Kekeliruan mereka adalah akibat mereka menjadikan panutan dan rujukkan orang-orang yang “kembali” kepada Al Qur’an dan Hadits secara otodidak menurut akal pikiran mereka sendiri
KEKELIRUAN mereka adalah AKIBAT mereka menjadikan panutan dan rujukkan orang-orang yang secara TERANG-TERANGAN melanggar larangan Rasulullah yakni mereka memahami atau “kembali” kepada Al Qur’an dan Hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Rasulullah bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain NAMUN kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya.
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku TIDAK BISA MENEGUR tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Apakah orang-orang yang secara otodidak mengambil ilmu dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini:
awal kutipan
“Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi.
Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi (otodidak) bukan orang alim…
Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah).
Ia disebut SHAHAFI yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia TIDAK MENDENGAR langsung dari para ulama, maka ia MELENCENG dari kebenaran.
Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
akhir kutipan
Ulama panutan atau rujukkan bagi firqah Wahabi yakni TOKOH MUJASSIMAH Ibnu Taimiyah (W 728H) dikenal sebagai seorang yang memahami atau “kembali” kepada Al Qur’an dan Hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana informasi dari kalangan mereka sendiri pada http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
awal kutipan *
Ibn Taimiyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
akhir kutipan *
Begitupula seberapapun banyaknya guru atau seberapapun panjangnya rantai sanad guru (sanad ilmu) dari ahli (membaca) hadits, Albani (W 1420H) yang DIJULUKI sebagai “Ibnu Taimiyahnya Abad Keempat Belas” maka TIDAK AKAN berarti (berguna) karena Beliau lebih banyak mendalami ilmu agama, berpendapat dan berfatwa dari balik perpustakaan alias secara otodidak (shahafi) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana informasi dari kalangan mereka sendiri pada http://cintakajiansunnah.blogspot.com/2013/05/asy-syaikh-muhammad-nashiruddin-al.html
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya
***** akhir kutipan *****
Timbul PERTANYAAN siapakah yang menghidupkan kembali ajaran atau pemahaman (baca kebid’ahan) Ibnu Taimiyyah (W 728 H) dengan menyodorkan kitab-kitabnya setelah wafat lebih dari 450 tahun kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) sehingga diberi julukan “duplikat (salinan) Ibnu Taimiyyah” yang juga memahami Al Qur’an dan Hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikirannya sendiri sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
awal kutipan
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
akhir kutipan
PERTANYAAN ini perlu disampaikan karena para ulama terdahulu justru telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata,
وإياك أن تصغي إلى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن قيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ إلهه هواه وأضله الله على علم ، وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعد الله
”Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim al Jawziyah dan orang selain mereka berdua yang telah menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan sesembahan dan disesatkan oleh Allah atas ilmu, yang Allah telah menutup telinga, hati dan penglihatannya. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah? : (Al Fatawa Al Haditsiyah 1/480)
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari, menolak dan menangkal ajaran atau pemahaman Wahabi sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah dan dapat diunduh (download) pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2015/08/risalah-aswaja.pdf
awal kutipan
ومنهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده ورشيد رضا،
Diantara mereka terdapat juga firqah yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي، وأحمد بن تيمية وتلميذيه ابن القيم وعبد الهادي
Mereka melaksanakan KEBID’AHAN Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي في رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الإعتقاد: وهذا الفريق قد ابتلي المسلمون بكثير منهم سلفا وخلفا، فكانوا وصمة وثلمة في المسلمين وعضوا فاسدا
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”
يجب قطعه حتى لا يعدى الباقي، فهو كالمجذوم يجب الفرار منهم، فإنهم فريق يلعبون بدينهم يذمون العلماء سلفا وخلفا
Maka wajib menanggalkan / menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
akhir kutipan
Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari masih dalam risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengingatkan bahwa firqah Wahabi yakni orang-orang yang mengikuti ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206H) yang meneruskan KEBID’AHAN Ibnu Taimiyah (W 728H) adalah,
يقولون على الله الكذب وهم يعلمون
Mereka MENYEBARLUASKAN KEBOHONGAN mengenai Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut.
Contohnya mereka menimbulkan FITNAH yakni mereka menyebarluaskan KEBOHONGAN mengenai Allah seperti,
LISAN mereka mengatakan menyembah atau beribadah kepada Allah Ta’ala TETAPI pada kenyataannya KHAYALI mereka menyembah atau beribadah kepada SESUATU yang memiliki WAJAH tanpa KEPALA, dua mata, dua telinga, pinggang, betis, jari, dua tangan yang kedua-duanya kanan, dua kaki yang ditempatkan di kursi dan terkadang kakinya sebagai JARIHAH untuk membenamkan penghuni neraka dan SEMUA itu akan BINASA kecuali wajahnya
Pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi Al Hanbali ketika menyampaikan tentang firqah MUJASSIMAH bahwa mereka tidak mendapatkan nash / dalil shorih bahwa Allah memiliki kepala.
awal kutipan *
Sementara tentang kepala mereka berkata, “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”
akhir kutipan
Begitupula apabila mereka berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabihat yakni ayat dengan banyak makna terkait sifat Allah HARUS dimaknai dengan MAKNA DZAHIR dan TIDAK BOLEH dimaknai dengan MAKNA MAJAZ maka apakah menurut mereka wajah Allah BERADA di Timur dan Barat karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS Al Baqarah [2] : 115)
Allah Ta’ala dan Rasulullah tidak pernah melarang takwil dengan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat (nahwu, sharaf, balaghah) seperti TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3)
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (SELALU dengan MAKNA DZAHIR) untuk menimbulkan FITNAH dengan MENCARI-CARI TAKWILNYA, padahal tidak ada yang mengetahui TAKWILNYA melainkan Allah.” (QS. Ali Imran [3] : 7)
Jadi Allah Ta’ala BUKAN MELARANG TAKWIL namun MELARANG “MENCARI-CARI TAKWIL” atau “mengada-ngada takwil” yakni MENTAKWIL atau MEMAKNAI TANPA ILMU seperti firqah MUJASSIMAH yakni orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka menimbulkan FITNAH.
Dalam kitab tafsir Jalalain, Imam Suyuthi ketika menafsirkan (QS. Ali Imran [3] : 7) menjelaskan bahwa FITNAH berasal dari
لجهالهم بوقوعهم في الشبهات واللبس
kalangan orang-orang jahil (TANPA ILMU) yang justru menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang syubhat dan kabur pengertiannya.
Pada kenyataannya orang-orang yang hidup zaman NOW (sekarang) atau Khalaf (kemudian) NAMUN mereka mengaku-ngaku mengikuti Salaf dan menisbatkan sebagai Salafi dan mengaku pula sebagai kalangan modernis atau gerakan pembaruan adalah,
Mereka yang TERKECOH atau TERKELABUI oleh ulama panutan atau rujukan bagi firqah Wahabi yakni Ibnu Taimiyah (W 728H) yang terjerumus DURHAKA (‘Aashin) kepada Allah Ta’ala karena pengingkaran MAKNA MAJAZ dalam firman Allah Ta’ala (Al Qur’an) yang DILABELI sebagai MAZHAB atau MANHAJ Salaf.
Padahal dalam percakapan antar manusia saja dikenal MAKNA DZAHIR (makna tersurat) dan MAKNA MAJAZ (makna tersirat)
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Al Iman hal. 94 mengatakan,
awal kutipan
فهذا بتقدير أن يكون في اللغة مجاز ، فلا مجاز في القرآن ، بل وتقسيم اللغة إلى حقيقة ومجاز تقسیم مبتدع محدث لم ينطق به السلف
“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk majaz dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk majaz.
Bahkan pembagian bahasa kepada hakikat (makna dzahir) dan majaz adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.
akhir kutipan
Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) murid dari Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
Begitupula pengertian ahlussunnah versi mereka adalah ahli membaca sunnah yakni ahli membaca hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikiran mereka sendiri
Mereka membeli atau memiliki kitab-kitab hadits dan mereka membaca hadits-hadits, di mana dalam hadits tercantum sanad hadits yakni nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan lalu dikatakan oleh mereka bahwa mereka mengikuti PEMAHAMAN Salafus Sholeh dan DILABELI sebagai MAZHAB atau MANHAJ SALAF
Apa yang disampaikan dari hadits-hadits yang dibaca oleh mereka adalah PEMAHAMAN MEREKA sendiri BUKAN PEMAHAMAN Salafus Sholeh.
Sumbernya memang hadits-hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri yakni PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI.
Berikut kutipan contoh pendapat atau pemahaman ulama panutan atau rujukan bagi firqah Wahabi yakni Ibnu Taimiyah (W 728H) ketika “MEMBACA” sabda Rasulullah atau hadits Nuzul sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyah)
awal kutipan
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang MUHKAM (jelas dan dimaknai dengan makna dzahir) demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga MUHKAM.
akhir kutipan
Perkataan atau keyakinannya bahwa,
“Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG”
ADALAH sebuah contoh KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah dalam PERKARA I’TIQOD (akidah) karena tidak pernah difirmankan oleh Allah Ta’ala dan tidak pernah pula disabdakan oleh Rasulullah maupun diriwayatkan oleh Salafus Sholeh.
Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah.
Begitupula dengan perkataan atau keyakinannya bahwa,
“Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG”
MEMBUKTIKAN KHAYALI Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat menyembah atau beribadah kepada Al Mahdud yakni SESUATU yang BERBATAS dan BERADA di atas Arsy.
Jadi LISAN mereka mengatakan menyembah atau beribadah kepada Allah Ta’ala TETAPI pada kenyataannya KHAYALI mereka menyembah atau beribadah kepada Al Mahdud yakni SESUATU yang BERBATAS dan BERADA di atas arsy
Rasulullah telah mengabarkan atau memberitakan secara sharih atau jelas dan terang (lafadz yang tidak memerlukan penjelasan lagi) bahwa sesuatu yang BERBATAS dan BERADA di atas Arsy contohnya adalah kitab Lauh Mahfudz.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda
لَمَّا قَضَى اللَّهُ الخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي
“Ketika Allah menentukan nasib manusia, Ia menulis di kitab-Nya yang BERADA di sisi-Nya DI ATAS Arsy. Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.” (Musnad Ahmad 8346 atau HR Bukhari 6999 atau Fathul Bari 7554)
Haditsnya dapat dibaca pada https://hadits.in/ahmad/8346
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkomentar
وَالْغَرَضُ مِنْهُ الْإِشَارَةُ إِلَى أَنَّ اللَّوْحَ الْمَحْفُوظَ فَوْقَ الْعَرْشِ
Hadits itu adalah mengisyaratkan bahwa Lauh mahfuzh BERADA di atas (fawqo) Arsy.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari, juz XIII, halaman 526)
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan lebih lanjut, “Tak masalah memahami hadits tersebut secara dzahir (bahwa Lauh mahfuzh benar berada di atas Arasy) sebab sesungguhnya Arasy adalah salah satu makhluk dari makhluk-makhluk Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan “di sisi-Nya” adalah di sisi ilmu Allah. Jadi penyebutan sisi di sini bukanlah dalam makna tempat tetapi itu adalah isyarat bagi kesempurnaan Lauh mahfuzh yang tersembunyi dari makhluk dan tinggi terangkat dari batas pengetahuan mereka.”
Begitupula Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat mengatakan bahwa,
- Tuhan BERADA atau BERTEMPAT di atas Arsy, maka keduanya ini memiliki BENTUK dan BATASAN (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 29)
- Nabi Muhammad didudukan oleh Allah di atas ‘arsy bersama-Nya!” (Majmu Fatawa juz 4, hal.374)
Kedua perkataan atau pendapat Ibnu Taimiyah tersebut dikutip dari tulisan mereka yang sempat diarsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf
Contoh kajian PERBEDAAN antara Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal dengan Mazhab Salafi Kontemporer (Salafi masa kini) tentang pengertian Rasulullah kelak didudukan di atas Arsy adalah terkait syafa’at Rasulullah bukan syubhat tempat dan arah bagi Allah Ta’ala dapat disaksikan dalam video pada https://bit.ly/3mVBCBa
Jadi Ibnu Taimiyah TERBUKTI mengikuti firqah MUJASSIMAH yakni Ibnu Taimiyah MENGGANTI kemuliaan dan keagungan sifat ISTAWA Allah dengan sifat makhluk atau benda yakni sifat BERBATAS dengan Arsy.
Firqah MUSYABBIHAH adalah orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya
Sedangkan firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang men-JISM-kan Allah karena mereka berakidah TAJSIM sehingga mereka mengganti sifat-sifat Allah dengan sifat JISM atau sifat makhluk (benda).
Mereka mensifati Allah atau memaknai sifat Allah secara hissi (indrawi atau fisikal) sehingga mereka mengitsbatkan (menetapkan) arah, tempat, ukuran, BATASAN seperti BERBATAS dengan Arsy dan sifat-sifat fisikal lainnya maupun anggota-anggota badan.
Imam Abu Hanifah (W 150H) dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah).
Begitupula Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
“Maha suci Allah dari batas-batas, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru, tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi menyampaikan NUBUAT dari Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan bahwa KELAK,
قوم من هذه الأمة عند إقتراب الساعة كفارا يُنكرون خالقهم فيصفونه بالجسم والأعضاء
“Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya KUFUR dalam I’TIQOD) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat JISIM (sifat benda atau makhluk yakni sifat fisikal seperti arah, ukuran, jarak, batasan maupun tempat) dan anggota-anggota badan.”
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali dalam Misykat Al Anwar menjelaskan tentang firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang belum dapat memandang Allah Ta’ala dengan hatinya (ain bashirah) AKIBAT mereka TERHIJAB oleh cahaya yang bercampur dengan KEGELAPAN KHAYALI.
awal kutipan
Sebab, kata mereka sesuatu yang TIDAK DINISBAHKAN ke SUATU ARAH dan tidak dapat dilukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “TIDAK ADA” karena tidak dapat DIKHAYALKAN.
akhir kutipan
Contohnya ulama mereka, Ibnu Utsaimin berkata
إذا نفيت هذه الجهات عن الله تعالی لزم أن يكون معدوما
Apabila engkau MENIADAKAN ARAH-ARAH ini dari Allah Ta’ala. Maka mengharuskan ALLAH itu TIDAK ADA. (Majmu’ Fatawa, Jilid 1, Hal.131) sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2022/05/01/jika-meniadakan-arah/
NAMUN seperti biasanya mereka gemar tanaqudh yakni mereka sering berubah-ubah pendapat karena di sisi yang lain, Ibnu Utsaimin adalah contoh ulama mereka yang menolak MAKNA DZAHIR dari ISTIWA Allah atas Arsy
Ulama mereka, Ibnu Utsaimin berkata,
الاستواء على الشيء في اللغة العربية يأتي بمعنى الاستقرار والجلوس
Istiwa di atas sesuatu dalam bahasa Arab bermakna ISTIQRAR (menetap) dan JULUS (duduk).
Ulama mereka, Ibnu Utsaimin bertanya
لكن هل يصح أن نثبته في استواء الله على العرش ؟
Tetapi apakah boleh kita menetapkan makna tersebut pada istiwa Allah atas Arsy?
Ulama mereka, Ibnu Utsaimin memilih MENTAKWIL atau memaknai ISTIWA dengan MAHA TINGGI.
ولكن نقول : معنى الاستواء : العلو ، هذا أمر لاشك فيه
Tapi kita katakan makna ISTIWA adalah MAHA TINGGI. Inilah yang tidak diragukan.
Sumber : Liqa’ bab al Maftuh pertanyaan nomor 450 dan tangkapan layar (screenshot) dapat dilihat pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2022/03/utsaimin-liqa-bab-al-maftuh-pertanyaan-no-450.jpg
Ulama mereka, Ibnu Utsaimin mentakwil atau memalingkan dari makna dzahir ISTIWA menjadi MAHA TINGGI sesuai dengan firman Allah Ta’ala bahwa Allah Maha Tinggi dalam makna ketinggian derajat-Nya atau kekuasaan-Nya yang menunjukkan keagungan Raja dari segala raja.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, (Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat) (QS. Al Mukmin [40] : 15)
Al-Mufassir Al Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa pengertian Maha Tinggi bagi Allah Ta’ala adalah
يراد به علو القدر والمنزلة لا علو المكان
Yang dimaksud adalah ketinggian derajat (keagungan) dan kedudukanNya bukan ketinggian tempat.
Begitupula dalam majalah al-Azhar yang diterbitkan oleh para ulama al-Azhar pada edisi Muharram tahun 1357 H dalam pembahasan tafsir surat al-A’la, menuliskan sebagai berikut:
“al-A’la adalah salah satu sifat Allah. Yang dimaksud dengan al-‘uluww dalam hal ini adalah dalam pengertian keagungan, menguasai, dan ketinggian derajat, bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”
Jadi UNGKAPAN seperti, serahkan kepada “Yang di langit” atau “Yang di atas” SEBAIKNYA JANGANLAH dimaknai dengan MAKNA DZAHIR atau secara HISSI (inderawi / fisikal) dalam pengertian ARAH, BATASAN, JARAK ataupun TEMPAT,
NAMUN dimaknai dengan MAKNA MAJAZ dalam pengertian,
علوّ المرتبة
Uluww al-Martabah artinya
derajat yang tinggi untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
Begitupula Imam Ath Thabari dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala surat Al Baqarah [2] ayat 29 mengingatkan bahwa,
علا عليها علو ملك وسلطان
Pengertian Maha Tinggi adalah Maha Tinggi kekuasaan dan keagungan Raja (dari segala raja)
لا علو انتقال وزوال
bukan tinggi berpindah (intiqal) dan berubah/menghilang (zawalun – dari suatu keadaan ke keadaan yang lain). (Tafsir Ath Thobari Jami’ul Bayan 1/430) sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2022/03/05/bukan-intiqal-berpindah/
TIDAK ADA satupun mufassir (ahli tafsir) yang menterjemahkan firman Allah Ta’ala, “arrahmanu ‘alal’ arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5) artinya Allah Ta’ala BERBATAS dan BERADA di atas Arsy.
Contohnya Syaikh Abdul Qadir Al Jilani dalam Al Ghunyah Juz 1 hal 121 – 125 menjelaskan bahwa Istawa Allah atas arsy bukanlah dalam pengertian tempat maupun arah karena Allah bukanlah JISM dan tidak juga berupa sesuatu yang mempunyai BATASAN (mahdud) dan dapat dibaca pada https://al-maktaba.org/book/33369/113#p3
awal kutipan
ليس بجسم فيمس، ولا بجوهر فيحس، ولا عرض فيقضى، ولا ذي تركيب أو آلة وتأليف، أو ماهية وتحديد
“Allah BUKANLAH JISM sehingga tidak bisa disentuh, bukan pula JAUHAR sehingga tidak bisa diindera, bukan ‘ARADH sehingga bisa ditentukan, tidak juga berupa sesuatu yang mempunyai susunan, alat (organ), rangkaian, MATERI atau juga BATASAN”.
akhir kutipan
Begitupula Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyin” jilid I hal 281 dengan JELAS dan TEGAS menuliskan apa yang telah disepakati oleh para ahlus sunnah,
أنهم يقولون: إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية
Mereka (ahlus sunnah) berkata, “Sesungguhnya Allah BUKAN JISM, tidak mempunyai BATASAN (MAHDUD) dan TIDAK BERJARAK (NIHAYAH) “
Al Imam al Hafidzh al Baihaqi (W 458 H) dalam al-Asmâ’ wa as-Shifât, juz 2, halaman 308 menegaskan bahwa Allah Ta’ala TIDAK MENYENTUH dan TIDAK BERJARAK atau TIDAK TERPISAH (LA MUBAYANAH) dari Arsy.
وَالْقَدِيمُ سُبْحَانَهُ عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ لَا قَاعِدٌ وَلَا قَائِمٌ وَلَا مُمَاسٌّ وَلَا مُبَايَنٌ عَنِ الْعَرْشِ
“Allah Yang Maha Qadim, Tinggi di atas Arsy, TIDAK DUDUK dan TIDAK BERDIRI, TIDAK MENYENTUH dan TIDAK BERJARAK atau TIDAK TERPISAH (LA MUBAYANAH) dari Arsy.
Syekh Ibnu Khaldun (808 H) menjelaskan bahwa pengertian MUBAYANAH yang telah disepakati oleh jumhur ulama Salaf maupun Khalaf
وأمّا المعنى الآخر للمباينة، فهو المغايرة والمخالفة
Adapun makna keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah perbedaan dan ketidaksamaan
فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويّته ووجوده وصفاته
Maka dikatakan bahwa Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya.
Jadi pengertian KETERPISAHAN (MUBAYANAH) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk yang telah disepakati oleh jumhur ulama ADALAH,
Allah ba’in ‘an al-khalq yakni Allah Ta’ala TERPISAH dalam pengertian atau makna BERBEDA atau TIDAK SERUPA dari makhluk-makhluk-Nya dari sisi apapun sebagaimana firman Allah Ta’ala “Laisa Kamitslihi Syaiun” (QS. Asy Syura [42] : 11).
Contohnya kalau manusia DEKAT BERSENTUH dan JAUH BERJARAK.
Sedangkan Allah Ta’ala DEKAT TIDAK BERSENTUH dan JAUH TIDAK BERJARAK.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat (QS Al Baqarah [2] : 186)
Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata
من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود
”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mempunyai BATASAN (mahdud) maka dia telah JAHIL yakni TIDAK MENGENAL Sang Pencipta (Al Khaliq) yang berhak disembah” (Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73)
Oleh karenanya perkara aqidah sebaiknya didahulukan karena TIDAK SAH ibadah jika belum mengenal Allah (makrifatullah)
Hujjatul Islam Imam Al Ghazali berkata:
لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang berhak disembah”.
Oleh karenanya SEJAK DINI sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama bersumber dari Al Qur’an dan Hadits yang dapat DIGUNAKAN sebagai SARANA untuk MENGENAL Allah dan sebagai PEDOMAN dan BATASAN untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/12/20-sifat-beserta-dalilnya/
Mereka yang merasa atau mengaku-ngaku mengikuti pendapat ulama Salaf yakni ulama yang hidup sebelum 300 hijriah
NAMUN pada kenyataannya mereka mengikuti ulama Salaf tokoh mujassimah seperti Muhammad Ibnu Karram (W 255 H) pelopor firqah KARRAMIYAH yang terpecah DUA KELOMPOK yakni,
KELOMPOK PERTAMA berkeyakinan Tuhan BERTEMPAT di atas Arsy dan
KELOMPOK KEDUA berkeyakinan Tuhan BERARAH yakni di arah atas arsy
Imam Asy Syahrastani (W 578 H) Rahimahullah mengatakan :
نص أبو عبد الله على أن معبوده على العرش استقرارا، وعلى أنه بجهة فوق ذاتا وقال بعضهم: امتلأ العرش به، وصار المتأخرون منهم إلى أنه تعالى بجهة فوق، وأنه محاذ للعرش وقال محمد بن الهيصم: إن بينه وبين العرش بعدا لا يتناهى، وإنه مباين للعالم بينونة أزلية
Abu Abdillah (Ibnu Karram) menjelaskan bahwa yang dia sembah menetap di atas ‘Arsy dan bahwasanya Dzatnya ada di arah atas dan sebagian Karramiyah berkata, “Arsy penuh dengan Dzat ALLAH.” namun orang-orang belakangan dari mereka berpendapat bahwa ALLAH Ta’ala di arah atas, Dia lurus dengan ‘Arsy dan Muhammad Bin Al-Haisham (imam kedua Karramiyah) berkata bahwa sesungguhnya antara ALLAH dan antara ‘Arsy ada jarak yang tak terhingga dan sesungguhnya ALLAH terpisah dari alam dengan jarak yang Azali. (Al-Milal Wa An-Nihal : 1/109)
Berikut contoh kutipan tulisan mereka,
awal kutipan
Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.
akhir kutipan *
Mereka berkeyakinan Tuhan berada di arah atas dan di atas Arsy ada yang namanya “BUKAN TEMPAT” dan yang lainnya menamakannya dengan istilah yang TIDAK PERNAH difirmankan oleh Allah Ta’ala dan disabdakan oleh Rasulullah ataupun dikatakan oleh ulama Salaf yakni MAKAN ‘ADAMI dan kalau diartikan adalah “TEMPAT KETIADAAN”
Begitupula mereka mengikuti ulama Salaf tokoh MUJASSIMAH lainnya seperti Ad Darimi (W 280H) yang berkata bahwa uluw Allah adalah Allah berada di atas. Artinya, yang naik ke atas LEBIH DEKAT JARAKNYA kepada Allah. Yang berada di langit lebih dekat kepada Allah daripada yang di bumi. Yang berada di langit ketujuh lebih dekat kepada Allah daripada yang berada di langit bawahnya (Syarah kitab at Tauhid min Shahih al Bukhari juz 2 hal 461)
Mereka mengatakan,
awal kutipan
Apa yang dikatakan oleh Ad Darimi memang begitulah faktanya bahwa memang yang di atas langit LEBIH DEKAT kepada Allah secara hisssi (materi / fisikal) dari pada yang di bumi. Adapun kedekatan kala sujud maka itu adalah kedekatan maknawi”
akhir kutipan *
Ad Darimi yang dimaksud BUKANLAH Ad Darimi ulama besar ahli hadits terkemuka yang telah menulis kitab Sunan ad Darimi yakni Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi (w 255H) NAMUN Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (w 280 H) sebagaimana contoh info dari https://kajianmedina.blogspot.com/2020/02/akidah-utsman-bin-said-ad-darimi.html
Sedangkan kitab aqidah Utsman Ad Darimi adalah salah satu diantara yang paling direkomendasikan untuk diikuti oleh Ibn Taimiyah (W 728H) dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah (w 751 H).
Contohnya Utsman bin Sa’id Ad-Darimi mengatakan “Dan jika Allah benar-benar berkehendak bertempat di atas sayap seekor nyamuk maka dengan sifat kuasa-Nya dan keagungan sifat ketuhanan-Nya Dia mampu untuk melakukan itu, dengan demikian maka terlebih lagi untuk menetap di atas arsy” . (Kitab An-Naqdl, h. 85) sebagaimana yang dikutip pada http://hafizhandasah.blogspot.com/2010/06/siapakah-ad-darimi-al-mujassim.html
Sedangkan Ibnu Taimiyah (W 728H) yang menjadi rujukan bagi paham Wahabi (Wahabisme) yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H) dalam kitabnya, Naqdzu Ta’sisi Al-Jahmiyah. Juz 1 Hal. 568 menyepakati perkatan Utsman bin Sa’id Ad Darimi,
قَدْ شَاءَ لا سْتَقَرَّ عَلَى ظَهْرِ بَعُوْضَةٍ فَاسْتقَلَّتْ بِهِ بِقُدْرَتِهِ وَلَطْفِ رُبُوْبِيَّتِهِ
Kalau seandainya Allah berkehendak maka Dia akan menempat di atas punggung nyamuk, dan nyamuk itu akan kuat mengangkatnya dengan kekuasaan-Nya dan pengaturan-Nya yang menjadikan nyamuk seperti itu, apalagi Arsy yang begitu Besar
Oleh karenanya para ulama terdahulu telah melarang menjuluki ulama panutan atau rujukan bagi firqah Wahabi yakni Ibnu Taimiyah (W 728H) sebagai Syaikhul Islam BAGI yang telah mengetahui perkataan atau pendapat kufurnya.
Para ulama terdahulu mengkafirkan Ibnu Taimiyyah (W 728H) sebelum bertaubat dalam pengertian DITETAPKAN KUFUR dalam perkara I’TIQOD bukan dalam pengertian membatalkan keislamannya.
Contohnya Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H) mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’.
Begitupula buya Arrazy menyampaikan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki mengatakan bahwa TIDAK ADA BEDANYA antara orang yang meyakini dengan mengkhayalkan bahwa dia menyembah jism dengan orang yang menyembah berhala.
Perbedaannya berhala dibuatkan, sedangkan berhala mereka dikhayalkan.
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki mengatakan TIDAK DIRAGUKAN lagi di antara ahli ilmu bahwa orang-orang yang MUJASSIM yakni mereka yang men-JISM-kan Allah itu JAHIL (walaupun mereka hafal Al Qur’an secara dzahir) dan KAFIR dalam pengertian KUFUR dalam perkara I’TIQOD sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada https://youtu.be/Ws84m7xgZCA
Jadi perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Ibnu Taimiyyah karena begitu besarnya kerusakan dalam perkara i’tiqod akibat orang awam terkecoh atau terkelabui dengan label mazhab atau manhaj Salaf.
Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyah (W 728 H) MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyah
awal kutipan
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau (Ibnu Taimiyah) adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
* akhir kutipan ****
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 menyampaikan pokok-pokok PERMASALAHAN Ibnu Taimiyah,
awal kutipan
فمنهم من نسبه إلى التجسيم لما ذكر في العقيدة الحموية والواسطية وغيرهما من ذلك كقوله:
Ada sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyah terhadap tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya:
إن اليد والقدم والساق والوجه صفات حقيقية لله،
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah,
وأنه مستو على العرش بذاته
dan sesungguhnya Allah bersitiwa di atas Arsy DENGAN Dzat-Nya.
فقيل له: يلزم من ذلك التحيز والانقسام.
Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan Allah memiliki BATASAN dan BAGIAN,
فقال: أنا لا أسلم أن التحيز والانقسام من خواص الأجسام
MAKA ia menjawab, “ Aku tidak setuju BATASAN dan BAGIAN termasuk kekhushusan JISM (sifat benda / fisikal)
فالذم بأنه يقول بتحيز في ذات الله
Maka yang dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyah mengatakan BATASAN bagi Dzat Allah.
akhir kutipan
Begitupula Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitabnya berjudul Hasyiyah Al ‘Allamah Ibn Hajar Al Haitami ‘Ala Syarh Al Idhah fi Manasik Al Hajj mengatakan,
awal kutipan
Penghinaan Ibnu Taimiyyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh (pengingkarannya terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah) oleh karena terhadap Allah saja dia melakukan penghinaan dengan menetapkan arah, tangan, kaki, mata dan lain sebagainya dari keburuk-keburukan yang sangat keji. Ibnu Taimiyyah ini telah dikafirkan (ditetapkan kufur dalam perkara i’tiqod) oleh banyak ulama – semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya yaitu mereka yang (masih) membela segala yang dipalsukan oleh Ibnu Taimiyyah atas syari’at yang suci ini.
* akhir kutipan ****
Perbedaan pendapat atau furu’iyyah hanya dalam perkara fiqih bukan dalam perkara aqidah atau i’tiqod.
TIDAK ADA perbedaan pendapat dalam perkara akidah atau i’tiqod di antara mazhab fiqih yang empat karena KEKELIRUAN dalam perkara i’tiqod maka pasti akan terjerumus KEKUFURAN dalam PERKARA I’TIQOD.
Salah satu buktinya, akidah atau i’tiqod dari dua mazhab fiqih yang berbeda yakni akidah Imam Asy’ari (W 324 H atau 330 H) yang bermazhab Imam Syafi’i dan akidah Imam Maturidi (W 333 H) yang bermazhab Imam Hanafi telah disepakati sebagai dasar atau pedoman bagi akidah atau i’tiqod umat Islam pada umumnya.
Begitupula bukti lain bahwa dalam perkara aqidah atau i’tiqod bukanlah perkara furu’iyyah karena Ibnu Taimiyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dan kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyah adalah sesat dan menyesatkan.
Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakan Ibnu Taimiyah di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab, yaitu :
- Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
- Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi B4k4r rhm.
- Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
- Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Imam Taqiyuddin As-Subki dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
Selain qodhi empat mazhab, masih banyak ulama lainnya yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/02/07/ulama-bantah-ibnu-taimiyyah
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar