Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘keagungan’

Contoh mereka mengatakan ukuran tangan dan kaki membuktikan Tuhan berukuran sangat besar

Ibnu Taimiyyah (W 728 H) dikabarkan bertaubat persis sebelum Beliau wafat di penjara namun para PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah belum juga bertaubat kepada Allah Ta’ala hingga saat ini.

Contoh kabar pertaubatan Ibnu Taimiyyah pada https://www.dutaislam.com/2016/07/ini-proses-persidangan-taubatnya-ibnu-taimiyah-yang-berbelit-belit.html

Ibnu Taimiyyah dengan taubatnya SUDAH TERLEPAS dari tanggung jawabnya atas dosa KEBID’AHANNYA.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, siapa yang melakukan suatu SUNNAH SAYYIAH (BID’AH SAYYIAH) yakni CONTOH yang BURUK atau SURI TAULADAN yang BURUK dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan (mengikuti) SUNNAH (BID’AH) tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)

Arti kata SUNNAH dalam sabda Rasulullah tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH tentu BUKANLAH Sunnah Rasulullah karena tidak ada Sunnah Rasulullah yang SAYYIAH (BURUK) sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/01/28/sunnah-artinya-bidah/

Jadi siapapun mengikuti seorang PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah maka PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah tersebut akan mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan (mengikuti) SUNNAH atau KEBID’AHAN tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.

Contohnya Ibnu Taimiyyah (W 728 H) sebelum bertaubat mengatakan

– Tuhan BERTEMPAT di atas Arsy namun dia selalu bersama dan mengawasi kita di manapun berada seperti bulan bersama musafir di mana saja dia berada (Syarah Aqidah Al-Wasithiyyah)

– Tuhan BERTEMPAT di atas Arsy, maka keduanya ini memiliki BENTUK dan BATASAN (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 29)

– Tuhan BERTEMPAT di langit dan Dia DILIPUTI dan DIBATASI oleh langit (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 30)

– Nabi Muhammad DIDUDUKAN oleh Allah di atas Arsy bersama-Nya (Majmu Fatawa j.4, h.374)

Bahkan ada pula mereka mengatakan bahwa Tuhan yang BERTEMPAT di atas Arsy berambut keriting dan memiliki pantat jika bergeser terdengarlah darinya suara ‘Kret Kret’ seperti suara yang biasa keluar dari kursi yang masih baru

Hal ini terungkap dalam tulisan mereka yang sempat diarsip pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/bentuk-tuhan-mereka.pdf

Lebih MUJASSIMAH lagi salah seorang PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa Tuhan sebelum menciptakan segala sesuatu BERADA atau BERTEMPAT di atas Arsy itu BERUKURAN SANGAT BESAR dibuktikan dengan ukuran tangannya yang MENJULUR dari atas Arsy ke bawah dapat MENGGULUNG langit dan bumi sebagaimana yang terungkap pada tangkapan layar (screenshot) di atas.

Sedangkan ustadz mereka mengatakan bahwa Tuhan berukuran SANGAT BESAR dibuktikan dengan UKURAN KAKINYA yang MENJUNTAI ke bawah Arsy yakni ke kursi sudah MENUTUPI langit dan bumi sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada https://youtu.be/ysCisMiaHxs

Selain ustadz mereka beraqidah, beri’tiqod atau berkeyakinan Tuhan mereka berkaki dua ditempatkan di kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahannam sebagaimana video pada https://www.youtube.com/watch?v=Xr3mZmNORhQ

Beliau tampaknya terpengaruh oleh paham WAHABISME yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) yang dijuluki “duplikat” Ibnu Taimiyyah (W 728H) yang dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana informasi salah satu embassy (kedutaan) mereka pada http://saudiembassy.net/islam

“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.

Contohnya dapat kita temukan dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia, pada CATATAN KAKI (footnote) ketika menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255.

***** awal kutipan ****
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak telapak Kaki-Nya.”
***** akhir kutipan ****

Tangkapan layarnya dapat dilihat pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/02/17/tempat-telapak-kaki/

Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki di tempatkan di kursi seperti

Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”

Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut,

***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah

Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang

Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.
***** akhir kutipan *****

Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.

Contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki yang terkadang dibenamkan di neraka jahannam.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam) berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)

Al-Imam al-Hafizh Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ قدم ” (makna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam neraka Jahanam”.

Jika perkataan mereka disandarkan kepada ulama Salaf, lalu siapakah ulama Salaf yang hidup sebelum 300 atau 400 Hijriah yang mengatakan bahwa sifat Al Kabir dimaknai ukuran-Nya sangat besar.

Imam al-Ghazali dalam al-Maqshad al-Asna tentang makna sifat al-Kabir mengatakan,

الْكَبِير هُوَ ذُو الْكِبْرِيَاء والكبرياء عبارَة عَن كَمَال الذَّات

“Al-Kabîr (Mahabesar) maksudnya adalah yang mempunyai keagungan (kibriya’). Keagungan sendiri adalah ungkapan bagi kesempurnaan dzat.

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember menjelaskan tentang kesempurnaan dzat sebagai berikut

****** awal kutipan ******
a. Al-Kabîr dalam arti sudah lama ada. Dalam konteks manusia, mereka disebut kabîr ketika wujudnya sudah ada lama atau dengan kata lain sudah tua. Dalam makna inilah istilah “syaikhun kabîr” dalam al-Qur’an 28:23, maksudnya adalah orang yang sudah tua. Adapun ketika membahas Allah, maka makna ini berarti setara dengan sifat al-Qadîm atau al-Awwal, yakni keberadaan-Nya jauh sekali sudah ada sebelum semua keberadaan yang lain sebab keberadaan Allah memang tidak punya awal mula. Dalam makna ini, Allah jelas adalah Akbar (paling kabîr) dari semua hal di jagat ini, dalam artian paling lama keberadaannya.

b. Al-Kabîr dalam arti hebat. Istilah ini dipakai dalam peristilahan berbagai bahasa di dunia. Istilah “orang besar” dalam bahasa indonesia maksudnya adalah orang hebat. Demikian juga dengan istilah “big boss” dalam bahasa Inggris. Makna ini juga yang dimaksud oleh QS. Yusuf:80, yang mana kata “kabîruhum” di sana bukan berarti paling besar fisiknya atau yang paling tua umurnya, tetapi paling hebat ilmu dan akalnya. Besar di dalam makna ini sama sekali tak ada kaitannya dengan ukuran fisik. Dalam makna ini, sudah jelas bahwa Allah adalah yang Akbar (paling Kabîr) dari semua hal yang ada, dalam artian paling hebat dan paling berkuasa.
****** akhir kutipan *******

Tulisan beliau selengkapnya pada https://islam.nu.or.id/post/read/94874/makna-kemahabesaran-allah-menurut-ahlussunnah-wal-jamaah

Jadi mereka memaknai kebesaran atau keagungan Tuhan dengan perspektif material sehingga tuhan mereka mempunyai batasan ukuran dari ujung ke ujung.

Ibnu Mandhur, seorang pakar bahasa terkemuka dalam kitab Lisân al-‘Arab mengartikan batasan fisik (hadd) sebagai berikut:

وَمُنْتَهَى كُلِّ شَيْءٍ: حَدُّه

“Ujung segala sesuatu adalah hadd (batasannya) “. (Ibnu Mandhur, Lisân al-‘Arab, juz III, 140)

Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari dalam kitab Al Ibanah menegaskan bahwa istawa Allah di atas Arsy

بلا كيف ولا استقرار

Tanpa kaifa (sifat makhluk/benda) dan bukan dalam pengertian istiqrar (bertempat/menetap tinggi).

Jadi BUKAN Allah (berada) di atas Arsy atau ISTAQARRA (bertempat/menetap tinggi) di atas Arsy.

NAMUN Allah di atas Arsy BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA yakni tanpa sifat-sifat makhluk/benda seperti arah (jihah), jarak, ruang, waktu, berbatas (al hadd) dengan arsy sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/01/02/bila-kaifa/

Hal serupa disampaikan oleh ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 4 hijriah, Imam al Baihaqi (W 458 H) mengingatkan bahwa

من فوق السماء علی معنی نفي الحد عنه

Dzat di atas langit berdasarkan makna MENAFIKAN BATAS (al hadd) darinya.

Para ulama Allah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala itu “dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat (QS Al Baqarah [2] : 186)

Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyin” jilid I hal 281 dengan JELAS dan TEGAS menuliskan apa yang telah disepakati oleh para ahlus sunnah,

أنهم يقولون: إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية

Mereka (ahlus sunnah) berkata, “Sesungguhnya Allah bukan jism, tidak berhadd (TIDAK TERBATAS) dan TIDAK BERJARAK”

Begitupula Imam Abul Wahid At Tamimi (W 410 H, ulama yang paling dekat zamannya dengan Imam Ahmad) membawakan riwayat Imam Ahmad di dalam kitab Beliau “I’tiqad Imam Al Munabbal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal hal 38;

والله تعالى لم يلحقه تغير ولا تبدل ولا يلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش

“Dan Allah Ta’ala tidak mengalami perubahan dan TIDAK TERBATAS oleh hadd, baik sebelum Allah menciptakan Arsy, maupun setelah Allah menciptakan Arsy”

Allah Ta’ala sendiri yang berfirman bahwa Allah Maha Tinggi dalam makna ketinggian derajat-Nya

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, (Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat) (QS. Al Mukmin [40] : 15)

Begitupula dalam majalah al-Azhar yang diterbitkan oleh para ulama al-Azhar pada edisi Muharram tahun 1357 H dalam pembahasan tafsir surat al-A’la, menuliskan sebagai berikut:

“al-A’la adalah salah satu sifat Allah. Yang dimaksud dengan al-‘uluww dalam hal ini adalah dalam pengertian keagungan, menguasai, dan ketinggian derajat, bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah maha suci dari arah dan tempat”.

Jadi “Allah di atas Arsy” maupun ungkapan “serahkan sama Yang di atas” BUKAN dalam pengertian ARAH, BATASAN, JARAK ataupun TEMPAT NAMUN maksudnya adalah,

علوّ المرتبة

Uluww al-Martabah artinya
derajat yang tinggi untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.

Jadi pada kenyataannya orang-orang yang mengikuti ajaran atau pemahamam ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah (W 728 H) yakni mereka yang hidup pada zaman NOW (sekarang) atau KHALAF (kemudian) yakni dari kalangan modernis (lawan dari tradisionalis atau salaf) NAMUN mengaku-ngaku mengikuti SALAF (terdahulu) dan menisbatkan sebagai Salafi maupun Atsari serupa dengan firqah Karramiyah yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Karram (W 255 H) beraqidah MUJASSIMAH.

Imam Ibnu Hajar Haitami mengatakan bahwa mereka (al karramiyyah) percaya bahwa Tuhan adalah Dzatnya menetap di atas Arsy, menempel dan beristirahat di atasnya, dan kemudian turun setiap sepertiga malam terakhir ke langit dunia dan kemudian kembali ke tempatnya saat fajar.

Imam Asy Syahrastani (W 578) Rahimahullah mengatakan :

نص أبو عبد الله على أن معبوده على العرش استقرارا، وعلى أنه بجهة فوق ذاتا وقال بعضهم: امتلأ العرش به، وصار المتأخرون منهم إلى أنه تعالى بجهة فوق، وأنه محاذ للعرش وقال محمد بن الهيصم: إن بينه وبين العرش بعدا لا يتناهى، وإنه مباين للعالم بينونة أزلية

Abu Abdillah (Ibnu Karram) menjelaskan bahwa yang dia sembah menetap di atas ‘Arsy dan bahwasanya Dzatnya ada di arah atas dan sebagian Karramiyah berkata, “Arsy penuh dengan Dzat ALLAH.” namun orang-orang belakangan dari mereka berpendapat bahwa ALLAH Ta’ala di arah atas, Dia lurus dengan ‘Arsy dan Muhammad Bin Al-Haisham (imam kedua Karramiyah) berkata bahwa sesungguhnya antara ALLAH dan antara ‘Arsy ada jarak yang tak terhingga dan sesungguhnya ALLAH terpisah dari alam dengan jarak yang Azali. (Al-Milal Wa An-Nihal : 1/109)

Contohnya mereka mengatakan,

***** awal kutipan *****
Apa yang dikatakan oleh Ad Darimi memang begitulah faktanya bahwa memang yang di atas langit LEBIH DEKAT kepada Allah secara hisssi (materi / fisikal) dari pada yang di bumi. Adapun kedekatan kala sujud maka itu adalah kedekatan maknawi”
****** akhir kutipan *****

Ad Darimi yang mereka ikuti pendapatnya adalah Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (w 280 H) BUKANLAH Ad Darimi ulama besar ahli hadits terkemuka yang telah menulis kitab Sunan ad Darimi yakni Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi (w 255H)

Mereka ada juga yang berkeyakinan bahwa Tuhan tidak bertempat NAMUN berada di arah atas karena menurut mereka tempat itu masih alam sedangkan Tuhan itu di luar alam.

Berikut kutipan tulisan mereka,

****** awal kutipan ******
Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.
***** akhir kutipan ******

Jadi mereka berkeyakinan Tuhan berada di arah atas dan di atas Arsy ada yang namanya “bukan tempat”.

Adapula yang lain menamakannya makan ‘adami dan kalau diartikan adalah “tempat ketiadaan”

Ironisnya keyakinan (i’tiqod/akidah) mereka tentang adanya “bukan tempat” atau “tempat ketiadaan” (makan ‘adami) dinisbatkan atau dilabeli sebagai keyakinan ulama salaf

Padahal istilah “bukan tempat” atau makan ‘adami (tempat ketiadaan) tidak pernah dikatakan oleh Salafush Sholeh karena tidak ada dalam Al Qur’an maupun Hadits.

Rasulullah justru melarang menetapkan arah maupun tempat bagi Allah Ta’ala sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2021/01/21/larang-arah-dan-tempat/

Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib telah mengingatkan bahwa “Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya kufur dalam i’tiqod) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda (seperti arah maupun tempat) dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi).

Firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang terjerumus kekufuran dalam perkara i’tiqod karena mereka MEN-JISM-KAN Allah Ta’ala yakni mereka mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat jism (benda/fisikal) seperti mengisbatkan (menetapkan) anggota badan, arah atau tempat, ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya dan sifat fisikal lainnya.

AKIBAT mereka NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah secara hissi (inderawi / materi / fisikal) atau SELALU dengam MAKNA DZAHIR dan MENGINGKARI TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ.

Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah).

Rasulullah bersabda bahwa orang-orang yang BERTASYABBUH dengan kaum Yahudi yakni mereka yang menetapkan jarihah atau anggota badan seperti jari bagi Allah Ta’ala adalah mereka yang TIDAK MENGENAL Allah (makrifatullah) dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar [39]:67).

Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.”

فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ

Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tertawa dan membacakan kutipan ayat:

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ

“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6897 atau 6865)

Pembesar mazhab Hambali, Imam Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa

“Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran Beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Lalu turunnya firman Allah yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”

Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalain ketika menafsirkan (QS Az Zumar[39]:67) menjelaskan bahwa kaum Yahudi,

ما عرفوه حق معرفته

Mereka TIDAK MENGENAL Allah dengan pengenalan sebenarnya,

Imam Suyuthi melanjutkan tafsirnya bahwa kaum Yahudi

****** awal kutipan ******
ما عظموه حق عظمته حين أشركوا به غيره

Mereka tidak mengagungkan-Nya dengan pengagungan yang sesungguhnya sewaktu mereka menyekutukan-Nya dengan selain-Nya

والأرض جميعا
(“padahal bumi seluruhnya”)

حال: أي السبع
lafal ayat ini menjadi Hal dan maksud dari lafal Jamii’an ialah bumi yang berlapis tujuh itu

قبضته
(“dalam genggaman kekuasaan-Nya”)

أي مقبوضة له: أي في ملكه وتصرفه
maksudnya berada di dalam kekuasaan dan tasharuf-Nya

يوم القيامة والسماوات مطويات
(“pada hari kiamat dan langit digulung”)

مجموعات
dilipat menjadi satu

بيمينه
(“dengan tangan kanan-Nya” )

بقدرته
yakni dengan kekuasaan-Nya

سبحانه وتعالى عما يشركون

(“Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan” )

معه
bersama-Nya.
***** akhir kutipan *****

Begitupula orang-orang yang MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN ISTAWA Allah sebagai BERTEMPAT sehingga mereka seolah-olah MEMENJARAKAN Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy adalah mereka yang JAHIL yakni BELUM MENGENAL Allah (makrifatullah) dengan sebenar keagungan-Nya.

Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata

من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود

”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud (TERBATAS) maka ia telah JAHIL yakni TIDAK MENGENAL Tuhan Sang Pencipta.” (Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73)

Padahal jika BELUM MENGENAL Allah dapat berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.

Imam Ghazali berkata:

لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود

“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.

“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”.

Artinya, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).

Oleh karenanya SEJAK DINI sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai SARANA untuk MENGENAL Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.

20 sifat wajib bagi Allah dapat juga dipergunakan sebagai pedoman dan batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah.

Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi asy-Syaf’i (W 465 H) dalam Lata’if al-Isyarat mengingatkan bahwa,

Langit maupun arsy dalam makna dzahir atau secara hissi (materi/fisikal) arah atas (jihah) adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk

Sedangkan langit, arsy dalam makna majaz atau secara maknawi adalah terkait melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi.

Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) TANPA JARAK, TANPA KAIF (sifat benda), TANPA BATASAN (hadd), TANPA ARAH maupun TEMPAT.

قَالَ رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَلْبِهِ

Ibnu Abbas radhiyallhuanhu berkata; Muhammad melihat Rabb-nya ‘Azza wa Jalla dengan hatinya

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”

Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah IHSAN itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (makrifatullah), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)

Jadi jika seseorang bermakrifat yakni dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) atau pengawasan Allah tertanam di hatinya karena BERKEYAKINAN bahwa “Allah Ta’ala itu dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” maka setiap akan bersikap atau berbuat sesuatu ia selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar.

Sikap dan perilaku seperti itulah yang membentuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang IHSAN.

Para ulama Allah mengatakan bahwa salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)

Oleh karenanya orang-orang yang BERAKHLAK BURUK seperti mereka yang terjerumus KESOMBONGAN dan MENOLAK kebenaran BERKAITAN dengan akhlak buruk mereka kepada Allah Ta’ala yakni orang-orang yang ‘Aashin (DURHAKA) atau MENGHINA Allah, seperti orang-orang yang “menjauhkan” Allah Ta’ala dengan menetapkan arah (jihah) atau tempat bagi Allah di atas Arsy AKIBAT mereka belum bermakrifat yakni mereka belum dapat memandang Allah dengan hatinya (ain bashirah)

Orang-orang yang “menjauhkan” Allah Ta’ala adalah orang-orang yang BERTAMBAH ILMUNYA namun SEMAKIN JAUH dari Allah Ta’ala karena mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN.

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“

Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.

Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)

Rasulullah bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)

Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“

Pada hakikatnya dalam memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ungkapkan dalam kitab-Nya dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi tentang diri-Nya yang tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata kepala tentunya tidak dapat dipahami secara hissi (inderawi /materi / fisikal) dengan makna dzahir atau makna inderawi yakni makna yang dapat dicapai dengan panca indera.

Oleh karenanya KEKELIRUAN atau bahkan KESESATAN dapat terjadi akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN SELALU dengan MAKNA DZAHIR.

Pengertian MAKNA DZAHIR adalah makna dari apa yang tertulis atau makna tersurat, makna tekstual, makna inderawi, makna harfiah atau makna leksikal yakni makna dasar yang terdapat pada setiap kata atau kalimat atau makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lain dalam sebuah susunan kata atau kalimat.

Selain MAKNA DZAHIR (makna tertulis/tersurat) ada makna dibalik yang tertulis atau makna yang tersirat seperti makna gramatikal yakni makna turunan atau makna kata yang terbentuk karena penggunaan kata tersebut dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata bahasa, seperti afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan atau susunan kata dalam kalimat dan lain lain.

Contoh tangan makna harfiah atau makna kata secara lepas adalah bagian dari anggota tubuh manusia namun ketika bersusunan seperti buah tangan, tangan kanan, tangan besi, ringan tangan mempunyai makna yang berlainan

Contohnya firman Allah yang ARTINYA, “Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” .(QS. Shad [38] : 75) dijelaskan oleh ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 9 hijriah yakni Al Imam Al Hafizh Suyuthi (W 911 H) dalam kitab tafsir Jalalain MAKNANYA hanyalah sebuah UNGKAPAN untuk MEMULIAKAN KEDUDUKAN Nabi Adam alaihissalam.

Jadi kita harus dapat membedakan ARTI dengan MAKNA

Contohnya dalam bahasa Indonesia UNGKAPAN tangan kanan MAKNANYA digunakan untuk orang yang dipercaya atau kepercayaan seseorang.

Jadi UNGKAPAN “dengan kedua tangan-Ku” adalah UNGKAPAN untuk MEMULIAKAN KEDUDUKAN Nabi Adam di hadapan kesombongan Iblis.

Allah Ta’ala berfirman bahwa sesungguhnya penciptaan Nabi Adam dan semua makhluk diciptakan dengan cara yang sama yakni cukup dengan Qudrah dan kehendak Allah untuk menjadikan sesuatu, maka seketika itulah apa yang dikehendaki terjadi (kun fayakun) sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia”. (QS Ali Imron [3] : 59)

Silahkan baca secara daring (online) pada https://ibnothman.com/quran/surat-ali-imran-dengan-terjemahan-dan-tafsir/6

Begitupula Rasulullah menjelaskan bahwa yang dimaksud “hati itu berada di antara dua jari dari jari-jemari Allah” adalah “Dia membolak-balikkan hati itu sekehendak-Nya”

Rasulullah bersabda,

نَعَمْ، إِنَّ الْقُلُوْبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ للّٰهِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ.

“Benar, sesungguhnya hati-hati itu berada di antara dua jari dari jari-jemari Allah, dimana Dia membolak-balikkan hati itu sekehendak-Nya” hadits riwayat At-Tirmidzi dan lainnya.

Al-Imam Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki (w 1214 H), ulama terkemuka abad 12 Hijriah (semasa hidupnya dengan pendiri paham WAHABISME) dalam kitab karya Beliau yang berjudul “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” cetakan pertama “Darul Fikr” th 1988 jilid 3 halaman 9 yang dipelajari di pondok-pondok pesantren mengajarkan :

… ولا يجوز تقليد ما عدا المذاهب الأربعة ولو وافق قول الصحابة والحديث الصحيح والآية فالخارج عن المذاهب الأربعة ضال مضل وربما أداه ذلك للكفر لأن الأخذ بظواهر الكتاب والسنة من أصول الكفر .

“dan tidak boleh taklid kepada selain empat madzhab meskipun cocok dengan pendapat sahabat, hadits shahih dan ayat, dan yang keluar dari empat madzhab maka dia sesat lagi menyesatkan, bahkan hal itu bisa jadi akan mengantarkan kepada kekufuran, karena mengamalkan SECARA TEKSTUAL Al Qur’an dan Hadits adalah PANGKAL KEKUFURAN.

Pengertian mengamalkan SECARA TEKSTUAL adalah mengamalkan berdasarkan pemahamannya terhadap Al Qur’an dan Hadits dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN SELALU dengan MAKNA DZAHIR)

Asy’ariyah yakni umat Islam pada umumnya tentulah BUKAN MENGINGKARI atau menafikan (menta’thil) sifat Allah NAMUN MENGINGKARI mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR.

Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa janganlah memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan MAKNA DZAHIR karena akan terjerumus KEKUFURAN dalam perkara I’TIQOD.

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”

Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan :

من قال الله جسم لا كالأجسام كـَفَـرَ

BARANGSIAPA yang mengatakan, ALLAH itu berjisim tapi tidak seperti jisim lainya.! MAKA ia telah Kafir (kufur dalam i’tiqod) [Tasyniful Masami’ : juz 4, halaman : 684]

Begitupula para ulama terdahulu telah MELARANG mensifatkan atau menjismkan Dzat Allah Ta’ala seperti mengatakan bahwa Allah memiliki wajah, tangan, kaki WALAUPUN dikatakan semua itu tidak serupa dengan makhluknya karena hal ini sudah termasuk ‘AASHIN yakni DURHAKA atau MENGHINA Allah Ta’ala.

Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” menjelaskan bahwa barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (bentuk seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (bentuk tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.

Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj telah mengingatkan bahwa Ibnu Taimiyyah itu telah MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah Ta’ala KARENA mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat benda seperti arah dan tempat maupun mensifatkan Allah Ta’ala dengan anggota-anggota badan seperti tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya.

***** awal kutipan *****
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.

Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.

Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
***** akhir kutipan *****

Jadi perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Ibnu Taimiyyah (W 728 H) karena begitu besarnya kerusakan dalam perkara i’tiqod akibat orang awam terkelabui dengan label mazhab atau manhaj Salaf

Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas bahwa Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan oleh banyak ulama terdahulu dalam arti ditetapkan kufur dalam i’tiqod

Contohnya ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyyah

*** awal kutipan ***
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه

“Meskipun demikian, beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
*** akhir kutipan ****

Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.

Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakan Ibnu Taimiyyah di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab, yaitu :

1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.

2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.

3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.

4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.

Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :

“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.

“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.

Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:

1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.

2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.

3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.

4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.

5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya

6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.

7. Al Hafizh al Mujtahid Taqiyy ad-Din as-Subki (W 756 H) dalam berapa karyanya:

– Al I’tibar Bi Baqa al Jannah Wa an-Nar
– Ad-Durrah al Mudliyyah Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah
– Syifa as-Saqam fi Ziyarah Khairi al Anam
– An-Nazhar al Muhaqqaq fi al Halif Bi ath-Thalaq al Mu’allaq
– Naqd al Ijtima’ Wa al Iftiraq fi Masa-il alAyman wa ath-Thalaq
– at-Tahqiq fi Mas-alah at Ta’liq
– Raf’ asy-Syiqaq ‘An Mas-alah ath-Thalaq.

8. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.

9 Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:

– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.

10. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).

11. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya, berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi Allah.

12. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan menulis dua risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.

13. Al Qadli Kamal Shafiyy ad-Din al Hindi (W715 H), beliau mendebat Ibnu Taimiyah.

14. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.

15. Al Mu-arrikh al Faqih al Mutakallim al Fakhr Ibn al Mu’allim al Qurasyi (W 725 H) dalam karyanya Najm al Muhtadi wa Rajm al Mu’tadi.

16. Al Faqih Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Ali al Mazini ad-Dahhan ad-Dimasyqi (W 721 H) dalam dua risalahnya:

– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalahath-Thalaq.
– Risalah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah fi Masalah az-Ziyarah.

17. Al Faqih Abu al Qasim Ahmad ibn Muhammad asy-Syirazi (W 733 H) dalam karyanya Risalah fi ar-Radd ‘Ala ibn Taimiyah..

18. Al Faqih al Muhaddits Jalal ad-Din Muhammad al Qazwini asy-Syafi’i (W 739 H)

19. Surat keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Sultan Ibnu Qalawun (W 741 H) untuk memenjarakannya.

20. Al Hafizh adz-Dzahabi (W 748 H). Ia semasa dengan Ibnu Taimiyah dan membantahnya dalam dua risalahnya : – Bayan Zaghal al ‘Ilm wa ath-Thalab. – An-Nashihah adz-Dzahabiyyah

21. Al Mufassir Abu Hayyan al Andalusi (W 745 H) dalam Tafsirnya: An-Nahr al Maadd Min al Bahr al Muhith.

22. Syekh ‘Afif ad-Din Abdullah ibn As’ad al Yafi’i al Yamani al Makki (W 768 H).

23. Al Faqih Taj ad-Din as-Subki (W 771 H) dalam karyanya Thabaqat asy-Syafi’iyyah alKubra.

24. Al Muarrikh Ibnu Syakir al Kutubi (W 764H); murid Ibnu Taimiyah dalam karyanya :‘Uyun at-Tawarikh.

25. Syekh ‘Umar ibn Abu al Yaman al Lakhami al Fakihi al Maliki (W 734 H) dalam at-Tuhfah al Mukhtarah Fi ar-Radd ‘Ala Munkir az-Ziyarah.

26. Al Qadli Muhammad as-Sa’di al Mishri al Akhna-i (W 750 H) dalam al Maqalah al Mardhiyyah fi ar-Radd ‘Ala Man Yunkir az- Ziyarah al-Muhammadiyyah. Buku ini dicetak dalam satu rangkaian dengan Al-Barahin as- Sathi’ah karya Al ’Azami.

27. Syekh Isa az-Zawawi al Maliki (W 743 H) dalam Risalah fi Mas-alah ath- Thalaq

28. Syekh Ahmad ibn Utsman at-Turkamani al- Juzajani al Hanafi (W 744 H) dalam al Abhatsal Jaliyyah fi ar-Radd ‘Ala Ibn Taimiyah.

29. Al Hafizh Abd ar-Rahman ibn Ahmad, yang terkenal dengan Ibnu Rajab al Hanbali (W 795 H) dalam : Bayan Musykil al Ahadits al Waridah fi Anna ath-Thalaq ats-Tsalats Wahidah.

30. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani (W 852 H) dalam beberapa karyanya: – Ad-Durar al Kaminah fi A’yan al Mi-ah ats-Tsaminah – Lisan al Mizan – Fath al Bari Syarh Shahih al Bukhari – Al Isyarah Bi Thuruq Hadits az-Ziyarah

31. Al Hafizh Waliyy ad-Din al ‘Iraqi (W 826 H) dalam al Ajwibah al Mardliyyah fi ar-Radd ‘Ala al As-ilah al Makkiyyah.

32. Al Faqih al Mu-arrikh Ibn Qadli Syuhbah asy- Syafi’i (W 851 H) dalam Tarikh Ibn Qadli Syuhbah

33. Al Faqih Abu Bakr al Hushni (W 829 H) dalam Karyanya Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila al Imam Ahmad.

Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Read Full Post »

Older Posts »