Firqah MUJASSIMAH berkeyakinan Tuhan BERBATAS dengan Arsy
Allah Ta’ala sendiri yang berfirman bahwa Allah Maha Tinggi dalam makna ketinggian derajat-Nya
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, (Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat) (QS. Al Mukmin [40] : 15)
Begitupula dalam majalah al-Azhar yang diterbitkan oleh para ulama al-Azhar pada edisi Muharram tahun 1357 H dalam pembahasan tafsir surat al-A’la, menuliskan sebagai berikut:
“al-A’la adalah salah satu sifat Allah. Yang dimaksud dengan al-‘uluww dalam hal ini adalah dalam pengertian keagungan, menguasai, dan ketinggian derajat, bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”.
Jadi “Allah di atas Arsy” maupun ungkapan “serahkan sama Yang di atas” BUKAN dalam pengertian ARAH, BATASAN, JARAK ataupun TEMPAT NAMUN maksudnya adalah,
علوّ المرتبة
Uluww al-Martabah artinya
derajat yang tinggi untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
Sedangkan firqah MUJASSIMAH berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala BERADA di atas Arsy dalam pengertian BERBATAS dengan Arsy.
Salah satu contoh tokoh MUJASSIMAH adalah Ibnu Taimiyyah (W 728 H) yang menjadi rujukan bagi paham Wahabi (WAHABISME) yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H)
Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat mengatakan
– Tuhan BERTEMPAT di atas Arsy namun dia selalu bersama dan mengawasi kita di manapun berada seperti bulan bersama musafir di mana saja dia berada (Syarah Aqidah Al-Wasithiyyah)
– Tuhan BERTEMPAT di atas Arsy, maka keduanya ini memiliki BENTUK dan BATASAN (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 29)
– Tuhan BERTEMPAT di langit dan dia diliputi dan DIBATASI oleh langit (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 30)
– Nabi Muhammad DIDUDUKAN oleh Allah di atas Arsy bersama-Nya (Majmu Fatawa juz 4, hal.374)
Bahkan ada pula pula mereka mengatakan bahwa Tuhan yang BERTEMPAT di atas Arsy berambut keriting dan memiliki pantat jika bergeser terdengarlah darinya suara ‘Kret Kret’ seperti suara yang biasa keluar dari kursi yang masih baru
Hal ini terungkap dalam tulisan mereka yang sempat diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf
Contoh kabar pertaubatan Ibnu Taimiyyah pada https://www.dutaislam.com/2016/07/ini-proses-persidangan-taubatnya-ibnu-taimiyah-yang-berbelit-belit.html
Begitupula sifat keterpisahan bagi Allah Ta’ala dengan makhluk BUKANLAH menjauh secara hissi (materi / fisikal) dalam pengertian batasan, arah, jarak maupun tempat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu al-Fatawa, juz 2, hal.126.
Para ulama terdahulu seperti Syekh Ibnu Khaldun (808 H) dalam kitab Târîkh-nya menjelaskan
***** awal kutipan ******
وأمّا المعنى الآخر للمباينة، فهو المغايرة والمخالفة
Adapun makna keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah perbedaan dan ketidaksamaan
فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويّته ووجوده وصفاته
Maka dikatakan bahwa Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya.
***** akhir kutipan *****
Jadi pengertian keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah Allah ba’in ‘an al-khalq yakni Allah Ta’ala TERPISAH dalam makna BERBEDA dari makhluk-makhluk-Nya
Contohnya kalau makhlukNya seperti manusia itu dekat BERSENTUH dan jauh BERJARAK
Sedangkan Allah Ta’ala itu dekat TIDAK BERSENTUH dan jauh TIDAK BERJARAK sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat (QS Al Baqarah [2] : 186)
Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyin” jilid I hal 281 dengan JELAS dan TEGAS menuliskan apa yang telah disepakati oleh para ahlus sunnah,
أنهم يقولون: إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية
Mereka (ahlus sunnah) berkata, “Sesungguhnya Allah bukan jism, tidak berhadd (TIDAK TERBATAS) dan TIDAK BERJARAK”
Begitupula Imam Abul Wahid At Tamimi (W 410 H) ulama yang paling dekat zamannya dengan Imam Ahmad membawakan riwayat Imam Ahmad di dalam kitab Beliau “I’tiqad Imam Al Munabbal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal hal 38;
والله تعالى لم يلحقه تغير ولا تبدل ولا يلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش
“Dan Allah Ta’ala tidak mengalami perubahan dan TIDAK TERBATAS oleh hadd, baik sebelum Allah menciptakan Arsy, maupun setelah Allah menciptakan Arsy”
Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari dalam kitab Al Ibanah menegaskan bahwa istawa Allah di atas Arsy
بلا كيف ولا استقرار
Tanpa kaifa (sifat makhluk/benda) dan bukan dalam pengertian istiqrar (bertempat/menetap tinggi).
