Solusi mengatasi konflik umat Islam adalah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat
Dalam tulisan sebelumnya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/29/solusi-untuk-mesir/ telah disampaikan bahwa solusi mengatasi konflik di Mesir dan konflik-konflik di antara kaum muslim di negara lainnya adalah dengan mentaati para mufti yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para mufti yang merujuk kepada Imam Mazhab yang empat.
Mereka bertanya apa hubungannya antara konflik atau perselisihan karena perbedaan pendapat di antara kaum muslim dengan keharusan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An Nisaa [4]:59)
“kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)” permasalahannya adalah bagaimana cara kita mengembalikannya ?
Mereka mengatakan bahwa cara mengembalikannya adalah dengan mengikuti pemahaman para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in atau pemahaman Salafush Sholeh dan para imam yang mengikuti jalan mereka”
Bagaimana mereka dikatakan mengikuti pemahaman Salafush Sholeh sedangkan pada kenyataannya mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh
Pada hakikatnya apa yang dikatakan oleh mereka sebagai “pemahaman Salafush Sholeh” adalah ketika mereka membaca hadits, tentunya ada sanad yang tersusun dari Tabi’ut Tabi’in, Tabi’in dan Sahabat. Inilah yang mereka katakan bahwa mereka telah mengetahui pemahaman Salafush Sholeh. Bukankah itu pemahaman mereka sendiri terhadap hadits tersebut.
Mereka berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh.
Lihatlah kenyataannya mereka yang mengaku-ngaku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh dan menamakan diri mereka sebagai Salafi pada kenyataanya mereka terpecah belah dalam beberapa firqoh (kelompok) seperti
Salafi Wahabi adalah firqoh (sekte) atau kaum yang mengikuti Muhammad bin Abdul Wahhab
Salafi Yamani adalah firqoh (sekte) atau kaum yang berasal dari alumnus Yaman yang talaqqi pada ma’had Muqbil al-Wadi’iy
Salafi Sururi adalah firqoh (sekte) atau kaum yang mengikuti Muhammad Zainal Abidin bin Surur
Salafi Turotsy adalah firqoh (sekte) atau kaum yang berkiblat pada Jam’iyyah Ihya’ at-Turots
Salafi Haraki adalah firqoh (sekte) yang mengikuti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh
dan firqoh (sekte) salafi-salafi lainnya
Sedangkan Ikhwanul Muslimin tampaknya adalah turunan dari Salafi Haraki yakni firqoh (sekte) atau kaum yang mengikuti Sayyid Quthb maupun Hasan Al Banna
Adapula Salafi Jihadi sebagaimana yang disampaikan pada http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/salafi-jihadi-momok-musuh-islam.htm tampaknya adalah firqoh (sekte) yang berjihad memerangi kaum muslim yang berbeda pemahaman dengan mereka.
Perbedaan pendapat di antara sekte (firqoh) salafi menimbulkan perselisihan seperti saling mencela yang mereka namakan menjarh, mentahdzir, mentabdi atau bahkan saling mensesatkan atau mengkafirkan sebagaimana yang dapat diketahui dari https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/salafi-yamani-dan-haraki/
Contohnya Salafy Yamani sangat menolak metode pergerakan (Harakiyah), sebab hal itu dianggap sebagai bid’ah dan merupakan praktik fanatisme (hizbiyah). Sementara kalangan Salafy Haraki membutuhkan sistem organisasi (tanzhim) dalam pergerakannya.
Bahkan sebagaimana kita saksikan dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=hlCdzVo8Ueo tentang penjelasan Habib Muhammad Rizieq Shihab bahwa ust Yazid Jawas dalam bukunya yang berjudul “Mulia dengan manhaj salaf” mencantumkan daftar firqoh-firqoh sesat dan menyesatkan yang nomor lima belas adalah Ikhwanul Muslimin.
