Sunnah hasanah segala sesuatu yang baru dalam kebaikan
Mereka menyatakan bahwa Rasulullah pernah menyampaikan adanya sunnah hasanah namun bukan bid’ah hasanah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Barang siapa dapat memberikan suri tauladan yang baik dalam Islam, lalu suri tauladan tersebut dapat diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat untuknya pahala sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang mereka peroleh. Sebaliknya, barang siapa memberikan suri tauladan yang buruk dalam Islam, lalu suri tauladan tersebut diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa yang mereka peroleh sedikitpun.’ (HR Muslim 4830) Link http://www.indoquran.com/index.php?surano=48&ayatno=14&action=display&option=com_muslim
Barang siapa dapat memberikan suri tauladan atau contoh atau sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya atau perkara baru yang belum dilakukan oleh orang lain sebelumnya tergantung dari apa yang dicontohkannya, jika yang dicontohkan kebaikan maka yang mencontohkan akan dicatat untuknya pahala sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang mereka peroleh. Sebaliknya, barang siapa mencontoh keburukan, lalu contoh tersebut diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa yang mereka peroleh sedikitpun
Definisi kebaikan dan keburukan yang berlaku dari sejak Nabi Adam a.s sampai masa kini dan sampai akhir zaman nanti adalah,
Kebaikan adalah segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya
Keburukan adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya
Setelah Nabi Sayyidina wa Maulana Muhammad Shallallahu alaihi wasallam di utus oleh Allah Azza wa Jalla maka apa yang ditetapkanNya atau diwajibkanNya terurai dalam kitab Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Oleh karenanya dijelaskan oleh Imam Syafi’i rahimahullah bahwa bid’ah mahmudah (hasanah) sebagai “apa yang baru terjadi dari kebaikan”
Imam Asy Syafi’i ~rahimahullah berkata “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)”
Perkara baru yang hasanah/mahmudah adalah perkara baru dalam amal kebaikan
Perkara baru yang sesat/dholalah/tertolak adalah perkara baru dalam amal ketaatan
Perkara yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya adalah perkara yang wajib dijalani dan wajib dijauhi atau perkara syariat (syarat) atau disebut sebagai “urusan kami” atau disebut dengan agama atau disebut amal ketaatan
Amal ketaatan adalah ibadah yang terkait dengan menjalankan kewajibanNya (perkara kewajiban) dan menjauhi laranganNya (perkara larangan dan pengharaman).
Amal ketaatan adalah perkara mau tidak mau harus kita jalankan atau kita taati.
Amal ketaatan jika tidak dijalankan atau tidak ditaati akan mendapatkan akibat/ganjaran, ganjaran baik (pahala) maupun ganjaran buruk (dosa).
Amal ketaatan adalah bukti ketaatan atau “bukti cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Orang yang menjalankan amal ketaatan atau “bukti cinta” adalah disebut orang beriman (mukmin)
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imron [3]:31 )
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (QS Ali Imron [3]:32 )
“dan ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (QS Al Anfaal [8]:1 )
Amal ketaatan adalah apa yang ditetapkanNya yakni perkara kewajiban, batas/larangan dan pengharaman
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas/larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa kemudian akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Bagian akhir hadits di atas menyampaikan bahwa “sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya” serta telah sempurna atau telah selesai segala perkara yang ditetapkanNya atau diwajibkanNya atau telah selesai segala perkara yang wajib dijalankan manusia dan wajib dijauhi manusia ketika Nabi Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam di utus.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” ( QS Al Maaidah [5]:3 )
Amal kebaikan adalah segala perkara diluar amal ketaatan atau segala perkara diluar apa yang telah diwajibkanNya yang tidak bertentangan dengan apa yang telah diwajibkanNya
Amal kebaikan adalah ibadah diluar amal ketaatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Amal kebaikan adalah perkara yang dilakukan atas kesadaran kita sendiri untuk meraih kecintaan atau keridhoan Allah Azza wa Jalla.
Amal kebaikan adalah ibadah yang jika dilakukan dapat pahala dan tidak dilakukan tidak berdosa.
Amal kebaikan adalah “ungkapan cinta” kita kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya.
Amal kebaikan adalah upaya kita untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Orang yang beriman (mukmin) dan menjalankan amal kebaikan atau mereka yang mengungkapkan cintanya kepada Allah Allah Azza wa Jalla dan RasulNya adalah disebut muhsin / muhsinin, muslim yang ihsan atau muslim yang baik atau sholihin.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Inilah ayat-ayat Al Qura’an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan rahmat bagi muhsinin (orang-orang yang berbuat kebaikan), (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Lukman [31]:2-5)
Jadi kita tidak boleh membuat perkara baru atau mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala untuk menetapkanNya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman.
Contoh Rasulullah menghindari perkara baru dalam kewajiban
Rasulullah bersabda, “Aku khawatir bila shalat malam itu ditetapkan sebagai kewajiban atas kalian.” (HR Bukhari 687). Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=10&ayatno=120&action=display&option=com_bukhari
Begitu juga dengan yang terjadi pada kaum nasrani sebagai yang diriwayatkan berikut,
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat yang artinya, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah [9] : 31) , kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu“.
Maka jawab Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Jadi perkara baru dari apa yang telah ditetapkanNya atau diwajibkanNya atau mengada-ada yang tidak diwajibkan menjadi diwajibkan atau sebaliknya , yang halal menjadi haram atau sebaliknya, yang tidak dilarang menjadi dilarang atau sebaliknya maka itu adalah dlolalah atau kesesatan karena itu adalah penyembahan diantara yang menetapkan dan yang mengikuti perkara baru tersebut. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/03/bentuk-penyembahan/
Penyembahan kepada selain Allah ta’ala adalah kesyirikan yang merupakan dosa yang tidak diampunkan oleh Allah Azza wa Jalla. Oleh karenanya dapatlah kita memahami perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai berikut
إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
“Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]
Jadi kita tidak boleh sembarangan menuduh saudara muslim yang lain sebagai ahli bid’ah karena bid’ah dlolalah adalah termasuk kesyirikan artinya sama saja kita mengatakan kepada saudara muslim yang lain sebagai “kamu kafir”.
Kita paham jika yang dituduh tidak melakukan kesyirikan maka tuduhan itu akan kembali pada yang mengucapkan (yang menuduh)
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar:
اِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأِخِهِ: يَا كَافِرُ! فَقَدْ بَاءَ بِهَا أحَدُهُمَا فَاِنْ كَانَ
كَمَا قَالَ وَاِلَى رَجَعَتْ عَلَيْـهِ.
“Barangsiapa yang berkata pada saudaranya ‘hai kafir’ kata-kata itu akan kembali pada salah satu diantara keduanya. Jika tidak (artinya yang dituduh tidak demikian) maka kata itu kembali pada yang mengucapkan (yang menuduh)”.
Boleh jadi mereka yang sering menghujat saudara muslim lainnya sebagai ahlul bid’ah pada akhirnya hujatannya kembali kepada mereka karena mereka mengada-ada atau membuat perkara baru dalam hal larangan. Mereka tidak menyadari telah mengada-ada dalam hal larangan karena kesalahpahaman mereka dalam memahami Al Qur’an dan Hadits. Merekalah yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai mereka yang membaca Al Qur’an namun tidak melampaui tenggorokan dan mereka pun disebut oleh Rasulullah sebagai “orang-orang muda”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Akan keluar suatu kaum akhir jaman, orang-orang muda yang pemahamannya sering salah paham. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyyah” (maksudnya: suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits). Iman mereka tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu perangilah mereka (luruskan pemahaman mereka).” (Hadits Sahih riwayat Imam Bukhari 3342).
Tentang “orang-orang muda” telah kami jelaskan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/15/orang-orang-muda/
Hikmah atau pelajaran yang dapat kita ambil dari hadits yang disampaikan pada awal tulisan, dapat kita pahami begitu besarnya amal kebaikan yang akan diperoleh para pencipta atau penemu hal-hal yang baru. Mereka akan mendapatkan kebaikan (pahala) dari mereka yang menggunakan penemuannya. Namun bagi para penemu yang tidak bersyahadat (non muslim) maka amal kebaikan yang mereka peroleh akan menjadi sia-sia dan tidak bermanfaat di akhirat kelak.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi“. (QS Az Zumar [39]:65 )
“Sungguh, bila kamu berbuat syirik, maka hapuslah amalanmu, dan sunguh kamu tergolong orang-orang yang rugi” (QS Az Zumar: 65 )
“Amalan-amalan mereka (orang-orang musyrik/kafir) adalah bagaikan debu yang diterpa oleh angin kencang di hari yang penuh badai” (QS Ibrahim: 18 )
Begitu juga amal kebaikan akan menjadi sia-sia bagi ahlul bid’ah yakni mereka yang mengada-ada dalam perkara kewajiban, larangan dan pengharaman karena hal itu adalah penyembahan diantara manusia atau penyembahan kepada selain Allah. Rasulullah menyatakan sebagai “Mereka keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya.”
Begitupula betapa besar amal kebaikan yang diperoleh oleh para ulama, pendakwah, penulis, mereka akan memperoleh kebaikan (pahala) dari mereka yang mengikuti kebaikan yang telah disampaikannya namun sebaliknya mereka akan memperoleh dosa atas mereka yang mengikuti kesalahpahamannya. Untuk itu, berhati-hatilah dalam copas atau sharing sebuah tulisan, boleh jadi malah menyebarluaskan kesalahpahaman sehingga akan memperoleh dosa atas mereka yang melakukan sikap atau perbuatan berlandaskan kesalahpahaman yang diperoleh.
Amal ketaatan hanya berlaku dan diperhitungkan sepanjang nyawa dikandung badan atau selama kita hidup. Sedangkan amal kebaikan (amal sholeh) adalah berlaku jauh lebih lama daripada amal ketaatan.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya”. ( QS Maryam [19]:76 )
Dapat kita pahami betapa besarnya amal kebaikan yang diperoleh bagi mereka yang memberi bantuan atau bahkan menghidupi anak yatim, para dhuafa, janda-janda yang ditinggal mati oleh suaminya. Mereka akan memperoleh kebaikan dari keturunan-keturunan mereka.
Bagitu juga betapa besarnya amal kebaikan yang diperoleh bagi pencipta sholawat nariyah, sholawat badar, qashidah burdah, maulid barzanji, ratib atau untaian doa dan dzikir, mereka akan memperoleh kebaikan dari mereka yang beramal kebaikan dengan apa yang mereka ciptakan
Begitu juga betapa besarnya amal kebaikan yang diperoleh bagi mereka yang melakukan kegiatan yang bersifat syiar agama seperti peringatan Maulid, Isra Mi’raj, tahun baru Islam, pencipta nasyid atau lagu yang mengingat Allah atau memuji Rasulullah atau memuji mereka yang disisiNya. yang dengan itu semua mempertebal keimanan seorang atau bahkan seorang non muslim menjadi mualaf. Mereka akan memperoleh kebaikan dari keturunan-keturunan mereka.
Kami teringat sebuah syair yang berbunyi “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepadaNya” . Syair ini menjelaskan tentang Ihsan bahwa kita takut kepada Allah karena merasa diawasi / dilihatNya atau yang terbaik adalah kita dapat melihat Allah ta’ala dengan hati
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11) Link: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=3&action=display&option=com_muslim
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Pada zaman ini semakin jarang ulama yang menyampaikan tentang Ihsan atau tasawuf dalam Islam bahkan mereka tidak merasa diawasi atau dilihat Allah Azza wa Jalla dimana mereka menghujat saudara-saudara muslim lainnya karena dakwah mereka dengan jarh wa ta’dil. Padahal jarh wa ta’dil hanya dipergunakan dalam periwayatan hadits semata sedangkan pada zaman ini sebaiknya berdakwah bil hikmah dengan memahami hakikat perintah dan laranganNya kemudian menyampaikan dengan cara yang arif bijaksana sehingga objek dakwah dapat memahami, menerima dan mengikuti atas kesadarannya sendiri. Sehingga mereka beribadah bukan karena kita (kita perintah) atau bukan karena terpaksa (kita paksa) namun karena Allah ta’ala semata. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/24/jarh-wa-tadil/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Dijawab oleh Imam Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Maliki (Mufti Andalusia, lahir sktr 720 H)
Jawaban dari sisi I: Sabda beliau SAW, “Barangsiapa membuat Sunnah yang baik.” Maksud hadits tersebut bukanlah menciptakan sesuatu yang tidak ada permisalan sebelumnya, karena jika maksudnya tidak demikian, maka pasti terjadi perselisihan antara dalil-dalil yang qath’i (jika menganggap bahwa sumber pertanyaan yang telah disebutkan berasal dari dalil-dalil yang qath’i. Namun jika menganggapnya dari dalil-dalil yang zhanni, maka dalil-dalil (tentang tercelanya bid’ah) yang terdahulu, yang telah disebutkan, juga berasal dari dalil-dalil qath’i.
Jadi, kondisi mengharuskan terjadinya pertentangan antara dalil qath’i dengan dalil zhanni serta penyelesaiannya dari kesepakatan para Muhaqqiqin. Namun pada perkara ini terdapat pembahasan —atau pengkajian— dari dua sisi:
Dikatakan bahwa perkara tersebut dilihat dari dua sisi yang bertentangan, sebab pada awal telah dinyatakan bahwa keutamaan dalil-dalil tentang celaan telah disebutkan berulang-ulang di dalam banyak hadits, tanpa adanya pengkhususan. Apabila terjadi perselisihan antara dalil-dalil yang umum dengan dalil-dalil yang khusus, maka dalil- dalil yang khusus tidak dapat lagi diterima.
Mengambil hukum tazanul (berhenti) untuk menghilangkan perselisihan, karena maksud hadits (tentang pembuatan Sunnah) bukanlah menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada, tetapi pengamalan terhadap Sunnah Nabi yang telah ditetapkan. Perkara ini ditinjau dari dua segi, diantaranya adalah sebab yang ada merupakan sebuah hadits (yaitu sedekah) yang telah disyariatkan, dengan dalil dari hadits shahih yang telah diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah RA, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah SAW pada pertengahan siang, kemudian datang satu kaum yang tidak beralaskan kaki dengan memakai kain untuk diselimutkan di badan —mantel— sambil menggantungkan pedang. Kebanyakan mereka dari Mudhar, bahkan semuanya berasal dari suku Mudhar. Lalu rona wajah Rasulullah SAW berubah karena melihat kefakiran yang mereka alami. Beliau kemudian masuk ke rumah dan setelah keluar rumah beliau memerintahkan Bilal untuk adzan dan iqamah.
Setelah itu beliau shalat dan berkhutbah, kemudian membaca, ‘Hai sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada Tuhan-Mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.’ (Qs. An-Nisaa’ [4]: 1) dan ‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).’ (Qs. Al Hasyr [59]: 18) Seseorang lalu bersedekah dari uang dinarnya, uang dirhamnya, dari bajunya, dari literan gandumnya, dan dari literan kurmanya, hingga beliau bersabda: ‘ Walau hanya dengan satu butir kurma’.”
Perawi berkata, “Seorang laki-laki Anshar datang dengan membawa bungkusan yang kedua telapak tangannya hampir-hampir tidak mampu membawanya, bahkan kedua telapak tangannya tidak mampu membawanya.”
Perawi menambahkan, “Kemudian orang-orang mengikuti perbuatannya, hingga saya melihat dua tumpukan dari makanan dan pakaian. Saya melihat wajah Rasulullah SAW menjadi berseri-seri. Seakan-akan (sedekah yang mereka lakukan tersebut) menjadi penghapus kesedihan beliau. Beliau pun bersabda: ‘Barangsiapa membuat Sunnah di dalam Islam dengan Sunnah yang baik, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dari pahala mereka. Sedangkan barangsiapa membuat Sunnah di dalam Islam dengan Sunnah yang buruk, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka’.”
Perhatikanlah sabda Rasulullah tersebut, dimana kalimat yang mengatakan tentang orang yang membuat Sunnah yang buruk? Kamu akan mendapatkannya pada seseorang yang berbuat sesuai kandungan hadits yang telah disebutkan secara sempurna, meskipun hanya dengan kantong maka setelah itu pintu sedekah terbuka secara jelas dan sempurna. Itulah yang membuat Rasulullah SAW sangat senang, hingga beliau bersabda: “Barangsiapa membuat Sunnah di dalam Islam dengan Sunnah yang baik.”
Oleh karena itu, menjadi dalil bahwa Sunnah yang dimaksud di sini adalah perbuatan yang telah dilakukan oleh sahabat Anshar tersebut, yaitu perbuatan yang ditetapkan menjadi Sunnah. Hadits ini sangat serasi dengan sabda beliau dalam hadits lain: “Barangsiapa menghidupkan Sunnah dari Sunnah-Sunnahku setelah aku meninggal dunia… barangsiapa berbuat bid’ah dengan bid’ah yang sesat” dan menjadikan lawan dari Sunnah adalah bid’ah, maka nampak bahwa Sunnah yang baik bukanlah bid’ah. Begitu pula sabda beliau SAW: “Dan barangsiapa menghidupkan Sunnahku maka ia telah mencintaiku.”
Apa yang menjadi dasar dalam hadits yang pertama sangat jelas, karena beliau SAW telah memerintahkan pertama kali untuk bersedekah, kemudian datang sahabat Anshar dengan bawaannya, maka setelah itu mengalir sedekah hingga mencukupi. Seakan-akan sedekah tersebut menjadi Sunnah yang telah dibangkitkan oleh sahabat tersebut dengan amal perbuatannya. Oleh karena itu, tidak dianggap sebagai orang yang menciptakan Sunnah atau membuat bid’ah.
Hal yang sama dengan hadits ini telah dicantumkan dalam kitab Ar-Raqa’iq karangan Ibnu Mubarak, yang menambah jelas pengertiannya, dari Khudzaifah RA, ia berkata, “Pada masa Rasulullah, ada seorang peminta minta yang datang untuk meminta-minta, namun orang-orang bersikap diam Kemudian seorang laki-laki memberi (peminta-minta tersebut) sesuatu, dai temyata orang-orang ikut memberi. Rasulullah SAW pun bersabda: “Barangsiapa membuat Sunnah yang baik dan diikuti, maka baginya pahalanya dan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka. Sedangkan barangsiapa membuat Sunnah yang buruk dan diikuti, maka baginya dosanya dan dosa seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka.”
Dengan demikian, sabda beliau, “Barangsiapa membuat Sunnah.” artinya adalah ORANG YANG BERBUAT SESUAI DENGAN SUNNAH, BUKAN ORANG YANG MENCIPTAKAN SUNNAH.
Jawaban dari sisi II: Sabda beliau: “Barangsiapa membuat sunah yang baik… dan barangsiapa membuat sunah yang buruk.”
Tidak mungkin dipahami sebagai penciptaan sesuatu yang baru dari sumber asli, sebab pada prinsipnya sunah (perilaku) yang baik dan sunah yang buruk hanya dapat diketahui dari segi syariat, karena penilaian yang baik dan penilaian yang buruk hanya dikhususkan bagi syariat dan tidak ada peran bagi akal dalam perkara tersebut.
Pendapat tersebut adalah pendapat madzhab Ahlus-Sunnah dan pelaku bid’ah pun berpendapat demikian. Maksud saya, penilaian baik dan buruk itu berasal dari pendapat akal, maka sudah selayaknya kata sunah dalam hadits tersebut mempunyai arti bahwa sesuatu itu dinilai baik harus menurut penilaian syariat, atau sesuatu itu dinilai buruk harus pula menurut syariat, serta tidak dapat dibenarkan kecuali berdasarkan contoh perkara sedekah yang telah disebutkan sebelumnya dan seperti pembenaran semisalnya dari sunah-sunah yang telah disyariatkan.
Sementara itu, sunah yang buruk masuk dalam kategori perbuatan maksiat yang telah ditetapkan syariat, seperti perkara pembunuhan yang telah diterangkan di dalam hadits anak Adam tatkala Nabi SAW bersabda: “Karena ia adalah orang pertama yang membuat sunah (perilaku) pembunuhan.”
Hal tersebut ditetapkan sebagai perbuatan bid’ah, karena telah ditetapkan bahwa perilaku buruk tersebut tercela dan dilarang menurut syariat.
Adapun sabda beliau, “Barangsiapa berbuat bid’ah yang sesat.” dilihat dari zhahirnya (makna yang tersurat), karena sebab-sebab dalam hadits tersebut tidak dikuatkan dengan sesuatu. Oleh karena itu sudah selayaknya diartikan menurut lafazhnya, seperti perkara-perkara umum yang pertama kali timbul dan belum ditetapkan sebab-sebabnya. Jadi, dibenarkan untuk mengartikan sabda beliau, “Barangsiapa membuat kebiasaan buruk.” seperti pengertian tersebut, maksudnya, “Barangsiapa membuatnya dari yang tidak ada permisalan sebelumnya.” Pengertian ini pada dasarnya adalah perkara bid’ah yang dibuat pertama kali dari kemaksiatan, seperti perkara pembunuhan oleh salah seorang anak Adam atau yang dibentuk sesuai keadaan, sebab kebiasaan buruk tersebut sebelumnya tidak menjadi suatu kebiasaan, tetapi kemudian sang pelaku memberikan permisalan hal tersebut.
Namun masih tersisa hal-hal yang perlu dibahas dari sabda beliau, “Barangsiapa berbuat bid’ah yang sesat.” Bahwa pembatasan bid’ah dengan kesesatan memberikan pengertian yang hanya berdasarkan pada maksud dari pengertian kalimat itu, dan hal tersebut sangat dekat dengan penjelasan haditsnya. Sebab, penggandengan kalimat bid’ah dengan kesesatan tidak memberikan pengertian yang hanya berdasarkan pada maksud dari pengertiannya dalam hadits tersebut. Jadi, apabila kita sepakat untuk mengatakan bahwa perkara tersebut dapat dimengerti hanya berdasarkan pada maksud dari pengertiannya, sebagaimana menurut sebagian para ulama ushul, maka dalil pada pembahasan ini menolak kesepakatan tersebut, seperti halnya dalil-dalil yang menyatakan pengharaman atas riba yang sedikit atau yang banyak yang merujuk pada penolakan terhadap pengertian yang hanya berdasarkan pada maksud dari pengertiannya pada firman Allah, “Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Qs. Ali ‘Imraan (3): 130) Juga karena kesesatan sudah selayaknya menjadi sifat bid’ah secara mutlak, dengan dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya yang tidak hanya bersandar pada pemahaman maksud dari pengertiannya. (Al-I’tisham oleh imam Asy-Syathibi)
“Barangsiapa yang melakukan suatu SUNNAH HASANAH (baik) dalam Islam maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang melakukannya sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang melakukan suatu SUNNAH SAYYI’AH (buruk), maka baginya dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” [HR. Muslim, no. 1017]
Dalam hadits di atas, Nabi menyebut lawan dari sunnah hasanah adalah sunnah sayyi’ah. Dalam hadits2 yg lain Nabi menyebut lawan dari kata sunnah adalah bid’ah.
من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس كان له مثل أجر من عمل مها لا ينقص من أجورهم شيْا و من ابتدع بدعة فعمل بها كان عليه أوزار من عمل بها لا ينقص من أوزار من عمل بها شيئا
“Barangsiapa menghidupkan salah satu SUNNAHku lalu orang-orang ikut mengamalkannya, maka ia mendapatkan pahala dari orang yang ikut mengamalkannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang mengadakan suatu BID’AH lalu mengamalkannya, maka ia akan mendapatkan dosa dari orang yang ikut melakukannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” [Sunan Ibnu Majah, no. 209, shahih]
“Aku wasiatkan padamu agar engkau bertakwa kepada Allah, patuh dan ta’at, sekalipun yang memerintahmu seorang budak Habsyi. Sebab barangsiapa hidup (lama) di antara kamu tentu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Karena itu, berpegang teguhlah pada SUNNAHku (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, red) dan SUNNAH khulafa’ur rasyidin yang (mereka itu) mendapat petunjuk. Pegang teguhlah ia sekuat-kuatnya. Dan hati-hatilah terhadap setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena semua perkara yang diada-adakan itu adalah BID’AH, sedangkan setiap bid’ah adalah sesat (dan setiap yang sesat tempatnya di dalam Neraka).” (HR. Nasa’i dan At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih).
Jadi,
Arti sunnah hasanah = sunnah Nabi dan para sahabat (bukan bid’ah hasanah)
Arti sunnah sayyi’ah = perbuatan bid’ah/maksiat
Mas Susanto , mas menyampaikan makna sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah sebagai berikut
Arti sunnah hasanah = sunnah Nabi dan para sahabat (bukan bid’ah hasanah)
Arti sunnah sayyi’ah = perbuatan bid’ah/maksiat
Hasanah artinya baik, sayyiah artinya buruk
Kalau mas mengartikan sunnah hasanah = sunnah Nabi dan para sahabat yang baik maka harus konsisten mengartikan sunnah sayyiah adalah sunnah Nabi dan para sahabat yang buruk. Tentu mustahil ada sunnah Nabi yang buruk atau sunnah para sahabat yang buruk
Kemungkinan arti sunnah yang lain adalah perkara sunnah atau mandub yakni perbuat yang jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak apa-apa
Jadi kalau sunnah diartikan perkara mandub maka sunnah hasanah adalah perkara mandub yang baik dan sunnah sayyiah adalah perkara mandub yang buruk. Tentu mustahil ada perkara sunnah atau perkara mandub yang buruk.
Jadi kemungkinan yang benar dari arti kata sunnah pada sunnah hasanah dan sunnah sayyiah adalah contoh, sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya atau perkara baru .
Sunnah hasanah = contoh atau perkara baru (bid’ah) yang baik
Sunnah sayyiah = contoh atau perkara baru (bid’ah) yang buruk.
Perkara baru (bid’ah) yang diperbolehkan adalah perkara baru di luar perkara syariat karena perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama atau dibeberapa hadits disebut perkara baru (bid’ah) dalam urusan kami adalah terlarang
Jadi
Sunnah hasanah = contoh atau perkara baru (bid’ah) yang baik adalah perkara baru (bid’ah) di luar perkara syariat yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau perkara baru (bid’ah) di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas
Sunnah sayyiah = contoh atau perkara baru (bid’ah) yang buruk adalah perkara baru (bid’ah) di luar perkara syariat yang menyalahi laranganNya atau perkara baru (bid’ah) di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak bertentangan dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313).
Jadi bid’ah dholalah ada dua jenis yakni
1. Sunnah Sayyiah, perkara baru (bid’ah) yang buruk adalah perkara baru (bid’ah) di luar perkara syariat yang menyalahi laranganNya atau perkara baru (bid’ah) di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas
2. Perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama atau dibeberapa hadits disebut perkara baru (bid’ah) dalam urusan kami yakni perkara baru (bid’ah) dalam urusan yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni melarang sesuatu yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya dan mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
afwan ikut share …, menurut pemahaman saya :
sunnah itu arti secara bahasanya adalah jalan hidup/metode yg ditempuh. namun kita di indonesia terbiasa dengan makna sunnah itu sebagai hukum setelah wajib.
sunnah hasanah adalah jalan hidup yg baik. sunnah sayyiah adalah jalan hidup yg jelek . (sesuai HR Muslim No.1017).
Sunnah Rosulullah SAW adalah jalan hidup yg ditempuh Rosulullah (lebih populer : Al Hadits dalam bahasa ahli hadits, oleh krn itu ahlusunnah waljamaah: org yg mengikuti sunnah rosul dan para sahabatnya yg mendapat petunjuk).
hukumnya mengikuti sunnah rosulullah SAW (al hadits )bisa wajib bisa sunnah (hukum fiqh), co: tatacara sholat, jumlah roka’at itu semua diajarkan oleh rosul dlm haditsnya dan hukumnya wajib kita ikuti.
pada umumnya mengikuti sunnah rosulullah SAW/al hadits adalah :
1. harus dilakukan (banyak juga yg hukumnya wajib) , dan tentu melakukannya sesuai kemampuan. karena disalah satu haditsnya (“barang siapa yg tidak menyukai sunnahku maka bukan umatku”, artinya apa…??? kita harus mengikuti sunnah rosul, namun itu tadi lakukanlah semampunya, sesuai ilmu yg dimiliki, dan terus belajar).
2. hukumnya sunnah (hukum ke 2 dalam fiqh) telah banyak dijabarkan oleh para ulama (baik ahli fiqh, maupun ulama yg lainnya)
Intinya; Sunnah Rosulullah SAW itu adalah Al Hadits , terkadang hanya dikatakan as-sunnah saja.
sdgkan makna sunnah sayyiah, adalah jalan hidup yg jelek, co : maksiat, kufur, menentang sunnah rosul, tatacara ibadah yg tdk sesuai petunjuk rosul , dll. mudah2an ada manfaatnya.