Mereka menyebarluaskan kebohongan mengenai Allah Ta’ala
Salah satu hal yang perlu dipertanyakan adalah siapakah yang menghidupkan kembali ajaran atau pemahaman (baca kebid’ahan) Ibnu Taimiyyah (W 728 H) dengan menyodorkan kitab-kitabnya setelah wafat lebih dari 450 tahun kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) sehingga diberi julukan “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah”.
Pertanyaan ini perlu disampaikan karena para ulama terdahulu justru telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,
وإياك أن تصغي إلى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن قيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ إلهه هواه وأضله الله على علم ، وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعد الله
”Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim al Jawziyah dan orang selain mereka berdua yang telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan sesembahan dan disesatkan oleh Allah atas ilmu, yang Allah telah menutup telinga, hati dan penglihatannya. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah? : (Al Fatawa Al Haditsiyah 1/480)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 116)
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari, menolak dan menangkal ajaran atau pemahaman Wahabi yang salah satu contohnya adalah mereka menyebarluaskan kebohongan mengenai Allah Ta’ala sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6
******* awal kutipan *******
ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا،
Diantara mereka terdapat juga firqah yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وعبد الهادي
Mereka melaksanakan KEBID’AHAN Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
فحرموا ما أجمع المسلمون على ندبه، وهو السفر لزيارة قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم، وخالفوهم فيما ذكر وغيره
Mereka mengharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang Islam sebagai sebuah kesunnahan, yaitu bepergian untuk menziarahi makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta berselisih dalam kesepakatan-kesepakatan lainnya.
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي في رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الإعتقاد: وهذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا وخلفا، فكانوا وصمة وثلمة في المسلمين وعضوا فاسدا
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
يجب قطعه حتى لا يعدى الباقي، فهو كالمجذوم يجب الفرار منهم، فإنهم فريق يلعبون بدينهم يذمون العلماء سلفا وخلفا
Maka wajib menanggalkan / menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
ويقولون: إنهم غير معصومين فلا ينبغي تقليدهم، لا فرق في ذلك بين الأحياء والأموات يطعنون عليهم ويلقون الشبهات، ويذرونها في عيون بصائر الضعفاء، لتعمى أبصارهم عن عيوب هؤلاء
Mereka menyatakan: “Para ulama bukanlah orang-orang yang terbebas dari dosa, maka tidaklah layak mengikuti mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.” Mereka menyebarkan (pandangan/asumsi) ini pada orang-orang bodoh agar tidak dapat mendeteksi kebodohan mereka
ويقصدون بذلك إلقاء العداوة والبغضاء، بحلولهم الجو ويسعون في الأرض فسادا
Maksud dari propaganda ini adalah munculnya permusuhan dan kericuhan. Dengan penguasaan atas jaringan teknologi, mereka membuat kerusakan di muka bumi.
يقولون على الله الكذب وهم يعلمون
Mereka MENYEBARKAN KEBOHONGAN MENGENAI Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut.
يزعمون أنهم قائمون بالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، حاضون الناس على اتباع الشرع واجتناب البدع، والله يشهد إنهم لكاذبون.
Menganggap dirinya melaksanakan amar makruf nahi munkar, merecoki masyarakat dengan mengajak untuk mengikuti ajaran-ajaran syariat dan menjauhi kebid’ahan. Padahal Allah Maha Mengetahui, bahwa mereka berbohong.
***** akhir kutipan *******
Mereka menyebarluaskan kebohongan mengenai Allah Ta’ala karena mereka mengikuti ajaran atau pemahaman firqah MUJASSIMAH.
Imam Ibnu Abdissalam (W 660 H / 1262 M ) yang memperoleh laqob (julukan/gelar) Izzuddin yang artinya Kebanggaan Agama dalam kitabnya “Qawa’idul Ahkam fi Mashalihul Anam” cetakan “Al-Maktabah Al-Husainiyah” Mesir tahun 1353 H / 1934 M juz 2 halaman 195 mencontohkan BID’AH HARAM yakni BID’AH SAYYIAH (BURUK) atau BID’AH TERLARANG dalam perkara akidah (i’tiqod) adalah firqah (golongan) MUJASSIMAH dan MENOLAK mereka termasuk BID’AH yang WAJIB.
Firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang terjerumus kekufuran dalam perkara i’tiqod karena mereka MEN-JISM-KAN Allah Ta’ala yakni mereka mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat jism (benda/fisikal) seperti mengisbatkan (menetapkan) anggota badan, arah atau tempat, ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya dan sifat fisikal lainnya AKIBAT mereka NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah secara hissi (inderawi / materi / fisikal) atau secara hakikat (makna hakikat) yakni MAKNA DZAHIR dari suatu lafadz.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
Mereka menyebarluaskan kebohongan mengenai Allah Ta’ala AKIBAT mereka MENGINGKARI atau MENOLAK TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ (makna kiasan / makna metaforis) dan mereka NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka mengatakan bahwa,
– Tuhan memiliki dua tangan dan kedua-duanya kanan sebagaimana yang terungkap pada https://asysyariah.com/dua-tangan-allah/
– Tuhan memiliki dua kaki yang ditempatkan di kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahanam.
Contohnya ustadz mereka mengatakan bahwa Tuhan berukuran SANGAT BESAR dibuktikan dengan UKURAN KAKINYA yang MENJUNTAI ke bawah Arsy yakni ke kursi sudah MENUTUPI langit dan bumi sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada https://youtu.be/ysCisMiaHxs
Selain ustadz mereka beraqidah, beri’tiqod atau berkeyakinan Tuhan mereka berkaki dua ditempatkan di kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahannam sebagaimana video pada https://www.youtube.com/watch?v=Xr3mZmNORhQ
– Tuhan memiliki mata, telinga, lima jari, betis, pinggang
– Tuhan memiliki ruh, bisa cemburu, tertawa
– Tuhan terikat arah kiri dan kanan, Tuhan berada di sebelah kiri orang-orang yang berbuat adil
– Ada pula mereka mengatakan bahwa Tuhan berambut keriting dan memiliki pantat jika bergeser terdengarlah darinya suara ‘Kret Kret’ seperti suara yang biasa keluar dari kursi yang masih baru
Ibnu Taimiyyah (W 728 H) juga mengatakan
-Tuhan bertempat di atas Arsy namun dia selalu bersama dan mengawasi kita di manapun berada seperti bulan bersama musafir di mana saja dia berada (Syarah Aqidah Al-Wasithiyyah)
– Tuhan bertempat di atas Arsy, maka keduanya ini memiliki bentuk dan batasan (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 29)
– Tuhan bertempat di langit dan dia diliputi dan dibatasi oleh langit (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 30)
– Nabi Muhammad didudukan oleh Allah di atas Arsy bersama-Nya (Majmu Fatawa j.4, h.374)
Hal ini terungkap dalam tulisan mereka yang sempat diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf
– Begitupula mereka mengatakan Tuhan memiliki wajah namun tanpa kepala.
Pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi yang MEMBERSIHKAN fitnah-fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal dengan kitabnya yang berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih, ketika menyampaikan tentang firqah MUJASSIMAH bahwa mereka tidak mendapatkan nash / dalil shorih bahwa Allah memiliki kepala.
***** awal kutipan ******
Sementara tentang kepala mereka berkata, “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”
***** akhir kutipan *****
Contoh terjemahan dari kitab Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih dapat diunduh (download) di https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Jadi pada kenyataannya orang-orang yang hidup pada zaman now (sekarang) atau zaman khalaf (kemudian) yakni dari kalangan modernis (lawan dari tradisionalis atau salaf) NAMUN mengaku-ngaku mengikuti Salaf (terdahulu) dan menisbatkan sebagai Salafi maupun Atsari serupa dengan firqah Karramiyah yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Karram (W 255 H) beraqidah MUJASSIMAH.
Imam Ibnu Hajar Haitami mengatakan bahwa mereka (al karramiyyah) percaya bahwa Tuhan adalah Dzatnya menetap di atas Arsy, menempel dan beristirahat di atasnya, dan kemudian turun setiap sepertiga malam terakhir ke langit dunia dan kemudian kembali ke tempatnya saat fajar.
