Ibadah berasal dari bahasa Arab abada, ya’budu artinya menyembah, menghamba, mengabdi, tunduk.
Jika dikatakan ibadah kepada Allah swt berarti perbuatan / ibadah / menyembah yang ditujukan kepada Allah swt .
Kesalahpahaman kaidah yang didefinisikan oleh sebagian ulama, inilah yang harus diluruskan.
Hukum asal ibadah/perbuatan adalah haram kecuali ada dalil yang memerintahkan
Yang benar adalah
Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya
Kaidah ini bersumber dari kaidah pendapat imam Syafi’i ra
أصل في الأشياء الإباحة
(al-Ashlu fil asya’ al-ibahah), “hukum asal segala sesuatu adalah boleh”
Segala sesuatu termasuk perbuatan / ibadah
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Coba saya jelaskan hukum / kaidah ini dengan menjadikan formula.
Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh),
Kita formulakan sebagai nilai awal/asal ibadah/perbuatan = 0 (mubah/boleh)
Rumus/formula yang berlaku adalah atas petunjukNya (al Qur’an dan Hadits) ,
melakukan perbuatan/ibadah yang dilarang bernilai = -X ,
melakukan perbuatan/ibadah yang merupakan kewajiban bernilai +XJadi aneh kalau hukum asal ibadah/perbuatan adalah haram atau mempunyai nilai -X
Allah ta’ala telah “membolehkan” manusia melakukan perbuatan di muka bumi semenjak Dia memutuskan menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Kemudian bagi manusia yang mengaku sebagai hamba Allah, maka perbuatan mereka (setelah pengakuan) harus merujuk petunjukNya (al-Qur’an dan Hadits) dimana hukum awalnya mubah(boleh) berubah hukumnya sesuai petunjukNya yakni bisa berubah menjadi haram atau wajib, atau sunnah atau makruh atau syubhat atau pula tetap sebagai mubah.
Siapapun manusia di dunia ini boleh melakukan perbuatan apapun di dunia ini. Allah ta’ala akan penuhi balasan/hasil perbuatan mereka di dunia dan tidak akan dirugikan sedikitpun.
Namun Allah telah menyampaikan kepada manusia yang artinya,
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami penuhi balasan pekerjaan-pekerjaannya di dunia dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun. Tetapi di akhirat tidak ada bagi mereka bagian selain neraka. Dan sia-sialah apa-apa yang mereka perbuat di dunia dan batallah apa-apa yang mereka amalkan”. (QS. Hud : 15-16)
Seorang muslim seluruh perbuatannya hanya terbagi dalam 2 kategori , ibadah mahdah atau ibadah ghairu mahdah.
Ibadah mahdah adalah
Ibadah yang syarat rukunnya telah ditetapkan sesuai dengan syariat.
Ibadah yang tatacaranya diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah sangat jelas, dan bersifat pasti/mutlak. seperti puasa, zakat, sholat haji dan lain2.
Aturan atau petunjukNya yang disampaikan Rasulullah saw inilah yang disebut “urusan kami”, sebagaimana Nabi Muhammad Saw bersabda yang artinya
“Barangsiapa yang menbuat-buat sesuatu dalam urusan kami ini maka sesuatu itu ditolak” (H.R Muslim – Lihat Syarah Muslim XII – hal 16)
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
“Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma’fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun.” Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa.” (Riwayat Hakim dan Bazzar)
“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (QS al-An’am: 119)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS an-Nahl [16]:116 )
Kalau perbuatan/ibadah tersebut tidak termasuk ibadah mahdah maka perbuatan tersebut akan masuk ibadah ghairu mahdah yang didalamnya bisa didapati bid’ah hasanah seperti contoh saya berdakwah lewat internet yang mana tidak pernah dicontohkan sebelumnya oleh Rasulullah saw. Saya yakin bahwa perbuatan/ibadah berdakwah lewat internet akan sampai (wushul) kepada Allah.
Rujukan Bid’ah hasanah (bidang ibadah ghairu mahdah)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:
Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
Pendapat Imam Syafi’i –semoga Allah meridlainya-
“Perkara-perkara yang baru (al muhdats) terbagi dua, Pertama : perkara baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar para sahabat dan ijma’, ini adalah bid’ah dlalalah, kedua: perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satu dari hal-hal di atas, maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela” (Diriwayatkan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i”, Juz I, h. 469)
Kalau bid’ah dalam ibadah mahdah itu sudah jelas bid’ah dholalah akan tertolak
Bagi seorang muslim seluruh perbuatan , seluruh aktivitas baik ruhani maupun jasmani adalah ibadah dan wajib ditujukan kepada Allah.
Begitulah ketaatan seorang muslim pada firman Allah yang artinya,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS adz Dzariyat [51] : 56 )
Tulisan yang lebih lengkap silahkan baca pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/19/kesalahpahaman-tentang-ibadah/
Tulisan tentang dalil bid’ah, silahkan baca pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/20/2010/04/20/bidah/
Kaidah “Hukum asal ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang memerintahkan” merupakan sebuah kesalahpahaman yang berlarut-larut dan tanpa dalil / hujjah yang kuat serta tidak ada yang diharamkan/dilarang kecuali Allah ta’ala yang mengharamkan/melarangnya.
Nash-nash Al-Qur’an atau Hadits yang berisi larangan adalah rinci, jelas, ada batasan/terukur, dan muhkamat. Salah memaknai ini ditengarai sebagai pembenaran kesalahpahaman mereka yang lain yakni tentang bid’ah.
