Marilah kita kaji tafsir (al Ahqaaf [46]:11 ) dari kitab tafsir Ibnu Katsir
Sehubungan dengan kaidah tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yakni “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) marilah kita kaji bagian yang termuat dalam kitab tafsir Ibnu Katsir pada saat menafsirkan QS (al Ahqaaf [46]:11 ).
Sengaja dimuat dalam terjemahan dalam bahasa Indonesia agar banyak yang dapat mengkaji, memahami dan menarik kesimpulan apakah kaidah “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) ada kaitannya dengan tafsir (QS al Ahqaaf [46]:11 )
*****awal kutipan ******
“Firman Allah ta’ala, “waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khoiron maa sabaquunaa ilaihi “Yakni, mereka berbicara tentang orang-orang yang beriman kepada al-Qur’an :”Seandainya al-Qur’an itu baik, niscaya orang-orang itu tidak akan mendahului kami beriman kepadanya”
Yang mereka maksudkan adalah Bilal, ‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum lemah, para budak dan hamba sahaya, karena mereka (orang-orang kafir) berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah dan perhatian dari Nya. Padahal mereka telah melakukan kesalahan yang nyatanya
******
Sedangkan Ahlusunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perbuatan dan ucapan yang tidak ada dasarnya dari Sahabat Rasulullah adalah bid’ah, karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita, sebab mereka tidak pernah mengabaikan suatu kebaikanpun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya
******Firman Allah ta’ala:
“Wa idz lam yahtaduu bihii” , “Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, “yakni dengan al-Qur’an.
“fa sa yaquuluuna haadzaa ifkun qadiim” , “yaitu, kebohongan yang sudah lama atau diwariskan dari orang-orang terdahulu. Artinya, mereka merendahkan al-Qur’an dan orang-orang yang berpegang padanya. Demikian lah kesombongan yang pernah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam “tidak menerima kebenaran dan merendahkan orang lain”
***** akhir kutipan *******
Menurut pendapat kami dari perbedaan makna khoiron antara QS Al Ahqaaf [46]:11 dengan khoiron pada kaidah bid’ah tanpa dalil sudah dapat kita mengetahui ketidak-terkaitannya
Khoiron pada kaidah bid’ah tanpa dalil adalah segala hal yang baik atau benar
sedangkan
khoiron pada QS Al ahqaaf [46]:11 adalah jika Al Qur’an/Islam adalah kebaikan atau kebenaran.
Hal ini dikatakan pula oleh
Qutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam (Diriwayatkan Ibnu Jarir)
Ayat tersebut justru menjelaskan bahwa para Sahabat “melakukannya” sedangkan orang kafir tidak “melakukannya”.
Para Sahabat “mengamalkannya” sedangkan orang kafir tidak “mengamalkannya”
Para Sahabat beriman pada Al Qur’an sedangkan orang kafir tidak beriman pada Al Qur’an
Menurut pendapat kami, mustahil hal yang baik itu hanyalah apa yang dilakukan / dicontohkan oleh para Sahabat.
Bagaimanakah hal-hal baik yang dilakukan oleh orang-orang sholeh terdahulu sebelum kehidupan para Sahabat atau Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
“dan Zakaria, Yahya, ‘Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh” (QS Al An’aam [6]:85 ).
Amal sholeh (amal kebaikan) adalah sikap atau perbuatan yang sesuai atau tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits walaupun belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah maupun para sahabat atau dengan kata lain untuk mereka sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjadi amal sholeh (amal kebaikan) adalah sikap atau perbuatan yang sesuai atau tidak bertentangan dengan petunjukNya walaupun belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah maupun para sahabat.
Jadi semakin jelas kekeliruan kaidah “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) bahwa hal yang baik hanyalah apa-apa yang dilakukan oleh para Sahabat. karena bagaimana orang-orang terdahulu bisa dikatakan baik (sholeh) seperti Zakaria a.s, Yahya a.s, Isa a.s dan Ilyas a.s sedangkan para Sahabatpun belum lahir.
Oleh karena kita umatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, hal yang wajib sesuai sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Sahabat hanyalah sebatas yang telah disyariatkan atau ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla atau ketaqwaan, menjalankan segala perkara hukumnya wajib (ditinggalkan berdosa) yakni kewajiban dan menjauhi segala perkara hukumnya haram (dikerjakan berdosa) yakni larangan/batas dan pengharaman.
Sedangkan untuk amal kebaikan (amal sholeh) atau sunnah dilakukan sesuai dengan kesadaran dan keinginan kita asalkan tidak bertentangan dengan al Qur’an dan hadits kecuali sunnah muakad (sunnah yang diutamakan) , kita diutamakan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Sahabat.
Oleh karenanya kita tidak pernah menemukan perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa bersholawat wajib sebagaimana yang Rasulullah sampaikan jika berlainan maka akan tertolak.
Begitupula dalam berdzikir atau berdoa tidak pernah diwajibkan sebagaimana yang Rasulullah sampaikan jika berlainan maka akan tertolak.
Kita tidak boleh berinovasi atau berkreasi dalam syariat atau ketaqwaan atau ibadah yakni amal yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai “mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“yang mendekatkan kamu dari surga” = kewajiban, “menjauhkanmu dari neraka” = batas/larangan, pengharaman
Sedangkan amal kebaikan atau amal sholeh adalah amal yang membuat Allah ta’ala mencintai hambaNya.
“Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal ibadah yang lebih aku cintai dari pada perkara yang Aku wajibkan. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah (amal kebaikan / amal sholeh) hingga Aku mencintainya“. (HR Bukhari)
Yang dikatakan oleh Allah ta’ala sebagai “yang Aku wajibkan” adalah ketaqwaan sedangkan yang dikatakan sebagai “amalan sunnah hingga Aku mencintainya” adalah amal kebaikan atau amal sholeh.
Dapat kita simpulkan dari sejak Nabi Adam a.s sampai akhir zaman nanti, amal sholeh adalah segala sesuatu yang sesuai atau tidak bertentangan dengan petunjukNya.
Hal ini telah pula kami uraikan dalam tulisan kami sebelumnya pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/20/jika-itu-baik/
dan
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/05/bidah-yang-sesat/
Mereka sering teriak ahlul bid’ah kepada muslim lainnya namun pada kenyataannya mereka melakukan bid’ah yang jelas-jelas sesat karena tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan Hadits. Kebenaran itu hanyalah berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits karena kebenaran hanyalah datang dari Allah Azza wa Jalla.
Ijma, atsar, fatwa dan kesepakatan ulama lainnya yang merupakan hal baru dalam kewajiban (perkara hukumnya wajib, jika ditinggalkan berdosa) dan hal baru dalam batas/larangan dan pengharaman (perkara hukumnya haram, jika dikerjakan berdosa) harus berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits.
Pembuat larangan tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Hadits dan mereka yang mentaati larangan tersebut, sama saja telah melakukan kekufuran karena menyembah diantara manusia.
“Betul! Tetapi mereka itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Kajian atau tulisan ini kami sampaikan dalam rangka mengingatkan dan menghindari kekufuran , kesesatan karena bid’ah dlolalah yang akan mengakibatkan bertempat di neraka dan menyia-nyiakan amal perbuatan selama ini.
Marilah kita sebarluaskan penjelasan kekeliruan selama ini dan hentikan penggunaan kaidah “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) untuk melarang amal kebaikan (amal sholeh) karena kaidah ini tidak berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits
Alangkah indahnya peringatan Isra Mi’raj, Maulid Nabi, dll tanpa ada satupun ulama yang melarangnya dan kembali berkumandang amal kebaikan (amal sholeh) seperti sholawat badar dan lain-lain yang pada ujungnya akan tegak kembali ukhuwah islamiyah dan tidak ada lagi umat muslim yang menyempal dari jama’ah sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/13/merekak-yang-melesat/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor, 16830
Alhamdulillah bang Zon tambah mantab insyaAlloh ikut nyebarin ……..
Bukankah yang berkata seperti itu adalah orang kafir ya:
Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. (Q.S. 46:11)
perlu pemahaman yang lebih baik
pembahasan yang terlihat lengkap dan menyeluruh, namun menurut saya salah kaprah, maaf. dalil yang bapak zon sampaikan kurang tepat. kondisi yang berbeda tidak dapat diterapkan sebagai qiyas; perkataan dalam ayat Al-Qur’an ttg orang2 kafir yang menentang Rasulullah dengan mengatakan
“Firman Allah ta’ala, “waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khoiron maa sabaquunaa ilaihi “ Yakni, mereka berbicara tentang orang-orang yang beriman kepada al-Qur’an :”Seandainya al-Qur’an itu baik, niscaya orang-orang itu tidak akan mendahului kami beriman kepadanya”
==> dalil sesungguhnya bahwa setiap amalan haruslah mengikuti Rasulullah saw. sementara istilah tidak tepat “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya). Bukan bersumber pada sahabat melainkan pada Rasulullah saw.
***Oleh karenanya kita tidak pernah menemukan perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa bersholawat wajib sebagaimana yang Rasulullah sampaikan jika berlainan maka akan tertolak.
Begitupula dalam berdzikir atau berdoa tidak pernah diwajibkan sebagaimana yang Rasulullah sampaikan jika berlainan maka akan tertolak.
==> “man salaka thoriqon laisa minni fahuwa roddun”—barang siapa yang mengambil jalan selain dariku, maka tertolak—
bid’ah adalah mengada2kan hal baru dalam syariat yang telah ditentukan Allah dn dicontohkan Rasulullah saw. jika Maulid Nabi tidak dianggap sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam, tentu saja itu bukan termasuk bid’ah. namun jika membaca shalawat atau dzikir dengan bilangan tertentu dengan bertujuan khusus dan tidak berdasar pada hadits shahih; itu salah satu contoh bid’ah.
bapak sendiri telah menyampaikan ***Kita tidak boleh berinovasi atau berkreasi dalam syariat atau ketaqwaan atau ibadah yakni amal yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai “mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
==> jika bid’ah dikatakan hanya pada “perkara amalan selain mendekatkan dari surga dan menjauhkan dari neraka”; lalu apapula niat kita melakukan sekian banyak amal sheleh jika tidak ingin didekatkan/ masuk ke surga? semua amal shaleh pastilah ingin mendapat ridha Allah swt, agar memperoleh bekal kebaikan sebanyak2nya untuk di akhirat kelak.
***Pembuat larangan tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Hadits dan mereka yang mentaati larangan tersebut, sama saja telah melakukan kekufuran karena menyembah diantara manusia.
==>Qul inkuntum tuhib-bûnallâh fat-tabi’ûnî yuhbibkumullâh
Katakanlah: “Kalau kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan cinta kepada kalian…” (QS 3: 31)
‘Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati.'” (HR. Bukhori)
mohon maaf bila kurang berkenan
Mas Inas, bukan kami yang berdalil dengan firman Allah ta’ala, “waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khoiron maa sabaquunaa ilaihi “
Justru perkataan “LAU KAANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” dikatakan oleh Ibnu Katsir ketika beliau menafsirkan firman Allah ta’ala, “waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khoiron maa sabaquunaa ilaihi “
Apa kaitannya ?
Hal ini telah kami sampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/04/apa-kaitannya/ dan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/20/jika-itu-baik/
Sedangkan pembahasan kami tentang ibadah dan bid’ah silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/15/bidah-dan-ibadah/
saya bisa memahami maksud penulis artikel ini.
ibn katsir bisa dibilang tidak nyambung begitu ya?
subhanallaah..
karena penulis ingin membantah bahwa perayaan isra mi’raj, maulid, dll yang tidak pernah dikerjakan oleh para shahabat adalah bid’ah.
untuk itu, penulis yang lebih pandai dari ibn katsir ini ingin membatalkan kaidah agung ini.
silahkan penulis membuat ritual-ritual baru, meskipun para shahabat tidak melakukannya. hingga agama Islam sekarang ini sudah tidak lagi sama dengan agama yang diajarkan kanjeng nabi.
tahukah penulis, bahwasanya nabi muhammad merupakan penutup para nabi dan penyempurna syariat. syariat sebelumnya ditetapkan jika Allah menetapkannya kepada nabi Muhammad. dan syariat sebelumnya terhapus manakala Allah menghapusnya dan memberitahukannya kepada nabi Muhammad.
jadi, kaidah ini bukan berarti orang-orang shaleh sebelum zaman nabi muhammad dianggap salah. penulis ini salah faham rupanya…
Mas Yugo, kaidah yang agung adalah berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah.
Dalam tafsir Ibnu Katsir pada (QS al Ahqaaf [46]:11) tiba-tiba saja muncul paragraf yang tidak ada kaitannya dengan surah yang ditafsir yakni
“Sedangkan Ahlusunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perbuatan dan ucapan yang tidak ada dasarnya dari Sahabat Rasulullah adalah bid’ah, karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita, sebab mereka tidak pernah mengabaikan suatu kebaikanpun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya”
Paragraf ini tampaknya “disisipkan” oleh pihak-pihak tertenu
Sedangkan “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” lainnya dalam tafsir Ibnu Katsir dapat ditemukan lagi pada QS An-Najm ayat 38 dan 39
Namun pada halaman tafsir tersebut Ibnu Katsir berpendapat bahwa para Sahabat tidak pernah melakukan “pengiriman pahala bacaan al-Qur’an“. Sama sekali beliau tidak bermaksud membuat kaidah apalagi ayat yang dijelaskan/ditafsirkan tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan kaidah di atas
Selengkapnya telah kami jelaskan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/04/apa-kaitannya/
izin share ya ustadz.
Alhamdulillah, mas Bayu, silahkan dishare
Alhamdulillah penjelasan yang terperinci membuat ana semakin mantap
mewaspadai Bid’ah, syukron Ustadz…atas penjelasannya. dan ana teringat dengan adanya hadits yg datang dari: Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Dahulu orang-orang sering bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena aku khawatir hal itu akan menimpa diriku. Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya kami dahulu berada dalam masa jahiliyah dan keburukan, lalu Allah pun menganugerahkan kepada kami kebaikan ini. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?”. Beliau menjawab, “Iya, ada.” Aku bertanya lagi, “Apakah sesudah keburukan itu masih ada kebaikan?”. Beliau menjawab, “Iya, ada. Akan tetapi ada kekeruhan di dalamnya.” Aku pun bertanya, “Apakah kekeruhan itu?”. Beliau menjawab, “Yaitu suatu kaum yang mengikuti jalan akan tetapi bukan jalan/Sunnah yang aku tinggalkan, dan mereka mengikuti petunjuk tetapi bukan petunjuk dariku. Kamu bisa mengenali mereka dan mengingkarinya.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah kebaikan itu masih ada keburukan?”. Beliau menjawab, “Iya, ada. Yaitu para penyeru kepada pintu Jahannam. Barangsiapa yang memenuhi seruan itu maka mereka akan membuatnya terlempar ke dalam neraka.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Jelaskan kepada kami ciri-ciri mereka.” Beliau menjawab, “Ya. Mereka adalah sekelompok kaum dari kulit bangsa kita dan berbicara dengan bahasa kita.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana menurut anda jika aku mengalami hal itu, apa yang harus aku lakukan?”. Beliau bersabda, “Hendaknya kamu tetap bergabung dengan jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka.” Aku pun berkata, “Kalau ternyata tidak ada jama’ah/persatuan dan tidak ada lagi imam/pemimpin?”. Beliau menjawab, “Maka tinggalkanlah semua kelompok-kelompok yang ada, meskipun kamu harus menggigit akar pohon sampai kematian menjemputmu dan kamu tetap berada dalam keadaan seperti itu.” (HR. Bukhari no. 3606 dan Muslim no. 1847)
kalau dibolehkan ana minta izin mengcovas sebahagian artikel ustadz,,???
‘Jazakhallahu khair
Klo boleh tau, apa kekeliruannya dari menerapkan kaidah tsb? bukankah masuk akal, jika para sahabat saja tdk mengerjakan, kenapa kita mesti mengerjakan?
Bukankah mereka lebih berilmu, lebih paham akan firman Allah, lebih mengerti akan perkataan Nabi?
Bukankah dengan kita merasa apa yg kita lakukan itu baik, padahal para sahabat tdk pernah melakukannya, menunjukkan kita itu lebih berilmu dari para sahabat, lebih mengetahui dr para sahabat?
Mohon maaf jk pertanyaan saya kurang sopan, tp saya minta penjelasannya. Terima kasih
itu bukan kaidah mas , itu adalah Syia`r kaum Kafir untuk mengolok olok kaum muslimin , syia`r kaum Kafir itu dijadikan syia`r oleh kaum wahabi , mereka ( wahabiyun ) bertasyabuh dengan kaum Kafirin.
Termasuk tauhidnya wahabi yg dibagi tiga (trinitas) juga bertasyabuh dengan Trinitasnya kaum Nasrani.