Imam Asy Syahrastani (W 578) Rahimahullah mengatakan :
نص أبو عبد الله على أن معبوده على العرش استقرارا، وعلى أنه بجهة فوق ذاتا وقال بعضهم: امتلأ العرش به، وصار المتأخرون منهم إلى أنه تعالى بجهة فوق، وأنه محاذ للعرش وقال محمد بن الهيصم: إن بينه وبين العرش بعدا لا يتناهى، وإنه مباين للعالم بينونة أزلية
Abu Abdillah (Ibnu Karram) menjelaskan bahwa yang dia sembah menetap di atas ‘Arsy dan bahwasanya Dzatnya ada di arah atas dan sebagian Karramiyah berkata, “Arsy penuh dengan Dzat ALLAH.” namun orang-orang belakangan dari mereka berpendapat bahwa ALLAH Ta’ala di arah atas, Dia lurus dengan ‘Arsy dan Muhammad Bin Al-Haisham (imam kedua Karramiyah) berkata bahwa sesungguhnya antara ALLAH dan antara ‘Arsy ada jarak yang tak terhingga dan sesungguhnya ALLAH terpisah dari alam dengan jarak yang Azali. (Al-Milal Wa An-Nihal : 1/109)
Contohnya mereka mengatakan bahwa mereka menyembah atau beribadah kepada SESUATU yang mempunyai BENTUK dan UKURAN yang BERADA MENETAP TINGGI atau MELAYANG TINGGI (bukan menempel) DI ATAS Arsy dan berukuran SANGAT BESAR dibuktikan dengan ukuran tangannya yang MENJULUR dari atas Arsy ke bawah dapat MENGGULUNG langit dan bumi.
Mereka mengatakan,
***** awal kutipan *****
Apa yang dikatakan oleh Ad Darimi memang begitulah faktanya bahwa memang yang di atas langit LEBIH DEKAT kepada Allah secara hisssi (materi / fisikal) dari pada yang di bumi. Adapun kedekatan kala sujud maka itu adalah kedekatan maknawi”
****** akhir kutipan *****
Ad Darimi yang mereka ikuti pendapatnya adalah Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (w 280 H) BUKANLAH Ad Darimi ulama besar ahli hadits terkemuka yang telah menulis kitab Sunan ad Darimi yakni Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi (w 255H)
Mereka ada juga yang berkeyakinan bahwa Tuhan tidak bertempat NAMUN berada di arah atas karena menurut mereka tempat itu masih alam sedangkan Tuhan itu di luar alam.
Berikut kutipan tulisan mereka,
****** awal kutipan ******
Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.
***** akhir kutipan ******
Jadi mereka berkeyakinan Tuhan berada di arah atas dan di atas Arsy ada yang namanya “bukan tempat”.
Adapula yang lain menamakannya makan ‘adami dan kalau diartikan adalah “tempat ketiadaan”
Ironisnya keyakinan (i’tiqod/akidah) mereka tentang adanya “bukan tempat” atau “tempat ketiadaan” (makan ‘adami) dinisbatkan atau dilabeli sebagai keyakinan ulama salaf
Padahal istilah “bukan tempat” atau makan ‘adami (tempat ketiadaan) tidak pernah dikatakan oleh Salafush Sholeh karena tidak ada dalam Al Qur’an maupun Hadits.
Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib telah mengingatkan bahwa “Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya kufur dalam i’tiqod) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda (seperti arah maupun tempat) dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi).
Para ulama Allah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala itu “dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat (QS Al Baqarah [2] : 186)
Imam Abul Hasan al Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyin” jilid I hal 281 menuliskan,
أنهم يقولون: إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية
Mereka (ahlus sunnah) berkata, “Sesungguhnya Allah bukan jism, tidak berhadd (TIDAK TERBATAS) dan TIDAK BERJARAK”
Pengertian ولا حد , (TIDAK TERBATAS) adalah Allah Ta’ala TIDAK TERBATAS pada salah satu di antara enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)
Begitupula Imam Abul Wahid At Tamimi (W 410 H, ulama yang paling dekat zamannya dengan Imam Ahmad) membawakan riwayat Imam Ahmad di dalam kitab Beliau “I’tiqad Imam Al Munabbal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal hal 38;
والله تعالى لم يلحقه تغير ولا تبدل ولا يلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش
“Dan Allah Ta’ala tidak mengalami perubahan dan TIDAK TERBATAS oleh hadd, baik sebelum Allah menciptakan Arsy, maupun setelah Allah menciptakan Arsy”
Ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 4 hijriah, Imam al Baihaqi (W 458 H) mengingatkan bahwa
من فوق السماء علی معنی نفي الحد عنه
Dzat di atas langit berdasarkan makna MENAFIKAN BATAS (al hadd) darinya.
Begitupula orang-orang yang MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN ISTAWA Allah sebagai BERTEMPAT sehingga mereka seolah-olah MEMENJARAKAN Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy adalah mereka yang jahil yakni belum mengenal Allah (makrifatullah) dengan sebenar keagungan-Nya.
Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata
من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود
”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud (TERBATAS) maka ia telah jahil, tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.” (Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73)
Padahal jika BELUM MENGENAL Allah dapat berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.
Imam Ghazali berkata:
لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”.
Artinya, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Oleh karenanya SEJAK DINI sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai SARANA untuk MENGENAL Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.
20 sifat wajib bagi Allah dapat juga dipergunakan sebagai pedoman dan batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi asy-Syaf’i (W 465 H) dalam Lata’if al-Isyarat mengingatkan bahwa,
Langit maupun arsy dalam makna dzahir atau secara hissi (materi/fisikal) arah atas (jihah) adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk
Sedangkan langit, arsy dalam makna majaz atau secara maknawi adalah terkait melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi.
Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) TANPA JARAK, TANPA KAIF (sifat benda), TANPA BATASAN (hadd), TANPA ARAH maupun TEMPAT.
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَابْنُ أَبِي رِزْمَةَ وَأَبُو نُعَيْمٍ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ { مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى } قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq dan Ibnu Abu Rizmah serta Abu Nu’aim dari Israil dari Simak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkomentar tentang ayat, “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.” (QS. AN Najm 11), Ia berkata; ia melihat-Nya dengan hatinya. (HR Tirmidzi 3203 atau versi lain 3281)
Sedangkan Imam Ahmad dengan redaksi
قَالَ رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَلْبِهِ
Ibnu Abbas radhiyallhuanhu berkata; Muhammad melihat Rabb-nya ‘Azza wa Jalla dengan hatinya
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah IHSAN itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (makrifatullah), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Jadi jika seseorang bermakrifat yakni dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) atau pengawasan Allah tertanam di hatinya karena BERKEYAKINAN bahwa “Allah Ta’ala itu dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” maka setiap akan bersikap atau berbuat sesuatu ia selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar.
Sikap dan perilaku seperti itulah yang membentuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang IHSAN.
Langkah-langkah agar berahlak baik adalah untuk membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) sampai titik hitam (dosa) pada hati menghilang berganti bintik cahaya, sehingga tidak ada yang menghijabi antara diri dengan Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla dekat dan dapat disaksikan (dipandang) dengan hati sehingga tercapailah muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin/sholihin) maka diperolehlah kenyataan Tuhan (TAJALLI).
Jadi tidak semua manusia dapat memandang Allah dengan hatinya
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Jadi manusia terhalang atau menghijabi dirinya sehingga tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya adalah karena dosa mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya bukan karena setan menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad)
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Para ulama Allah mengatakan bahwa salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Oleh karenanya orang-orang yang BERAKHLAK BURUK seperti mereka yang terjerumus KESOMBONGAN dan MENOLAK kebenaran BERKAITAN dengan akhlak buruk mereka kepada Allah Ta’ala yakni orang-orang yang ‘Aashin (DURHAKA) atau MENGHINA Allah, seperti orang-orang yang “menjauhkan” Allah Ta’ala dengan menetapkan arah (jihah) atau tempat bagi Allah di atas Arsy AKIBAT mereka belum bermakrifat yakni mereka belum dapat memandang Allah dengan hatinya (ain bashirah)
Orang-orang yang “menjauhkan” Allah Ta’ala adalah orang-orang yang BERTAMBAH ILMUNYA namun SEMAKIN JAUH dari Allah Ta’ala karena mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Istilah Wahabi digunakan juga sebagai laqob (julukan / gelar) untuk orang-orang yang SECARA TERANG-TERANGAN melanggar larangan Rasulullah yakni mereka yang memahami atau “kembali” kepada Al Qur’an dan Hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikiran mereka sendiri dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR namun mereka menisbatkan sebagai Salafi atau Atsari
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Istilah Wahabi merujuk kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) yang dijuluki “duplikat” Ibnu Taimiyyah (W 728 H) yang memahami Al Qur’an dan Hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Begitupula mereka sendiri yang mengatakan bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah (W 728 H) adalah seorang yang mendalami ilmu agama secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri seperti contoh informasi dari kalangan mereka sendiri pada http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Begitupula seberapapun banyaknya guru atau seberapapun panjangnya rantai sanad guru (sanad ilmu) dari ahli (membaca) hadits, Albani yang dikenal sebagai “Ibnu Taimiyyahnya Abad Keempat Belas” maka tidak akan berarti (berguna) karena Beliau lebih banyak mendalami ilmu agama, berpendapat dan berfatwa dari balik perpustakaan alias secara otodidak (shahafi) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana contoh informasi dari kalangan pengikutnya sendiri pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
Syaikh al-Albani pun secara rutin mengunjungi perpustakaan azh-Zhahiriyyah di Damaskus untuk membaca buku-buku yang tak biasanya didapatinya di toko buku. Dan perpustakaan pun menjadi laboratorium umum baginya, waktu 6-8 jam bisa habis di perpustakaan itu, hanya keluar di waktu-waktu salat, bahkan untuk makan pun sudah disiapkannya dari rumah berupa makanan-makanan ringan untuk dinikmatinya selama di perpustakaan
***** akhir kutipan *****
Ahli (membaca) hadits, Albani mengakui bahwa Beliau adalah ahli hadits kitab bukan penghafal hadits.
