jika manuskrip yang antum sebutkan digabungkan dengan manuskrip yang ana sebutkan, sudah ada 7 buah manuskrip. itu pun belum jumlah keseluruhan manuskrip yang ada. dari semua itu sudahkah mereka (ulama yang antum maksud) memeriksa semuanya?
ana rasa mereka belum melakukannya, karena jika sudah tentu saja antum akan menyebutkannya dalam artikel di atas. lalu bagaimana bisa mereka berkata bahwa manuskrip yang mereka pegang adalah benar dan manuskrip yang kami pegang adalah palsu jika mereka belum memeriksa semua manuskrip yang ada?
selengkapnya silakan baca http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/al-imam-abul-hasan-al-asyariy-asyaairah.html
======================================
ana sama sekali tidak fanatik atau taqlid dengan ulama saudi atau wahabi. justru sebutan fanatik atau taqlid itu harusnya kepada antum. kita sama2 tahu bahwa antum bersikeras mengatakan bahwa ulama ahli hadits sepanjang sejarah sepakat menghukumi hadits jariyah itu mudhthorib, tapi ketika ana minta antum menyebutkan siapa ulama yang berkata demikian, antum tidak bisa menjawabnya. lalu siapa yang antum ikuti dalam menilai idhthirob hadits jariyah? apakah antum sudah benar2 yakin dengan orang yang antum ikuti?
dan entah ini hanya terjadi pada sebagian saja atau keseluruhan, golongan antum mewajibkan taqlid pada salah satu madzhab.
contoh lain dari sikap fanatik golongan antum
1. menerima khobar dari seorang kafir, fasiq lagi majhul bernama Mr. Hempher untuk menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
2. menerima khobar dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan yang riwayatnya munqothi’ dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab untuk menceritakan kedustaan tentang sejarah hitam wahabi.
3. menuduh Syaikh Al Albani telah kafirkan Imam Al Bukhori.
4. menuduh Syaikh Al Utsaimin telah kafirkan Imam An Nawawi dan Ibnu Hajar
5. dan yang sedang hangat kita bicarakan yakni menerima tuduhan tentang pemalsuan kitab Al Ibanah padahal menuduh itu belum memeriksa semua manuskrip yang ada.
@ajam,
‘ana sama sekali tidak fanatik atau taqlid dengan ulama saudi atau wahabi’.
Anda justru fanatik kepada abul jauzaa, kenapa anda percaya pada abul jauzaa?
contoh kefanatikan kelompok antum :
1. Tidak menerima kritik terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, padahal banyak ulama yang mengkritiknya beserta ajarannya (kenapa ajarannya yang sebagian berbeda dengan ajaran mainstrem tidak antum kritisi ?)
2. Lebih percaya sama Albani yang menolak takwil Bukhari daripada takwil yang dilakukan Imam Bukhari.
3. Lebih percaya pada ajaran akidah Syekh Utsaimin daripada akidah Imam An Nawawi dan Ibnu Hajar (ente kenapa tidak mengkritisi kalau syekh utsaimin mengatakan ada beberapa penyimpangan akidah pada Imam An Nawawi dan Ibnu Hajar)
4. Lebih percaya kalau Asy’ariyah berbeda dengan akidah Imam Asy ari, walaupun ulama-ulama Ays ariyah yang merumuskan kembali akidah asy ariyah mempunyai sanad kepada beliau. (Bahkan ente fanatik banget menerima Imam asy ari telah tobat dengan kitab ibanahnya)
1. apa yang mereka katakan bukan kritikan, melainkan tuduhan. tuduhan bahwa beliau mengkafirkan seluruh umat islam kecuali pengikutnya, tuduhan beliau memberontak kepada daulah ustmaniyah, tuduhan bahwa beliau mengaku nabi dll. sampai detik ini, kalian pun belum bisa menunjukkan bukti2 tuduhan kalian tersebut.
2. para sahabat saja tidak main takwil, jadi Al Albani lebih mengikuti para sahabat. lagipula, kalian salah paham dalam menangkap maksud dari perkataan Al Bukhori.
3. memang benar aqidah An Nawawi dan Ibnu Hajar ada penyimpangan, yakni dalam hal asma wa shifat. aqidah yang diyakini oleh Ibnu Utsaimin lebih mencocoki pada para sahabat dan ulama lain daripada An Nawawi dan Ibnu Hajar.
4. asy’ariyah dan Imam Abul Hasan Al Asy’ari sama sekali berbeda. justru asy’ariyah mengambil ajaran mu’tazilah yang telah ditinggalkan oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari.
1. Apa yang perlu dibuktikan lagi ? para pengkritiknya bukan sembarang oran tetapi para ulama bahkan saudara kandung dan gurunya sendiri yang mengetahui sekali keadaan Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab. Adapun tuduhan beliau mengkafirkan seluruh umat islam kecuali pengikutnya maka apa arti ucapannya ini : “Aku telah mencari ilmu dan orang-orang yang mengenalku menyangka bahwa aku telah memiliki ilmu. Padahal saat itu aku tidak mengetahui makna “Laa Ilaaha Illallah” dan tidak mengetahui agama Islam, sebelum anugerah (pemahaman) yang telah dikaruniakan Allah kepadaku ini. Demikian juga guru-guruku, tidak ada seorang pun dari mereka mengetahui hal itu (makna laa ilaaha illallah dan Islam). Barang siapa dari kalangan ulama sekarang mengira bahwa ia telah mengetahui makna laa ilaaha illallah, atau mengetahui makna Islam sebelum saat ini, atau mengira guru-gurunya atau seseorang mengetahui hal itu maka sungguh ia telah berdusta dan mengaku-ngaku, serta mengelabuhi manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya”. (ad Durar as Saniyyah: 10/51) lau apa pula maksud ucapannya bahwa kaum musyrikin zaman sekarang ini lebih parah keadaanya daripada kaum musyrikin zaman jahilliah?
Kalaulah hanya sedikit orang yang berbicara tentulah kita tidak mempercayainya…. tapi bila para ulama dan yang berbicara, bagaimana kita bisa menolaknya?
2. Mayoritas ulama salaf termasuk Sahabat adalah tafwidh, tetapi seperti Ibnu Abbas, ada juga yang menakwil. Bukankah di situs Salafi sendiri ada artikel tentang ‘takwil yang berarti tafsir’? kalau Albani mengikuti sahabat maka dia tafwidh, bukan memaknai zhahir ayat-ayat mutasyabihat. Kenapa anda mengatakan kami salah paham tentang ucapan Imam Bukhari ? kami juga bisa mengatakan bahwa kalian semua salah paham.
3. Saya lebih percaya dengan Ibnu Hajar dan Imam Nawawi. Apa bandingannya Syekh Utsaimin berani mengatakan kedua Imam itu telah melakukan penyimpangan? saya melihatnya seperti sarjana yang menilai seorang profesor.
4. Kalau ditinggalkan tentulah ditinggalkan, kenapa pula disebut diambil ? Tidak semua ajaran Muktazilah itu jelek atau salah, maka para Imam adalah orang yang adil dan mendalam ilmunya, mereka mengetahuimana pendapat yang layak diambil dan mana pendapat yang harus dibuang sesuai pedoman agama.
1. Perkataan Syaikh Ibnu Abdil Wahab itu antum ambil dari kitab Durar As Saniyah karya Syaikh Ahmad bin Zaini Ad Dahlan. Syaikh Ibnu Zaini tidak sejaman dengan Syaikh Ibnu Abdil Wahab tapi kenapa bisa menukil perkataan beliau tanpa menyebutkan dari mana beliau mengambil sumber.
dari hal ini seharusnya antum paham, kita semua paham, bahwa sejarah hidup Syaikh Ibnu Abdil Wahab yang diungkapkan oleh Syaikh Ibnu Zaini adalah munqothi’ atau terputus rantai sanadnya. antum tahu kan bagaimana status hadits atau khobar atau riwayat yang munqothi’?
apakah Syaikh Ibnu Zaini itu bisa disebut sebagai saksi? apakah kitab Ad Durar As Saniyah itu bisa disebut sebagai bukti? tentu saja tidak ya akhi fillah.
bukti yang benar2 bukti malah berkata lain. coba antum baca kitab2 karya Syaikh Ibnu Abdil Wahab. apakah ada pengkafiran beliau kepada seluruh umat islam kecuali pengikutnya? bacalah sendiri bagaimana manhaj beliau dalam wala’ dan baro’, dalam hal takfir mutlaq dan mu’ayyan, dan lainnya. tidak ada perkataan beliau, baik yang dhohir maupun majaz yang menunjukkan pengkafiran beliau kepada seluruh umat islam kecuali pengikutnya.
2. tidak ada tafwidh dalam memahami sifat Alloh. nama2 dan sifat2 Alloh yang disebutkan dalam Alquran dan Assunnah itu keseluruhan adalah bahasa arab. bagaimana mungkin orang arab tidak mengetahui makna dari bahasanya sendiri? antum yang orang indonesia aja pasti paham arti kata yadulloh, wajhulloh, ‘ulluw dan istiwa’.
bahkan Alloh sendiri berfirman bahwa Alquran itu diturunkan ke dalam bahasa arab agar kita bisa memahami. jika kata yadulloh, wajhulloh, ‘ulluw, istiwa’ dll itu tidak bisa antum pahami, berarti antum tidak bisa mengambil hikmah dari firman Alloh tersebut.
3. An Nawawi dan Ibnu Hajar adalah orang2 yang terpercaya lagi tinggi ilmunya. memang Syaikh Ibnu Utsaimin tidak ada apa2nya dibanding mereka, bahkan Syaikh Al Albani, Ibnu Baz, ataupun Ibnu Abdil Wahab ana rasa tidak ada apa2nya dibandingkan dengan An Nawawi dan Ibnu Hajar.
namun yang perlu antum camkan adalah perkataan Imam Malik: “Setiap perkataan manusia bisa diambil dan ditolak, kecuali perkataan Nabi”. perlu antum camkan juga perkataan Ibnu Abbas: “Hampir saja batu turun dari langit menghujani kalian. Aku katakan ‘Nabi bersabda begini’, kalian malah berkata ‘Abu Bakar dan Umar berkata begini’.”
mengambil atau menerima perkataan seseorang jangan antum lihat dari seberapa tinggi kedudukannya, melainkan kesesuaian perkataannya dengan Assunnah. dalam hal ini perkataan An Nawawi dan Ibnu Hajar tidak sesuai dengan sunnah, jadi ana tinggalkan demi mengikuti sunnah Rosululloh.
4. tidak semua ajaran mu’tazilah itu jelek? sebenarnya ana agak ragu dengan perkataan antum, namun ana tidak menyalahkan. hanya saja masalahnya bukan itu.
yang menjadi masalah adalah asy’ariyah telah mengambil ajaran mu’tazilah (aqidah Imam Abul Hasan yang lama) yang menyimpang dari sunnah. dalam blog UMMATI sudah ana sebutkan persamaan Asy’ariyah dengan Mu’tazilah dan Jahmiyah, yaitu menyelewengkan ayat2 tentang sifat Alloh dari makna dhohir.
sudah ana sebutkan celaan beberapa ulama ahlus sunnah, termasuk Abul Hasan Al Asy’ari sendiri kepada Mu’tazilah dan Jahmiyah karena menyelewengkan kata istiwa’ dengan istaula’ (menguasai), menyelewengkan kata yad (tangan) dengan kekuasaan atau kekuatan, dan penyelewengan2 lainnya. bukankah aneh jika celaan itu hanya diarahkan kepada Mu’tazilah dan Jahmiyah saja, padahal Asy’ariyah juga berbuat hal yang sama?
ikhwah…smua…
perbedaan g akan selesai2 ni…
intinye klo ane si…kite smua g keluar dari agama ini. sebab masing2 punya dalil….
bersatulah…jgn berpecahbelah…
wallahu ‘alam..
mas Ajam bagaimana sanad dari syaikh Ibnu abdil Wahab itu sendiri ????? coba nt share disini apa terputus atau nyambung sampai ke Rosullulloh ???
ana tidak tahu. yang ana tahu beliau berguru pada ulama besar di zamannya.
cool down….
please…ya ikhwahh….
@ajam
1. Kitab yang berjudul “Ad Durar As Sunniyyah”. adalah risalah Syekh muhammad Bin Abdul Wahab.
Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab At Tamimi An Najdi (1208 H) saudara kandung Syekh Muhammad bin Abdul Wahab adalah saksi dan dengan berbagai risalahnya menjadi bukti, jangan hanya menghindar…tapi cermati dengan seksama. Ulama-ulama yang membantah dan menceritakan keadaan ini bukanlah ulama-ulama khianat dan curang … camkanlah.
sekarang saya ingin bertanya kelompok manakah yang mengatakan bahwa kondisi zaman sekarang lebih parah keadaannya daripada kaum musyrikin zaman jahiliyah ?
siapa yang dimaksud dengan lebih parah dari kaum musyrikin zaman jahiliyah?
2. Ibnu Qudamah dalam “Lum’atul I’tiqad” menukil dua riwayat imam umat ini; Imam Syafi’I dan Imam Ahmad, mengenai permasalahan teks-teks ayat dan hadis sifat. Setelah penukilan perkataan kedua imam tersebut, Ibnu Qudamah memberikan kesimpulan bahwa ayat dan hadis sifat tersebut harus diimani dan diterima, tidak ditakwil, serta diriwayatkan lafadlnya saja tanpa harus menentukan maknanya seraya menyerahkan maknanya kepada Dzat yang berfirman[Lihat: Lum’atul I’tiqad, hal: 15.]. Pengertian serupa juga dijelaskan oleh Imam Al Baihaqi ketika menjelaskan akidah ahli hadis dalam kitab I’tiqadnya[Lihat: Al I’tiqad, hal: 89.], Imam Al Ghazali dalam Qowaidul ‘Aqaid[Lihat: Majmu’ Rasail Imam Al Ghazali, bagian kitab Qowaidul ‘Aqaid Fi Tauhid, hal: 161.] dan Iljamul Awwam ‘an ilmi kalam], Imam Fakhruddin Ar Razi dalam Asasus Taqdis[Lihat: Asasus Taqdis, hal: 207.], Ma’alim fi Usuliddin , dan kitab Arba’innya. Tidak mau ketinggalan Imam Dzahabi yang merupakan salah satu murid Ibnu Taimiyah yang berbeda dari pemahaman gurunya juga mengeluarkan statemen tafwidl ini dalam kitab Siyar A’lam Nubala. Imam Suyuthi dalam Al Itqan mengeluarkan statemen yang tidak berbeda dengan apa yang dikatakan oleh para ulama ahlussunnah pendahulunya bahwa madzhab tafwidl ini merupakan madzhab mayoritas ahlussunnah dari generasi salaf dan ahlu hadis. Dan seabrek ulama ahlussunnah lainnya.
Al Qur an memang dari bahasa Arab, tetapi perhatikanlah bahwa ayat ayat yang sebut adalah ayat-ayat khobariyah yang secara zhahirnya memberikan gambaran tasybih dan tajsim kepada Allah, sehingga para ulama menggolongkannya kedalam ayat-ayat mutasyabihat, dan ayat-ayat mutasyabihat mempunyai 2 jalan yaitu takwil ijmali atau tafwidh dan takwil tafsili sebagaimana firman Allah :
“Tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah” (Ali Imran:7)
“Dan tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang rusukh ilmunya” (Ali Imran: 7)
Para sahabat dan para ulama salaf tidak pernah meyatakan bahwa harus mengambil makna zhahir terhadap ayat-ayat khobariyah seperti itu.
siapa bilang ulama salaf tidak mengambil hikmah gara-gara tafwidh, justru dengan tafwidh mereka telah mengagungkan Allah dengan semestinya dan ayat-ayat tersebut bisa dipahami secara global, tanpa perlu memperinci makna tangan, wajah, dsbnya.
3. “mengambil atau menerima perkataan seseorang jangan antum lihat dari seberapa tinggi kedudukannya, melainkan kesesuaian perkataannya dengan Assunnah. dalam hal ini perkataan An Nawawi dan Ibnu Hajar tidak sesuai dengan sunnah, jadi ana tinggalkan demi mengikuti sunnah Rosululloh”.
siapa yang bilang perkataan mereka tidak sesuai sunnah? Syekh utsaimin dan kelompok wahabi bukan ? adakah ulama sezaman mereka dan ulama lainnya yang berkata seperti ini kepada kedua Imam tersebut. Jadi standar sesuai sunnah adalah perkataan Syekh Utsaimin ? dari mana anda menetapkannya, ? hanya gara-gara mereka mengaku pengikut salaf ? apalagi ini masalah akidah, hebat benar Syekh utsaimin menjadi hakim yang memutuskan mana yang sesuai sunnah mana yang tidak. Perkataan anda benar, hanya saja anda perlu pahami lagi bahwa sesuai sunnah yang dimaksud adalah sesuai pemahaman kelompok antum, dan bagi kami pemahaman Imam nawawi dan Ibnu Hajar pada asma wa shifat lebih sesuai sunnah.
4. “sudah ana sebutkan celaan beberapa ulama ahlus sunnah, termasuk Abul Hasan Al Asy’ari sendiri kepada Mu’tazilah dan Jahmiyah karena menyelewengkan kata istiwa’ dengan istaula’ (menguasai), menyelewengkan kata yad (tangan) dengan kekuasaan atau kekuatan, dan penyelewengan2 lainnya. bukankah aneh jika celaan itu hanya diarahkan kepada Mu’tazilah dan Jahmiyah saja, padahal Asy’ariyah juga berbuat hal yang sama?”
Kalau memang Imam Asy ari berkata seperti ini, maka ini adalah perbedaan Imam dengan murid-muridnya, maka ketahuilah bahwa walaupun Imam Asy ari menolak takwil seperti ini, Imam tidak berpegang pada makna zhahir ayat-ayat mutasyabihat dan beliau menggunakan metode tafwidh.
Adapaun takwil yang dilakukan oleh imam-imam asyariyah bukanlah tha’til karena mereka beriman kepada ayat-ayat tersebut, hanya mereka tidak memaknai secara zhahir. Contoh “surga ditelapak kaki Ibu”, kita semua menerima sabda nabi ini, kita tidak juga perlu mengubah kata-katanya dan menerima sebagaimana datangnya kalimat tersebut, tapi kita tidak memaknainya secara zhahir bukan?
Takwil ulama asyariyah bukanlah menyelewengkan maknanya atau tahrif, karena memang maknanya bukan makna zhahir…. renungkanlah.
1. antum menyebut kitab Ad Duror As Saniyah adalah sumber bukti bukan? kitab itu ditulis oleh Syaikh Ahmad bin Zaini Ad Dahlan yang tidak sezaman dengan Syaikh Muhammad maupun Syaikh Sulaiman. lantas bagaimana bisa beliau mengambil Syaikh Sulaiman sebagai saksinya padahal beliau tidak pernah berinteraksi langsung dengan Syaikh Sulaiman? bagaimana dia bisa tahu Syaikh SUlaiman bekata begini begitu?
lagipula, tidak semua isi dari kitab Ad Duror As Saniyah itu bersumber dari Syaikh Sulaiman maupun orang lain yang hidup sezaman dengan Syaikh Muhammad. bahkan lebih banyak merupakan cerita dari Syaikh Ahmad sendiri. misalnya tuduhan bahwa Syaikh Muhammad naik mimbar dan mengaku Nabi.
pertanyaan antum itu berangkat dari kesalahpahaman. tidak ada yang mengatakan bahwa kondisi umat islam saat ini lebih parah dari kondisi musyrikin jahiliyah. yang betul adalah, kondisi kesyirikan saat ini lebih parah dari kesyirikan musyrikin quroisy jahiliyah. kenapa lebih parah? yaitu karena musyrikin quroisy hanya melakukan kesyirikan di saat senang/bahagia/nikmat. adapun di saat bencana mereka kembali beriman. sedangkan musyrikin saat ini melakukan kesyirikan baik waktu nikmat maupun bencana.
2. sudah ana katakan sebelumnya bahwa jangan lihat pada kedudukan orang yang berkata, namun lihatlah kesesuaian perkataannya dengan sunnah.
Alquran diturunkan dalam bahasa arab agar manusia memahami. begitu pula Rosululloh adalah orang arab yang menerangkan Alquran itu dengan bahasa arab juga. tentu saja Alquran dan Alhadits itu di dalamnya mencakup masalah sifat2 Alloh. lalu dari mana antum bisa mengecualikan ayat2 tentang sifat Alloh itu dari ayat2 lain? dari mana asal pembedaan bahwa ayat2 tentang sifat itu mutasyabihat dan ayat2 lain itu muhkamat padahal keduanya sama2 berbahasa arab?
seandainya ayat2 tentang sifat Alloh itu adalah mutasyabihat, yaitu tidak ada yang mengetahui artinya kecuali Alloh, tidak mungkin Rosululloh bertanya “Dimana Alloh?” dan tidak mungkin pula beliau membenarkan jawaban “Di atas langit”.
3. antum bisa melihat sendiri ketidaksesuaiannya. siapa pendahulu An Nawawi dan Ibnu Hajar dalam menyelewengkan sifat2 Alloh? apakah para sahabat? apakah tabi’in? apakah tabi’ut tabi’in? kalo ada silakan antum bawakan dalilnya disini.
kemudian perhatikan celaan ulama ahlus sunnah kepada Mu’tazilah dan Jahmiyah karena menyelewengkan sifat2 Alloh dari dhohirnya. bukankah ini saja sudah menjadi bukti bahwa perkataan An Nawawi dan Ibnu Hajar tidak sesuai dengan sunnah, namun sesuai dengan Mu’tazilah dan Jahmiyah?
kalo memang perkataan An Nawawi dan Ibnu Hajar tentang sifat2 Alloh itu sesuai dengan sunnah, seharusnya ada dalil bagi mereka. ingat, masalah asma wa shifat merupakan perkara tauqifiyah, bukan perkara ijtihadiyah. jadi tidak boleh berkata tentang asma wa shifat Alloh kecuali dengan dalil. lalu apa dalilnya bahwa makna “Tangan Alloh” adalah “Kekuasaan/Kekuatan Alloh”? apakah Nabi pernah berkata seperti ini? apakah para sahabat berkata seperti ini?
4. Imam Abul Hasan bukan seorang ahlu tafwidh. beliau memahami sifat Alloh sesuai dhohirnya dan menetapkan makna kepadanya. beliau berkata: “Dan mereka (ulama Ahlus-Sunnah) telah berijma’’…dst”, sampai berkata: “…bahwasannya Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, dan bukan di bumi-Nya”. (Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghar hal. 75)
dari perkataan beliau kita bisa tahu bahwa beliau memahami makna keberadaan Alloh di atas langit, yaitu benar2 di atas langit, bukan di bumi. sekiranya beliau tidak memahami hal ini, tentu saja beliau tidak akan berkata “bukan di bumi”.
akan ana beri contoh bentuk khianat kalian dalam upayanya memfitnah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab. Syaikh Alwi dalam kitabnya Jala’udz Dzolam menyebutkan hadits tanpa sanad “Akan keluar di abad kedua belas nanti di lembah Bani Hanifah seorang lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan (sombong), lidahnya selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu banyak terjadi kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin, diambil untuk berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin”.
1. Apakah benar kitab itu ditulis oleh Syaikh Ahmad bin Zaini Ad Dahlan ? Bukannya itu adalah kitab kumpulan Risalah Syekh Muhammad? Bukankah kelompok antum sendiri membela Syekh dengan kitabnya ini?
Lalu memang kenapa dengan Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan. Apakah anda ingin mengatakan beliau berdusta? Bukankah Syekh Zaini Dahlan adalah seorang mufti yang dengan jelas mengetahui huru hara di zaman itu, walaupun kata anda beliau tidak sezaman dengan Syekh Muhammad bin AW.
Maaf, saya lebih percaya pada Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan. Lagi pula masalah ini bukan hanya dibahas oleh Syekh Ahmad tetapi juga oleh para ulama lainnya.
Anda bisa saja katakan saya salah paham, tetapi siapa objek yang wahabi musyrikkan itu tak lain adalah kaum muslimin sendiri. Bukankah kalian juga mengatakan bahwa kelompok lainnya adalah musuh-musuh dakwah tauhid, bukankah kalian yang meletakkan mayoritas umat islam (kelompok Asy ariyah dan Maturidiyah) adalah kelompok yang menyimpang? Secara nyata mungkin memang tidak ada perkataan bahwa kelompok lain selain kelompok Syekh Muhammad bin AW adalah kafir, tetapi secara tersirat jelas terlihat.
