IBNU TAIMIYAH (Wafat tahun 1328 M.)
A. Sejarah Ringkasnya
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyuddin, Abdul Abbas bin Syihabuddin, Abu Mahasin Abd. Halim bin Majduddin, Abi Barakat Abdissalam bin Abi Muhammad Abdillah bin Abi Utsman al Khadar, bin Muhammad bin Al Khadar bin Ali bin Abdillah.
Famili ini dinamai Ibnu Taimiyah.
Sepanjang sejarah, bahwa asal perkataan “Taimiyah” adalah dari kakeknya yang bernama Muhammad bin Al Khadar. Beliau ketika naik haji ke Mekkah melalui jalan Taima’.
Sekembalinya dari haji ia dapati isterinya melahirkan seorang anak perempuan, yang kemudian diberi nama Taimiyah dan keturunannya dinamai Keturunan Ibnu Taimiyah.
Ahmad Taqiyuddin, yang kemudian dimasyhurkan dengan Ibnu Taimiyah saja, lahir di desa Heran, sebuah desa kecil di Palestina, tanggal 10 Rabi’ul Awal tahun 661 H.
Daerah Heran ini terkenal sedari dulu sebagai daerah Kristen Shabiin dan pola daerah orang pandai-pandai, ahli filsafat yang selalu mempermainkan akal.
Desa ini didiami bukan oleh suku Arab tetapi oleh suku Kurdi, maka karena itu Ahmad Taqiyuddin bukanlah dari bangsa Arab tetapi dari suku Kurdi.
Ia dari kecil belajar agama dari bapaknya, Syihabuddin. Syihabuddin adalah seorang Ulama penganut Madzhab Hanbali, begitu juga bapak Syihabuddin (nenek Ibnu Taimiyah) Majduddin juga ulama besar penganut Madzhab Hanbali.
Setelah usia 7 tahun, yaitu tahun 667 H. Seluruh famili Ibnu Taimiyah ini mengungsi ke Damsyik, Syria, karena desanya mungkin akan diserang oleh orang kafir, tentara Tartar, yang ketika itu sudah menduduki Bagdad.
Penduduk Damsyik ketika itu adalah campuran dari penganut-penganut Madzhab Hanbali, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Maliki.
Bapaknya, Syihabuddin, lantas menggabungkan diri dengan sebuah penganut madrasah agama dari Madzhab Hanbali yang ada di kota Damsyik. Dan anaknya Taqiyuddin, yakni Ibnu Taimiyah, dimasukkannya pula dalam sekolah itu. Di situlah Ibnu Taimiyah mendapat seluruh ilmunya, yaitu dari perguruan Madzhab Hanbali.
Ibnu Taimiyah kemudian menjadi ulama besar dalam Madzhab Hanbali, bukan saja dalam ilmu fiqih, tetapi juga dalam usuluddin, dalam ilmu tauhid.
Sayangnya, ia kemudian terpengaruh dengan faham kaum “musyabbihah dan mujassimah”, yaitu sekelompok kaum yang menyatakan bahwa Tuhan itu menyerupai manusia, pakai tangan, pakai kaki dan pakai muka.
Di dalam fiqih pun, walaupun ia penganut Madzhab Hanbali, tetapi banyak pula fatwa-fatwanya yang berlainan dari Madzhab Hanbali yang murni.
Jadi, Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama penganut Madzhab Hanbali yang kadang-kadang menyeleweng dari Madzhabnya.
Ia kadang-kadang berfatwa bersendiri, bebas dari garis Madzhab Hanbali, tetapi usul fikihnya tetap menurut Madzhab Hanbali, karena ia tidak mempunyai usul fikih sendiri (Baca buku “Ibnu Taimiyah” karangan Dr. Muhammad Yusuf Musa, halaman 168-169-170_.
Sumber-sumber dalam Madzhab Hanbali adalah :
- Kitabullah.
- Sunnah Rasul.
- Fatwa sahabat-sahabat.
- hadits Mursal atau Hadits Dha’if.
- Qiyas.
Kalau diteliti kitab “Fatawi Ibnu Taimiyah” (Fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah) nyatalah bahwa beliau memang benar-benar memegang garis usul Hanbali ini dalam fatwa-fatwa fikih.
Dan ia tidak pernah mengatakan bahwa sudah menjadi Mujtahid Muthlaq, lepas dari Madzhab Hanbali.
Di atas kami katakan bahwa ia banyak menyeleweng dari Madzhab Hanbali yang murni.
Ibnu Bathuthah, seorang pengembara abad ke VII H. Dari Tanjah Tunisia; menerangkan dalam bukunya terkenal “Rahlah Ibnu Bathuthah” (Pengembaraan Ibnu Bathuthah) pada jilid I, halaman 57 begini:
“Adalah di kota Damsyik seorang ahli fikih yang besar dalam Madzhab Hanbali, namanya Taqiyuddin Ibnu Taimiyah. Ia banyak membicarakan soal-soal ilmu pengetahuan, tetapi sayang “fi ‘aqlihi syai-un” (otaknya sedikit goncang).
Penduduk kota Damsyik menghormati orang itu. Pada suatu kali ia mengajar, berdiri di atas mimbar mesjid Damsyik yang besar itu. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa yang berlainan dari ahli fikih yang lain, sehingga ia akhirnya diadukan orang kepada Raja Nashir yang berkedudukan di Kairo. (Damsyik ketika itu di bawah kekuasaan Kairo). Ia dibawa ke Kairo dan kepadanya dihadapkan beberapa tuduhan dalam suatu pengadilan. Jaksa penuntut ketika itu namanya Syarafuddin Zawawi, seorang ahli hukum dalam Madzhab Hanbali juga.
Ibnu Taimiyah tidak menjawab sekalian tuduhan yang dimajukan kepadanya, tetapi jawabnya hanya ucapan “La Ilaha illallah” saja. Akhirnya ia dimasukkan dalam penjara, ditahan beberapa tahun. Setelah ditahan beberapa lama di penjara Kairo, ibunya memanjatkan permohonan kepada Raja Nashir, agar anaknya itu dibebaskan.
Raja Nashir memperkenankan permohonan ibu ini dan Ibnu Taimiyah menjadi bebas, dan pulang ke Damsyik.
Tetapi – kata Ibnu Bathuthah – terjadi lagi hal yang serupa itu. Saya ketika itu sedang berada di Damsyik, kata Bathuthah.
Pada hari Jum’at Ibnu Taimiyah berpidato di atas mimbar mesjid Damsyik. Di antara ucapannya dikatakan, bahwa Tuhan Allah turun ke langit dunia tiap-tiap malam, seperti turunnya saya ini, lalu ia turun dari mimbar.
Ketika itu hadir seorang ulama Madzhab lain, namanya Ibnu Zahra’. Ahli fikih ini mendebat Ibnu Taimiyah, karena ia menyerupakan Tuhan dengan dirinya, tetapi beberapa orang murid Ibnu Taimiyah memukul Ibnu Zahra’ ini, dan membawanya kepada Qadhi dalam Madzhab Hanbali (Madzhab Ibnu Taimiyah). Qadhi Izzuddin menghukum Ibnu Zahra’ beberapa hari dalam penjara, tetapi ahli-ahli fikih yang lain, yaitu ahli-ahli fikih Madzhab Syafi’i dan Maliki, memprotes hukuman Qadhi Izzuddin ini dan mengajukan perkaranya kepada Raja Besar (Malikul Muluk) bernama Saifuddin Tankiz.
Raja ini orang baik, kata Ibnu Bathuthah. Ia memerintah kepada Raja Nashir di Kairo supaya Ibnu Taimiyah dibawa ke pengadilan tinggi, karena fatwa Ibnu Taimiyah dalam agama banyak yang salah.
Di antara fatwanya yang salah itu, kata Ibnu Bathuthah, ialah bahwa thalaq tiga dijatuhkan sekaligus jatuh satu, berziarah ke Madinah ke makam Rasulullah adalah ma’syiyat (munkar) dan lain-lain.
Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa ibnu Taimiyah melakukan banyak kesalahan dalam Fatwanya, dalam fikih maupun dalam usuluddin, dan ia dihukum penjara dalam benteng Damsyik. Ia ditahan dan mati dalam penjara Damsyik tanggal 27 Syawal tahun 728 H.”
Demikianlah keterangan Ibnu Bathuthah seorang pengembara yang netral.
