Kita pahami bahwa Allah menghendaki agar kita kaum muslim tidak bercerai-berai sebagaimana firmanNya yang artinya,
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai (Ali-Imraan : 103).
Namun saat ini kita temui bahwa kita belum lagi bersatu dan menegakkan Ukhuwah Islamiyah karena terjadinya perbedaan pemahaman/i’tiqad/akidah.
Diantara yang berbeda dengan kaum Ahlussunah wal Jama’ah adalah antara lain yang jumlahnya cukup banyak, kaum Syiah dan kaum Salaf(i) / Wahabi.
I’tiqad/akidah kaum Syiah terlampau banyak perbedaannya dengan Ahlusunnah Wal Jama’ah diantaranya, kaum Syiah hanya mengakui hadits-hadits yang diriwayatkan Saidina ‘Ali, Saidinan Hasan dan Husen dan mereka menolak hadits-hadits dari Saidina Abu Bakar, Umar dan Ustman, apalagi hadits-hadits yang dirawikan oleh Sahabat-sahabat Nabi dari suku Bani Umayyah, semuanya tak diterima.
Sebagian kaum Syi’ah ada yang mempercayai bahwa ruh Imam-imam itu turun temurun, dari Imam Ali turun ke bawah, turun lagi kebawah sampai kepada Imam yang ke 12, sehingga ruh itu menjadi suci.
Di dalam Islam tidak diakui paham “Ruh turun temurun”. Setiap orang mempunyai ruh tersendiri yang akan bertanggung jawab kepada Tuhan bersama jasadnya tentang apa yang mereka kerjakan selama hidup di dunia.
Mereka percaya bahwa Imam itu ma’shum terjaga dari segala kesalahan besar atau kecil. Apa yang diperbuat adalah benar, sedang apa yang ditinggalkan adalah berarti salah.
Bagi kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, khalifah (yang dalam golongan Syi’ah dinamai Imam) adalah manusia biasa yang dapat salah dan lupa. Jadi tidak ma’shum sebagaimana pandangan Syi’ah
Lain lagi kaum Syiah aliran Abdullah bin Saba (Yahudi dari Yaman) yang meyakini Saidina Ali sebagai putera Mahkota dari Nabi Muhammad dan meyakini Ali tidak terbunuh melainkan Ali naik ke langit. Suara guruh dan petir adalah suara Saidina Ali yang marah melihat tindak tanduk Mu’awiyah, kata Abdullah bin Saba.
Salah satu pokok bagi i’tiqad kaum Syiah adalah at-taqiyah yaitu menyembunyikan paham yang sebenarnya dan melahirkan yang lain daripada yang ada dalam hati. Paham at-taqiyah ini sama dengan “membohong”. Bagi kaum Syiah kalau kita takut boleh melahirkan bohong, boleh melahirkan apa yang tidak ada dalam hati. Hal ini betentangan dengan kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tetap beranggapan termasuk golongan orang munafik.
Begitu juga ada perbedaan dengan I’tiqad kaum dengan pemahaman dari Muhammad bin Abdul Wahab atau dikenal dengan nama kaum Wahabi atau kaum Salaf(i).
I’tiqad Muhammad bin Abdul Wahab sepemahaman dengan I’tiqad Ibnu Taimiyah bahkan sebagian orang mengatakan lebih lebih fanatik dan lebih radikal dari Ibnu Taimiyah.
Bagi saya pemahaman Wahabi cenderung menuju sekuler lebih mengutamakan urusan individu terhadap Tuhan dan “menyerahkan” urusan negara bagi penguasa. Sehingga mereka berpegang teguh untuk taat terhadap penguasa walaupun zhalim asalkan masih sholat dan penguasa tidak memerintahkan berbuat maksiat. Kecenderungan ini terjadi karena sikap pragmatis dari Muhammad bin Abdul Wahab..
Berdasarkan sejarah, gerakan da’wah wahabi pada awalnya ditolak dibeberapa tempat. Pahamnya tidak diterima di Basrah juga tidak diterima di “Ainiyah, sehingga ia diusir dari kedua tempat itu oleh penguasa. Guru-gurunya semua termasuk bapak dan kakaknya adalah ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini dapat dibaca dalam, buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi al Wahabiyah” (Petir yang membakar untuk menolak paham Wahabi), karangan kakaknya. Sulaiman bin Abdul Wahab.
Tersebut dalam sejarah, bahwa suatu kali terjadi perdebatan antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan saudaranya Sulaiman bin Abdul Wahab, dalam soal kafir-mengkafirkan ini.
Sulaiman bertanya kepada adiknya: “Berapa, rukun Islam”
Muhammad menjawab: “lima”.
Sulaiman: Tetapi kamu menjadikan enam!
Muhammad: Apa, ?
Sulaiman: Kamu memfatwakan bahwa siapa, yang mengikutimu adalah mu’min dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir.
Muhammad : Terdiam dan marah.
Sesudah itu ia berusaha menangkap kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi Sulaiman dapat lolos ke Makkah dan setibanya di Makkah ia mengarang buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi ‘alal Wahabiyah” yang tersebut di atas tadi.
Dari buku ini kita dapat melihat fatwa-fatwa Muhammad bin Abdul Wahab yang ganjil-ganjil.
Pemahaman Abdullah bin Abdul Wahab sangat berbeda dengan pemahaman jumhur ulama (ulama pada umumnya) namun akhirnya dapat diterima di Dur’iyah.
Raja Dur’iyah bernama Muhammad bin Sa’ud menolong Muhammad bin Abdul Wahab dalam penyiaran paham-pahamnya.
Maka bersatulah dua orang “Muhammad”, yang berlain kepentingan, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Sa’ud.
Muhammad bin Abdul Wahab membutuhkan seorang penguasa untuk menolong penyiaran pahamnya yang baru dan Muhammad bin Sa’ud membutuhkan seorang ulama yang dapat mengisi rakyatnya dengan ideologi yang keras, demi (yang sesuai) untuk memperkokoh pemerintahan dan kekuasaannya.
Maka bersatulah antara paham agama dengan raja, sebagai bersatunya paham Syi’ah di Iran dengan Syah Iran dan bersatunya paham Syi’ah Imamiyah di Yaman dengan “Imam” yang menguasai Yaman (sebelum Republik).
Keturunan Muhammad bin Sa’ud yang akhirnya “menguasai” daerah Hijaz dan sekitarnya sehingga terbentuk Kerajaan Saudi Arabia.
Orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik suka cita melihat pemahaman “nation state” (negara bedasarkan kesatuan bangsa) atau yang lebih kita kenal dengan nasionalisme dapat diterima dan diwujudkan oleh kaum muslim di jazirah arab.
Padahal sejak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjadi kepala negara Daulah Islamiyyah (Negara Islam) pertama di Madinah, ummat Islam hidup dalam sistem aqidah-state (negara berdasarkan kesatuan aqidah) selama bertahun-tahun sampai dengan berakhirnya kesultanan Turki Ustmani pada tahun 1924M.
Hadits yang diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah saw bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan Islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan/hukum dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad).
Contoh ikatan shalat yang terlepas adalah kaum Ahmadiyah tidak mau sholat berjamaah dengan kaum non Ahmadiyah. Ini sebagai contoh memang mereka berbeda dengan kaum Ahlus sunnah wal jama’ah.
Orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik ketika perang dunia dan penyerangan/ peperangan ke negeri/ wilayah muslim melakukan pengrusakan sumber-sumber tulisan, buku-buku karya Imam Muslim terdahulu, manuskrip yang banyak tersimpan di perpustakaan-perustakaan dan pelbagai tempat penyimpanan. Tidak seluruhnya mereka rusak namun mereka mempelajari terlebih dahulu yang mana sesuai dengan maksud/tujuan mereka. Oleh karenanya banyak tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah banyak tersimpan dengan baik di negeri-negeri yang dikuasai orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Merekapun turut membantu menyebarluaskan / penerbitan ulang karya-karya Ibnu Taimiyah yang ulama sejaman dengannya banyak berbeda pendapat dengan harapan terjadi konflik sesama muslim. Mereka turut menyebar luaskan dengan dalih pembaharuan. Sedangkan di luar jazirah Arab mereka menakut-nakuti dan menganjurkan kaum muslim untuk waspada terhadap paham Wahabi. Mereka sejatinya memecah belah umat muslim, “devide et impera” (farriq tasud).
Berpegang teguhlah pada peringatan yang di firmankan Allah yang artinya,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).
Sedangkan kaum Wahabi “mengundang” orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik untuk mendirikan pangkalan militer . Sehingga kaum Wahabi akan tetap menjaga dan melindungi mereka dengan dalil terikat perjanjian (al-mu’âhad).
Kaum Wahabi meneruskan “perjanjian” pengolahan minyak bumi yang membuat kekayaan orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik makin bertambah sehingga mereka sanggup membiayai persenjataan untuk mengganggu kehidupan dan membunuh saudara-saudara muslim kita dipelbagai negeri muslim.
Hal serupa terjadi pula di negeri kami Indonesia, dimana pemerintah selalu meneruskan “perjanjian” pengolahan minyak bumi, hasil alam, hasil tambang lainnya yang merupakan karunia Allah, sehingga membuat kekayaan orang-orang Yahudi dan orang Musyrik bertambah banyak. Sehingga bertolak belakang dengan slogan “mendukung” saudara-saudara muslim yang sedang terjajah di negeri lain. Hal ini membuat pemimpin / penguasa menjurus kepada golongan orang munafik. Naudzubillah min zalik. Semoga Allah memberikan kekuataan kepada para pemimpin / penguasa untuk dapat mentaatiMu dan Rasulullah serta berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits.
Perbedaan pemahaman antara Wahabi dan kaum Ahlussunnah Wal Jamaah ini yang dapat kita lihat dalam hal “pembiaran” masalah Palestina. Walaupun Kerajaan Arab Saudi dan negara lain-lain yang tergabung dalam OKI sebenarnya mempunyai “kekuasaan” untuk menegakkan kebenaran terhadap masalah Palestina tidak lagi selemah-lemahnya bantuan hanya dengan doa semata.
Bagi kaum Wahabi, saudara-saudara muslim yang berjuang di Palestina (seperti HAMAS) adalah mereka yang tidak mengikut ajaran Islam yang sebenarnya, bahkan mereka juga termasuk Ahlul Bidaah. Oleh karenanya fatwa-fatwa mufti Wahabi menyerukan (bahkan cenderung memastikan) bahwa saudara-saudara muslim yang berjuang di Palestina untuk bertobat.
Bagi kaum Wahabi, faktor penyebab berkuasanya kaum kuffar terhadap kaum muslimin adalah semata-mata kelemahan dan pertikaian pada kaum muslimin itu sendiri, mendurhakai perintah Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dan hasrat mereka terhadap dunia yang lebih didahulukan.
Bahkan sebagian kaum Wahabi menuduh mereka berperang dgn Yahudi hanya karena tanah (hasrat terhadap dunia) bukan agama.
Sesungguhnya yang membuat Wahabi menjaga jarak dengan kaum Ahlu sunnah wal jamaah adalah salah satunya karena perbedaan pemahaman tentang bid’ah.
Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya
Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)
Arti kata-kata “dalam urusan kami” ialah urusan keagamaan, karena Nabi Muhammad Saw, diutus Allah untuk menyampaikan agama. Maka dari hadist ini dapat diambil pengertian bahwa kalau dalam urusan kedunian atau ghairu mahdah boleh saja diadakan asal tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Hal lain perbedaan kaum Wahabi dengan kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keenganan mereka untuk berkelompok / berjama’ah / jama’ah minal muslimin karena kekhawatirkan akan terjadinya fanatik tahazzub (bergolong-golongan), hizbiyyah yang memecah belah kaum muslim. Padahal Allah mewajibkan kita berjamaah sesuai firmanNya yang artinya,
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai (Ali-Imraan : 103).
Agak aneh kita temui dalam terjemahan Al-Qur’an akhi-akhir ini kalimat “secara berjama’ah” tidak dicantumkan.
Turunnya ayat ini, suatu ketika Syas Ibn Qais seorang Yahudi melihat Suku Aus dengan Suku Khazraj duduk bersama dengan santai dan penuh keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais tidak suka melihat keakraban dan kedamaian mereka, lalu dia menyuruh seorang pemuda Yahudi duduk bersama Suku Aus dan Khazraj untuk menyinggung perang “Bu’ast” yang pernah terjadi antara Aus dengan Khazraj lalu masing-masing suku terpancing dan mengagungkan sukunya masing-masing, saling caci maki dan mengangkat senjata, dan untung Rasulullah SAW yang mendengar peristiwa tersebut segera datang dan menasehati mereka: Apakah kalian termakan fitnah jahiliyah itu, bukankah Allah telah mengangkat derajat kamu semua dengan agama Islam, dan menghilangkan dari kalian semua yang berkaitan dengan jahiliyah?. Setelah mendengar nasehat Rasul, mereka sadar, menangis dan saling berpelukkan.
Sesungguhnya keenganan berjamaah adalah mendukung paham orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik, akan bersandar pada kekuatan individu. Sebagaimana mereka mensosialisakan demokrasi pemilihan langsung oleh rakyat/individu padahal kita lebih baik secara perwakilan (ahlul halli wal ‘aqdi) atau bersandar pada jama’ah yang berkompeten, berilmu dan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits.
Dirikanlah jama’ah minal muslimin dengan semangat Ukhuwah Islamiyah dan dalam harapan terwujudnya jama’atul muslimin disaat Allah menghendakinya nanti.
Sekali lagi, mari kita tegakkan Ukhuwah Islamiyah tanpa memandang bangsa, suku, ras, warna kulit, negara, wilayah, kerajaan, aliran, manhaj, metode, madzhab, golongan, tarekat, kelompok maupun jama’ah. Kita bersatu dalam kesatuan akidah Islam dan bersaudara sesama muslim.
Berikut pegangan kita untuk saling mengasihi dan bersaudara karena Allah,
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” ( Qs. Al-Hujjarat :10)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs Al-Hujurat : 13)
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai. Apakah tidak perlu aku tunjukkan pada satu perkara, jika kalian melakukannya maka niscaya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian! (HR. Muslim).
”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf ayat 67)
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat mereka yang bukan para Nabi maupun para Syuhada, namun para Nabi dan para Syuhada cemburu dengan mereka di hari kiamat karena kedudukan mereka di sisi Allah.” Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, kabarkanlah kepada kami, siapakah mereka? “ Beliau bersabda: ”Mereka adalah kaum yang saling mencinta dengan ruh Allah, mereka tidak diikat oleh hubungan keluarga di antara mereka maupun harta yang mereka kejar. Maka, demi Allah, sungguh wajah mereka bercahaya, dan mereka di atas cahaya. Mereka tidak takut saat manusia ketakutan. Dan mereka tidak bersedih saat manusia bersedih.” Lalu beliau membacakan ayat: ”Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak merasa takut dan tidak bersedih hati.” (HR Abu Dawud 3060)
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
Sesunguhnya kelak di Hari Kiamat Allah akan berfirman, “Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan memberikan naungan kepadanya dalam naungan-Ku disaat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku”
Jalinan persaudaraan yang ada antara kaum muslimin adalah jalinan yang lahir akibat adanya persamaan yang mendasar antara kita, yaitu persamaan akidah tauhid yang terwujud melalui dua kalimat syahadat, dengan demikian seluruh yang mengucapkan dua kalimat syahadat menjadi bersaudara.
Ukhuwah Islamiyah memiliki peranan yang penting bagi kehidupan muslim. Sehingga syareat Islam menggariskan beberapa aturan agar hubungan sesama kaum muslimin selalu Bagai tanaman yang harus dipupuk dan disiram, begitu pula ukhuwah Islamiyah haruslah dijaga dan dikokohkan.
Sekali lagi, marilah kita teguhkan Ukhuwah Islamiyah apapun suku, ras, warna kulit, negara, wilayah, kerajaan, aliran, manhaj, metode, madzhab, golongan, tarekat, kelompok maupun jama’ah.
Klo kita bersatu maka akan ada kekecewaan dikalangan orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan besar bagi orang-orang mukmin.
Orang-orang yang mempunyai rasa permusuhan besar adalah yang sesuai dengan firman Allah yang artinya,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (Al Maaidah: 82).
Jadi sekali lagi harus diingat bahwa yang mempunyai rasa permusuhan yang besar terhadap orang mukmin bukanlah sesama muslim.
Juga marilah kita “periksa” pemahaman / i’tiqad / manhaj / metode masing-masing agar kita mendapatkan kebahagian akhirat kelak.
Jika sepanjang hidup dengan paham / i’tiqad / manhaj yang dipilih ternyata hanya disibukkan dengan “pembenaran”, “mencari-cari” dalil semata sehingga tidak menegakkan/mendapatkan kebenaran sejati. Sebagaimana Saidina Ali mengingatkan, “kalimatu haqin urida bihil batil” yang artinya perkataan/dalil yang benar dengan tujuan yang salah atau perkataan/dalil yang benar untuk maksud / tujuan yang “lain”.
Sekali lagi marilah kita berjalan diatas “kebenaran” dengan merujuk pada Al-Qur ‘an dan Hadits dan hindarilah berjalan diatas “pembenaran” dengan Al-qur’an dan Hadits karena akan membuat anda lelah dan merugi.
Wassalam
Catatan :
Pemahaman penulis, Wahabi berbeda dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah walaupun mereka mengakui sebagai/termasuk Ahlussunnah Wal Jama’ah atau mereka mengakui sebagai Ahlussunnah saja.
Tulisan terkait bacalah bahaya laten
Link terkait yang perlu kajian lebih lanjut dan otentifikasi (periksa kebenarannya).
Dinasti SAUD satu trah dengan Yahudi (Diterjemahkan secara bebas dari sebuah naskah berbahasa Arab berjudul “Aly Sa’ud, Min Aina? wa Ilaina?” yang ditulis oleh Muhammad Sakher) naskah arabnya bisa di unduh di : http://www.4shared.com/office/MfDzN5mn/______.html
Prinsip saya mah: ambil dalil yg terkuat sesuai Al Qur’an dan As-Sunnah dari manapun itu keluarnya, sehingga tdk menyamaratakan penilaian terhadap suatu aliran/golongan/manhaj.
Kalau Syiah’ ok lah menyimpang sesat, karena tdk mengakui sahabat abu bakar dan umar bin khotob rodiyallohu anhuma, tapi itu juga perlu kajian /penelitian ilmiah apakah semuanya seperti itu (syiah imammiayh, rafidhoh, syiah zaidiyyah,dll).
Mengenai wahabi, mereka sendiri sebenarnya tdk mau dikatakan wahaby, tapi hanya orang2 diluar mereka lah yg menyebutnya, dan ini aneh . Kalau syiah memang mereka mengakui sebagai syi’ah. Oleh karena itu sya mencoba mempelajari beberapa fatwa ulama2 arab saudi yg lebih dikenal dg salafy, akan tetapi fatwa mereka tdk seperti tuduhan dari orang2 yg menjadi lawannya, >>>>>> justru mereka mengajak kembali kepada AL QUr’an dan A-Sunnah seperti pemahaman 3 generasi terbaik umat ini (sahabat, tabiin, dan tabiut tabi’in) dengan kemampuan ijtihad mereka, karena seperti kita ketahui universitas2 di arab saudi seperti univ madinah, dll, yg banyak org indonesia menimba ilmu disana, termasuk pendiri PKS DR. Hidayat Nur Wahid (jelas beliau tahu seluk beluk pemahaman islam di arab saudi) dari situlah banyak lahir ulama termasuk ahli hadits.
Dengan kemampuannya ulama ahli hadits ini, mreka mentahqiq(meneliti ulang) kitab 2 ulama terdahulu seperti al adzkaar (imam nawawi) menurut keimuan yg mereka kuasai ada beberapa hadits yg lemah dan palsu sehingga perlu dikeluarkan dari kitab itu, Hal ini sering menjadi fitnah bahwa salafy sering mereduksi/memalsukan kitab2 para ulama, sebenarnya Tidak sudarakau, justru mereka meneliti ulang, apakah salah jika ada ulama melakukan penelitian hadits dan berijtihad mengenai kesimpulan mengenai hadits itu palsu , lemah, shahih, hasan, menurut keilmuan mereka…????, sya kira tdk masalah, yg penting ilmiah dpt dipertanggungjawabkan scara ilmiah/akademik. Sehingga kesimpulannya ada pada kita , apakah sepakat dg mereka, atau tidak, kan tinggal begitu saja. kalau tidak ya sudah tdk apa2, tetapi tdk boleh sesama muslim saling menghujat/memfitnah sebelum kita ketahui secara pasti dan ilmiah ajaran suatu aliran itu.
Adapun beberapa hal seperti penyampaian yg terlalu keras, ingin menang sendiri, itu sifat manusiawi dan itu tdk bisa mengukur salah atau benar apa yg disampaikannya itu. Bisa jadi isinya benar, namun manusianya kurang mengetahui lbh dalam etika kehidupan sosial. nah hal ini jangan sampai kita buta dalam melihat kebenaran itu.
Adapun jika ada yg salah , maka ya tdk usah kita ikuti, sehingga muhammadiyyah, persis, pks/ikhwanul muslimin pun banyak sepakat dg salafy khususnya mengenai beberapa syari’at dan akidah, tetapi tdk sepakat mengenai urusan pemerintahan dan etika kehidupan sosial. (semoga bermanfaat)
Mas Heri Sopari,
Pada hakikatnya lebih baik dan selamat kita mengikuti pemahaman atau pendapat Imam Mazhab yang empat sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya (Imam Mujtahid Mutlak) yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh.
Kita mengikuti Imam Mazhab yang empat beserta penjelasan dari ulama-ulama pengikut mereka sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Begitupula kita dalam belajar agama, di dunia maya melalui media internet maupun di dunia nyata melalui buku, tulisan atau mengaji kepada ulama , pastikanlah apa yang disampaikan bersumber dari pemahaman atau pendapat Imam Mazhab atau pastikan penulis atau pendakwahnya bermazhab dengan salah satu Imam Mazhab yang empat.
Sebaiknya janganlah mengikuti pemahaman ulama yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun kenyataannya mereka tidak bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh. Darimana mereka mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh kalau bukan pemahaman mereka sendiri dengan akal pikiran mereka sendiri.
Sebaiknya jangan pula mengikuti pendapat ulama yang berasal dari perkataan atau kitab Imam Mazhab yang empat namun telah ditahrif atau dipahami oleh ulama bukan pengikut Imam Mazhab dengan akal pikiran mereka sendiri.
Rasulullah telah melarang kita untuk memahami Al Qur’an dengan akal pikiran kita sendiri
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah.
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.
Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaikannya.
Hal yang akan dipertanyakan terhadap sebuah pendapat / pemahaman seperti :
“Apakah yang kamu pahami telah disampaikan / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam” ?
“Siapakah ulama-ulama terdahulu yang mengatakan hal itu” ?
“Dari siapakah mendapatkan pemahaman seperti itu” ?
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.
Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan agama kepada Sahabat. Sahabat menyampaikan kepada Tabi’in. Tabi’in menyampaikan pada Tabi’ut Tabi’in. Para Imam Mazhab yang empat, pemimpin / imam ijtihad kaum muslim pada umumnya, mereka berijtihad dan beristinbat berlandaskan hasil bertalaqqi (mengaji ) pada Salafush Sholeh
Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ra
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra
Jumhur ulama dari dahulu sampai sekarang telah sepakat bahwa perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat hanyalah dalam masalah furuiyah (cabang) bukan pada masalah pokok seperti pemahaman dalam i’tiqod (akidah). Perbedaan pemahaman yang tidak menimbulkan perselisihan, seperti saling menyesatkan , saling mengkafirkan atau saling membunuh. Imam Mazhab yang empat tidak pernah menyesatkan Imam Mazhab sebelumnya.
Ada timbul perselisihan dari mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Imam Mazhab yang empat namun pemahaman mereka menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat, seperti membangga-banggakan mazhabnya.
Contoh nasehat Imam Mazhab yang empat, jika sholat berjama’ah maka ikutilah mazhab yang dipergunakan oleh Imam Sholat. Andaikanpun terjadi kesalahan pada Imam Sholat, tidak ditanggung oleh makmumnya.
Hadits yang diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Jika pemahaman agama baik dan benar, sesuai sebagaimana asalnya dari Tuhan maka tidak akan menimbulkan pertentangan atau perselisihan yang menimbulkan perbuatan saling menyesatkan, saling mengkafirkan atau saling membunuh.
Firman Allah Azza wa Jalla,
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa 4 : 82)
Mereka yang pemahaman agamanya berdasarkan akal pikiran sendiri boleh jadi akan timbul pertentangan atau perselisihan yang menimbulkan perbuatan saling menyesatkan, saling mengkafirkan atau saling membunuh seperti contohnya yang dapat kita ketahui dari
Klik untuk mengakses Muhammad_Sewed_di_Gugat.pdf
Klik untuk mengakses
http://isnad.net/dialog-luqman-hizbi-firanda-sururi
http://isnad.net/?dl_name=dzulqornain_yayasan.rar
Klik untuk mengakses dzul-akmal-undercover.pdf
http://www.facebook.com/note.php?note_id=255000094557451
http://www.facebook.com/notes/padepokan-kanjeng-sunan/buku-sms-abu-abu-salafi-melawan-salafi-al-bani-vs-bin-bas-utsaimin/248700811863777
http://www.wattpad.com/397024-salafy-haraky-vs-salafy-yamani-vs-salafy-sururi
http://semogakamiselamat.wordpress.com/2011/11/07/point-point-kesesatan-para-penyembah-thogut-radio-rodja/
Mereka yang pemahaman agamanya berdasarkan akal pikiran sendiri “memerangi” orang beriman sebagaimana yang dialami oleh mufti mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah yang mempertahankan fatwa bahwa Niqab ( Cadar / Purdah) adalah suatu kebiasaan yang di bolehkan dan bukan merupakan satu kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) sebagaimana kesepakatan jumhur ulama bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat bagi perempuan. Hal ini diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/30/hukum-penutup-muka/
Mereka yang pemahaman agamanya berdasarkan akal pikiran sendiri “memerangi” orang beriman sebagaimana perintah ulama mereka dalam kitabnya berjudul “al-Majmu’ al-mufid min ‘Aqidati al Tauhid” hal. 55
لاينفع اسلامكم اذا أعلنتم الحرب العشواء على هذه الطرق الصوفية فقضيتم عليها قاتلوا هم قبل أن تقاتلوا اليهود والمجوس
“Tidak berguna Islam kalian sebelum kalian mengumumkan perang terhadap torikoh sufi dan kalian membantainya, perangilah mereka sebelum memerangi yahudi dan majusi”
Contoh lain mereka yang pemahaman agamanya berdasarkan akal pikiran sendiri “memerangi” orang beriman bahkan membunuh saudara muslimnya sendiri sebagaimana yang terurai dalam tulisan pada http://www.aswaja-nu.com/2010/01/dialog-syaikh-al-syanqithi-vs-wahhabi_20.html atau pada http://www.facebook.com/photo.php?fbid=220630637981571&set=a.220630511314917.56251.100001039095629
Oleh karenanya lebih baik dan selamat kita mengikuti pemahaman/pendapat Imam Mazhab yang empat, pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya (Imam Mujtahid Mutlak) karena mereka bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salafush Sholeh.
Untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah, marilah kita bertalaqqi (mengaji) kepada ulama-ulama yang mengikuti pemahaman Imam Mazhab yang empat. Jika kita membaca tulisan baik didunia maya maupun nyata melalui kitab/buku maka pastikanlah sumbernya berasal dari pemahaman/pendapat Imam Mazhab yang empat.
Cara lain agar selamat adalah mengikuti pendapat/pemahaman para Habib dan para Sayyid yang sholeh, ahli ba’it , keturunan cucu Rasululah , mereka yang dapat pengajaran agama turun temurun dari orang tua-orang tua mereka terdahulu tersambung kepada lisannya Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Namun kita harus bisa bedakan antara ahli bait, keturunan cucu Rasulullah dengan mereka yang mengaku-aku sebagai pengikut Imam Sayyidina Ali ra
Mereka yang mengaku-aku sebagai pengikut Imam Sayyidina Ali ra, juga korban hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi.
Imam Sayyidina ‘Ali ra berkata: aku bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah ciri-ciri mereka? Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka menyanjungimu dengan sesuatu yang tidak ada padamu”.
Nasib Abdullah bin Saba’ pada akhir hayatnya menjadi orang buangan, yang dibuang oleh Sayyidina Ali ra setelah beliau menjadi Khalifah keempat, Beliau marah karena dia membuat fitnah atas diri Beliau, dia akhirnya dibuang ke daerah Madain.
Kelompok Abdullah bin Saba’ ini terpisah menjadi 2 ( dua ) kelompok besar, yaitu :
1. Kelompok yang menyatakan bahwa sesungguhnya Sayyidina Ali ra adalah Allah sendiri yang menciptakan segala sesuatu dan memberi rizki. Dalam hal ini, Sayyidina Ali ra mengajak mereka berdialog, namun mereka ternyata bersikeras mempertahankan pendapatnya. Maka akhirnya Sayyidina Ali ra membakar orang– orang yang diketahui dari golongan mereka dengan api. Kemudian golongan mereka berkata : “Seandainya Ali bukan Allah itu sendiri tentu ia tidak membakar mereka dengan api. Karena sesungguhnya tidak akan melakukan pembakaran dengan api kecuali Tuhan.” Mereka berkeyakinan bahwa Ali akan menghidupkan mereka, setelah ia membunuh mereka. Mereka inilah orang-orang yang membawa kepercayaan bahwa tuhan melakukan penitisan kepada makhluknya beserta cabang-cabang kepercayaan ini meliputi faham-faham yang sesat.
2. Kelompok yang memberontak terhadap Sayyidina Ali ra setelah terjadinya perang Shiffin. Mereka juga menuduh Ali Kafir, karena beliau telah menghentikan peperangan dan menyetujui Tahkim dengan kitabullah dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi Sayyidina Ali ra dan Muawiyah ra. Sebagian dari mereka juga ada yang mengkafirkan ketiga orang Khalifah sebelum Sayyidina Ali ra. Mereka ini telah membunuh seorang Tabi’in besar yang bernama Abdullah bin Khobbab ra dan istrinya, karena ia memuji keempat Khulafaur Rasyidin. Kemudian ketika Sayyidina Ali ra meminta agar mereka menyerahkan para pembunuhnya, mereka menolak sambil berkata: “Kami semua ikut membunuh mereka dan kami semua menganggap halal terhadap darah-darah kalian dan darah-darah mereka semua.”Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh juga korban hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh terhasut oleh kaum Zionis Yahudi sehingga mereka memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan pada belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah). Mereka “meninggalkan” pendapat/pemahaman Imam Mazhab yang empat, pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya (Imam Mujtahid Mutlak) yang bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salafush Sholeh.
Salah satu penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf. Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.
Kaum Zionis Yahudi juga menghasut kaum SEPILIS (sekulerisme, pluralisme, liberalisme) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran sendiri, yang dikatakan oleh mereka sebagai pemahaman yang menyesuaikan dengan keadaan zaman (modernisasi/pembaharuan) atau pemahaman bersifat pragmatis (kepentingan). Sebagaimana contoh diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/28/mengangkat-taimiyah/
Sebenarnya mereka bukan memahami berdasarkan akal pikiran sendiri. Imam Ahmad bin hambal pun bilang: hendaknya kita ini jangan mengikuti Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Syafii, tetapi ambilah dari sumber mereka mengambil (AL QUr’an dan As-Sunnah), begitu juga Imam Syafii bilang: Jika hadits itu shahih maka itulah madzhab ku, coba direnungkan Imam AHli Hadits ( Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim , dll) lahir setelah imam Syafi’i, jadi peluang fatwa Imam Syafii berbeda dg hadits shahih itu tetap ada. Jadi mereka hakikatnya mengikuti apa yg para imam sampaikan, yaitu pelajari Al Qur’an dan As-Sunnah, Ijtihad tidak tertutup pada Imam Mazhab saja, siapapun kalau memenuhi syarat bisa juga berijtihad, dan para ulama arab saudi (salafy), mesir(al azhar/ikhwanul muslimin), Indonesia (Muhammadiyyah, Persis, NU), Jordania (Hizbut Tahrir), dan lain yg lainnya berlainan fatwanya, siapa yg benar…??? ya yg mengikuti AL Qur’an dan As-Sunnah( dan itu bisa jadi beberapa hal sama dg Imam Madzhab yg 4 bisa juga tidak dalam hal2 tertentu) dan ini tidak haram, selama dalilnya Shahih. Jadi ukurannya bukan mazhab, tapi dalil yg shahih yg bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah/keilmuan. (Adapun untuk org awam, ya…apa yg Mas sampaikan dlm beberapa komentar , yaitu bermadzhab, itu tdk salah, dan bahkan ada yg menganjurkan,…menurut sya itu silahkan saja, asal jangan fanatik madzhab yg akhirnya satu sama lain mengklaim paling benar yg akhirnya perpecahan / terkotak kotaknya umat ini yg terjadi)
Kita ketahui bahwa ke 4 Imam Madzhab itu merupakan ahli fikih, sedangkan dunia ini tdk hanya bergulat dibidang fikih (ibadah/amal ketaatan), perlu bidang lainnya yg harus dikaji sesuai syariat (contoh pemerintahan/khilafah, perlu dikaji ulang untuk menegakkan khilafah, karena hal ini adalah fardlu kifayah). Sistem demokrasi di Indonesia perlu dibenahi, ada yg masuk lewat partai, diluar partai, atau memupuk umat dulu dg tauhid, dsb. Coba bagaimana jika ada UU/ Peraturan Pemerintah yg bertentangan dg Syari’at, maka perlu umat ini yg berjuang untuk membuat perubahan ke arah yg lbh baik sesuai syari’at.
yahudi, amerika dan sekutunya menghancurkan palestina, sehingga butuh bantuan baik materil atau bahkan bantuan jihad dari negara2 yg notabenenya bermayoritas muslim, nah Al Qaeda yg saat ini berani melawan Musuh Umat ini (AMerika Cs), dimata Allah bisa jadi mereka lah umat Islam yg paling baik. Mesir dg ikhwanul muslimin nya…saat ini akan segera bangkit, dan hal ini sangat membuat cemas israel. kalau kita hanya ngurusin perbedaan pendapat yg sebenarnya menurut sya masih bisa saling toleransi, dan memperbaiki diri masing2, maka Yahudi dan Nasrani akan senang. Menjaga persaudaraan itu lebih utama.
Masalah cadar: sya pun tdk sepakat itu wajib. Syaikh Nashiruddin AL -ALbani pun hanya menyatakan sunnah, sedangkan Syaikh Bin Baz dan Fatwa Ulama salafy mereka menyatakan wajib, kenapa…????karena menurut mereka, kita harus menjaga dari zina, sedangkan kita ketahui kalau laki2 melihat wajah wanita, mau2 tdk mau pasti ada bujukan syetan, nah mereka berijtihad untuk menjauhi perkara besar/zina/mendekati zina, maka menurut ushul fiqh “perkara2 yg menudukung kpd yg wajib maka hal itu juga menjadi wajib” < bukankah menjauhi zina itu wajib…??? sementara menurut ulama saudi, muka/bibir wanita itu bisa menimbulkan/menyebabkan asal muasal dari perbuatan zina…., sehingga wajib juga untuk menutupnya. Menurut sya …tidak masalah kalau memang mereka berijtihad seperti itu, ya tdk apa2, justru itu lebih utama. Adapun yg tdk sepakat ya ..tdk masalah juga….(diantara ulama salafy pun ada yg berbeda pendapatnya …)
Jadi perbedaan ini akan nampak indah sebenarnya kalau kita saling menghargai/saling menghormati. Kalau pendapat kita A, sementara yg lain B, maka janganlah saling menyesatkan sesama saudara. Kita hanya wajib menyampaikan saja, jangan dipaksakan, kalau dipaksakan maka akan terjadi permusuhan dan kita liat saat ini, kecuali nanti kalau ada Khilafah, maka sang khilafahlah yg akan memutuskan Salafy dan Tasawwuf keduanya saling serang…, sementara Ikhwanul muslimin/PKS, Muhammadiyyag, Persis, MMI, Hizbut Tahrir, meskipun berbeda tapi mereka berada ditengah tengah(tidak mengutamakan perbedaan itu), dan ini lah dakwah secara ikhsan itu.
Maaf seharusnya :
khilafahlah yg akan memutuskan. Salafy dan Tasawwuf keduanya saling serang…, sementara Ikhwanul muslimin/PKS, Muhammadiyyag, Persis, MMI, Hizbut Tahrir, meskipun berbeda tapi mereka berada ditengah tengah(tidak mengutamakan perbedaan itu), dan ini lah dakwah secara ikhsan itu.
O Ya Mas, mohon balasan komentarnya untuk Tauhid di bagi 3 itu. T Kasih . Jazakumullah khoiron katsiro
Mas Hery, hal itu sudah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/05/05/tauhid-jadi-tiga/
Pada hakikat pemahaman tauhid jadi tiga adalah salah satu cara membenarkan bahwa kaum non muslim termasuk orang beriman (bertauhid) padahal mereka tidak termasuk orang beriman sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/23/2010/10/27/orang-orang-beriman/
Menurut sya tidak seperti itu, tauhid itu harus didukung 3 aspek:
1. Mengakui Tuhan yg menciptakan, memberi rizki, mengatur alam semesta, dll hanya Allah SWT.
2. Beribadah hanya kepada Allah SWT
3. Beriman dan Meyakini Asma dan Sifat Allah yg ada di AL Qur’an dan AL Hadits.
jadi meskipun kaum musyrikin mekah pada waktu itu (ada dlm Al QUr’an) mengakui bahwa Allah lah satu2nya yang meniciptakan, pada hakikatnya mereka belum bertauhid karena tidak memenuhi ke 3 aspek diatas (tidak beribadah kpd Allah, dan tdk Mengakui Asma dan Sifat Allah). Sehingga non muslim tidaklah menjadi org yg beriman krn tidak memenuhi 3 aspek.
Yang sya ingin komentar nya dari Mas adalah mengenai Aspek yg ketiga (Asma dan Sifat Allah SWT), yang mengatakan bahwa ibnu taimiyyah mujassimah atau musabihhah, INI MENURUT SYA perlu di cermati ulang, mohon tanggapannya thdp Komentar sya dibawah ini, t kasih.:
1) Menyamakan Alloh dg makhluknya merupakan hal yg terlarang.
Imam Malik ketika ditanya ttg Istiwa, dia tidak mengatakan istiwa itu “duduk” maknanya. Tetapi istiwa itu sifat Allah, kita tdk boleh memaknainya dg penyerupaan thdp makhluk.
Mas pernah menulis:
“”Jangan disalahpahami bahwa Imam Malik melegalisasi kita untuk memaknakan bahwa Allah benar-benar bersemayam atau duduk di atas arasy hanya karena beliau mengatakan; al-istiwa’ ghoiru majhul, namun maksud Imam Malik adalah bahwa istiwa telah jelas penyebutannya (dalam Al Qur’an). Hal ini sama dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an.””
IbnuTaimiyyah dan ulama yg sepakat dg dia sya kira tidak mengatakan makna istiwa itu duduk. Istiwa ‘alal ‘arsy adalah sifat Allah dan kita yakini itu karena ada dlm Al Qur’an, tanpa menanyakan maknanya atau caranya seperti apa. apakah berbeda..?? ketika ada ayat al qur’an “Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman : 27), kita katakan itu sifat Allah, dan kita tdk boleh memaknainya dan tidak boleh menyerupakannya dg makhluk. Ini jelas ada di Al Qur’an, kita yakini keberannya, namun sekali lagi kita tdk boleh menanyakan caranya, menyerupakan dg makhluk.
Sifat Allah : Wajhullah , Asma Allah , kekuatan /kekuasaan Allah
wajah, nama, kekuasaan dan kekuatan ketiganya dimiliki makhluk juga. Namun bukan berarti serupa/ menyerupakan, jelas ini salah dan dosa, Apakah kita akan meniadakan Nama Allah atau Kekuasaan Allah , seperti pengingkaran thdp Wajhullah…???
Menurut Ibnu Taimiyyah : tidak boleh menyerupakan sifat Allah dg makhluk, tidak boleh menghilangkan/mengingkari sifat Allah, tidak boleh memalingkan maknanya diganti dg makna lain seperti Yadullah dg kekuasaan (padahal sama saja makna kekuasaan itu dimiliki juga oleh manusia, tapi sekali lagi bukan berarti sama/serupa (naudzubillahimindzalik, Maha Suci Allah ), namun disatu sisi kita juga bisa dikatakan mengingkari sifat Allah kalau tidak mau mengakui Sifat Allah yg ada di Al QUr’an.
Allah SWT mempunyai Dzat , akan tetapi kita tidak boleh menanyakan bagaimana bentuknya. Sementara yg ada di AL Qur’an adalah Sifat Allah yg telah Allah informasikan kpd ummat ini, Tetapi kita tdk boleh menanyakan, mnyerupakan dan menyamakan bentuk / tatacaranya seperti apa , karena hal ini bid’ah. (Wallohu A’lam), semoga Allah memberi petunjuk kpd Kita smua.
2). Perlu dalil dari As-Sunnah/hadits untuk memalingkan/merubah makna dari sifat2 Allah SWT, tapi saya kira salafus shalih pun tdk prnah menanyakan hal ini, karena buat mereka sudah jelas tdk ada keraguan lagi mengenai sifat2 Allah SWT :
beberapa ayat perlu dicermati :
1. Istiwa kalau dibaca ya tetap istiwa, kalau diterjemahkan tetap istiwa
ستوى لعرشا على الرحمن ;
Arrahmaanu ‘Alal Arsyistawa (Thaha : 5)
artinya ; Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam/istiwa’ di atas `Arsy.
Kita tdk boleh merubah makna istiwa dg istaula atau dan lain2, kita wajib meyakini ayat ini benar (Allah istiwa diatas arsy) . Istiwa sering diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bersemayam, tapi kita tdk boleh menyerupakan dg makhluk yaitu bersemayamnya Allah seperti bersemayamnya manusia (ini bid’ah dan sesat), apalagi mengatakan bahwa duduk seperti duduknya manusia (itu jelas tasybih). Jadi tasybih itu penyerupaan bentuk/tatacara sifat2 Allah dg makhluknya. Adapun menetapkan sifat Allah seperti istiwa, hal ini adalah benar adanya sesuai Al Qur’an dan kita tidak menghilangkan sifat Istiwa’nya Allah diatas Arsy, namun tatacaranya hanya Allah yg Tahu, dan kita dilarang menanyakan, atau menyerupakan dg tatacara makhluknya. Begitu juga dg ayat2 dibawah ini.
2. Wajhullah kalau dibaca ya tetap wajhullah,, kalau diterjemahkan tetap Wajhulloh والإكرام جلال الذو ربك وجه ويبقى (Wayabqo Wajhurobbika Dzul Zalaali wal ikroom: Arrahman : 27) . Yg tidak boleh adalah menyerupakan wajah Allah dg Makhluknya, ini yg terlarang./kufur. Adapun menetapkan sifat Allah (wajhullah) , hal ini sama dg Istiwa yaitu sesuai dg Al Qur’an. Namun Maknanya/tatacaranya/bentuk dzatnya Hanya Allah yg Tahu, dan kita dilarang menanyakan itu.
3. bi Yadayya, pasti kita baca Bii Yadayya (bukan diubah jadi bii quwwata ), kalau diterjemahkan secara dzohir pasti Bi yadayya (kedua tanganku), kalau diterjemahkan menjadi quwwata : maka harus ada dalil dari Al QUr’an dan As-Sunnah.
, , بيدي خلقت لما أتسجد نأ منعك ما بليس يا قال العالين من كنت أم ستكبرتإ
(Qoola yaa iblisu maa mana’aka antasjuda limma kholaqtu bi yadayya astakbarta am kunta minal a’lamiin)
artinya : Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. (Shad : 75)
Coba direnungkan dan difikirkan secara jernih : apakah kalimat bi Yadayya harus diubah dg bi Quwwah/dg kekuatan-Ku. Hanya karena takut menyerupakan Allah dg Makhluk…???, sekali kali tidaklah berarti menyerupakan Allah dg makhluk ketika kita menyifatkan sifat Allah sebagaimana sifat yg ada dimakhluk. Allah punya nama (asmaul husna), kekuatan/kekuasaan/ mendengar (sifal As-Sami’), melihat (Al Bashar), manusia pun punya itu smua namun BERBEDA/TIDAK SAMA/TDK SERUPA dg Kepunyaan Allah SWT (baik sifat Bentuk / tatacaranya), . Yang dilarang itu menyerupakan Allah , seperti kita katakan Wajah Allah (Wajhullah) sama dg wajahnya makhluk (nah ini yg salah/ mutasyabihaha dan mujasiimah itu). Kalau ibnu Taimiyyah tidak demikian Saudaraku, Justru beliau sendiri berpedoman pada ayat Laisaa Kamitslihi Syaiun (Tdk ada yg serupa dg-Nya).
Justru kalau kita menerjemahkan dg merubah makna dzohir menjadi makna kiasannya. Ini adalah suatu pengingkaran/tidak mengakui sifat Allah SWT yg jelas jelas Allah sampaikan dalam Al Qur’an, perubahan makna ini harus berdasarkan dalil bukan berdasarkan akal/logika.
Berdasarkan kaidah ini , kaum asy’ariah pada awalnya berkeyakinan : sesuatu yg diberi sifat pasti berjisim (memiliki raga), dan jisim 2 itu memiliki keserupaan. Jadi kalau Allah diberi sifat akan terjadi tasybih (penyerupaan dg makhluk), oleh karenanya menafikan/menghilangkan sifat2 Allah.
Hal ini dpt dibantah :
1. Sesungguhnya menetapkan asma dan sifat Allah berdasarkan akal adalah menyelisihi salafus shalih.
2. Harusnya menetapkan sifat Allah berdasarkan al Qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadits, tanpa : tamsil (menyerupaka), ta;thil (meniadakan), takyif(menyakan bagaimana), dan tahrif( menyimpangkan dari makna aslinya)
Imam Abul Hasan Al As’ari dulunya tidak berani menetapkan sifat2 Allah, karena takut tasybih (penyerupan thdp makhluk), adapun setelan itu , Imam Al Asy’ari pun dalam kitab Al Ibânah ‘An Ushûli Diyânah , akhirnya mengakui akan sifat2 Allah SWT (wajhullah, yadullah, dll). http://www.persis.or.id (Pokok-Pokok Aqidah Ahlus Sunnah (I) 23 May 2011, hal 1) , linknya : http://www.persis.or.id/?mod=sitelogo&cmd=aqidah.
@hery sopari:
simpel aja..
= kalau benar saudisme itu islam sejati, pastinya mereka mendirikan khilafah, BUKAN SISTEM MONARKI seperti sekarang. Iqra dong !!
= kalau benar saudisme itu islam sejati, pastinya mereka menyelamatkan situs2 peninggalan sejarah islam, BUKAN MALAH DIMUSNAHKAN jadi wc umum seperti sekarang. Ente pikir generasi muslim mendatang gak akan bertanya2 kalau ternyata sumber agamanya itu cuma dongeng! gak ada lagi sisa-sisa situs sejarahnya. Iqra dong !!
= makanya jangan kebanyakan makan kitab kuning, kitab hadis, buka QUran ampe khatam, tapi gak diiqra isinya. IQRA DONG!
Sesunguhnya nasihat tauhid itu: tegas!