2. “lihatlah kesesuaian perkataannya dengan sunnah”.
Bukankah sunnah yang antum maksud adalah pemahaman kelompok antum?
lalu dari mana antum bisa mengecualikan ayat2 tentang sifat Alloh itu dari ayat2 lain? dari mana asal pembedaan bahwa ayat2 tentang sifat itu mutasyabihat dan ayat2 lain itu muhkamat padahal keduanya sama2 berbahasa arab?
Apakah anda tidak memahami makna muhkamat? yaitu ayat yang jelas sekali maknanya dan bagaimana anda bisa memahami ‘kedua tanganKu’ ‘Wajah Allah’, ‘bersemayam di atas Arsy’ ?
contoh yang baik adalah perkataan ini :
“Saya percaya dengan apa yang Allah turunkan sesuai makna yang diinginkan-Nya, dan apa yang Rasulullah sampaikan sesuai dengan makna yang dia maksud.”
Kalau ayat-ayat ini muhkamat, tidaklah mungkin ulama salaf bersikap diam dan memperincinya.
kata antum : seandainya ayat2 tentang sifat Alloh itu adalah mutasyabihat, yaitu tidak ada yang mengetahui artinya kecuali Alloh, tidak mungkin Rosululloh bertanya “Dimana Alloh?” dan tidak mungkin pula beliau membenarkan jawaban “Di atas langit”.
Kenapa anda berputar-putar kembali ke dalil ini dari dulu, tidak ada dalil lainkah? sudah dijelaskan kalau hadist ini oleh sebagian ulama ditakwil sehingga tidak mengartikan Allah bertempat di langit.
Sekarang saya perlu katakan bahwa saya lebih percaya dan meyakini bahwa perkataan Imam Bukhari lebih sesuai sunnah daripada perkataan Albani.
Para ulama yang menggolongkan ayat-ayat ini termasuk mutasyabihat para ahli ulumul Quran, seperti Zarkasyi dalam Al Burhan, Suyuthi dalam Al Itqan, Zurqani dalam Manahilul ‘Irfan. Begitu juga bersebrangan dengan para ulama hadis seperti Imam Al Khattabi dalam Ma’alim Sunan, Imam Al Baihaqi dalam Asma’ Wa Sifatdan Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Demikian juga dengan pakar usul fikih semisal As Syathibi dalam muwafaqatnya, pakar sejarah Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya dan masih banyak lagi.
3. Pendahulu An Nawawi dan Ibnu Hajar serta kedua Imam ini tidak menyelewengkan sifat2 Alloh?
dalilnya sudah saya jelaskan bahwa ayat-ayat mutasyabihat ini harus ditakwil dengan 2 metode takwil.
4. Imam Abul Hasan seorang ahlu tafwidh.
Tidak perlu saya jelaskan, Kitab Ibanah yang asli adalah menggunakan metode tafwidh ini,
Al-Allamah Rasyid Ridha rahimahullahu berkata tentang Ahmad Zaini Dahlan: ‘Diantara para pencela yang paling masyhur adalah seorang Mufti Makkah al-Mukarromah, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan yang wafat pada tahun 1304, dia menulis sebuah risalah (yang mencela Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, pent.) yang mana keseluruhan permasalahan (yang ditulisnya) hanya berputar pada dua poros, yaitu poros kedustaan dan fitnah terhadap syaikh, dan poros kebodohan dimana ia menyalahkan sesuatu yang benar dari Syaikh.’ (Lihat: Muqoddimah Shiyahatul Insan, hal. 6, Maktabah Ahlul Hadits, http://www.ahlalhdeeth.com). (Dinukil dari: http://geocities.com/abu_amman/Imam-Ibnu-Abd-Wahhab.htm).
Adapun Mr. Hampher, ia seorang kafir yang majhul, yang gemar minum minuman keras sampai mabuk, bahkan dia menyebut kalau dirinya seorang pembohong. Syaikh Malik Bin Husain berkata tentang Hampher: ‘Sesungguhnya apa-apa yang disebutkan dalam mudzakkarat Hamver adalah omong kosong belaka, dan perkataan yang tidak berlandaskan dalil sama sekali. Dan hal ini tidaklah keluar kecuali dari dua macam manusia:
1.Orang yang bodoh kuadrat, tolol tidak bisa membedakan antara telapak tangannya dengan sikunya.2.Orang yang memperturutkan hawa nafsu, ahlul bid’ah dan musuh dakwah tauhid.Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya daging para ulama itu beracun, barangsiapa yang mencela para ulama maka Allah akan mengujinya sebelum ia mati dengan kematian hatinya. Kita memohon kepada Allah perlindungan dan keselamatan. (Lihat: http://www.almanhaj.or.id/content/827/slash/0).
Adakah ilmu bagi orang yang suka copy paste seperti ini?
Sebuah bantahan yang tidak mencerahkan. Bagaimana bisa mencerahkan… semua yang menentang Syekh Muhammad Abdul Wahab dianggap musuh dan menentang dakwah tauhid dan layaknya orang kafir, maka wajar saja Wahabi dianggap tafkiri, karena situs-situs mereka isinya adalah menjelekkan dan ‘menampilkan kesesatan’ semua kelompok diluar kelompoknya… bahkan ulama kontemporer saat ini diluar wahabi juga tidak lepas dari celaan mereka. Bahkan bantahan seperti inipun tidak lupa mereka menetapkan celaan dan penyesatan terhadap yang dibantahnya….luar biasa.
Tidak bisa diambil inti sarinya lalu dituangkan menurut tuliasan anda……. copy paste sampah.
Antum baca bener2 artikelnya bagaimana tuduhan Wahhabi itu dilakukan oleh para penjajah, inggris.
Ajibnya, para penjajah dan para Ahli Bid’ah (kalangan kuburiyyun dan mustasyrikun) memusuhi dakwah Syaikh yang barokah ini, seolah-olah mereka sama dalam memusuhi Ahlul Haq yaitu pengemban dakwah Nabi yaitu dakwah Tauhid.
mereka telah menuduh dakwah tauhid ini sebagai Wahhabi namun Allah memuliakan namanya karena Wahhabi adalah salah satu dari nama Allah, Al Wahhab (Maha Pemberi).
1. kitab Ad Durar As Saniyah yang antum sebutkan itu adlaah karya Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. judul lengkapnya adlaah Ad Durar As Saiyah fi rad alal Wahabiyah. sedangkan kitab Ad Durar As Saniyah yang berisi sejarah putih Syiakh Muhammad bin Abdil Wahab adalah karya Syaikh Abdurrahman bin Muhammad An Najdi yang judul lengkapnya Ad Durar As Saniyah fil Ajwibah An Najdiyah.
Syaikh Ahmad Zaini Dahlan memang berdusta karena menuduh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab tanpa bukti. tidak peduli seberapa tinggi kedudukan beliau, kalau dusta ya dusta. kenapa antum membela seorang pendusta?
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata tentang Syaikh Ahmad Zaini Dahlan: “Diantara para pencela yang paling masyhur adalah seorang Mufti Makkah al-Mukarromah, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan yang wafat pada tahun 1304, dia menulis sebuah risalah yang mana keseluruhan permasalahan (yang ditulisnya) hanya berputar pada dua poros, yaitu poros kedustaan dan fitnah terhadap syaikh, dan poros kebodohan dimana ia menyalahkan sesuatu yang benar dari Syaikh.” (Muqoddimah Shiyahatul Insan, hal. 6)
jika memang banyak ulama lain yang menjadi saksi sejarah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab, silakan antum sampaikan disini. bukankah sejak dahulu yang ana minta ada bukti. jadi silakan bawakan bukti anda, jangan cuma omong kosong.
2. bagaimana memahami “Kedua tangan Alloh”? itu mudah sekali karena ayat itu diturunkan dalam bahasa arab agar manusia memahami.
Imam Abu Utsman ash-Shabuni berkata: “Para ulama ashhabul hadits mempersaksikan dan meyakini bahwa Allah menciptakan Adam dengan Kedua Tangan-Nya…dst”, sampai beliau berkata: “Mereka (para ulama ashhabul hadits) tidak menyelewengkan makna ayat ini kepada makna-makna lain. Tidak menarik maknanya kepada makna “dua kenikmatan”, atau “dua kekuatan” seperti penyelewengan yang dilakukan mu’tazilah dan jahmiyyah.” (Aqidatus Salaf AshHabul Hadits, hal. 161)
bagaimana memahami “Wajah Alloh”? ini juga sama mudahnya memahami “tangan Alloh”. apakah antum meyakini bahwa ahli surga nanti bisa melihat wajah Alloh? melihat wajah Alloh itu sama dengan melihat bulan purnama, yaitu sama dalam hal cara melihatnya, bukan sama apa yang dilihat.
bagaimana memahami istiwa’ Alloh? ini juga sangat mudah. antum apsti tahu kisah orang yang bertanya pada Imam Malik bin Anas: “Bagaimana istiwa’ Alloh?”. dapat kita pahami dari pertanyaannya bahwa orang tersebut sudah paham makna istiwa’. tentu saja, karena dia adalah orang arab dan menggunakan bahasa arab. kalo dia tidak paham apa itu istiwa’, pasti bukan itu pertanyaannya, melainkan “Apa itu istiwa’ Alloh?”. lalu jawaban Imam Malik: “Istiwa’ itu tidak majhul…”. artinya istiwa’ itu bukan sesuatu yang tidak bisa dipahami.
masih banyak ulama lain yang menerima hadits jariyah sebagai dalil aqidah ‘Ulluw. katakanlah ada Abdul Ghani Al Maqdisi, Asy Syafi’i, Ibnu Abdil Barr, Utsman bin Sa’id, dll. kalo antum minta dalil lain, ada banyak sekali, bahkan mencapai 1000 dalil. belum lagi ditambah dengan ijma’ ulama.
Abu Utsman Ash Shobuni berkata: “Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44)
3. antum tidak bisa menyebutkan siapa pendahulu mereka dalam takwil sifat2 Alloh. misalnya, apakah nabi pernah mentakwil sifat tangan Alloh adalah kekuasaan atau kekuatan? apakah para sahabat mentakwil istiwa’ adalah menguasai? atau justru mereka diam dan menerima apa yang datang dari Alloh dan Rosul-Nya tanpa takwil?
siapa yang berkata bahwa ayat2 sifat Alloh adlaah mutasyabihat? dan siapa yang berkata harus ditakwil?
apakah nabi berkata seperti itu? apakah para sahabat? apakah para tabi’in?
bahkan perkataan yang shohih dari mereka adalah yang menetapkan sesuai dhohirnya.
Imam Sufyan bin ‘Uyainah, “Semua yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam al-Qur-an, MAKA BACAANNYA ADALAH TAFSIRNYA, tidak ada kata ‘bagaimana’ dan tidak ada tandingannya.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Lalika-i, dalam kitab Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, no. 736)
Al-Walid bin Muslim berkata: “Aku bertanya kepada Al-Auza’i, Sufyan bin ‘Uyainah dan Malik bin Anas tentang hadits-hadits dalam masalah sifat dan ru’yah, maka mereka menjawab, ‘Perlakukanlah sebagaimana apa adanya, tanpa menanyakan bagaimananya.'(Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi, dalam kitab Syarhus Sunnah I/171)
Ibnu Abdil Barr: “Seluruh Ahli Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikan secara zhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyah, Mu’tazilah dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya secara zhahirnya. Lucunya mereka menuding bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih.” (At-Tamhid 3/351)
4. ana tidak perlu penjelasan antum akrena antum tidak akan bisa menjelaskan. awalnya saja sudah banyak kesalahan dengan menuduh kitab Al Ibanah telah dipalsukan oleh salafi.
lagipula antum tidka bisa membantah bukti ana no.4
1. Bukti apa lagi yang anda minta ? wong mayoritas ulama menolak dakwah Syekh anda…. kasihan amat.
Justru yang perlu itu bukti yang menunjukkan bahwa Syekh tidak menganggap orang yang berziarah kubur dan bertabaruk serta bertawasul bukan orang musyrik, karena kenyataannya wahabi (seperti ajaran Syekh)menganggap mereka yang bertawasul dan bertabaruk dengan orang saleh yang telah wafat adalah musyrik.
Anda mengatakan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan berdusta ? hanya kerena mengutip Syaikh Muhammad Rasyid Ridha ?
Kasihan amat…..
2.
Kata Ajam : bagaimana memahami “Kedua tangan Alloh”? itu mudah sekali karena ayat itu diturunkan dalam bahasa arab agar manusia memahami.
Kata Mas Dianth : hebat, sepertinya anda telah mengalahkan ahli tafsir Al Quran.
Kata Ajam : Imam Abu Utsman ash-Shabuni berkata: “Para ulama ashhabul hadits mempersaksikan dan meyakini bahwa Allah menciptakan Adam dengan Kedua Tangan-Nya…dst”, sampai beliau berkata: “Mereka (para ulama ashhabul hadits) tidak menyelewengkan makna ayat ini kepada makna-makna lain. Tidak menarik maknanya kepada makna “dua kenikmatan”, atau “dua kekuatan” seperti penyelewengan yang dilakukan mu’tazilah dan jahmiyyah.” (Aqidatus Salaf AshHabul Hadits, hal. 161)
Kata Mas Dianth : perkataan Imam Abu Utsman ash-Shabuni itu untuk membantah orang yang tidak menetapkan atau tidak mau mengikuti perkataan Al Quran, dan menggantinya dengan kata lain. Jadi Menurut Imam, para ulama ashhabul hadits bersikap tafwidh. Beda dong dengan Ulama-ulama Asy ariyah yang beriman dan tetap mengatakan bahwa ‘Allah menciptakan Adam dengan Kedua Tangan-Nya’ sesuai bahasa Al Quran. Tapi Ulama-ulama Asy ariyah tidak mengartikan bahwa Allah mempunyai tangan atau 2 buah tangan secara hakikat seperti mahluk.
Kata Ajam : bagaimana memahami “Wajah Alloh”? ini juga sama mudahnya memahami “tangan Alloh”. apakah antum meyakini bahwa ahli surga nanti bisa melihat wajah Alloh? melihat wajah Alloh itu sama dengan melihat bulan purnama, yaitu sama dalam hal cara melihatnya, bukan sama apa yang dilihat.
Kata Mas Dianth : Kami meyakini dapat melihat ‘wajah Allah’ yang bermakna Zat Allah (sebagaimana tafsir Ibnu Abbas). Jadi Allah bukan punya wajah dalam arti fisik dong atau muka seperti manusia.
Kata Ajam : bagaimana memahami istiwa’ Alloh? ini juga sangat mudah. antum apsti tahu kisah orang yang bertanya pada Imam Malik bin Anas: “Bagaimana istiwa’ Alloh?”. dapat kita pahami dari pertanyaannya bahwa orang tersebut sudah paham makna istiwa’. tentu saja, karena dia adalah orang arab dan menggunakan bahasa arab. kalo dia tidak paham apa itu istiwa’, pasti bukan itu pertanyaannya, melainkan “Apa itu istiwa’ Alloh?”. lalu jawaban Imam Malik: “Istiwa’ itu tidak majhul…”. artinya istiwa’ itu bukan sesuatu yang tidak bisa dipahami.
Kata Mas Dianth : maksud paham seperti apa sih menurut ente? kalau paham dengan perkataan itu ya paham lah…. tapi maknanya? anda bilang seharusnyanya apa itu istiwa? istiwa kan duduk, semua orang juga mengerti duduk, tapi orang tak akan paham kalau duduk itu disandarkan kepada Allah. sebagaimana orang juga mengerti dan paham dengan kata tangan dan wajah, tapi mana bisa sembarang orang paham kalau tangan dan wajah itu disandarkan kepada Allah. Makanya orang itu bertanya bagaimana karena ini disandarkan kepada Allah…. dan reaksi Imam Malik adalah marah dan menganggp pertanyaan itu bidah karena hal ini adalah perkara yang samar alias mutasyabihat bukan muhkamat. kalau muhkamat tentulah tidak perlu ada ketakutan untuk memperincinya. Ngerti ora son ?
kate ente lagi ‘ artinya istiwa’ itu bukan sesuatu yang tidak bisa dipahami’
betul bisa dipahami bukan dengan menetapkan makna zhahir. bagaimana anda bisa paham Allah duduk/istiwa secara zhahir atau benar-benar duduk? Na’udzubillah…. mengapa Allah benar-benar duduk ? tidak bisakah anda mensucikan Allah dan memberikan sifat yang layak bagiNya ?
Kata Ajam : masih banyak ulama lain yang menerima hadits jariyah sebagai dalil aqidah ‘Ulluw. katakanlah ada Abdul Ghani Al Maqdisi, Asy Syafi’i, Ibnu Abdil Barr, Utsman bin Sa’id, dll. kalo antum minta dalil lain, ada banyak sekali, bahkan mencapai 1000 dalil. belum lagi ditambah dengan ijma’ ulama.
Abu Utsman Ash Shobuni berkata: “Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44)
Kata Mas Dianth : “Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” Kami juga dan ulama Asy ariyah tidak berselisih dengan yang mengatakan Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya, kami juga meyakininya, hanya saja kami tidak memaknainya dengan zhahir yaitu posisi Allah, atau Arah atau tempat bagi Allah tapi merupakan sevuah ungkapan maknawi akan sifat Maha tinggi dan Maha Agung derajat dan kebesaran Allah.
3.
Kata Ajam : antum tidak bisa menyebutkan siapa pendahulu mereka dalam takwil sifat2 Alloh. misalnya, apakah nabi pernah mentakwil sifat tangan Alloh adalah kekuasaan atau kekuatan? apakah para sahabat mentakwil istiwa’ adalah menguasai? atau justru mereka diam dan menerima apa yang datang dari Alloh dan Rosul-Nya tanpa takwil?
Kata Mas Dianth : Kalau anda berkata seperti itu, berarti anda menganganggap Ibnu Abbas menyimpang akidahnya dong seperti Imam Nawai dan Ibnu Hajar karena menakwilkan wajah Allah dengan Zat Allah, juga kursi Allah dengan Ilmu Allah, dan seharusnya anda bertanya kepada Nabi, kenapa beliau mendoakan Ibnu Abbas diberi pemahaman soal takwil. Anda juga mesti menganggap Imam Ahmad menyimpang karena menakwilkan ‘datang TuhanMu’ dengan datang perintah Tuhanmu, juga Ibnu Taimiah sendiri yang menakwilkan Wajah Allah dengan Arah yang dikehendaki Allah. Atau anda juga menganggap Imam Bukhari telah menyimpang ? Bahkan ulama-ulama wahabi jiga telah menyimpang karena menakwil ayat ‘Tangan Allah diatas tangan mereka’, atau ‘segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya’ dll. Kenapa Wahabi dan pengikutnya mempersoalkan takwil Istiwa dan yad ? padahal mereka juga ada menakwilkan ayat-ayat Al Quran…. padahal kan ayat muhkamat menurut ajam, kenapa juga ditakwil ya ?
Kata Ajam : siapa yang berkata bahwa ayat2 sifat Alloh adlaah mutasyabihat? dan siapa yang berkata harus ditakwil?
Kata Mas dianth : ayat-ayat sifat khobariyah Allah seperti Istiwa, tangan, turun, kaki, wajah adalah mutasyabihat, karena Allah berkata ‘Tidak ada yang serupa dengan Dia’, lalu ada ayat yang menjadikanNya serupa, maka jelas samar dan mutasyabihat.
Kata Ajam : apakah nabi berkata seperti itu? apakah para sahabat? apakah para tabi’in?
Kata Mas Dianth : Ini adalah perkataan ahli tafsir seperti yang saya sebutkan. Justru apakah nabi , para sahabat dan para tabi’in pernah mengatakan harus dimaknai makna zhahir/ hakiki ? tidak pernah ada. Kalau ayat-ayat itu muhkamat maka pastilah para ulama salaf telah menjelaskannya dengan rinci sebgaimana Nabi dan para salaf menjelaskan Asmaul husna.
Kata Ajam : bahkan perkataan yang shohih dari mereka adalah yang menetapkan sesuai dhohirnya.
Kata Mas Dianth : Dusta atas nama salaf.
Kata Ajam : Imam Sufyan bin ‘Uyainah, “Semua yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam al-Qur-an, MAKA BACAANNYA ADALAH TAFSIRNYA, tidak ada kata ‘bagaimana’ dan tidak ada tandingannya.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Lalika-i, dalam kitab Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, no. 736)
Al-Walid bin Muslim berkata: “Aku bertanya kepada Al-Auza’i, Sufyan bin ‘Uyainah dan Malik bin Anas tentang hadits-hadits dalam masalah sifat dan ru’yah, maka mereka menjawab, ‘Perlakukanlah sebagaimana apa adanya, tanpa menanyakan bagaimananya.’(Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi, dalam kitab Syarhus Sunnah I/171)
Kata Mas Dianth : Mereka menjelaskan makna ayat-ayat sifat khobariyah seperti istiwa, tangan, kaki, wajah, turun dsbnya. Perkataan mereka ini maknanya tafwidh, bukan zhahir… kok nggak ngerti sih mas… aduh …. kok sulit sekali sepertinya. makanya disebut ayat mutasyabihat, karena mereka tidak mau memperincinya dan tidak mau ditanyakan bagaimana dan jangan ditanyakan.
Kata Ajam :
Ibnu Abdil Barr: “Seluruh Ahli Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikan secara zhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyah, Mu’tazilah dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya secara zhahirnya. Lucunya mereka menuding bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih.” (At-Tamhid 3/351)
Kata Mas dianth : Anda tahu maksud perkataan Imam ini untuk siapa ? untuk yang menolak sifat-sifat Allah seperti Maha Melihat dan Maha Mendengar yang dilakukan oleh Muktazilah dan jahmiyah. ayat-ayat sifat seperti ini memang diartikan secara zhahir karena ayat-ayat ini adalah murni sifat, sedangkan ayat-ayat sifat khobariyah adalah ayat yang zhahirnya menggambarkan keadaan atau rupa Zat (kunhi zat) seperti tangan, kaki wajah dsbnya, yang semua itu mustahil buat Allah. Dan itu dipahami sesuai perkataan Imam Sufyan bin ‘Uyainah dan Al-Walid bin Muslim
4. Kata Imam Asy ari : bahwasannya Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, dan bukan di bumi-Nya”. (Risaalah ilaa Ahlits-Tsaghar hal. 75)
Beliau ini membantah muktazilah dan jahmiyah yang menolak istiwa Allah di atas Langit, jadi mereka menolak ungkapan Al Quran akan ketinggian Allah ini dan meyelewengkan maknanya (tha’til) pada bahasa aslinya. mangkanya Imam menjelaskan bukan di bumi karena ayat itu jelas kata aslinya Allah diatas langit bukan bumi. Jadi mereka tidak menterjemahkannya denganAllah diatas langit namun diterjemahkan langsung ke kata yang sesuai maknanya menurut mereka.
Jahmiyah/muktazilah : Allah berkuasa atas alangit dan bumi. (mereka mengatakan dan menterjemahkan sesuai makna menurut mereka). tha’til karena mengubah bahasa aslinya.
Asy ariyah : Allah diatas Langit atau langit-langitNya.
(Maknanya adalah ungkapan ketinggian derajat dan keagungan Allah bisa juga bermakna seperti makna muktazilah) tidak tha’til karena sesuai kata aslinya.
Wahabi : Allah diatas Langit atau langit-langitNya (Maknanya adalah Zat Allah benar-banar di atas langit/bertempat atau diarah atas yaitu di atas langit)
Demikian, semoga anda paham maaf kalau lama menjawab, karena saya ada urusan sehingga tak sempat online.
1. ulama yang antum katakan itu adalah ulama su’. ulama pendusta dan dzolim. ana contohkan adalah Syaikh Alwi Al Haddad yang membuat-buat hadits palsu untuk memfitnah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: “Akan keluar di abad kedua belas nanti di lembah Bani Hanifah seorang lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan (sombong), lidahnya selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu banyak terjadi kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin, diambil untuk berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin”.
ana jadi teringat pengikut madzhab hanafi yang membuat hadits palsu untuk merendahkan imam Syafi’i: “Akan datang pada umatku seorang yang bernama Muhammad bin Idris, dia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Dan akan datang pada umatku seorang bernama Abu Hanifah, dia adalah pelita umatku”. sama saja pembuat hadits ini dengan Syaikh Alwi.
antum berkata, “Bukti apa lagi?”. apanya yang “lagi”? wong antum sama sekali belum membuktikan apa2. ana kan sudah bilang, sejarah yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Zaini itu munqothi’ atau terputus. ini saja belum antum jawab.
coba antum pikirkan hal ini: Syaikh Ahmad Zaini menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkhutbah di atas mimbar mengaku menjadi Nabi. sebagai pembela Syaikh Ahmad Zaini, coba antum sebutkan apa dasar tuduhan beliau ini? mudah kan kalo cuma menuduh? tapi pembuktiannya nol.
itulah dusta, sekalipun Syaikh Rasyid Ridha tidak mengatakan dusta, sekalipun tidak ada seorang pun yang mengatakan itu dusta, namun secara sifat hal itu adlaah dusta.
