Ada sebagian keyakinan atau i’tiqad saudara-saudara kita yang mengaku-aku mengikuti Salafush Sholeh dalam mengenal sifat-sifat Allah ta’ala dengan menterjemahkan nash-nash mutasyabihat secara dzahir atau yang kami katakan sebagai konsep/ metodologi “terjemahkan saja” sebagaimana tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/25/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Contoh, bagi keyakinan mereka Allah ta’ala mepunyai tangan mirip dengan paham firqoh Musyabbihah (pemahaman yang menyerupakan Allah dengan Makhluk) namun kaum Salafi Wahhabi “membatasi” dengan ayat muhkamat bahwa “Allah tidak menyerupai makhluk” sehingga menurut keyakinan mereka “Allah ta’ala mempunyai tangan namun tanganNya tidak serupa dengan makhluk”. Kesimpulan keyakinan ini “diambil” mereka dari nash-nash Al-Qur’an contohnya sebagai berikut,
“Tangan Allah di atas tangan mereka” (QS Fath [48]: 10)
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”. (QS.al-Syura [42]: 11 )
Perhatikan video http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15 mereka meyakini bahwa Allah ta’ala punya tangan namun tangan Allah ta’ala tidak serupa dengan makhluk.
Keyakinan seperti ini dapat menyebabkan alam bawah sadar mereka menjadi bertanya-tanya seperti “bagaimanakah atau seperti apakah yang dimaksud dengan tangan Tuhan tidak serupa dengan makhluk” . Padahal pertanyaan-pernyataan seperti ini terlarang karena ilmu manusia tidak dapat menjangkau Allah ta’ala, “Ilmu mereka (makhluk) tidak dapat meliputi Allah.” (Thaha [20]: 110)
Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, “Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad menyatakan:
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Begitu pula dengan keyakinan mereka menempatkan Allah ta’ala pada tempat yang jauh/tinggi mengakibatkan mereka tidak dapat mendalami lebih jauh mengenal Tuhan , mereka “berhenti” pada makna dzahir nash-nash tersebut. Mereka “terlarang” untuk lebih jauh dari makna tentang Allah ta’ala yang telah mereka yakini.
Mereka berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla bertempat di atas arsy
Mereka semakin sulit beriman dari tempat yang jauh.
Mereka semakin sulit dekat dengan Allah Azza wa Jalla, karena mereka menempatkan Allah Azza wa Jalla di suatu tempat yang jauh atau tempat yang berjarak.
Maha suci Allah dari “di mana” dan “bagaimana”
Maha suci Allah dari “bertempat”, “berarah” dan “berjarak”
Allah ta’ala sendiri yang menyampaikan tentang diriNya bahwa “Aku adalah dekat”
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Allah ta’ala adalah dekat tanpa bersentuh, Allah ta’ala adalah jauh tanpa berarah dan tanpa berjarak.
Allah ta’ala adalah dekat hanya dapat dikenal melalui hati atau hakikat keimanan
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.:
“Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Wassalam
Zon di Jonggol
semua itu kan menurut faham nt Zon…
lha wong yg menyatakan Alloh punya tangan,wajah.. jg Alloh sendiri.yg menyatakan Istiwa di atas Arsy jg Alloh…kalau yg di maksud istiwa adl istaula..kenapa Alloh tdk menggunakan kata “istaula” secara langsung..kasian anda…salah guru,salah faham..
mas @boy, Allah Azza wa Jalla tidak pernah menyatakan tentang diriNya bahwa “Aku punya tangan”. Allah memperkenalkan diriNya bahwa “Aku adalah dekat”. Ayat-ayat mutasyabihat artinya mempunyai makna yang lain atau bukan makna dzahir
Kalau belum tahu makna ayat-ayat mutasyabihat maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu. Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“…tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada
mengetahui.” (Al Anbiyaa’ [21]:7 )
sipp mas zon wahabi tu emang salah paham memaknai AlQuran.. salam ukhuwah dari Taufik, Bogor
waduh Insya Allah jangan sampai ane berfaham jisim/tajsim,…thanks kang zon pencerahannya..
alasan umum dan sederhana yang biasa digunakan kaum Mujassimah : lha wong yg menyatakan Alloh punya tangan,wajah.. jg Alloh sendiri.yg menyatakan Istiwa di atas Arsy jg Alloh , rupanya mereka lupa jika Allah pun menegaskan “Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya”. oleh karena itulah Salaf as-shalih menyatakan : “Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah”.
