Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Rasulullah menafikan arsy sebagai tempat’


Rasulullah bersabda Allah Ta’ala suci dari arah dan tempat

Rasulullah sendiri yang menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Malik rahimahullah yakni

لا تفضلوني على يونس بن متى

“La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta”

Imam Malik menjelaskan bahwa

****** awal kutipan *****
Rasulullah secara khusus menyebut Nabi Yunus dalam sabdanya, tidak menyebut Nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman aqidah tanzih (Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat).

Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy (ketika peristiwa Mi’raj), sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam (ketika Beliau ditelan oleh ikan besar), dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah Ta’ala sama saja.

Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan melarang melebih-lebihkan Beliau atas nabi Yunus ibn Matta”.
****** akhir kutipan ******

Penjelasan Imam Malik tersebut disampaikan oleh

1. Al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki (seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah), dalam karyanya berjudul “al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa

2. Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil.

3. Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadahal-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin.

dan lain lainnya.

Begitupula Al-Imam al-Qurthubi menuliskan

***** awal kutipan *****
وقال أبو المعالي: قوله صلى الله عليه وسلم لا تفضلوني على يونس بن متّى

“Abu al-Ma’ali berkata: Sabda Rasulullah berbunyi “La Tufadl-dlilunî ‘Ala Yunus Ibn Matta”

المعنى فإني لم أكن وأنا في سدرة المنتهى بأقرب إلى الله منه وهو في قعر البحر في بطن الحوت. وهذا يدل على أن البارىء سبحانه وتعالى ليس في جهة

memberikan pemahaman bahwa Nabi Muhammad yang diangkat hingga ke Sidrah al-Muntaha tidak boleh dikatakan lebih dekat kepada Allah dibanding Nabi Yunus yang berada di dalam perut ikan besar yang kemudian dibawa hingga ke kedalaman lautan. Ini menunjukan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 11, h. 333-334, QS. al-Anbiya’: 87)
***** akhir kutipan *****

Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Asy-Syafi’i Al-Bantani Al-Jawi dalam kitabnya ” Nur Adh-Dhalam” syarah ‘Aqidatul ‘Awam halaman 42 baris 3-6 mengatakan:

***** awal kutipan *****
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berada di suatu tempat maupun arah , Maha suci Allah dari yang demikian (bertempat atau berarah) , tempat hanya dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :

لا تفضلوني على يونس بن متّى

“La Tufadl-dlilunî ‘Ala Yunus Ibn Matta”

maksudnya : Janganlah kamu berprasangka bahwa aku lebih dekat kepada Allah daripada Nabi Yunus hanya karena Allah mengangkat aku ke atas langit yang tujuh sedangkan Nabi Yunus berada didasar lautan didalam ikan , masing-masing dari kami berdua nisbat kedekatan dari Allah ada pada batasan yang sama.
***** akhir kutipan *****

Begitupula Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dalam kitab karyanya yang berjudul “Wahuwa bi al’ufuq al-a’la” dan telah diterjemahkan oleh penerbit Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam” menjelaskan

***** awal kutipan *****
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.

Meskipun Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi Beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut adalah sama hal ketiadaan jarak Allah Ta’ala dengan ciptaan-Nya, ketiadaan arahNya, ketiadaan menempati ruang, ketidakterbatasannya dan ketidaktertangkapnya. Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.

Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maha suci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.

Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada Rasulullah, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu”.

Jadi kembalinya Rasulullah kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.
***** akhir kutipan *****

Jadi Rasulullah Mi’raj ke Sidratul Muntaha adalah ke tempat Beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya dan sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi

Begitupula umat Islam bermunajat ke Baitullah maupun ke Masjid bukan ke tempat atau ke rumah Allah Ta’ala atau bukan Allah Ta’ala berada atau bertempat di tempat hambaNya bermunajat.

Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat.

Begitupula Rasulullah menafikan Arsy sebagai tempat bagi Allah dengan sabdanya

فلَيس دونك شيء

“Tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu”

Sabda Rasulullah selengkapnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

وأنت الظاهر فليس فوقك شيء وأنت الباطن فليس دونك شيء

Engkau Adz Dzahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu dan Engkau Al Bathin tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR Muslim 4888)

Berikut kutipan penjelasan Al-Hafizh al Baihaqi (w 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash Shifat, hlm. 506 yang menetapkan hadits tersebut sebagai salah satu dalil untuk menafikan arah dan tempat bagi Allah. Maha Suci Allah Subhanahu wa Ta’ala dari arah dan tempat.

***** awal kutipan ******
والذي روي في اخر هذا الحديث إشارة إلى نفي المكان عن الله تعالى, وأن العبد أينما كان فهو في القرب والبعد من الله تعالى سواء, وأنه الظاهر فيصح إدراكه بالأدلة, الباطن فلا يصح إدراكه بالكون في مكان. واستدل بعض أصحابنا في نفي المكان عنه بقول النبي صلى الله عليه و سلم أنت الظاهر فليس فوقك شىء, وأنت الباطن فليس دونك شىء, وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء لم يكن في مكان

“….dan yang disebutkan di akhir hadits adalah indikasi penafian tempat bagi Allah Ta’ala dan seorang hamba di mana pun berada maka jauh dan dekatnya ia kepada Allah Ta’ala itu sama saja.

Allah Ta’ala, adalah Adz-Dzahir – maka Dia bisa diketahui dengan bukti-bukti (dalil) , Allah Ta’ala adalah Al-Bathin -. maka Dia tidak bisa diketahui dengan tempat.

Dan telah berdalil sebagian sahabat kami (ahlus sunnah) dalam menafikan tempat bagi Allah dengan sabda Rasululullah shallallahu alaihi wasallam,

Engkau Adz Dzahir, tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu dan Engkau Al Bathin, tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu.

“jika tidak ada sesuatu di atas dan di bawahNya itu artinya Allah tidak ada pada tempat”.
***** akhir kutipan *****

Rasulullah juga menafikan Arsy sebagai tempat bagi Allah dengan sabdanya,

قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ

“Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya. Di atasNya tidak ada sesuatu dan di bawahNya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arsy di atas air.” .

قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ

Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, (makna) Ama` adalah (Allah ada) tanpa sesuatu apapun yang menyertaiNya (Sunan at Tirmidzi, 3109)

Sedangkan sabda Rasulullah yang ARTINYA “Lalu Allah menciptakan Arsy di atas air.” MAKNANYA BUKANLAH Allah Ta’ala BERUBAH menjadi di atas ‘Arsy karena Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan berubah.

Rasulullah sekedar memberitakan bahwa Allah Ta’ala menciptakan Arsy di atas air.

Rasulullah tidak pernah bersabda bahwa Allah Ta’ala menciptakan Arsy berada di bawahNya

Imam al-Qadli Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab berjudul Idlah ad-Dalil Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, hlm. 106-107 menuliskan

***** awal kutipan *****
Kemudian kata “tsumma” dalam firman-Nya: “Tsumma Istawa” bukan dalam pengertian “tertib atau berkesinambungan” dalam perbuatan-Nya, tetapi untuk memberikan paham tertib atau kesinambungan dalam pemberitaan, bukan dalam perbuatan-Nya.
**** akhir kutipan ***

Begitupula firman Allah Ta’ala yang ARTINYA , “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57] : 3)

MAKNANYA adalah Allah Ta’ala ada, sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya.

Allah Ta’ala ada, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya.

Allah Ta’ala ada, sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ’Arsy

Rasulullah bersabda

قَالَ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ – رواه البخاري

“Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR Bukhari)

Rasulullah bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىءٌ غَيْـرُهُ – رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود

“Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (HR. al Bukhari, al Baihaqi dan Ibn al Jarud)

Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata “Allah ada dan belum ada tempat dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula ada tanpa tempat”

Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya”

Berdalillkan firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah beserta penjelasan dari para ulama terdahulu di atas maka dapat kita simpulkan bahwa,

“Allah Ta’ala ada, tidak ada sesuatu apapun selain-Nya dan Dia sekarang TIDAK BERUBAH, Dia ada sebagaimana awalnya”.

Allah Ta’ala mustahil atau tidak boleh disifatkan berubah !!!

Al-Imam al-Qurthubi menuliskan:

والله جل ثناؤه لا يوصف بالتحول من مكان إلى مكان، وأنَّى له التحول والانتقال ولا مكان له ولا أوان، ولا يجري عليه وقت ولا زمان، لأن في جريان الوقت على الشىء فوت الأوقات، ومن فاته شىء فهو عاجز

“Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22)

Imam Syafi’i berkata

إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته

“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. (Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin ditulis oleh al-‘Allamah Muhammad ibn Muhammad al-Husaini al-Murtadha al-Zabidi (1791M) – Jilid 2-halaman 36)

Pada kenyataannya mereka yang merasa mengikuti manhaj atau mazhab Salaf atau mengaku-ngaku mengikuti SALAF (terdahulu) dan mereka menisbatkan sebagai SALAFI adalah mereka yang mengikuti SALAF (I)mitasi karena mereka TAQLID BUTA atau mengikuti ulama-ulama panutan mereka yang hidup di atas 300 H yakni ulama-ulama KHALAF (kemudian) PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah.

Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.

Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)

Jadi paham Wahabisme adalah ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah yang dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi dari http://saudiembassy.net/islam

“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.

Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat benda seperti arah dan tempat maupun mensifatkan Allah Ta’ala dengan anggota-anggota badan seperti tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya adalah termasuk MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah Ta’ala sebagaimana contohnya yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj

***** awal kutipan *****
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.

Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.

Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
***** akhir kutipan *****

Berdasarkan pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan yakni ditetapkan kufur dalam i’tiqod oleh banyak ulama maka perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Beliau.

Contohnya ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’

Para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan kekhawatiran atas fatwa para ulama terdahulu ada yang mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyyah sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://faisalchoir.blogspot.co.id/2011/12/ibnu-taimiyah-dikafirkan-ibnu-hajar.html

Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan Al Hafizh as-Sakhawi dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736 menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani , “Beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://abul-harits.blogspot.co.id/2013/03/pembelaan-al-hafidz-ibnu-hajar-terhadap.html

Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab yang mereka kutip sendiri.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyyah

*** awal kutipan ***

ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه

“Meskipun demikian, beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
*** akhir kutipan ****

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah mengingatkan HAL YANG BURUK atau MENCONTOHKAN KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah adalah Ibnu Taimiyyah MEN-JISM-KAN Dzat Allah.

Di antaranya Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah beristiwa di atas Arsy dengan Dzat-Nya” sebagaimana yang dikabarkan pada http://www.aswj-rg.com/2014/06/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-asqalani-terhadap-ibnu-taimiyah.html

Begitupula salah satu CONTOH KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah sebagaimana yang disampaikan salah seorang ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah) sebagaimana contoh yang termuat pada http://mahadilmi.wordpress.com/2011/04/18/allah-turun-ke-langit-dunia/

**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala”
**** akhir kutipan ****

Perkataan atau pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah yakni “Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” adalah sebuah KEBID’AHAN karena TIDAK PERNAH disabdakan oleh Rasulullah maupun dikatakan oleh Salafush Sholeh.

Perkataan atau pendapat atau pemahaman Ibnu Taimiyyah bahwa “Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman para Sahabat atau Salafush Sholeh namun pemahaman ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat ketika beliau membaca dan menjelaskan hadits shahih berikut

“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)

Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/03/23/yanzilu-rabbuna/

Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah maupun kitab muridnya yakni Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw maupun ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al Albani menjadi pegangan bagi para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyyah.

Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis penjelasan (syarah) kitab akidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187 halaman pada tahun 1403 H.

Selain Muhammad Khalil Harras penulis penjelasan atau syarah kitab akidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis) sebagaimana yang tercatat pada http://id.wikipedia.org/wiki/Al-akidah_Al-Wasithiyah.

Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab dengan menghadirkan kitab akidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.

Habib Rizieq Shihab menjelaskan bahwa sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728 H.

Berikut kutipan penjelasannya

***** awal kutipan ****
Sultan Muhammad bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng Damascus di Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :

1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.

2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.

3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.

4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.

Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :

“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.

“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
***** akhir kutipan ******

Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.

Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:

1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H. Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam ad-Durar al Kaminah.

2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.

3. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi (W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.

4. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf (W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.

5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari pendapat-pendapatnya

6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.

7. Al Muhaddits al Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah dan menyerang Ibnu Taimiyah.

8. Al Hafizh Abu Sa’id Shalah ad-Din al ‘Ala-i (W. 761 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah seperti dijelaskan dalam:

– Dzakha-ir al Qashr fi Tarajim Nubala al ‘Ashr, hlm .32-33, buah karya Ibnu Thulun.
– Ahadits Ziyarah Qabr an-Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam.

9. Qadli al Qudlah (Hakim Agung) di al Madinah al Munawwarah; Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al Hanbali (W 762 H).

10. Al Faqih al Muhaddits ‘Ali ibn Muhammad al Bajiyy asy-Syafi’i (W 714 H). Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dalam empat belas majelis dan berhasil membungkamnya.

Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/wp-content/uploads/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf

Contohnya dalam risalah Fi Nafy al-Jihah ‘An Allah karya Al-Imam Ibn Jahbal dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 9, h. 47. memuat bantahan keras terhadap Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy.

****** awal kutipan ******
Fawq dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan.

Contoh, bila dikatakan dalam bahasa Arab: “al-Khalifah Fawq as-Sulthan wa as-Sulthan Fawq al-Amir”, maka artinya: “Khalifah lebih tinggi kedudukannya di atas raja, dan raja lebih tinggi kedudukannya di atas panglima”, atau bila dikatakan: “Jalasa Fulan Fawq Fulan”, maka artinya: “Si fulan yang pertama kedudukannya di atas si fulan yang kedua”, atau bila dikatakan: “al-‘Ilmu Fawq al-‘Amal” maka artinya: “Ilmu kedudukannya di atas amal”.

Contoh makna ini dalam firman Allah: “Wa Rafa’na Ba’dlahum Fawqa Ba’dlin Darajat” (QS. Az-Zukhruf: 32), artinya Allah meninggikan derajat dan kedudukan sebagian makhluk-Nya atas sebagian yang lain. Makna ayat ini sama sekali bukan dalam pengertian Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya berada di atas pundak sebagian yang lain.

Contoh lainnya firman Allah tentang perkataan para pengikut Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun” (QS. Al-A’raf: 127). Yang dimaksud ayat ini adalah bahwa para pengikut yang setia kepada Fir’aun -merasa- menguasai dan lebih tinggi kedudukannya di atas Bani Isra’il. Makna ayat ini sama sekali bukan berarti para pengikut Fir’aun tersebut berada di atas pundak-pundak atau di atas punggung-punggung Bani Isra’il”
****** akhir kutipan ******

Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata

***** awal kutipan *****
Makna “فوق ” , “fawq” bukanlah dalam pengertian tempat karena adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawq pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala , wa huwa al-qaahiru fawqa ‘ibaadihi

Jika yang dimaksud fawq dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali tidak memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya – Apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?
***** akhir kutipan ******

Begitupula Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi dalam penjelasan firman Allah: “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa ‘Ibadih” (QS. Al-An’am: 18), menuliskan sebagai berikut:

***** awal kutipan ****
Mereka lupa bahwa pengertian “fawq”, “فوق ” dalam makna indrawi (makna dzahir) hanya berlaku bagi setiap jawhar dan benda saja.

Mereka meninggalkan makna “fawq” dalam pengertian “Uluww al-Martabah”, “علوّ المرتبة ”; “derajat yang tinggi”.

Padahal dalam bahasa Arab biasa dipakai ungkapan: “فلان فوق فلان ”; artinya; “derajat si fulan (A) lebih tinggi dibanding si fulan (B)”, ungkapan ini bukan bermaksud bahwa si fulan (A) berada di atas pundak si fulan (B).
***** akhir kutipan ****

Al-Imâm al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an menuliskan tentang pemahaman fawq pada hak Allah, sebagai berikut:

“…antara lain sifat fawqiyyah, seperti dalam firman-Nya: “Wa Huwa al-Qahiru Fawqa ‘Ibadih” (QS. Al-An’am: 18), dan firman-Nya: “Yakhafuna Rabbahum Min Fawqihim” (QS. An-Nahl: 50). Makna fawq dalam ayat ini bukan dalam pengertian arah atas. Makna fawq dalam ayat tersebut sama dengan makna fawq dalam firman Allah yang lain tentang perkataan Fir’aun: “Wa Inna Fawqahum Qahirun” (QS. Al-A’raf: 127), bahwa pengertiannya bukan berarti Fir’aun berada di atas pundak Bani Isra’il, tapi dalam pengertian ia menguasai Bani Isra’il”.

Salah satu pokok perbedaan umat Islam pada umumnya dengan para pengikut paham Wahabisme yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab PENERUS KEBID’AHAN Ibnu Taimiyyah ADALAH dalam cara mereka memahami hadits panjang yang terdiri dari beberapa bagian yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami.

Imam Muslimpun tidak menganggap hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami tersebut sebagai landasan i’tiqod (aqidah) bagi kaum muslim.

Oleh karenanya imam Muslim tidak meletakkan hadits tersebut pada bab aqidah atau keimanan.

Hal pokok yang shahih dan tidak diperselisihkan adalah pada bagian sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”

Para fuqaha (ahli fiqih) menetapkan hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami sebagai hadits mudhtharib atau hadits kacau (guncang) matan (redaksinya) HANYA KHUSUS pada bagian kisah budak Jariyah BUKAN KESELURUHAN hadits.

Salah satu alasan para fuqaha (ahli fiqih) menetapkan hadits panjang terdiri dari beberapa bagian yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami KHUSUSNYA pada bagian kisah budak Jariyah adalah hadits mudhtharib karena pertanyaan “Di mana” tidak boleh ditujukan kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/06/08/tak-layak-tanya-di-mana/

Imam sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata,

وقال سيدنا علي رضي الله عنه :” إن الذي أين الأين لا يقال له أين وإن الذي كيف الكيف لا يقال له كيف” (رواه أبو المظفر الإسفراييني في كتابه في التبصير في الدين / ص: 98)

“Sesungguhnya yang menciptakan aina (tempat) tidak boleh dikatakan baginya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan baginya bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)

Ibnu Hajar al Asqallani dalam Fathu al Bari-nya,1/221:“Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”

Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan: “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi-Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan “Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.

Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerihpayah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya,atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“

Alasan lain para fuqaha (ahli fiqih) berpendapat bahwa hadits KHUSUSNYA pada bagian kisah budak Jariyah yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami dianggap sebagai hadits mudhtharib karena perbedaan matan (redaksi) antara satu riwayat dengan riwayat yang lainnya.

Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami meriwayatkan pertanyaan Rasulullah adalah “di mana Allah” namun jalur yang lain meriwayatkan pertanyaan Rasulullah adalah “Siapakah Tuhanmu” lalu kemudian budak perempuan tersebut berisyarat dengan telunjuknya ke arah langit

Para fuqaha (ahli fiqih) menegaskan bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan telunjuknya ke arah langit adalah untuk mengungkapkan keagungan atau ketinggian derajat Allah Ta’ala bukan dalam pengertian arah dan tempat, karena Allah Maha Suci dari arah dan tempat”.

Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali berkata bahwa budak itu adalah seorang yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit. (DR. Muhyiddin Al Shafi, Muhadharat Fie Al `Aqidah Al Islamiyyah Qism Al Ilahiyyat, Maktabah Iman dan Maktabah Al Jami`ah Al Azhariyyah, Kairo, cet. ke II, 2010)

Ulama Hambali Al Imam al-Hafidz Ibn Al Jawzi berkata “Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah. Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk tujuan mengagungkan.

Imam Syafi’i ~rahimahullah tentang hadits Jariyah berkata: “Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahamannya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan- kawannya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanannya,maka Nabi bertanya: “Dimana Allah ?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab: “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”.

Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi).

Jadi Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami meriwayatkan hadits tidak dengan matan (redaksi) asli sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, ia meriwayatkannya dengan ma’nan (hanya kandungan maknanya saja).

Pertanyaan “di mana Allah” adalah matan (redaksi) dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami secara pribadi berdasarkan penyaksiannya terhadap percakapan secara isyarat sehingga ia terjatuh dalam kesalahan yang dapat pula dipengaruhi oleh keadaannya yang baru masuk Islam.

Hal ini dapat diketahui dari pernyataan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami, “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”

Begitupula para fuqaha (ahli fiqih) berpendapat bahwa hadits KHUSUSNYA pada bagian kisah budak Jariyah yang diriwayatkan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami dianggap sebagai hadits mudhtharib karena pertanyaan dengan matan (redaksi) “Di mana Allah” yang menanyakan keberadaan Allah Ta’ala bertentangan atau melanggar larangan Rasulullah yakni larangan untuk memikirkan atau menanyakan tentang Dzat Allah

Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah“.

Jadi sunnah Rasulullah untuk meyakini keberadaan Allah adalah dengan memikirkan nikmat-nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla.

Oleh karenanya ungkapan-ungkapan seperti,

“Allah wujud (ada) di mana mana”

atau

“apa yang terlihat di mana mana adalah wujud (keberadaan) Allah”

bukan berarti Allah Ta’ala bertempat di mana mana namun maknanya adalah bahwa kita bisa mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Ta’ala serta mengenal Allah (makrifatullah) adalah dengan memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos).

Firman Allah Ta’ala yang artinya

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53)

“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).

Begitupula jumhur ulama dari sejak dahulu kala telah sepakat bahwa sesungguhnya angkat tangan ketika doa itu permasalahan ibadah seperti menghadap Ka’bah dalam shalat, dan meletakkan dahi di bumi dalam sujud, serta mensucikan Allah dari tempat Ka’bah dan tempat sujud, maka langit itu adalah qiblat doa.

Imam Nawawi berkata: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” [Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22]

Imam Al-Hafidh Murtadha Az-Zabidi berkata: “Jika dipertanyakan, ketika adalah kebenaran itu maha suci Allah yang tidak ada arah (jihat), maka apa maksud mengangkat tangan dalam doa ke arah langit ? maka jawaban nya

**** awal kutipan ****
Manakala langit itu adalah tempat turun nya rezeki dan wahyu, dan tempat rahmat dan berkat, karena bahwa hujan turun dari langit ke bumi hingga tumbuhlah tumbuhan, dan juga langit adalah tempat Malaikat, maka apabila Allah menunaikan perkara, maka Allah memberikan perkara itu kepada Malaikat, dan Malaikat-lah yang memberikan kepada penduduk bumi,

dan begitu juga tentang diangkat nya segala amalan (kepada Malaikat juga), dan dilangit juga ada para Nabi, dan langit ada syurga yang menjadi cita-cita tertinggi, manakala adalah langit itu tempat bagi perkara-perkara mulia tersebut, dan tempat tersimpan Qadha dan Qadar, niscaya tertujulah semua kepentingan ke langit, dan orang-orang berdoa pun menunaikan ke atas langit”[Ittihaf, jilid 5, hal 244]
**** akhir kutipan *****

Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi dalam kitab Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih menyampaikan bahwa di antara ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali disalahpahami oleh firqah atau kaum MUJASSIMAH adalah firman Allah

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

aamintum man fiis samaa-i (QS Al Mulk [67]:16)

Berikut kutipan penjelasannya

***** awal kutipan *****
Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna dzahirnya karena dasar kata fis sama dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”; padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun.

Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi (makna dzahir) seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit (bisa jadi sama besar, lebih besar, atau lebih kecil dari langit itu sendiri)

Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
***** akhir kutipan ******

Imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid; “Al Kirmani berkata, مَنْ فِى السَّمَاءِ makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena sisi atas adalah sisi termulia di banding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai isyarat akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat dan sifat-Nya.“

Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya turut menjelaskan perkara yang sama dalam menafsirkan ayat tersebut, yang dimaksud dengan perkataan ‘man’ (siapa) dalam ayat tersebut adalah ‘Allah’ maka tidak boleh dikatakan keberadaan Allah itu di langit karena Allah tidak memerlukan langit tetapi maknanya adalah ‘kerajaan Allah’ bukan ‘Dzat Allah’. Maha suci Allah dari sifat makhlukNya.

Oleh karenanya terhadap firmanNya pada (QS Al Mulk [67]:16) para mufassir (ahli tafsir) telah sepakat menyisipkan “(berkuasa)” agar tidak dipahami “berada” atau “bertempat” sehingga menafsirkannya menjadi,

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?

Berikut kutipan dari tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo buku ke 2 hal 1129, juz 29, Al Mulk [67]:16

***** awal kutipan ******
a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara tashil

man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang di langit

an yakhsifa, (bahwa Dia akan menjungkir balikkan) berkedudukan menjadi badal dari lafaz man

bikumul ardha fa-idzaa hiya tamuuru, (bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang) menjadi gempa dan menindih kalian
****** akhir kutipan ******

Mereka yang mengaku-ngaku TANPA TAKWIL namun pada kenyataannya terhadap ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM, mereka TAKWILKAN dengan ISTAQARRA yang artinya BERADA, BERTEMPAT, MENETAP TINGGI di atas Arsy atau di lain waktu mereka mengatakan di langit ( FIS SAMA’ ) atau bahkan ada yang mengatakan di Sidratul Muntaha sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/07/19/istiwa-ditakwil-istaqarra/

Ustadz Abdul Somad menjelaskan bahwa ada dua cara memaknai ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM yakni

1. Tafwid yakni membiarkan khabar-khabar tersebut sebagaimana datangnya maksudnya membiarkan sebagaimana LAFAZnya dan menyerahkan MAKNANYA kepada Allah Ta’ala

2. Ta’wil dengan MAKNA MAJAZ (makna kiasan) yakni berkuasa karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3)

Ustadz Abdul Somad mencontohkan “Bapak Drs H M. Abdullah Msc duduk di singgasana Walikota selama dua periode” bukan bermakna dia duduk di singgasana sepanjang dua periode namun maknanya dia berkuasa selama dua periode.

Saksikan penjelasan beliau selangkapnya dalam video pada http://www.youtube.com/watch?v=r5MTZUZneBw

Para ahli tafsir (mufassir) telah sepakat menterjemahkan atau mengartikan ISTAWA adalah BERSEMAYAM namun kita harus dapat membedakan antara ARTI dengan MAKNA.

Kata ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM mempunyai dua makna yakni MAKNA DZAHIR dan MAKNA MAJAZ (makna kiasan)

MAKNA DZAHIR dari kata ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM adalah DUDUK atau BERTEMPAT dan tentu MAKNA seperti ini tidak patut atau tidak layak disifatkan bagi Allah Ta’ala karena akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod (akidah).

Makna kata ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM yang patut atau layak disifatkan bagi Allah Ta’ala adalah dalam MAKNA MAJAZ (makna kiasan) atau makna yang tersirat (makna di balik yang tertulis) yakni MENGUASAI karena Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata,

إنَّ اللهَ خلَقالْعرشإظْهارا لقُدرتهولم يتخذْهمكَانا لذَات
(رواه أبو منصور البغدادي في الفرق بين الفرق/ ص : ٣٣٣)

“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” , diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi (W 429 H) dalam kitab al Farq bayna al Firaq (perbedaan di antara Aliran-aliran), hal. 333)

Oleh karenanya para ulama terdahulu membolehkan memaknai ISTAWA yang artinya BERSEMAYAM dengan makna majaz (makna kiasan) seperti ISTAWLA yang artinya menguasai karena tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh.

Contohnya Imam al-Hafizh al-Lughawiy Muhammad Murtadla az-Zabidi al Hanafi (w 1205 H) dalam kitabnya, Ithaf as-Sadah al-Muttaqîn menyebutkan bahwa seorang yang menafsirkan Istawa dengan Istawla tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Menurut Imam az-Zabidi penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah.

Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib”atau “Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).

Dalam Shubah al-Tashbih hal:23 , Ibn al Jawzi juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-qahr”, menguasai.

Al-Qushayri dalam Lata’if al-Isharat, telah menyebutkan : Adapun mengenai singgasana Qalbu, “Kami angkut mereka di daratan dan di lautan” . telah disimpulkan pula bahwasanya : “Dia (Allah) Yang Maha Rahman menetapkan Dirinya sendiri atasnya (`alaihi istawa); sedang mengenai arsy di hati: Yang Maha Rahman menguasainya (`alaihi istawla). Arsy di langit adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk, sedang arsy di hati adalah tempat melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi. Sehingga, ada ada perbedaan besar antara kedua arsy itu” (Lata’if al-Isharat jilid 4 hal:118)”

Imam al-Qâdlî Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab berjudul Idlâh ad-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, hlm. 106-107, menuliskan sebagai berikut:

***** awal kutipan ******
Kemudian jika ia berkata: ”Bukankah Allah menguasai seluruh makhluk-Nya, lantas untuk apa penyebutan arsy secara khusus yang dikuasai oleh Allah?”, kita jawab: Asry disebut secara khusus karena ia adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya, sebagaimana telah disepakati ulama.

Ini seperti penyebutan arsy secara khusus dalam firman-Nya: ”Wa Huwa Rabb al-arsy al-‘Azhîm” (QS. At-Taubah: 129), artinya bahwa Allah adalah Tuhan arsy yang agung, padahal Allah adalah Tuhan bagi seluruh alam ini.

Dengan demikian dapat dipahami jika Allah menguasai makhluk yang paling besar bentuknya, yaitu arsy, maka sudah pasti demikian adanya terhadap makhluk-makhluk yang bentuknya lebih kecil dari pada arsy itu sendiri”.
******* akhir kutipan ******

Jadi pada kenyataannya timbulnya perselisihan adalah dari orang-orang yang melarang taqlid kepada Imam Mazhab yang empat namun mereka taqlid kepada ulama yang mengingkari makna majaz.

Berikut kutipan contoh informasi tentang ulama panutan mereka dari http://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/

***** awal kutipan *****
Sekilas tentang keberadaan majaz dalam bahasa, khususnya bahasa Arab, adalah suatu perkara yang diperselisihkan oleh para ulama.

Ada ulama yang mengingkari keberadaan majaz secara mutlak. Para ulama yang berpendapat demikian, mengingkari keberadaan majaz, baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.

Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah rahimahumallahu. (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115).

Bahkan Ibnul Qayim mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
***** akhir kutipan ******

Makna dzahir disebut juga makna tersurat, makna dari apa yang tertulis, makna hakikat, makna harfiah, makna indrawi. Terkait dengan makna literal atau makna leksikal yakni makna dasar yang terdapat pada setiap kata atau kalimat atau makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lain dalam sebuah susunan kata atau kalimat.

Sedangkan makna majaz disebut juga makna tersirat, makna dibalik yang tertulis, makna kiasan, makna metaforis. Tekait dengan makna kontekstual, makna struktural atau makna yang terkait dengan makna gramatikal yakni makna turunan atau makna kata yang terbentuk karena penggunaan kata tersebut dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata bahasa, seperti afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan atau susunan kata dalam kalimat dan lain lain.

Contoh tangan makna dzahir atau makna kata secara lepas adalah bagian dari anggota tubuh manusia namun ketika bersusunan seperti buah tangan, tangan kanan, tangan besi, ringan tangan mempunyai makna yang berlainan.

Makna hakikat merupakan makna yang dzahir dari satu lafaz.

Sedangkan makna majaz merupakan makna muawwal

Lafaz dipalingkan dari maknanya yang dzahir maka lafaz tersebut dinamakan lafaz muawwal.

Kapankah suatu lafaz boleh dipalingkan dari makna dzahir dan ditakwil atau dimaknai dengan makna majaz ?

Suatu lafaz BARU BOLEH diberi makna majaz APABILA ada satu indikasi yang yang menyebabkan tidak mungkin diterapkan makna dzahir atau makna hakikat, misalnya dalam kalam tersebut makna dzahir atau makna hakikat merupakan makna yang mustahil diterapkan dalam kalam tersebut.

Ulama Hambali, Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi memberikan pedoman cara menghadapi AYAT-AYAT MUTASYABIHAT yakni AYAT-AYAT YANG MEMPUNYAI BANYAK MAKNA terkait sifat Allah yang ditetapkanNya.

Beliau berkata, “Sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maksudnya jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagiNya maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan)”.

Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak takwil dengan makna majaz (makna kiasan) adalah serupa dengan mereka yang berpendapat tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Read Full Post »