2. Al Akh diant berkata: perkataan Imam Abu Utsman ash-Shabuni itu untuk membantah orang yang tidak menetapkan atau tidak mau mengikuti perkataan Al Quran, dan menggantinya dengan kata lain
ana berkata: antum mungkin terlalu terbawa hawa nafsu samapi tidak bisa membaca tulisan yang jelas. Imam Ash Shobuni berkata: ““Mereka (para ulama ashhabul hadits) tidak menyelewengkan makna ayat ini kepada makna-makna lain. Tidak menarik maknanya kepada makna “dua kenikmatan”, atau “dua kekuatan”.”
apa yang diselewengkan oleh Mu’tazilah dan Jahmiyah? yaitu makna, bukan lafadh. bacaan mereka masih sama dengan bacaan kita, hanya saja maknanya diselewengkan.
al akh diant berkata: Kami meyakini dapat melihat ‘wajah Allah’ yang bermakna Zat Allah (sebagaimana tafsir Ibnu Abbas). Jadi Allah bukan punya wajah dalam arti fisik dong atau muka seperti manusia.
ana berkata: perkataan antum “Sebagaimana tafsir Ibnu Abbas” itu perlu bukti, bukan sekedar omong kosong. biasakanlah berkata sesuatu di atas dasar yang jelas.
Rosululloh mengajarkan doa pada kita yang sangat panjang: وأسألك لذة النظر إلى وجهك
“…Aku mohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu…” (An-Nasa’iy 3/54 no. 1305, Ahmad 4/264, Al-Haakim 1/524, Ibnu Abi Syaibah 10/265, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 120.)
Ibnu Mandah berkata: “Para ulama tafsir telah bersepakat, seperti Ibnu ‘Abbas dan yang lainnya dari kalangan shahabat; dari kalangan tabi’in : Muhammad bin Ka’b, ‘Abdurrahman bin Saabith, Al-Hasan bin Abil-Hasan (Al-Hasan Al-Bashriy), ‘Ikrimah, Abu Shaalih, Sa’id bin Jubair, dan yang lainnya; bahwa makna ayat tersebut adalah : Melihat pada wajah Rabb-Nya” (Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah, hal. 100-101)
Alloh berfirman: “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS Yunus 26)
para salaf menafsirkan ayat tersebut:
Abu Bakar: الزيادة : النظر إلى وجه الله تعالى.
“Tambahannya adalah melihat wajah Allah ta’ala” (‘Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam As-Sunnah no. 471)
Hudzaifah bin Yaman:’ النظر إلى وجه عز وجل.
“Melihat wajah Allah ‘azza wa jalla” (Ad-Daaruquthniy no. 202)
Abdurrahman bin Abi Laila: الحسنى : الجنة، والزيادة : النظر إلى وجه الله.
“Al-Husnaa adalah surga, dan Az-Ziyaadah adalah melihat wajah Allah” (Aqwaalut-Taabi’iin fii Masaailit-Tauhiid wal-Iman oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Al-Mubdil, hal. 883)
Qotadah: الحسنى : الجنة، والزيادة – فيما بلغنا – : النظر إلى وجه الله.
“Al-Husnaa adalah surga, dan Az-Ziyaadah – menurut khabar yang sampai kepada kami – adalah melihat wajah Allah” (Aqwaalut-Taabi’iin fii Masaailit-Tauhiid wal-Iman oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Al-Mubdil, hal. 884)
al akh diant berkata:
hanya saja kami tidak memaknainya dengan zhahir yaitu posisi Allah, atau Arah atau tempat bagi Allah tapi merupakan sevuah ungkapan maknawi akan sifat Maha tinggi dan Maha Agung derajat dan kebesaran Allah.
ana berkata: alhamdulillah tadi antum tidak menolak ru’yatulloh (milihat Alloh) di surga, sekalipun mengingkari wajah Alloh. nah, menurut antum, sifat melihat penduduk surga dengan penduduk dunia itu sama atau tidak? yang ana maksud, kalo kita di dunia ini melihat dengan mata yang berada di muka kita, bagaimana dengan penduduk surga?
jika antum menjawab “sama”, maka dapat dipastikan bahwa melihat itu menghadapkan muka kita menuju ke suatu arah. lalu dimana Alloh saat dilihat oleh penduduk surga? masihkah antum berkata “Alloh tak bertempat dan tak berarah”?
bukankah Rosululloh memperumpamakan melihat Alloh di surga seperti melihat bulan. apakah antum juga akan berkata bahwa bulan itu tak berarah?
3. antum berkata bahwa Ibnu Abbas menakwilkan wajah Alloh dengan zat Alloh, imam ahmad menakwilkan datangnya Alloh dengan datangnya perintah Alloh, dll perlu dibuktikan dulu.
telah ana sebutkan tafisr beberapa sahabat dan tabi’in QS Yunus 26, di antaranya dinukil oleh Ibnu Mandah bahwa Ibnu Abbas menetapkan sifat wajah bagi Alloh, sebagaimana dhohirnya.
adapun tentang lafadh “tangan Alloh di atas tangan mereka”, perlu antum pahami ayat itu secara lengkap. Alloh berfirman: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.” (al-Fath 48: 10)
lafadh “tangan Alloh di atas tangan mereka” ditafsirkan dengan potongan ayat yang pertama, yaitu lafadh “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji kepada Allah”. Alloh sendiri yang menafsirkan firman-Nya, karena itulah kami salafiyun menetapkan tafisran Alloh. bandingkan dengan kalian yang menafsirkan menurut logika kalian sendiri. jelas ini 2 hal yang sangat berbeda.
kemudian tentang lafadh “segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”, apakah antum mengerti tentang “penyebutan sebagian yang dimaksudkan untuk keseluruhan” dan “penyebutan keseluruhan yang dimaksudkan untuk sebagian”?
contoh “penyebutan sebagian yang dimaksudkan untuk keseluruhan”: “Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih”.
dalam ayat ini, isim “kaafiriina” secara kaidah nahwu menunjukkan orang laki2 jamak. namun secara hukum syar’i, ayat ini berlaku juga bagi wanita. dengan demikian, wanita kafir pun juga akan mendapat azab yang pedih.
contoh “penyebutan keseluruhan yang dimaksudkan untuk sebagian”: “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah”.
dalam ayat tersebut, Alloh menyebutkan “kaum Luth” di azab. namun ternyata tidak semua kaum Nabi luth diazab. masih tersisa putri2 beliau dan para pengikut yang lain.
kembali pada lafadh “wajah Alloh”, penyebutan sebagian yang dimaksudkan untuk keseluruhan sama sekali tidak menghilangkan eksistensi dari yang sebagian tersebut. bahkan hal itu malah menegaskan eksistensinya.
al akh diant berkata: ayat-ayat sifat khobariyah Allah seperti Istiwa, tangan, turun, kaki, wajah adalah mutasyabihat, karena Allah berkata ‘Tidak ada yang serupa dengan Dia’, lalu ada ayat yang menjadikanNya serupa, maka jelas samar dan mutasyabihat.
ana berkata: kalau begitu, berarti sifat melihat dan mendengar bagi Alloh itu juga mutasyabihat, karena makhluq pun juga mempunyai penglihatan dan pendengaran. makhluq juga mempunyai kekuatan, kekuasaan, ilmu, hidup, raja, suci, kalam, kehendak, dll.
al akh diant berkata: Ini adalah perkataan ahli tafsir seperti yang saya sebutkan.
ana berkata: ahli tafsir mana? jangan cuma omong kosong ya akhi. berapa kali dalam diskusi kita selama ini antum berbicara tanpa dasar dan dalil. ana sampai tidak bisa menghitungnya karena saking banyaknya.
al akh diant berkata: Justru apakah nabi , para sahabat dan para tabi’in pernah mengatakan harus dimaknai makna zhahir/ hakiki ?
ana berkata: Ibnu Abdil Barr berkata: “Seluruh Ahli Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikannya secara dhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya secara dhahirnya. Lucunya mereka meuding bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk)”. (At-Tamhid 3/351)
al akh diant berkata: Anda tahu maksud perkataan Imam ini untuk siapa ? untuk yang menolak sifat-sifat Allah seperti Maha Melihat dan Maha Mendengar yang dilakukan oleh Muktazilah dan jahmiyah
ana berkata: perkataan Ibnu Abdil Barr ini berkaitan dengan pembahasan beliau tentang sifat turunnya Alloh, bukan sifat mendengar dan melihat.
4. dari perkataan Imam Abul Hasan seharusnya antum mengingkari 2 perkara:
a. beliau bukan ahlu tafwidh, karena beliau telah memberikan makna. bagaimana beliau bisa mengingkari bahwa Alloh tidak berada di bumi kecuali beliau menetapkan terlebih dahulu bahwa Alloh berada di langit? seandainya beliau tidak mengetahui makna “Alloh di langit”, niscaya beliau juga tidak akan mengetahui bahwa Alloh tidak berada di bumi.
b. beliau bukan ahlu tahrif, karena beliau telah menetapkan makna lafadh “Alloh di langit” sebagaimana dhohirnya. jika seandainya beliau memaknai “Alloh di atas langit” adalah Alloh tinggi atau agung atau mulia, niscaya beliau akan menafikan bahwa Alloh itu rendah dan hina. apakah “berada di bumi” ini bermakna “hina”, sehingga perkataan beliau “Alloh tidak di bumi” antum maknai dengan “Alloh tidak hina”? kalau iya, berarti kita semua adalah hina, rosululloh adalah hina, waliyulloh adalah hina, anshorulloh adalah hina, karena semua mereka itu tinggal di bumi.
Assalamu’alaikum…
Mas azam@ maaf ni saya masih awam…
saya ingn bertanya kpda anda…
1. Jika Allah di atas arsy,berarti Allah swt terangkat dong dan mempunyai batas..???
2. Di manakah Allah swt sebelum Arsy di ciptakan…???
3. bila qt mngatakn Allah ada dibatas Arsy,sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yg terendah saat spertiga malam trakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkn qt mmahami bhwa wktu d prmukaan bumi trs brgilir, mka jka d suatu tmpt adlh tengah mlm,mka wktu tengah mlm itu tdk sirna,tpi trs brpindah k arah barat&trs k yg lbh barat, tentulh brarti Allah itu slalu brgelantungn mngitari Bumi d langit yg trendah..MAKA KAPAN ALLAH SWT KE ATAS ARSYNYA…???
O.ia lupa, 1 lg mas..
Penduduk surga itu kan banyak bahkan surga bertingkat2..penduduk surga yg mnakah yg akn mndapat knikmatan melihat wajah Allah swt…???
Wajah Allah ? janganlah mengikuti pemahaman kaum musyabbihah bermazhab dzahiriyah yakni berpendapat, berfatwa, berakidah (beri’tiqod) berpegang pada nash secara dzahir
Silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/04/18/tasyabuh-yang-terlarang/
mas Dianth kayaknya mulai nggak bermanfaat deh coba nt simak kata2 ini dan mohon dipahami “Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.” biarlah mas Ajam dgn keyakinannya mas ……maaf kalau nggak berkenan mas Dianth ………salam
Mas Mamo, saya mengerti maksud mas mamo….
saya hanya akan menyampaikan apa yang perlu saya sampaikan, selanjutnya saya akan menghindari perdebatan.
Salam
terimakasih atas mengertinya mas Dianth ………saya hanya mengingatkan nt mas sebab nt udah ana anggap saudara …….salam
Ajam
1.
Kata Ajam : ulama yang antum katakan itu adalah ulama su’. ulama pendusta dan dzolim.
Kata Mas Dianth : Tidak bisa mengatakan mayoritas ulama su’ pendusta dan zalim. kalau hanya satu dua ulama yang mengkritik dan mencela dakwah dan ajaran syekh bisa jadi… tetapi kenapa banyak yang menolaknya ? ini perlu anda kritisi, apa yang salah dengan ajaran syekh ? salah satu yang paling dikecam adalah mudahnya vonis-vonis sesat, bid ah dan musyrik terhadap golongan lain yang mempunyai pendapat berbeda dan masih dalam naungan penafsiran nash yang sama yaitu Al Qur an dan Sunnah. Kalau memang dakwah Syekh adalah dakwah tauhid, maka tidaklah para ulama menolak dakwah tauhid, yang terjadi sesungguhnya yang di dakwahkan adalah tauhid versi Ibnu Taimiyah dan Syekh seperti pembagian 3 tauhid yang konsekuensinya menjadikan sebagian besar kaum muslimin menjadi pelaku kesyirikan, yaitu para sufi, kaum muslim yang bertawasul dan bertabaruk dengan peninggalan orang yang telah wafat, dimana hal ini adalah masalah khilafiyah, juga termasuk vonis penyimpangan akidah terhadap mayoritas kaum muslimin termasuk ulamanya yang menakwil sifat-sifat khabariyah Allah, dimana hal ini juga merupakan wilayah khilafiyah pada cabang akidah, dan bukan merupakan pokok akidah.
Saya tidak perlu membahas masalah ini lebih jauh… apa yang saya tuliskan telah menggambarkan permasalahannya.
2.
Ajam berkata: antum mungkin terlalu terbawa hawa nafsu samapi tidak bisa membaca tulisan yang jelas. Imam Ash Shobuni berkata: ““Mereka (para ulama ashhabul hadits) tidak menyelewengkan makna ayat ini kepada makna-makna lain. Tidak menarik maknanya kepada makna “dua kenikmatan”, atau “dua kekuatan”.”
apa yang diselewengkan oleh Mu’tazilah dan Jahmiyah? yaitu makna, bukan lafadh. bacaan mereka masih sama dengan bacaan kita, hanya saja maknanya diselewengkan.
Dianth : Pendapat Imam itu jelas ditujukan kepada Mu’tazilah dan Jahmiyah karena mereka menolak sifat-sifat Allah dan Tha’til pada bahasa. Kalau para ulama ashhabul hadits tidak menyelewengkan makna ayat ini kepada makna-makna lain seperti “dua kenikmatan”, atau “dua kekuatan”, karena mereka bersikap tafwidh, dan mereka seperti asy’ ariyah (bedanya salaf tafwidh /takwil global, asy ariyah menakwil) menetapkan sebagaimana datangnya ayat, tidak seperti muktazilah dan jahmiyah yang tidak menetapkan sebagaimana datangnya ayat.
Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan KEDUA TANGAN-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. (Surat Shaad: 75)
Mu’tazilah/jahmiyah : Allah menciptakan Adam dengan dua kekuatanNya. (Mukatzilah tidak menetapkan bahwa Adam diciptakan dengan kedua tanganNya)
Salaf : Allah menciptakan Adam dengan kedua tangan Nya. ( menetapkannya, Tafsirnya adalah bacaannya, tidak memberikan perincian dan menyerahkan makna kedua tangan sebagaimana makna yang Allah maksud).
Asy ariyah : Allah menciptakan Adam dengan kedua tanganNya ( menetapkan sesuai bahasa / perkataan Al Quran, Tafsirnya adalah Allah telah menciptakan Adam dengan kekuatan/ kekuasaanNya)
Wahabi : Allah menciptakan Adam dengan kedua tanganNya (Tafsirnya Allah menciptakan Adam dengan kedua belah tangan Allah, Allah mempunyai 2 buah tangan, kedua tangan Allah adalah kanan)
Ajam berkata: perkataan antum “Sebagaimana tafsir Ibnu Abbas” itu perlu bukti, bukan sekedar omong kosong. biasakanlah berkata sesuatu di atas dasar yang jelas.
Kata mas Dianth :anda kurang membaca…. jadi semuanya perlu saya buktikan lagi, tidak apa-apa.
Ibnu Abbas adalah sahabat yang terkenal keahliannya dalam tafsir dan takwil. Ibnu Abbas lah yang telah yang mentakwil ayat Allah:
ويبقى وجه ربك (dan kekallah wajah Tuhanmu: Ar-Rahman:27) kepada ويبقى الله (kekallah Allah).
Ibnu Abbas mengatakan: Wajah merupakan ibarat dariNya, sebagaimana frmanNya: “Dan yang tersisa hanyalah wajah Rabbmu yang memiliki keagungan dan kemuliann.” Abul Ma’ali mengatakan: “Ada pun wajah maksudnya adalah menurut imam-imam besar kami adalah wujud Allah Ta’ala, dan itulah yang disetujui oleh guru kami.”
(Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 17/165)
Kata Ajam : Rosululloh mengajarkan doa pada kita yang sangat panjang: وأسألك لذة النظر إلى وجهك
“…Aku mohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu…” (An-Nasa’iy 3/54 no. 1305, Ahmad 4/264, Al-Haakim 1/524, Ibnu Abi Syaibah 10/265, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 120.)
Ibnu Mandah berkata: “Para ulama tafsir telah bersepakat, seperti Ibnu ‘Abbas dan yang lainnya dari kalangan shahabat; dari kalangan tabi’in : Muhammad bin Ka’b, ‘Abdurrahman bin Saabith, Al-Hasan bin Abil-Hasan (Al-Hasan Al-Bashriy), ‘Ikrimah, Abu Shaalih, Sa’id bin Jubair, dan yang lainnya; bahwa makna ayat tersebut adalah : Melihat pada wajah Rabb-Nya” (Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah, hal. 100-101)
Alloh berfirman: “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS Yunus 26)
para salaf menafsirkan ayat tersebut:
Abu Bakar: الزيادة : النظر إلى وجه الله تعالى.
“Tambahannya adalah melihat wajah Allah ta’ala” (‘Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam As-Sunnah no. 471)
Hudzaifah bin Yaman:’ النظر إلى وجه عز وجل.
“Melihat wajah Allah ‘azza wa jalla” (Ad-Daaruquthniy no. 202)
Abdurrahman bin Abi Laila: الحسنى : الجنة، والزيادة : النظر إلى وجه الله.
“Al-Husnaa adalah surga, dan Az-Ziyaadah adalah melihat wajah Allah” (Aqwaalut-Taabi’iin fii Masaailit-Tauhiid wal-Iman oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Al-Mubdil, hal. 883)
Qotadah: الحسنى : الجنة، والزيادة – فيما بلغنا – : النظر إلى وجه الله.
“Al-Husnaa adalah surga, dan Az-Ziyaadah – menurut khabar yang sampai kepada kami – adalah melihat wajah Allah” (Aqwaalut-Taabi’iin fii Masaailit-Tauhiid wal-Iman oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Al-Mubdil, hal. 884)
Kata Mas Dianth : kalau memang begitu tidak ada masalah, karena memang begitulah bahasa Al Qur an yang mengandung keindahan. Wajah Allah, begitulah Al Qur an menyebutnya. Tapi apakah mereka mengatakan Allah mempunyai muka/wajah secara hakiki? seperti mahluk hidup yang mempunyai muka/wajah?
Ajam berkata: alhamdulillah tadi antum tidak menolak ru’yatulloh (milihat Alloh) di surga, sekalipun mengingkari wajah Alloh. nah, menurut antum, sifat melihat penduduk surga dengan penduduk dunia itu sama atau tidak? yang ana maksud, kalo kita di dunia ini melihat dengan mata yang berada di muka kita, bagaimana dengan penduduk surga?
Kata Mas Dianth : yang dapat dilihat dan memperlihatkan diri itu beda mas.
“Dia (Allah) tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu,” (Q.S. Al An’am: 103)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah hakikatnya tidak bisa dilihat oleh mata. jadi sifat melihat penduduk surga dengan penduduk dunia itu pasti berbeda. Bagaimana Allah bisa dilihat oleh penduduk Surga maka itu rahasia Allah. Kita menetapkannya tanpa bagaimana kan?
Dari Abu Dzar r.a katanya: “Aku bertanya kepada Rasulullah s.a.w: “Adakah anda melihat Allah?” Jawab baginda: “Dia Maha Cahaya, bagaimana aku dapat melihatnya?”
(HR. Muslim)
Kata Ajam : bukankah Rosululloh memperumpamakan melihat Alloh di surga seperti melihat bulan. apakah antum juga akan berkata bahwa bulan itu tak berarah?
Kata Mas Dianth :
Sesungguhnya orang-orang (para sahabat) bertanya,”Wahai, Rasulullah. Apakah kami akan melihat Rabb kami pada hari kiamat nanti?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya,”Apakah kalian akan mengalami bahaya (karena berdesak-desakan) ketika melihat bulan pada malam purnama?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,”Apakah kalian juga akan mengalami bahaya (karena berdesak-desakan) ketika melihat matahari yang tanpa diliputi oleh awan?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah.” Maka Beliau bersabda,”Sesungguhnya, begitu pula ketika kalian nanti melihat Rabb kalian”
hadist-hadist nabi seperti ini bukanlah menjelaskan posisi atau arah bagi Allah tapi menjelaskan bahwa kita dapat melihat Allah tanpa kesulitan atau ditimpa bahaya…. perhatikan baik-baik pertanyaan Rasulullah, maksudnya adalah kemudahan kita meliha Allah.
Allah tidak berarah, bertempat karena memang begitu sifatnya, Dia tidak bergantung pada apapun.
“Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu apapun bersama-Nya”. (HR al-Bukhari dan lainnya).
Tidak ada sesuatu, berarti tidak ada tempat dan arah karena tempat dan arah adalah ciptaanNya. Sifat Allah tidak berubah, kalau dia Qidam tanpa tempat dan arah maka selamanya dia tanpa tempat dan arah.
Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap maka disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmatNya) lagi Mahamengetahui”. (QS.al-Baqarah: 115)
kemanapun kamu menghadap maka disitulah wajah Allah.
sudah jelas Allah tidak berada pada arah dan tempat tertentu.
3.
Ajam berkata : bahwa Ibnu Abbas menakwilkan wajah Alloh dengan zat Alloh, imam ahmad menakwilkan datangnya Alloh dengan datangnya perintah Alloh, dll perlu dibuktikan dulu.
Kata Mas dianth : wah wah wah… anda perlu banyak membaca lagi mas.
Kata Ajam :adapun tentang lafadh “tangan Alloh di atas tangan mereka”, perlu antum pahami ayat itu secara lengkap dan seterusnya….. adalah contoh takwil dan mengapa perlu ditakwil, yaitu karena adanya indikasi atau qorinah yang memberikan petunjuk untuk dilakukan takwil, maka sebagaimana takwil yang anda sebutkan begitupula takwil yang dilakukan oleh para ulama Asy ariyah, meskipun ulama salaf dan khalaf berbeda dalam persepsi dan ijtihad dalam masalah ini, maka tidak ada suatu kelompok atau golongan yang berhak mengklaim pendapatnya adalah ukuran kebenaran dan kebatilan, sebagaimana ulama Wahabi mengatakan adanya penyimpangan terhadap akidah Imam Nawawi dan Ibnu Hajar karena melakukan takwil. Na’udzubillah.
Ajam berkata: kalau begitu, berarti sifat melihat dan mendengar bagi Alloh itu juga mutasyabihat, karena makhluq pun juga mempunyai penglihatan dan pendengaran. makhluq juga mempunyai kekuatan, kekuasaan, ilmu, hidup, raja, suci, kalam, kehendak, dll.
Mas Dianth berkata :
“Tidaklah ada yang serupa denganNya sesuatu apapun, dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS.Asy Syura : 11).
ada 2 kalimat yang satu menegaskan Tanzih yaitu “Tidaklah ada yang serupa denganNya sesuatu apapun, dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS.Asy Syura : 11). yang satu tasybih, yaitu Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Maka maksud yang Tanzih adalah tidak ada keserupaan apapun juga dengan Zat Allah. Zat Allah adalah sesuatu yang mutlak tanpa ada bandingan dan penyerupaann, yaitu keadaan zat (kunhi zat) Nya.
sebagaimana kita ketahui bahwa tangan, kaki, wajah, yang kita pahami adalah pengambaran atau sesuatu yang berhubungan langsung dengan keadaan fisik/ tubuh (zat), bahkan merupakan bagian dari fisik/tubuh (zat).