Ada kaidah yang benar dan mendekati kalimat itu adalah,
“Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)”
Kaidah ini sesuai dengan firman Allah yang artinya,“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (al-An’am: 119)
Kaidah lain yang benar adalah
“Segala sesutu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah“,
Ini selaras dengan hadits Nabi saw,
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Assalamu’alaykum …
ya akhy … hendaknya kita dalam menilai sesuatu itu harus adil timbangannya. dalam artian janganlah menilai suatu paham itu antum berdiri diluar paham itu tanpa paham yang dimaksud. antum menjelaskan tentang bid’ah dengan hawa antum bukan dalil. jelaskan lah masalah ibadah dengan dalil baik dalam al qur’an dan sunnah, begitupun dengan bid’ah nya.
bukan dengan logika
yang dilarang -x
yang wajib +x
karena nabi tidak mengajarkan -x dan +x
semoga Allah merahmati kita semua …
Walaikumsalam
Melakukan perbuatan yang dilarang -x itu maknaya pahala berkurang atau dosa bertambah
Melakukan perbuatan yang diwajibkan/diperintahkan +x , pahalanya bertambah
Nanti kita diakhirat perbuatan di timbang , di hisab dan diputuskan apakah ke surga atau ke neraka.
-x , +x untuk memudahkan pengajaran saja, dan ini termasuk bid’ah hasanah.
Kaidahnya ada penambahan enggak mas, setahu saya sih cukup kalimat ‘ibadah’ saja tanpa ada penambahan ‘/perbuatan’. Jadi kalimatnya ‘hukum asal ibadah’ bukan ‘hukum asal ibadah/perbuatan’
Ibadah adalah perbuatan atau perbuatan adalah Ibadah. Bagi kita yang mengaku sebagai hamba Allah maka segala perbuatan atau segala ibadah ditujukan kepada Allah ta’la
Wah… berati yang jenengan luruskan kaidahnya siapa dong… kaidahnya para ulama ato kaidah jenengan sendiri, kalo kaidahnya para ulama, kok ditambah-tambahi… kalau mau meluruskan kaidah ulama, ya sebutkan apa kaidahnya mereka para ulama, bukan bikin kaidah sendiri diatasnamakan para ulama, kemudian baru sebutkan keterangan anda untuk meluruskannya… adil bukan?
Kaidah tentang ibadah atau perbuatan umumnya 3 pendapat ini saja,
“Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)”
“Segala sesuatu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah“
“Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya”
Hujjah, dalilnya sudah saya uraikan di atas. Kebenaran hanya bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, bukan dari pendapat saya atau ulama.
“Hukum asal ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang memerintahkan” adalah sebuah kesalahpahaman karena segala yang haram sudah dirinci dan dijelaskan Allah , dan Allah tidak lupa. Tidak ada yang haram selain yang diharamkan oleh Allah ta’ala
“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (QS al-An’am: 119)
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
kalau lah ada bid’ah hasanah, dalil nya mana akhy?
lalu apa qowaa id dan dhowabitnya?
apakah semua perbuatan baik dikatakan bid’ah hasanah?
kalau begitu
bahaya dong, nanti banyak tambahan yang akan muncul dalam agama. bukankah Allah SWT dalam surat al maidah ayat 3 telah jelaskan bahwa islam telah sempurna. sesuatu yang sempurna tidak perlu ditambahi, kalau masih perlu tambahan namanya islam belum sempurna.
“Ibadah adalah perbuatan atau perbuatan adalah Ibadah”
itu adalah ucapan mu akhy? apa dalilnya?
apa logika aja
apakah ibadah itu hanya perbuatan saja
bukan kah ibadah itu juga ada ibadah hati
ketika kita sabar menghadapi musibah maka kita akan diberikan ganjaran oleh Allah SWT terhadap kesabaran kita.
Biasakan lah mengungkapkan sesuatu berdasarkan dalil syar’ie jangan cuma comot sana comot sini tapi penjelasan nya berdasarkan logikamu sendiri akhy. tapi jelaskan dengan penjelasan nya para ulama yang ahli dibidangnya.
semoga kita diberi petunjuk oleh Allah SWT
“Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya”
itu perkataan mu akhy dalam artikel diatas
setahu saya dalil mubah itu diperuntukkan bukan untuk masalah ibadah akan tetapi untuk masalah selain ibadah
seperti muamalah dan lain2. seperti kita bekerja sebagai petani, pedagang, professional dll, itu boleh.
tapi untuk ibadah kita harus memiliki dalil atau perintah dari Allah SWT. karena jika tidak, kita bisa menambahi sholat tahiyyatul bait, karena tidak ada dalil yang melarangnya.
padahal itu tidak ada contohnya dari nabi
لأصل في الأشياء الإباحة
(al-Ashlu fil asya’ al-ibahah)
“hukum asal segala sesuatu adalah boleh”
Salah satu hujjah kaidah ini adalah
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Allah ta’ala telah mendiamkan maknanya Allah telah membolehkan (mubah)
Benar, umumnya ulama membatasi pada muamalah, namun harus diingat bahwa muamalah itu adalah ibadah ghairu mahdah. “Segala sesuatu” itu adalah ibadah atau perbuatan
Ibadah yang harus memiliki dalil atau perintah adalah ibadah mahdah.
Hati-hati bagi yang merasa bahwa muamalah itu bukanlah ibadah karena artinya pada saat kita bermuamalah berarti ada waktu yang kita berpaling dariNya, inilah yang dimaui oleh mereka yang berpemahaman sekularisme.
Kita harus kembalikan pemahaman kita kepada Al-Qur’an dan Hadits, bahaya perang pemikiran(ghazwul fikri) dari mereka yang berpaham Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme begitu halus sehingga kadang kita tidak menyadarinya
Saya salut kpd penulis artikel ini. Inilah yang benar dan ada dalilnya yang menyatakan bahwa hukum asal ibadah adalah mubah. Bukan hukum asal ibadah adalah haram, ini faham yang tdk mengikuti alquran dan hadits. Baru artikel ini yang memberikan pencerahan bahwa hukum asal ibadah adalah mubah. Sdgkan yg menyatakan hukum asal ibadah haram kurang berdasar
Mas Edin, hal yang perlu diingat bahwa para ulama terdahulu mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Silahkan baca penjelasan terbaru kami pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/02/sunnah-taqririyyah/
afwan jiddan akhy …
kayanya ga perlu dilanjutkan
lebih baik manfaatkan waktu kita untuk mencari ilmu
daripada berdialog dengan yang berlandaskan akal
tidak akan pernah selesai, karena hawa nya yang berbicara
kata kita putih, menurut mereka hitam, kata kita hitam menurut mereka putih. mereka mengaku berdasarkan al qur’an akan tetapi pahamnya dari ro’yu mereka.
nasihat selaku muslim kepada muslim yang lain nya
orang tashowuf kalau lah benar maka rujuklah kepada al qur’an dengan pemahaman para sahabat, jangan membuat kaidah2 baru yang rosul dan para sahabat tidak mengamalkannya
jangan dengan alasan ilmu kami adalah hikmah, siapa yang yakin itu hikmah kalau tersesat. sementara syariat yang jelas dia tinggal kan dalilnya.
wallahu a’a lam
semoga allah merahmati kita semua ..
Akhi, kami sudah sampaikan hujjah/dalilnya
Silahkan antum berkeyakinan bahwa hukum asal (segala sesuatu) ibadah adalah bathil atau haram karena sesungguhnya apa telah Allah ta’ala haramkan sudah rinci dan jelas.
“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (QS al-An’am: 119).
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Kami sekedar menyampaikan saja.
Saya setuju kpd argumen anda teruskan mudah mudahan dpt merubah pemikiran ygenyatakan bhwa hukum asal ibadah adalah haram
sekedar masukan saja
silahkan penjengan telaah lagi di kitab-kitab ushul fikih barang kali ada yang kececer
“al aslu fil asyia’ al ibahah…..dst”
“al aslu fil af’al taqayyidu bi ahkami syar’i”
“al aslu fil ibadah haram…..dst”
setau saya ketiganya adalah qaidah fikihnya imam Syafi’i, dan masing-masing qaidah mempunyai fakta hukum yang berbeda, jadi bukanya untuk menggantikan atau merefisi satu sama lain, tapi diperuntukan untuk fakta hukum yang berbeda.
setau saya lagi nih… maaf kalo keliru
asyia’ itu untuk segala suatu benda
af’al itu untuk segala perbuatan
ibadah itu khusus untk ibadah mahdloh
dan ketiga qaidah tersebutpun digali dari dalil yang berbeda, karena memang untuk penggalian hukum pada fakta hukum yang berbeda
mohon dikoreksi jk ada yang keliru
Alhamdulillah, kaidah-kaidah dalam kitab-kitab fiqih, kita sudah paham. Namun timbul kaidah-kadiah yang serupa tapi tak sama dalam penerapannya. Contoh lagi kaidah “LAU KANA KHOIRON LASABAQUNA ILAIH” (Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya) dimana tidak ditemukan nash-nash baik dari Al-Qur’an mupun hadits yang dapat mendukung kaidah tersebut. Telah kami uraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/20/jika-itu-baik/
Perbedaan tersebut karena mencampurkan 2 kaidah ushul fiqh yg sebenarnya peruntukannya berbeda:
1) hukum dasar ibadah itu terlarang/haram, kecuali yg diperintahkan/ada dalilnya. Jadi ibadah yg tdk diperintahkan itu hukumnya terlarang. Karena yg dilarang itu banyak maka tdk mungkin disebut satu persatu. Jadi cukup dg adanya perintah untuk menunjukkan harusnya beribadah. Coba bayangkan berapa hadits yg diperlukan untuk melarang ibadah yg dilarang…?? , kan banyak sekali missal : janganlah sholat shubuh 3, rokaat, 4 , 5 bahkan sampai tak terhingga rokaat…, ini baru sholat saja, belum ibadah mahdoh yg lainnya. (Apa2 yg diperintahkan kepadamu maka lakukanlah, dan apa2 yg dilarang kpd mu maka tinggalkanlah, At Tahrim :7), jadi jelas ibadah itu diperintahkan dulu di Al Qur’an atau Al Hadits. (Tegakanlah sholat, tunaikanlah zakat, berdzikirlah sebanyak-banyaknya , berpuasa di bln romadhon, haji, dll…smua ada perintahnya di AL Qur’an dan dijelaskan oleh Al Hadits(Assunnah) . jadi dalam beribadah itu perlu dalil baik dr AL Qur’an dan Al Hadits dan kalau ada penjelasan di hadits ttg perintah yg global maka harus diambil yg rinci berdasarkan hadits, contoh di AL Qur’an hanya diperintahkan sholat, maka perlu mengkaji hadits ttg penjelasannya. Kr n ada beberapa ahli tasawuf yg bilang bahwa dg duduk aja udah sholat dll (ini kan kliru). Hakikat yg sering digemborkan itu jangan menyelisihi syari’at sbg bukit kita taat pada Alloh dan Rosul-Nya
Setiap yang haram akan tetap haram kecuali ada dalil yang menghalalkannya.Setiap ritual ibadah, apapun bentuknya ( shalat, shalawat, dzikir, dll), adalah hak prerogatif Alloh SWT sebagai Pembuat Syari’at untuk membuatnya dan memerintahkannya. Baik dari segi bentuk, waktu, tempat dan caranya. Tidak ada yang boleh mengambil hak ini, sekalipun Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam (Nabi hanya menyampaikan/menjelaskan/adapaun yg dia sampaikan adalah berdasarkan Wahyu bukan hawa nafsu). Jadi kalau kita sebagai manusia (biasa)membuat dan melakukan satu bentuk ritual ibadah (atau satu jenis syari’at baru), maka samalah artinya kita mengangkangi hak Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai Pembuat Syari’at.
2) hukum dasar/awalnya adat kebiasaan(sandang, pangan, papan, kbutuhan dunia) adalah boleh, kecuali yg dilarang.
hukum adat kebiasaan( urusan duniawi ) karena saking banyaknya urusan dunia yg boleh , sehingga tidak mungkin disebut satu persatu apa saja yg boleh dilakukan/dimakan/dipakai/dibuat. sehingga cukup dengan adanya larangan untuk membatasi apa saja yg tidak boleh.
Terkadang banyak yg salah faham, kurang menguasai 2 kaidah ini, dah bahkan tidak tahu, sehingga tenggelam pada ibadah2 yg dibuat sendiri yg menurut mereka itu adalah baik. Padahal kewenangan yg memerintahkan dan membuat tatacara ibadah itu adalah Hak Tuhan yg dijelaskan/disampaikan melalui lisan Sang Rosul..
Sunnah Hasannah dan Sunnah Sayyiah
Apakah ada bid’ah hasannah???
Bid’ah (sesuatu yang baru dalam agama yang dibuat menyerupai syariat (ajaran agama)
APa2 yang Kami perintahkan maka lakukanlah dan apa2 yang Kami larang maka tinggalkanlah (QS. AL Hasyr:7). Adapun yang diperintahkan dan yang dilarang sudah jelas telah disampaikan oleh Rasulullah SAW, dan Agama ini telah sempurna (AL Maidah:3) yang artinya semua perintah, larangan, tatacara dalam amalan dan ibadah pun sudah sempurna , tidak perlu ada penambahan maupun pengurangan oleh siapapun. Intinya ikutilah Allah dan Rasulnya (beserta sahabatnya yang mendapat petunjuk).
Ada beberapa hadits yang menyatakan wajibnya berpedoman kepada Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW (tentunya yang shahih dan minimal hasan), dan jangan melakukan hal yang tidak diajarkan Rasul karena hal tersebut akan tertolak (Roddun). “Man a’mila a’malan laisa a’laihi amrunaa fahuwa roddun( Barang siapa yang melakukan amalah yg tidak kami perintahkan maka tertolak (al hadits).
“hati-hatilah kalian terhadap ibadah yg dibuat2, Setiap ibdah yg dibuat2 itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sessat (HR ABu Dawud 4/201 no 4607)
“‘Barang siapa yang membuat buat ibadah dalam agama ini yang bukan termasuk ajarannya, amalannya tertolak””( HR Bukhari Muslim)
Ada sebuah hadits yang sangat baik maknanya:
Dari Jabir Bin Abdullah ra, bahwasanya rasulullah SAW bersabda:
“Man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruhaa waajru man a’mila biha ba’dahu min ghoiri an yanqusho min ujuurihim syaiun
(Barang siapa melakukan sunnah yg baik, maka untuknya pahalanya dan pahala orang yang melakukannya setelah dia tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun)
Waman sanna fil islam sunnatan sayyiatan kaana a’laihi wijruhaa wawijru man a’mila biha min ba’dihi min ghoiri an yanqusho min aojaarihim syaiun’’
(Barang siapa melakukan sunnah yg jelek didalam islam , baginya dosanya dan dosa yg nelakukan setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun )
(Muslim dalam kitab az-zakat, bab anjuran bersedekah meski dengan sebelah kurma 2/705, dengan nomor 1017)
ü) Hadits ini menyatakan bahwa sunnat itu ada hasanah adan sayiiah (jelek). Hadits yang mulia ini menyatakan bahwa sunnat adalah jalan yg ditempuh/metode/petunjuk. Karena jika sunnah yg dimaksud adalah hukum sunat ataupun sunnah rasul, maka jelas menjadi rancu dan tidak bermakna hadits tersebut.
ü) Sunnah yang baik adalah sunnah(jalan/petunjuk) rasulullah SAW
ü) Sunnah yang jelek adalah jalan yang ditempuh oleh orang2 yang tidak mengikuti petunjuk/sunnah Nabi SAW.
ü) Jadi jika hadits yang menyatakan setiap bid’ah adalah sesat. Hal ini berarti memang semuanya yang namanya bid’ah adalah sesat. Jika bid’ah dibagi menjadi hasannah dan dlolalah, maka nabi akan manyampaikannya seperti hadits mengenai sunnat itu sendiri. Tapi nyatanya tidak satupun hadits menyatakan adanya bid’ah hasanah maupun dlolalah.
ü) Sedangkan pembagian menjadi hasanah dan dlolalah adalah sebagian ulama yang membagnya menjadi beberapa bagian , dan itu pula sebenarnya bukan mutlak harus diikuti. Karena siapapun bisa ditolak fatwanya kecuali rasulullah SAW. Hal ini bukan berarti kita tidak mengakui keilmuan para ulama tersebut, namun namanya manusia terkadang tidak lepas dari kesalahan (kadang disatu sisi benar namun disatu sisi tidak benar). Adapun para ulama itu jika berijtihad akan mendapat pahala 1 jika salah, dan mendapat 2 jika benar. Beda hal nya dengan kita yg sudah diberi pilihan hasil karya para ulama, yang mana jika sesuai dengan alqur’an dan hadits shahih(minimal hasan) maka dapat kita jadikan hujjah (pijakan/dasar/pedoman) dalam beragama. Pembagian itu pula bertentangan dengan hadits “wakullu bid’atun dlolalah”. Kata kullu tersebut sama dengan kullu pada hadits (Tolabul ilmi faridlotun a’la kulli muslimin), jadi artinya semuanya/setiap. Intinya tidak ada bid’ah hasannah (jika ada pasti diterangkan oleh nabi SAW).
Adapun untuk mengetahui mana bid’ah dan mana yg tidak, kaidah yg dipakai imam ahmad bin Hanbal
1. )) Semua ibadah hukum asalnya haram, kecuali yg disyariatkan.
(Ini diambil dari alqur’an , yang mana didalam al qur’an , kalau namanya ibadah pasti diperintahkan terlebih dahulu, adapun yg tidak diperintahkan maka hukumnya terlarang (bid’ah /sesuatu yg baru dalam agama).
Co : waaqimussholata waatuzzakata warka’u ma’arrooki’in. Jadi semua ibadah yg tidak ada perintahnya dari Allah dan rasulnya maka terlarang/haram. Contoh : ibadahnya non muslim, ibadahnya ahli bid’ah (peringatan hari kematian, barzanzian dan yasinan pada malam jum’at). Dzikir berjamaah setelah sholat fardlu, dan diluar sholat juga, mengangkat tangan ketika setelah shalat fardlu(adapun setelah shalat sunnat maka boleh tapi jangan terlalau sering, karena nabi pernah melakukannya pada istisqo). Ibadah harus dengan dalil, jangan semaunya hawa nafsu, tapi harus mengikuti contoh nabi SAW (ittiba’).
Kenapa hal tersebut bid’ah?
1. Karena tidak diajarkan oleh rasulullah SAW, seandainya baik maka akan dicontohkan rasulullah SAW. Nabi ini merupakan teladan terbaik umat ini
2. Karena mengkhususkan waktu dan tempat dan tatacara sendiri, hal ini seperti syariat yang dibuat oleh Nabi sendiri, padahal itu buatan para ahli bid’ah. Mereka membuat syariat sendiri dalam beribadah tentunya ini melanggar/mengambil kewenangan/hak pembuat syariat (Allah SWT melalui lisan Rasul-Nya)
3. Bacaan pada peringatan kematian, kitab barzanzi itu mengandung sholawat 2 syirik, yang memposisikan Nabi SAW seperti Tuhan (tidak percaya…???, coba aja baca artinya dan fahami). Jika hal tersebut baik, maka rasulullah SAW akan menyampaikannya pada kita, tapi kita ketahui tidak ada satu hadits pun yang menyatakan bolehnya hal tersebut dilakukan.
2)) Hukum muamalah (adat kebiasaan) pada dasarnya hukumnya boleh, kecuali yg terlarang (tdk disyariatkan).
Contoh : memakai sepeda, motor, mesjid, speaker untuk adzan, dll itu hukumnya mu’bah (boleh), tapi yg tidak boleh adalah menari dalam rangka ibadah, memperingati hari kematian (karena hal itu sedah masuk dalam rangka ibadah yang tidak diajarkan RasulSAW), dll
dua konsep ini lah yg bisa membedakan dengan tajam mana bid’ah dan mana bukan bid’ah.Masalah bid’ah sendiri bukan masalah furuiyah(cabang dalam agama), justru masalah pokok yang perlu diperjelas terlebih dahulu agar kita tida terjerumus kepada hal2 yang bertentangan dengan Petunjuk Rasul SAW. ALLahu A’lam.
Mas Hery Sopari, ini tulisan kami yang sudah lama sekali ketika kami menjelaskan tentang bid’ah dan kaitannya dengan kategorisasi mahdoh dan ghairu mahdah.
Namun kategorisasi ini dapat menimbulkan kerancuan sehingga dapat terjerumus kedalam paham sekulerisme.
Sekulerisme, paham yang menghindarkan manusia dalam kehidupannya me”referensi” kepada Allah / Agama. Dengan berpemahaman ini menjerumuskan kita bahwa seolah ada perbuatan manusia yang merupakan “urusan dunia” atau urusan antar manusia dan tidak terkait dengan Allah Azza wa Jalla.
Oleh karenanya kalau ingin mengomentari atau membahas tentang bid’ah silahkan pada tulisan yang lain yakni pada
atau
Kalau anda memahami attahrim ayat 3 maka akan timbul 5 hukum disitu. Mamaa aatakumurrasuulu fakhudzuuhu. Para ulama dr ayat ini lahir 2 hukum syara yaitu wajib dan sunnat. Wamaa nahaakum anhu fantahuu. Dari ayat ini akan timbul 2 hukum lg yaitu haram dam makruh. Sedangkan satu hukum lg yaitu mubah menurut ayat td tmbul dr penafsiran ayat yaitu yg tdk diperintahkan dan tdk dilarang disebut mubah atau boleh. Itulah hukum asal ibadah. Wallohu a lam
Mas Edin, hal yang perlu diingat bahwa para ulama terdahulu mengklasifikasikan ibadah ke dalam dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Silahkan baca penjelasan terbaru kami pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/06/02/sunnah-taqririyyah/
Mohon maaf yg dimaksud pada paragraf 1 adalah Al Hasy: 7 buka At Tahrim:7. Smoga kita smua mendapat petunjuk Allah SWT, dan senantiasa terus belajar sampai akhir hayat.
Saya pribadi ingin mencari pemahaman islam yg benar sesuai Al Qur’an dan hadits dan senantiasa memohon kepada Alloh SWT agar ditunjukkan ke jalan lurus yg diridhoi-Nya. Ya..memang kita berbeda faham, tapi tidak apa2 apa yg menjadi pilihan itu yg akan dipertanggungjawabkan di hadapan Alloh SWT. Sya pribadi telah berusaha mempelajari pemahaman islam dari berbagai metode pemahaman yg smuanya mengaku sbg ahlusunnah.
di Arab saudi /Timur tengah yg notabenenya disitulah Islam ini berasal mereka mengacu kepada pemahaman menurut ulama 2 terdahulu baik ulama madzhab yg 4 maupun ulama lainnya sprti Ibnu Taimiyyah dan Muh. bin abdul wahab, Karena prinsipnya adalah ambil dalil yg paling kuat dari ulama/golongan manapun. Bahkan imam syafii bilang kepada muridnya Imam Ahmad bin Hambal: “ahmad kamu lebih tahu hadits dari pada aku, jika ada pendapatku bertentangan dengan hadits shahih maka lemparkan pendapatku ke tembok, dan ambilah hadits shahih itu. Jadi intinya dalil yg paling shahih yg harus di pegang. Akan tetapi kalau perbedaan yg sama sama shahih dalilnya, itu tidak menjadi masalah.
Coba kita pelajari pemahaman Ibnu Taimiyyah (aqidah wasithiyyah/aqidah pertengahan, minhajussunnah, dll)..sya kira tidak ada yg salah..justru itu pemahaman yg baik, beliau itu adalah muridnya Imam AHmad, begitu juga imam bukhari dan ahli hadits lainnya banyak yg menjadi murid imam ahmad bin hambal,…kenapa…??karena Imam AHmad ini : imam mazhab ahli hadits. Apakah pernah terpikirkan ulama ahli hadits seperti imam Bukhari…??bermazhab apakah dia…??? sya yakin dia tidak bingung dengan perbedaan madzhab, karena dia ahli hadits. Jadi intinya adalah dalil yg shahih yg harus dikedepan kan (Hadits shahih minimal hasan). bisa dijadikan rujukan dlm memahami islam pd beberapa website ini : http://www.muhammadiyyah.or.id; http://www.persis.or.id; http://www.salafy.or.id; http://www.almanhaj.or.id. Alangkah baiknya kita kaji dulu, pelajari dulu, apa yg menjadi pemahaman pad beberapa website itu …baru ketika tidak sepakat ya..silahkan itu tanggung jawab masing2. Sya menyampaikan ini bukan untuk memaksakan, ini hanya sebagai sharing pemahaman yg mudah2an oleh Allah SWT dinilai ibadah.
Sya baca di http://www.muhammadiyah.or,id disitu ada tulisan mengenai wahabi “muwahhid” . Seorang ketua muhammadiyah wilayah jabar membuat telaahan tentang wahaby, dan sya kira itu objektif, sumbernya dari kalangan akademis (prof, Dr…). Begitu juga sya baca di http://www.persis.or.id di bagian FIQH disitu ada pokok2 akidah ahlusunnah (1) . silahkan coba dibaca dan dipelajari. Kita berharap kepada Alloh ditunjukkan jalan yg lurus yg diridhoinya. Jadi menurut hemat saya, bagi orang yg mau belajar Islam jangan terkungkung dengan doktrin dari orang/kyai tertentu, tapi coba berfikiran terbuka , kaji islam ini secara menyeluruh, menurut ulama2 lainnya/golongan lainnya…kan kita insya Allah sudah punya filter…(dpt mengetahui mana yg sesat dan tidak)…jadi sya yakin kita semua tidak ingin masuk ke aliran sesat seperti ahmadiyyah ataupun syiah rafidhoh, jahmiah, mu’tazilah, qodariyyah, jabariyyah, dll…tapi Insya Alloh ketika kita bersungguh sungguh mencari kebenaran itu Alloh akan tunjukkan dan beri hidayah. Jadi jangan terhasut atau terpropaganda oleh orang 2 yg ingin memecah belah islam dan menghancurkan islam. Kita semua wajib belajar sampai akhir hayat, Kalau kita pelajari ulama2 arab Saudi yg mengikuti manhaj/jalan/metode Muhammad bin abdul wahab, insya Alloh tidak ada ajaran yg salah, justru malah sebaliknya. Albany pun : seorang ulama ahli hadits yg mencoba mengkaji ulang hadits2 yg telah dibukukan oleh para imam ahli hadits, beliau pun hanya berusaha semampunya dlm mengkaji hadits secara ilmiah, adapun jika tidak sepakat ya…tidak masalah , bantahlah dengan ilmu yg benar jangan dg hawa nafsu. Sya pribadi terus terang tidak mengikuti 1 diantara ormas/faham diantara yg disebutkan diatas, buat sya Islam ini harus bersatu, sya bisa berdampingan dengan sesama muslim apapun faham/aliran/golongannya, dan sya akan sepakat dengan siapapun jika dia bersandar pada dalil yg shahih. Mudah2an kita semua mendapat taufik dan hidayah Allah SWT..amin.
Maaf mas, setahu saya, Ibnu Taimiyyah bukan murid Imam Ahmad dan Imam Bukhori bermazhab syafii . Jadi Imam ahli hadist tidak otomatis menjadi ahli fikih dan anehnya sekarang jadi rancu, tahu hadist sedikit langsung seakan akan menjadi ahli fikih. Padahal hadist itu adalah salah satu pendukung untuk merumuskan fikih. Selain itu kalau dari tulisan mas “Kalau kita pelajari ulama2 arab Saudi yg mengikuti manhaj/jalan/metode Muhammad bin abdul wahab, insya Alloh tidak ada ajaran yg salah, justru malah sebaliknya. Albany pun : seorang ulama ahli hadits yg mencoba mengkaji ulang hadits2 yg telah dibukukan oleh para imam ahli hadits, beliau pun hanya berusaha semampunya dlm mengkaji hadits secara ilmiah, adapun jika tidak sepakat ya…tidak masalah , bantahlah dengan ilmu yg benar jangan dg hawa nafsu”. Rasa2 nya mas sudah menjadi taklid kepada ulama2 Arab Saudi tersebut, yang mana dari awalnya dulu berusaha mencari manayang paling benar akhirnya menjadi fanatik kepada salah pemikiran. sama dengan pengikut mazhab lainnya. Saran saya, bacalah buku2 fikih dan ushul fikih, jika bisa kuliah di IAIN atau insitusi Islam kemudian ambil jurusan yang mengajarkan ushul fikih. Kalau tidak ya mondok di pesantren yang mengajarkan ushul fikih.
Segala sesuatu pada dasarnya Mubah
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah.
Kaidah ini disandarkan pada firman Allah swt,
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah: 29)
“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah: 13)
“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman: 20)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya. Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.
Berkenaan dengan hal ini Rasulullah saw bersabda,
“Apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal, dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram; sedang apa yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan (diperkenankan). Oleh karena itu terimalah perkenan dari Allah itu, karena Allah tidak akan pernah lupa sama sekali.” Kemudian Rasulullah saw membaca ayat (surat Maryam ayat 64): “Dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (HR. Al-Hakim).
Dalam hadits lain disebutkan,
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai kewajiban, maka janganlah kamu menyia-nyiakannya; dan Dia telah menentukan beberapa batas maka janganlah kamu melanggarnya; dan Dia telah mengharamkan sesuatu, maka janganlah kamu melanggarnya; dan Dia telah mendiamkan sesuatu sebagai rahmat buat kamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu mencari-carinya.” (HR. Daruquthni)
Kaidah ini tidak hanya berlaku pada masalah benda, tapi juga mencakup masalah amal, adat kebiasaan atau mu’amalah yang tidak termasuk urusan ibadah. Artinya seluruh amal, adat kebiasaan atau muamalah—yang tidak termasuk urusan ibadah—itu pada dasarnya mubah; tidak haram dan tidak terikat kecuali apa yang diharamkan dan ditegaskan oleh Pembuat Syariat.
Dalam masalah ibadah ada kaidah lain. Imam Ahmad dan beberapa fuqaha ahli hadits mengatakan bahwa:
Innal ashla fil ibaadati at-tauqiif
“Pada dasarnya ibadah itu tauqif (bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul).”
Karena itu tidak boleh melakukan ibadah kecuali apa yang telah disyariatkan Allah. Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami, sesuatu nyang tidak ada dalam agama, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari Muslim).
Tidak ada seorang pun yang diperkenankan mengada-adakan suatu cara ibadah dari dirinya sendiri, sebab hanya Allah Sang Pembuat Syariat yang berhak membuat cara-cara ibadah untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Sedangkan dalam masalah adat dan mu’amalat, pada dasarnya dimaafkan. Tidak ada yang terlarang kecuali apa yang diharamkan Allah. Masalah jual beli, hibah, sewa menyewa, dan lain-lain adalah termasuk persoalan adat yang diperlukan manusia dalam kehidupan mereka. Syariat mengaturnya dengan adab yang baik, yaitu diharamkan apa yang menimbulkan kerusakan, diwajibkan apa yang harus diwajibkan, dimakruhkannyha apa yang tidak pantas, dan dianjurkan apa yang mengandung kemaslahatan.
Contoh masalah yang didasarkan pada prinsip ini adalah masalah ‘azl, yakni senggama terputus/mengeluarkan sperma di luar kemaluan wanita yang dilakukan untuk menghindari kehamilan. Jabir bin Abdullah berkata,
“Kami biasa melakukan ‘azl, sedangkan al-Qur’an masih turun. Seandainya hal tersebut dilarang, sudah tentu al-Qur’an melarangnya.”
Ini menunjukan bahwa apa yang didiamkan oleh wahyu adalah tidak terlarang, dan mereka halal melakukannya sehingga ada nash yang melarangnya.
Berkaitan dengan uraian di atas ditetapkanlah kaidah berikut ini,
Laa tusyro’u ‘ibadatun illaa bi syar’illah, wa laa tuharramu ‘adatun illaa bitahriimillah…
“Tidak boleh dilakukan suatu ibadat kecuali yang disyariatkan oleh Allah; dan tidak dilarang suatu adat kecuali yang diharamkan oleh Allah.”
ngeri juga kalo semua ibadah jadi boleh selama tidak dilarang… kita ikuti semua syariat Rasul saw aja gak cukup … gimana mau cari2 ibadah baru yang gak dilarang….
Silahkan mas Rudi baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/02/11/terjerumus-penyekutuan/ dan https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/02/07/takhsis-kullu-bidah/
Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada pendapat yg lain kami juga berpendapat :
1. Hukum aslinya ibadah adalah wajib. Dalil al Qur’an. Tujuan diciptakannya manusia dan jin adalah untuk beribadah.
2. Semua tindakan manusia memiliki pertanggung jawaban akherat. Jadi tidak ada pemisahan urusan dunia atau ibadah kecuali hanya niatnya.
3. Amal sholih tidak terbatas yg diperintahkan tidak terbatas yg dicontohkan. Hukum aslinya amal sholih adalah wajib. Tidak bisa disesatkatkan dg alasan bid’ah.
4. Amal sholih adalah ibadah sesuai niyatnya.
Mas Miftahuddin, ibadah ada dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah
Prinsip ibadah mahdhah adalah harus sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah adalah perkara terlarang.
Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya) karena keberadaan ibadah mahdhah harus berdasarkan adanya dalil dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
Sifat ibadah mahdhah adalah “supra rasional” (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
Azas ibadah mahdhah adalah “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.
Sedangkan prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah ada yang dicontohkan oleh Rasulullah namun tidak harus sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan
Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Sifat ibadah ghairu mahdhah adalah “rasional”, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
Azas ibadah ghairu mahdhah adalah “manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan
Jadi kaidah “asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang memerintahkannya” adalah ibadah yang sifatnya mahdhah saja, bukan semua ibadah.
Salah satu cara membedakan ibadah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Amalan atau perbuatan anda menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu bukan ibadah maka hukumnya mubah (boleh). Namun karena tujuan (maqoshid) anda menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala.
Jadi perantara (wasail) anda menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana), maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Jadi pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.
Pada hakikatnya, Rasulullah pun memperingati hari kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa hari Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya.
Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.
Pada hadits yang lain dapat kita ketahui alasan lain puasa hari Senin dan Kamis
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda, Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Daud 2436)
Jadi kesimpulannya alasan puasa Senin adalah
Hari dilahirkan Rasulullah
Hari diangkat menjadi Rasulullah
Hari diturunkan Al Qur’an
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Alasan puasa Kamis adalah
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah
Jadi kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermadzhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.
Pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsamiy Rahimahullah, “walhasil, sesungguhnya bid’ah hasanah itu selaras dengan sebuah kesunnahan, dan amal Maulid Nabi serta berkumpulnya manusia untuk memperingati yang demikian adalah bid’ah hasanah”
Pendapat Al-Imam Al-Hafidz Al-Qasthalaniy Rahimahullah, “maka Allah akan memberikan rahmat bagi orang-orang yang menjadian Maulid Nabi yang penuh berkah sebagai perayaan…” Kitab Mawahid Al-Ladunniyah (1/148) –Syarh ‘alaa Shahih Bukhari-, karangan Al-Imam AL-Qasthalaniy
Perayaan atau peringatan Maulid Nabi merupakan kebiasaan yang baik dan termasuk ibadah ghairu mahdhah.
Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.
Begitupula dengan peringatan atau perayaan ulang tahun dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di esok hari maupun di akhirat kelak
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)
Perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan yang mengisi acara tersebut tidak melanggar laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Begitupula Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Ali Mustafa Yakub mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah yang terlarang. Menurut Kiai Ali Mustafa, peringatan Maulid Nabi masuk wilayah muamalah. “Selama tidak melakukan hal-hal yang mengharamkan, ya boleh-boleh saja.
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah , kebiasaan atau adat selama tidak melanggar laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat
Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan
Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)
Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.
Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf
Firman Allah ta’ala yang artinya
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Jadi perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syara’ atau selama tidak menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebaliknya perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika bertentangan atau jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.
Imam Syafi’i berkata bahwa perkara baru (bid’ah atau muhdats) atau perkara yang tidak terdapat pada masa Rasulullah yang tidak menyalahi atau yang tidak bertentangan dengan syara’ atau yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah)
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Oleh karenanya ketika kita menghadapi dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah maka kita menimbangnya dengan hukum dalam Islam yang dikenal dengan hukum taklifi yang membatasi kita untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib , sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.
Al Imam Al Hafizh An Nawawi menerangkan bahwa hadits tentang sunnah hasanah (contoh yang baik) dan sunnah sayyiah (contoh yang buruk) adalah hadits yang mentakhsis hadits “kullu bid’atin dholalah” dan sebagai sumber atau dasar pembagian bid’ah mengikuti hukum taklifi yang lima sebagaimana yang termuat di dalam kitab hadits “Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi” jilid 4 halaman 104-105, cetakan “Darul Fikr” Beirut Libanon, lihat pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/02/shohih-muslim-bi-syarhi-an-nawawi.jpg
Berikut kutipannya
******* awal kutipan *******
Pembagian bid’ah bersumber dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu:
“Barangsiapa membuat-buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari dosanya”.
Hadits ini mentakhsis hadits Nabi yang berbunyi:
كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة
“Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Adapun yang dimaksud hadits tersebut adalah perkara-perkara baru yang bersifat bathil dan bid’ah-bid’ah yang bersifat tercela.
Dengan demikian, bid’ah dibagi kepada lima bagian, yaitu:
1. Bid’ah wajib,
2. Bid’ah sunnah,
3. Bid’ah haram,
4. Bid’ah makruh, dan
5. Bid’ah mubah.
****** akhir kutipan ******
Silahkan download atau baca secara online pada http://archive.org/details/SahihMuslimSharhNawawi
Begitupula sebagaimana Imam Nawawi di atas membagi bid’ah kepada lima bagian mengikuti hukum taklifi yang lima, pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 4 (selengkapnya pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2015/08/risalah-aswaja.pdf) menjelaskan
****** awal kutipan *******
Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima.
Beliau berkata: “Bid‟ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (Bid‟ah tersebut adakalanya):
1. Bid‟ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari‟ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.
2. Bid‟ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.
3. Bid‟ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.
4. Bid‟ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.
5. Bid‟ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”
Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim bahwa berikut ini adalah bid‟ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid‟ah.
Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar-pasar malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid‟ah.
****** akhir kutipan *****
Syeikh Al Islam Izzuddin bin Abdissalam mencontohkan bid’ah wajib adalah menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf (terdahulu)
Kita sepakat bahwa menuntut ilmu termasuk ibadah ghairu mahdhah.
Sedangkan menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah adalah termasuk bid’ah hasanah dan hukumnya wajib.
Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui tata bahasa Arab. Sebagaimana kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.
membaca dari awal tulisan dan semua tanggapan..rasa rasanya saya yg awam ini lebih sreg dengan penjelasan kaidah fikih ibadah dari saudara heri sopari..pikiran saya yg awam ini sulit membayangkan apa yg akan terjadi seandainya pelaksanaan ibadah(yg khusus) semua dibolehkan kecuali yg dilarang..semoga kita semua termasuk dalam golongan yg diberikan petunjuk..diberikan ilmu yg bermanfaat dan amalan yg diterima..allahumma aamiin
Mas Tri hal yang perlu kita ingat bahwa ibadah ada dua jenis yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.
Prinsip ibadah mahdhah adalah harus sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah adalah perkara terlarang.
Dalam Ibadah Mahdah berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim ( hukum asal ibadah adalah haram ) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya) karena keberadaan ibadah mahdhah harus berdasarkan adanya dalil dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
Sifat ibadah mahdhah adalah “supra rasional” (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
Azas ibadah mahdhah adalah “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.
Sedangkan prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah ada yang dicontohkan oleh Rasulullah namun tidak harus sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan
Dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Sifat ibadah ghairu mahdhah adalah “rasional”, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
Azas ibadah ghairu mahdhah adalah “manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan
Jadi kaidah “asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang memerintahkannya” adalah ibadah yang sifatnya mahdhah saja, bukan semua ibadah.
Salah satu cara membedakan ibadah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Amalan atau perbuatan anda menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu bukan ibadah maka hukumnya mubah (boleh). Namun karena tujuan (maqoshid) anda menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala.
Jadi perantara (wasail) anda menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/10/21/dua-jenis-ibadah/