Jadi BUKAN Allah (berada) di atas Arsy atau ISTAQARRA (bertempat/menetap tinggi) di atas Arsy.
NAMUN Allah di atas Arsy BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA yakni tanpa sifat-sifat makhluk/benda seperti arah (jihah), jarak, ruang, waktu, berbatas (al hadd) dengan arsy sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/01/02/bila-kaifa/
Hal serupa disampaikan oleh ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 4 hijriah, Imam al Baihaqi (W 458 H) mengingatkan bahwa
من فوق السماء علی معنی نفي الحد عنه
Dzat di atas langit berdasarkan makna MENAFIKAN BATAS (al hadd) darinya.
Jadi pada kenyataannya orang-orang yang hidup pada zaman now (sekarang) atau zaman khalaf (kemudian) yakni dari kalangan modernis (lawan dari tradisionalis atau salaf) NAMUN mengaku-ngaku mengikuti Salaf (terdahulu) dan menisbatkan sebagai Salafi maupun Atsari serupa dengan firqah Karramiyah yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Karram (W 255 H) beraqidah MUJASSIMAH
Imam Ibnu Hajar Haitami mengatakan bahwa mereka (al karramiyyah) percaya bahwa Tuhan adalah Dzatnya menetap di atas Arsy, menempel dan beristirahat di atasnya, dan kemudian turun setiap sepertiga malam terakhir ke langit dunia dan kemudian kembali ke tempatnya saat fajar.
Imam Asy Syahrastani (W 578 H) Rahimahullah mengatakan :
نص أبو عبد الله على أن معبوده على العرش استقرارا، وعلى أنه بجهة فوق ذاتا وقال بعضهم: امتلأ العرش به، وصار المتأخرون منهم إلى أنه تعالى بجهة فوق، وأنه محاذ للعرش وقال محمد بن الهيصم: إن بينه وبين العرش بعدا لا يتناهى، وإنه مباين للعالم بينونة أزلية
Abu Abdillah (Ibnu Karram) menjelaskan bahwa yang dia sembah menetap di atas ‘Arsy dan bahwasanya Dzatnya ada di arah atas dan sebagian Karramiyah berkata, “Arsy penuh dengan Dzat ALLAH.” namun orang-orang belakangan dari mereka berpendapat bahwa ALLAH Ta’ala di arah atas, Dia lurus dengan ‘Arsy dan Muhammad Bin Al-Haisham (imam kedua Karramiyah) berkata bahwa sesungguhnya antara ALLAH dan antara ‘Arsy ada jarak yang tak terhingga dan sesungguhnya ALLAH terpisah dari alam dengan jarak yang Azali. (Al-Milal Wa An-Nihal : 1/109)
Contohnya mereka mengatakan,
***** awal kutipan *****
Apa yang dikatakan oleh Ad Darimi memang begitulah faktanya bahwa memang yang di atas langit LEBIH DEKAT kepada Allah secara hisssi (materi / fisikal) dari pada yang di bumi. Adapun kedekatan kala sujud maka itu adalah kedekatan maknawi”
****** akhir kutipan *****
Ad Darimi yang mereka ikuti pendapatnya adalah Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (w 280 H) BUKANLAH Ad Darimi ulama besar ahli hadits terkemuka yang telah menulis kitab Sunan ad Darimi yakni Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi (w 255H)
Mereka ada juga yang berkeyakinan bahwa Tuhan tidak bertempat NAMUN berada di arah atas karena menurut mereka tempat itu masih alam sedangkan Tuhan itu di luar alam.
Berikut kutipan tulisan mereka,
****** awal kutipan ******
Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.
***** akhir kutipan ******
Jadi mereka berkeyakinan Tuhan berada di arah atas dan di atas Arsy ada yang namanya “bukan tempat”.
Adapula yang lain menamakannya makan ‘adami dan kalau diartikan adalah “tempat ketiadaan”
Ironisnya keyakinan (i’tiqod/akidah) mereka tentang adanya “bukan tempat” atau “tempat ketiadaan” (makan ‘adami) dinisbatkan atau dilabeli sebagai keyakinan ulama salaf
Padahal istilah “bukan tempat” atau makan ‘adami (tempat ketiadaan) tidak pernah diriwayatkan oleh Salafush Sholeh karena tidak ada dalam Al Qur’an maupun Hadits.
Rasulullah justru melarang menetapkan arah maupun tempat bagi Allah Ta’ala sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/01/21/larang-arah-dan-tempat/
Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib telah mengingatkan bahwa “Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya kufur dalam i’tiqod) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda (seperti arah maupun tempat) dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi).
Firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang terjerumus kekufuran dalam perkara i’tiqod karena mereka MEN-JISM-KAN Allah Ta’ala yakni mereka mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat jism (benda/fisikal) seperti mengisbatkan (menetapkan) anggota badan, arah atau tempat, ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya dan sifat fisikal lainnya.
AKIBAT mereka NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah secara hissi (inderawi / materi / fisikal) atau SELALU dengam MAKNA DZAHIR dan MENGINGKARI TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah).
FITNAH terhadap Salafush Sholeh timbul AKIBAT Ibnu Taimiyyah (W 728 H) MENISBATKAN atau tepatnya MELABELKAN MAZHABNYA atau metode pemahamannya selalu dengan MAKNA DZAHIR sebagai mazhab atau manhaj salaf sebagaimana fatwanya dalam Majmu Fatawa 4/149
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR
***** akhir kutipan *****
Bahkan disebarluaskan dongeng atau tepatnya fitnah bahwa Imam Asy’ari melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran yakni fase ketiga / terakhir adalah SERUPA dengan MAZHABNYA Ibnu Taimiyyah (W 728 yang DILABELI mazhab atau manhaj Salaf.
Ibnu Taimiyyah dikabarkan masih sempat bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum Beliau wafat dipenjara sehingga Beliau belum sempat menulis kitab-kitab untuk mengkoreksi kekeliruannya akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyyah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari makna majaz (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115).
Begitupula Ibnu Taimiyyah dalam Al Iman hal 94 berkata,
***** awal kutipan *****
“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk metafor (majaz) dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk metafor.
Bahkan pembagian bahasa kepada hakekat dan metafor adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.
***** akhir kutipan ****
Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) murid dari Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
Jadi timbulnya KERUSAKAN seperti TERJERUMUS KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD akibat orang awam TERKELABUI dengan LABEL mazhab atau manhaj Salaf dan penisbatan atau tepatnya PELABELAN Salafi maupun Atsari
Mereka membeli atau memiliki kitab-kitab hadits dan mereka membaca hadits-hadits dimana dalam hadits tercantum sanad hadits yakni nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in lalu dikatakan oleh mereka bahwa mereka mengikuti PEMAHAMAN Salafush Sholeh dan DILABELI MAZHAB SALAF atau MANHAJ SALAF
Apa yang disampaikan dari hadits-hadits yang dibaca oleh mereka adalah PEMAHAMAN MEREKA sendiri BUKAN PEMAHAMAN Salafush Sholeh.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri yakni PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Ibnu Taimiyyah BUKAN ulama SALAF (terdahulu) namun ulama KHALAF (kemudian) karena wafat 728 H artinya Beliau hidup di atas 300 Hijriah.
Begitupula Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) maupun Adz Dzahabi (w 748 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Jadi mereka tentu tidak bertemu dengan Salaf karena tidak semasa kehidupannya sehinga mereka tidak mendapatkan pemahaman Salaf yang sesungguhnya.
Istilah Wahabi juga digunakan sebagai laqob (julukan / gelar) untuk orang-orang yang SECARA TERANG-TERANGAN melanggar larangan Rasulullah yakni mereka yang memahami atau “kembali” kepada Al Qur’an dan Hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari MAKNA MAJAZ
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Timbul PERTANYAAN siapakah yang menghidupkan kembali ajaran atau pemahaman (baca kebid’ahan) Ibnu Taimiyyah (W 728 H) dengan menyodorkan kitab-kitabnya setelah wafat lebih dari 450 tahun kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) sehingga diberi julukan “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” yang juga memahami Al Qur’an dan Hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
PERTANYAAN ini perlu disampaikan karena para ulama terdahulu justru telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,
وإياك أن تصغي إلى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن قيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ إلهه هواه وأضله الله على علم ، وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعد الله
”Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim al Jawziyah dan orang selain mereka berdua yang telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan sesembahan dan disesatkan oleh Allah atas ilmu, yang Allah telah menutup telinga, hati dan penglihatannya. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah? : (Al Fatawa Al Haditsiyah 1/480)
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari, menolak dan menangkal ajaran atau pemahaman Wahabi yang salah satu contohnya adalah mereka menyebarluaskan kebohongan mengenai Allah Ta’ala sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6
******* awal kutipan *******
ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا،
Diantara mereka terdapat juga firqah yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وعبد الهادي
Mereka melaksanakan KEBID’AHAN Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي في رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الإعتقاد: وهذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا وخلفا، فكانوا وصمة وثلمة في المسلمين وعضوا فاسدا
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
يجب قطعه حتى لا يعدى الباقي، فهو كالمجذوم يجب الفرار منهم، فإنهم فريق يلعبون بدينهم يذمون العلماء سلفا وخلفا
Maka wajib menanggalkan / menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
يقولون على الله الكذب وهم يعلمون
Mereka MENYEBARKAN KEBOHONGAN MENGENAI Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut.
***** akhir kutipan *******
Mereka menyebarluaskan kebohongan mengenai Allah Ta’ala seperti mereka mengatakan bahwa Tuhan memiliki wajah, mata, telinga, pinggang, betis, lima jari, dua tangan dan kedua-duanya kanan, dua kaki yang ditempatkan di kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahannam sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/01/02/bohong-mengenai-allah/
Ibnu Taimiyyah (W 728 H) tidak pernah mengklaim diri sebagai ulama Hanbali.
Dalam bukunya berjudul Araddu ‘ala al-Hululiyyah wa al-Ittihadiyyah, Ibnu Taimiyyah mengungkapkan keinginannya untuk membersihkan pemikiran-pemikiran yang taqlid dan mengembangkan perlunya membuka kembali pintu ijtihad.
Para ulama terdahulu tidak mengelompokkan Ibnu Taimiyyah sebagai ahli istidlal atau fuqaha (ahli fiqih) namun sebagai ahli hadits dan itupun bukan penghafal hadits namun ahli hadits kitab yakni ahli (membaca) hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri.
Mereka sendiri yang mengatakan bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah (W 728 H) adalah seorang yang mendalami ilmu agama secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri seperti contoh informasi dari kalangan mereka sendiri pada http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Syaikhul Islam Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami al-Makki al-Syafi’i dalam kitabnya Al Fatawa Al Haditsiyah ketika ditanya tentang perkataan Sufyan bin Uyainah (W 198H) seorang Tabi’ut Tabi’in yang sempat bertemu sekitar 87 Tabi’in,
الحديث مضلة إلا الفقهاء
Hadits itu menyesatkan kecuali untuk para fuqaha (ahli fiqih)
Imam Ibnu Hajar al-Haitami mencontohkan hadits yang dapat menyesatkan bagi ahli (membaca) hadits adalah hadits Nuzul yakni,
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan bahwa,
ولا يعرف معنى هذه إلا الفقهاء بخلاف من لايعرف إلا مجرد الحديث ، فإنه يضل فيه كما وقع لبعض متقدمي الحديث . بل ومتأخريهم ، كابن تيمية وأتباعه
“tidak ada yang memahami makna hadits itu kecuali para ahli fiqih. Berbeda dengan mereka yang hanya mengerti hadits saja, mereka tersesat dalam memahaminya, sebagaimana sebagian ahli hadits zaman dahulu, bahkan di zaman belakangan seperti Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya.
Berikut pemahaman atau pendapat Ibnu Taimiyyah terhadap hadits Nuzul sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah)
**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG,
**** akhir kutipan ****
Ibnu Taimiyyah terjerumus MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN nuzul dengan mengatakan bahwa
“Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG”
Begitupula ini adalah sebuah contoh KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah dalam perkara i’tiqod karena tidak pernah disabdakan Rasulullah maupun diriwayatkan oleh Salafush Sholeh.
Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah.
Ironisnya para penerus KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah ada yang mengkafirkan umat Islam dengan cara MEMFITNAH Imam Abu Hanifah karena ketika mereka MENTERJEMAHKAN menyisipkan kata KEBERADAAN atau BERADA dan MENTAKWIL ISTAWA dengan MAKNA DZAHIR seperti ISTAQARRA yang artinya BERTEMPAT atau MENETAP TINGGI sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://rumaysho.com/933-di-manakah-allah-4.html
***** awal kutipan *****
Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”
Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.”
***** akhir kutipan ******
Imam Abu Hanifah menetapkan kafir dalam pengertian kekufuran dalam perkara i’tiqod BUKANLAH karena si penanya mengingkari “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” namun kesalahan si penanya telah menetapkan arah dan tempat bagi Allah Ta’ala ketika menyampaikan dua ungkapan atau pertanyaan yakni,
“Aku tidak mengetahui di mana Tuhanku, apakah Dia di langit ataukah di bumi?”
“Allah di atas ‘Arsy, dan aku tidak tahu arah ‘Arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”
Setiap yang membutuhkan kepada arah dan tempat maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yang baharu (huduts).
Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz.
Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan (kufur dalam i’tiqod) orang mengatakan dua ungkapan atau pertanyaan tersebut- Karena dua ungkapan atau pertanyaan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198)
Begitupula ketika Imam Malik memerintahkan agar si penanya dikeluarkan dari majelisnya bukanlah karena orang itu mengingkari “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” namun kesalahan orang itu ketika mempertanyakan kaifiyah Istawa bagi Allah sebenarnya dia sudah menetapkan arah dan tempat bagi Allah Ta’ala
Asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan bahwa ketika orang itu bertanya kepada Imam Malik “bagaimanakah Istawa Allah” sebenarnya orang tersebut sudah menetapkan adanya kaifiyyah bagi (istawa) Allah sesuai makna dzahirnya yakni bertempat namun orang tersebut meragukan tentang kaifiyah dari sifat bertempat bagi Allah karena itu ia bertanya kepada Imam Malik.
Tidak ada umat Islam yang mengingkari Allah Ta’ala di atas Arsy namun bagi masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Quran, mereka pada umumnya mengetahui bahwa,
Fawqo ditujukan kepada Allah arti sebenarnya HANYALAH “di atas” BUKANLAH “(berada) di atas”.
Begitupula fis sama’ ditujukan kepada Allah arti sebenarnya HANYALAH “di langit” BUKANLAH (berada) di (atas) langit.
Berikut kutipan penjelasan pembesar Mazhab Hambali, Imam Ibn al Jawzi (W 597 H) yang MEMBERSIHKAN fitnah-fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal dengan kitabnya yang berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih ketika menjelaskan KEKELIRUAN firqah MUJASSIMAH yang menyimpulkan bahwa secara indrawi Allah berada di arah atas berdalilkan firman Allah Ta’ala, “Wa Huwa al-Qahiru Fawqo ‘Ibadihi” (QS. Al-An’am: 61)
***** awal kutipan ****
Dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan:
فلان فوق فلان
Fulan fawqo Fulan artinya derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)
Ungkapan ini BUKAN bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B)
Mereka lupa bahwa pengertian FAWQO dalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja.
Mereka meninggalkan makna “fawqo” dalam pengertian,
علوّ المرتبة
Uluww al-Martabah artinya derajat yang tinggi
******* akhir kutipan *******
Contoh terjemahan dari kitab Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih dapat diunduh (download) di https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2012/12/dafu-syubah-imam-ibn-al-jauzi.pdf
Banyak ulama yang semasa hidupnya dengan Ibnu Taimiyyah maupun setelahnya membuat kitab atau tulisan yang menjelaskan KESESATAN Ibnu Taimiyyah karena Beliau KELIRU memahami Al Qur’an dan Hadits maupun kitab-kitab ulama terdahulu akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMANNYA selalu dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari MAKNA MAJAZ sebagaimana yang terungkap pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Contohnya Al-Imam Ibn Jahbal (W 733 H) dalam risalah Fi Nafy al-Jihah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. memuat bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah (W 728 H) yang mengatakan bahwa Allah berada atau bertempat di atas arsy.
****** awal kutipan ******
… bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Khalifah Fawq as-Sulthan wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya: “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan: “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya: “Si fulan yang pertama kedudukannya di atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilmu Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu kedudukannya di atas amal”.
Contoh makna ini dalam firman Allah: “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqo Ba’dlin Darajat” (QS. Az-Zukhruf: 32), artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain.
****** akhir kutipan ******
Bantahan tersebut senada dengan penjelasan para ulama terdahulu seperti,
Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an menuliskan tentang pemahaman fawq pada hak Allah, sebagai berikut:
“…antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Qahiru Fawqo ‘Ibadih” (QS. Al-An’am: 18), dan firman-Nya: “Yakhafuna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Makna fawqo dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawqo dalam ayat tersebut sama dengan makna fawqo dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun: “Wa Inna Fawqohum Qahirun” (QS. Al-A’raf: 127), bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi dalam pengertian ia menguasai Bani Isra’il”.
Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata
***** awal kutipan *****
Makna فوق fawqo bukanlah dalam pengertian tempat karena adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawqo pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wa huwa al-qaahiru fawqo ‘ibaadihi
Jika yang dimaksud fawqo dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?
***** akhir kutipan ******
Berikut kutipan penjelasan pembesar Mazhab Hambali, Imam Ibn al Jawzi, ketika menjelaskan kekeliruan firqah MUJASSIMAH dalam memahami firman Allah
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
aamintum man fiis samaa-i (QS Al Mulk [67]:16)
***** awal kutipan ******
Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna dzahirnya karena dasar kata fis sama’ dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”, padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun.
Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit.
Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
***** akhir kutipan *****
Begitupula Imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid;
***** awal kutipan *****
“Al Kirmani berkata, مَنْ فِى السَّمَاءِ makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia dibanding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat dan sifat-Nya.“
****** akhir kutipan ******
Oleh karenanya terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) telah sepakat menyisipkan kata “berkuasa” agar tidak dipahami dan disisipkan kata “berada” atau “bertempat” sehingga menafsirkannya menjadi,
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?
Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk [67]:16
***** awal kutipan ******
a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara tashil
man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang di langit
****** akhir kutipan ******
Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dalam kitab karyanya yang berjudul “Wahuwa bi al’ufuq al-a’la” dan telah diterjemahkan oleh penerbit Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam” menjelaskan
***** awal kutipan *****
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Meskipun Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi Beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah Ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.
Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maha suci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.
Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada Rasulullah, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu”.
Jadi kembalinya Rasulullah kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
***** akhir kutipan *****
Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bermunajat di Sidratul Muntaha, Nabi Musa alaihissalam bermohon di lembah Thursina, umat Islam berdoa di Baitullah ataupun umat Islam berdoa di Masjid bukan berarti Allah Ta’ala berada atau bertempat di tempat hambaNya bermunajat atau berdoa.
Begitupula Al Imam Al Hafizh Suyuthi menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala yang ARTINYA “Naiklah malaikat-malaikat dan Jibril kepada-Nya MAKNANYA adalah naik ke tempat turun bagi perintahNya di langit . (Tafsir Al-Jalalain, QS Al-Ma’arij [70] :4)
Tempat turun bagi perintahNya bukan berarti tempat bagi Allah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat.
Ada pula dari mereka yang mengatakan bahwa Nabi Musa alahissalam yang memberitahu Fir’aun bahwa Tuhan berada atau bertempat di langit sehingga Fir’aun minta dibuatkan bangunan yang tinggi untuk melihat Tuhannya nabi Musa
Padahal Fir’aun sendiri yang berkeyakinan Tuhannya Nabi Musa berada atau bertempat di langit bukan karena mendengar dari Nabi Musa alaihissalam.
Nabi Musa alaihissalam tidak pernah mengatakan bahwa Tuhan berada atau bertempat di langit.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Dan Musa berkata: “Hai Fir’aun, sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Tuhan semesta alam” (QS Al A’raf [7]:104)
Fir’aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?”(QS Asy Syu’ara [26]:23)
Musa menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian(orang-orang) mempercayai-Nya” (QS Asy Syu’ara [26]:24)
Jadi justru aqidah Fir’aun yang mengatakan bahwa setiap yang ada harus bertempat.
Memang sangat wajar bila seorang Fir’aun menyangka demikian, karena ia telah mengaku diri nya Tuhan, tentu dipikirannya Tuhan Nabi Musa alaihissalam juga seperti diri nya, harus punya tempat yang jelas.
Akan tetapi yang sangat tidak wajar bila asumsi Fir’aun itu (setiap yang ada pasti punya tempat) datang dari mereka yang menisbatkan sebagai SALAFI, mereka yang merasa (mengaku-ngaku) mengikuti pemahaman para Sahabat, merasa (mengaku-ngaku) penegak tauhid dan tentu percaya bahwa Tuhan berbeda dengan makhluk yang membutuhkan tempat (semoga kita dijauhkan dari pemikiran Fir’aun).
Dari asumsi tersebut, Fir’aun mencoba meraba apa yang disampaikan oleh Nabi Musa bahwa Nabi Musa alaihissalam adalah utusan “Tuhan yang memiliki langit dan bumi”, tentu saja Fir’aun mempertanyakan di mana keberadaan Tuhan Nabi Musa itu, karena ia yakin “setiap yang ada pasti punya tempat”.
Dan pilihan yang ada cuma dua yakni di langit atau di bumi, bila di bumi tentu Nabi Musa alaihissalam telah menunjukkannya, bila di langit bagaimana Nabi Musa alaihissalam bisa tahu, bagaimana mendapatkan risalahnya,
Fir’aun yang telah termakan dengan asumsinya yang salah dan tidak percaya sesuatu yang ada tapi tanpa bertempat.
Fir’aun telah membuktikan kepada kaum nya bahwa tidak ada Tuhan lain di bumi selain dari dia, dan hanya satu tempat lagi yang belum ia buktikan yaitu di langit, sehingga ia perintahkan pembantu nya untuk membangun bangunan yang tinggi di atas gunung, agar ia bisa melihat Tuhan Nabi Musa alaihissalam, sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran Surat Ghafir ayat 36-37:
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Dan berkatalah Fir`aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu (QS. Ghafir / Al Mu’min [40] : 36)
(yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan nya Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”. Demikianlah dijadikan Fir`aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir`aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian” (QS. Ghafir / Al Mu’min [40] : 37)
Imam Ar-Razi berkata,
***** awal kutipan ******
”sesungguhnya mereka (musyabbihah) adalah orang-orang yang sangat bodoh,yang membuat mereka semakin lengkap dalam kehinaan dan kesesatan, oleh karena mereka telah menjadikan perkataan Fir’aun yang terlaknat, sebagai dalil mereka atas kebenaran agama mereka,
sementara Nabi Musa alaihissalam dalam memperkenalkan Tuhan,tidak pernah melebihkan dari menyebutkan sifat penciptaan, sebagaimana dalam surat Thoha :50 “Tuhan kita adalah yang memberikan tiap sesuatu bagi makhluk-Nya kemudian memberi petunjuk” dan sebagaimana dalam surat Asy-Syu’araayat 26, 28 “Tuhan kalian dan Tuhan bapak kalian yang terdahulu – Tuhan timur dan barat dan diantara kedua nya”.
Maka nyatalah bahwa memperkenalkan Tuhan dengan keberadaannya di langit adalah agama Fir’aun, dan memperkenalkan Tuhan dengan penciptaan dan makhluk adalah agama Nabi Musa alaihissalam,
Siapa yang berpendapat dengan yang pertama, adalah ia diatas agama Fir’aun, dan siapa yang berpendapat dengan yang kedua, adalah ia di atas agama Nabi Musa alaihissalam,
kemudian kita menjawab, kita tidak bisa menerima bahwa semua yang disebutkan Fir’aun tentang sifat Allah Ta’ala karena ia pernah mendengar dari Nabi Musa alaihissalam, tapi karena Fir’aun berada dalam keyakinan Musyabbihah, maka tentu ia berkeyakinan jika memang Tuhan ada, pasti Dia berada di langit, maka keyakinan Fir’aun ini sungguh datang dari diri nya, bukan karena mendengar dari Nabi Musa alaihissalam [Lihat Tafsir Ar-Razi,surat Ghafir : ayat 36-37 ]
***** akhir kutipan ****
Imam Ahlus Sunnah Imam Abu Mansur Al-Maturidi berkata :
****** awql kutipan *****
“Kaum Musyabbihah [menyerupakan Allah dengan makhluk] berpegang dengan dzahirnya ayat ini, mereka beralasan : Seandainya bukan karena Musa as telah menyebut dan memberitahu Fir’aun bahwa Tuhan di atas langit, sungguh Fir’aun tidak menyuruh Haman membangun bangunan agar ia dapat naik ke langit dan melihat Tuhan Nabi Musa alaihissalam, sebagaimana Firman Allah menceritakan pernyataan Fir’aun Tetapi kita menjawab : Tidak ada dalil bagi mereka, karena kemungkinan pernyataan Fir’aun tersebut sebagian dari kebohongan Fir’aun kepada kaum nya tentang Musa alaihissalam”. [Lihat Tafsir Ta’wilat Ahlus Sunnah surat Ghafir ayat 37].
***** akhir kutipan *****
Begitupula Imam Abu Mansur Al-Maturidi ketika ditanya, apakah seseorang MENGANGKAT PANDANGAN ke langit atau berdoa mengangkatkan tangan ke langit menunjukkan bahwa Tuhan berada atau bertempat di (atas) langit atau di atas Arsy.
Imam Abu Mansur Al-Maturidi berkata, “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa MENGANGKAT PANDANGAN ke langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika shalat dan lainnya, dan juga sama seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di Timur/ Barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” [Kitab At-Tauhid – 75]
Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]
Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Maka adapun angkat tangan ke arah langit ketika berdoa, karena sesungguhnya langit itu qiblat doa” kemudian Beliau juga berkata, disebutkan oleh At-Thurthusyi bahwa manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi, dan begitu juga tentang diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit, dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]
Begitupula orang-orang yang MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN ISTAWA Allah sebagai BERTEMPAT sehingga mereka seolah-olah MEMENJARAKAN Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy adalah mereka yang JAHIL yakni BELUM MENGENAL Allah (makrifatullah) dengan sebenar keagungan-Nya.
Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata
من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود
”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud (TERBATAS) maka ia telah JAHIL yakni TIDAK MENGENAL Tuhan Sang Pencipta.” (Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73)
Padahal jika BELUM MENGENAL Allah dapat berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.
Imam Ghazali berkata:
لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”.
Artinya, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Oleh karenanya SEJAK DINI sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai SARANA untuk MENGENAL Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.
20 sifat wajib bagi Allah dapat juga dipergunakan sebagai pedoman dan batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi asy-Syaf’i (W 465 H) dalam Lata’if al-Isyarat mengingatkan bahwa,
Langit maupun arsy dalam makna dzahir atau secara hissi (materi/fisikal) arah atas (jihah) adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk
Sedangkan langit, arsy dalam makna majaz atau secara maknawi adalah terkait melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi.
Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) TANPA JARAK, TANPA KAIF (sifat benda), TANPA BATASAN (hadd), TANPA ARAH maupun TEMPAT.
قَالَ رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَلْبِهِ
Ibnu Abbas radhiyallhuanhu berkata; Muhammad melihat Rabb-nya ‘Azza wa Jalla dengan hatinya
Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah IHSAN itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (makrifatullah), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Jadi jika seseorang bermakrifat yakni dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) atau pengawasan Allah tertanam di hatinya karena BERKEYAKINAN bahwa “Allah Ta’ala itu dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” maka setiap akan bersikap atau berbuat sesuatu ia selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar.
Sikap dan perilaku seperti itulah yang membentuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang IHSAN.
Para ulama Allah mengatakan bahwa salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Oleh karenanya orang-orang yang BERAKHLAK BURUK seperti mereka yang terjerumus KESOMBONGAN dan MENOLAK kebenaran BERKAITAN dengan akhlak buruk mereka kepada Allah Ta’ala yakni orang-orang yang ‘Aashin (DURHAKA) atau MENGHINA Allah, seperti orang-orang yang “menjauhkan” Allah Ta’ala dengan menetapkan arah (jihah) atau tempat bagi Allah di atas Arsy AKIBAT mereka belum bermakrifat yakni mereka belum dapat memandang Allah dengan hatinya (ain bashirah)
Orang-orang yang “menjauhkan” Allah Ta’ala adalah orang-orang yang BERTAMBAH ILMUNYA namun SEMAKIN JAUH dari Allah Ta’ala karena mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Alhamdulillah, semakin kuat iman ana membaca penjelasan sampeyan. Manhaj Salaf benar benar Manhaj yang mulia hingga orang orang menyimpang mempergunakan AKAL mereka untuk menuduh dan menduga duga.
mengingatkan ana dengan halnya seorang lelaki bertemu dengan Dajjal, ketika Dajjal bisa menghidupkan lelaki tersebut maka semakin kuatlah iman sang lelaki dan semakin benarlah keyakinannya bahwa yang menghidupkannya kembali adalah Dajjal.
ngomong ngomong kenapa kepada kaum wahdatul wujud yang jelas real menganggap diri mereka adalah Allah kalian sanjung, lindungi & membaur ke golongan ngaNU? apa ini sifat muka dua antum?