Oleh karenanya sebagaimana informasi dari http://www.mosleminfo.com/index.php/tokoh/wawancara/dr-ahmad-karimah-ikhwan-dan-salafi-berusaha-tutup-al-azhar-wawancara-eksklusif/ DR. Ahmad Karimah, Guru Besar Syariah Islam Universitas Al-Azhar Kairo bahkan menangis di salah satu acara televisi dan ketika ditanyakan mengapa beliau menangis dan dijawabnya
“Saya memang hanya bisa menangis..saya menangis demi pemahaman Islam yang benar, serta kondisi Mesir saat ini dan masa depannya. Ikhwanul Muslimin dan Salafi (Wahabi) telah berhasil membawa kita semua menjadi bagaikan ‘ghutsa’ sail’, dan sebentar lagi Islam ini akan dianggap asing. Maksudnya adalah buih lautan yang tidak berharga dan diperhitungkan sama sekali oleh musuh, apalagi oleh teman sendiri. Para pemuda yang mengikuti Ikhwan dan Salafi (Wahabi) mengetahui Islam hanya jenggot lebat tidak perlu dirapikan, celana cingkrang, dan terompah. Mereka mengetahui pemikiran Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, sebagai ganti dari belajar ajaran Rasulullah, para sahabat, dan ahli bait. Demikian juga mereka mempelajari ‘Ushul Isyriin’ (20 Asas Dasar) Hasan al-Banna sebagai ganti dari prinsip-prinsip dasar Islam itu sendiri. Sedangkan maksud dari keterasingan Islam adalah semakin redupnya ajaran Islam yang benar. Kesalahan terbesar Ikhwanul Muslimin dan Salafi adalah mengubah ajaran Islam yang benar”.
Jadi sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/29/di-balik-ajakan/ bahwa mereka terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi untuk “mengembalikan kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)” dengan cara memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran masing-masing
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Pada umumnya mereka yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak (shahafi) memahaminya dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja atau bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/24/arti-bahasa-saja/
Mereka akan dapat sesat dan menyesatkan karena kurang memperhatikan ilmu-ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/21/khawarij-salah-paham/
Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm ~rahimahullah mengatakan
***** awal kutipan *****
“rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab “ijtihad” adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat) dari berita-berita yang ada. Demikian pula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanananya.
Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna yang tersirat di balik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung di dalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi menjaab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan”
***** akhir kutipan *****
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Ada dua cara agar kita dalam berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tidak sesat dan menyesatkan yakni
1. Dalam berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) harus menguasai ilmu atau kompetensi atau syarat untuk berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) atau syarat untuk menggali sendiri hukum-hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah.
2. Dalam berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) mengikuti para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Penjelasan selengkapnya ada dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/29/agar-tidak-sesat/
Jumhur ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dan pada umumnya selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihiwasallam dan ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin, sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/06/shalat-yang-fasidah/
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluqNya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/24/mengaku-hanabila/
Jadi jika kita tidak mampu secara mandiri mengembalikan kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya) maka “taatilah ulil amri di antara kamu” (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim untuk mengatasi konflik atau perselisihan karena perbedaan pendapat ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Ibnu Abbas ra, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud ulil amri dalam ayat tersebut adalah para pakar fiqih.
Setelah masa kehidupan Imam Mazhab yang empat para pakar fiqih atau para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Orang-orang yang meninggalkan Imam Mazhab yang empat salah satunya disebabkan salah memahami perkataan Imam Mazhab yang empat seperti
Imam Abu Hanifah ~rahimahullah, “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya” (Ibnu ‘Abdul Barr dalam kitab Al-Intiqa fi Fadhail Ats-Tsalasah Al-Aimmah)
Imam Malik bin Anas ~rahimahullah, “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh kerana itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ambillah; dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah” (Ibnu ‘Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu Hazm dalam kitabnya Ushul Al- Ahkam (VI/149)
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah, “Setiap orang harus bermazhab kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku“ (Hadits Riwayat Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi’i seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu ‘Asakir XV/1/3)
Imam Ahmab bin Hanbal ~rahimahullah, “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Sayfi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.” (Ibnu Jauzi dalam Al-Manaqib hal. 192)
Perkataan para Imam Mazhab yang empat tersebut adalah sebagai bentuk sikap tawadhu (rendah hati) mereka.
Mereka mengingatkan kita untuk meninggalkan pendapat / pemahaman mereka khusus yang menyelisihi sunnah Rasulullah. Itupun kalau memang ada.
Perkataan para Imam Mazhab yang empat tersebut bukanlah perintah untuk meninggalkan keseluruhan pendapat/pemahaman mereka.
Berdasarkan perkaatan para Imam Mazhab yang empat tersebut maka kita mengikuti pendapat/pemahaman para Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Logikanya untuk apa Imam Mazhab yang empat bersusah payah melakukan ijtihad dan istinbat kalau bukan untuk kita ikuti ?
Jumhur ulama sejak dahulu kala sampai sekarang telah sepakat bahwa Imam Mazhab yang empat berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga layak menjadi pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi kaum muslim sampai akhir zaman.
Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
Perkataan-perkataan ulama lainnya yang disalahgunakan sebagai ajakan untuk meninggalkan Imam Mazhab yang empat telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/12/ungkapan-menyesatkan/
Dalam dialog antara Syaikh al Buthi bersama Al Albani sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/06/bidah-yang-gawat/ Al Albani menyampaikan bahwa,
“Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taqlid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taqlid dan ijtihad.”
Berikut kutipan dialognya
****** awal kutipan ******
Ulama Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menghadapi pertanyaan tersebut, ulama al-Albani terdiam.
***** akhir kutipan *****
Jadi bagi Al Albani , kaum muslim dilarang menjadi muqallid (orang yang taqlid) dan bagi yang tidak berkompetensi sebagai mujtahid seharusnyalah menjadi muttabi’ (orang yang mengikuti) yakni membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an dan As Sunnah.
Kalau begitu bagaimana nasib kaum muslim yang tidak mempunyai kemampuan untuk membeli kitab-kitab hadits ataupun tidak mempunyai waktu dan kompetensi untuk membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an dan As Sunnah ? Apakah mereka akan masuk neraka karena mengerjakan perkara terlarang yakni menjadi muqallid (orang yang taqlid) ?
KH. Muhammad Nuh Addawami menyampaikan,
***** awal kutipan *****
Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Jadi muttabi bukanlah sebagaimana yang dikatakan oleh Al Albani sebagai “derajat tengah, antara taqlid dan ijtihad” namun muttabi adalah orang yang mengikuti pendapat orang lain karena dia ahli istidlal.
Sedangkan orang yang menerima atau mengikuti pendapat orang lain walaupun mengetahui dalilnya namun bukan ahli istidal adalah sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan menerima atau mengikuti pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Kompetensi sebagai ahli istidlal adalah sebagaimana yang disampaikan KH. Muhammad Nuh Addawami yakni
*****awal kutipan *****
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
– Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
– Imam Malik bin Anas;
– Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
– Imam Ahmad bin Hanbal.
***** akhir kutipan *****
Contohnya dalam perkara cara sholat, Al Albani menetapkan cara sholat berdasarkan upaya pemahamannya sendiri secara otodidak (shahafi) terhadap Al Qur’an dan As Sunnah. Kemungkinan kesalahpahaman Al Albani dalam menetapkan cara sholat akan semakin lebih besar karena beliau tidak dikenal sebagai ahli istidlal atau tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak dan tidak ada satupun nama mazhab yang dinisbatkan dengan namanya. Namun amat disayangkan beliau menamakan atau tepatnya memastikan hasil ijtihadnya sebagai sifat sholat Nabi sehingga dapat menyesatkan orang banyak karena terkecoh dengan judulnya. Seharusnya diberi judul “cara sholat berdasarkan upaya pemahaman Al Albani” atau cara sholat ala Al Albani.
Imam Bukhari, Imam Muslim ~semoga Allah meridhai mereka, mengkaji, memilah dari banyak hadits-hadits dan menyusun, mengumpulkan dalam kitab, khusus untuk hadits-hadits shohih namun mereka tidak terdengar menyampaikan kitab sholat berdasarkan hadits-hadits shohih yang mereka kumpulkan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).
Sedangkan mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dalam perkara cara sholat mengikuti hasil ijtihad dan istinbat (menetapkan hukum perkara) yang dilakukan oleh Imam Mazhab yang empat karena jumhur ulama dari dahulu sampai sekarang mengakui kompetensi mereka sebagai Imam Mujtahid Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim.
Apa yang tersirat dibalik sabda Rasulullah “sebagaimana kalian melihat aku sholat” ?
Ibarat belajar berenang, mana yang lebih baik belajar dari memahami lafaz atau tulisan atau buku cara berenang atau langsung melihat contoh nyata ?
Jadi cara yang paling mudah megetahui cara sholat Nabi adalah bertanya kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mereka mendapatkan pengajaran sholat bukan berdasarkan upaya pemahaman namun berdasarkan praktek yang diajarkan oleh orang tua, orang tua dari orang tua mereka secara turun-temurun tersambung sampai kepada apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam bentuk praktek pula.
Perkataan Al Albani yang terkenal adalah “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat Imam Mazhab yang empat dengan barometer al-Qur’an dan As Sunnah, jelas ia lebih berkompetensi atau lebih pandai dari Imam Mazhab yang empat.
Imam Ahmad bin Hanbal yang memiliki kompetensi dalam berijtihad dan beristinbat atau berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, tentu beliau lebih berhak “menghakimi” Imam Mazhab sebelum beliau. Namun kenyataannya beliau tetap secara independen berijtihad dan beristinbat atas sumber atau bahan yang dimilikinya dengan ilmu yang dikuasainya.
Begitupula sumber untuk melakukan ijtihad dan istinbat sebagaimana yang telah dimiliki oleh Imam Mazhab yang empat telah sangat jauh berkurang.
Contohnya jumlah hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak.
Sementara ada segelintir umat Islam menggabungkan pendapat Imam Mazhab yang empat atau talfiq.
Dalam bahasa Arab, kata talfiq (التَّلْفِيقُ ) berasal dari kata (لَفَّقَ – يُلَفِّقُ – تَلْفِيقاً ) yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain artinya mereka mengikuti seluruh pendapat Imam Mazhab yang empat.
Kita tidak dapat talfiq dalam arti menghakimi pendapat Imam Mazhab yang empat karena selain kita tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak dan kita pun tidak memiliki sumber-sumber untuk melakukan ijtihad dan istinbat sebagaimana yang dimiliki oleh Imam Mazhab yang empat.
Talfiq dalam arti digunakan dikarenakan situasi dan kondisi tidaklah mengapa. Seperti ikutilah apapun mazhab imam sholat karena diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan (kekhalifahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)
Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh. Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat.
Memang ada mazhab yang lain selain dari Imam Mazhab yang empat namun pada kenyataannya ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang lain sudah sukar ditemukan pada masa kini.
Tentulah kita mengikuti atau taqlid kepada Imam Mazhab yang empat dengan merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Mazhab yang empat patut untuk diikuti oleh kaum muslim karena jumhur ulama telah sepakat dari dahulu sampai sekarang sebagai para ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”.
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.
Para ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan bahwa sebaiknya janganlah mengambil ilmu agama dari dari orang-orang yang tidak jelas sanad ilmu (sanad guru) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ulama meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”
Orang-orang yang mendustakan perkataan ulama adalah
1. Orang-orang yang merusak peninggalan para ulama seperti mengutip atau mencetaknya dengan ada yang dihilangkan atau dengan ditambah, yang merusak isi dan menghilangkan tujuannya.
2. Orang-orang yang tidak memiliki hak untuk menyampaikan atau menjelaskan perkataan ulama karena tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari ulama bersangkutan.
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Cara menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya
Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Salah satu ciri dalam metode pengajaran talaqqi adalah sanad. Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-Qur’an dan sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi kaum kafir dan munafik. Karena sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad ilmu atau sanad gurunya adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi pendapat gurunya dan guru dari gurunya terdahulu serta berakhlak baik
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Jadi jika seorang ulama menyampaikan sesuatu berdasarkan Al Qur’an dan Hadits namun apa yang disampaikannya berbeda dengan apa yang disampaikan oleh para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat maka ulama tersebut sanad ilmu atau sanad gurunya terputus pada akal pikirannya sendiri sehingga apa yang disampaikannya adalah paham baru atau ajaran baru, bukan ajaran yang disampaikan oleh lisannya Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Oleh karenanya mufti yang seharusnya ditaati adalah mufti yang mengikuti Imam Mazhab yang empat
Para penguasa negeri seharusnyalah mentaati para pakar fiqih yang mempunyai sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga negara dapat membuat hukum buatan manusia maupun tata cara menyelenggarakan pemerintahan yang tidak bertentangan dengan hukum Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.
Para pakar fiqih yang dipimpin seorang mufti agung lah yang dapat “berkomunikasi” dengan Allah Azza wa Jalla melalui ayat-ayat qauliyah (Al Qur’an) maupun melalui ayat-ayat kauniyah atas kejadian, peristiwa atau segala apa yang telah ditampakan oleh Allah Azza wa Jalla yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53)
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran [3]:191).
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).
Para pakar fiqih yang dipimpin seorang mufti agung adalah termasuk orang-orang yang dekat dengan Allah Azza wa Jalla sehingga mereka dapat mendengar kalam Allah atau petunjukNya tidak melalui alat pendengaran (telinga) namun melalui hati yang disebut dengan ilham maupun firasat
Firman Allah ta’ala yang artinya
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran), maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
Sedangkan firasat, yakni lintasan pikiran yang terbit dari kekuatan iman dan kedekatan dengan Allah. Dengannya seseorang bisa menyaksikan apa yang tersembunyi dari mata kepala. Sejenis dengannya adalah karamah, yaitu tampilnya hal-hal ajaib dari seseorang yang bukan Nabi yang muncul begitu saja sesuai kehendak-Nya.
Berikut sebuah riwayat yang disampaikan oleh Habib Munzir tentang bagaimana contoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendengar kalam Allah (petunjukNya)
****** awal kutipan *****
Ketika diantara wanita itu terdapat Juwairiyah, putri kepala Qabilah Bani Musthaliq, maka Rasul shallallahu alaihi wassalam tidak tega menjadikan putri Raja Qabilah itu sebagai budak. Rasul shallallahu alaihi wassalam memerintahkan agar menahan Juwairiyah untuk tidak diperbudak, maka ayahnya datang untuk memohon pada Rasul shallallahu alaihi wassalam agar putrinya dibebaskan, ia membawa uang dan dua ekor unta untuk menebus putrinya, namun ditengah jalan ia ragu, dan membatalkan dua ekor untanya dan ditinggal di tengah jalan lalu menghadap Rasul shallallahu alaihi wassalam
Ketika sampai pada Rasul shallallahu alaihi wassalam maka ia berkata : wahai Muhammad, aku ingin menebus putriku dengan uang ini, maka Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda : kau kemanakan dua ekor unta yang sudah kau niatkan juga untuk menebusnya?, maka Harits (ayah Juwairiyah) kaget, maka ia bersyahadat dan masuk islam.
****** akhir kutipan ******
Begitupula diceritakan bahwa Imam Syafi’i dan Muhammad bin al-Hasan pernah melihat seorang laki-laki.
Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya lelaki itu adalah seorang tukang kayu.” Sedangkan Muhammad bin al-Hasan berkata, “Sesungguhnya lelaki itu adalah seorang pandai besi.” Lantas keduanya bertanya kepada lelaki tersebut tentang profesinya. Lalu di menjawab, “Dulu saya seorang pandai besi dan saya sekarang tukang kayu.”
Kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam Brunei Darussalam berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei. Sultan Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merangkap sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak sebagai pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam menentukan keputusan atas sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.
Negara kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Lembaga negara yang berunsurkan kata “agung” seperti Mahkamah Agung , Jaksa Agung pada hakikatnya adalah wakil-wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan di muka bumi agar sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Salah satu contoh ulama yang menjadi anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Namun dalam perjalanannya Dewan Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita “dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak effisien.
Jadi cara penerapan syariat Islam dalam sistem pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para ahli fiqih untuk menasehati dan membimbing ulil amri sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati ulil amri
Kaum muslimpun harus pula mengikuti semangat piagam Madinah dalan menjaga kesatuan dan persatuan negara di tengah keberagaman warga negara dengan mentaati penguasa negara atau ulil amri di mana mereka tinggal.
Tidaklah mentaati siapapun di luar negara yang dikenal dengan kepemimpinan trans nasional sebagaimana yang dilakukan oleh para pelaku bom bunuh diri di negara kita yang mentaati ulil amri di luar negara kita (trans nasional).
Kita seharusnya mendahulukan ketaatan kepada ulil amri di mana kita tinggal dibandingkan ketaatan pada pemimpin organisasi lintas negara (organisasi trans nasional) sebagaimana yang tercantum dalam piagam Madinah
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
Pasal 37 ayat 2
Di antara segenap warga negara (Yahudi dan Muslimin) terjalin pembelaan untuk menentang setiap musuh negara yang memerangi setiap peserta dari piagam ini
Pasal 44
Di kalangan warga negara sudah terikat janji pertahanan bersama untuk menentang setiap agresor yang menyergap kota Yathrib
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/16/perdamaian-islam/ bahwa mewujudkan perdamaian dunia Islam atau mewujudkan Ukhuwah Islamiyah dengan mentaati perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk mengikuti mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dan menghindari semua sekte atau firqoh yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih).
Pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Sebagaimanapula yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/18/islam-adalah-satu/ bahwa Islam adalah satu pada masa sekarang adalah Islam sebagaimana yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh para penunjuk yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Pembhasan anda d atas sya rasa co2k dngan ulama di sini. Memang benar memahami ilmu it tdak dngan otodidak… Jd,siapa yg otodidak?! “sesungguhnya di akhir zaman nanti umat islam akan terpecah menjadi 73 golongan.72 gol msuk neraka sdangkan yg msuk surga hanya 1 gol yaitu gol yg berpegang teguh pada al-qur’an dan sunnah rosulullah saw” sya tdk hafal betul kta2nya. V,inti nya seperti it. Jd,skrang knpa yg mengikuti al-qur’an dan sunnah d sebut sesat??pdhal rosulullah sendiri sudah mngatakannya. Jd,siapa yg fitnah?? Dan siapa yg terperangkap zionis?? Musik a/ slah stu perangkap zionis. Yg mengeraskan hati kaum. Kebanyakan mereka menikmatinya dan meninggalkan al-qur’an… Lihatlah para ulama sendiri memakai musik sebagai media dakwah bukan dngan mengamalkan dan terus mengajari al-qur’an… Siapakah yg lebih pantas mendapatkan dakwah an anda di atas??
Permasalahannya adalah bagaimana cara mereka berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ?
Kalau cara mereka berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan memahami atau mendalami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri maka justru mereka akan sesat dan menyesatkan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Pada umumnya mereka yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak (shahafi) memahaminya dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja atau bermazhab dzahiriyyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/24/arti-bahasa-saja/
Mereka akan dapat sesat dan menyesatkan karena kurang memperhatikan ilmu-ilmu untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu fiqih maupun ushul fiqih dan lain lain sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/21/khawarij-salah-paham/
Asy Syaikh Al Imam Abu Abdullah Muhammad Ibnu Hazm ~rahimahullah mengatakan
***** awal kutipan *****
“rukun atau pilar penyangga yang paling besar di dalam bab “ijtihad” adalah mengetahui naql. Termasuk di antara faedah ilmu naql ini adalah mengetahui nasikh dan mansukh. Karena untuk memahami pengertian khitab-khitab atau perintah-perintah itu amatlah mudah, yaitu hanya dengan melalui makna lahiriah (makna tersurat) dari berita-berita yang ada. Demikian pula untuk menanggung bebannya tidaklah begitu sulit pelaksanananya.
Hanya saja yang menjadi kesulitan itu adalah mengetahui bagaimana caranya mengambil kesimpulan hukum-hukum dari makna yang tersirat di balik nas-nas yang ada. Termasuk di antara penyelidikan yang menyangkut nas-nas tersebut adalah mengetahui kedua perkara tersebut, yaitu makna lahiriah dan makna yang tersirat, serta pengertian-pengertian lain yang terkandung di dalamnya.
Sehubungan dengan hal yang telah disebutkan di atas, ada sebuah atsar yang bersumber dari Abu Abdur Rahman. ia telah menceritakan bahwa sahabat Ali ra, berjumpa dengan seorang qadi atau hakim, lalu Ali ra bertanya kepadanya “Apakah kamu mengetahui masalah nasikh dan masukh?” Si Qadi tadi menjaab: “Tidak”. Maka Ali ra menegaskan “Kamu adalah orang yang celaka dan mencelakakan”
***** akhir kutipan *****
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Ada dua cara agar kita dalam berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tidak sesat dan menyesatkan yakni
1. Dalam berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) harus menguasai ilmu atau kompetensi atau syarat untuk berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) atau syarat untuk menggali sendiri hukum-hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah.
2. Dalam berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) mengikuti para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Penjelasan selengkapnya ada dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/29/agar-tidak-sesat/
Jumhur ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dan pada umumnya selalu berpegang pada nash secara dzahir (makna dzahir) kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihiwasallam dan ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin, sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/06/shalat-yang-fasidah/
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluqNya sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/24/mengaku-hanabila/