Pelarangan dan Pengharaman sebuah perbuatan/ibadah seorang muslim yang perlu diingat selalu adalah,
1. Pelarangan dan Pengharaman sebuah perbuatan/ibadah seorang muslim mutlak berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits, karena semua itu merupakan hak Allah ta’ala. Fatwa Ulama tentang pelarangan, kewajiban dan pengharaman, mutlak diikuti dengan dalil/hujjah dari Al-Qur’an dan Hadits
2. Melarang dan mengharamkan sebuah perbuatan/ibadah seorang muslim tidak boleh hanya berlandaskan sebuah kaidah buatan manusia yang keliru bahwa “”Hukum asal ibadah adalah bathil/haram/terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkan”
Kaidah yang selama ini dipegangi oleh sebagian ulama bahwa “Hukum asal ibadah adalah bathil/haram/terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkan” adalah sebuah kekeliruan dan tidak ada landasan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Bagaimana bisa dikatakan hukum Ibadah itu asalnya bathil/haram/terlarang padahal sejak awalpun Allah ta’ala telah memerinci kewajiban, larangan dan pengharaman dan Allah tidak lupa ! Rasulullah saw pun telah mengatakan bahwa semua telah dijelaskan untuk kita.
“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (QS al-An’am: 119)
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS an-Nahl [16]:116 )
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun (dari perkataan atau perbuatan) yang (bisa) mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan (semuanya) telah dijelaskan bagimu (dalam agama Islam ini)” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
Perkataan atau perbuatan yang mendekatkan kamu dari surga = kewajiban, menjauhkanmu dari neraka = larangan.
Jadi seluruh kewajiban, larangan, pengharaman sudah ditetapkan dan dijelaskan sejelas-jelasnya, Allah tidak lupa!, selebihnya Allah ta’ala diamkan atau bolehkan (mubah) sebagai tanda kasihNya kepada hambaNya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kaidah “hukum asal ibadah adalah bathil/haram/terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkan” berlandaskan hadits berikut,
Dari Ummul Mu’minin, Ummu ‘Abdillaah, ‘Aisyaah rodhiallaahu’anhaa, berkata: Rosulullaah Shallallaahu’alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini yang bukan berasal darinya, maka tertolak.” [Riwayat Bukhori dan Muslim]
Hadits itu tidak menerangkan bahwa semua ibadah hukum asalnya adalah haram/bathil/terlarang. Hadits itu menerangkan yang tertolak/terlarang adalah bid’ah dalam urusan kami (ibadah mahdah) .
“Urusan kami” adalah urusan yang semuanya dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadits berikut.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
“Dalam urusan kami”, yakni apa-apa yang telah Allah ta’ala tetapkan seluruh kewajiban, seluruh yang telah dilarang/diharamkan dan sisanya adalah di diamkan (boleh/mubah) dan Allah ta’ala tidak lupa.
“Dalam urusan kami” inilah yang dimaksud “ibadah mahdah” sedangkan ibadah ghairu mahdah boleh kita berinovasi, berkreasi, menyesuaikan dengan kepentingan atau kebutuhan, bolehlah melakukan perbuatan / ibadah walaupun tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw, asalkan tidak melanggar dalil yang melarangnya yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadits. Bid’ah dalam ibadah ghairu mahdah inilah yang dinamakan bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.
Sebagaimana yang disampaikan Imam as Syafii ra “Apa yang baru terjadi dan menyalahi kitab al Quran atau sunnah Rasul atau ijma’ atau ucapan sahabat, maka hal itu adalah bid’ah yang dhalalah. Dan apa yang baru terjadi dari kebaikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari hal tersebut, maka hal itu adalah bid’ah mahmudah (terpuji)“.
atau sebagaimana Rasulullah saw telah bersabda:
Maknanya: “Barangsiapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun”. (H.R. Muslim dalam Shahih-nya)
Prinsipnya adalah tiada lagi yang terlahir sebagai sebuah larangan/haram/bathil selain yang Allah ta’ala telah tetapkan dan Allah tidak lupa !
Kaidah yang benar adalah,
“Hukum asal (segala sesuatu) yang dilarang (tahriim) jika ada dalil yang menegaskan (‘ibahah)”
Kaidah ini sesuai dengan firman Allah yang artinya,“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (al-An’am: 119)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS an-Nahl [16]:116 )
“Segala sesutu tidak boleh dianggap sebagai syari’at kecuali dengan adanya dalil dari al-Kitab atau as-Sunnah“,
Ini selaras dengan hadits Nabi saw,
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
atau kaidah yang telah saya sampaikan
“Hukum asal ibadah/perbuatan adalah mubah(boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya atau mengaturnya“
Selengkapnya adalah
Hukum asal perbuatan / ibadah manusia adalah mubah (boleh) namun jika mereka mengingat Allah, memandang Allah, mengaku sebagai hamba Allah, merujuk kepada petunjukNya (al-Quran dan Hadits) akan berubah hukumnya sesuai petunjukNya yakni bisa berubah menjadi haram (larangan) atau wajib, atau sunnah atau makruh atau syubhat atau pula tetap sebagai mubah.
Kaidah ini telah diuraikan dalam tiga tulisan pada
- https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/19/kesalahpahaman-tentang-ibadah/
- https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/08/27/ibadah-dan-bidah/
- https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/09/01/kegemparan-sebuah-kaidah/
3. Mengikuti pelarangan dan pengharaman ulama tanpa diikuti dalil/hujjah dari Al-Qur’an dan Hadits merupakan sebuah kesesatan yang nyata karena menghamba kepada selain Allah swt sebagaimana yang diuraikan berikut ini
Al-Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan halal dan haram, kewajiban dan larangan dengan firmannya sebagai berikut: “Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam (telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan.” (at-Taubah: 31)
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu.
Maka jawab Nabi s.a.w.: “Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Wassalam
Ass wr wb
Nama saya Mardiyanto, saya orang awam dalam Islam tapi saya berusaha untuk menjadi hamba yang tidak tersesat dalam beribadah kepada Alloh. Karena orang awam saya tidak ingin berkomentar tapi ingin bertanya supaya menjadi faham terhadap yang Bapak jelaskan. Bapak menjelaskan :“Dalam urusan kami” inilah yang dimaksud “ibadah mahdah” sedangkan ibadah ghairu mahdah boleh kita berinovasi, berkreasi, menyesuaikan dengan kepentingan atau kebutuhan, bolehlah melakukan perbuatan / ibadah walaupun tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw, asalkan tidak melanggar dalil yang melarangnya yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadits. Bid’ah dalam ibadah ghairu mahdah inilah yang dinamakan bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah.”
Saya ingin berkreasi dalam ibadah ghairu mahdah, misalnya : Saya ingin diridhoi oleh Alloh dengan berkreasi membuat ibadah ghairu mahdah dengan cara setiap pagi jam 7 saya pergi ke masjid, berwudhu kemudian saya menghadap ke kiblat bertakbir 10 kali seperti orang mau sholat tapi ini bukan sholat tapi kreasi saya sendiri, pindah menghadap ke utara kemudian bertakbir 15 kali seperti pada saat menghadap ke kiblat, saya lanjutkan menghadap ke timur bertakbir seperti sholat sebanyak 20 kali, terakhir saya menghadap ke selatan dan bertakbir seperti sebelumnya sebanyak 25 kali. Perbuatan ini saya wajibkan bagi diri saya sendiri sebagai ibadah ghairu mahdah dengan keyakinan agar disayangi Alloh. Perbuatan saya ini sepanjang pengetahuan saya tidak ada larangan di Al Quran atau Al Hadist. Kalau dilihat dari kebaikannya banyak sekali diantaranya menyehatkan, bertakbir, berwudhu, siar pergi ke masjid dan lain-lain. Pertanyaan saya pak, apakah apa yang saya lakukan ini akan dibalas oleh Alloh seperti apa yang saya inginkan dan ini termasuk ibadah ghairu mahdah ? Sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih atas jawabannya dan sekali lagi saya ini orang awam yang tidak bisa berkomentar tapi hanya bisa bertanya. Wass wr wb
Walaikumsalam Warahmatullahi wabarakatuh
Mas Marddiyanto , masalah sholat sudah disampaikan oleh Rasulullah baik yang wajib dan yang sunnah
Telah menceritakan kepada kami Isma’il Telah menceritakan kepadaku Malik bin Anas dari pamannya – Abu Suhail bin Malik – dari bapaknya, bahwa dia mendengar Thalhah bin ‘Ubaidullah berkata: Telah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seorang dari penduduk Najed dalam keadaan kepalanya penuh debu dengan suaranya yang keras terdengar, namun tidak dapat dimengerti apa maksud yang diucapkannya, hingga mendekat (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) kemudian dia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Shalat lima kali dalam sehari semalam. Kata orang itu: apakah ada lagi selainnya buatku. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Dan puasa Ramadlan. Orang itu bertanya lagi: Apakah ada lagi selainnya buatku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) . Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut: Zakat: Kata orang itu: apakah ada lagi selainnya buatku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) . Thalhah bin ‘Ubaidullah berkata: Lalu orang itu pergi sambil berkata: Demi Allah, aku tidak akan menambah atau menguranginya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Dia akan beruntung jika jujur menepatinya. (HR Bukhari 44)
Contoh kebiasaan bersedekah untuk anak yatim setiap hari Jum’at sebelum sholat jum’at adalah kebiasaan yang baik karena memang tidak ada dalil yang melarangnya.
Contoh lain, perintahnya adalah berdoalah dan bersholawatlah. Namun berdoa dan bersholawat tidak wajib sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Berdoa dan bersholawat boleh mempergunakan bahasa kita sendiri yakni bahasa Indonesia atau bahasa daerah.
Contoh untaian doa dan dzikir atau ratib Al Haddad , tentulah Rasulullah tidak pernah membaca ratib Al Haddad karena ratib Al Haddad dibuat oleh Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad sekitar 1071 H namun ratib Al Haddad tidak termasuk bid’ah sayyiah ataupun bid’ah dholalah. Untaian doa dan dzikir, Ratib Al Haddad termasuk perkara baru dalah ibadah ghairu mahdhah atau perkara baru (bid’ah) dalam kebiasaan.
Contoh bid’ah hasanah yang dilakukan oleh Imam Syafi’i ~rahimahullah adalah beliau sering bersholawat dengan sholawat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Al- Mazani bertutur sebagai berikut: Saya bermimpi melihat Imam Al-Syafi’i. Lalu saya bertanya pada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah terhadap diri Anda?”
Beliau menjawab, Allah telah mengampuni diriku berkat shalawat yang aku cantumkan di dalam kitab Al-Risalah, yaitu: Allahumma shalli ‘ala Muhammadin kullama dzakaraka al-Dzakiruna wa Shalli ‘ala Muhammadin kullama ghafala ‘an dzikrik al-Ghafiluna.”
Sementara itu, Imam Al-Ghazali di dalam kitab Al-Ihya’ menuturkan hal berkut: Abu Al-Hasan Al-Syafi’i menuturkan, “Saya telah bermimpi melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lalu saya bertanya, “Ya Rasulullah, dengan apa Al-Syafi’i diberi pahala dari sebab ucapannya dalam kitab Al-Risalah: Washallallahu ‘ala muhammaddin kullama dzakara al-Dzdakirun waghafala ‘an dzikrik al-ghafilun?’ Rasulullah menjawab: ‘la tidak ditahan untuk dihisab.”‘
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Mimpi baik yang berasal dari seorang yang shalih adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.” (HR Bukhari 6468)
Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim; Telah menceritakan kepada kami Rauh; Telah menceritakan kepada kami Zakaria bin Ishaq; Telah menceritakan kepadaku Abu Az Zubair bahwa dia mendengar Jabir bin ‘Abdullah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa bermimpi melihatku dalam tidurnya, maka sesungguhnya dia benar-benar melihatku; karena setan itu tidak dapat menyerupai bentukku.” (HR Muslim 4210)
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Shabbah Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir aku mendengar Auf telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sirin bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika akhir zaman semakin mendekat, mimpi seorang mukmin nyaris tidak bohong, dan mimpi seorang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh bagian kenabian, dan apa yang berasal dari kenabian tentu tidaklah bohong. (HR Bukhari 6499)
Jadi boleh kita membuat sholawat sebagaimana kita ingin mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selama matan atau redaksi sholawat tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Perkara baru (bid’ah) dalam perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.
Berikut pendapat Imam Syafi’i ra
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-pokok syar’i “ maksudnya perbedaan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Selengkapnya silahkan baca tulisan yang lebih baru pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/06/08/bicara-tentang-bidah/
Mohon maaf sebelumnya, saya juga orang awam. kalau boleh saya memberi komentar bukan jawaban, bahwasannya apa yang diilustrasikan pak mardiyanto menurut saya boleh saja, namun apakah akan dibalas oleh Allah SWT maka hanya Allah SWT yang tahu. Hal ini saya katakan karena saya juga tidak menemui larangan dalam Qur’an dan hadis. Berwudhu dan bertakbir memang jelas kebaikan, namun kenapa harus menghadap ke 4 arah ini perlu dipertanyakan apa faedahnya? Misalnya g ada faedahnya dan tidak ada larangannya berarti boleh tapi tidak berfaedah, simpel saja. Kalau boleh saya jujur, pengetahuan tentang Qur’an dan hadis saya sangat sedikit sehingga saya tidak menemukan larangan dalam Qur’an dan hadis atas masalah tersebut. Menurut pendapat saya sebaiknya orang yang melakukan/berkreasi dengan ibadah ghoiru mahdoh seharusnya orang yang kompeten,menguasai banyak hadis serta mampu memahami dan mengamalkan Al qur’an dengan baik serta menguasai ilmu para ulama’ sehingga tahu kalau ada larangan-larangan atas ibadah ghoiru mahdoh tersebut serta tahu apa fadilah atau buah dari ibadah ghoiru mahdah tersebut. Misalnya apa yang dilakukan oleh : imam syafi’i dan walisongo di bumi jawa. Banyak bid’ah hasanah yang dilakukan ulama’ besar, kita tinggal mengikuti saja. Ibarat ada koki profesional yang hebat tidak tertandingi yang seumur hidupnya membuat kue, kita yang memang tidak ada bakat, tidak ada kesempatan waktu belajar dan tidak pernah bisa membuat kue tersebut apabila kita disuguhi ya tinggal kita makan saja, tidak perlu mempelajari cara membuat kue dan mempraktekkannya sampai kuenya sama persis karena kita bukan koki seperti dia. Tahu secara garis besar cara membuatnya ya tidak apa apa. Kalaupun mau membuat kreasi kue ya boleh saja asalkan jangan sampai membuat rumah terbakar dan membahayakan diri sendiri. Apabila ada kata kurang sopan dan keliru saya mohon maaf.
Silahkan baca pula tulisan terkait pada