Paham anti mazhab adalah bid’ah yang paling gawat
Berikut pendapat ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang menjadi rujukan bagi mereka yang telah disampaikan kepada kami
****** awal kutipan ******
“Aku adalah orang yang bertaqlid kepada Kitab dan Sunnah, serta para salafus salih. Aku juga bergantung dengan perkataan para imam madzhab yang empat; Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Semoga Allah merahmati mereka semua.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: V/97).
“Seandainya kalian mendapatkan fatwaku menyelisihi ijma’ para ulama, maka tunjukkan padaku.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/53)
“Jika kalian mengira bahwa para ulama telah menyelisihi apa yang aku ajarkan, sesungguhnya di hadapan kalian ada kitab-kitab mereka, (bacalah dengan seksama dan bandingkan dengan apa yang kuajarkan).” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/58).
“Aku selalu membandingkan perkataan orang yang bermadzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali dengan perkataan ulama yang mu’tamad (terpercaya) dalam madzhab tersebut.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/82).
“Walhasil yang aku ingkari adalah pengkultusan terhadap selain Allah ta’ala. Maka jika ajaranku bersumber dari pendapatku sendiri, atau dari buku yang tidak tepercaya, atau semata-mata dari hasil taqlidku kepada para ulama mazhabku (mazhab Hambali); maka buanglah jauh-jauh ajaranku. Namun jika ajaranku bersumber dari Kitab dan Sunnah serta Ijma’ para ulama dari berbagai mazhab; maka tidak layak bagi orang yang beriman terhadap Allah ta’ala dan hari akhir, untuk menolaknya; hanya gara-gara kebanyakan orang di zamannya, atau di negerinya menyelisihi ajaran tersebut.” (Kitab ad-Durar as-Saniyah: I/76)
****** akhir kutipan *******
Tampak jelaslah pengakuan Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa Beliau menanggap mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat adalah pengkultusan terhadap selain Allah ta’ala.
Ulama besar Suriah, DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi telah berdialog dengan ulama Al Albani yang merupakan pengikut ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau ajaran Wahabi untuk mengetahui “pemahaman” ulama Al Albani langsung dari lisannya. Akhirnya kesimpulan Syaikh al Buthi dituangkan dalam buku berjudul Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam.
Berikut cuplikan dialog antara Syaikh al Buthi bersama Ulama Al Albani, sebelum syaikh al Buthi menuliskan buku tersebut di atas
***** awal kutipan *****
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”
Ulama Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.
Ulama Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”
Ulama al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”
Syaikh al-Buthi bertanya; “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”
Ulama al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ah-nya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Syaikh Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara mutawatir.”
Ulama Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab al-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam al-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”
Ulama Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menghadapi pertanyaan tersebut, ulama al-Albani terdiam.
***** akhir kutipan *****
Secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat Imam Mazhab yang empat dengan barometer al-Qur’an dan As Sunnah, jelas ia lebih berkompetensi atau lebih pandai dari Imam Mazhab yang empat.
Imam Ahmad bin Hanbal yang memiliki kompetensi dalam berijtihad dan beristinbat atau berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, tentu beliau lebih berhak “menghakimi” Imam Mazhab sebelum beliau. Namun kenyataannya beliau tetap secara independen berijtihad dan beristinbat atas sumber atau bahan yang dimilikinya dengan ilmu yang dikuasainya.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.
Zanni juga terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut lafaznya. Ayat Qur’an mengandung sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya beragam penafsiran.
Contoh dalam soal menyentuh wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu’, kata “aw lamastumun nisa” dalam al-Qur’an terbuka untuk ditafsirkan. Begitu pula lafaz “quru” (QS 2:228) terbuka untuk ditafsirkan. Ini yang dinamakan zanni al-dilalah.
Selain hadis mutawatir, hadis lainnya bersifat zanni al-wurud. Ini menunjukkan boleh jadi ada satu ulama yang memandang shahih satu hadis, tetapi ulama lain tidak memandang hadis itu shahih. Ini wajar saja terjadi, karena sifatnya adalah zanni al-wurud. Hadis yang zanni al-wurud itu juga ternyata banyak yang mengandung lafaz zanni al-dilalah.
Jadi, sudah terbuka diperselisihkan dari sudut keberadaannya, juga terbuka peluang untuk beragama pendapat dalam menafsirkan lafaz hadis itu.
* zanni al-wurud : selain hadis mutawatir
* zanni al-dilalah : lafaz dalam hadis mutawatir dan lafaz hadis yang lain (masyhur, ahad)
Syari’ah tersusun dari nash qat’i sedangkan fiqh tersusun dari nash zanni.
Contoh praktis:
1.
(a) kewajiban puasa Ramadlan (nashnya qat’i dan ini syari’ah),
(b) kapan mulai puasa dan kapan akhi Ramadlan itu (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: hadis mengatakan harus melihat bulan, namun kata “melihat” mengandung penafsiran.
2.
(a) membasuh kepala saat berwudhu itu wajib (nash qat’i dan ini Syari’ah)
(b) sampai mana membasuh kepala itu? (nashnya zanni dan ini fiqh)
Catatan: kata “bi” pada famsahuu biru’usikum terbuka utk ditafsirkan.
3.
(a) memulai shalat harus dengan niat (nash qat’i dan ini Syari’ah).
(b) apakah niat itu dilisankan (dengan ushalli) atau cukup dalam hati (ini Fiqh)
Catatan: sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan dalam bentuk “ushalli” untuk menguatkan hati sedangkan ulama lain memandang niat dalam hati saja sudah cukup
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak.
Sementara ada segelintir umat Islam menggabungkan pendapat Imam Mazhab yang empat atau talfiq.
Dalam bahasa Arab, kata talfiq (التَّلْفِيقُ) berasal dari kata (لَفَّقَ – يُلَفِّقُ – تَلْفِيقاً) yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain artinya mereka mengikuti seluruh pendapat Imam Mazhab yang empat.
Kita tidak dapat talfiq dalam arti menghakimi pendapat Imam Mazhab yang empat karena selain kita tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak dan kita pun tidak memiliki sumber-sumber untuk melakukan ijtihad dan istinbat sebagaimana yang dimiliki oleh Imam Mazhab yang empat.
Talfiq dalam arti digunakan dikarenakan situasi dan kondisi tidaklah mengapa. Seperti ikutilah apapun mazhab imam sholat karena diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan (kekhalifahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/03/mengada-ada-syariat/ bahwa mereka yang mengarang syariat atau mengada-ada syariat atau mengada-ada dalam urusan agama (urusan kami) adalah mereka yang melakukan bid’ah (perkara baru) dalam ibadah mahdhah.
Berikut contoh perkara baru (bid’ah) dalam ibadah mahdhah yang merupakan bid’ah dholalah
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram?”
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”
Dijawab : “Aku tidak setuju itu”. Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”
Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.
Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”
Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”
Kesimpulannya terlarang bid’ah dalam ibadah mahdhah yakni mewajibkan yang tidak diwajibkanNya.
Apa pun yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah perintahNya dan begitupula apa pun yang dilarang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah laranganNya
Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).
Dari Miqdam bin Ma’dikariba Ra. ia berkata: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; “Hampir tiba suatu zaman di mana seorang lelaki yang sedang duduk bersandar di atas kursi kemegahannya, lalu disampaikan orang kepadanya sebuah hadits dari haditsku maka ia berkata: “Pegangan kami dan kamu hanyalah kitabullah (Al-Qur’an) saja. Apa yang dihalalkan oleh Al-Qur’an kami halalkan. Dan apa yang ia haramkan kami haramkan”. (Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan sabdanya): “Padahal apa yang diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam samalah hukumnya dengan apa yang diharamkan Allah Subhanhu wa Ta’ala”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
PerintahNya yakni apa yang telah diwajibkanNya yang jika ditinggalkan berdosa dan laranganNya yakni apa yang telah dilarangNya dan diharamkanNya yang jika dilanggar atau dikerjakan berdosa adalah inti dari agama yang berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan dari akal pikiran manusia
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayatAth-Thabarani)
Jelaslah kita tidak boleh membuat bid’ah (perkara baru) dalam urusan agama atau dalam beberapa hadits disebut dengan “urusan kami” atau mengada-ada syariat atau mengarang syariat yakni mengada-ada larangan yang tidak dilarangNya , mengharamkan yang tidak diharamkanNya maupun mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahimbin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka perkara itu tertolak.” (HR Bukhari 2499)
Contoh lain mereka yang mengada-ada dalam syariat atau mengarang syariat atau bid’ah dalam ibadah mahdhah adalah mereka yang melakukan sholat subuh 3 raka’at atau orang yang menetapkan cara sholat berdasarkan pemahamannya sendiri secara otodidak (shahafi) terhadap Al Qur’an dan As Sunnah padahal dia bukanlah ahli isitidlal atau dia tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).
Oleh karenanya mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dalam perkara sholat mengikuti hasil ijtihad dan istinbat (menetapkan hukum perkara) yang dilakukan oleh Imam Mazhab yang empat karena mereka telah diakui oleh jumhur ulama sejak dahulu kala sebagai pemimpin atau imam mujtahid mutlak. Memang ada mazhab yang lain selain dari Imam Mazhab yang empat namun pada kenyataannya ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang lain sudah sukar ditemukan pada masa kini.
Ungkapan mereka yang dapat menyesatkan orang banyak berasal dari kutipan perkataan para Imam Mazhab yang empat adalah seperti “Kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti ulama. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Al-Imam Nawawi menyebutkan dalam Majmu’ Syarh Al Muhadzab , tidak bisa sembarang orang mengatakan demikian.
Al-Imam Nawawi menyebutkan beberapa syarat. “Sesungguhnya untuk hal ini, dibutuhkan seseorang yang memiliki tingkatan sebagai mujtahid dalam mazhab yang telah dijelaskan sebelumnya, dan dan ia harus berbaik sangka bahwa Imam Syafi’i belum sampai kepada hadits tersebut, atau belum mengetahui keshahihan hadits itu, dan ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang telah menela’ah semua kitab-kitab milik Imam Syafi’i dan kitab-kitab para sahabat yang mengambil darinya, dan syarat ini sulit, serta sedikit orang yang sampai pada tingkatan ini. Syarat ini kami sebutkan karena, Imam Syafi’i tidak mengamalkan dhahir hadits yang telah beliau ketahui, akan tetapi ada dalil lain yang mencacatkan hadits itu, atau yang menasakh hadits itu, atau yang mentakhish atau yang menta’wilkan hadits itu.
Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Berikut kami kutipkan tulisan tentang tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i dari http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
***** awal kutipan *****
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (1/71), mengenai tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi mufti dalam madzhab menjadi beberapa kelompok:
1. Mufti Mustaqil
2. Mujtahid Madzhab
3. Ashab Al Wujuh
4. Mujtahid Fatwa
5. Mufti Muqallid
1. Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)
Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah kemampuannya menciptakan metode yang dianut madzhabnya.
2. Mujtahid Madzhab
Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi, sebagaimana disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam As Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana disebutkan Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapat bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72).
Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantangan dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi imam sengaja meninggalkan hadits walau ia shahih dikarenakan manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang bersangkutan telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para pengikutnya, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi)
Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat imamnya sendiri, dan hal ini tidaklah jadi persoalan, karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai kaidah imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan pendapat Imam As Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i berpendapat bahwa maksimal masa nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)
3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak bertaklid kepada mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53).
4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)
Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.
5. Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal 7)
Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 9)
Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap menisbatkan diri dalam madzhab. Dan semuanya harus menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan belum memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu!
Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk mentarjih pendapat sesuai berdasarkan dalil yang ia pahami seakan-akan ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan menggugurkan pendapat mujtahid mustaqil dengan berargumen, idza shahah al hadits fahuwa madzhabi (jika suatu hadits shahih maka itulah madzhabku), seakan-akan ia satu level dengan Imam Al Muzani! Padahal yang bersangkutan belum menghatamkan dan menguasai kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam madzhab.
Mudah-mudahan kita terlindung dari hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk terus mencari ilmu, hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu yang mampu kita serap dan kita amalkan.
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Postingan yg sngat bgus..sbgai pijakan buat sluruh lapisan umat Islam. Ane mhn ridho nt tuk shar post ni. Skron..
Alhamdulillah, silahkan copas, silahkan sharing, silahkan sebarluaskan seluas-luasnya
Semoga bermanfaat dan barokah
Sudah lama saya mencari tulisan yang bisa menjawab dalil-dalil ulama salafi yang bukan salaf. Kalau bisa anda bukukan, karena banyak uraian yang diulang untuk tema yang berbeda. Terima kasih.
Timbulnya tulisan yang berulang-ulang dikarenakan dibuat untuk menjawab pertanyaan atau menanggapi tulisan-tulisan mereka