Maka bila anda memahami bahwa ketidak keserupaan Allah dengan mahlukNya adalah bentuknya saja atau kafiyatnya pada masalah ini maka anda tidak mensucikan selayaknya, karena masih ada penyerupaan dalam makna secara bahasa yang kita pahami pada mahluk, sebagaimana yang sering dicontohkan wahabi : manusia punya tangan, monyet punya tangan, tapi hakikat tangan monyet dan manusia beda. apa makna hakikat kalau hanya bentuk saja beda tapi bermakna sama sebagaimana yang kita pahami, yaitu tangan sebagai anggota atau bagian dari tubuh/zat.
padahal kita ketahui bahwa tidak ada satupun mahluk yang sama atau identik satu sama lain tapi mesti ada perbedaan dalam bentuk dan kafiyatnya baik secara umum maupun khusus. Maka ketidakserupaan Allah ini, bila ini masalahnya, maka sama saja ketidakserupaan Zat Allah dengan zat mahluknya dengan perbedaan zat mahluk dengan zat mahluk lainnya karena hanya berbeda bentuk/kafiyat (padahal semua mahluk bahkan yang satu jenispun berbeda bentuk dan kafiyatnya, misalnya tangan saya dan tangan ajam biarpun sama tetapi tetap ada perbedaanya seperti sidik jarinya), walaupun perbedaan itu sedikit, kecil ataupun banyak/besar.
Maha suci Allah dari berbentuk, terbagi-bagi pada ZatNya, karena berbentuk, bagian dan anggota tubuh/zat adalah sifat bagi mahluk bukan sifat bagi Allah. Karena sifat-sifat ini secara makna bahasa atau pemahaman adalah memiliki batasan, ukuran. Na’udzubillah.
Kalau anda mengatakan bahwa makna tangan, wajah dan kaki secara zhahir bagi Allah bukan bermakna bagian atau anggota tubuh/zat maka anda tidak memahami kaidah bahasa dan tidak ada bahasa seperti yang anda pahami, dan anda telah memahami sesuatu dengan absurd dan kontradiktif, tidak bernilai apa-apa.
Maka yang kedua adalah tasybih seperti Maha melihat dan Maha mendengar, maka kita tetapkan maknanya sebagaimana makna yang kita ketahui sesuai yang kita pahami, hanya saja kita memberikan kesempurnaan kepada sifat Allah dan tidak memberikan perbandingan dengan mahlukNya karena memang sifat Allah tiada bandingannya. Maka kalau anda membedakan kafiyatnya pada sifat-sifat maknawi seperti ini (bukan fisik/indrawi sebagaimana saya sebutkan diatas) maka tidak mengapa.
Ajam berkata: ahli tafsir mana? jangan cuma omong kosong ya akhi. berapa kali dalam diskusi kita selama ini antum berbicara tanpa dasar dan dalil. ana sampai tidak bisa menghitungnya karena saking banyaknya.
Dianth berkata : sampai saat ini justru saya tidak melihat adanya dalil bahwa ayat-ayat itu disebut ayat muhkamat dan tidak boleh ditakwil atau bersifat tafwidh.
para ahli ulumul Quran, seperti Zarkasyi dalam Al Burhan, Suyuthi dalam Al Itqan, Zurqani dalam Manahilul ‘Irfan. Begitu juga para ulama hadis seperti Imam Al Khattabi dalam Ma’alim Sunan, Imam Al Baihaqi dalam Asma’ Wa Sifat dan Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Demikian juga dengan pakar usul fikih semisal As Syathibi dalam muwafaqatnya, pakar sejarah Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya dan masih banyak lagi. Semuanya mengatakan bahwa ayat-ayat ini adalah ayat-ayat mutasyabihat.
Kata Ajam : al akh diant berkata: Justru apakah nabi , para sahabat dan para tabi’in pernah mengatakan harus dimaknai makna zhahir/ hakiki ?
Kata Mas Dianth : belum terjawab.
Ajam berkata: perkataan Ibnu Abdil Barr ini berkaitan dengan pembahasan beliau tentang sifat turunnya Alloh, bukan sifat mendengar dan melihat.
Kata Mas Dianth : Dalam kitab yang sama Imam Abdil Barr juga berkata : “Mayoritas imam Ahli Sunnah berpendapat bahwa Allah turun sebagaimana dikhabarkan oleh Rasulullah, mereka membenarkan hadits ini dan tidak membagaimanakannya”.
jadi menurut pemahaman saya masalah sesuai zhahir adalah untuk sifat-sifat Allah seperti Maha melihat dan Maha mendengar, dimana muktazilah dan jahmiyah menolaknya, sedangkan untuk ayat-ayat sifat khobariyah seperti turunnya Allah maka Imam telah berkata sebagaimana yang saya kutipkan.
4. Kata Ajam : dari perkataan Imam Abul Hasan seharusnya antum mengingkari 2 perkara:
a. beliau bukan ahlu tafwidh, karena beliau telah memberikan makna. bagaimana beliau bisa mengingkari bahwa Alloh tidak berada di bumi kecuali beliau menetapkan terlebih dahulu bahwa Alloh berada di langit? seandainya beliau tidak mengetahui makna “Alloh di langit”, niscaya beliau juga tidak akan mengetahui bahwa Alloh tidak berada di bumi.
Kata Mas Dianth: ini penegasan Imam agar kita tidak tha’til dan menolak menetapkannya sebagaimana bahasa atau kalimatnya.
Tidak ada indikasi pasti beliau menetapkan Allah mempunyai arah (atas) dan tempat (langit).
Kata Ajam : b. beliau bukan ahlu tahrif, karena beliau telah menetapkan makna lafadh “Alloh di langit” sebagaimana dhohirnya. jika seandainya beliau memaknai “Alloh di atas langit” adalah Alloh tinggi atau agung atau mulia, niscaya beliau akan menafikan bahwa Alloh itu rendah dan hina. apakah “berada di bumi” ini bermakna “hina”, sehingga perkataan beliau “Alloh tidak di bumi” antum maknai dengan “Alloh tidak hina”? kalau iya, berarti kita semua adalah hina, rosululloh adalah hina, waliyulloh adalah hina, anshorulloh adalah hina, karena semua mereka itu tinggal di bumi.
Kata Mas dianth : begitu juga para Asy ariyah bukan ahli tahrif karena menetapkan kata/kalimatnya yaitu Allah di langit sebagaimana datangnya dan memahaminya dengan 2 jalan yaitu takwil ijmali dan tafsili, karena maknanya bukan makna zhahir.
Mas Ajam semuanya adalah hina bila dibandingkan Allah….siapa anda mau membadingkan dirinya dengan kemulyaan dan ketingginan derajat Allah. kemulyaan para nabi, wali dsbnya yang anda sebutkan hakikatnya adalah pemberian Allah dan sesungguhnya adalah kemulyaan Allah.
Demikian penjelasannya. Salam buat akhi Ajam.
1. antum tidak bisa membuktikan sejarah hitam wahabi itu shohih. itu saja sudah bisa dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa tuduhan antum itu DUSTA.
malahan yang lebih jelas lagi, ulama antum membuat-buat hadits palsu. semakin jelaslah sekarang keDUSTAan antum.
banyaknya ulama dzolim yang mencela beliau sama sekali tidak merendahkan kedudukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. lagipula, jumhur (kebanyakan) itu bukan tolok ukur kebenaran. yang bisa menjadi tolok ukur adalah ijma’ (kesepakatan). dan lagipula, sudahkah antum mensensus berapa jumlah ulama yang mencela beliaud an berapa ulama yang memuliakan beliau?
lagi2 kebiasaan antum berkata tanpa dasar kambuh lagi.
2. al akh diant berkata:
Kalau para ulama ashhabul hadits tidak menyelewengkan makna ayat ini kepada makna-makna lain seperti “dua kenikmatan”, atau “dua kekuatan”, karena mereka bersikap tafwidh
ana jawab:
bantahan antum ko belok sana belok sini. pertambelok ke takwil, sekarang belok ke tafwidh, nanti belok lagi ke takwil, besok belok lagi ke tafwidh. ketidakkonsistenan pendapat antum membuktikan rapuhnya pemikiran antum.
kita lihat dulu perkataan Imam Ash Shobuni selengkapnya:
“Para ulama ashhabul hadits mempersaksikan dan meyakini bahwa Allah menciptakan Adam dengan Kedua Tangan-Nya sebagaimana disebutkan dalam ucapan-Nya (yang artinya):”Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan Kedua Tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. (Shad: 75). Mereka tidak menyelewengkan makna ayat ini kepada makna-makna lain. Tidak menarik maknanya kepada makna “dua kenikmatan”, atau “dua kekuatan” seperti penyelewengan yang dilakukan mu’tazilah dan jahmiyyah “semoga Allah membinasakan keduanya-. Ashhabul hadits tidak mempertanyakan seperti apa bentuk tangan Allah. Tidak pula menyerupakan dua tangan Allah dengan tangan makhluk-makhluk-Nya, seperti penyerupaan yang dilakukan oleh golongan musyabihah “semoga Allah menghinakan mereka-.
ana jabarkan poin2 pentingnya:
– “Para ulama ashhabul hadits mempersaksikan dan meyakini bahwa Allah menciptakan Adam dengan Kedua Tangan-Nya sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya…dst”
perkataan beliau ini mengandung maksud bahwa firman Alloh yang menyebutkan kedua tangan Alloh itu ditarik maknanya oleh ashhabul hadits dengan makna kedua tangan Alloh juga. tidak diubah-ubah dan tidak juga ditiadakan.
– “Mereka tidak menyelewengkan makna ayat ini kepada makna-makna lain. Tidak menarik maknanya kepada makna “dua kenikmatan”, atau “dua kekuatan” seperti penyelewengan yang dilakukan mu’tazilah dan jahmiyyah”
perkataan beliau ini mengandung maksud bahwa ashhabul hadits tidak merubah makna dari ayat tersebut. jika haram merubah makna, maka lawan dari itu adalah wajib menetapkan makna.
– “Tidak pula menyerupakan dua tangan Allah dengan tangan makhluk-makhluk-Nya”
antum lihat bahwa yang diperbandingkan oleh beliau adalah tangan Alloh dengan tangan makhluq. kalau saja tangan Alloh dimaknai kekuasaan, tentu saja yang menjadi pembandingnya adalah kekuasaan makhluq.
dan anehnya, seandainya beliau adalah ahlu tafwidh, kenapa beliau tidak mencela orang yang menetapkan/memberikan makna? beliau bersaksi bahwa Alloh menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya. jika beliau ahlu tafwidh, kenapa beliau tidak berkata “aku tidak tahu”?
al akh diant berkata:
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah hakikatnya tidak bisa dilihat oleh mata. jadi sifat melihat penduduk surga dengan penduduk dunia itu pasti berbeda. Bagaimana Allah bisa dilihat oleh penduduk Surga maka itu rahasia Allah. Kita menetapkannya tanpa bagaimana kan?
ana jawab:
yang ana tanyakan adalah, apakah sifat melihat bagi penduduk surga (dengan obyek apa saja) adalah sama dengan sifat melihat bagi penduduk dunia? jika sama, maka sebagaimana penduduk dunia melihat bulan, maka penduduk surga melihat Alloh pun menghadapkan mukanya ke suatu arah.
contoh, jika antum menghadap ke utara kemudian melihat suatu benda, berarti benda itu arahnya di sebelah utara antum. hal ini berlaku juga bagi penduduk surga.
nah, kemudian ketika penduduk surga itu melihat Alloh, bukankah itu berarti Alloh berada di suatu arah (entah atas, kanan, kiri, depan, belakang, barat, timur, wallohu ‘alam) dari penduduk surga yang melihatnya?
takwil salaf itu sama sekali beda dengan tahrif Mu’tazilah, jahmiyah dan Asy’ariyah. kaum salaf mentakwil/menafsirkan ayat alquran dengan ayat alquran juga atau dengan alhadits. akan tetapi asy’arioyah dan 2 temannya itu mentahrif ayat alquran dengan logikanya sendiri.
al akh diant berkata:
Maka maksud yang Tanzih adalah tidak ada keserupaan apapun juga dengan Zat Allah. Zat Allah adalah sesuatu yang mutlak tanpa ada bandingan dan penyerupaann, yaitu keadaan zat (kunhi zat) Nya.
sebagaimana kita ketahui bahwa tangan, kaki, wajah, yang kita pahami adalah pengambaran atau sesuatu yang berhubungan langsung dengan keadaan fisik/ tubuh (zat), bahkan merupakan bagian dari fisik/tubuh (zat).
ana jawab:
kenapa yang tidak serupa hanya Dzat saja, padahal yang disebutkan di ayat tersebut adalah shifat? untuk memahami ayat ini dengan benar, kita kesampingkan dulu sifat tangan, kaki, wajah, betis, mata, dan jari bagi Alloh. Alloh punya sifat mendengar dan melihat, makhluq pun juga mempunyai sifat mendengar dan melihat.
ada 3 opsi buat antum:
– mengingkari sifat mendengar dan melihat bagi Alloh, karena hal itu menyerupai makhluq.
– menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Alloh, sekaligus menyerupakannya dengan makhluq.
– menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Alloh, namun pendengaran dan penglihatan Alloh tidak sama dengan makhluq.
atau mungkin antum punya opsi lain, silakan disampaikan. nah, jika antum memilih opsi ke-3, maka terapkanlah hal itu juga pada Dzat Alloh, yaitu tangan, kaki, jari, betis, wajah, mata dll.
al akh diant berkata:
sampai saat ini justru saya tidak melihat adanya dalil bahwa ayat-ayat itu disebut ayat muhkamat dan tidak boleh ditakwil atau bersifat tafwidh.
ana jawab:
antum cuma menyebutkan nama ibnu abbas dan ahli tafisr lainnya, tapi mana atsar beliau? riwayat siapa? sanadnya bagaimana? apa statusnya?
buat apa Rosululloh atau para sahabat memerintahkan untuk memberikan makna pada ayat2 sifat, padahal pada dasarnya secara bahasa ayat2 sifat itu sudah bermakna. justru yang membutuhkan perintah/dalil adalah apabila ayat2 itu tidak boleh diberikan makna.
indikator bahwa ayat Alquran itu semuanya adalah muhkamat adalah:
– karena alquran diturunkan dalam bahasa arab. orang arab mana yang tidak tahu apa makna tangan, wajah, kaki, betis, jari, istiwa’ dll?
– tidak ada kaidah yang membedakan antara ayat sifat dengan ayat lain yang sama2 dalam bahasa arab. jika ayat lain bisa kita pahami, tentu saja ayat sifat juga bisa kita pahami. tidak ada kaidah yang membedakannya.
– jika ayat2 sifat itu adalah mutasyabihat, pasti Rosululloh akan memerintahkan para sahabatnya untuk tidak memberikan makna, karena pada asalnya secara bahasa, ayat2 tersebut mempunyai makna. jika tidak ada maka dikembalikan pada hukum asalnya.
Ini adalah jawaban terakhir saya, seperti kata Mas mamo, kayaknya mulai nggak bermanfaat deh coba nt simak kata2 ini dan mohon dipahami “Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.”
1. Percuma saja saya tuliskan segala bukti toh semua itu akan anda katakan dusta, malah anda akan menambah-nambah dengan mengatakan ulama membuat-buat hadits palsu.
banyaknya ulama yang mencela Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sudah menunjukkan kontoversi ajarannya. jumhur (kebanyakan) itu bukan tolok ukur kebenaran, apalagi yang minoritas tapi sok paling benar.
lagi2 kebiasaan antum tidak memahami permasalahan muncul lagi, padahal saya sudah membicarakan masalah ini secara umum, tapi antum tidak mau memahaminya, ya sudah, saya tidak bisa bicara apa-apa lagi kalau anda memang tidak paham-paham.
“Kalau memang dakwah Syekh adalah dakwah tauhid, maka tidaklah para ulama menolak dakwah tauhid, yang terjadi sesungguhnya yang di dakwahkan adalah tauhid versi Ibnu Taimiyah dan Syekh seperti pembagian 3 tauhid yang konsekuensinya menjadikan sebagian besar kaum muslimin menjadi pelaku kesyirikan, yaitu para sufi, kaum muslim yang bertawasul dan bertabaruk dengan peninggalan orang yang telah wafat, dimana hal ini adalah masalah khilafiyah, juga termasuk vonis penyimpangan akidah terhadap mayoritas kaum muslimin termasuk ulamanya yang menakwil sifat-sifat khabariyah Allah, dimana hal ini juga merupakan wilayah khilafiyah pada cabang akidah, dan bukan merupakan pokok akidah”.
2.
Ajam jawab:
bantahan antum ko belok sana belok sini. pertambelok ke takwil, sekarang belok ke tafwidh, nanti belok lagi ke takwil, besok belok lagi ke tafwidh. ketidakkonsistenan pendapat antum membuktikan rapuhnya pemikiran antum.
Dianth : tidak ada yang belak-belok, tafwidh atau takwil itukan tergantung perkataannya….. Anda sepertinya belum paham.
Kata Ajam : ana jabarkan poin2 pentingnya:
– “Para ulama ashhabul hadits mempersaksikan dan meyakini bahwa Allah menciptakan Adam dengan Kedua Tangan-Nya sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya…dst”
perkataan beliau ini mengandung maksud bahwa firman Alloh yang menyebutkan kedua tangan Alloh itu ditarik maknanya oleh ashhabul hadits dengan makna kedua tangan Alloh juga. tidak diubah-ubah dan tidak juga ditiadakan.
Mas Dianth : lebih tepatnya adalah tafsirnya adalah bacaannya, maka mereka menetapkan sebagaimana disebutkan dalam firmanNya. Inilah makna tafwidh atau takwil ijmali, yaitu takwil secara global. Adapun makna kedua tangan Allah ini Imam tidak memperincinya.
Ajam : – “Mereka tidak menyelewengkan makna ayat ini kepada makna-makna lain. Tidak menarik maknanya kepada makna “dua kenikmatan”, atau “dua kekuatan” seperti penyelewengan yang dilakukan mu’tazilah dan jahmiyyah”
perkataan beliau ini mengandung maksud bahwa ashhabul hadits tidak merubah makna dari ayat tersebut. jika haram merubah makna, maka lawan dari itu adalah wajib menetapkan makna.
Dianth : Ashabul hadist tidak menyelewengkan makna ayat ini kepada makna-makna lain, maksudnya mereka tidak mentakwilkannya dengan takwil tafsili atau memperinci makna tangan Allah itu seperti takwil Muktazilah dengan 2 kenikmatan atau 2 kekuatan, mereka menolak takwil ini. haram merubah makna tidak berarti mereka menetapkan maknanya secara zhahir, tapi mereka menyerahkan maknanya kepada Allah, karena Allah yang mengetahui takwilnya.
Ajam : – “Tidak pula menyerupakan dua tangan Allah dengan tangan makhluk-makhluk-Nya”
antum lihat bahwa yang diperbandingkan oleh beliau adalah tangan Alloh dengan tangan makhluq. kalau saja tangan Alloh dimaknai kekuasaan, tentu saja yang menjadi pembandingnya adalah kekuasaan makhluq.
Dianth : Dari awal mereka menolak ditakwil dengan kekuasaan, tentu saja mereka tidakmembandingkannya. “Tidak pula menyerupakan dua tangan Allah dengan tangan makhluk-makhluk-Nya” artinya mereka tidak menetapkannya dengan makna zhahir, karena makna tangan secara zhahir adalah menetapkan Allah punya tangan secara hakiki, sama saja menyerupakan dua tangan Allah dengan tangan makhluk-makhluk-Nya. Karena tangan mahluk yang satu dengan mahluk yang lain itu pun pasti berbeda. Maka perbedaan Allah dengan mahluknya bukanlah perbedaan bentuk atau kafiyat, karena perbedaan bentuk dan kafiyat tangan adalah perbedaan mahluk dengan mahluk. Sedangkan perbedaan tangan Allah dengan tangan mahluk adalah perbedaan hakikat dan makna, dan hanya Allah yang mengetahui makna tanganNya.
Kata Ajam : dan anehnya, seandainya beliau adalah ahlu tafwidh, kenapa beliau tidak mencela orang yang menetapkan/memberikan makna? beliau bersaksi bahwa Alloh menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya.
jika beliau ahlu tafwidh, kenapa beliau tidak berkata “aku tidak tahu”?
Mas Dianth : Anda belum paham tafwidh. sekali lagi saya contohkan sesuatu yang bisa kita pahami bersama.
Contohkan: saja Surga ditelapak kaki Ibu
Tafwidh : bersaksi bahwa Surga ditelapak kaki Ibu, tidak mencela orang yang mengatakan bahwa surga ditelapak kaki ibu, karena memang begitulah perkataannya, tafsirnya adalah perkataannya. Maknanya diserahkan pada nabi yang bersabda. Nabi lebih tahu maknanya.
Takwil tafsili : bersaksi bahwa surga ditelapak kaki ibu, adapun maknanya ditelapak kaki ibu itu adalah berbakti pada ibu karena ada hadist lain yang menjelaskan tentang berbakti pada ibu. tetap mengatakan surga ditelapak kaki ibu, juga menjelaskan maknanya.
makna zhahir : Bersaksi surga ditelapak kaki ibu. maknanya bahwa surga itu benar-benar ada dibawah telapak kaki ibu, walaupun bertentangan dengan akal sehat.
Jadi bila mereka Ashabul hadist, menetapkan sebagaimana datangnya ayat tanpa memperinci maknanya. tidak mesti mengatakan tidak tahu, dan penyerahan maknanya kepada Allah bukanlah karena bodoh, tetapi adalah bentuk wara dan kehati-hatian, lagipula mereka tidak perlu memperincinya karena keadaan dan kondisi saat itu dizaman salaf tidak memerlukan perincian makna disebabkan keimanan dan fitrah kaum muslimin masih sangat baik, maka ketika fitnah tajsim, tha’tol, filsafat telah memasuki dunia muslim, maka sebagian ulama merasa perlu memperincinya dengan takwil tafsili untuk menjaga akidah kaum muslimin.
Ajam jawab:
yang ana tanyakan adalah, apakah sifat melihat bagi penduduk surga (dengan obyek apa saja) adalah sama dengan sifat melihat bagi penduduk dunia? jika sama, maka sebagaimana penduduk dunia melihat bulan, maka penduduk surga melihat Alloh pun menghadapkan mukanya ke suatu arah.
Dianth : tentu tidak sama, anda sekali lagi harus paham bahwa hadist itu bukan menyerupakan penglihatan manusia di surga dengan penglihatan manusia kepada bulan, tapi menjelaskan bahwa manusia tidak akan susah payah melihat Allah seperti melihat bulan. Tidak ada dalil yang mengatakan melihat Allah di surga menghadapkan mukanya ke suatu arah, malah dalil yang saya sebutkan sangat jelas : kemanapun kamu menghadap maka disitulah wajah Allah, jadi Allah tidak pada suatu arah atau arah tertentu.
Kata Ajam : contoh, jika antum menghadap ke utara kemudian melihat suatu benda, berarti benda itu arahnya di sebelah utara antum. hal ini berlaku juga bagi penduduk surga.
Dianth : Allah bukan benda, bagaimana anda bisa membandingkan sebuah benda yang pasti berarah, dengan Allah yang wujud Qidam tanpa ada sesuatupun bersamaNya termasuk arah. keberadaan Allah tidak bergantung pada arah, justru arah bergantung pada keberadaan Allah. Sifat allah tidak berubah Qidam tanpa arah dan baqa tanpa arah, kalau sifat Allah berubah karena arah, karena Allah mencipta arah, Allah jadi di arah atas, maka arah telah memberikan pengaruh bagi Allah. Na ‘udzubillah. Allah berdiri sendiri, tidak ada satupun yang mempengaruhinya.
Kata Ajam : takwil salaf itu sama sekali beda dengan tahrif Mu’tazilah, jahmiyah dan Asy’ariyah. kaum salaf mentakwil/menafsirkan ayat alquran dengan ayat alquran juga atau dengan alhadits. akan tetapi asy’arioyah dan 2 temannya itu mentahrif ayat alquran dengan logikanya sendiri.
Kata Dianth : Ini adalah pendapat batil. takwil khalaf mengikuti metode takwil salaf. kalaulah takwil khalaf salah maka itu adalah ijtihad. Tidak ada penyimpangan akidah pada masalah ijtihad. Tidak ada asy’arioyah mentahrif ayat alquran dengan logikanya sendiri. ini tuduhan yang sangat serius pada ulama, ini hanya masalah perbedaan pendapat, maka lihatlah baik-baik…pantaskah anda mengikuti ulama yang ilmunya jauh dibawah ilmu ulama/imam yang dituduhnya menyimpang padahal ini adalah masalah ijtihad pada masalah takwil yang semuanya masih berdasarkan nash.
Ajam jawab:
kenapa yang tidak serupa hanya Dzat saja, padahal yang disebutkan di ayat tersebut adalah shifat? untuk memahami ayat ini dengan benar, kita kesampingkan dulu sifat tangan, kaki, wajah, betis, mata, dan jari bagi Alloh. Alloh punya sifat mendengar dan melihat, makhluq pun juga mempunyai sifat mendengar dan melihat.
ada 3 opsi buat antum:
– mengingkari sifat mendengar dan melihat bagi Alloh, karena hal itu menyerupai makhluq.
– menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Alloh, sekaligus menyerupakannya dengan makhluq.
– menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Alloh, namun pendengaran dan penglihatan Alloh tidak sama dengan makhluq.
atau mungkin antum punya opsi lain, silakan disampaikan. nah, jika antum memilih opsi ke-3, maka terapkanlah hal itu juga pada Dzat Alloh, yaitu tangan, kaki, jari, betis, wajah, mata dll.
Dianth : anda sekali lagi tidak memahami ayat yang saya tulis.
“Tidaklah ada yang serupa denganNya sesuatu apapun”,
Ini adalah tanzih, dan yang tanzih adalah zatNya, maka Zat Allah berbeda dengan zat mahluk.
oleh karena itu Allah bukan jisim, bukan materi, atau apapun juga yang merupakan zat mahluk.
Maka Zat Allah bukanlah seperti zat yang diciptakan olehNya.
Bukankah kita tidak bisa memahami Zat Allah, bahkan dilarang untuk memikirkannya. Maka segala yang disandarkan kepada Zat Allah, seperti kaki, tangan, wajah bukanlah untuk kita pahami pada Zat Allah sebagaimana kita memahami zat mahluk (bukankah bila kita mengatakan Allah punya kaki, punya tangan, punya wajah maka kita telah memahami Zat Allah sebagaimana zat mahluk? kalau Zat Allah tidak bisa kita pikirkan dan pahami, maka mengapa kita memberikan sifat-sifat zat mahluk sebagaimana yang kita ketahui kepada Allah ?), tetapi sebagai ujian buat keimanan kita.
“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya”
Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31
Ini adalah ucapan Imam hanafi tentang zat Allah. maka resapilah.
dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS.Asy Syura : 11).
Ini adalah sifat maknawi. ini adalah bentuk tasybih. maka sifat-sifat maknawi Allah serupa sifat-sifat maknawi manusia namun tidaklah sama. maka kita menetapkan sifat ini, yang telah ditetapkan Allah sebagai sifatNya.
Dan sifat-sifat seperti ini sebagaimana asmaul husna, nama-namaNya, justru kita dianjurkan untuk mempelajari dan memahaminya.
Kalau anda sudah menganggap ayat-ayat mutasyabihat menjadi muhkamat, sudah tidak ada lagi yang perlu saya diskusikan.
Demikian. Saya sudahi diskusi ini, lebih kurang saya minta maaf. Apapun jawaban anda, saya akan menghormatinya. Semoga kita diberikan jalan yang lurus. Amiin.
alhamdulillah ……….dari pengalaman Ajam vs Ahmad Syahid di Ummati , Ajam vs Artikel Islami , Ajam vs Bang Zon disini , TERakhir Ajam vs Dianth ……..awalnya semua dialog sangat baik dan berilmu , namun lama lama terjadi debat ngeyel yang nggak ada ujungnya maaf Ajam kalau nggak berkenan ………silahkan nt meyakini ilmu nt namun hindarilah berprasangka buruk sesama muslim . Ana akui nt alim dalam ilmu Syariat namun ana mengingatkan islam itu satu paket Islam , Iman , dan Ikhsan ………..penjabarannya ana yakin nt dah tau ana hanya mengingatkan dan letak dari perbedaan yang akhirnya berbeda keyakinanya adalah dalam memahami ayat2 Alloh kalau Aswaja dalam memahami Ayat2 Alloh dgn ILMU ALAT ……………mengaji/sekolah biar matang itu dari tk,SD ,SMP,SMU dst …………nggak langsung kuliah ………..sekali lagi maaf mas Ajam dan ana ngga minta tanggapan dari nt ….wallohu’alam …..wassalam…..
ya….sudahlah….
musuh2 Allah sudah bikin alat2 perang canggih…
sedang kan kita….????
http://ustadchandra.wordpress.com/2011/06/07/inilah-10-kendaraan-tempur-militer-termahal-milik-amerika-serikat/
al akh dianth berkata:
Percuma saja saya tuliskan segala bukti toh semua itu akan anda katakan dusta, malah anda akan menambah-nambah dengan mengatakan ulama membuat-buat hadits palsu.
ana jawab:
antum tidak percaya? itu terserah antum, yang jelas Syaikh Alwi telah membawakan hadits palsu seperti yang ana kemukakan di atas. jika antum adalah seorang yang berpikir ilmiah dan berhati luhur, seharusnya antum membantahnya dengan 2 cara:
1) benar Syaikh Alwi membawakan hadits itu, namun hadits itu shohih (lalu jelaskan keshohihannya); atau
2) benar hadits itu palsu, namun Syaikh Alwi tidak pernah menyebutkannya dalam kitab beliau manapun.
jangan heran jika ulama atau kyai antum doyan hadits palsu untuk “menghalalkan segala cara” dalam mempertahankan aqidah sesatnya. dan jangan heran pula jika akhirnya mereka membawakan kisah/sejarah palsu.
“jangan heran jika ulama atau kyai antum doyan hadits palsu untuk “menghalalkan segala cara” dalam mempertahankan aqidah sesatnya. dan jangan heran pula jika akhirnya mereka membawakan kisah/sejarah palsu”.
Akidah kami adalah akidah Rasulullah.
Tidak ada yang perlu dengan hadist palsu dan kisah/sejarah palsu untuk mempertahankan Akidah kami.
Akidah ulama kami adalah akidah ulama yang bersanad hingga Rasulullah.
Akidah kami adalah akidah ahlul bait.
Akidah para habib kami adalah akidah habib yang tersambung nasab kepada ahlul bait.
Akidah kami adalah akidah yang mensucikan Allah dari sifat-sifat materi dan benda yang mati.
Akidah kami adalah akidah yang menetapkan bagi Allah sifat-sifat yang Agung dan indah.
Sesungguhnya Allah yang hayyu dan qoyyum telah memberikan kita jalan untuk mengenalnya dengan sifat-sifat kehidupan.
Allah telah memberikan kita hidup, sehingga kita dapat mengenal Nya melalui sifat-sifat kehidupan kita.
Maka kenalilah dirimu yang sesungguhnya….. karena dirimu yang sejati bukanlah jasadmu, bukan jisimmu bukan materi yang menyusun tubuhmu.
Dirimu yang sejati adalah hidupmu, hati nuranimu, ruhmu.
Maka perhatikanlah bahwa engkau bisa melihat, mendengar, engkau bisa menyayangi, bisa mengasihi, engkau bisa menyadari, bisa mengetahui adalah karena engkau diberi sifat hidup dari Allah.
salam.
antara perkataan antum dengan fakta di lapangan sangat bertolak belakang. mungkin kalo tidak ditunjukkan buktinya antum tidak akan percaya.
salah satu contohnya sudah ana sebutkan, yaitu hadits tanpa sanad yang dibawakan Syaikh Alwi. selain itu, beliau juga bawakan hadits palsu tentang Nabi Adam bertawasul dengan lafadh nama Nabi Muhammad.
antum ingat2 lagi kemaren di topik yang membahas perihal ghoib, antum bawakan atsar Abu Bakar dan Umar, namun ketika ana tanya sanadnya antum tidak bisa jawab. malah ketus jawabnya, seolah-olah bertanya tentangs anad itu perkara dosa.
ingat2 juga di situs UMMATI dalam topik yang membahas khulafaur rosyidin merayakan maulid nabi, disebutkan beberapa atsar sahabat tentang anjuran merayakan maulid Nabi. tapi ketika ditanya sanadnya tidak ada satupun yang bisa menyebutkan sanadnya.
kalo ada waktu, insyaAlloh ana akan mengumpulkan hadits2 palsu yang biasa digunakan oleh Asy’ariyun sebagai hujjah dan dalil mereka.
semoga ALloh memudahkan
mas Ajam udahlah sesama muslim jangan diperpanjang dialog tersebut sebab ana melihat nt dah sangat memojokan lawan diskusi …….kalaulah syaikh Alwi membawakan hadits palsu itu menjadi tanggung jawab beliau seperti kesalahan2 Syaikh Al Albani juga menjadi urusan beliau dan……..nt juga instropeksi ….berapa kali nt ana tanya jawabnya juga ” tidak tau ” nah tidak tau juga bukan brarti salah kan ………akhirilah @Ajam diskusi nt sebab kalau dilanjutin hanya menambah dosa mas ………maaf kalau nggak berkenan tulus ana hanya mengingatkan sesama muslim …….salam
Mas Mamo,
justru Akh Ajam ini menanyakan hadist tersebut secara sanad karena amanah ilmiah, tidak memojokkan..Akh Dianth harusnya bisa membawakan sanadnya, tidak asal bunyi atau taqlid buta kepada Syaikh Alwi…sudah tahu salah nggak mau ngaku..itu namanya jahil murakkab atau abu jahle…
Rasulullah Shallallahu alayhi wassallam bersabda: ” barang siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka bersiapsiaplah mencari tempat duduknya di dalam neraka” Al Hadist.
Rasulullah Shallallahu alayhi wassallam bersabda: ” barang siapa yang meriwayatkan dariku satu hadist dan dia mengetahui bahwa hadist itu Palsu, maka dia termasuk pendusta” Al Hadist.
Hadist Rasulullah ini adalah ancaman ditujukan kepada semua pembawa hadist-hadist palsu.
wallahu ‘alam.
kenapa ana mempermasalakan hadits palsu yang dibawa oleh Syaikh Alwi? itu karena hadits itu dijadikan pegangan oleh mayoritas pencela Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
betapa besar fitnah yang ditimbulkan oleh Syaikh Alwi karena hadits ini. jangan kira ini semata-mata urusan pribadi Syaikh Alwi dan orang lain tidak ada sangkut-pautnya.
andaipun apa yang dilakukan oleh Syaikh Alwi ini tidak diikuti atau dibela oleh orang lain, namun sikap diam kita apabila melihat hal ini sebagai kemungkaran, akan membawa fitnah besar pula.
kesalahan Syaikh Alwi ini tidak bisa disamakan dengan kesalahan Syaikh Al Albani dalam menghukumi hadits. Syaikh Al Albani meskipun salah, beliau tetap berpegang pada kaidah ilmu hadits. ijtihad beliau apabila salah insya Alloh masih mendapat 1 pahala.
sedangkan kesalahan Syaikh Alwi ini bukan hasil ijtihad, namun sangat terang benderang karena hawa nafsunya. bagaimana mungkin hal itu disebut hasil ijtihad, lha wong sanadnya aja tidak ada. kalo tidak ada sanad, tidak perlu seorang ahli hadits, anak SD pun pasti tahu bahwa itu hadits palsu.
Mas Mamo, mas ajam suka dialog yang ndak tentu arahnya, memang begitu.
Mas Ajam sebenarnya tidak memojokkan lawan diskusi, tapi nggak bisa jawab jadi larinya ke masalah-masalah yang nggak ada hubungannya.
Alhamdulillah Mas Mamo masih menganggap Mas Ajam seorang muslim, padahal mas Ajam telah mengatakan akidah ulama kita sesat , berarti akidah kita sesat dong ?
Ya sudahlah Mas Mamo, tuduhan itu bila tidak benar akan kembali kepada orangnya.
coba liat orang yg hendak menghancurkan kubah makam Nabi malah mati disambar petir dan jenazahnya lengket disana sampe skrg ga bisa diturunkan..akhirnya ditutup pake peti hijau dikubahnya
adekunya.wordpress.com/2011/04/12/mau-menghancurkan-kubah-masjid-nabawi-disambar-petir-hingga-mati/
serem jg ya….
Aneh bin ajaib
saya tidak pernah mengutip hadist yang dibawakan oleh Syekh Alwi, kenapa jadi saya yang ditanya-tanya?
“kenapa ana mempermasalakan hadits palsu yang dibawa oleh Syaikh Alwi? itu karena hadits itu dijadikan pegangan oleh mayoritas pencela Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Kalau mau disebut dijadikan pegangan, maka yang sering dipakai adalah hadist tentang tanduk setan dari arah timur.
Tidak perlu pegang-pegang hadist dan ayat untuk mencela Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Karena para ulama melihat dan telah meneliti bahwa dari ajaran Syaikh sendiri adalah ajaran tafkiri. Buktinya Ajam sendiri sebagai pengikutnya berani mengatakan para ulama mayoritas, akidahnya sesat.
Permasalahan hadist untuk menunjuk sesorang itu adalah pendapat para ulama, namun ini adalah sebuah kabar yang bisa benar bisa salah. dan merupakan perbedaan pendapat tentang masalah hadisst, Jadi kenapa saya mesti repot-repot cari sanad hadist tersebut.
Adapun masalah tentang Nabi mengetahui perkara yang ghaib, saya memang tidak mencantumkan sanadnya karena saya rasa om ajam sudah mengetahui riwayat tersebut…. ternyata tidak tahu, makanya saya tidak mau lanjutkan diskusi lagi, nanti ndak nyambung.
Demikian om ajam n donpay
Akh Dianth,
katanya Akidah ulama antum bersanad sampai Rasulullah, tapi antum malas cari sanad, piye tho?gimana antum mau memastikan sanadnya bersambung sampai Rasulullah?
Masalah takfiri adalah masalah yang besar. kita tahu saat ini mayoritas kaum muslimin adalah ikut-ikutan karena kejahilan mereka. Tidak mungkin Syaikh menghukumi kafir kepada mereka. harap dibedakan antaran ajarannya dan orangnya karena keawaman mereka dan yang telah terpengaruh oleh AHli bid’ah.
Antum bacalah kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, dan cek apakah ada yang menyimpang dari akidah Rasulullah. apakah Syaikh adalah bermanhaj Takfiri seperti khawarij dan mu’tazilah.
coba baca kitab syaikh, teliti (khan nggak ada ruginya meneliti dan membandingkan, jangan apatis dulu), antaralain kitabnya:
1. Ushul tsalasah
2. kitab tauhid
3. kasyfu Syubhat
4. Al Qowa’idul Arba’
5. Ksyfu Subhat
6. Al Ushulus Sittah
7. Ushulul Iman
bace deh, asyik lhooo,,isinya Al Quran dan Hadist.
mas Dianth Alhamdulillah ana juga mengiklhaskan apapun pendapat dari mas Ajam biarlah dia meyakini apa yang dia yakini sekarang yang penting kita dah mengingatkan selebihnya biar Alloh SwT yang punya kehendaknya ……….
mas, dulu saya juga sering beli buku-buku kayak gini….
tak ada manfaatnya… beneran.
Carilah buku yang ditulis oleh para imam yang tidak diragukan lagi kapasitas keilmuannya dan diakui kesalehannya oleh mayoritas ulama.
Semua buku yang dikarang ulama isinya Al Qur an dan Sunnah, nah buku yang paling baik tentu buku yang mengajarkan kita mencintai Allah dan RasulNya serta kaum muslimin seluruhnya, bukan sebaliknya.
ana katakan bahwa antum jangan heran jika ulama antum doyan berdusta, seperti Syaikh Alwi dan Syaikh Ahmad Zaini. apa yang ana sampaikan hanya untuk memberikan contoh kedustaan mereka, beserta contoh-contoh yang lain.
memang hadits fitnah dari nejd juga dipakai sebagai dalil untuk mencela Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. hadits ini tidak kami persoalkan dari segi keshohihannya. namun kenapa harus menambah-nambahi dengan hadits palsu?
antum rupanya sudah menjadikan dusta sebagai hobi, sebagaimana ulama idola antum. kapan ana katakan ulama ana akidahnya sesat? silakan tengok kembali perkataan ana, yang ana katakan adalah bahwa An Nawawi dan Ibnu Hajar terjerumus dalam sebagian akidah sesat Asy’ariyah. terkait hal ini Syaikh Al Albani pernah berkata: “Tidak setiap orang yang jatuh pada kekufuran, maka kekufuran jatuh padanya dan tidak setiap orang yang jatuh pada kebid’ahan, maka kebid’ahan jatuh padanya.”
artinya, An Nawawi dan Ibnu Hajar memang terjerumus dalam akidah sesat Asy’ariyah, namun hal itu tidak menyebabkan mereka menjadi Asy’ariyun atau akidah mereka sesat. mereka tetap seorang salafiyun dan ahlus sunnah.
memang pada kenyataannya antum suka sekali dengan hadits, atsar dan kisah palsu. kisah yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Zaini tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sampai sekarang tidak jelas sanadnya. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab wafat tahun 1206 H sedangkan Syaikh Ahmad Zaini lahir tahun 1232 H. sudah jelas bahwa Syaikh Ahmad Zaini tidak mungkin sebagai saksi mata kisah hidup Syaikh Muhammad. harus ada orang lain yang menjadi rantai sanad kisah tersebut.
cape ngomong sama ajam…
ente katakan ulama ana
“jangan heran jika ulama atau kyai antum doyan hadits palsu untuk “menghalalkan segala cara” dalam mempertahankan AQIDAH SESATNYA”
udah deh terserah ente aja
wah, hobi dusta akut emang ga bisa disembuhkan.
kalo ucapan ana di atas dijadikan alasan tuduhan bahwa ana menganggap ulama ahlus sunnah seperti Imam An Nawawi dan Ibnu Hajar aqidahnya sesat, berarti antum menuduh juga bahwa ana menuduh mereka doyan hadits palsu, atsar palsu, dan kisah palsu.
padahal ulama yang ana maksud sesat aqidahnya dan doyan hadits palsu, atsar palsu dan kisah palsu adalah Syaikh Alwi dan Syaikh Ahmad Zaini. ana sama sekali tidak pernah menyebutkan Imam An Nawawi dan Ibnu Hajar doyan hadits palsu.
Apakah Al Asy’ariyyah Termasuk Ahlu Sunnah?
APAKAH AL ASY’ARIYYAH TERMASUK AHLU SUNNAH?
Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al Atsary
PENDAHULUAN
Ini adalah sebuah polemik yang sempat mencuat di kalangan kaum muslimin, khususnya para penuntut ilmu. Ada sebagian orang mengira Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Seperti yang sudah dimaklumi, sebenarnya madzhab Al Asy’ariyyah yang berkembang sekarang ini, hakikatnya adalah madzhab Al Kullabiyyah. Abul Hasan Al Asy’ari sendiri telah bertaubat dari pemikiran lamanya, yaitu pemikiran Mu’tazilah. Tujuh sifat yang ditetapkan dalam madzhab Al Asy’ariyyah inipun bukan berdasarkan nash dan dalil syar’i, tetapi berdasarkan kecocokannya dengan akal dan logika. Jadi, sangat bertentangan dengan prinsip Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
SEJARAH SINGKAT ABUL HASAN AL ASY’ARI
Nama lengkapnya adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari. Lebih akrab disebut Abul Hasan Al Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H atau 270 H. Masa kecil dan mudanya dihabiskan di kota Bashrah. Kota yang kala itu sebagai pusat kaum Mu’tazilah. Dan tidak dapat dielakkan, pada masa pertumbuhannya, beliau terpengaruh dengan lingkungannya Beliau mendalami ilmu kalam dan pemikiran Mu’tazilah dari ayah tirinya yang bernama Abu Ali Al Juba’i. Namun kemudian, beliau bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah ini. Allah menghendaki keselamatan bagi beliau, dan memperoleh petunjuk kepada madzhab Salaf dalam penetapan sifat-sifat Allah, dengan tanpa ta’wil, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil [1]
Kisah taubatnya dari pemikiran Mu’tazilah ini sangat populer. Beliau melepas pakaiannya seraya berkata: “Aku melepaskan keyakinan Mu’tazilah dari pemikiranku, seperti halnya aku melepaskan jubah ini dari tubuhku,” kemudian beliau melepas jubah yang dikenakannya. Secara simbolis, itu merupakan pernyataan bahwa beliau berlepas diri dari pemikiran Mu’tazilah dan dari kaum Mu’tazilah.
Ahli sejarah negeri Syam, Al Hafizh Abul Qasim Ali bin Hasan bin Hibatillah bin Asakir Ad Dimasyq (wafat tahun 571) dalam kitab At Tabyin menceritakan peristiwa tersebut:
Abu Ismail bin Abu Muhammad bin Ishaq Al Azdi Al Qairuwani, yang dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Uzrah bercerita, Abul Hasan Al Asy’ari adalah seorang yang bermadzhab Mu’tazilah. Dan memegang madzhab ini selama 40 tahun. Dalam pandangan mereka, beliau adalah seorang imam. Kemudian beliau menghilang selama lima belas hari. Secara tiba-tiba, beliau muncul di masjid Jami’ kota Bashrah. Dan setelah shalat Jum’at, beliau naik ke atas mimbar seraya berkata,”Hadirin sekalian. Aku menghilang dari kalian selama beberapa hari, karena ada dalil-dalil yang bertentangan dan sama kuatnya, namun aku tidak mampu menetapkan mana yang hak dan mana yang batil. Dan aku tidak mampu membedakan mana yang batil dan mana yang hak. Kemudian aku memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Dia memberiku petunjuk, dan aku tuangkan ke dalam bukuku ini. Dan aku melepaskan semua aqidah (keyakinan) yang dulu aku pegang, sebagaimana aku membuka bajuku ini.” Kemudian beliau membuka bajunya dan membuangnya, lalu memberikan bukunya tersebut kepada para hadirin.
Sebagai bukti kesungguhan Abul Hasan Al Asy’ari melepaskan diri dari pemikiran Mu’tazilah, yaitu beliau mulai bangkit membantah pemikiran Mu’tazilah dan mendebat mereka. Bahkan beliau menulis sampai tiga ratus buku untuk membantah Mu’tazilah. Namun dalam membantahnya, beliau menggunakan rasio dan prinsip-prinsip logika. Beliau mengikuti pemikiran-pemikiran Kullabiyyah.[2]
ABUL HASAN AL ASY’ARI SECARA TOTAL MENJADI PENGIKUT MANHAJ SALAF
Kemudian Allah menyempurnakan nikmatNya untuk beliau. Setelah pindah ke Baghdad dan bergabung bersama para tokoh murid-murid Imam Ahmad, akhirnya beliau secara total menjadi seorang Salafi (pengikut manhaj Salaf). Pada fase yang ketiga dalam kehidupannya ini, beliau menulis beberapa risalah berisi pernyataan taubatnya dari seluruh pemikiran Mu’tazilah dan syubhat-syubhat Kullabiyyah.
Diantara beberapa buku yang ditulisnya, yaitu: Al Luma’, Kasyful Asrar Wa Hatkul Asrar, Tafsir Al Mukhtazin, Al Fushul Fi Raddi ‘Alal Mulhidiin Wa Kharijin ‘Alal Millah Ka Al Falasifah Wa Thabai’in Wad Dahriyin Wa Ahli Tasybih, Al Maqalaat Al Islamiyyin dan Al Ibanah. Semoga Allah merahmati beliau.
PERNYATAAN ABUL HASAN AL ASY’ARI DALAM KITABNYA: AL IBANAH FI USHULID DIYANAH [3]
Beliau berkata dalam kitab Al Ibanah: “Pendapat yang kami nyatakan, dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah k dan Sunnah NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atsar-atsar (riwayat-riwayat) yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in dan para imam ahli hadits. Kami berpegang teguh dengan prinsip tersebut. Kami berpendapat dengan pendapat yang telah dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mengelokkan wajah beliau, mengangkat derajat beliau dan melimpahkan pahala bagi beliau. Dan kami menyelisihi perkataan yang menyelisihi perkataan beliau. Karena beliau adalah imam yang fadhil (utama), pemimpin yang kamil (sempurna). Melalui dirinya, Allah menerangkan kebenaran dan mengangkat kesesatan, menegaskan manhaj dan memberantas bid’ah yang dilakukan kaum mubtadi’in, dan (memberantras) penyimpangan yang dilakukan orang-orang sesat, serta (memberantas) keraguan yang ditebarkan orang yang ragu-ragu.” [4]
Demikian pernyataan Abul Hasan, bahwa ia kembali ke pangkuan manhaj Salaf.
