Ahli (membaca) hadits mereka memvonis BUKAN MUSLIM yang beriman
Dalam masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Qur’an, mereka biasa menggunakan kata janbun (pinggang) dalam makna majaz (kiasan / metaforis).
Pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi mencontohkan Tsa’labah berkata:
وَاذْكُرَا الله فِي جَنْبِي
Wadzkura Allah fi Janbi
Bukan berarti,
”Sebutlah nama Allah pada pinggangku”
Namun bermakna
“aku perintahkan sebutlah nama Allah”
Jadi firman Allah Ta’ala, yaa hasrotanaa alaa maa farrothnaa fii janbillaahi (QS Az Zumar [39] : 56)
Bukan bermakna ”Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam pinggang Allah”
Namun bermakna ”Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam mentaati (menunaikan) perintah Allah”.
Contoh lain bangsa Arab Klasik juga biasa menggunakan kata wajhun (wajah) dalam makna majaz (kiasan / metaforis) untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya.
Contohnya untuk menghormati yang datang, mereka mengatakan,
jaa’a wajhul qoumi
telah datang wajah kaum.
Berikut contoh mereka yang biasa menggunakan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR justru mereka MENAKWIL ILLA WAJHAHU artinya “kecuali wajah-Nya” (dhamir Hu merujuk kepada Sang Pencipta) dengan ILLA MALIKAHU artinya menurut mereka adalah “kecuali Pemilik wajah” NAMUN dari mana datangnya kata yang dapat diterjemahkan sebagai wajah?
Jika ditakwil ILLA MALIKAHU artinya “kecuali pemilik-Nya” maknanya Tuhan ada yang memilikinya.
Silahkan saksikan videonya pada https://www.youtube.com/watch?v=o2A48_KaYSI
Hal yang lebih menarik pendapat ahli (membaca) hadits Albani dalam karyanya yang berjudul al Fatawa, halaman 523,
Ahli (membaca) hadits Albani , ketika ditanya tentang penakwilan
كل سيء هالك إلا وجهه
QS al-Qashash [28] : (88)
البخاري بعد هذه الأية : أي ملكه
Seperti dalam Shahih al-Bukhari adalah kecuali MULKAHU
Ahli (membaca) Albani menjawab,
Siapa yang mentakwil firman Allah “Kullu Sya’in Halikun Illa Wajhahu” dengan takwil “kecuali MULKAHU” maka
هذا لا يقوله مسلم مؤمن
“Ini TIDAK SEPATUTNYA dikatakan oleh seorang muslim yang beriman.
Jadi secara tidak langsung ahli (membaca) hadits Albani MENYALAHKAN Imam Bukhari dan memvonis BUKAN MUSLIM yang beriman.
Para pengikut ahli (membaca) hadits, Albani membelanya dan mengatakan bahwa perkataan ahli (membaca) hadits Albani, “Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang muslim yang beriman“ BUKANLAH DITUJUKAN kepada Imam Bukhari namun kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna rahimahullah karena menurut mereka Imam Bukhari hanya meriwayatkan ucapannya saja.
Jadi mereka menganggap BUKAN MUSLIM yang beriman terhadap Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208), seorang pakar ilmu bayan, pengarang kitab pertama kali yang disusun dalam bidang balaghah, tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an sebagaimana informasi pada http://iancakepcool.blogspot.co.id/2009/04/makalah-balagah.html
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa pada riwayat An-Nasafi terhadap Shahih Al Bukhari terdapat lafal: “kecuali MULKAHU” yang dinisbatkan kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna.
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata; “Perkataan “kecuali wajah-Nya” adalah kecuali MULKAHU, ada pada riwayat An-Nasafi. Ma’mar berkata;…(seperti telah disebutkan). Dan Ma’mar adalah Abu Ubaidah, Ibnul Mutsanna. Dan ini adalah perkataannya dalam kitab-Nya Majaz Al Qur’an namun dengan lafal: “kecuali Dia”. Fathul Bari (8/505)
Jadi jelaslah Ma’mar bin al-Mutsanna Abu Ubaidah menafsirkan dengan menakwilkan lafaz yang kalau dimaknai secara dzahir adalah “kecuali wajah Nya” dengan memalingkannya kepada “kecuali MULKAHU” dan pada kesempatan yang lain ditegaskan dengan lafal: “Kecuali Dia”
Begitupula Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
وهكذا قوله ها هنا: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا إياه.