Dalam ilmu Musthalah Hadits jika ada perawi yang kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status haditsnya adalah dlaif, bukan perawi sahih
Demikian juga hasil takhrij yang dilakukan oleh ahli (membaca) hadits Albani yang tidak didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh para al-Hafidz dalam ilmu hadits) juga sudah pasti lemah dan banyak kesalahan.
Jadi yang dimaksud oleh mereka dengan julukan atau pengakuan sebagai “ahli hadits” adalah ahli (membaca) hadits secara shahafi (otodidak) bukan ahli hadits sesungguhnya yang menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung kepada lisannya Rasulullah.
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Ibnu Taimiyyah (W 728 H) tidak pernah mengklaim diri sebagai ulama Hanbali.
Dalam bukunya berjudul Araddu ‘ala al-Hululiyyah wa al-Ittihadiyyah, Ibnu Taimiyyah mengungkapkan keinginannya untuk membersihkan pemikiran-pemikiran yang taqlid dan mengembangkan perlunya membuka kembali pintu ijtihad.
Para ulama terdahulu tidak mengelompokkan Ibnu Taimiyyah sebagai ahli istidlal atau fuqaha (ahli fiqih) namun sebagai ahli hadits dan itupun bukan penghafal hadits namun ahli hadits kitab alias ahli (membaca) hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri.
Begitupula ahli hadits berbeda dengan ahli istidlal seperti para fuqaha (ahli fiqih) .
Ahli hadits tidak berhak untuk bertindak sebagai fuqaha.
Oleh karenanya tidak ditemukan penisbatan nama mazhab kepada nama seorang ahli hadits.
Ahli hadits hanyalah menerima dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya kemudian mengumpulkan, meneliti dan menyampaikan dalam kitab-kitab hadits atau menyusunnya berdasarkan nama perawi sehingga menjadi kitab-kitab musnad atau menyusunnya berdasarkan klasifikasi masalah sehingga menjadi kitab-kitab sunan.
Contoh perbedaan di antara dua Ibnu Hajar yakni Ibnu Hajar Al ‘Asqalani adalah ahli hadits dari mazhab Syafi’i sedangkan Ibnu Hajar al-Haitami adalah seorang fuqaha dari mazhab Syafi’i sehingga berhak berpendapat atau berfatwa.
Ibnu Hajar al-Haitami, sebelum umur 20 tahun, Beliau sudah diminta para gurunya untuk mengajar dan memberi fatwa di Mesir. Beliau berhak berfatwa karena menguasai berbagai ilmu antara lain tafsir, hadis, ilmu kalam, fikih, ushul fiqh, ilmu waris, ilmu hisab, nahwu, sharaf, ilmu ma’ani, ilmu bayan, ilmu manthiq dan lain lain.
Syaikhul Islam Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami al-Makki al-Syafi’i dalam kitabnya Al Fatawa Al Haditsiyah ketika ditanya tentang perkataan Sufyan bin Uyainah,
الحديث مضلة إلا الفقهاء
Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para fuqaha (ahli fiqih)
Beliau mencontohkan hadits yang dapat menyesatkan adalah hadits berbunyi “yanzilu Rabbuna…..” yang jika dipahami secara dzahir (makna dzahir / literal) dapat menimbulkan pemahaman tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk).
ولا يعرف معنى هذه إلا الفقهاء بخلاف من لايعرف إلا مجرد الحديث ، فإنه يضل فيه كما وقع لبعض متقدمي الحديث . بل ومتأخريهم ، كابن تيمية وأتباعه
Beliau mengatakan bahwa, “tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fiqih. Berbeda dengan mereka yang hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya.
وبهذا يعلم فضل الفقهاء المستبطين على المحدثين غير المستنبطين .
Dari sini, dapat diketahui keutamaan para ahli fiqih yang memiliki pemahaman dibandingkan dengan para ahli hadits yang tidak memiliki pemahaman.
Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran adalah salah seorang guru dari Imam Syafi’i. Beliau adalah salah seorang Tabi’ut Tabi’in tsiqoh yang sempat bertemu sekitar 87 Tabi’in, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H
Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas, mencontohkan hadits yang dapat menyesatkan bagi ahli (membaca) hadits adalah hadits Nuzul yakni,
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Berikut contoh KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah (W 728H) yakni pemahaman atau pendapatnya terhadap hadits Nuzul sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah)
**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘arsy-Nya dan Allah turun ke langit dunia.
**** akhir kutipan ****
Ibnu Taimiyyah terjerumus MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN nuzul dengan mengatakan bahwa
“Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG”
Begitupula ini adalah sebuah contoh KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah dalam perkara i’tiqod karena tidak pernah disabdakan Rasulullah maupun diriwayatkan oleh Salafush Sholeh.
Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah.
Timbul kerusakan dalam perkara i’tiqod akibat orang awam TERKELABUI dengan LABEL mazhab atau manhaj Salaf dan penisbatan atau tepatnya PELABELAN Salafi maupun Atsari
Mereka membeli atau memiliki kitab-kitab hadits dan membaca hadits-hadits dimana dalam hadits tercantum sanad hadits yakni nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan dikatakan oleh mereka bahwa mereka mengikuti PEMAHAMAN Salafush Sholeh dan DILABELI MAZHAB SALAF atau MANHAJ SALAF
Apa yang disampaikan dari hadits-hadits yang dibaca oleh mereka adalah PEMAHAMAN MEREKA sendiri BUKAN PEMAHAMAN Salafush Sholeh.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri yakni PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Ibnu Taimiyyah BUKAN ulama SALAF (terdahulu) namun ulama KHALAF (kemudian) karena wafat 728 H artinya Beliau hidup di atas 300 Hijriah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2020/12/05/bukanlah-ulama-salaf/
Begitupula Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) maupun Adz Dzahabi (w 748 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Jadi mereka tentu tidak bertemu dengan Salaf karena tidak semasa kehidupannya sehinga mereka tidak mendapatkan pemahaman Salaf yang sesungguhnya.
FITNAH terhadap Salafush Sholeh timbul AKIBAT Ibnu Taimiyyah (W 728 H) MENISBATKAN atau tepatnya MELABELKAN MAZHABNYA atau metode pemahamannya selalu dengan MAKNA DZAHIR sebagai mazhab atau manhaj salaf sebagaimana fatwanya dalam Majmu Fatawa 4/149
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR
***** akhir kutipan *****
Bahkan disebarluaskan dongeng atau tepatnya fitnah bahwa Imam Asy’ari melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran yakni fase ketiga / terakhir adalah SERUPA dengan MAZHABNYA Ibnu Taimiyyah (W 728 yang DILABELI mazhab atau manhaj Salaf.
Ibnu Taimiyyah dikabarkan masih sempat bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum Beliau wafat dipenjara sehingga Beliau belum sempat menulis kitab-kitab untuk mengkoreksi kekeliruannya akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyyah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) adalah SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari makna majaz (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115).
Begitupula Ibnu Taimiyyah dalam Al Iman hal 94 berkata,
***** awal kutipan *****
“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk metafor (majaz) dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk metafor.
Bahkan pembagian bahasa kepada hakekat dan metafor adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.
***** akhir kutipan ****
Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) murid dari Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
Asy’ariyah yakni umat Islam pada umumnya tentulah BUKAN MENGINGKARI atau menafikan (menta’thil) sifat Allah NAMUN MENGINGKARI mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa janganlah memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan MAKNA DZAHIR karena akan terjerumus KEKUFURAN dalam perkara I’TIQOD.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan :
من قال الله جسم لا كالأجسام كـَفَـرَ
BARANGSIAPA yang mengatakan, ALLAH itu berjisim tapi tidak seperti jisim lainya.! MAKA ia telah Kafir (kufur dalam i’tiqod) [Tasyniful Masami’ : juz 4, halaman : 684]
Al-Imam Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki (w 1214 H), ulama terkemuka abad 12 Hijriah (semasa hidupnya dengan pendiri paham WAHABISME) dalam kitab karya Beliau yang berjudul “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” cetakan pertama “Darul Fikr” th 1988 jilid 3 halaman 9 yang dipelajari di pondok-pondok pesantren mengajarkan :
… ولا يجوز تقليد ما عدا المذاهب الأربعة ولو وافق قول الصحابة والحديث الصحيح والآية فالخارج عن المذاهب الأربعة ضال مضل وربما أداه ذلك للكفر لأن الأخذ بظواهر الكتاب والسنة من أصول الكفر .
“dan tidak boleh taklid kepada selain empat madzhab meskipun cocok dengan pendapat sahabat, hadits shahih dan ayat, dan yang keluar dari empat madzhab maka dia sesat lagi menyesatkan, bahkan hal itu bisa jadi akan mengantarkan kepada kekufuran, karena mengamalkan secara tekstual Al Qur’an dan Hadits adalah PANGKAL KEKUFURAN.
Para ulama terdahulu seperti Imam Asy’ari telah mengingatkan bahwa dalam menetapkan sifat-sifat Allah, BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maksudnya terlarang MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN Allah seperti Allah Maha Melihat dengan jarihah atau organ atau alat penglihatan atau Allah Maha Mendengar dengan jarihah atau organ atau alat pendengaran.
Begitupula terlarang MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN Yadullah yang ARTINYA tangan Allah MAKNANYA sebagai jarihah atau organ atau alat untuk menciptakan Nabi Adam alaihissalam sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/01/02/bila-kaifa/
Selain itu akan terjerumus. mengingkari firman Allah Ta’ala bahwa sesungguhnya penciptaan Nabi Adam dan semua makhluk diciptakan dengan cara yang sama yakni cukup dengan Qudrah dan kehendak Allah untuk menjadikan sesuatu, maka seketika itulah apa yang dikehendaki terjadi (kun fayakun) sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia”. (QS Ali Imron [3] : 59)
Ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 9 hijriah yakni Al Imam Al Hafizh Suyuthi (W 911 H) dalam kitab tafsir Jalalain ketika menjelaskan firman Allah yang ARTINYA, “Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” .(QS. Shad [38] : 75)
MAKNANYA hanyalah sebuah UNGKAPAN untuk MEMULIAKAN KEDUDUKAN Nabi Adam alaihissalam.
Jadi kita harus dapat membedakan ARTI dengan MAKNA
Contohnya dalam bahasa Indonesia UNGKAPAN tangan kanan MAKNANYA digunakan untuk orang yang dipercaya atau kepercayaan seseorang.
Jadi UNGKAPAN “dengan kedua tangan-Ku” adalah UNGKAPAN untuk MEMULIAKAN KEDUDUKAN Nabi Adam di hadapan kesombongan Iblis.
Begitupula para ulama terdahulu telah MELARANG mensifatkan atau menjismkan Dzat Allah Ta’ala seperti mengatakan bahwa Allah memiliki wajah, tangan, kaki WALAUPUN dikatakan semua itu tidak serupa dengan makhluknya karena hal ini sudah termasuk ‘AASHIN yakni DURHAKA atau MENGHINA Allah Ta’ala.
Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” menjelaskan bahwa barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (bentuk seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (bentuk tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj telah mengingatkan bahwa Ibnu Taimiyyah itu telah MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah Ta’ala KARENA mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat benda seperti arah dan tempat maupun mensifatkan Allah Ta’ala dengan anggota-anggota badan seperti tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya.
***** awal kutipan *****
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.
Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
***** akhir kutipan *****
Berdasarkan pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan yakni ditetapkan kufur dalam i’tiqod oleh banyak ulama maka perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Beliau.
Contohnya ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyyah
*** awal kutipan ***
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
*** akhir kutipan ****
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakan Ibnu Taimiyyah di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:
– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar
– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah
– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam
– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq
– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il alAyman wa ath-Thalaq
– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq
– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.
8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.
9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:
– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.
10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).
11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.
12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.
13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.
14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.
15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.
16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua risalahnya:
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalahath-Thalaq.
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.
17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘Ala ibn Taimiyah..
18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)
19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk memenjarakannya.
20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam dua risalahnya : – Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah
21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al Muhith.
22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).
23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.
24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-Tawarikh.
25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.
Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar