Terhasut sehingga mengikuti aqidah Fir’aun
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim an Najdi termakan hasutan atau korban ghazwul fikri dari kaum Zionis Yahudi
Kaum Yahudi yang sekarang dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason, iluminati, lucifier yakni kaum yang meneruskan keyakinan pagan (paganisme) atau penyembah berhala
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (QS Al Baqarah [2]:101-102 )
Paganisme berasal dari suku-suku pagan kuno merupakan suku-suku penyembah Dewa Matahari. dan lain lain. Mereka berkeyakinan bahwa alam tuhan itu berada di langit yakni alam dewa-dewa. Alam dewa selalu dikaitkan dengan alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit, dalam arti ruang yang sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar cerita-cerita tentang ‘turunnya’ para dewa-dewi, bidadari dari langit nun jauh di sana menuju ke Bumi.
Oleh karena terhasut maka orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim an Najdi mengikuti aqidah seperti Fir’aun
Dalam Al-Quran Allah Ta’ala menceritakan Kisah Nabi Musa AS dan Fir’aun yang telah mengaku sebagai Tuhan, ia tidak percaya dengan adanya Tuhan selain nya, dan otomatis juga tidak percaya bahwa Nabi Musa as adalah seorang utusan (Rasul) Tuhan, karena Fir’aun berasumsi bahwa setiap yang ada (wujud) pasti punya tempat.
Memang sangat wajar bila seorang Fir’aun menyangka demikian, karena ia telah mengaku diri nya Tuhan, tentu dipikiran nya Tuhan Nabi Musa as juga seperti diri nya, harus punya tempat yang jelas, tapi yang sangat tidak wajar bila asumsi Fir’aun itu (setiap yang ada pasti punya tempat) datang dari seorang makhluk yang bertauhid dan percaya Tuhan berbeda dengan makhluk (semoga kita dijauhkan dari pemikiran Fir’aun), dari asumsi tersebut, Fir’aun mencoba meraba apa yang disampaikan oleh Nabi Musa as bahwa Nabi Musa as adalah utusan “Tuhan yang memiliki langit dan bumi”, tentu saja Fir’aun mempertanyakan di mana keberadaan Tuhan Nabi Musa itu, karena ia yakin “setiap yang ada pasti punya tempat”.
Dan pilihan yang ada cuma dua yakni di langit atau di bumi, bila di bumi tentu Nabi Musa as telah menunjukkan nya, bila di langit bagaimana Nabi Musa as bisa tahu, bagaimana mendapatkan risalah nya, Fir’aun yang telah termakan dengan asumsi nya yang salah, tidak percaya sesuatu yang ada tapi tanpa bertempat, walaupun seorang Tuhan tidak mungkin tidak bertempat, ia telah membuktikan kepada kaum nya bahwa tidak ada Tuhan lain di bumi selain dari dia, dan hanya satu tempat lagi yang belum ia buktikan yaitu di langit, sehingga ia perintahkan pembantu nya untuk membangun bangunan yang tinggi di atas gunung, agar ia bisa melihat Tuhan Nabi Musa as, sebagaimana di ceritakan dalam Al-Quran Surat Ghafir ayat 36-37:
“Dan berkatalah Fir`aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu [36] (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan nya Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”. Demikianlah dijadikan Fir`aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir`aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian [37]“.