“Demikian juga, firmanNya di sini: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”, yaitu kecuali DiriNya” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)
Istilah Wahabi digunakan sebagai laqob (julukan / gelar) untuk orang-orang yang SECARA TERANG-TERANGAN melanggar larangan Rasulullah yakni mereka yang memahami atau “kembali” kepada Al Qur’an dan Hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR namun mereka menisbatkan sebagai Salafi atau Atsari
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Istilah Wahabi merujuk kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) yang dijuluki “duplikat” Ibnu Taimiyyah (W 728 H) yang memahami Al Qur’an dan Hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Begitupula mereka sendiri yang mengatakan bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah (W 728 H) adalah seorang yang mendalami ilmu agama secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri seperti contoh informasi dari kalangan mereka sendiri pada http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Begitupula seberapapun banyaknya guru atau seberapapun panjangnya rantai sanad guru (sanad ilmu) dari ahli (membaca) hadits, Albani yang dikenal sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” maka tidak akan berarti (berguna) karena Beliau lebih banyak mendalami ilmu agama, berpendapat dan berfatwa dari balik perpustakaan alias secara otodidak (shahafi) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana contoh informasi dari kalangan pengikutnya sendiri pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Ahli (membaca) hadits, Albani mengakui bahwa Beliau adalah ahli hadits kitab bukan penghafal hadits.
Dalam ilmu Musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih
Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh ahli (membaca) hadits Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadits) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.
Jadi yang dimaksud oleh mereka dengan julukan atau pengakuan sebagai “ahli hadits” adalah ahli (membaca) hadits secara shahafi (otodidak) bukan ahli hadits sesungguhnya yang menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung kepada lisannya Rasulullah.
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Ibnu Taimiyyah (W 728 H) tidak pernah mengklaim diri sebagai ulama Hanbali.
Dalam bukunya berjudul Araddu ‘ala al-Hululiyyah wa al-Ittihadiyyah, Ibnu Taimiyyah mengungkapkan keinginannya untuk membersihkan pemikiran-pemikiran yang taqlid dan mengembangkan perlunya membuka kembali pintu ijtihad.
Para ulama terdahulu tidak mengelompokkan Ibnu Taimiyyah sebagai ahli istidlal atau fuqaha (ahli fiqih) namun sebagai ahli hadits dan itupun bukan penghafal hadits namun ahli hadits kitab alias ahli (membaca) hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri.
Begitupula ahli hadits berbeda dengan ahli istidlal seperti para fuqaha (ahli fiqih) .
Ahli hadits tidak berhak untuk bertindak sebagai fuqaha.
Oleh karenanya tidak ditemukan penisbatan nama mazhab kepada nama seorang ahli hadits.
Ahli hadits hanyalah menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya kemudian mengumpulkan, meneliti dan menyampaikan dalam kitab-kitab hadits atau menyusunnya berdasarkan nama perawi sehingga menjadi kitab-kitab musnad atau menyusunnya berdasarkan klasifikasi masalah sehingga menjadi kitab-kitab sunan.
Contoh perbedaan di antara dua Ibnu Hajar yakni Ibnu Hajar Al ‘Asqalani adalah ahli hadits dari mazhab Syafi’i sedangkan Ibnu Hajar al-Haitami adalah seorang fuqaha dari mazhab Syafi’i sehingga berhak berpendapat atau berfatwa.
Ibnu Hajar al-Haitami, sebelum umur 20 tahun, Beliau sudah diminta para gurunya untuk mengajar dan memberi fatwa di Mesir. Beliau berhak berfatwa karena menguasai berbagai ilmu antara lain tafsir, hadis, ilmu kalam, fikih, ushul fiqh, ilmu waris, ilmu hisab, nahwu, sharaf, ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu manthiq dan lain lain.
Syaikhul Islam Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami al-Makki al-Syafi’i dalam kitabnya Al Fatawa Al Haditsiyah ketika ditanya tentang perkataan Sufyan bin Uyainah,
الحديث مضلة إلا الفقهاء
Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para fuqaha (ahli fiqih)
Beliau mencontohkan hadits yang dapat menyesatkan adalah hadits berbunyi “yanzilu Rabbuna…..” yang jika dipahami secara dzahir (makna dzahir / literal) dapat menimbulkan pemahaman tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk).
ولا يعرف معنى هذه إلا الفقهاء بخلاف من لايعرف إلا مجرد الحديث ، فإنه يضل فيه كما وقع لبعض متقدمي الحديث . بل ومتأخريهم ، كابن تيمية وأتباعه
Beliau mengatakan bahwa, “tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fiqih. Berbeda dengan mereka yang hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya.
وبهذا يعلم فضل الفقهاء المستبطين على المحدثين غير المستنبطين .
Dari sini, dapat diketahui keutamaan para ahli fiqih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli hadits yang tidak memiliki pemahaman.
Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran adalah salah seorang guru dari Imam Syafi’i. Beliau adalah salah seorang Tabi’ut Tabi’in tsiqoh yang sempat bertemu sekitar 87 Tabi’in, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H
Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas, mencontohkan hadits yang dapat menyesatkan bagi ahli (membaca) hadits adalah hadits Nuzul yakni,
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Berikut contoh KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah (W 728H) yakni pemahaman atau pendapatnya terhadap hadits Nuzul sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah)
**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘arsy-Nya dan Allah turun ke langit dunia.
**** akhir kutipan ****
Ibnu Taimiyyah terjerumus MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN nuzul dengan mengatakan bahwa
“Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG”
Begitupula ini adalah sebuah contoh KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah dalam perkara i’tiqod karena tidak pernah disabdakan Rasulullah maupun diriwayatkan oleh Salafush Sholeh.
Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah.
Timbul kerusakan dalam perkara i’tiqod akibat orang awam TERKELABUI dengan LABEL mazhab atau manhaj Salaf dan penisbatan atau tepatnya PELABELAN Salafi maupun Atsari
Mereka membeli atau memiliki kitab-kitab hadits dan membaca hadits-hadits dimana dalam hadits tercantum sanad hadits yakni nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan dikatakan oleh mereka bahwa mereka mengikuti PEMAHAMAN Salafush Sholeh dan DILABELI MAZHAB SALAF atau MANHAJ SALAF
Apa yang disampaikan dari hadits-hadits yang dibaca oleh mereka adalah PEMAHAMAN MEREKA sendiri BUKAN PEMAHAMAN Salafush Sholeh.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri yakni PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Ibnu Taimiyyah BUKAN ulama SALAF (terdahulu) namun ulama KHALAF (kemudian) karena wafat 728 H artinya Beliau hidup di atas 300 Hijriah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2020/12/05/bukanlah-ulama-salaf/
Begitupula Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) maupun Adz Dzahabi (w 748 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Jadi mereka tentu tidak bertemu dengan Salaf karena tidak semasa kehidupannya sehinga mereka tidak mendapatkan pemahaman Salaf yang sesungguhnya.
FITNAH terhadap Salafush Sholeh timbul AKIBAT Ibnu Taimiyyah (W 728 H) MENISBATKAN atau tepatnya MELABELKAN MAZHABNYA atau metode pemahamannya selalu dengan MAKNA DZAHIR sebagai mazhab atau manhaj salaf sebagaimana fatwanya dalam Majmu Fatawa 4/149
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR
***** akhir kutipan *****
Bahkan disebarluaskan dongeng atau tepatnya fitnah bahwa Imam Asy’ari melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran yakni fase ketiga / terakhir adalah SERUPA dengan MAZHABNYA Ibnu Taimiyyah (W 728 yang DILABELI mazhab atau manhaj Salaf.
Ibnu Taimiyyah dikabarkan masih sempat bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum Beliau wafat dipenjara sehingga Beliau belum sempat menulis kitab-kitab untuk mengkoreksi kekeliruannya akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyyah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) adalah SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari makna majaz (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115).
Begitupula Ibnu Taimiyyah dalam Al Iman hal 94 berkata,
***** awal kutipan *****
“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk metafor (majaz) dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk metafor.
Bahkan pembagian bahasa kepada hakekat dan metafor adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.
***** akhir kutipan ****
Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) murid dari Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
Contohnya mereka terjerumus Aashin (durhaka) kepada Allah Ta’ala yakni mereka secara tidak langsung memfitnah seolah-olah Allah Ta’ala yang melarang takwil AKIBAT MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka KELIRU MEMAHAMI firman Allah Ta’ala dalam (Q.S. Ali Imran [3] : 7)
Dalam (Q.S. Ali Imran [3] : 7), Allah Ta’ala BUKAN MELARANG TAKWIL dengan ILMU terkait bahasa Arab seperti ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3)
Allah Ta’ala bukan MELARANG TAKWIL namun MELARANG “mencari-cari takwil” atau “mengada-ngada takwil” yakni “mentakwil atau memaknai tanpa ilmu” seperti orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (selalu dengan makna dzahir) sehingga menimbulkan FITNAH (Q.S. Al Imran [3] : 7)
Contohnya mereka secara tidak langsung MEMFITNAH seolah-olah Rasulullah yang bersabda bahwa Tuhan BERTANGAN DUA dan KEDUA-DUANYA KANAN akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka KELIRU memahami hadits seperti,
“Rasulullah bersabda: “Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman ‘Azza wa Jalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua. (HR Muslim 3406 atau Syarah Shahih Muslim 1827)
Ironisnya tulisan ustadz mereka tersebut dinisbatkan sebagai pemahaman para Sahabat (Salafush Sholeh) sebagaimana yang terungkap pada https://asysyariah.com/dua-tangan-allah/
Jelas sekali apa yang mereka sampaikan BUKAN akidah atau PEMAHAMAN PARA SAHABAT (Salafush Sholeh) melainkan akidah atau PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI menurut akal pikiran mereka sendiri terhadap hadits yang mereka baca.
Begitupula Asy’ariyah yakni umat Islam pada umumnya tentulah BUKAN MENGINGKARI atau menafikan (menta’thil) sifat Allah NAMUN MENGINGKARI mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa janganlah memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan MAKNA DZAHIR karena akan terjerumus KEKUFURAN dalam perkara I’TIQOD.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Begitupula para ulama terdahulu telah MELARANG mensifatkan atau menjismkan Dzat Allah Ta’ala seperti mengatakan bahwa Allah memiliki wajah, tangan, kaki WALAUPUN dikatakan semua itu tidak serupa dengan makhluknya karena hal ini sudah termasuk ‘AASHIN yakni DURHAKA atau MENGHINA Allah Ta’ala.
Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” menjelaskan bahwa barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (bentuk seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (bentuk tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan :
من قال الله جسم لا كالأجسام كـَفَـرَ
BARANGSIAPA yang mengatakan, ALLAH itu berjisim tapi tidak seperti jisim lainya.! MAKA ia telah Kafir (kufur dalam i’tiqod) [Tasyniful Masami’ : juz 4, halaman : 684]
Al-Imam Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki (w 1214 H), ulama terkemuka abad 12 Hijriah (semasa hidupnya dengan pendiri paham WAHABISME) dalam kitab karya Beliau yang berjudul “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” cetakan pertama “Darul Fikr” th 1988 jilid 3 halaman 9 yang dipelajari di pondok-pondok pesantren mengajarkan :
… ولا يجوز تقليد ما عدا المذاهب الأربعة ولو وافق قول الصحابة والحديث الصحيح والآية فالخارج عن المذاهب الأربعة ضال مضل وربما أداه ذلك للكفر لأن الأخذ بظواهر الكتاب والسنة من أصول الكفر .