ULAMA-ULAMA SYAFI’IYYAH MENOLAK DINISBATKAN KEPADA ASY’ARIYYAH
Kebanyakan orang mengira bahwa madzhab Al Asy’ariyyah itu identik dengan madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Ini sebuah kekeliruan fatal.
Abul Hasan sendiri telah kembali ke pangkuan manhaj Salaf, dan mengikuti aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Yaitu menetapkan seluruh sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diriNya, dan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits shahih, dengan tanpa takwil, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil. Jelas, Abul Hasan pada akhir hidupnya adalah seorang salafi, pengikut manhaj salaf dan madzhab imam ahli hadits. Sampai-sampai ulama-ulama Asy Syafi’iyyah menolak dinisbatkan kepada madzhab Asy’ariyyah.
Berikut ini, mari kita simak penuturan Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Id Al Hilali dalam kitabnya yang sangat bagus, dalam edisi Indonesia berjudul Jama’ah-jama’ah Islam Ditimbang Menurut Al Qur’an dan As Sunnah (halaman 329-330). Dalam bukunya tersebut, beliau membantah Hizbut Tahrir yang mencampur-adukkan istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dengan istilah Al Asy’ariyyah, sekaligus menyatakan bila Al Asy’ariyyah bukan termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, atau bukan termasuk pengikut manhaj Salaf. Beliau berkata:
Jika dikatakan: Yang dimaksud Ahlus Sunnah di sini adalah madzhab Asy’ariyah.
Kami jawab: Tidak boleh menamakan Asy’ariyah dengan sebutan Ahlus Sunnah. Berdasarkan persaksian ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (pengikut Salafush Shalih), mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah
1. Imam Ahmad, Ali bin Al Madini dan lainnya menyatakan, barangsiapa menyelami ilmu kalam, (maka ia) tidak termasuk Ahlus Sunnah, meskipun perkataannya bersesuaian dengan As Sunnah, hingga ia meninggalkan jidal (perdebatan) dan menerima nash-nash syar’iyyah [5]. Tidak syak lagi, sumber pengambilan dalil yang sangat utama dalam madzhab Asy’ariyah adalah akal. Tokoh-tokoh Asya’riyah telah menegaskan hal itu. Mereka mendahulukan dalil aqli (logika) daripada dalil naqli (wahyu), apabila terjadi pertentangan antara keduanya. Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah mereka melalui bukunya yang berjudul Dar’u Ta’arudh Aql Wan Naql, beliau membukanya dengan menyebutkan kaidah umum yang mereka pakai bilamana terjadi pertentangan antara dalil-dalil.[6]
2. Ibnu Abdil Bar, dalam mensyarah (menjelaskan) perkataan Imam Malik, dia menukil perkataan ahli fiqh madzhab Maliki bernama Ibnu Khuwaiz Mandad: “Tidak diterima persaksian Ahli Ahwa’ (Ahli Bid’ah).” Ia menjelaskan: “Yang dimaksud Ahli Ahwa’ oleh Imam Malik dan seluruh rekan-rekan kami, adalah Ahli Kalam. Siapa saja yang termasuk Ahli Kalam, maka ia tergolong ahli ahwa’ wal bida’; baik ia seorang pengikut madzhab Asy’ariyyah atau yang lainnya. Persaksiannya dalam Islam tidak diterima selama-lamanya, wajib diboikot dan diberi peringatan atas bid’ahnya. Jika ia masih mempertahankannya, maka harus diminta bertaubat.” [7]
3. Abul Abbas Suraij yang dijuluki Asy Syafi’i kedua berkata,”Kami tidak mengikuti takwil Mu’tazilah, Asy’ariyah, Jahmiyah, Mulhid, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyah dan Mukayyifah [8]. Namun kami menerima nash-nash sifat tanpa takwil, dan kami mengimaninya tanpa tamtsil.” [9]
4. Abul Hasan Al Karji, salah seorang tokoh ulama Asy Syafi’iyyah berkata: “Para imam dan alim ulama Syafi’iyyah, dari dulu sampai sekarang menolak dinisbatkan kepada Asy’ariyah. Mereka justeru berlepas diri dari madzhab yang dibangun oleh Abul Hasan Al Asy’ari. Menurut yang aku dengar dari beberapa syaikh dan imam, bahkan mereka melarang teman-teman mereka dan orang-orang dekat mereka dari menghadiri majelis-majelisnya. Sudah dimaklumi bersama kerasnya sikap syaikh [10] terhadap Ahli Kalam, sampai-sampai memisahkan fiqh Asy Syafi’i dari prinsip-prinsip Al Asy’ari, dan diberi komentar oleh Abu Bakar Ar Radziqani. Dan buku itu ada padaku. Sikap inilah yang diikuti oleh Abu Ishaq Asy Syirazi dalam dua kitabnya, yakni Al Luma’ dan At Tabshirah. Sampai-sampai kalaulah sekiranya perkataan Al Asy’ari bersesuaian dengan perkataan rekan-rekan kami (ulama madzhab Asy Syafi’i), beliau membedakannya. Beliau berkata: “Ini adalah pendapat sebagian rekan kami. Dan pendapat ini juga dipilih oleh Al Asy’ariyah.” Beliau tidak memasukkan mereka ke dalam golongan rekan-rekan Asy Syafi’i. Mereka menolak disamakan dengan Al Asy’ariyah. Dan dalam masalah fiqh, mereka menolak dinisbatkan kepada madzhab Al Asy’ariyah; terlebih lagi dalam masalah ushuluddin.” [11]
Pendapat yang benar adalah, Al Asy’ariyah termasuk Ahli Kiblat (kaum muslimin), tetapi mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ketika para tokoh dan pembesar Al Asy’ariyyah jatuh dalam kebingungan, mereka keluar dari pemikiran Al Asy’ariyah. Diantaranya adalah Al Juwaini, Ar Razi, Al Ghazzali dan lainnya. Jika mereka benar-benar berada di atas As Sunnah dan mengikuti Salaf, lalu dari manhaj apakah mereka keluar? Dan kenapa mereka keluar? Hendaklah orang yang bijak memahaminya, karena ini adalah kesimpulan akhir.
Dalam daurah Syar’iyyah Fi Masail Aqa’idiyyah Wal Manhajiyyah di Surabaya, dua tahun yang lalu, Syaikh Salim ditanya: Apakah Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah? Beliau menjawab dengan tegas: “Al Asy’ariyyah tidak termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.”
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Ta’thil (menolak atau meniadakan sifat Allah, takyif (membayangkan atau menanyakan hakikat dan bentuk sifat Allah), tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk), ta’wil (maksudnya tahrif yaitu menyimpangkan makna dari zhahirnya tanpa dalil)
[2]. Al Kullabiyah, adalah penisbatan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab Al Bashri, wafat pada tahun 240 H.
[3]. Buku ini telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka At Tibyan. Dalam buku aslinya disertakan taqdim (kata pengantar dari para ulama terkini, seperti Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz dan Syaikh Ismail Al Anshari). Buku ini sangat penting dibaca oleh kaum muslimin, khususnya di Indonesia dan Malaysia yang mayoritas penduduknya menisbatkan diri kepada Al Asy’ariyyah.
[4]. Al Ibanah, halaman 17.
[5]. Silakan lihat Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, karangan Al Laalikaai (I/157-165).
[6]. Bagi yang ingin penjelasan lebih rinci, silakan lihat kitab Asasut Taqdis, karangan Ar Razi, hlm. 168-173 dan Asy Syamil, karangan Al Juwaiini, hlm. 561 dan Al Mawaqif, karangan Al Iji, hlm. 39-40.
[7]. Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi (II/96).
[8]. Ini semua adalah nama-nama aliran
[9]. Ijtima’ Juyusy Islamiyah, hlm. 62.
[10]. Yakni Syaikh Abu Hamid Al Isfaraini.
[11]. At Tis’iniyyah, hlm. 238-239.
Lucu sekali, mengapa anda begitu percaya pada pendapat Ustadz Abu Ihsan Al Atsary, tanpa mengkritisi lebih jauh, apalagi beliau mengutip perkataan ulama tidak secara lengkap, dan kalau anda mempunyai wawasan dan ilmu agama yang luas, maka anda akan memahami bahwa para ulama besar banyak yang bemazhab akidah asy ariyah, dan mayoritas ulama dari jaman imam asy ari sampai sekarang menganggap bahwa akidah asy ariyah dan maturidiyah adalah Ahlussunah wal jamaah.
Justru banyak ulama yang meragukan wahabi termasuk ahlussunah wal jamaah, karena golongan ini telah memisahkan diri dari jamaah.
Mohon anda perbanyak sedikit referensinya…. kasihan kalau antum terus begini.
Kenapa anda begitu percaya dengan pendapat Ustadz Abu Ihsan Al Atsary atau Syekh utsaimin ?
Apakah anda tidak tahu bahwa sebagian besar para ulama bermazhab akidah asy ariyah dan maturidiyah.
Kenapa ya ….?
saya rasa anda perlu membaca banyak lagi, coba deh baca buku-buku para imam yang muktabar.
setidaknya, Syaikh Utsaimin bukan seorang pendusta seperti Syaikh Alwi atau Syaikh Ahmad Zaini
Nasehat untuk Akh Dianth,
–ikuti orang karena dia benar, jangan ikuti kebenaran karena orang, kenalilah kebenaran niscaya engkau akan tahu siapa yang benar–
@Donpay
ucapan anda bagus sekali, tetapi apakah anda tidak berusaha terlebih dahulu terapkan untuk anda sebelum menasehati orang lain ?
ada yang ingin saya tanyakan : Apakah anda punya alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa tulisan yang anda copas itu adalah sebuah kebenaran, sedangkan ulama-ulama yang berbeda pendapat dengan tulisan antum bukanlah sebuah kebenaran.
kalau anda punya alasan tersebut, maka saya akan ikuti kebenaran itu, tapi kalau anda tidak punya alasan, hanya percaya begitu saja… maka lebih baik anda intropeksi diri.
alasan ana :
1. Sumbernya terpecaya, bisa antum cek sendiri, jika anda berkenan.
2. Masalah Aqidah, Ulama mazhab/imam yang empat telah Ijma. antum cek sendiri lah kitab-kitab mereka. Sedangkan Ibnu Hajar dan Imam Nawawi Rahimahumullah datang belakangan.
3. Imam antum Abu Hasan Al asyari sudah tobat, namun antum koq masih ngeyel.
3. antum bisa baca di kitab Syarah ushulul sunnah, bagaimana akidah Imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yakni Imam Ahmad bin Hambal, sangat bersebrangan dengan akidah antum.
4. sesuai fitrah manusia, kalo kita berdoa adalah mengangkat tangan dan menuju ke atas, namun kalo aqidah antum bagaimana berdoanya?apakah tangannya menuju kemana-mana atau gimana sunnah asyariah nya?
alasan ana :
1. Sumbernya terpecaya insyaAllah, bisa antum cek sendiri, jika anda berkenan.
2. Masalah Aqidah, Ulama mazhab/imam yang empat telah Ijma. antum cek sendiri lah kitab-kitab mereka. Sedangkan Ibnu Hajar dan Imam Nawawi Rahimahumullah datang belakangan.
3. Imam antum Abu Hasan Al asyari sudah tobat, namun antum koq masih ngeyel.
3. antum bisa baca di kitab Syarah ushulul sunnah, bagaimana akidah Imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yakni Imam Ahmad bin Hambal, sangat bersebrangan dengan akidah antum.
4. sesuai fitrah manusia, kalo kita berdoa adalah mengangkat tangan dan menuju ke atas, namun kalo aqidah antum bagaimana berdoanya?apakah tangannya menuju kemana-mana atau gimana sunnah asyariah nya?
wallahu ‘alam.
@ajam
saya rasa anda perlu refresing, kalau perlu terapi, kayaknya ada yang nggak beres.
akidah ulama kami semua sama, Imam Nawawi, Ibnu Hajar sama dengan akidahnya Syekh Alwi dan Syaikh Zaini.
Memang begitulah…. apa yang ente bicarakan sudah tidak jelas lagi.
@donpay
alasan ana :
1. Sumbernya terpecaya, bisa antum cek sendiri, jika anda berkenan.
Sumber apa mas/mbak? sumber ucapan para ulama yang dikutipkah ?
1. imam Ahmad, Ali bin Al Madini dan lainnya menyatakan, dst
Maksud menyelami ilmu kalam adalah berlebih-lebihan dalam perdebatan sehingga meninggalkan nash-nash dan tenggelam dalam istilah-istilah filsafat. coba ande cek lagi perkataannya “hingga ia meninggalkan jidal (perdebatan) dan menerima nash-nash syar’iyyah”. Adapun ilmu kalam untuk membela akidah islam dan memberi penjelasan secukupnya untuk membantah ahli bidah adalah perbuatan yang mulia. Di posisi inilah Asy ariyah.
2. Ibnu Abdil Bar, dalam mensyarah (menjelaskan) perkataan Imam Malik, dia menukil perkataan ahli fiqh madzhab Maliki bernama Ibnu Khuwaiz Mandad: “Tidak diterima persaksian Ahli Ahwa’ (Ahli Bid’ah).” Ia menjelaskan: “Yang dimaksud Ahli Ahwa’ oleh Imam Malik dan seluruh rekan-rekan kami, adalah Ahli Kalam. Siapa saja yang termasuk Ahli Kalam, maka ia tergolong ahli ahwa’ wal bida’; baik ia seorang pengikut madzhab Asy’ariyyah atau yang lainnya. Persaksiannya dalam Islam tidak diterima selama-lamanya, wajib diboikot dan diberi peringatan atas bid’ahnya. Jika ia masih mempertahankannya, maka harus diminta bertaubat.” [7]
Ini adalah kutipan Ibnu Abdil Bar terhadap seorang ahli fikih, bagaimana sikap Abdil Bar sendiri ? saya rasa pernyataan ini berlebihan, karena para ulama maliki sendiri bermazhab akidah Asy ariyah. maksud para ulama adalah para ahli kalam berlebih-lebihan dalam perdebatan sehingga meninggalkan nash-nash dan tenggelam dalam istilah-istilah filsafat.
3. Abul Abbas Suraij yang dijuluki Asy Syafi’i kedua berkata,”Kami tidak mengikuti takwil Mu’tazilah, Asy’ariyah, Jahmiyah, Mulhid, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyah dan Mukayyifah [8]. Namun kami menerima nash-nash sifat tanpa takwil, dan kami mengimaninya tanpa tamtsil.” [9
Ini adalah metode yang diikuti Suraij yaitu tafwidh. maka perhatikanlah bahwa beliau menolak kaum mujassimah dan musyabbihah yang menafsirkan zhahir ayat-ayat mutasyabihat.
4. Abul Hasan Al Karji, salah seorang tokoh ulama Asy Syafi’iyyah berkata: “Para imam dan alim ulama Syafi’iyyah, dari dulu sampai sekarang menolak dinisbatkan kepada Asy’ariyah. dst
Ini pendapat pribadi Abul Hasan Al Karji, adapun selain beliau banyak ulama syafii bermazhab akidah Asy ariyah.
Kalau masalah sumber, maka sumber-sumber tentang akidah asy ariyah adalah ahlussunah merupakan sumber-sumber yang terpercaya yaitu para imam islam dan ulamanya, bahkan kalau mau saya kutipkan lebih banyak lagi daripada kutipan artikel diatas.
2. Masalah Aqidah, Ulama mazhab/imam yang empat telah Ijma. antum cek sendiri lah kitab-kitab mereka. Sedangkan Ibnu Hajar dan Imam Nawawi Rahimahumullah datang belakangan.
Ijma apa ya? pokok akidah mereka sama dengan pokok akidah asy ariyah … apa yang beda ya? mungkin hanya cabang saja, sebagaimana Asy ariyah dan maturidiyah. bisa anda jelaskan lebih detail yang mana ijma mereka.
3. Imam antum Abu Hasan Al asyari sudah tobat, namun antum koq masih ngeyel.
Tobatnya Abu Hasan Al Asy ari adalah dari muktazilah, yang berpendapat beliau tobat dari asy ariyah hanya kelompok antum yang mengatakannya. mayoritas ulama dan ahli sejarah telah menulis tobatnya Imam dari muktazilah bukan dari asy ariyah. Sungguh naif mengambil kesimpulan tobatnya Imam dari sebuah buku…. yang benar Imam dalam menulis kitab Ibanah mengikuti metode tafwidh ulama salaf.
3. antum bisa baca di kitab Syarah ushulul sunnah, bagaimana akidah Imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yakni Imam Ahmad bin Hambal, sangat bersebrangan dengan akidah antum.
Apa yang bersebrangan ? bisa disebutkan contohnya…
4. sesuai fitrah manusia, kalo kita berdoa adalah mengangkat tangan dan menuju ke atas, namun kalo aqidah antum bagaimana berdoanya?apakah tangannya menuju kemana-mana atau gimana sunnah asyariah nya?
Berdoa ya tangannya ke atas dong, itukan yang di ajarkan nabi…. emangnya nabi ada bilang angkat tangan keatas karena tuhan ada diatas kamu secara zhahir?
nggak ada hubungannya tuh.
Maaf ya alasan anda belum cukup kuat……. coba anda perinci lagi.
menurut saya yang agak kuat alasannya hanya pendapat Ibnu Abdil Barr, tapi itupun kutipan dari perkataan orang lain…
lagi pula pendapat para ulama yang dianggap menolak Asy ariyah hanya sedikit, dibandingkan para ulama yang berakidah asy ariyah dan maturidiyah. Adapun pencelaan ulama terhadap asy ariyah fokusnya adalah masalah perdebatan yang berlebihan dalam ilmu kalam.
Saya juga belum menemukan perkataan yang secara jelas dan pasti dari para ulama selain ulama wahabi yang mengatakan bahwa rumusan akidah Asy ariyah bukan Ahlussunah wal jamaah atau akidah bidah. kalau kutipan artikel diatas itu dihitung maka sedikit sekali jumlahnya dibandingkan para pembelanya.
Bisa anda lanjutkan….?
@Dianth,
1. Maksud ana, sumber artikel itu terpercaya, Akh Dianth.
”Pendapat yang benar adalah, Al Asy’ariyah termasuk Ahli Kiblat (kaum muslimin), tetapi mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ketika para tokoh dan pembesar Al Asy’ariyyah jatuh dalam kebingungan, mereka keluar dari pemikiran Al Asy’ariyah. Diantaranya adalah Al Juwaini, Ar Razi, Al Ghazzali dan lainnya. Jika mereka benar-benar berada di atas As Sunnah dan mengikuti Salaf, lalu dari manhaj apakah mereka keluar? DAN KENAPA MEREKA KELUAR? Hendaklah ORANG YANG BIJAK memahaminya, karena ini adalah kesimpulan akhir.”
lihatlah para Imam seperti Al Juwaini, Ar Razi, Al Ghazali tobat dari pemikiran Asyariah, antum cs koq nggak mengikuti pendahulu/salaf antum:)
2. Syaikh Ali bin Abdul Aziz bin Ali Asy Syibil berkata :
Ahlu Sunnah Wal Jamaah sepakat bahwa MENETAPKAN NAMA DAN SIFAT ALLAH SECARA HAKIKI SESUAI DENGAN YaNG LAYAK BAGI ALLAH TABARAKA WATA’ALA TANPA MENTAKYIF DAN TAMTSIL, TANPA TAHRIF DAN TA’THIL. inilah yang disepakati oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
saya rasa ini sudah dijelaskan oleh Akhul Kirom Ajam, tapi koq ente keras kepala ya?
3. Antum lihat Al Imam khan kembali ke Manhaj Salaf Ahlus Sunnah Wal Jamaah maka ikutilah kaidah Asma wa Shifat seperti pada point 2.
4. Imam Ahmad (IMAM AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH) berkata dalam Ushulus sunnah:
Pondasi Ahlus Sunnah menurut kami :
– berpegang teguh pada jalan hidup para Sahabat Rasulullah Shallallahu Alayhi wassallam.
– berqudwah (mengambil teladan) pada mereka.
– Meninggalkan Bid’ah-bidah.
– Setiap Bid’ah adalah kesesatan.
– As SUnnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallahu Alayhi wassallam.
– As SUnnah adalah penjelas Al Quran yakni petunjuk-petunjuk dalam Al Quran.
– Di dalam As Sunnah/Aqidah tidak ada Qiyas.
– As Sunnah/Aqidah tidak boleh dibuat pemisalan dan tidak dapat diukur dengan akal dan hawa nafsu, akan tetapi dengan ittiba’ dan meninggalkan hawa nafsu.
5. ana bilang secara fitrah bahwa kita itu berdoa meminta ke atas, ehh koq antum nolak pake akal atau kaidah antum sendiri.
menurut antum kalo Allah tidak diatas langit, maka ente ketika berdoa keyakinan antum menetapkan Allah dimana? tidak diatas, tidak dibawah,tidak dikiri atau tidak dikanan?kayfa?
lihatlah orang-orang kafir ketika main sepak bola, secara fitrah mereka melihat TUhannya ada di atas ketika menggolkan atau melesat ketika nendang ke gawang:).
Lihatlah dalam hadist-hadist mashur, naiknya amalan-amalan khan ke atas. Malaikat setiap hari ada yang naik ke Langit dan turun ke Bumi untuk mencatat Amalan Manusia.
Allah Tabaraka wata’ala berfirman:
“(yang datang) dari Allah, Yang mempunyai TEMPAT-TEMPAT NAIK. Malaikat-malaikat dan Jibril NAIK (menghadap Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima ribu tahun’. (Al Ma’aarij:3-4)
bisa terima sekarang alasan ana???kayfa Akh??
Wallahu ‘alam.
@donpay
1. “Ketika para tokoh dan pembesar Al Asy’ariyyah jatuh dalam kebingungan, mereka keluar dari pemikiran Al Asy’ariyah. Diantaranya adalah Al Juwaini, Ar Razi, Al Ghazzali dan lainnya. Jika mereka benar-benar berada di atas As Sunnah dan mengikuti Salaf, lalu dari manhaj apakah mereka keluar? DAN KENAPA MEREKA KELUAR? Hendaklah ORANG YANG BIJAK memahaminya, karena ini adalah kesimpulan akhir.”
ini pendapat siapa? siapa sumbernya ? penulisnya kan Ustadz Abu Ihsan Al Atsary
para imam tidaklah keluar dari manhaj? siapa yang bilang mereka keluar? adakah Al Juwaini, Ar Razi, Al Ghazzali mengatakan bahwa mereka tobat dari paham akidah mereka dan mencelanya lalu kemudian mengatakan bahwa mereka kembali ke manhaj salaf yang berbeda dengan manhaj asy ariyah ? mana sumbernya ? ini hanya kesimpulan yang dangkal.
Yang benar sesungguhnya para imam itu sebelumnya telah menggunakan jalan takwil tafsili terhadap sifat-sifat khabariyah Allah, untuk menjelaskan kepada ummat agar ummat terhindar dari akidah tha’til dan lawannya tajsim, dan di akhir hidupnya mereka lebih suka mengikuti mayoritas ulama salaf yaitu takwil ijmali atau tafwidh.
Sesungguhnya takwil ijmali dan takwil tafsili sama-sama satu manhaj, kenyataannya mayoritas ulama salaf lebih banyak menggunakan takwil ijmali, karena pada waktu itu kaum muslimin masih dalam keadaan fitrah dan bersih dari pengaruh-pengaruh luar, namun keadaan di zaman khalaf, sewaktu filsafat yunani dan akidah tajsim mulai bergentayangan, maka para ulama merasa perlu untuk memperinci lebih jauh masalah ayat-ayat sifat, maka pada masa ini para imam menggunakan metode takwil tafsili.
2. Syaikh Ali bin Abdul Aziz bin Ali Asy Syibil berkata :
Ahlu Sunnah Wal Jamaah sepakat bahwa MENETAPKAN NAMA DAN SIFAT ALLAH SECARA HAKIKI SESUAI DENGAN YaNG LAYAK BAGI ALLAH TABARAKA WATA’ALA TANPA MENTAKYIF DAN TAMTSIL, TANPA TAHRIF DAN TA’THIL. inilah yang disepakati oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
saya rasa ini sudah dijelaskan oleh Akhul Kirom Ajam, tapi koq ente keras kepala ya?
Syaikh Ali bin Abdul Aziz bin Ali Asy Syibil itu siapa? ulama wahabi kah ? darimana beliau mendapat sumbernya?
saya kutipkan anda ayat Al Qur an yang menjadi dalil mengapa kami menggunakan 2 jalan, yaitu takwil ijmali dan takwil tafsili :
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu, diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah . Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal
3. Antum lihat Al Imam khan kembali ke Manhaj Salaf Ahlus Sunnah Wal Jamaah maka ikutilah kaidah Asma wa Shifat seperti pada point 2.
Imam Asyari telah mengikuti manhaj salaf setelah beliau keluar dari muktazilah.
4. Imam Ahmad (IMAM AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH) berkata dalam Ushulus sunnah:
Pondasi Ahlus Sunnah menurut kami :
– berpegang teguh pada jalan hidup para Sahabat Rasulullah Shallallahu Alayhi wassallam.
– berqudwah (mengambil teladan) pada mereka.
– Meninggalkan Bid’ah-bidah.
– Setiap Bid’ah adalah kesesatan.
– As SUnnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah Shallallahu Alayhi wassallam.
– As SUnnah adalah penjelas Al Quran yakni petunjuk-petunjuk dalam Al Quran.
– Di dalam As Sunnah/Aqidah tidak ada Qiyas.
– As Sunnah/Aqidah tidak boleh dibuat pemisalan dan tidak dapat diukur dengan akal dan hawa nafsu, akan tetapi dengan ittiba’ dan meninggalkan hawa nafsu.
Apa bedanya kami dengan pendapat Imam Ahmad, kami juga berusaha meninggalkan bidah-bidah yang jelek. Adapun masalah setiap bidah itu sesat maka kami pahami sesuai penjelasan para imam bahwa bidah yang jelek dan tidak sesuai syar i itulah yang sesat, adapun kaum wahabi juga menganggap bidah itu adalah bidah diniyah.
Masalah Qiyas, itu pembahasan para imam mazhab bung, masalah akal hawa nafsu dsbnya itu relatif bung, kami menggunakan akal untuk menjelaskan dalil, karena dalil dijelaskan dan dipahami dengan akal bukan dengan dengkul.
5. Masalah fitrah, ini sungguh aneh pakai bawa-bawa orang kafir pula.
Mengangkat tangan waktu berdoa itu adalah sunnah. masalah fitrah itu hanya pendapat saja, tidak bisa dijadikan dalil.
dianth
bagaimana tidak jelas, wong sudah jelas bahwa Syaikh Alwi dan Syaikh Ahmad Zaini seorang pendusta, tidak sama dengan An Nawawi dan Ibnu Hajar.
antum sendiri membawakan atsar tapi ditanya sanad tidak bisa jawab. masih ana ingat di situs UMMATI yang membahas atsar khulafa’ur rasyidin yang menganjurkan peringatan maulid nabi, disitu disebutkan beberapa atsar tanpa sanad juga.
begitu pula hadits2 untuk mendukung tawasul, baca quran di kuburan, ziarah ke makam nabi, dan amalan bid’ah lainnya kebanyakan adalah hadits lemah dan palsu.
mau antum bela sampai kapan aqidah sesat seperti ini?
yg membela menolak bangunan makam Nabi mati disambar petir..ente gak liat diatas ya..hehe
Mas Rajeb ini,
itu sih bukan dalil Mas untuk membenarkan bangunan di atas kuburan. apalagi dalilnya jelas dari sunnah.
wassallam.
siapa bilang saya tidak bisa jawab atsar yang saya bawa, saya memang tidak mau menjawab aja dan memperpanjang diskusi masalah tersebut.
Masalah hadist lemah dan palsu kan sudah saya bilang itu adalah perbedaan pendapat para ulama.
kalau mau saya tulis banyak mas kedustaan wahabi yang tidak punya dasar yang jelas, nih contohnya :
– An Nawawi dan Ibnu Hajar mempunyai penyimpangan akidah,
– Imam Asy ari bertobat dari akidah asy ariyah
– Asy ariyah dan maturidiyah bukan ahlussunah wal jamaah
– Tawasul dengan perantara orang yang telah wafat adalah syirik
– ziarah ke makam nabi bid ah
– Orang musyrik Qurais bertauhid rubbubiyah
– Kemusyrikan yang dilakukan zaman ini lebih dahsyat dari kemusyrikan zaman jahilliyah ( aneh kan kaum muslimin kok disamakan dengan kaum musyrikin)
– dll
kebanyakan kalau saya tulis semua.
semua ini menyebabkan fitnah loh…. makanya hati-hati mas.
Sampai kapan mas ajam membela ajaran wahabi yang tidak jelas dasarnya?
Kalau akidah kami akidah yang sangat jelas, bahkam mayoritas ulama dari zaman imam asy ari sampai sekarang berakidah asy ariyah dan maturidiyah.
Bahkan sejarah mencatat bahwa hampir semua imam besar dan fuqoha dalam Islam adalah pemeluk mazhab aqidah al-As-‘ari. Seperti: Al-Baqillani, Imam Haramain Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhrurrazi, Al-Baidhawi, Al-Amidi, Asy-syahrastani, Al-Baghdadi, Ibnu Abdissalam, Ibnuddaqiq Al-‘Id, Ibu Sayyidinnas, Al-Balqini, Al-‘Iraqi, An-Nawawi, Ar-Rafi‘I, Ibnu Hajar Al-‘Asqallani, As-Suyuti. Sedangkan dari wilayah barat khilafat Islamiyah ada Ath-Tharthusi, Al-Maziri, Al-Baji, Ibnu Rusyd (aljad), Ibnul Arabi, Al-Qadhi ‘Iyyadh, Al-Qurthubi dan Asy-Syatibi. Jangan lupa juga bahwa universitas Islam terkemuka di dunia dan legendaris menganut paham Al-Asy‘ariah dan Maturidiyah seperti Al-Azhar di Mesir, Az-Zaitun di Tunis, Al-Qayruwan di Marokko, Deoban di India. Dan masih banyak lagi Universitas dan madrasah yang menganutnya.
Para ulama pengikut mazhab Al-Hanafiyah adalah penganut paham Al-Maturidiyah Sedangkan mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi‘iyyah adalah penganut paham Al-Asy‘ariyah.
Sekali lagi saran saya buat mas ajam dan mas donpay banyak-banyak lagi belajar dan perluas wawasan.
Syeh Albani
Antara Fatwanya lagi, mengingkari takwilan Imam Bukhari. Sesungguhnya Imam Bukhari telah mentakwilkan Firman allah :
كل سيء هالك إلا وجهه
قال البخاري بعد هذه الأية : أي ملكه
Tetapi Al-Albaany mengkritik keras takwilan ini lalu berkata :
(( هذا لا يقوله مسلم مؤمن ))
” Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang Muslim yang beriman “.
Lihatlah kitab (( Fatawa Al-Albaany )) m/s 523.
Akh Dianth,
kalo bisa tolong jangan nyebut-nyebut Wahabi, karena nama Syaikh adalah Muhammad bin Abdul Wahhab. perkataan antum dicatat nanti sama Malaikat. Harusnya antum nyebutnya Muhammadi dong bukan Wahhabi. (kalo emang antum adil).
Kalo Wahhabi dinisbatkan kepada Allah Tabaraka Wata’ala.
ya kalo ngaku-ngaku para Ulama adalah Asyariun ya bisa saja. terserah antum.
buktinya tidak seperti itu:)
seperti kata pepatah,
SEMUA MENGAKU KEKASIH LAILA,
TAPI LAILA TIDAJ MENGAKUINYA.
Untuk nasehatnya ana ucapkan terima kasih.
itu dalil mas..karena agama bukan hanya teori..
coba kasi contoh ada gak makam ulama wahabi yg bisa membuat keajaiban spt makam nabi dan makam para ulama aswaja..spt misalnya makam habib kwitang memancarkan belasan mata air..ato makam seorang ulama di aceh yg tidak disentuh tsunami?
klo wahabi ga bisa buat keajaiban trus apa bedanya sama agama lain spt kristen, dll
Akh Rajeb,
namanya dalil itu, sebagai berikut
sumber utama adalah :
1. Al Quran
2. Sunnah
3. Ijma (kalo sudah ijma,tidak bisa dibatalkan dg ijma lain; emang mau batal-batalan:)).
Rasulullah Shallalahu alayhi wassallam bersabda : ” Tidak lah (selamanya) umatku bersepakat/ijma pada kesesatan”. Al Hadist.
sumber pendukung :
4. Akal (akal yang sehat mengikuti selaras dengan sumber utama diatas, akal yang sakit adalah yang tidak selaras), bukan akal-akalan seperti asyariyun
5. Fitrah
namanya dalil itu harus punya sanad ke Nabi dan didukung mayoritas ulama trutama yg bersanad ke nabi bukan spt ibnu wahab yg sanadnya putus.
Nabi telah bersabda spy umat mengikuti agama dgn sanad dan pendapat mayoritas umat Islam:
Dari Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya”. (HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635).
berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”
(Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
Berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”,
berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).
dan Nabi sudah memerintahkan supaya berpegang tegung pada jamaah mayoritas
Dari Anas bin Malik ra berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas.” [HR. Ibnu Majah (3950), Abd bin Humaid dalam Musnad-nya (1220) dan al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069).
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu Ta’ala Anhu berkata : Manusia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya ; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan ? Beliau bersabda : ‘Ada’. Aku bertanya : Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan ?. Beliau bersabda : Ya, akan tetapi didalamnya ada dakhanun. Aku bertanya : Apakah dakhanun itu ?. Beliau menjawab : Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah. Aku bertanya : Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan ?. Beliau bersabda : Ya, da’i – da’i yang mengajak ke pintu Jahannam. Barangsiapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya : Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda : Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita. Aku bertanya : Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya ?. Beliau bersabda : Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya. Aku bertanya : Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya ? Beliau bersabda : Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399).
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimaullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari Rahimahullah yang menyatakan : “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jama’ah adalah Sawadul A’dzam (Mayoritas Umat). Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah sati firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Rasul saw bersabda : “Barangsiapa yang memisahkan diri sejengkal dari
jamaah muslimin, lalu mereka wafat, maka akan wafat dalam kematian jahiliyah” (Shahih Bukhari).
jadi kesimpulannya secara logika dan dalil naqli..maka yg benar adalah :
1/ memiliki sanad ilmu bersambung hingga ke Nabi SAW.
2/ didukung pendapat jumhur ulama trutama yg memiliki sanad ilmu bersambung ke Nabi dan mayoritas umat.
dan sebagai dalil logika penguat keabsahan dan kredibilitas sanad ilmu yg bersambung ke Nabi SAW adalah para Dzurriyat Nabi dari Imam Hasan ra dan Imam Husein ra bermazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah non wahabi.
Salam
Rasul saw shalat ghaib di pekuburan umum, Rasul saw shalat jenazah (shalat ghaib) menghadap kuburan setelah dimakamkan di sebuah pemakaman, lalu bermakmum dibelakang beliau shaf para sahabat, beliau saw bertakbir dengan 4 takbir
(Shahih Muslim hadits No.954).
Nabi saw shalat (shalat gaib) diatas kuburan (shahih Muslim hadits No.955).
Telah wafat seseorang yang biasa berkhidmat menyapu masjid, maka Rasul saw bertanya tentangnya dan para sahabat berkata bahwa ia telah wafat, maka Rasul saw bersabda: “Apakah kalian tak memberitahuku??” maka para sahabat seakan tak terlalu menganggap penting, mengabarkannya, maka Rasul saw berkata: “Tunjukkan padaku kuburnya!”, maka Rasul saw mendatangi kuburnya lalu menyalatkannya, seraya bersabda:
“Sungguh penduduk pekuburan ini penuh dengan kegelapan, dan Allah menerangi mereka dengan shalatku atas mereka” (Shahih Muslim hadits No.956), hadits semakna pada Shahih Bukhari hadits no.1258).
Kita akan lihat pendapat para Imam :
1. Berkata Guru dari Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu Imam Syafii rahimahullah: “Makruh
memuliakan seseorang hingga menjadikan makamnya sebagai masjid, (*Imam syafii
tidak mengharamkan memuliakan seseorang hingga membangun kuburnya menjadi masjid, namun beliau mengatakannya makruh), karena ditakutkan fitnah atas orang itu atau atas orang lain, dan hal yang tak diperbolehkan adalah membangun masjid diatas makam setelah jenazah dikuburkan, Namun bila membangun masjid lalu membuat didekatnya makam untuk pewakafnya maka tidak ada larangannya”. Demikian ucapan Imam Syafii (Faidhul qadir Juz 5 hal.274).
2. Berkata Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy: “Hadits–hadits larangan ini
adalah larangan shalat dengan menginjak kuburan dan diatas kuburan, atau berkiblat
ke kubur atau diantara dua kuburan, dan larangan itu tak mempengaruhi sahnya shalat,
(*maksudnya bilapun shalat diatas makam atau mengarah ke makam tanpa pembatas
maka shalatnya tidak batal), sebagaimana lafadh dari riwayat kitab Asshalaat oleh Abu Nai’im guru Imam Bukhari, bahwa ketika Anas ra shalat dihadapan kuburan maka Umar berkata: Kuburan..kuburan..!, maka Anas melangkahinya dan meneruskan shalat dan ini menunjukkan shalatnya sah, dan tidak batal”. (Fathul Baari Almayshur juz 1 hal 524).
3. Berkata Imam Ibn Hajar: “Berkata Imam Al Baidhawiy: ketika orang yahudi dan nasrani
bersujud pada kubur para Nabi mereka dan berkiblat dan menghadap pada kubur mereka dan menyembahnya dan mereka membuat patung–patungnya, maka Rasul saw
melaknat mereka, dan melarang muslimin berbuat itu, tapi kalau menjadikan masjid
di dekat kuburan orang shalih dengan niat bertabarruk dengan kedekatan pada mereka
tanpa penyembahan dengan merubah kiblat kepadanya maka tidak termasuk pada ucapan yang dimaksud hadits itu”(Fathul Bari Al Masyhur Juz 1 hal 525).
Berkata Imam Al Baidhawiy: “Bahwa Kuburan Nabi Ismail as adalah di Hathiim (disamping Miizab di ka’bah dan di dalam Masjidil Haram) dan tempat itu justru afdhal shalat padanya, dan larangan shalat di kuburan adalah kuburan yg sudah tergali (Faidhulqadiir Juz 5 hal 251).
Perluasan masjid nabawy adalah di zaman Khalifah Walid bin Abdulmalik sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, sedangkan Walid bin Abdulmalik
dibai’at menjadi khalifah pada 4 Syawal tahun 86 Hijriyah, dan ia wafat pada 15 Jumadil Akhir pada tahun 96 Hijriyah Lalu dimana Imam Bukhari? (194 H-256 H),
Imam Muslim? (206 H–261H), Imam Syafii? (150 H–204 H), Imam Ahmad bin Hanbal? (164 H–241 H), Imam Malik? (93 H–179 H), dan ratusan imam imam lainnya? apakah mereka diam membiarkan hal yang dibenci dan dilaknat Rasul saw terjadi di Makam Rasul saw?, lalu Imam – imam yang hafal ratusan ribu hadits itu adalah para musyrikin
yang bodoh dan hanya menjulurkan kaki melihat kemungkaran terjadi di Makam Rasul saw??.
Munculkan satu saja dari ucapan mereka yang mengatakan bahwa perluasan Masjid nabawiy adalah makruh. apalagi haram.
Dalil Naqli lengkap disertai sanad.
dalil aqli jelas orang yg akan menghancurkan makam nabi mati disambar petir.
kalau petir biasa kenapa mayatnya lengket tidak bisa diturunkan sampai sekarang??
kenapa rezim wahabi saudi sejak kejadian mayat di kubah nabi itu tidak berani lagi sampe sekarang membongkar bangunan makam nabi?
bisakah wahabi menjawab?
@ Rajeb, yahdikumullah
maksud antum apa sih dengan sanad?
Qola Ba’dhus Salaf: kalo bukan karena Sanad, maka manusia akan berkata seenaknya.
Jelas dalil Al Quran dan Hadist Shahih( sanadnya sahih) dan Ijma (yang sahih sanadnya).
tapi kalo Akh Dianth, disuruh membawakan SANAD yang Sahih atas permintaan Akhul Kirom Ajam koq tidak bisa, kayfa?ehh, malah membawa referensi/hadist yang dibawakan oleh Syaikh Alwi dan Syaikh Ahmad Zaini yang la asla lahu(tidak ada sanad)?
dan beralasan bahwa penilaian hadist Sahih dan Dhaif dan seterusnya adalah perbedaan pendapat ulama, tanpa dia membandingkan mana yang sahih dan tidak.
ketika Nabi menjelang ajalnya, maka Rasulullah Shallalahu alayhi Wassallam bersabda :
“Semoga Allah melaknat Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan Nabi mereka sebagai masjid”. Al Hadist.
perhatikanlah, Nabi jelas-jelas mengharamkan kuburan sebagai tempat ibadah (Shalat, ngaji, ngalap berkah dll).
LARANGAN BERIBADAH DI KUBURAN
Oleh
Abu Nida` Chomsaha Sofwan
Di dalam al Qur`an, Allah telah menyifati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salllam dengan banyak sifat terpuji. Di antaranya, Allah menyifati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang yang sangat menginginkan keimanan dan keselamatan umat ini, dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Salah satu bentuk kesempurnaan keinginan beliau n yang kuat agar umatnya beriman dan selamat adalah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya dari segala sarana yang dapat menggiring kepada kesyirikan, dan menutup seluruh celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar bersikap keras dan tegas dalam masalah syirik. Bahkan, khawatir dianggap luput menekankan bahayanya, perihal syirik ini masih juga dijelaskan saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendekati masa-masa sakaratul maut.
Salah satu sarana dan celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik, yaitu beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih. Perbuatan ini telah menjadi fenomena yang telah lama ada, dan bahkan menjadi kebiasaan sebagian besar kaum muslimin di negeri ini. Bahkan bukan lagi beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih tersebut, tetapi telah beribadah kepada orang shalh yang menghuni kuburan tersebut. Kuburan-kuburan orang shalih atau tempat-tempat yang konon merupakan lokasi kuburan orang shalih dikunjungi, lalu melakukan beragam peribadahan di sisinya, seperti: berdoa, shalat, membaca al Qur`an, thawaf, sedekah dan sebagainya.
Padahal dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dapat diketahui, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat keras sikap nya terhadap orang-orang yang beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang yang shalih. Kalau beribadah kepada Allah di sisi kubur saja, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap keras, tentu akan lebih keras lagi jika sampai beribadah kepada penghuni kubur tersebut.
Berikut adalah hadits-hadits mengenai larangan tersebut :
1. Diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari’ Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha (salah seorang istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang gereja dengan rupaka-rupaka di dalamnya yang dilihatnya di Negeri Habasyah (Ethiopia). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أُولَئِكَ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ أَوِ الْعَبْدُ الصَّالِحُ؛ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِداً وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ
“Mereka itu, apabila ada orang yang shalih -atau hamba yang shalih- meninggal di antara mereka- mereka bangun di atas kuburnya sebuah tempat ibadah, dan mereka buat di dalam tempat itu gambar-gambar mereka; mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah” menunjukkan haramnya membangun masjid-masjid di atas pekuburan, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan hal itu. Perbuatan itu merupakan sarana yang mengantarkan kepada kekufuran dan kesyirikan, yang secara nyata merupakan kezhaliman yang paling besar.
Al Baidhawi berkata: “Tatkala orang-orang Yahudi dan Nasrani bersujud kepada kuburan para nabi dengan maksud mengagungkan derajat mereka, dan menjadikan kuburan-kuburan tersebut sebagai kiblat, yang mereka menghadap dalam shalat, serta menjadikannya sebagai berhala-berhala, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat mereka”.
Imam al Qurthubi berkata,”Mula-mula, para pendahulu mereka memahat gambar-gambar tersebut agar mereka dapat menjadikannya sebagai suri teladan dan mengenang perbuatan-perbuatan shalih mereka, sehingga dapat memiliki kesungguhan beribadah yang sama seperti mereka; karenanya, mereka beribadah kepada Allah di sisi kuburan-kuburan mereka. Kemudian setelah mereka meninggal, datanglah generasi yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap agama, sehingga tidak mengerti maksud dari pendahulu mereka tersebut; lalu setan merasuki mereka dengan menyatakan, bahwa para pendahulu mereka tersebut sebenarnya telah menyembah rupaka-rupaka ini dan mengagungkannya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang terjadinya hal tersebut untuk menutup segala hal yang dapat mengarah ke perbuatan tersebut.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”(Mereka dikatakan sebagai makhluk yang paling buruk), karena memadukan dua fitnah sekaligus. Yaitu fitnah memuja kuburan dengan membangun tempat ibadah di atasnya dan fitnah membuat gambar-gambar.” Keduanya disebut fitnah, karena memalingkan manusia dari agama.
Beliau rahimahullah juga berkata,”Hal inilah yang dipakai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai alasan untuk melarang membangun masjid-masjid di atas kuburan-kuburan, karena telah banyak menjerumuskan umat-umat sebelumnya, baik ke dalam syirik besar maupun syirik lainnya yang lebih ringan. Banyak orang cenderung melakukan perbuatan syirik terhadap patung orang shalih dan patung-patung yang mereka anggap bahwa ia merupakan garis-garis rajah dari bintang-bintang, dan hal lain yang serupa dengan bintang. Ini terjadi, karena berbuat syirik dengan menyembah kuburan orang yang diyakini keshalihannya lebih terasa di dalam jiwa, daripada berbuat syirik dengan menyembah pohon atau batu.
Oleh karena itu pula, Anda mendapatkan ahli syirik memohon di sisi kuburan dengan penuh kesungguhan, penuh kekhusyuan dan sikap berserah diri, serta menyembahnya dengan sepenuh hati, padahal ibadah yang seperti itu tidak pernah mereka lakukan di rumah-rumah Allah ataupun di waktu tengah malam menjelang Subuh. Di antara mereka ada yang bersujud kepada kuburan itu. Ketika melakukan shalat dan berdoa di sisi kuburan tersebut, kebanyakan mereka mengharapkan keberkahan, yang tidak pernah mereka harapkan ketika berada di masjid-masjid.
Lantaran perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerusakan, maka dengan tanpa ragu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikisnya. Sampai-sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat di pekuburan secara mutlak, meskipun orang melakukannya tidak dengan maksud mengharapkan berkah tempat tersebut sebagaimana ia mengharapkannya ketika shalat di dalam masjid. Begitu pula beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya melakukan shalat pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari, karena waktu-waktu tersebut digunakan oleh kaum musyrikin untuk menyembah matahari. Karenanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya shalat pada waktu-waktu tersebut, meskipun mereka tidak memiliki tujuan yang sama dengan tujuan kaum musyrikin tadi. Hal ini sebagai upaya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup rapat celah-celah menuju kesyirikan.
Adapun bila seseorang melakukan shalat di sisi kuburan dengan maksud untuk mendapatkan keberkahan melalui shalat di sisi kuburan tersebut, maka ini jelas merupakan sikap memusuhi Allah dan RasulNya, melanggar aturan agamaNya, mengada-adakan sesuatu di dalam agama yang tidak pernah Allah izinkan. Kaum muslimin telah bersepakat secara ijma’, bahwa di antara perkara-perkara mendasar dalam agama, yaitu mengetahui bahwa shalat di sisi kuburan adalah dilarang. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang mengfungsikan kuburan sebagai masjid. Karena itu, di antara perbuatan mengada-ada (bid’ah) yang paling besar dan merupakan sebab-sebab terjadinya kesyirikan adalah melakukan shalat di sisi kuburan dan mengfungsikannya sebagai masjid, serta mendirikan masjid-masjid di atasnya. Nash-nash dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang hal itu, dan memperingatkan pelakunya secara keras sangatlah banyak dan mutawatir. Seluruh kelompok umat secara jelas dan terang-terangan melarang untuk mendirikan masjid-masjid di atasnya, karena mereka mengikuti sunnah yang shahih dan sharih (jelas).
Para ulama pengikut Imam Ahmad dan ulama yang lain, yakni pengikut Imam Malik dan Imam Syafi’i, secara terang-terangan mengharamkan perbuatan tersebut. Ada juga yang menyatakan, hal itu sebagai perbuatan makruh, namun sepatutnya membawa maknanya kepada karahah at tahrim (makruh yang berindikasi pengharaman) sebagai tanda bersangka baik kepada para ulama yang menyatakan demikian, sehingga mereka tidak disangka membolehkan perbuatan yang secara mutawatir dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pelakunya beliau laknat.”
2. Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa ia pernah berkata: Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak diambil nyawanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun segera menutupkan kain di atas mukanya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan napas. Ketika dalam keadaan demikian, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الَْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid)”.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal itu saat mendekati kematiannya, untuk memperingatkan umatnya dari perbuatan mereka (Yahudi dan Nasrani) itu. Seandainya bukan karena peringatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, niscaya kubur beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan ditampakkan; hanya saja beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir, jika (kubur beliau) akan dijadikan sebagai tempat ibadah.”
Syaikh Shalih Alu asy Syaikh menjelaskan, ada tiga bentuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah.
Pertama : Menjadikan kuburan itu sebagai tempat sujudnya. Bentuk yang paling bisa dipahami dari perkataan ‘mereka menjadikan kuburan tersebut sebagai masjid’ ialah, menjadikan kuburan sebagai masjid. Yaitu tempat melakukan shalat dan sujud di atasnya. Demikian ini jelas merupakan sarana yang sangat berbahaya, dan paling merusak yang mengantarkan kepada syirik dan berlaku ghuluw kepada kuburan.
Kedua : Shalat ke arah kuburan. Makna menjadikan kuburan sebagai masjid dalam bentuk ini, yaitu seseorang shalat di hadapan kuburan dengan menjadikannya sebagai kiblatnya. Dengan kondisi ini, dia telah menjadikan kuburan sebagai tempat ia merendahkan dan menghinakan dirinya.
Masjid di sini bukan lagi semata-mata berarti tempat sujud –meletakkan dahi di atas tanah–, tetapi berarti tempat merendahkan dan menghinakan diri. Mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid, maksudnya, menjadikannya sebagai kiblat. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat ke arah kuburan, karena merupakan salah satu sarana kepada sikap pengagungan kuburan.
Ketiga : Menjadikan kuburan berada di dalam suatu bangunan, dan bangunan itu adalah masjid. Jika yang dikubur itu seorang nabi, maka mereka membuat bangunan di atasnya. Mereka lantas menjadikan di sekeliling kuburan itu sebagai masjid dan menjadikan tempat itu sebagai tempat beribadah dan shalat.
Adapun perkataan ‘Aisyah bahwa ‘beliau memperingatkan (umatnya) dari perbuatan mereka (Yahudi dan Nasrani)’, maka di dalamnya terdapat isyarat yang menjadi penyebabnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang sedang dalam keadaan sakaratul maut, melaknat Yahudi dan Nasrani dalam hadits ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memperingatkan para sahabatnya agar jangan sampai mengikuti langkah-langkah kedua Ahli Kitab tersebut. Dan ternyatalah mereka, para sahabat, menerima peringatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dan mengamalkan wasiat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian perkataan ‘Aisyah ‘dan seandainya bukan karena hal itu, niscaya kuburan beliau ditampakkan’. Maksudnya, kalau bukan karena peringatan dan kekhawatiran beliau n bahwa kuburan beliau dijadikan masjid oleh umatnya sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani, niscaya kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di luar rumahnya, berdampingan dengan kuburan-kuburan para sahabat di Baqi atau selainnya. Di samping alasan ini, ada juga alasan lain, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu :
إِنَّ الأَنْبِيَاءَ يُقْبَرُونَ حَيْثُ يُقْبَضُونَ
“Sesungguhnya para nabi itu dikuburkan di mana mereka diwafatkan”.
Adapun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dimaklumi, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di dalam rumah ‘Aisyah.
Kemudian perkataan ‘Aisyah selanjutnya ‘hanya saja beliau khawatir (kuburannya) akan dijadikan sebagai tempat ibadah’, terdapat dua riwayat.
Berdasarkan riwayat pertama, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendirilah yang mengkhawatirkan hal tersebut, sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ummatnya untuk menguburkannya di tempat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Sedangkan berdasarkan riwayat kedua, maka kemungkinan yang mengkhawatirkan hal itu adalah para sahabat. Artinya, mereka khawatir hal itu terjadi pada sebagian umat sehingga mereka pun tidak menampakkan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena dikhawatirkan umat Islam berlebih-lebihan dan terlalu mengagung-agungkan kuburan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ditampakkan.
Imam al Qurthubi berkata,”Oleh karena itulah, kaum muslimin berusaha semampu mungkin menutup jalan yang mengarah kepada pemujaan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara meninggikan dinding tanahnya dan menutup rapat pintu-pintu masuk ke arahnya dengan menjadikan dindingnya mengitari kuburan beliau. Mereka pun takut apabila letak kuburan beliau n dijadikan kiblat bagi orang-orang yang melakukan shalat sehingga seakan shalat yang menghadap ke arahnya tersebut merupakan suatu wujud beribadah. Karenanya, mereka kemudian membangun dua dinding dari dua sudut kuburan bagian utara, dan mengalihkan keduanya hingga bertemu pada sudut yang membentuk segitiga dari arah utara sehingga tidak memungkinkan siapa pun untuk menghadap ke arah kuburan beliau.”
3. Diriwayatkan oleh Muslim dari Jundub bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Aku mendengar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda lima hari sebelum beliau wafat, ‘Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak, bahwa aku mempunyai seorang khalil (kekasih mulia) di antara kamu, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil. Seandainya aku menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil. Ketahuilah bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah, maka janganlah kamu sekalian menjadikan kubur sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.’”
Al Khalili berkata,”Pengingkaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan mereka tersebut dapat diartikan dengan dua makna. Pertama, mereka bersujud terhadap kuburan para nabi untuk mengagungkan utusan Allah tersebut. Kedua, mereka memang menganggap boleh melakukan shalat di kuburan para nabi dan menghadap ke arah ketika melakukan shalat, karena mereka memandang hal itu sebagai bentuk ibadah kepada Allah dan cerminan sikap pengagungan yang sangat kepada para nabi tersebut.
Makna pertama merupakan syirik jaliy (bentuk syirik yang jelas). Sedangkan makna kedua merupakan syirik khafiy (bentuk syirik yang tersembunyi). Oleh karena itu, mereka layak untuk dilaknat.”
Syaikh Shalih Alu asy Syaikh berkata,”Keterkaitan hadits ini dengan permasalahan sikap keras Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid (tempat ibadah), meskipun mungkin saja orang yang melakukannya beribadah hanya kepada Allah. Hal itu, karena perbuatan tersebut termasuk di antara sarana-sarana yang mengantarkan kepada syirik besar. Telah ditetapkan di dalam kaidah-kaidah syariat dan telah disepakati oleh para muhaqqiq, bahwa menutup pintu (celah) yang mengantarkan kepada kesyirikan dan kepada perbuatan haram adalah wajib; karena syariat datang untuk menutup pokok-pokok perbuatan-perbuatan haram dan menutup celah-celah menuju kepadanya. Sehingga wajib menutup setiap pintu dari pintu-pintu kesyirikan kepada Allah. Di antara pintu-pintu itu ialah, menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid. Karena itu, tidak sah shalat yang dilakukan di dalam masjid yang dibangun di atas kuburan karena hal itu menafikan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang, namun orang-orang itu melakukannya, padahal larangan beliau tertuju kepada tempat shalat itu dilakukan sehingga shalatnya pun batal. Jadi, orang yang shalat di dalam masjid yang dibangun di atas kuburan, maka shalatnya batal, tidak sah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid’, maksudnya, dengan membangun masjid di atasnya dan shalat di sekitarnya, ‘karena sungguh aku larang kalian darinya’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Rasulullah n , (pada) menjelang akhir hayatnya (sebagaimana dinyatakan dalam hadits Jundub) telah melarang umatnya untuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Kemudian, tatkala dalam keadaan hendak diambil nyawanya –sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah– beliau melaknat orang yang melakukan perbuatan itu. Shalat di sekitar kuburan termasuk pula dalam pengertian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah walaupun tidak membangunnya. Inilah makna kata-kata Aisyah ‘dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah’, karena para sahabat belum pernah membangun masjid (tempat ibadah) di sekitar kubur beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal setiap tempat yang digunakan untuk melakukan shalat di dalamnya, itu berarti sudah dijadikan sebagai masjid; bahkan setiap tempat yang dipergunakan untuk shalat disebut masjid sebagai yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Telah dijadikan bumi ini untukku sebagai masjid dan sebagai sarana bersuci.”.
Kesimpulannya : Shalat di kuburan tidak boleh, baik itu shalat menghadap ke arahnya, atau shalat di dekatnya karena mengharap berkah tempat tersebut, atau tidak mengharap berkahnya, tetapi hanya shalat nafilah (selain shalat jenazah). Semua itu tidak boleh. Baik di atas kuburan itu ada bangunan, seperti masjid, atau tidak bangunan di atasnya, maka shalat di atasnya tetap tidak boleh.
Di dalam Shahih al Bukhari, terdapat hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadikanlah di antara shalat kalian itu dilakukan di rumah-rumah kalian, dan jangan di kuburan.” Juga disebutkan di dalam Shahih al Bukhari perkataan beliau kepada Umar Radhiyallahu ‘anhu ketika melihat sekelompok orang shalat di dekat sebuah kubur ‘kuburan, kuburan’, maksud beliau, jauhilah kuburan, jauhilah kuburan. Ini menunjukkan, shalat di kuburan tidak diperbolehkan, karena merupakan pengantar kepada kesyirikan. Lebih parah lagi jika di kuburan tersebut dibangun bangunan, lalu menjadikan bangunan-bangunan sekitar kuburan itu sebagai masjid untuk shalat, berdoa, membaca al Qur`an, dan semisalnya.
Maraji:
1. Fath al Majid Syarh Kitab at Tauhid.
2. At Tamhid li Syarhi Kitab at Tauhid, karya Syaikh Shalih Alu Syaikh.
3. Al Qaul al Mufid, Jilid I, karya Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Dijelaskan pada kitab Mughniy Almuhtaj fi Syarahil Minhaj oleh AI Imam khatiib syarbiniy
bab washaya bahwa diperbolehkan membangun kuburan para Nabi atau Shalihin, demi
menghidupkan syiar dana mengambil keberkahan.
Disebutkan pula pada Kitab Raudhatuttaibin oleh Hujjatul Islam Al Imam Nawawi Bab
Washaya : Diperbolehkan untuk Muslim atau kafir dzimmiy (kafir dzimmiy adalah kafir
yang tak memusuhi atau memerangi muslimin) untuk berwasiat membangun Masjidil Aqsha, atau masjid lainnya, atau membangun kubur para Nabi dan para shalihin untuk menghidupkan syiar dan bertabarruk padanya.
Mas Rajeb,
kalo sudah ada Hadis shahih yang melarang seputar kuburan yaaa mbo yaa diikutin hadist Nabi , jangan ikut perkataan lain.
Wallahu ‘alam.
diatas khan ane bawa hadits sahih Bukhari Muslim..ente baca gak?
sekarang siapa yg lebih paham hadits? para ulama salaf atau kita?
dimasa para ulama salaf masih terdpt jutaan Hadits.
Imam Bukhari hafal 600 ribu hadits tp hanya 7 rb yg sempat ditulis.
Imam Ahmad hafal 1 juta hadits tp hanya 20 ribuan yg sempat ditulis.
blom lagi Imam2 Hadits dan Imam Mahzhab yg lain.
mrk tdk sempat menulis semuanya krn masa itu susah tdk spt skrg. dan mrk msh berkeliling berbagai negeri utk mengumpulkan hadits, serta mengajar murid2nya, dan beribadah tekun siang malam.
Imam Bukhari tiap akan menulis sebuah hadits sholat 2 rakaat dulu.
padahal jaman sekarang hadits hanya tersisa 100 ribuan.
jika kita tdk berpegang sanad yg bersambung ke para salafush sholeh jelas nyungsep. khan dah ane kasi diatas dalilnya sanad.
@Dianth,
1. Ente lihatlah dicatatan kaki sumbernya dari mana.
2. — Syaikh Ali bin Abdul Aziz bin Ali Asy Syibil itu siapa? ulama wahabi kah ? darimana beliau mendapat sumbernya?—-
InsyaAllah, beliau bukan seorang kazzab atau pendusta. beliau murid terdekat Syaikh Bin Baz (mufti Kerajaan Saudi dimasanya). dan kitabnya yang berjudul “PERINGATAN ATAS KESALAHAN AQIDAH DALAM FATHUL BAARI” telah mendapat sanjungan dari Kibarul Ulama Saudi, tanpa merendahkan sedikitpun Al Hafiz Ibnu Hajar.
— saya kutipkan anda ayat Al Qur an yang menjadi dalil mengapa kami menggunakan 2 jalan, yaitu takwil ijmali dan takwil tafsili :
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu, diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah . Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal —–
itu menurut tafsiran kelompok antum. coba antum cek di Tafsir Ibnu Katsir, gimana penafsiran ayat tersebut yang shahih.
4. ——Apa bedanya kami dengan pendapat Imam Ahmad, kami juga berusaha meninggalkan bidah-bidah yang jelek. Adapun masalah setiap bidah itu sesat maka kami pahami sesuai penjelasan para imam bahwa bidah yang jelek dan tidak sesuai syar i itulah yang sesat, adapun kaum wahabi juga menganggap bidah itu adalah bidah diniyah.
Masalah Qiyas, itu pembahasan para imam mazhab bung, masalah akal hawa nafsu dsbnya itu relatif bung, kami menggunakan akal untuk menjelaskan dalil, karena dalil dijelaskan dan dipahami dengan akal bukan dengan dengkul.—-
Ya jelas beda lahh…
Sudah jelas Al Imam menyatakan setiap bid’ah (secara syar’i) adalah kesesatan.
Lafaz “Kullu” dalam hadist, “kullu bid’atin dhalalatun…”, menurut orang Arab asli adalah artinya ‘semua’.
kalo antum nanya kepada bukan orang arab asli yaa mungkin dia bilang tidak semua bid’ah (istilah syari) adalah sesat.
5. —- Masalah fitrah, ini sungguh aneh pakai bawa-bawa orang kafir pula.
Mengangkat tangan waktu berdoa itu adalah sunnah. masalah fitrah itu hanya pendapat saja, tidak bisa dijadikan dalil. —
Mengenai Allah berada diatas langit maka dalilnya sudah jelas dari Al Quran dan Sunnah seperti yang dijelaskan Akhul Kirom Ajam yang membawakan perkataan Imam Malik. Istiwa’ ma’lumun wa kayfiyatu majhulun, bertanya mengenainya Bid’ah.
adapun fitrah adalah sumber pendukung dari Al Quran da Sunnah serta Ijma.
Wallahu ‘alam.
@donpay
saya rasa pembicaraan saya dengan mas ajam sudah menjelaskan masalah akidah, asma wa shifat.
Saya hanya mau memberitahukan ente bahwa ulama salaf dan khalaf termasuk ibnu taimiyah sendiri dan ulama wahabi juga telah melakukan takwil.
Masalah bidah, ulama wahabi juga membagi bidah menjadi bidah dunia dan bidah agama.
Saya rasa tidak ada penjelasan yang bisa jelas selain hanya sebuah pendapat dengan rasa fanatisme yang mengatakan akidah asy ariyah bukan termasuk ahlussunah, lalu mengatakan golongannya lah yang ahlussunah.
Saya rasa perilaku dan perbuatan yang berakibat fitnah ini bukanlah perilaku pengikut salaf.
Saya sarankan anda untuk belajar memahami agama secara menyeluruh dan lengkap.
Saya rasa tidak ada yang perlu saya diskusikan lagi, karena hanya mengulang-ngulang saja.
Dianth
1. PERKATAAN IMAM AL IMAM ABU HANIFAH
Abu Hanifah berkat : ” Sesungguhnya Allah di Langit bukan di Bumi”. (lihat Al-Uluw karya Adz Zahabi dan al asma’ wash Shifat karya Al-Baihaqi.
2. PERKATAAN al Imam MALIK
beliau berkata : “Allah di langit dan Ilmu Nya di setiap tempat, tiada satu tempat pun yang luput dari Ilmu Nya”. (lihat Asy Syariah karya Al Ajurri, Syarah Ushul I’tiqod karya al Laalikai)
3. Perkataan al Imam Asy Syafii
beliau berkata : …Dan bahwa Sesungguhnya Allah di atas ‘Arasy di atas Langit. Dia mendekati hambaNya sesuai cara yang Dia kehendaki dan Dia turun ke Langit dunia sesuai cara yang Dia kehendaki.” (lihat Itsbat Shifatil ‘Uluw karya Ibnu Qudamah dan Al Uluw karya az zahabi)
4. Perkataan Al Imam Ahmad Bin Hambal
Beliau berkata :” Ya, Allah di atas Arasy, dan Ilmu Nya tidak satupun tempat yang tersembunyi.” (lihat Mukhtashor Al- Uluw karya Adz Dzahabi dan Syarh Ushul I’tiqod karya al Lalikai)
Berkata al Imam Abul Hasan Al Asy’ari dalam kitabnya, Risalah ila Ahli Tsaghor.
“Bahwasanya sesungguhnya Allah Ta’ala di atas segal langit di ata Arsy, bukan di Bumi….”.
Donpay, anda bisa lihat penjelasan saya pada mas Ajam.
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Ketika Para Mujtahid [ katakanlah Mujtahid Mutlaq yang 4 ] ber IJTIHAD…dan dari hasil ijtihadnya itu terdapat cacat atau kesalahan , maka dalam satu riwayat orang yang ber ijtihad tadi mendapatkan nilai 1 ( satu ) , nilai 1 ( satu ) ini hanya untuk Mujtahid tadi , bukan untuk yang bertaqlid atau ‘ittiba kepadanya , dan apabila orang yang mengikuti fatwanya tunduk dan mengamalkannya , maka pengikut tadi jadi TERKUTUK , karena berjalan diluar rel yang telah disepakati oleh mayoritas Ulama.
AlBani / Abdul Wahab- apakah beliau menguasai ilmu untuk berijtihad , apabila ternyata FATWA dari hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan Hadits yang sudah mapan, maka gelar Muhaditsun untuk AlBani / Abdul Wahab otomatis batal.
Timbul pertanyaan , apakah AlBani dan Abdul Wahab lebih mulya dari Imam Ahmad bin Hambal, sehingga begitu mati-matian membela mereka berdua…???…sementara Imam Ahmad bin Hambal hanya dijadikan sebagai perisai. [ hanya mengambil gelar Ahsussunah wal Jamaah nya saja ].
Kita ber Agama itu untuk supaya selamat sampai akhirat nanti ,
Apabila Ulama yang kita ikuti itu punya Akhlak yang goncang [ istilah Abu Jauza :Mudzabdzab atau Al-Kadzdzab ] untuk apa kita bela dan kita jadikan mascot.
Pertanyaan kemudian , apabila AlBani dan Abdul Wahab itu tidak ada dukungan dan didanai oleh KSA [ Kerajaan Saudi Arabia ] dalam menyebarluaskan faham Mudzabdzab atau Al-Kadzdzabnya…apakah bisa sampai ketelinga kita dan diangkat kemudian sangat dimulyakan oleh para Fans Manianya.
Apabila Aqidah [ Faham ] Ibnu Tamiyah tidak dibesarkan oleh Keluarga ALLUSI al-Hanafi di India , apakah bisa dikenal sebagai Syaih al Islam.
Awalnya …Faham Abdul Wahab dan Ibnu Taimiyah itu adalah Madzhab Imam Hambali , tapi setelah AlBani muncul , seluruh fatwanya mengadopsi dari Imam Hanafi , dicampur dengan fatwa dari Dzahiri – Mu’tazili , bahkan Injil dan Zabur [ yahudi ] pun turut dicampur aduk dan di abadikan dalam Aqidah Salafi / Wahabi.
Bagaimana mungkin , sesama Salafi / Wahabi saling caci maki – saling mengkafirkan apabila Aqidah yang mereka usung itu adalah yang akan menuntun ke jalan yang lurus.
Bagaimana mungkin antara fatwa AlBani – Bin Baz – Usaimin – Ibnu Taimiyah bisa saling silang saling kecam dan saling kafirkan.
AlBani / Bin Baz sangat mengecam Taqlid , tapi kenapa yang ngekor pada mereka begitu gigihnya membela dan membenarkan Fatwanya yang nyata-nyata bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
lalu tujuan ME WAHABI KAN masyarakat itu apa…….???…masyarakat sudah tahu kejanggalan Aqidah Salafi / Wahabi….maka sebaiknya para Simpatisan Salafi / Wahabi itu banyak-banyak ber Istighfar.
Syaikhul Islam Ibn Al-Qoyyim Al-Jawziyah berkata dalam I’lamu Al-Muwaqqi’in juz I\hal. 44, dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata:
’’ Jika seseorang memiliki kitab karangan yang didalamnya termuat sabda Nabi saw, perbedaan Sahabat dan Tabi’in, maka ia tidak boleh mengamalkan dan menetapkan sekehendak hatinya sebelum menanyakannya pada Ahli Ilmu, mana yang dapat diamalkan dan mana yang tidak dapat diamalkan, sehingga orang tersebut dapat mengamalkan dengan benar ”.
لا تجتمع هذه الأمة على ضلا
“Umat ini tidak akan bersepakat diatas kesalahan.”
(HR. Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah)
Wassalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
http://thesaltasin.wordpress.com/category/al-quran-teks-dan-terjemahan/
udeh jadi pada debat. ahlusunah sama wahabi ga bakalan nyambung,
kalu ane ketemu orang wahabi kaya yang najam tau sape tuh. ane ihlas masuk penjara asal ane bisa matiin tuh orang.
apalagi ame orang wahabi gedeg beud ane.
Bodohnya….. bodohnya…. debat ga karuan… yang satu merasa benar, yg satu lagi merasa benar. Mungkin inilah yg dikatakan orang mengenal agama utk mengenal tuhannya tapi malah menjadi jauh dari tuhan… jaman bar bar dan jahiliyah terulang.
Ya Alloh fitnah (najd) yang RosulMu kabarkan kepada kami telah sampai pada masa kami..Ya Alloh jangan Kau temukan kami dengan dajjal, karena keluarnya dajjal berarti seburuk2 nya umat..peliharalah ulama kami..karena dengan meninggalnya ulama, hilang pula ilmuMU..
kaum muslimin sekalian, bagaimanapun kalian menasehati percuma.
mata, telinga, hati mereka tertutup karena dajjal bersama mereka.
Andaikan saya ada dijaman Abdul Wahab, dan mengetahui akhirnya menjadi fitnah bagi umat Islam, niscaya saya akan bunuh dia..!!!
kalian WAHABI benar2 dalam kesasatan yang nyata.
sebelumnya mohon maaf……………
cb kita ber andai andai sedikit saja..
seumpama sejarah berkata lain.. bahwa kala itu keluarga Su’ud gagal menguasai hijaz… praktis maka pengelolaan Al-Haromaini akan berada pada kesultanan turki ustmani.. dan tentu saja makam Albaqi akan tetap berada pada keadaannya, tidak berubah kala itu…dan mungkin kini akan lebih megah indah nan ramai….
bisa dibayangkan bagaimana keadaan jamaah hajji kini yang jumlah dan etnisnya semakin banyak….para jama’ah hajji (termasuk Indonesia dan Jawa) yang datang ke Al-Madinah, tentu akan berbondong bondong mendatangi makam para shahabat itu satu demi satu….
dengan beragam niat dan tujuan,, ada yang datang karena sekedar saking rindunya dengan para sahabat nabi yang mulia,, ada yang berdo’a,,, istighosah bersama….,, bertawashul.. bahkan mungkin akan tidak sedikit yang berlebihan dalam doanya.. memohon justru bukan kepada Allah semata namun dengan para sahabat yang Mulia…
dan mungkin makam Rosulullah sendiri akan di buatkan tempat khusus yang bisa menampung banyak jamaah untuk sekedar berdo’a, menangis, bertawasul di dekat makamnya…
meski tidak sedikit pula yang akan senantiasa meluruskan aqidah dan niat manakala mendatangi makam orang2 mulia tersebut…
saya khawatir akan hal ini,, mengingat masyarakat jawa khususnya, apa yang mereka lakukan pada makam2 orang2 sholih terdahulu di tanah jawa….
sebagai generasi yang tumbuh di akhir zaman saya merasa tidaklah pantas menyalahkan orang2 sholih terdahulu… yang tentunya apa yang mereka fatwakan sudah berdasarkan kajian mendalam terhadap sunnah…
dan fatwa memang tidak selalu benar tepat dan disukai banyak fihak….
Wallahu ‘a’lam bishowab…
Sebaiknya janganlah berandai-andai. Lebih baik ambil pelajaran (hikmah) dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla