Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘mengharamkan yang tidak diharamkanNya’


Contoh kemusyrikan pada zaman NOW

Zaman NOW (sekarang) banyak yang terjerumus kemusyrikan seperti orang-orang yang menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan selain Allah karena mereka terjerumus BID’AH dalam URUSAN AGAMA yakni,

Mereka MENGANGGAP BURUK sesuatu sehingga mereka MELARANG (MENGHARAMKAN) yang TIDAK DILARANG (DIHARAMKAN) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah

Atau sebaliknya mereka MENGANGGAP BAIK sesuatu sehingga mereka MEWAJIBKAN yang TIDAK DIWAJIBKAN oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (BID”AH) dalam URUSAN AGAMA yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perkara agama atau URUSAN AGAMA meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun larangan (jika dilanggar berdosa) berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran manusia.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)

Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).

Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).

Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.

Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.

Pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA adalah mereka yang MENGANGGAP Allah Ta’ala LUPA dan menuduh atau memfitnah Rasulullah telah menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah Ta’ala (Hr Bukhari 7380 dan Muslim 177)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Selebihnya adalah perkara mubah (boleh). Allah Ta’ala tidak lupa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Begitupula para Imam Mujtahid telah mengingatkan bahwa contoh perbuatan MENYEKUTUKAN Allah adalah mereka yang salah dalam berijtihad dan beristinbat (menggali hukum) dari Al Qur’an dan Hadits sehingga mereka terjerumus melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya

Firman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu MENYEKUTUKAN Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau MENYEKUTUKAN Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)

Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang (mengharamkan) yang sebenarnya tidak dilarangNya (diharamkanNya) atau sebaliknya mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Oleh karenanya pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA lebih dicintai iblis daripada pelaku maksiat karena mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan selain Allah yakni mereka menganggap buruk sesuatu sehingga mereka MELARANG (mengharamkan) yang TIDAK DILARANG (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah atau sebaliknya mereka menganggap baik sesuatu sehingga mereka MEWAJIBKAN yang TIDAK DIWAJIBKAN oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah.

Oleh karena para pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA tidak menyadarinya sehingga mereka sulit bertaubat.

Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang-orang yang melakukan BID’AH dalam URUSAN AGAMA.

Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 )

Oleh karenanya orang-orang yang GAGAL PAHAM atau SALAH MEMAHAMI sabda Rasulullah “Kullu bid’atin dholalah” PASTI akan TERJERUMUS BID’AH dalam URUSAN AGAMA yakni,

Mereka MELARANG (MENGHARAMKAN) yang TIDAK DILARANG (DIHARAMKAN) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah atau sebaliknya mereka MEWAJIBKAN yang tidak DIWAJIBKAN oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah.

Para fuqaha (ahli fiqih) mengingatkan bahwa perkara larangan yang jika dikerjakan berdosa maupun perkara yang disyariatkan dan merupakan suatu kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa haruslah berdasarkan dalil yang jelas (qathi).

Oleh karenanya para fuqaha (ahli fiqih) mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah atau hukum asalnya adalah mubah (boleh).

Contoh mereka yang melarang yang tidak dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah adalah mereka melarang menggunakan kaidah yang tidak pernah disabdakan oleh Rasulullah maupun dikatakan oleh Salafush Sholeh dan bahkan tidak pernah disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat yang lebih faqih (mumpuni/berkompeten) dari pada mereka yakni,

“Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi”

Perkataan tersebut memang ada dalam kitab Ibnu Katsir pada tafsir (QS al Ahqaaf [46]:11) yang umumnya diterjemahkan oleh mereka artinya “Seandainya hal itu baik, tentulah para Sahabat telah mendahului kita untuk melakukannya”

Perlu ada penyelidikan lebih lanjut kehadiran perkataan tersebut karena perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” sebagaimana yang diartikan oleh mereka tidak ada kaitannya dengan ayat yang ditafsir.

Bahkan dari perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” tidak ada kata yang dapat diartikan sebagai “para Sahabat”

Jadi kaidah itu justru mirip dengan perkataan orang-orang kafir dalam firman Allah Ta’ala,

“waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi”

“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya” (QS al Ahqaaf [46]:11 ).

Ayat Al Ahqaaf [46]:11 tentang orang-orang kafir meremehkan orang-orang yang beriman yakni Bilal, ‘Ammar, Shuhaib, dan Khabbab serta orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan kaum lemah, para budak dan hamba sahaya, karena orang-orang kafir berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kedudukan terhormat

Qutadah mengatakan bahwa ayat Al Ahqaaf [46]:11 diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang musyrikin (kafir) yang suatu ketika berkata, “Kami yang paling mulia, perkasa, dan terhormat. Jika terdapat kebaikan dalam Al-Qur’an / Islam, tentulah kami yang pertama kali masuk Islam (Diriwayatkan Ibnu Jarir)

Secara umum QS Al-Ahqaaf [46]:11 itu menyampaikan bahwa orang-orang kafir meremehkan, bahwa jika beriman pada Al-Qur’an itu mendatangkan kebaikan tentu derajat atau kedudukan Bilal, ‘Ammar, Shuhaib dll akan sebaik mereka.

Ayat (QS al Ahqaaf [46]:11) justru menjelaskan bahwa para Sahabat “melakukannya” sedangkan orang kafir tidak “melakukannya”.

Para Sahabat “mengamalkannya” sedangkan orang kafir tidak “mengamalkannya”

Para Sahabat beriman pada Al Qur’an sedangkan orang kafir tidak beriman pada Al Qur’an

Kebiasaan yang dilakukan atau tidak dilakukan para Sahabat bukanlah hukum dalam Islam yang membatasi untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan.

BID’AH BUKAN HUKUM DALAM ISLAM yang membatasi kita untuk tidak melakukan apapun yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah.

Para Sahabat atau Salafush Sholeh dalam menghadapi BID’AH yang artinya PERKARA BARU (MUHDATS) atau PERKARA yang TIDAK DIJUMPAI CONTOH (SUNNAH) dari Rasulullah atau TIDAK DIJUMPAI Hadits Rasulullah TIDAK LANGSUNG MEM-VONISnya atau menetapkannya sebagai perkara TERLARANG.

Para Sahabat atau Salafush Sholeh dalam menghadapi BID’AH mereka MENIMBANGNYA dengan berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukumnya) mengikuti HUKUM DALAM ISLAM yang dikenal dengan HUKUM TAKLIFI yang membatasi umat Islam untuk MELAKUKAN atau TIDAK MELAKUKAN sebuah perbuatan yakni wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh, haram

Contohnya Sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu ketika akan diutus oleh Rasulullah ke Yaman untuk menjadi pemimpin di negeri Yaman, Rasulullah bertanya

فإِنْ لمْ تجِدْ فيِ سُنّةِ رسُولِ الله ولا فيِ كتِابِ الله ؟

Bagaimana jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah ?

Sahabat Muadz menjawab

أجْتهِدُ رأْيِ ولا آلو فضرب

Saya akan berijtihad dengan akal pikiran saya dan tidak akan berlebih-lebihan

Rasulullah memujinya dengan sabdanya, “Umatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram adalah Muadz bin Jabal”

Begitupula selain berdasarkan riwayat Sahabat Muadz bin Jabal ra, para fuqaha (ahli fiqih) membagi bid’ah mengikuti hukum taklifi yang lima, hukum yang membatasi umat Islam untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan adalah BERDASARKAN hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH.

Jumhur ulama terdahulu seperti Al Imam Al Hafizh An Nawawi, Al Imam Al Hafizh Al Qurthubi, Al Imam Al Hafizh As Suyuthi dan lainnya telah sepakat bahwa hadits untuk men-TAKHSIS hadits “kullu bid’atin dholalah” adalah hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH.

Pengertian TAKHSIS adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam lafadz ‘AMM.

Para ulama men-takhsis atau menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘amm dengan dalil sehingga takhsis ada dua yakni takhsis muttasil dan takhsis munfasil

Takhsis Muttasil ialah dimana takhsis itu terjadi dalam satu kalimat yang sama.

Takhsis Munfasil ialah takhsis yang berada dalam kalimat yang lain atau terpisah.

Jadi hadits “kullu bid’atin dholalah” di-takhsis munfasil (terpisah) dengan hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH

Contohnya Al Imam Al Hafizh An Nawawi berkata bahwa hadits tentang SUNNAH HASANAH dan SUNNAH SAYYIAH adalah hadits yang MENTAKHSIS munfasil (terpisah) dari hadits “kullu bid’atin dholalah” sebagaimana yang termuat di dalam kitab hadits “Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi” jilid 4 halaman 104-105, cetakan “Darul Fikr” Beirut Libanon (lihat pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2014/02/shohih-muslim-bi-syarhi-an-nawawi.jpg

******* awal kutipan *******
Pembagian bid’ah bersumber dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu:

“Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik (SUNNAH HASANAH) dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk (SUNNAH SAYYIAH) dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari dosanya”.

Hadits ini mentakhsis hadits Nabi yang berbunyi (yang artinya)

“Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.

Adapun yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara-perkara baru yang bersifat bathil dan bid’ah-bid’ah yang bersifat tercela.

Dengan demikian, bid’ah dibagi kepada lima bagian, yaitu:

1. Bid’ah wajib,
2. Bid’ah sunnah,
3. Bid’ah haram,
4. Bid’ah makruh, dan
5. Bid’ah mubah.
****** akhir kutipan ******

Silahkan download atau baca secara online pada http://archive.org/details/SahihMuslimSharhNawawi

Begitupula sebagaimana Imam Nawawi di atas membagi bid’ah kepada lima bagian mengikuti hukum taklifi yang lima, pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 4 menjelaskan

****** awal kutipan *******
Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru (BID’AH) itu ke dalam hukum-hukum yang lima.

Beliau berkata: “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (Bid’ah tersebut adakalanya):

1. Bid’ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari‟ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.

2. Bid’ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.

3. Bid’ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.

4. Bid’ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.

5. Bid’ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”

Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim bahwa berikut ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah.

Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar-pasar malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid’ah.
****** akhir kutipan *****

Selengkapnya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2015/08/risalah-aswaja.pdf

Rasulullah alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang melakukan satu SUNNAH HASANAH dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan SUNNAH tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu SUNNAH SAYYIAH dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan SUNNAH tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)

Arti kata SUNNAH dalam hadits tentang sunnah hasanah dan sunnah sayyiah BUKANLAH SUNNAH Rasulullah karena tidak ada SUNNAH Rasulullah yang SAYYIAH (BURUK)

Kata SUNNAH dalam kamus bahasa Arab dapat dengan mudah kita ketahui bahwa artinya adalah “Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelek”.

Pengertian SUNNAH ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji atau tidak.

Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan dinamai SUNNAH, walaupun tidak baik.

Begitupula kata BID’AH atau MUHDATS itu artinya PERKARA BARU atau CONTOH BARU, bisa BAIK (HASANAH) dan bisa pula BURUK (SAYYIAH)

Jadi kata SUNNAH dalam hadits tentang “SUNNAH HASANAH” dan “SUNNAH SAYYIAH” artinya CONTOH (TELADAN) atau KEBIASAAN BARU yakni KEBIASAAN yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya.

CONTOH (TELADAN) atau KEBIASAAN BARU tersebut bisa BAIK (HASANAH) dan bisa pula BURUK (SAYYIAH)

Jadi kesimpulannya Rasulullah menyebut BID’AH HASANAH dengan istilah SUNNAH HASANAH.

Artinya CONTOH (TELADAN) atau PERKARA BARU (BID’AH atau MUHDATS) atau KEBIASAAN BARU yang BAIK.

Yakni CONTOH (TELADAN) atau KEBIASAAN BARU yang TIDAK MENYALAHI laranganNya atau TIDAK BERTENTANGAN dengan Al Qur’an dan Hadits.

Sedangkan Rasulullah menyebut BID’AH SAYYIAH dengan istilah SUNNAH SAYYIAH.

Artinya CONTOH (TELADAN) atau PERKARA BARU (BID’AH atau MUHDATS) atau KEBIASAAN BARU yang BURUK

Yakni CONTOH (TELADAN) atau KEBIASAAN BARU yang MENYALAHI laranganNya atau BERTENTANGAN dengan Al Qur’an dan Hadits

Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan antara SUNNAH HASANAH dengan SAYYIAH adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-pokok syar’i“

Jadi perbedaan antara SUNNAH HASANAH (BID’AH HASANAH) dengan SUNNAH SAYYIAH (BID’AH SAYYIAH) adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan pokok-pokok syar’i yakni Al Qur’an dan As Sunnah.

Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ .

“Cara mengetahui BID’AH yang HASANAH dan SAYYIAH menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk BID’AH HASANAH, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk BID’AH SAYYIAH (MUSTAQBAHAH)” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Jadi BID’AH yang artinya PERKARA BARU (MUHDATS), jika MENYALAHI LARANGAN Allah Ta’ala dan Rasulullah maka termasuk BID’AH SAYYIAH (BURUK) namun jika TIDAK MENYALAHI LARANGAN Allah Ta’ala dan Rasulullah maka termasuk BID’AH HASANAH (BAIK) atau Imam Syafi’i menyebutnya BID’AH MAHMUDAH”

Imam Syafi’i berkata

قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ،

Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah BID’AH yang SESAT (bid’ah dholalah).

وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )

Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah BID’AH yang TERPUJI (BID’AH MAHMUDAH atau BID’AH HASANAH), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)

Begitupula Abu Nuaim dalam kitab Hilyah Al-Aulia, hlm. 9/76 meriwayatkan pernyataan Imam Syafi’i di mana ia berkata:

البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم، واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان: نعمت البدعة هي

Artinya: Bid’ah itu ada dua: bid’ah terpuji (mahmudah) dan bid’ah tercela (madzmumah). Bid’ah yang sesuai Sunnah disebut bidah terpuji. Yang berlawanan dengan sunnah disebut bid’ah tercela. Imam Syafi’i berargumen dengan perkataan Umar bin Khattab dalam soal shalat tarawih bulan Ramadhan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”

Salah satu penyebab mereka melarang semua kebiasaan yang baik atau semua amal kebaikan yang tidak ada pada zaman Rasulullah adalah akibat mereka tidak mengetahui atau tidak mengikuti PENGELOMPOKAN / KLASIFIKASI IBADAH dari para ulama terdahulu bahwa IBADAH ada dua macam yakni IBADAH MAHDHAH dan IBADAH GHAIRU MAHDHAH.

AZAS IBADAH MAHDHAH adalah “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.

PRINSIP IBADAH MAHDHAH diformulakan dengan KA + SS yakni karena Allah + sesuai syariat.

PRINSIP IBADAH MAHDHAH bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.

Contoh BID’AH dalam IBADAH MAHDHAH adalah terlarang sholat subuh tiga rakaat walaupun (rasional) menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).

Sedangkan AZAS IBADAH GHAIRU MAHDHAH yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat adalah “manfaat” maksudnya selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.

PRINSIP IBADAH GHAIRU MAHDHAH diformulakan dengan BB + KA yakni berbuat baik + karena Allah

PRINSIP IBADAH GHAIRU MAHDHAH bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.

Jadi dalam IBADAH GHAIRU MAHDHAH tidak perlu sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.

Contoh ibadah ghairu mahdhah adalah kebiasaan yang baik termasuk kebiasaan dzikir, sholawat, ratib dll.

Ibadah-ibadah tersebut termasuk ibadah ghairu mahdah, karena tidak ditentukan cara-cara, waktu-waktu dan jumlahnya secara khusus.

Umat Islam dapat berdzikir kapan pun di manapun dan demikian juga dengan membaca al-Qur’an yang tentu saja terdapat beberapa pengecualian.

Adapun hadits-hadits yang menerangkan jumlah-jumlah dzikir Rasulullah dalam waktu-waktu tertentu biasanya berfungsi sebagai anjuran.

Contohnya umat Islam boleh mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah dengan sholawat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah selama syair atau matan (redaksi) sholawat tersebut tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Contohnya Imam Asy-Syafi’i menyusun dan merutinkan kebiasaan sholawat atas Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mana sholawat itu belum pernah disusun oleh ulama-ulama sebelumnya dan termuat dalam kitab Beliau yang berjudul Ar-Risalah yaitu:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كُلَّمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُونَ

(Artinya: ”Ya Allah, limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Nabi Muhammad, selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu.”)

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Oleh karenanya dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat apapun, termasuk yang tidak ada pada zaman Rasulullah selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka hukum asalnya adalah mubah (boleh).

Contohnya amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu hukum asalnya adalah mubah (boleh)

Contoh hukum asalnya mubah menjadi haram yakni ketika tulisannya berisikan celaan karena melanggar larangan Rasulullah.

Rasulullah bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).

Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka jahannam.

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam” (QS Sajdah [32]:20)

Sedangkan jika tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala atau sunnah (mandub)

Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.

Jadi cara membedakan antara ibadah mahdhah dengan ghairu mahdhah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).

Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail

Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.

Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana) sedangkan maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.

Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.

Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?

Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.

Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.

Begitupula kaum muslim mendapatkan pahala dari bentuk kegiataan yang dilaksanakan untuk mengisi acara peringatan Maulid Nabi tersebut.

Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.

Begutupula dengan sabda Rasulullah bahwa puasa Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya maka hukum peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh).

Jadi kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Ghailan bin Jarir bahwa mendengar Abdullah bin Ma’bad Az Zimani dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu,

Rasulullah pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, Beliau menjawab: “Itu adalah hari, ketika aku dilahirkan dan aku diutus (sebagai Rasul) atau pada hari itulah wahyu diturunkan atasku.” (HR Muslim 1977)

Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi): “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“.

Ada yang bertanya, , ”Jikalau Maulid Nabi baik, mengapa para Sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak memperingatinya ?”

Para Sahabat tentu waktunya banyak dihabiskan untuk berjuang bersama Rasulullah dan menjadi saksi yang melihat langsung bagaimana Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berjuang dan berdakwah, bagaimana perjalanan kehidupannya, bagaimana akhlaknya, bagaimana kemuliaan-kemuliaan Rasulullah, bagaimana keluarganya sehingga tak ada yang meragukan cinta para Sahabat kepada Rasulullah bahkan nyawa merekapun dijadikan taruhannya demi menjaga, membela dan melindungi Nabi shallallahu alaihi wasallam

Jadi kesimpulannya para Sahabat Nabi tidak perlu lagi diceritakan perjuangan kisah hidup Rasulullah agar tumbuh cinta di hati mereka.

Sehingga tak perlu para Sahabat Nabi membaca kisah-kisah hidup Rasulullah, disamping karena buku-buku tentang kisah hidup Rasulullah itu ditulis jauh setelah mereka wafat. Bahkan buku-buku kisah Rasulullah itu bersumber dari lisan-lisan mereka (para Sahabat) yang kemudian ditulis oleh para ulama setelahnya.

Oleh karenanya kitalah yang harus banyak membaca kisah-kisah hidup Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, agar hati kita dipupuk dan dipenuhi cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, salah satunya dalam memperingati Maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam karena didalamnya mengajak kecintaan kita kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Read Full Post »

Older Posts »