Imam Ar-Razi telah menjawab alasan kaum Musyabbihah dalam berdalil dengan ayat tersebut,
والجواب :
أن هؤلاء الجهال يكفيهم في كمال الخزي والضلال أن جعلوا قول فرعون اللعين حجة لهم على صحة دينهم ، وأما موسى عليه السلام فإنه لم يزد في تعريف إله العالم على ذكر صفة الخلاقية فقال في سورة طه { رَبُّنَا الذى أعطى كُلَّ شَىء خَلْقَهُ ثُمَّ هدى } [ طه : 50 ] وقال في سورة الشعراء { رَبُّكُمْ وَرَبُّ ءابَائِكُمُ الأولين * رَبُّ المشرق والمغرب وَمَا بَيْنَهُمَا } [ الشعراء : 26 ، 28 ] فظهر أن تعريف ذات الله بكونه في السماء دين فرعون وتعريفه بالخلاقية والموجودية دين موسى ، فمن قال بالأول كان على دين فرعون ، ومن قال بالثاني كان على دين موسى ، ثم نقول لا نسلم أن كل ما يقوله فرعون في صفات الله تعالى فذلك قد سمعه من موسى عليه السلام ، بل لعله كان على دين المشبهة فكان يعتقد أن الإله لو كان موجوداً لكان حاصلاً في السماء ، فهو إنما ذكر هذا الاعتقاد من قبل نفسه لا لأجل أنه قد سمعه من موسى عليه السلام .
وأما قوله { وَإِنّى لأَظُنُّهُ كاذبا } فنقول لعله لما سمع موسى عليه السلام قال : { رَبّ السموات والأرض } ظن أنه عنى به أنه رب السموات ، كما يقال للواحد منا إنه رب الدار بمعنى كونه ساكناً فيه ، فلما غلب على ظنه ذلك حكى عنه ، وهذا ليس بمستبعد ، فإن فرعون كان بلغ في الجهل والحماقة إلى حيث لا يبعد نسبة هذا الخيال إليه ، فإن استبعد الخصم نسبة هذا الخيال إليه كان ذلك لائقاً بهم ، لأنهم لما كانوا على دين فرعون وجب عليهم تعظيمه . وأما قوله إن فطرة فرعون شهدت بأن الإله لو كان موجوداً لكان في السماء ، قلنا نحن لا ننكر أن فطرة أكثر الناس تخيل إليهم صحة ذلك لا سيما من بلغ في الحماقة إلى درجة فرعون فثبت أن هذا الكلام ساقط .
“Jawab : Sesungguhnya mereka (Musyabbihah) adalah orang-orang yang sangat bodoh, yang membuat mereka semakin lengkap dalam kehinaan dan kesesatan, oleh karena mereka telah menjadikan perkataan Fir’aun yang terlaknat, sebagai dalil mereka atas kebenaran agama mereka, sementara Nabi Musa as dalam memperkenalkan Tuhan, tidak pernah melebihkan dari menyebutkan sifat penciptaan, sebagaimana dalam surat Thoha :50 “Tuhan kita adalah yang memberikan tiap sesuatu bagi makhluk-Nya kemudian memberi petunjuk” dan sebagaimana dalam surat Asy-Syu’ara ayat 26, 28 “Tuhan kalian dan Tuhan bapak kalian yang terdahulu – Tuhan timur dan barat dan diantara kedua nya” Maka nyatalah bahwa memperkenalkan Tuhan dengan keadaannya di langit adalah agama Fir’aun, dan memperkenalkan Tuhan dengan penciptaan dan makhluk adalah agama Nabi Musa as, siapa yang berpendapat dengan yang pertama, adalah ia di atas agama Fir’aun, dan siapa yang berpendapat dengan yang kedua, adalah ia di atas agama Nabi Musa as, kemudian kita menjawab, kita tidak bisa menerima bahwa semua yang disebutkan Fir’aun tentang sifat Allah ta’ala karena ia pernah mendengar dari Nabi Musa as, tapi karena Fir’aun berada dalam keyakinan Musyabbihah, maka tentu ia berkeyakinan jika memang Tuhan ada, pasti Dia berada di langit, maka keyakinan Fir’aun ini sungguh datang dari diri nya, bukan karena mendengar dari Nabi Musa as, adapun perkataan Fir’aun “sungguh aku yakin Musa adalah pendusta” maka kita jawab, kemungkinan ketika Fir’aun mendengar Nabi Musa berkata “Tuhan langit dan bumi” lalu Fir’aun menyangka maksud Nabi Musa as bahwa Tuhan nya menetap di langit, sama seperti ungkapan “dia yang punya ini rumah” maksud nya dia tinggal di rumah itu. Ketika Fir’aun semakin yakin dengan sangkaan nya maka ia sebutkan asumsi nya, dan ini tidak jauh kemungkinan, karena Fir’aun adalah sangat bodoh sehingga mungkin menisbahkan asumsi demikian kepada nya, bila ada yang bilang tidak mungkin Fir’aun berasumsi demikian, itu karena asumsi tersebut layak dengan mereka, ketika mereka berada di atas agama Fir’aun, tentu mereka sangat menghargai ideologi Fir’aun itu, dan adapun alasan Musyabbihhah “sesungguhnya fitrah Fir’aun bersaksi bahwa Tuhan kalau Dia ada sungguh Dia berada di langit” maka kita jawab: kita tidak mengingkari bahwa fitrah kebanyakan manusia menyangka benar demikian, apa lagi orang yang kebodohan nya telah sampai ketingkat kebodohan Fir’aun, maka alasan fitrah tidak bisa menjadi alasan”. [Lihat Tafsir Ar-Razi, surat Ghafir : ayat 36-37]
Abu Mansur Al-Maturidi berkata :
للمشبهة تعلق بظاهر هذه الآية يقولون: لولا أن موسى – عليه السلام – كان ذكر وأخبر فرعون: أن الإله في السماء، وإلا لما أمر فرعون هامان أن يبني له ما يصعد به إلى السماء ويطلع على إله موسى على ما قال تعالى خبراً عن اللعين.
لكنا نقول: لا حجة لهم؛ فإنه جائز أن يكون هذا من بعض التمويهات التي كانت منه على قومه في أمر موسى – عليه السلام
“Kaum Musyabbihah [menyerupakan Allah dengan makhluk] berpegang dengan dhohir ayat ini, mereka beralasan : Seandainya bukan karena Musa as telah menyebut dan memberitahu Fir’aun bahwa Tuhan di atas langit, sungguh Fir’aun tidak menyuruh Haman membangun bangunan agar ia dapat naik ke langit dan melihat Tuhan Nabi Musa as, sebagaimana Firman Allah menceritakan pernyataan Fir’aun [Al-La’in].
Tetapi kita menjawab : Tidak ada dalil bagi mereka, karena kemungkinan pernyataan Fir’aun tersebut sebagian dari kebohongan Fir’aun kepada kaum nya tentang Musa as”. [Lihat Tafsir Ta’wilat Ahlus Sunnah surat Ghafir ayat 37].
Berkata Imam Ahlus Sunnah Abu Mansur Al-Maturidi: “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa mengangkat pandangan ke langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika Shalat dan lain nya, dan juga sama seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di timur/barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid – 75]
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Ibnu Batthal berkata: sesungguhnya langit itu qiblat doa, sebagaimana Ka’bah itu qiblat Shalat” [Fathul Bari, jilid 2, hal 296]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” [Ittihaf, jilid 2, hal 170]. kemudian Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi juga berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu maha suci Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ? maka jawaban nya dua macam yang telah disebutkan oleh At-Thurthusyi :
Pertama: sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap Ka’bah dalam Shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.
Kedua: manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit, dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]
Kesalahpahaman yang paling pokok bagi mereka adalah menjadikan hadits kisah budak jariyah di dalam kitab Sahih Muslim yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami sebagai landasan dalam i’tiqod.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh perawi yang baru masuk Islam. Dapat diketahui dari ungkapannya “Lalu aku mengucapkan, ‘Yarhamukallah (semoga Allah memberi Anda rahmat) ‘. Maka seluruh jamaah menujukan pandangannya kepadaku. Aku berkata, Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memelototiku? Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam”
Hal pokok yang disampaikan oleh hadits terebut adalah pada bagian perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”
Hadits tersebut khususnya pada bagian kisah budak Jariyah dikatakan syadz untuk dijadikan landasan menyangkut masalah akidah (i’tiqod) karena tidak dapat dikatakan “di mana” atau bagaimana bagi Allah Azza wa Jalla. Begitupula hadits tersebut tidak diletakkan dalam bab tentang iman (i’tiqod) namun pada bab tentang sholat.
Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan maqam (tempat) dan juga bisa digunakan untuk menanyakan makanah (kedudukan/derajat). Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi)
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221: “Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”
Imam Sayyidina Ali ra juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah ketika ditanya terkait firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan”
Imam Syafi’i ~ rahimahullah juga menjelaskan bahwa “jika Allah bertempat di atas ‘Arsy maka pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti akan memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu, Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu. Ya Allah, Engkaulah Yang Zhahir, maka tidak ada sesuatu di atasMu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Bathin, maka tidak ada sesuatu di bawahMu”. (HR Muslim 4888)
Rasulullah bersabda “wa Robbal ‘arsyil ‘azhiimii” , “Tuhan yang menguasai ‘Arsy” (HR Muslim 4888)
Imam Sayyidina Ali ra berkata, “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi DzatNya”
Dalam kitab al-Washiyyah, Al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung”
Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami Abu Usamah telah menceritakan kepada kami Zakariya’ dari Ibnu Asywa’ dari Amir dari Masruq dia berkata, “Aku berkata kepada Aisyah, ‘Lalu kita apakah firman Allah: ‘(Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan) ‘ (Qs. an-Najm: 8-10). Aisyah menjawab, ‘(Yang dimaksud ayat tersebut) adalah Jibril. Dia mendatangi Rasulullah dalam bentuk seorang laki-laki, dan pada kesempatan ini, dia mendatangi beliau dalam bentuknya yang sesungguhnya, sehingga dia menutupi ufuk langit’.” (HR Muslim 260)
Dari Masruq dia berkata, “Aku yang duduk bersandar dari tadi, maka aku mulai duduk dengan baik, lalu aku berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin! Berilah aku tempo, dan janganlah kamu membuatku terburu-buru, (dengarlah kata-kataku ini terlebih dahulu), bukankah Allah telah berfirman: walaqad raaahu bialufuqi almubiini (QS at Takwir [81]:23) dan Firman Allah lagi: walaqad raaahu nazlatan ukhraa (QS An Najm 53]:13) Maka Aisyah menjawab, ‘Aku adalah orang yang pertama bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. mengenai perkara ini dari kalangan umat ini. Beliau telah menjawab dengan bersabda: Yang dimaksud ‘dia’ dalam ayat itu adalah Jibril (bukan Allah), “aku tidak pernah melihat Jibril dalam bentuk asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa dia turun dari langit dalam keadaan yang terlalu besar sehingga memenuhi di antara lagit dan bumi.” (HR Muslim 259)
Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith dan Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi), Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al Muhith mengatakan: “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut (QS Al-Mulk [67]:16) adalah malaikat”. Ayat tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit. Perkataan ‘man’ yaitu ‘siapa’ dalam ayat tadi berarti malaikat bukan berarti Allah berada dan bertempat di langit.
Dalam tafsir jalalain Imam Suyuthi ~rahimahullah mengatakan : “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut adalah kekuasaan/kerajaan dan qudrat-Nya (Shulthonihi wa qudratihi ) jadi yang di langit adalah kekuasaan dan qudratnya (Shulthonihi wa qudratihi) bukan dzat Allah.
Berikut penjelasan ulama yang sholeh dari kalangan keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki. Kami kutipkan dari terjemahan kitab beliau yang aslinya berjudul “Wa huwa bi al’ufuq al-a’la” diterjemahkan oleh Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam”
***** awal kutipan *****
Mi’raj dan Syubhat tempat bagi Allah (hal 284)
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk menunjukkan kedudukan beliau di hadapan penduduk langit dan beliau adalah makhluk Allah yang paling utama. Penegertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya beliau diatas Buraq oleh Allah ta’ala dan dijadikan sebagai penghulu para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat beliau tanpa menggunakan buraq.
Mi’raj dan Arah (hal 286)
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
Walaupun beliau pada malam ketika mi’rajkan sampai menempati suatu tempat di mana Beliau mendengar gerak qalam, tetapi Beliau shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus alaihissalam ketika ditelan oleh ikan dan dibawa keliling laut hingga samapai ke dasarnya adalah sama dalam kedekatan dengan Allah ta’ala. Kaerena Allah Azza wa Jalla suci dari arah, suci dari tempat, dan suci dari menempati ruang.
Al Qurthubi di dalam kitab at-Tadzkirah, mengutip bahwa Al Qadhi Abu Bakar bin al-’Arabi al Maliki mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku banyak dari sahabat-sahabat kami dari Imam al-Haramain Abu al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf al Juwaini bahwa ia ditanya, “Apakah Allah berada di suatu arah?” Ia menjawab, “Tidak, Dia Mahasuci dari hal itu” Ia ditanya lagi, “Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Yunus bin Matta alaihissalam menghempaskan dirinya kedalam lautan lalu ia ditelan oleh ikan dan menjadi berada di dasar laut dalam kegelapan yang tiga. Dan ia menyeru, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim,” sebagaimana Allah ta’ala memberitakan tentang dia. Dan ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam duduk di atas rak-rak yang hijau dan naik hingga sampai ke suatu tempat di mana Beliau dapat mendengar gerak Qalam dan bermunajat kepada Tuhannya lalu Tuhan mewahyukan apa yang Ia wahyukan kepadanya, tidaklah Beliau shallallahu alaihi wasallam lebih dekat kepada Allah dibandingkan Nabi Yunus alaihissalam yang berada dikegelapan lautan. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala dekat dengan para hambaNya, Ia mendengar doa mereka, dan tak ada yang tersembunyi atasNya, keadaan mereka bagaimanapun mereka bertindak, tanpa ada jarak antara Dia dengan mereka“.
Jadi, Ia mendengar dan melihat merangkaknya semut hitam di atas batu yang hitam pada malam yang gelap di bumi yang paling rendah sebagaimana Ia mendengar dan melihat tasbih para pengemban ‘Arsy di atas langit yang tujuh. Tidak ada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ia mengetahui segala sesuatu dan dapat membilang segala sesuatu.
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
“Jelaslah bahwa Kabbalah disusun bertahun-tahun sebelum keberadaan Taurat. Bagian paling penting dari Kabbalah adalah sebuah teori tentang pembentukan alam semesta. Teori ini sangat berbeda dengan kisah penciptaan yang diterima oleh agama-agama ketuhanan. Menurut Kabbalah, pada awal penciptaan, muncullah benda-benda yang disebut Sefiroth, artinya “lingkaran-lingkaran” atau “orbit-orbit”,yang mengandung baik sifat material maupun spiritual. Benda-benda ini berjumlah 32. Sepuluh yang pertama merepresentasikan massa bintang-bintang di angkasa. Keistimewaan Kabbalah ini menunjukkan bahwa ia berhubungan erat dengan sistem kepercayaan astrologis kuno….
Bang Zon kok tidak pernah membahas aqidah syiah ya? selalu wahabi yang di bahas. sekarang bahas Syiah juga syiah yang masuk dalam tasawuf
Tasawuf adalah jalan untuk mencapai muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang ihsan
Jika diluar itu semua maka bukanlah tasawuf dalam Islam
Ada dalam beberapa tulisan membahas tentang sekte Syiah
Kalau sekte Syiah , pada umumnya kaum muslim sudah banyak mmengetahui kesalahpahaman mereka
sedangkan sekte Wahabi belum banyak yang mengetahui kesalahpahaman mereka untuk itulah kami memberikan perhatian khusus untuk menjelaskannya