sebagaimana ditegaskan Imam Ali
“Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
tuhan menurut kaum Wahabi sebesar Arsy Naudzu Billah , semoga banyak yang tersadarkan dari Aqidah Tajsim Tasybih.
lupakah antum bahwa terusan dari ayat yang antum sampaikan itu adalah “Sesungguhnya Dia maha mendengar lagi maha melihat”.
kenapa antum tidak menganggap bahwa sifat mendengar dan melihat ini adalah menyerupakan Alloh dengan makhluq jika antum menganggap bahwa sifat wajah dan tangan itu adalah bentuk penyerupaan? padahal pendengaran dan penglihatan ini sama2 ada pada Alloh dan makhluq, hanya berbeda kaifiyahnya, sebagaimana wajah dan tangan juga sama2 ada pada Alloh dan makhluq, namun berbeda kaifiyahnya.
penegasan Imam Ali “Alloh ada tanpa tempat dan tanpa arah” itu berasal dari mana? sepanjang yang ana ketahui, perkataan itu berasal dari kitab As-Shohiifah As-Sajjadiyah yang merupakan kitab pegangan golongan Syi’ah Rofidhoh.
nah loh, ternyata aqidah antum sama dengan aqidah rofidhoh.
ajam jika seperti itu anda memahami larangan tasybih dan Tajsim , tentu akan sangat banyak sekali yang serupa dengan Allah.
Allah maha mendengar dan maha melihat , tidak ada suatu apapun yang menyerupainya.
pernyataan Imam Ali , jika Allah ada tanpa tempat disebutkan dalam kitab al-farq bainal firoq kitab ahlu sunnah , dan itu senada dengan sabda Nabi : Allah ada sebelum sesuatu ada (hr.bukhori 2953).
Wahabiyah lebbih parah mereka meyakini Allah duduk diatas Kursi , kaya aqidah Yahudi yah…?
justru karena antum memahami tasybih dan tajsim seperti itu, maka hampir semua sifat Alloh adalah tasybih dan tajsim. bukankah lebih aman memahami sifat Alloh seperti kami memahaminya, yaitu Alloh punya wajah namun tidak seperti wajah makhluq, sebagaimana Alloh punya pendengaran namun tidak sama dengan pendengaran makhluq.
lalu kenapa antum hanya menganggap bahwa tasybih dan tajsim itu hanya pada persoalan wajah, tangan, kaki, mata dll, sedangkan pendengaran, penglihatan, kuasa, kehendak dll tidak, padahal sama2 disebutkan dalam Al Quran dan As Sunnah?
Al Farq Bainal Firoq itu karya Abu Manshur Al Baghdadi. tentang hal ini ana punya 2 pertanyaan yang sangat penting untuk dijawab.
1) apakah Abu Manshur Al Baghdadi ini dikenal sebagai seorang ahli hadits?
2) bagaimana sanad atsar yang dibawakannya?
Mas Ajam, ingatlah selalu “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Selain itu imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”
Mas Ajam, wajah, mata, tangan, kaki, bertempat, mempunyai bayangan bukanlah sifat dari Allah Azza wa Jalla.
Termasuk mempunyai pendengaran dan mempunyai penglihatan bukanlah sifat dari Allah Azza wa Jalla. Sifat Allah Azza wa Jalla adalah Maha Mendengar (As Sam’u) dan Maha Melihat (Al Basharu)
benarkah ada pernyataan wahabi bahwa Alloh duduk di kursi? coba antum sebutkan siapa ulama wahabi yang berkata demikian?
masih segar ingatan ana bagaimana kejinya tuduhan dusta yang dialamatkan pada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu tuduhan bahwasanya beliau berkata Alloh turun ke dunia sebagaimana sifat turun dirinya dari mimbar.
yah, begitulah Asy’ariyah. senjatanya hanya hadits lemah dan palsu, kisah khurofat, tanpa sanad, dongeng, tuduhan dusta dan mengada-ada.
mas mutiarazuhud
perkataan itu berasal dari orang2 kholaf, sedangkan orang2 salaf malah berkata sebaliknya.
dan salaf terbaik umat ini, yaitu Rosululloh juga memahami ayat2 Alloh sesuai dhohirnya. contohnya:
setelah Abu Huroiroh membaca QS An Nisa 58, “Maha Mendengar lagi Maha Melihat”, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meletakkan ibu jarinya pada telinganya, dan jari telunjuknya ke matanya” (Abu Daawud no. 4728)
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar dan tokoh-tokoh masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan tangannya ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40].
mungkin yang harus dipertanyakan adalah, bagaimana antum mengatakan bahwa sifat2 Alloh itu adalah ayat2 mutasyabihat? dan kenapa yang dianggap mutasyabihat itu hanya sifat wajah, tangan, kaki, betis, mata dll sedangkan sifat kehendak, kuasa, mendengar, melihat dll dianggap sebagai ayat muhkamat?
apa kaidah yang membedaka kedua jenis sifat Alloh ini?
Mas Ajam, isyarat langit atau “di atas” adalah untuk kemulian bagi Allah Azza wa Jalla.
Seluruh perkataan/pendapat ulama Salaf atau seluruh lafadz-lafadz atau dalil naqli yang diterjemahkan sebagai Allah ta’ala “di langit” atau Allah ta’ala “di atas ArsyNya” atau “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy” (QS Thaha, [20]:5 ) sebaiknyalah tidak dipahami sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla atau keberadaan bagi dzatNya.
Hakikat “di langit”, “di atas” bukanlah sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla namun sebagai peruntukan atau pengagungan bagi Yang Maha Tinggi (Al ‘Aliy) dan Yang Maha Mulia (Al Jaliil)
“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Hadid [57] : 1 )
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan/mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
MAs Ajam, lebih lanjut silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/24/asma-wa-sifat/
mas Ajam kalau Alloh dilangit …..kira2 langit sebelah mana ya ??? soalnya bumi ini kan dikelilingi langit @ mas Ajam mohon pencerahannya ……
wkwkwk …..punya keyakinan kok ditanya nggak jawab ya ???
ajam bodoh, karna sesungguhnya Allah melihat dan mendengar tidak butuh mata dan telinga.. sementara kalau duduk, wajah tangan pasti butuh bentuk, ngerti kamu
Ijin share
Alhamdulillah, mas Budi, silahkan di sharing
ajam , apakah tercela jika mengatakan Allah duduk….?
sepanjang sepengetahuan ana, tidak ada dalil yang menyebutkan sifat duduk bagi Alloh dan tidak ada salaf yang mentakwil sifat istiwa’ kepada makna duduk. jadi, iya hal itu adalah tercela. wallohu ‘alam.
dari mana antum mendapati perkataan ulama wahabi yang menetapkan sifat duduk bagi Alloh?
`ajam , meskipun ada kesamaan dengan aqidah Yahudi bahwa Allah duduk , tolong jangan terburu-buru menghakimi / memvonis pernyataan Allah duduk dengan ” tercela ” sebab yang nulis dan yang meyakininya adalah pembesar-pembesar wahabi , tolong pikirkan lagi baik-baik sebelum mengatakan hal itu tercela, jika sudah dipikirkan matang silahkan jawab , tercela atau malah terpuji , ana tunggu jawabannya , gak usah tergesa gesa.
bicara dengan antum sama sekali tidak membawa manfaat. hanya berisi dusta dan dusta.
sebaiknya antum langsung cek saja kesini:
Ada yang berkeyakinan bersemayam adalah duduk. Ada pula yang berkeyakinan bertempat atau berada di atas ‘Arsy walaupun mereka menyerahkan maksud bertempatnya selayaknya bagi Tuhan.
Namun Allah Azza wa Jalla tidak membutuhkan tempat atau ‘Arsy.
Ulama sepakat menterjemahkan istawa dengan bersemayam karena bersemayam juga mempunyai arti menguasai. Ustadz Ahmad Daerobiy menuliskan bahwa “Bersemayam maksudnya Menguasai ‘Arasy, sebagaimana seorang raja duduk diatas kursi singgasananya mangandung makna menguasai atau penguasa. Karena ketika kata “bersemayam” diartikan mentah maka akan terbayang Allah sedang bersemayam dan ini membuat kufur, keluar dari agama Islam, menyerupakan sesuatu dengan Allah. Istawa yang artinya bersemayam disebutnya kalimat Majaz.” silahkan baca tulisan beliau pada http://arbabulhija.blogspot.com/2010/10/allah-swt-tidak-terhalang-untuk.html
Uraian kami yang terkait hal ini silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/24/asma-wa-sifat/
`ajam , jadi gimana sifat ” duduk ” itu tercela tidak…..? dan maaf , yang saya maksud pembesar wahabi disini bukan hanya bukan Ibnu taymiyah.
mas mutiarazuhud
di atas sudah ana sebutkan bahwa ketika dibacakan ayat Al Quran “Alloh maha mendengar dan maha melihat”, Rasulullah memberikan isyarat pada telinga dan matanya. hal ini bukan berarti Rasulullah menyerupakan teling dan mata beliau dengan pendengaran dan penglihatan Alloh, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa pendengaran dan penglihatan Alloh itu adalah hakiki.
begitu pula Umar menunjuk jarinya ke atas ketika menyebutkan bahwa Alloh yang membuat hukum. ini pun juga menunjukkan bahwa atas atau langit adalah makna yang hakiki.
mas mamo
langit sebelah mana yah? ana bertawaquf saja karena Al Quran dan As Sunnah tidak menyebutkannya. yang jelas hanya disebutkan Alloh di atas langit. (titik)
mas ahmad
ya sebutkanlah siapa orangnya? sejak kemarin kan ini yang ana minta?
sudahkah antum membuka link yang ana sebutkan? disitu ada juga pendapat Syaikh Utsaimin. beliau hanya menetapkan bahwa Alloh istiwa di atas ‘Arsy dan bagaimana kaifiyah istiwa’ itu beliau bertawaquf. entah itu dengan duduk, berdiri, berbaring, atau yang lain hal itu tidak diketahui dan tidak usah ditanyakan. kita berhenti saja dengan perkataan “Alloh istiwa’ di atas ‘Arsy/di atas langit”.
`ajam , jika antum meng-Imani dan memahami firman Allah : laitsa kamistlihi syai ” niscaya antum tidak akan mengatakan ” yang jelas hanya disebutkan jika Allah di langit”.
@ mas Ajam itulah pemahaman yang rancu ………kenapa di Al Qur’an dan As Sunah tidak disebutkan ????? kalaulah hal tsbut benar pasti dah disebut di Al Qur’an atau As Sunnah dgn jelas dan Gamblang ……kan nggak mungkin kedua sumber itu yang keliru ……jelas pemahaman nt dan syeikh nt yang keliru ……nggak semua logika manusia sanggup memahami ayat2 Alloh ta ala kecuali hanya orang 2 yang dikehendaki , orang2 pilihan , kekasih Nya wallohu.alam
yg rancu adalah otak antum sendiri. ana cuma menyebutkan sebagaimana Al Quran dan As Sunnah menyebutkan dan ana berhenti dimana para sahabat berhenti dari perkataan yang mengada-ada.
Al Quran dan As Sunnah hanya menyebutkan Alloh di atas langit / di atas ‘Arsy dan para sahabat tidak membuat-buat perkataan nyeleneh seperti langit sebelah sana, langit sebelah situ, ‘Arsy disana, ‘Arsy disitu, dll.
bukankah akan lebih selamat bagi antum jika berkata sebagaimana para sahabat berkata, misalnya budak wanita yang ditanyai Rasulullah “Dimana Alloh?” lalu dia menjawab “Di atas langit”. ada lagi Zainab yang sangat membangga-banggakan pernikahannya dengan Rasulullah dan berkata “Aku dinikahkan Alloh dari atas langit ke tujuh”. ada lagi Abu Bakar ketika Rasulullah wafat berkata “Jika yang kalian sembah adalah Dzat yang di atas langit, niscaya Dia tidak akan mati”. dan lain2.
emang sahabat Rosul SAW menyikapi ayat mutasyabihat seperti apa….?
kalau maknanya dhohir pasti bisa jawab @jam ……..
saya sudah buka link yang ajam kasih , hanya sayang sang admin biawak (dobdob) mengatakan jika hal itu sekedar rumor padahal itu adalah fakta , dua pembesar Wahabi menyatakan hal yang sama jika Allah duduk di Arsy , yang satu lagi bilang Allah duduk di Kursi.
ajam kenapa aqidah wahabi kaya aqidah Yahudi ya….?
tentang apa yg antum bicarakan? maksudnya tentang kisah yang ditulis oleh Ibnu Batutah yang mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah menyerupakan sifat duduknya sifat istiwa’ Alloh dan menyerupakan sifat turunnya dengan sifat nuzul Alloh?
soal pernyataan para pembesar wahabi, bahwa Allah duduk di kursi yang satu lagi bilang Allah duduk di arsy, menurut pemahaman ajam tercela tidak….?
al akh ahmad
antum berkata:
`ajam , jika antum meng-Imani dan memahami firman Allah : laitsa kamistlihi syai ” niscaya antum tidak akan mengatakan ” yang jelas hanya disebutkan jika Allah di langit”.
ana jawab:
yah, kalo antum memotongnya hanya sampai “laisa kamitslihi syaiun” ya begitulah pemahaman antum. tapi kalo antum meneruskannya sampai “wa huwa samii’ul bashiir”, niscaya tidak akan kebingungan seperti itu.
antum berkata:
emang sahabat Rosul SAW menyikapi ayat mutasyabihat seperti apa….?
ana jawab:
ana kira kita semua sepakat tentang bagaimana menyikapi ayat mutasyabihat. adapun yg menjadi polemik adalah bagaimana menyikapi ayat2 tentang asma wa shifat. golongan antum menganggap itu adalah termasuk ayat mutasyabihat, sedangkan golongan kami menganggap itu adalah termasuk ayat muhkamat.
pertanyaan antum seharusnya adalah, “bagaimana para sahabat dalam menyikapi ayat2 tentang asma wa shifat?”
antum berkata:
soal pernyataan para pembesar wahabi, bahwa Allah duduk di kursi yang satu lagi bilang Allah duduk di arsy, menurut pemahaman ajam tercela tidak….?
ana jawab:
ana tidak bisa menjawabnya karena antum belum menyebutkan siapa pembesar wahabi itu, bagaimana perkataannya, dan dalam kitab apa mereka mengatakannya.
“Laisa kamitslihi syai un fil ardhi walaa fissamaai..” membawa pengertian: Tidak ada di dalam sesuatu, tidak ada sesuatu di dalamnya, tidak ada di atas, tidak ada di bawah, tidak ada di kiri, tidak ada di kanan, tidak ada di hadapan dan tidak ada di belakang. Jauh tidak berantara, dekat tidak bersentuh hanya meliputi sekelian alam tanpa masa, tanpa zaman, tanpa terhingga, tanpa sekarang, tanpa kemudian, tanpa bersebati dan tanpa bersatu….
Allah SWT adalah “kesudahan” segala sesuatu dan tiada kebahagiaan tanpa kesudahan itu. Kita diciptakan untukNya…berada di sampingNya… supaya kita menjadi tatapan pandanganNya dan Allah SWT menjadi tujuan pandangan kita. DIA tidak rela kita hambaNya hanya berada dalam kedudukan berzikir sahaja, atau ibadah sahaja, maka didirikanNya pintu-pintu dan jalan-jalan, DIA sampaikan kita agar dapat mencapai untuk melihatNya,
sebagaimana firmanNya dalam Surah Al-Insyiqaaq 84: 6 :
“Hai manusia, sesungguhnya engkau telah bersusah payah dengan kegiatan kerjamu untuk menuju Tuhanmu, maka pastilah engkau akan menjumpaiNya”
antum berkata:
yah, kalo antum memotongnya hanya sampai “laisa kamitslihi syaiun” ya begitulah pemahaman antum. tapi kalo antum meneruskannya sampai “wa huwa samii’ul bashiir”, niscaya tidak akan kebingungan seperti itu.
ana jawab : ayat itu sudah sangat populer ditelinga jadi tidak dilanjutkanpun tentu semua sudah hafal kelanjutannya , kenapa ajam bingung dengan ayat yang populer itu…? ala kulli hal tidak ada maksud ana memotong untuk mengalihkan makna ayat itu.
antum berkata:
ana kira kita semua sepakat tentang bagaimana menyikapi ayat mutasyabihat. adapun yg menjadi polemik adalah bagaimana menyikapi ayat2 tentang asma wa shifat. golongan antum menganggap itu adalah termasuk ayat mutasyabihat, sedangkan golongan kami menganggap itu adalah termasuk ayat muhkamat.
pertanyaan antum seharusnya adalah, “bagaimana para sahabat dalam menyikapi ayat2 tentang asma wa shifat?”
ana jawab : tolong jelaskan menurut golongan antum ayat Mutasyabihat itu seperti definisinya , kalau menurut Ulama Asy`ariyah ayat Mutasyabihat itu ada dua 1. ayat yang sama sekali tidak diketahui maknanya seperti alif lam mim , kaf ha ya ain shad dll , 2. ayat yang mengandung banyak arti seperti Yad , istawa , a`yun dll. silahkan sampaikan ayat mutasyabihat menurut golongan antum.
antum berkata:
ana tidak bisa menjawabnya karena antum belum menyebutkan siapa pembesar wahabi itu, bagaimana perkataannya, dan dalam kitab apa mereka mengatakannya.
ana jawab : yang mengatakan Allah duduk di dikursi , disebutkan dalam kitab ” Fathul Majid ” hal. 356 penulis Abdurrahman bin hasan bin muhammad bin abdil Wahhab. Cet. Darusalam riyad. begitu juga Abdul aziz ar-rojihi mengatakan dalam tulisannya ” kitabu sunnah j 1 hal 105″ jika Allah duduk di Arsy` , dan dia mendapat pujian dari soleh Fauzan . silahkan dijawab hal itu tercela atau tidak…?
menurut para sahabat Rasulullah dan yang kemudian kami ikuti, ayat2 tentang sifat Alloh bukanlah mutasyabihat, melainkan muhkamat. hal itu karena 2 hal:
1) ayat2 tersebut merupakan kosakata dalam bahasa arab, sedangkan Al Quran diturunkan dalam bahasa arab dengan hikmah agar manusia memahaminya. kalau orang arab tidak bisa memahami Al Quran yang diturunkan dalam bahasa mereka, berarti mereka tidak memenuhi hikmah yang dikehendaki Alloh.
2) Rosululloh dan para sahabat memahaminya sesuai dengan dhohirnya. ketika Abu Huroiroh membacakan ayat “Dia maha mendengar lagi maha melihat”, Rosululloh berisyarat dengan jari tangannya menunjuk pada telinga dan mata beliau.
ana cenderung menganggap bahwa hal itu adalah kesalahan beliau karena Alloh tidak pernah menyebutkan sifat duduk, dan para ahli bahasa juga tidak mengartikan istiwa dengan kata duduk. hal yang ana sepakati adalah sikap Syaikh Utsaimin dimana beliau berdiam diri (tawaquf) dalam memahami hal ini. sepengetahuan ana, Syaikh Al Albani dan Syaikh Ibnu Baz juga bersikap sama.
Mas Ajam , mustahil kalau Rasulullah menyerupakan Allah Azza wa Jalla memliki mulut dan telinga.
Silahkan baca tulisan kami pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/24/asma-wa-sifat/
dan
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/25/jika-ada-kanan/
Rasulullah bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”.
Sudah kita yakini saja apa yang disampaikan oleh Allah Azza wa Jalla bahwa jika ada yang bertanya tentang DIa maka jawab saja sesuai firmanNya
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
“Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Pada hadits jariyah, Rasulullah bertanya “di mana Allah” kepada budak itu sekedar memeriksa keimanannya bukan untuk menanyakan tempat.
Pada waktu itu kaum kafir umumnya menyembah berhala sehinga kalau budak itu menjawab “di langit” maknanya dia tidak menyembah berhala walaupun dilangit itu ada matahari, bulan dan bintang. Jawaban budak itu diperkuat ketika budak itu menjawab pertanyaan Rasulullah “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah”.
`ajam jadi menurut wahabiyyun Ayat Mutasyabihat itu yang mana…? definisinya seperti apa menurut golongan antum….?
terus Sahabat Rosulallah SAW , yang mengatakan ayat asma wa sifat bukan ayat Mutasyabihat siapa saja….?
lalu menurut `ajam , mengatakan Allah duduk itu tercela tidak….?
`ajam , kenapa yang ini gak dijawab sekalian….?
Saya beriman kpd Allah yg tiada tandingan bagiNYA dan saya beriman kpd Allah yg tiada sesuatu apapun yg sama denganNYA. Siapapun yg diberikan ilham oleh Allah kpdnya sungguh ia sgt beruntung, semoga Allah yg maha benar memberikan jawaban atas apa yg kalian perselisihkan kelak di akhirat. Dan semoga Rasulullah SAW tdk memandang dg kekecewaan kpd kalian yg di berikan ilmu disaat nanti Beliau SAW memberikn syafaatnya.
Aamiin
Al Imron ayat 7:
Dia yang telah menurunkan kepada engkau sebuah Kitab, sebahagian daripada nya adalah ayat-ayat yang muhkam, yaitulah Ibu dari Kitab, dan yang lain adalah (ayat-ayat) yang mutasyabih. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada kesesatan, maka mereka cari-carilah yang mutasyabih daripadanya itu, karena hendak membuat fitnah dan karena hendak menta’wil. Padahal tidaklah mengetahui akan ta’wilnya itu, melainkan Allah. Dan orang-orang yang telah mendalam kepadanya ilmu, berkata mereka: Kami percaya kepadanya, semuanya itu adalah dari sisi Tuhan kami. Dan tidaklah akan mengerti, kecuali orang-orang yang mempunyai isi fikiran jua.
Saya beriman bahwa Alloh berada diatas arsy, saya beriman bahwa Alloh mempunyai tangan, wajah. Saya akan mematikan akal saya spy tidak bertanya bgm kaifiyatnya. Kalau anda katakan: kalau begitu Alloh ongkang-ongkang kaki di arsy, Alloh berjisim. Saya katakan: Yang bilang begitu pikiran anda.
Dan tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Alloh. Kalau anda bilang krn keluasan guru, syaikh, atau imam anda shg bisa menakwil tangan menjadi menguasai. Siapa yang mentaqrir bahwa dia mampu menakwil? Apakah dia dido’akan oleh Nabi sebagaimana Nabi mendo’akan Ibnu Abbas?
Mas Lutfi, “tidaklah mengetahui akan ta’wilnya itu, melainkan Allah” namun Allah ta’ala tidak berfirman bahwa tidak satupun manusia yang akan dikaruniakan takwilnya. Ayat itu hanya menyatakan bahwa ta’wilnya bersumber dari Allah dan akan mengkaruniakannya kepada hamba yang dikehendakiNya yakni ulil albab
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Mas Lutfi, kita harus membedakan antara “mencari-cari takwil” sebagaimana yang dilakukan oleh kaum mu’tazilah dengan mentakwilkan atau mengambil pelajaran sebagaimana yang dilakukan oleh Ulil Albab
Mas Lutfi perhatikanlah nasehat-nasehat berikut
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Bahkan Imam Sayyidina Ali mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Salaf yang sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat dan mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan berdasarkan maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh”
Keterjerumusan kekufuran dalam i’tiqod adalah hal yang dialami oleh ulama Ibnu Taimiyyah yang merupakan ulama panutan Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh ulama-ulama terdahulu seperti dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/ atau pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Bahkan karena kesalahpahamannya mengakibatkan Ibnu Taimiyyah wafat di penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau uraian dalam tulisan pada http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
ALLAH pun aku . . .
apa ndak capek berdebat? Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu, innahu bikuli min syain muhithun,…
apakah mas Ajam masih ngeyel………
Assalamualaikum
Sudah-sudah dengan pertengkaran tentang ini.Ini hanya memecah belah lagi perpaduan umat.
Mas Ajam pun sudah berkata perkataaan ALLAH di atas langit perlu dipahami secara haqiqat.Bermakna secara tidak langsung dia telah berkata Laisa Kamithlihi Syai’un Wahuwas Sami’ul Bashir.
Dia juga berkata ALLAH Beristiwa di atas Arasy,tentang Kaifiyyatnya maka ianya adalah bid’ah.Maka tiada lagi penyerupaan makhluk dengan ALLAH.
Tetapi ada perkataan yang boleh memberikan kekeliruan pada umat dari Mas Ajam.
Allah ada wajah tetapi tidak seperti wajah makhluk.
Allah ada tangan tetapi tidak seperti tangan makhluk.
Allah beristiwa tetapi tidak seperti istiwanya makhluk.
Jika orang melihatnya seperti mengatakan wajah Allah berbeza wajah makhluk seperti wajah manusia berbeza dengan wajah itik.Halnya elakkan dari perkataan mengelirukan.Wajah,Yadd,Istiwa mempunyai pelbagai maksud.
Mereka yang berbahasa Arab fahamlah Wajah,Yadd,Istiwa secara haqiqat.
Yang orang awam ajam faham wajah secara zahir jadi dia perlu mengetahui faham yang sebenar yakni haqiqi,bukan wajah dengan penyerupaan.
Hormatilah sesama sendiri,pendapat sama,kaedah berbeza.
Silahkan baca tulisan terkait pada