“dan tidak boleh taklid kepada selain empat madzhab meskipun cocok dengan pendapat sahabat, hadits shahih dan ayat, dan yang keluar dari empat madzhab maka dia sesat lagi menyesatkan, bahkan hal itu bisa jadi akan mengantarkan kepada kekufuran, karena mengamalkan secara tekstual Al Qur’an dan Hadits adalah PANGKAL KEKUFURAN.
Jadi AKIBAT mereka MENGINGKARI atau MENOLAK TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ (makna kiasan / makna metaforis) dan mereka NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka terjerumus KEKUFURAN dalam I’TIQOD yakni mereka beribadah BUKANLAH KEPADA ALLAH Ta’ala namun,
– Mereka BERIBADAH KEPADA SESUATU yang memiliki dua tangan dan kedua-duanya kanan.
– Mereka BERIBADAH KEPADA SESUATU yang memiliki dua kaki yang ditempatkan di kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahanam.
Contohnya ustadz mereka menyembah atau beribadah kepada SESUATU yang BERADA MENETAP TINGGI atau MELAYANG TINGGI (bukan menempel) di atas Arsy dan berukuran SANGAT BESAR dibuktikan dengan UKURAN KAKINYA yang MENJUNTAI ke bawah Arsy yakni ke kursi sudah MENUTUPI langit dan bumi sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada https://youtu.be/ysCisMiaHxs
Selain ustadz mereka beraqidah, beri’tiqod atau berkeyakinan Tuhan mereka berkaki dua ditempatkan di kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahannam sebagaimana video pada https://www.youtube.com/watch?v=Xr3mZmNORhQ
– Mereka BERIBADAH KEPADA SESUATU yang memiliki wajah namun tanpa kepala.
Pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi yang MEMBERSIHKAN fitnah-fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal dengan kitabnya yang berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih, ketika menyampaikan tentang firqah MUJASSIMAH bahwa mereka tidak mendapatkan nash / dalil shorih bahwa Allah memiliki kepala.
***** awal kutipan ******
Sementara tentang kepala mereka berkata, “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”
***** akhir kutipan *****
Contoh terjemahan dari kitab Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih dapat diunduh (download) di https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang terjerumus kekufuran dalam perkara i’tiqod karena mereka MEN-JISM-KAN Allah Ta’ala yakni mereka mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat jism (benda/fisikal) seperti mengisbatkan (menetapkan) anggota badan, arah atau tempat, ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya dan sifat fisikal lainnya AKIBAT mereka NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah secara hissi (inderawi / materi / fisikal) atau secara hakikat (makna hakikat) yakni MAKNA DZAHIR dari suatu lafadz.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
Jadi pada kenyataannya orang-orang yang hidup pada zaman now (sekarang) atau zaman khalaf (kemudian) yakni dari kalangan modernis (lawan dari tradisionalis atau salaf) NAMUN mengaku-ngaku mengikuti Salaf (terdahulu) dan menisbatkan sebagai Salafi maupun Atsari serupa dengan firqah Karramiyah yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Karram (W 255 H) beraqidah MUJASSIMAH.
Imam Ibnu Hajar Haitami mengatakan bahwa mereka (al karramiyyah) percaya bahwa Tuhan adalah Dzatnya menetap di atas Arsy, menempel dan beristirahat di atasnya, dan kemudian turun setiap sepertiga malam terakhir ke langit dunia dan kemudian kembali ke tempatnya saat fajar.
Imam Asy Syahrastani (W 578) Rahimahullah mengatakan :
نص أبو عبد الله على أن معبوده على العرش استقرارا، وعلى أنه بجهة فوق ذاتا وقال بعضهم: امتلأ العرش به، وصار المتأخرون منهم إلى أنه تعالى بجهة فوق، وأنه محاذ للعرش وقال محمد بن الهيصم: إن بينه وبين العرش بعدا لا يتناهى، وإنه مباين للعالم بينونة أزلية
Abu Abdillah (Ibnu Karram) menjelaskan bahwa yang dia sembah menetap di atas ‘Arsy dan bahwasanya Dzatnya ada di arah atas dan sebagian Karramiyah berkata, “Arsy penuh dengan Dzat ALLAH.” namun orang-orang belakangan dari mereka berpendapat bahwa ALLAH Ta’ala di arah atas, Dia lurus dengan ‘Arsy dan Muhammad Bin Al-Haisham (imam kedua Karramiyah) berkata bahwa sesungguhnya antara ALLAH dan antara ‘Arsy ada jarak yang tak terhingga dan sesungguhnya ALLAH terpisah dari alam dengan jarak yang Azali. (Al-Milal Wa An-Nihal : 1/109)
Mereka mengatakan,
***** awal kutipan *****
Apa yang dikatakan oleh Ad Darimi memang begitulah faktanya bahwa memang yang di atas langit LEBIH DEKAT kepada Allah secara hisssi (materi / fisikal) dari pada yang di bumi. Adapun kedekatan kala sujud maka itu adalah kedekatan maknawi”
****** akhir kutipan *****
Ad Darimi yang mereka ikuti pendapatnya adalah Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (w 280 H) BUKANLAH Ad Darimi ulama besar ahli hadits terkemuka yang telah menulis kitab Sunan ad Darimi yakni Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi (w 255H)
Mereka ada juga yang berkeyakinan bahwa Tuhan tidak bertempat NAMUN berada di arah atas karena menurut mereka tempat itu masih alam sedangkan Tuhan itu di luar alam.
Berikut kutipan tulisan mereka,
****** awal kutipan ******
Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.
***** akhir kutipan ******
Jadi mereka berkeyakinan Tuhan berada di arah atas dan di atas Arsy ada yang namanya “bukan tempat”.
Adapula yang lain menamakannya makan ‘adami dan kalau diartikan adalah “tempat ketiadaan”
Ironisnya keyakinan (i’tiqod/akidah) mereka tentang adanya “bukan tempat” atau “tempat ketiadaan” (makan ‘adami) dinisbatkan atau dilabeli sebagai keyakinan ulama salaf
Padahal istilah “bukan tempat” atau makan ‘adami (tempat ketiadaan) tidak pernah dikatakan oleh Salafush Sholeh karena tidak ada dalam Al Qur’an maupun Hadits.
Contohnya lainnya mereka mengatakan bahwa mereka menyembah atau beribadah kepada SESUATU yang mempunyai BENTUK dan UKURAN yang BERADA MENETAP TINGGI atau MELAYANG TINGGI (bukan menempel) DI ATAS Arsy dan berukuran SANGAT BESAR dibuktikan dengan ukuran tangannya yang MENJULUR dari atas Arsy ke bawah dapat MENGGULUNG langit dan bumi.
Jadi akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR mereka dapat pula terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi yakni mereka yang belum “dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67)
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Pembesar mazhab Hambali, Imam Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa
“Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib telah mengingatkan bahwa “Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya kufur dalam i’tiqod) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda (seperti arah maupun tempat) dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi).
Para ulama Allah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala itu “dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat (QS Al Baqarah [2] : 186)
Imam Abul Hasan al Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyin” jilid I hal 281 menuliskan,
أنهم يقولون: إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية
Mereka (ahlus sunnah) berkata, “Sesungguhnya Allah bukan jism, tidak berhadd (TIDAK TERBATAS) dan TIDAK BERJARAK”
Pengertian ولا حد , (TIDAK TERBATAS) adalah Allah Ta’ala TIDAK TERBATAS pada salah satu di antara enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)
Begitupula Imam Abul Wahid At Tamimi (W 410 H, ulama yang paling dekat zamannya dengan Imam Ahmad) membawakan riwayat Imam Ahmad di dalam kitab Beliau “I’tiqad Imam Al Munabbal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal hal 38;
والله تعالى لم يلحقه تغير ولا تبدل ولا يلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش
“Dan Allah Ta’ala tidak mengalami perubahan dan TIDAK TERBATAS oleh hadd, baik sebelum Allah menciptakan Arsy, maupun setelah Allah menciptakan Arsy”
Ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 4 hijriah, Imam al Baihaqi (W 458 H) mengingatkan bahwa
من فوق السماء علی معنی نفي الحد عنه
Dzat di atas langit berdasarkan makna MENAFIKAN BATAS (al hadd) darinya.
Begitupula orang-orang yang MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN ISTAWA Allah sebagai BERTEMPAT sehingga seolah-olah MEMENJARAKAN Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy adalah mereka yang jahil yakni belum mengenal Allah (makrifatullah) dengan sebenar keagungan-Nya.
Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata
من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود
”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud (TERBATAS) maka ia telah jahil, tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.” (Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73)
Padahal jika BELUM MENGENAL Allah dapat berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.
Imam Ghazali berkata:
لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”.
Artinya, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Oleh karenanya SEJAK DINI sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai SARANA untuk MENGENAL Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.
20 sifat wajib bagi Allah dapat juga dipergunakan sebagai pedoman dan batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi asy-Syaf’i (W 465 H) dalam Lata’if al-Isyarat mengingatkan bahwa,
Langit maupun arsy dalam makna dzahir atau secara hissi (materi/fisikal) arah atas (jihah) adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk
Sedangkan langit, arsy dalam makna majaz atau secara maknawi adalah terkait melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi.
Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) TANPA JARAK, TANPA KAIF (sifat benda), TANPA BATASAN (hadd), TANPA ARAH maupun TEMPAT.
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَابْنُ أَبِي رِزْمَةَ وَأَبُو نُعَيْمٍ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ { مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى } قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq dan Ibnu Abu Rizmah serta Abu Nu’aim dari Israil dari Simak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkomentar tentang ayat, “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.” (QS. AN Najm 11), Ia berkata; ia melihat-Nya dengan hatinya. (HR Tirmidzi 3203 atau versi lain 3281)
Sedangkan Imam Ahmad dengan redaksi
قَالَ رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَلْبِهِ
Ibnu Abbas radhiyallhuanhu berkata; Muhammad melihat Rabb-nya ‘Azza wa Jalla dengan hatinya
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah IHSAN itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (makrifatullah), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Jadi jika seseorang bermakrifat yakni dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) atau pengawasan Allah tertanam di hatinya karena BERKEYAKINAN bahwa “Allah Ta’ala itu dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” maka setiap akan bersikap atau berbuat sesuatu ia selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar.
Sikap dan perilaku seperti itulah yang membentuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang IHSAN.
Langkah-langkah agar berahlak baik adalah untuk membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) sampai titik hitam (dosa) pada hati menghilang berganti bintik cahaya, sehingga tidak ada yang menghijabi antara diri dengan Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla dekat dan dapat disaksikan (dipandang) dengan hati sehingga tercapailah muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin/sholihin) maka diperolehlah kenyataan Tuhan (TAJALLI).
Jadi tidak semua manusia dapat memandang Allah dengan hatinya
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Jadi manusia terhalang atau menghijabi dirinya sehingga tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya adalah karena dosa mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya bukan karena setan menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad)
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Para ulama Allah mengatakan bahwa salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Oleh karenanya orang-orang yang BERAKHLAK BURUK seperti mereka yang terjerumus KESOMBONGAN dan MENOLAK kebenaran BERKAITAN dengan akhlak buruk mereka kepada Allah Ta’ala yakni orang-orang yang ‘Aashin (DURHAKA) atau MENGHINA Allah, seperti orang-orang yang “menjauhkan” Allah Ta’ala dengan menetapkan arah (jihah) atau tempat bagi Allah di atas Arsy AKIBAT mereka belum bermakrifat yakni mereka belum dapat memandang Allah dengan hatinya (ain bashirah)
Orang-orang yang “menjauhkan” Allah Ta’ala adalah orang-orang yang BERTAMBAH ILMUNYA namun SEMAKIN JAUH dari Allah Ta’ala karena mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Rasulullah ﷺ bukan tertawa karena mengingkari ucapan pendeta Yahudi tersebut. Selengkapnya bisa disimak di link ini: https://ahlussunnahbeneran.blogspot.com/2021/10/bantahan-syubhat-rasulullah-mengingkari_26.html