Dari cerita Ibnu Bathuthah ini dapat diambil kesimpulan :
- Ibnu Taimiyah penganut Madzhab Hanbali, tetapi ia banyak menyeleweng dalam fatwanya.
- Ia dua klai dimajukan ke muka pengadilan yang akhirnya dihukum penjara.
- Ia wafat dalam penjara.
Tersebut dalam buku “Ibnu Taimiyah” karangan Dr. Muhammad Yusuf Musa, keluaran Daruts Tsaqafah Mesir, yaitu buku yang sangat berpihak kepada Ibnu Taimiyah, pada halaman 102, 103, 104 dan 105 begini terjemahan bebasnya :
“ Bagaimana jugapun, ia dibawa ke mahkamah dan dituduh bahwa ia mempercayai bahwa Tuhan itu duduk benar-benar di atas ‘Arasy, boleh ditunjuk dengan jari ke atas, bahwa Tuhan berkata dengan huruf dan suara”.
Jaksa menuntut supaya Ibnu Taimiyah dihukum mati. Setelah Ketua pengadilan, Qadhi Ibnu Makhluf bertanya kepada Ibnu Taimiyah tentang tuduhan itu, beliau memulai jawabannya dengan alhamdulillah dan salawat seperti berpidato, maka ia dibentak, bahwa tempat itu bukan tempat untuk berpidato tetapi langsung harus jawab, bagaimana ?
Ibnu Taimiyah bertanya : Siapa ketua pengadilan :
Dijawab : Ibnu Makhluf.
Ibnu Taimiyah menjawab : Engkau musuh saya, bagaimana bisa menghukum saya?
Kemudian Ibnu Taimiyah dihukum penjara.
Sesudah itu keluar siaran pemerintah, supaya sekalian rakyat yang termakan pengajaran Ibnu Taimiyah supaya kembali kepada kebenaran, kalau tidak akan diambil tindakan.
Banyaklah ketika itu penganut-penganut Madzhab Hanbali, yang menerima pengajian Ibnu Taimiyah dimasukkan dalam penjara, baik di Syam ataupun di Mesir.
Setelah ia ditahan setahun dan beberapa bulan ia dibebaskan atas permintaan seorang raja Arab, namanya Hisamuddin.
Setelah dibebaskan ia tidak pulang ke Damsyik tetapi tinggal di Mesir. Di Mesir ia berfatwa menghantam Ulama-ulama tasauf.
Kemudian ia ditangkap lagi lalu diberi hukuman pulang ke Damsyik atau tinggal di Iskandariah atau penjara.
Maka ia menerima penjara, karena tidak mau menerima syarat-syarat, tetapi kemudian murid-muridnya mendesak supaya ia pulang ke Damsyik.
Pada tahun 712 ia kembali ke Damsyik sesudah meninggalkannya selama 7 tahun.
Kemudian di Damsyik ia berfatwa lagi yang ganjil-ganjil, di antaranya:
- Bersumpah dengan thalak tidak jatuh thalak kalau dilanggar, apabila yang bersumpah membayar kafarat sumpah.
- Thalak 3 sekaligus jatuh satu.
- Bepergian ziarah ke makam-makam, seperti makam Nabi Ibrahim di Madinatul Khalil dan makam Nabi Muhammad SAW. di Madinah adalah perbuatan munkar.
Kemudian pada tahun 726 H. ia ditangkap lagi atas perintah Sultan dan dikurung dalam penjara benteng Damsyik. Banyak murid-muridnya ketika itu ditangkap dan dikurung bersama-sama, diantaranya muridnya yang setia Syamsuddin Muhammad bin Al Qayim al Jauziah (Ibnu Qayim al Jauzi, pengarang Zadul Ma’ad, pen).
Maka wafatlah beliau dalam penjara benteng Damsyik 20 Dzil Kaedah tahun 728.
Demikian keringkasan keterangan Doktor Muhammad Yusuf Musa. Keterangan ini hampir sama dengan keterangan Ibnu Bathuthah.
Tersebut dalam kitab “Daf’us Syubah man tasyabbaha wa tamarrad” karangan Mufti dan Syeikhul Islam Taqiyuddin al Husaini ad Dimsyaqi (wafat di Damsyik tahun 829 H) pada pagina 41 bengini artinya :
“Mengabarkan Abu Hasan ‘Ali Ad Dimsyaqi, ia terima dari bapaknya, bahwa bapaknya menghadiri majelis Ibnu Taimiyah di Mesjid Damsyik. Ibnu Taimiyah memberi pelajaran di hadapan umum. Ketika ia sampai kepada pengajian ayat “Tuhan istawa di atas ‘Arasy” maka ia mengatakan, bahwa Tuhan duduk bersela di atas ‘Arasy seperti saya ini.
Pada ketika itu pendengar jadi ribut, karena Ibnu Taimiyah menyerupakan selanya dengan sela Tuhan, sehingga Ibnu Taimiyah dilempari dengan sandal, sepatu dan diturunkan dari kursi duduknya, ditampar dan diperpukulkan bersama-sama”. Demikian al Husaini.
Jadi dapat diyakini, sesuai dengan fakta-fakta sejarah, bahwa Ibnu Taimiyah banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang salah, yang bertentangan dengan pendapat Ulama-ulama Islam yang lain, sehingga beliau pada akhirnya masuk penjara dua kali, satu di Mesir dan kedua di Damsyik dan wafat dalam penjara tahun 728 H.
Inilah sejarah singkat dari Ibnu Taimiyah, yang dikatakan orang pemimpin gerakan modernisasi agama Islam dan penganut faham Salaf atau pemimpin gerakan Salaf.
B. Konsepsinya
Konsepsi Ibnu Taimiyah dalam memodernisasi agama dan faham agama adalah di antaranya sebagai berikut :
a. Dalam usuluddin
- Tuhan bersela di atas ‘Arasy, serupa selanya Ibnu Taimiyah.
- Tuhan sama besarnya dengan ‘Arasy.
- Tuhan turun setiap akhir malam ke langit dunia serupa turunnya Ibnu Taimiyah dari mimbar.
- Tuhan bersabda di jihat atas, boleh ditunjuk dengan telunjuk ke atas.
- Tuhan bertubuh, berjihat dan pindah-pindah tempat.
- Tuhan bicara dengan huruf dan suara.
- Sifat Tuhan hadits (baru) dan yang hadits itu melekat pada Zat Tuhan yang qadim.
- Qur’an itu baru (Hadits) bukan qadim.
- Nabi-nabi tidak mashum.
- Bepergian ziarah ke makam-makam, seumpama makam Nabi di Madinah, makam Ibrahim di mesjid Rhanl, makam wali dan ulama adalah pekerjaan mashiyat (munkar).
- Mendo’a dengan bertawassul syirik.
- Istiqatsah dengan Nabi Syirik.
- Neraka akan lenyap bukan kekal.
- Mengingkari ijma’ tidak kafir.
b. Dalam fiqih.
- Thalaq tiga sekaligus jatuh satu.
- Thalaq ketika isteri berkain kotor tidak jatuh.
- Sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak diqadha.
- Orang junub boleh sembahyang sunat malam tanpa mandi lebih dahulu.
- Bersumpah dengan thalaq, tidak jatuh ketika sumpah itu dilanggar, tapi wajib dibayar kafarat sumpah saja.
- Orang yang tidak sembahyang tidak boleh diberi zakat.
- Boleh qashar sembahyang dalam perjalanan, walaupun perjalanan itu pendek.
- Boleh tayamum walaupun ada air untuk sembahyang, kalau dikhawatirkan akan habis waktu kalau berwudhu’.
- Syarat si Wakil tak diperdulikan.
- Thalaq di waktu suci yang disetubuhi tidak jatuh.
- Wanita yang tidak bisa mandi di rumah dan sulit pergi mandi ke kolam di luar rumah boleh tayamum saja.
- Air yang sedikit (kurang dua kulah) tidak akan menjadi najis oleh kemasukan najis, kecuali kalau ada perobahannya.
c. Dalam tasauf
- Tasauf dan amal orang tasauf seumpama tharikat-tharikat harus dibuang jauh-jauh.
- Ulama-ulama tasauf dikecam habis-habisan.
Demikian konsepsi Ibnu Taimiyah dalam memodernisasi agama, yang kami kutip dari bermacam-macam buku diantaranya buku karangan Doktor Yusuf Musa, yang berjudul “Ibnu Taimiyah”.
Sumber: 40 Masalah Agama, K.H. Siradjuddin Abbas, Jilid 2, hal 217 s/d 224
Dibawah ini tentang Ibnu Taimiyah, bersumber dari http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/06/01/para-ulama-ahlussunnah-memerangi-ibn-taimiyah-mengenal-tiang-utama-ajaran-sesat-wahabi/
Ibn Taimiyah (w 728 H) adalah sosok kontroversial yang segala kesesatannya telah dibantah oleh berbagai lapisan ulama dari empat madzhab; ulama madzhab Syafi’i, ulama madzhab Hanafi, ulama madzhab Maliki, dan oleh para ulama madzhab Hanbali. Bantahan-bantahan tersebut datang dari mereka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri maupun dari mereka yang datang setelahnya. Berikut ini adalah di antara para ulama tersebut dengan beberapa karyanya masing-masing :
1. Al-Qâdlî al-Mufassir Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i (w 733 H).
2. Al-Qâdlî Ibn Muhammad al-Hariri al-Anshari al-Hanafi.
3. Al-Qâdlî Muhammad ibn Abi Bakr al-Maliki.
4. Al-Qâdlî Ahmad ibn Umar al-Maqdisi al-Hanbali. Ibn Taimiyah di masa hidupnya dipenjarakan karena kesesatannya hingga meninggal di dalam penjara dengan rekomedasi fatwa dari para hakim ulama empat madzhab ini, yaitu pada tahun 726 H. Lihat peristiwa ini dalam kitab ‘Uyûn at-Tawârikh karya Imam al-Kutubi, dan dalam kitab Najm al-Muhtadî Fî Rajm al-Mu’tadî karya Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi.
5. Syekh Shaleh ibn Abdillah al-Batha-ihi, Syekh al-Munaibi’ ar-Rifa’i. salah seorang ulama terkemuka yang telah menetap di Damaskus (w 707 H).
6. Syekh Kamaluddin Muhammad ibn Abi al-Hasan Ali as-Sarraj ar-Rifa’i al-Qurasyi asy-Syafi’i. salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
• Tuffâh al-Arwâh Wa Fattâh al-Arbâh
7. Ahli Fiqih dan ahli teologi serta ahli tasawwuf terkemuka di masanya; Syekh Tajuddin Ahmad ibn ibn Athaillah al-Iskandari asy-Syadzili (w 709 H).
8. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) di seluruh wilayah negara Mesir; Syekh Ahmad ibn Ibrahim as-Suruji al-Hanafi (w 710 H).
• I’tirâdlât ‘Alâ Ibn Taimiyah Fi ‘Ilm al-Kalâm.
9. Pimpinan para hakim madzhab Maliki di seluruh wilayah negara Mesir pada masanya; Syekh Ali ibn Makhluf (w 718 H). Di antara pernyataannya sebagai berikut: “Ibn Taimiyah adalah orang yang berkeyakinan tajsîm, dan dalam keyakinan kita barangsiapa berkeyakinan semacam ini maka ia telah menjadi kafir yang wajib dibunuh”.
10. Syekh al-Faqîh Ali ibn Ya’qub al-Bakri (w 724 H). Ketika suatu waktu Ibn Taimiyah masuk wilayah Mesir, Syekh Ali ibn Ya’qub ini adalah salah seorang ulama terkemuka yang menentang dan memerangi berbagai faham sesatnya.
11. Al-Faqîh Syamsuddin Muhammad ibn Adlan asy-Syafi’i (w 749 H). Salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah yang telah mengutip langsung bahwa di antara kesesatan Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy, dan secara hakekat Dia berada dan bertempat di atasnya, juga mengatakan bahwa sifat Kalam Allah berupa huruf dan suara.
12. Imam al-Hâfizh al-Mujtahid Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H).
• al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr.
• ad-Durrah al-Mudliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah.
• Syifâ’ as-Saqâm Fî Ziyârah Khair al-Anâm
• an-Nazhar al-Muhaqqaq Fi al-Halaf Bi ath-Thalâq al-Mu’allaq.
• Naqd al-Ijtimâ’ Wa al-Iftirâq Fî Masâ-il al-Aymân Wa ath-Thalâq.
• at-Tahqîq Fî Mas-alah at-Ta’lîq.
• Raf’u asy-Syiqâq Fî Mas’alah ath-Thalâq.
13. Al-Muhaddits al-Mufassir al-Ushûly al-Faqîh Muhammad ibn Umar ibn Makki yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Murahhil asy-Syafi’i (w 716 H). Di masa hidupnya ulama besar ini telah berdebat dan memerangi Ibn Taimiyah.
14. Imam al-Hâfizh Abu Sa’id Shalahuddin al-‘Ala-i (w 761 H). Imam terkemuka ini mencela dan telah memerangi Ibn Taimiyah. Lihat kitab Dakhâ-ir al-Qashr Fî Tarâjum Nubalâ’ al-‘Ashr karya Ibn Thulun pada halaman 32-33.
• Ahâdîts Ziyârah Qabr an-Naby.
15. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) kota Madinah Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al-Hanbali (w 726 H).
16. Imam Syekh Ahmad ibn Yahya al-Kullabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
• Risâlah Fî Nafyi al-Jihah.
17. Al-Qâdlî Kamaluddin ibn az-Zamlakani (w 727 H). Ulama besar yang semasa dengan Ibn Taimiyah ini telah memerangi seluruh kesesatan Ibn Taimiyah, hingga beliau menuliskan dua risalah untuk itu. Pertama dalam masalah talaq, dan kedua dalam masalah ziarah ke makam Rasulullah.
18. Al-Qâdlî Shafiyuddin al-Hindi (w 715 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
19. Al-Faqîh al-Muhaddits Ali ibn Muhammad al-Baji asy-Syafi’i (w 714 H). Telah memerangi Ibn Taimiyah dalam empat belas keyakinan sesatnya, dan telah mengalahkan serta menundukannya.
20. Sejarawan terkemuka (al-Mu-arrikh) al-Faqîh al-Mutakallim al-Fakhr ibn Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H).
• Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî
21. Al-Faqîh Muhammad ibn Ali ibn Ali al-Mazini ad-Dahhan ad-Damasyqi (w 721 H).
• Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah ath-Thalâq
• Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah az-Ziayârah
22. Al-Faqîh Abu al-Qasim Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad asy-Syirazi (w 733 H).
• Risâlah Fi ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah
23. Al-Faqîh al-Muhaddits Jalaluddin al-Qazwini asy-Syafi’i (w 739 H).
24. As-Sulthan Ibn Qalawun (w 741 H). Beliau adalah Sultan kaum Muslimin saat itu, telah menuliskan surat resmi prihal kesesatan Ibn Taimiyah.
25. Al-Hâfizh adz-Dzahabi (w 748 H) yang merupakan murid Ibn Taimiyah sendiri.
• Bayân Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.
• an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah.
26. Al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi (745 H).
• Tafsîr an-Nahr al-Mâdd Min al-Bahr al-Muhîth
27. Syekh Afifuddin Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al-Yamani al-Makki (w 768 H).
28. Al-Faqîh Syekh Ibn Bathuthah, salah seorang ulama terkemuka yang telah banyak melakukan rihlah (perjalanan).
29. Al-Faqîh Tajuddin Abdul Wahhab ibn Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H).
• Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ
30. Seorang ulama ahli sejarah terkemuka (al-Mu-arrikh) Syekh Ibn Syakir al-Kutubi (w 764 H).
• ‘Uyûn at-Tawârikh.
31. Syekh Umar ibn Abi al-Yaman al-Lakhmi al-Fakihi al-Maliki (w 734 H).
• at-Tuhfah al-Mukhtârah Fî ar-Radd ‘Alâ Munkir az-Ziyârah
32. Al-Qâdlî Muhammad as-Sa’di al-Mishri al-Akhna’i (w 750 H).
• al-Maqâlât al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Man Yunkir az-Ziyârah al-Muhammadiyyah, dicetak satu kitab dengan al-Barâhîn as-Sâthi’ah karya Syekh Salamah al-Azami.
33. Syekh Isa az-Zawawi al-Maliki (w 743 H).
• Risâlah Fî Mas-alah ath-Thalâq.
34. Syekh Ahamad ibn Utsman at-Turkimani al-Jauzajani al-Hanafi (w 744 H).
• al-Abhâts al-Jaliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah.
35. Imam al-Hâfizh Abdul Rahman ibn Ahmad yang dikenal dengan Ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H).
• Bayân Musykil al-Ahâdîts al-Wâridah Fî Anna ath-Thalâq ats-Tsalâts Wâhidah.
36. Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H).
• ad-Durar al-Kâminah Fî A’yân al-Mi-ah ats-Tsâminah.
• Lisân al-Mizân.
• Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri.
• al-Isyârah Bi Thuruq Hadîts az-Ziyârah.
37. Imam al-Hâfizh Waliyuddin al-Iraqi (w 826 H).
• al-Ajwibah al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-As-ilah al-Makkiyyah.
38. Al-Faqîh al-Mu-arrikh Imam Ibn Qadli Syubhah asy-Syafi’i (w 851 H).
• Târîkh Ibn Qâdlî Syubhah.
39. Al-Faqîh al-Mutakallim Abu Bakar al-Hushni penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr (829 H).
• Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa Nasaba Dzâlika Ilâ Imam Ahmad.
40. Salah seorang ulama terkemuka di daratan Afrika pada masanya; Syekh Abu Abdillah ibn Arafah at-Tunisi al-Maliki (w 803 H).
41. Al-‘Allâmah Ala’uddin al-Bukhari al-Hanafi (w 841 H). Beliau mengatakn bahwa Ibn Taimiyah adalah seorang yang kafir. Beliau juga mengkafirkan orang yang menyebut Ibn Taimiyah dengan Syekh al-Islâm jika orang tersebut telah mengetahui kekufuran-kekufuran Ibn Taimiyah. Pernyataan al-’Allâmah Ala’uddin al-Bukhari ini dikutip oleh Imam al-Hâfizh as-Sakhawi dalam kitab adl-Dlau’ al-Lâmi’.
42. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamiduddin al-Farghani ad-Damasyqi al-Hanafi (w 867 H).
• ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fi al-I’tiqâdât.
43. Syekh Ahamd Zauruq al-Fasi al-Maliki (w 899 H).
• Syarh Hizb al-Bahr.
44. Imam al-Hâfizh as-Sakhawi (902 H)
• al-I’lân Bi at-Taubikh Liman Dzamma at-Târîkh.
45. Syekh Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan Ibn Abd as-Salam al-Mishri (w 931 H)
• al-Qaul an-Nâshir Fî Radd Khabbath ‘Ali Ibn Nâshir.
46. Al-‘Allâmah Syekh Ahmad ibn Muhammad al-Khawarizmi ad-Damasyqi yang dikenal dengan Ibn Qira (w 968 H).
47. Imam al-Qâdlî al-Bayyadli al-Hanafi (1098 H)
• Isyârât al-Marâm Min ‘Ibârât Imam.
48. Syekh al-‘Allâmah Ahmad ibn Muhammad al-Witri (w 980 H)
• Raudlah an-Nâzhirîn Wa Khulâshah Manâqib ash-Shâlihîn.
49. Al-Faqîh al-’Allâmah Syekh Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H).
• al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah.
• al-jawhar al-Munazh-zham Fî Ziyârah al-Qabr al-Mu’azham.
• Hâsyihah al-Idlâh Fî Manâsik al-Hajj Wa al-‘Umrah.
50. Syekh Jalaluddin ad-Dawani (w 928 H).
• Syarh al-‘Aqâ-id al-Adludiyyah.
51. Syekh Abd an-Nafi ibn Muhammad ibn Ali ibn Iraq ad-Damasyqi (w 962 H). Lihat kitab Dakhâ-ir al-Qashr Fî Tarâjum Nubalâ’ al-Ashr karya Ibn Thulun pada halaman 32-33.
52. Syekhal-Qâdlî Abu Abdillah al-Maqarri.
• Nazhm al-La-âlî Fî Sulûk al-Âmâlî.
53. Syekh Mulla Ali al-Qari al-Hanafi (w 1014 H)
• Syarh asy-Syifâ Bi Ta’rif Huqûq al-Musthafâ Li al-Qâdlî ‘Iyâdl.
54. Imam Syekh Abd ar-Ra’uf al-Munawi asy-Syafi’i (w 1031 H).
• Syarh asy-Syamâ’il al-Muhammadiyyah Li at-Tirmidzi.
55. Syekh al-Muhaddits Muhammad ibn Ali ibn Allan ash-Shiddiqi al-Makki (w 1057 H).
• aL-Mubrid al-Mubki Fî Radd ash-Shârim al-Manki.
56. Syekh Ahmad al-Khafaji al-Mishri al-Hanafi (w 1069 H).
• Syarh asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ Li al-Qâdlî ‘Iyâdl.
57. Al-Mu-arrikh Syekh Ahmad Abu al-Abbas al-Maqarri (w 1041 H).
• Azhar ar-Riyâdl.
58. Syekh Muhammad az-Zarqani al-Maliki (w 1122 H)
• Syarh al-Mawâhib al-Ladunniyyah.
59. Syekh Abd al-Ghani an-Nabulsi ad-Damasyqi (1143 H). Beliau banyak menyerang Ibn Taimiyah dalam berbagai karyanya.
60. Al-Faqîh ash-Shûfi Syekh Muhammad Mahdi ibn Ali ash-Shayyadi yang dikenal dengan nama ar-Rawwas (w 1287 H).
61. Syekh Idris ibn Ahmad al-Wizani al-Fasi al-Maliki.
• an-Nasyr ath-Thayyib ‘Alâ Syarh Syekh ath-Thayyib.
62. Syekh as-Sayyid Muhammad Abu al-Huda ash-Shayyadi (w 1328 H).
• Qilâdah al-Jawâhir.
63. Syekh Musthafa ibn Syekh Ahmad ibn Hasan asy-Syathi ad-Damasyqi al-Hanbali, hakim Islam wilayah Duma, hidup sekitar tahun 1331 H.
• Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.
64. Syekh Musthafa ibn Ahmad asy-Syathi al-Hanbali ad-Damasyqi (w 1348 H).
• an-Nuqûl asy-Syar’iyyah.
65. Syekh Mahmud Khaththab as-Subki (w 1352 H).
• ad-Dîn al-Khâlish Aw Irsyâd al-Khlaq Ilâ Dîn al-Haq.
66. Mufti kota Madinah Syekh al-Muhaddits Muhammad al-Khadlir asy-Syinqithi (w 1353 H).
• Luzûm ath-Thalâq ats-Tsalâts Daf’ah Bimâ La Yastahî’ al-Âlim Daf’ah.
67. Syekh Abd al-Qadir ibn Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandarani (w 1362 H).
• an-Naf-hah az-Zakiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.
• al-Hujjah al-Mardliyyah Fî Itsbât al-Wâsithah al-Latî Nafathâ al-Wahhâbiyyah.
68. Syekh Ahmad Hamdi ash-Shabuni al-Halabi (w 1374 H).
• Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.
69. Syekh Salamah al-Azami asy-Syafi’i (w 1376 H)
• al-Barâhîn as-Sâth’iah Fî Radd Ba’dl al-Bida’ asy-Syâ-i’ah.
• Berbagai makalah dalam surat kabar al-Muslim Mesir.
70. Mufti negara Mesir Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (w 1354 H).
• Tath-hîr al-Fu’âd Min Danas al-‘I’tiqâd.
71. Wakil para Masyâyikh Islam pada masa Khilafah Utsmaniyyah Turki Syekh al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari (1371 H).
• Kitâb al-Maqâlât al-Kautsari.
• at-Ta’aqqub al-Hatsîts Limâ Yanfîhi Ibn Taimiyah Min al-Hadîts.
• al-Buhûts al-Wafiyyah Fî Mufradât Ibn Taimiyah.
• al-Isyfâq ‘Alâ Ahkâm ath-Thalâq.
72. Syekh Ibrahim ibn Utsman as-Samnudi al-Mishri, salah seorang ulama yang hidup di masa sekarang.
• Nushrah Imam as-Subki Bi Radd ash-Shârim al-Manki.
73. Ulama terkemuka di kota Mekah Syekh Muhammad al-Arabi at-Tabban (w 1390 H).
• Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn.
74. Syekh Muhammad Yusuf al-Banuri al-Bakistani.
• Ma’ârif as-Sunan Syarh Sunan at-Tirmidzi.
75. Syekh Manshur Muhammad Uwais, salah seorang ulama yang masih hidup di masa sekarang.
• Ibn Taimiyah Laysa Salafiyyan.
76. Al-Hâfizh Syekh Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Maghribi (w 1380 H).
• Hidâyah ash-Shughrâ’.
• al-Qaul al-Jaliyy.
77. Syekh al-Musnid al-Habîb Abu al-Asybal Salim ibn Husain ibn Jindan, salah seorang ulama terkemuka di Indonesia (w 1389 H)
• al-Khulâshah al-Kâfiyah Fî al-Asânid al-‘Âliyah.
78. Syekh al-Muhaddits Abdullah al-Ghumari al-Maghribi (w 1413 H).
• Itqân ash-Shun’ah Fî Tahqîq Ma’nâ al-Bid’ah.
• ash-Shubh as-Sâfir Fî Tahqîq Shalât al-Musâfir.
• ar-Rasâ’il al-Ghumâriyyah.
• Dan berbagai tulisan beliau lainnya.
79. Syekh Hamdullah al-Barajuri, salah seorang ulama terkemuka di Saharnafur India.
• al-Bashâ-ir Li Munkirî at-Tawassul Bi Ahl al-Qubûr.
80. Syekh Abu Saif al-Hamami secara terang telah mengkafirkan Ibn Taimiyah dalam karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibâd Bi Bayân ar-Rasyâd. Beliau adalah salah seorang ulama besar dan terkemuka di wilayah Mesir. Kitab karyanya ini telah direkomendasikan oleh para masyayikh Azhar dan ulama besar lainnya, yaitu oleh Syekh Muhammad Sa’id al-Arfi, Syekh Yusuf ad-Dajwi, Syekh Mahmud Abu Daqiqah, Syekh Muhammad al-Bujairi, Syekh Muhammad Abd al-Fattah Itani, Syekh Habibullah al-Jakni asy-Syinqithi, Syekh Dasuqi Abdullah al-Arabi, dan Syekh Muhammad Hafni Bilal.
81. Syekh Muhammad ibn Isa ibn Badran as-Sa’di al-Mishri.
82. As-Sayyid Syekh al-Faqîh Alawi ibn Thahir al-Haddad al-Hadlrami.
83. Syekh Mukhtar ibn Ahmad al-Mu’ayyad al-Azhami (w 1340 H).
• Jalâ’ al-Awhâm ‘An Madzhab al-A-immah al-‘Izhâm Wa at-Tawassul Bi Jâh Khayr al-Anâm -‘Alaih ash-Shalât Wa as-Salâm-. Kitab ini berisi bantahan atas kitab karya Ibn Taimiyah berjudul Raf’u al-Malâm.
84. Syekh Isma’il al-Azhari.
• Mir’âh an-Najdiyyah.
85. KH. Ihsan ibn Muhammad Dahlan Jampes Kediri, salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga.
• Sirâj ath-Thâlibîn ‘Alâ Minhâj al-‘Âbidîn Ilâ Jannah Rabb al-‘Âlamîn.
86. KH. Hasyim Asy’ari Tebu Ireng Jombang. Salah seorang ulama terkemuka Indonesia, perintis ormas Islam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Beliau merintis ormas ini tidak lain hanya untuk membentengi kaum Ahlussunnah Indonesia dari faham-faham Ibn Taimiyah yang telah diusung oleh kaum Wahhabiyyah.
• ‘Aqîdah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah.
87. KH. Sirajuddin Abbas, salah seorang ulama terkemuka Indonesia.
• I’tiqad Ahl as-sunnah Wa al-Jama’ah.
• Empat Puluh Masalah Agama
88. KH. Ali Ma’shum Yogyakarta (w 1410 H), salah seorang ulama terkemuka Indonesia.
• Hujjah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah.
89. KH. Ahmad Abd al-Halim Kendal, salah seorang ulama besar Indonesia.
• Aqâ-id Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah. Ditulis tahun 1311 H
90. KH. Bafadlal ibn Syekh Abd asy-Syakur as-Sinauri Tuban. Salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga.
• Risâlah al-Kawâkib al-Lammâ’ah Fî Tahqîq al-Musammâ Bi Ahl as-Sunnah.
• Syarh Risâlah al-Kawâkib al-Lammâ’ah Fî Tahqîq al-Musammâ Bi Ahl as-Sunnah.
• Al-‘Iqd al-Farîd Bi Syarh Jawharah at-Tauhîd
91. Tuan Guru Zainuddin ibn Abd al-Majîd Pancor Lombok Nusa Tenggara Barat.
• Hizb Nahdlah al-Wathan
92. KH. Muhammad Syafi’i Hadzami ibn Muhammad Saleh Ra’idi, salah seorang ulama betawi, pernah menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi DKI Jakarta (1990-2000).
• Taudlîh al-Adillah.
93. KH. Ahmad Makki Abdullah Mahfuzh Sukabumi Jawa Barat.
• Hishn as-Sunnah Wa al-Jama’âh
janganlah menyebut “beliau” sembarangan, karena hanya pantas untuk orang yang kita yakini pantas menerimanya, takutnya pembaca awam salah menafsirkan arti yg mengandung pernghormatan tersebut. marah halal untuk meluruskan yang sesat, tidak semua orang bisa dilemah lembuti. ALLAH SWT saja mengancam manusia yang sesat dengan siksa neraka yang teramat pedih.
* Tuhan bersela di atas ‘Arasy, serupa selanya Ibnu Taimiyah.
* Tuhan sama besarnya dengan ‘Arasy.
* Tuhan turun setiap akhir malam ke langit dunia serupa turunnya Ibnu Taimiyah dari mimbar.
* Tuhan bersabda di jihat atas, boleh ditunjuk dengan telunjuk ke atas.
* Tuhan bertubuh, berjihat dan pindah-pindah tempat.
* Tuhan bicara dengan huruf dan suara.
* Sifat Tuhan hadits (baru) dan yang hadits itu melekat pada Zat Tuhan yang qadim.
* Qur’an itu baru (Hadits) bukan qadim.
* Nabi-nabi tidak mashum.
* Bepergian ziarah ke makam-makam, seumpama makam Nabi di Madinah, makam Ibrahim di mesjid Rhanl, makam wali dan ulama adalah pekerjaan mashiyat (munkar).
* Mendo’a dengan bertawassul syirik.
* Istiqatsah dengan Nabi Syirik.
* Neraka akan lenyap bukan kekal.
* Mengingkari ijma’ tidak kafir.
masyaallah… antum dapat darimana ini??? bacalah dulu kitabnya dengan benar, antum bilang Allah bersela diatas arsy sebagaimana berselanya ibnu taimiyyah?? sungguh ini suatu fitnah yang keji…. maka sudah wajib yang menulis artikel ini harus bertobat…coba antum belajar lagi… jangan cuma denger dari ustadz antum.. baca dulu kitab aslinya dengan benar… setelah itu bertobatlah… karena antum akan dapati bahwa itu dusta… dan seburuk-buruknya kedustaan..
Saya sudah menyebutkan sumber tulisan itu.
Proses “pengangkatan” kembali karya-karya Syaikh Ibnu Taimiyah (yang pada zaman beliau hidup merupakan ulama yang ditentang pendapatnya oleh jumhur ulama) merupakan adanya sikap pragmatis (berlatar kepentingan).
Saat ini sudah banyak keraguan mana kitab yang asli dari karya Syaikh Ibnu Taimiyah. Ada kitab yang fokus pada pelarangan muslim untuk belajar Tasawuf ada kitab yang memperbolehkan muslim untuk belajar tasawuf. namun pada akhirnya Syaikh Ibnu Taimiyah bertobat akan metode pemahaman beliau pada awalnya.
Wallaahu a’lam
Mas, baca dulu bukunya sumbernya, scan atau copy buat bukti kasih ke kita, kalau tidak ada telusuri dari orang per orang sanadnya bisa dipercaya atau tidak.
Begini saja ya pa zuhud, coba tanya sama seluruh murid dan pengikut Ibnu Taimiyah, apakah mereka berpaham dan membenarkan bahwa Ibnu Taimiyah menyamakan turunnya Allah dengan turunnya Ibnu Taimiyah dari mimbar???
Kalau bapak sendiri ragu akan keaslian kitab2 Ibnu Taimiyah, lalu kenapa memposting dan menyimpulkannya?
Waw, antum ni kemakan dengan fitnah akhir zaman tanpa tau kitab-kitab asli Ibnu Taimiyah, Abdul Wahab etc.
Mereka mengatakan bahwa dalam membahas masalah agama dengan pedoman Al Qur’an dan Hadits menurut pemahaman para Sahabat
Apa yang mereka maksud dengan “pemahaman para Sahabat” ?
Salah satu fitnah akhir zaman adalah orang-orang pada masa kini (khalaf) yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun pada kenyataannya tentu mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh.
Perlu kita ingat bahwa nama para Sahabat tercantum pada hadits pada umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad atau istinbat mereka melainkan para Sahabat sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi (para Sahabat) yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.
Jadi pendapat atau pemahaman para Sahabat tidak bisa didapatkan dari membaca hadits.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri bukan pendapat atau permahaman para Sahabat
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman para Sahabat berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman para Sahabat.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap para Sahabat.
Mereka yang merasa atau mengaku mengikuti pemahaman para Sahabat tampaknya adalah orang-orang hasil pengajaran para ulama yang dipaksakan oleh sekutu Zionis Yahudi Inggris dan Amerika yakni kerajaan dinasti Saudi untuk mengikuti ajaran atau pemahaman ulama Najed yakni Muhammad bin Abdul Wahhab
Berikut informasi dari situs resmi mereka seperti pada http://www.saudiembassy.net/about/country-information/Islam/saudi_arabia_Islam_heartland.aspx berikut kutipannya
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.
Ulama Najed mengingatkan kita kepada penduduk Najed yang mempunyai keunikan tersendiri karena mereka disebutkan dalam beberapa hadits untuk kita ambil hikmah atau pelajaran sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/29/mengenal-najed/
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut yang tidak pernah bertemu muka yakni mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih.
Berikut contoh informasi dari kalangan mereka sendiri yang menyebut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam seperti pada http://rizqicahya.wordpress.com/2010/09/01/imam-muhammad-bin-abdul-wahhab-bag-ke-1/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yangpintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Begitupula dari biografi Ibnu Taimiyyah pun kita mengetahui bahwa beliau termasuk kalangan otodidak (shahafi) seperti contoh informasi dari http://zakiaassyifa.wordpress.com/2011/05/10/biografi-tokoh-islam/
***** awal kutipan ******
Ibn Taimiyyah juga seorang otodidak yang serius. Bahkan keluasan wawasan dan ketajaman analisisnya lebih terbentuk oleh berbagai literatur yang dia baca dan dia teliti sendiri.
***** akhir kutipan ******
Begitupula dengan Al Albani yang sangat terkenal sebagai ulama yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca hadits di balik perpustakaan sebagaimana contoh informasi pada http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Nashiruddin_Al-Albani
**** awal kutipan *****
Semakin terpikatnya Syaikh al-Albani terhadap hadits Nabi, itulah kata yang tepat baginya. Bahkan hingga toko reparasi jamnya pun memiliki dua fungsi, sebagai tempat mencari nafkah dan tempat belajar, dikarenakan bagian belakang toko itu sudah diubahnya sedemikian rupa menjadi perpustakaan pribadi. Bahkan waktunya mencari nafkah pun tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan waktunya untuk belajar, yang pada saat-saat tertentu hingga (total) 18 jam dalam sehari untuk belajar, di luar waktu-waktu salat dan aktivitas lainnya (Asy Syariah Vol. VII/No. 77/1432/2011 hal. 12, Qomar Suaidi, Lc)
***** akhir kutipan *****
Rasulullah bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Jadi mereka pada kenyataannya dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan salaf bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri dan memahami atau berfatwa selalu berpegang pada nash secara dzahir sebagaimana pula yang disampaikan oleh Ustadz Ahmad Sarwat,Lc,.MA dalam tulisan pada http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1357669611&title=adakah-mazhab-salaf.htm
**** awal kutipan *****
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunakan metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan pada http://www.sangpencerah.com/2013/08/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-ini.html bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat.
Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih, ormas Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah diteladani oleh pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan
Jadi ketika sebuah jama’ah minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.
Sedangkan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh ataupun Albani maupun Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, mereka bukanlah Imam Mujtahid Mutlak sehingga tidak patut untuk ditaklidi (diikuti) oleh kaum muslim
Ulama yang sholeh terdahulu kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai Semenanjung Tanah Melayu, Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri Siam atau Thailand yakni KH. Sirajuddin Abbas (lahir 5 Mei 1905, wafat 23 Ramadhan 1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku berjudul I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet Barat XA No.28, Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah sekte atau firqoh dalam Islam yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari halaman 296 sampai 351 dan firqoh berdasarkan pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352 sampai 380.
Sebagaimana tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahim sebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana wasiat di atas, para ulama memasukkan mazhab atau pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim Al Jauziyah maupun yang tidak bertemu langsung seperti Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab khawarij artinya mazhab yang menyempal keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat.
Selain sekelompok orang (firqah) yang mengaku mengikuti pemahaman para Sahabat, adapula sekelompok orang (firqah) yang mengaku-ngaku mengikuti pemahaman para imam dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yang dikenal dengan kaum Syiah, contohnya syiah Rafidhah
Siapakah Syiah Rafidhah ?
Imam Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib ditanya oleh para pengikutnya yakni pasukan atau tentara yang semula mendukungnya dengan pertanyaan “Kami akan menyokong perjuangamu, namun sebelumnya kami ingin tahu terlebih dahulu sikapmu terhadap Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khattab di mana kedua-duanya telah menzalimi kakekmu Imam Ali bin Abi Thalib”.
Imam Zaid menjawab: “bagi saya mereka berdua adalah orang yang baik, dan saya tak pernah mendengar ucapan dari ayahku Imam Zainal Abidin tentang perihal keduanya kecuali kebaikan. Dan kalaulah saat ini saya berani melawan dan menantang perang Bani Umayyah, itu disebabkan karena mereka telah membunuh kakek saya (imam Husain bin Ali). Di samping itu, mereka telah memberanguskan kota Madinah di tengah teriknya matahari pada siang hari. Ketika itu terjadilah peperangan sengit di pintu Tiba kota Madinah. Dan tentara Yazid bin Mu’awiyah (w 63H) ketika itu telah menginjak-injak kehormatan kami, dan membunuh beberapa orang sahabat. Dan mereka menghujani mesjid dengan lemparan batu dan api”.
Setelah mendengar sikap dan jawaban Imam Zaid, para tentara Kufah meninggalkan Imam Zaid. Dan Imam Zaid berkata kepada mereka: “kalian telah menolak saya, kalian telah menolak saya”. Semenjak hari itu pasukan atau tentara yang semula mendukung Beliau dikenal dengan nama Rafidhah. Pengertian al-Rafidhah (الرافضة) adalah mereka yang menolak.
Jadi Syiah Rafidhah meninggalkan seorang penunjuk (ahli istidlal) dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasululah, Imam Zaid dan mengikuti pasukan atau tentara yang semula mendukungnya yakni mereka memahami Al Qur’an dan Hadits maupun perkataan Imam Ahlul Bait bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri yang berakibat timbullah firqah-firqah.
Hal serupa dengan yang disampaikan peneliti aliran Syiah, Prof Dr Kamaluddin Nurdin Marjuni dalam blognya pada http://dr-kamaluddin-nurdin.blogspot.com/2010/05/aliran-aliran-syiah-zaidiyah.html
***** awal kutipan *****
Salah satu ulama Zaidiyyah, Imam Ahmad as-Syarafiy (w. 1055 H) menegaskan bahwa: “Syi’ah Zaidiyah terpecah kepada tiga golongan, yaitu: Batriyah, Jaririyah, dan Garudiyah.
Dan konon ada yang membagi sekte Zaidiyah kepada: Shalihiyah, Sulaimaniyah dan Jarudiyah. Dan pandangan Shalihiyah pada dasarnya sama dengan pandangan Batriyyah.
Dan sekte Sulaymaniyah sebenarnya adalah Jarririyah.
Jadi ketiga sekte tersebut merupakan golongan-golongan Syi’ah Zaidiyyah pada era awal. Ketiga sekte inipun tidak berafiliasi (tidak ada hubungannya) kepada keturunan Ahlu Bait sama sekali.
Mereka hanyalah sekedar penyokong berat (bekas tentara atau pasukan) imam Zaid ketika terjadi revolusi melawan Bani Umayah, dan mereka ikut berperang bersama imam Zaid”.
***** akhir kutipan ******
Jadi adalah sebuah fitnah jika mengaku-aku mengikuti Imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib namun pada kenyataannya mereka mengikuti para pendukung (bekas tentara atau pasukan) Imam Zaid
Padahal sejak abad 7 H, Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra, beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas
Marilah kita mengikuti sunnah Rasulullah untuk menghindari firqah-firqah yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut juga dengan khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Mayoritas kaum muslim pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti Rasulullah yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in
Sedangkan pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah. Penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak
Imam Mazhab yang empat walaupun mereka tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur ulama sejak dahulu kala sampai sekarang sebagai ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga patut untuk dijadikan pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”.
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/04/08/kita-butuh-bermazhab/
Pada hakikatnya sangat sulit untuk memenuhi kompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak pada masa sekarang ini karena tidak lagi dapat bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush Sholeh.
Bahasa tulisan mempunyai keterbatasan dibandingkan dengan bertalaqqi, mendapatkan ilmu agama dengan bertemu atau mengaji.
Sebagaimana tulisan ust Ahmad Zarkasih yang kami arsip pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/06/matang-sebelum-waktunya/ bahwa orang-orang yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri dapat menjadi liberal atau bahkan atheis. Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Memang wajar, bahkan sangat wajar sekali jika ada seseorang mempertanyakan adanya perbedaan pandangan. Tapi tidak wajar kalau mereka membawa-bawa label “Kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah” kemudian meyalahkan para Imam Mujtahid, seakan-akan para Imam Mujtahid tidak mengerti isi ayat dan kandungan hadits.
Justru para Imam Mujtahid orang yang paling mengerti madlul ayat dan hadits dibanding kita-kita yang masih berlabel “Muqollid”, bahkan dengan strata taqlid paling rendah.
Mereka bilang “Saya tidak mau terpaku dengan ajaran orang tua dan guru saya. Saya mau mencari ajaran yang benar”. Hal ini yang membuat kita semakin khawatir. Dengan umur yang masih seperti itu, mereka begitu yakin untuk tidak ber-taqlid (ikuti) kepada yang memang seharusnya ia taqlid.
Mereka menolak untuk menerima sepenuhnya apa yang ia dapatkan dari rumah, juga dari gurunya tapi mereka tidak punya pegangan untuk bisa berdiri dan menjadi sandaran sendiri.
Akhirnya, yang dilakukan kembali mencari di jalanan, seperti dengan buka laptop, searching google dan akhirnya bertemu dengan ratusan bahkan ribuan hal yang sejatinya mereka belum siap menerimanya semua. Sampai saat ini kita masih tidak memandang google sebagai sumber pencarian ilmu yang valid dan aman. Mendatangi guru dan bermuwajahah dengan beliau itu yang diajarkan syariah dan jalan yang paling aman.
Hal yang kita khawatirkan, nantinya mereka besar menjadi muslim yang membenci para imam mazhab dengan seluruh ijtihadnya. Dan kelompok pemuda semacam ini sudah kita temui banyak disekitar kita sekarang.
Dengan dalih “Kembali kapada al-quran dan sunnah”, mereka dengan pongah berani mecemooh para imam, padahal apa yang dipermasalahkan itu memang benar-benar masalah yang sama sekali tidak berdampak negatif kalau kita berbeda didalamnya.
Atau lebih parah lagi, ia menjadi orang yang anti dengan syariahnya sendiri. Karena sejak kecil sudah terlalu matang dengan banyak keraguan di sana sini.
Seperti orang yang belum matang dengan agamanya sendiri tapi kemudian sudah belajar perbandingan agama. Ujung-ujungnya mereka jadi atheism, karena banyak kerancuan yang dia temui.
Sama juga orang yang belum matang fiqih satu mazhab, kemudian mereka tiba-tiba belajar perbandingan mazhab. Satu mazhab belum beres, kemudian sudah dibanding-bandingkan. Ujung-ujungnya jadi Liberal, yang menganggap bahwa ijtihad itu terbuka untuk siapa saja dan dimana saja. Jadi sebebas-bebasnya lah mereka menafsirkan ini itu.
***** akhir kutipan *****
Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Cara menghancurkan Islam dari dalam adalah menghasut dan mengajak untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri sehingga timbullah kelompok-kelompok seperti Al Qaeda, ISIS atau pelaku bom bunuh diri di tengah kaum muslim bahkan di masjid-masjid karena kesalahpahaman mereka sehingga menganggap selain mereka telah kafir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi: ‘Apakah kamu yang telah membunuhnya? ‘ Dia menjawabnya, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak ia datang (untuk minta pertanggung jawaban) pada hari kiamat nanti? ‘ (HR Muslim 142)
Mereka terhasut untuk membuang-buang waktu atau menyibukkan diri mengulang kembali apa yang telah dikerjakan dan dihasikan oleh Imam Mazhab yang empat namun mereka tidak berkompetensi sebagai mujtahid mutlak.
Protokol Zionis yang ketujuhbelas
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan…..
Salah satu upaya mengdiskreditkan Imam Mazhab yang empat adalah menyalahgunakan perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang jsutru untuk meninggalkan apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat.
Mereka yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) meninggalkan Imam Mazhab yang empat dengan alasan seperti “kita harus mengikuti hadits shahih bukan mengikuti ulama.
Mereka mengingatkan bahwa Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]
Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
Mereka pada umumnya juga salah memahami pendapat seperti Imam Syaukani yang berkata: “Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.
Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlak
Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/
Berikut kutipannya
****** awal kutipan ******
Definisi madzhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai masalah, sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau terhadap Al Minhaj. (lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)
Dengan definisi di atas, otomatis madzhab As Syafi’i tidak hanya mencakup pendapat Imam As Syafi’i saja, namun, juga pendapat para pengikutnya. Nah, siapa para pengikut yang berhak memberi kontribusi kepada madzhab? Pendapatnya diperhitungkan sebagai pendapat madzhab? Tentu, itu bisa terjawab dengan pemaparan tingkatan para mufti yang dianggap mu’tabar dalam madzhab.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (1/71), mengenai tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi mufti dalam madzhab menjadi beberapa kelompok:
1. Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)
Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah kemampuannya menciptakan metode yang dianut madzhabnya.
2. Mujtahid Madzhab
Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi, sebagaimana disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam As Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana disebutkan Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapat bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72).
Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantangan dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi imam sengaja meninggalkan hadits walau ia shahih dikarenakan manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang bersangkutan telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para pengikutnya, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi)
Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat imamnya sendiri, dan hal ini tidaklah jadi persoalan, karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai kaidah imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan pendapat Imam As Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i berpendapat bahwa maksimal masa nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)
3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak bertaklid kepada mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53).
4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)
Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.
5. Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal 7)
Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 9)
Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.
Penutup
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap menisbatkan diri dalam madzhab. Dan semuanya harus menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan belum memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu! Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk mentarjih pendapat sesuai berdasarkan dalil yang ia pahami seakan-akan ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan menggugurkan pendapat mujtahid mustaqil dengan berargumen, idza shahah al hadits fahuwa madzhabi, seakan-akan ia satu level dengan Imam Al Muzani! Padahal yang bersangkutan belum menghatamkan dan menguasai kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam madzhab.
Mudah-mudahan kita terlindung dari hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk terus mencari ilmu, hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu yang mampu kita serap dan kita amalkan.
******* akhir kutipan *******
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan.
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat
Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Rasulullah bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Dalam memahami kalimat “pewaris para Nabi” kita pahami dahulu arti kata mewarisi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia atau contoh penjelasan pada http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/185 pengertian mewarisi adalah:
1. memperoleh warisan atau
2. memperoleh sesuatu yang ditinggalkan
Jadi ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh sebelumnya secara turun-temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya
Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Jadi fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari orang-orang yang menjadikan gurunya syaitan karena memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri
kitab2 ibnu tamiyah yang ada di indonesia kan banyaknya made in saudi atau buatan orang2 kita yang disokong dana besar saudi,jadi maklum aja banyak kitab2 ibnu taimiyah yang dikebiri oleh wahabi sendiri, sehingga yang dibaca yang baik-baiknya aja.cerita lama ah
Ya gak apa-apa dong, memangnya Ibnu Taimiyah itu maksum terjaga dari kesalahan ?
Contoh,
Ada yang mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim berpaham bahwa Surga dan neraka itu tidak kekal.
Apakah murid2 yang lain dan pengikutnya sampai sekarang berpaham seperti itu? TIDAK DONG… BUANG PENDAPAT YANG KELIRU DAN AMBIL YANG SESUAI AJARAN SALAF/SAHABAT…. GAMPANG.
yang paling pokok dan menjadi pondasi adalah soal akidah,,taimiyah sudah mengakui apa yang dia yakini adalah salah dan kembali kejalur yang benar dan menjadi pegangan ulama aswaja.Tapi sayangnya.pemikiran taimiyah yang menyatakan allah berada di arsy yang masih tetap dipegang oleh kaum wahabi.
parahnya lagi,wahabi selalu memotong2 pendapat ulama dan tidak menjabarkan secara keseluruhan.bagaimana wahabi mengebiri shahih muslim dengan menghapus bab tentang tawasul,dll lalu mengeluarkan buku baru.banyak contoh kasus yang membuat wahabi tidak konsisten terhadap apa yang mereka pegang.sesama wahabi aja saling sesat menyesatkan,apalagi wahabi dengan yang lainnya.
Darimana anda bisa mengambil atau menyimpulkan pendapat yang keliru,,ulama2 jaman salaf dan kalaf itu lebih mengerti dan tau daripada ulama2 jaman sekarang,karena mereka dekat dengan jaman rosul.dan diantara mereka tidak pernah mempersoalkan mengenai akidah.Benar,mereka tidak maksum,tetapi ingat ulama2 jaman mereka tidak pernah bersepakat dalam kesesatan.
Ulama2 wahabi jaman sekarang sudah berjarak 1400 tahun dari rosul,abdul wahab berjarak 1200 tahun, taimiyah berjarak 600 tahun.dimana logika anda bermain,lebih baik mengikuti manhaz yang jaraknya jauh dari jaman ulama2 yang dekat dengan rosul.Saya lebih baik memilih mengikuti akidah salaf (bukan salafi) daripada harus taklid kepada ulama2 wahabi yang hidup di awal abad 18-20an.
bung ajaran salaf atau ajaran salah,,,jelas2 dari inti aqidah wahabi aja udah nyleneh,,mujasimmah.kalo intinya dah keliru apa lagi soal lainnya
Anda tau bahwa Ibnu Taimiyah itu Mujasimmah hanya karena tuduhan2 yg gak jelas sumbernya …hmmm kasian…
taimiyah sudah mengakui kesalahannya dan kembali kepada keyakinan yang benar,,tidak seperti kaum wahabi saat ini yang masih mengikuti ajaran taimiyah ketika beliau berkeyakinan bahwa allah berada di arsy.
Tuduhan yang gak jelas?mungkin anda kebanyakan makan buku2 karangan ulama wahabi dan karangan ulama yang telah di amputasi oleh wahabi,sehingga apa yang anda cerna selalu berbanding terbalik dengan apa yang sebenarnya terjadi.atau anda sudah di doktrin oleh lulusan bergelar LC, yang jelas2 produk dari wahabi.saran saya,cobalah belajar kepada guru2 yang mengajarkan agama secara total dan kafffah, tidak setengah2 yang akhirnya akan membuat kerancuan terhadap apa yang anda pelajari.
Jangan terkecoh oleh buku2 wahabi,jangan terkecoh oleh buku2 ulama aswaja yang telah dikebiri oleh wahabi,jangan terkecoh dengan embel2 lulusan timur tengah bergelar lc,jangan terkecoh oleh kajian ilmiah yang hanya menyangkut masalah bid’ah.masih banyak dalam islam yang perlu dipelajari.tapi pelajari semuanya dengan mata hati,jangan selalu menjadikan mata kepala sebagai tolak ukur dalam mempelajari sesuatu.
Sayangnya pemahaman ibnu taimiyah dan kronco2nya yang keliru itu yang sampai kini tetap dipertahankan oleh kaum wahabi…tobat…tobat…ampoennnnnnn
Mendingan dituduh Mujasimmah deh daripada mengingkari sifat-sifat Allah … sifat Allah koq diatur-atur hahaha…….
astagfirullah,dengan menerima tuduhan bahwa anda adalah mujasimmah,berarti anda telah menerima bahwa anda menyerupakan allah dengan makhluk…istigfar……..
Siapa yang mengingkari sifat2 allah?kami mempelajari sifat 20.Sifat 20 bukanlah akal2an,tetapi itu adalah qiyas ulama dengan menelaah al-quran dan sunnah.sifat 20 itu merangkum apa yang ada dalam al qur’an untuk mengenal lebih dekat dan ma’rifat kepada allah.bukannya membatasi…
Dalam Raddul Wafir disebutkan pernyataan Taqiyuddin As Subki (Imam As Subki) kepada Ibnu Taimiyah:
ما يبغض ابن تيمية إلا جاهل أو صاحب هوى فالجاهل لا يدري ما يقول وصاحب الهوى يصده هواه عن الحق بعد معرفته به
“Tidaklah membenci Ibnu Taimiyah kecuali seorang yang bodoh atau pengekor hawa nafsu, orang yang bodoh tidak mengetahui apa yang dia katakan, adapun pengekor hawa nafsu maka hawa nafsunya telah menghalanginya dari kebenaran setelah dia mengetahuinya”.
Insyaallah kami tidak membenci satupun saudara muslim kami. Apalagi kepada ulama seperti Ibnu Taimiyah. Juga tidak membenci Muhammad bin Abdul Wahab (pencetus wahabi/salaf(i), ulama asal nejd yang “menggunakan” Ibnu Taimiyah.
Kami hanya sekedar meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman saja, agar umat muslim lain tidak salah paham.
Tentang an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, sebaiknya antum semua lihat disini:
Blog ini penuh dengan fitnah dan kedustaan.
Menyampaikan artikel tanpa mengecek kebenaran sumbernya.
Sangat menyesatkan.
Terima kasih atas linknya dan sudah saya kunjungi dan saya sudah menuliskan komentar (menunggu moderasi pemilik blog) sbb
Tambahan :
Sikap Al Imam Adz Dzhabi menghormati ulama yang telah wafat saya pahami dari beliau yang mengikuti larangan Rasulullah saw. “Jangan engkau menyebut-nyebut apa yang pernah dilakukan oleh orang yang meninggal kecuali hal-hal yang baik saja, sesungguhnya mereka telah menyerahkan apa yang telah mereka perbuat.”
Saya yakin setelah Syaikh Ibnu Taimiyah wafat, maka Al Imam Adz Dzhabi tidak akan lagi membicarakan atau mengungkapkan tentang nasehat beliau kepada Syaikh Ibnu Taimiyah. Kita paham isi nasehat tersebut adalah terhadap hal-hal yang buruk pada Syaikh Ibnu Taimiyah.
Wassalam
Orang2 yg membenci Ibnu Taimiyah adalah para sufi dan pecinta Tasawuf. Padahal tasawuf tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah, Sahabat, bahkan Imam yg Empat ! Byk org jadi kafir, murtad, dan gila karena belajar tasawuf !
Insyaallah, kami tidak pernah membenci satupun saudara muslim termasuk kepada syaikh Ibnu Taimiyah. Kami sekedar menyampaikan perbedaan pemahaman sahaja. Sedangkan tasawuf hanyalah sekedar istilah yang merupakan penguraian dari yang dimaksud dengan ihsan sebagai wujud kesempurnaan seorang muslim. Tahapannya adalah muslim –> mukmin —> muhsin (muslim yang Ihsan, muslim yang sholeh atau muslim yang berakhlakul karimah). Selengkapnya silahkan baca tulisan tulisan yang tercantum pada indeks tulisan (lihat kolom paling kanan, tentang Tasawuf).
@ heri tuduhan anda mungkin benar tapi perlu anda selidiki dulu bagaimana mereka belajar ???? kalau belajar tanpa GURU pasti tersesat laaah …efeknya ya yg anda sebutkan itu ….salam
• Fitnah Tajsim
• Pembelaan Untuk Al Mizzi
• Al Bidâyah wa al nihâyah- Al Hâfiż Ibnu Katsir_Serial Biografi ibnu Taimiyah IV
• Żail Târîkh al Islâm- Al Imam al-Żahabi_Serial Biografi ibnu Taimiyah III
• Tasbih, bid’ahkah?
• Ibnu Taimiyah dan Ta’wil
• Menyalahi Ijma
• Menyingkap Kesufian Ibnu Taimiyah
• Mu’jam Mukhtash bil Muhadditsin- Al Imam al-Żahabi_Serial Biografi ibnu Taimiyah II
• Tazkiratul HuffaŻ- Al Imam al-Żahabi_Serial Biografi ibnu Taimiyah I
• At Thufi antara pujian dan fitnah
• Syaikhul Islam Wal Muhaddits
• Taubatkah Ibnu Taimiyah kedalam Aqidah Asy’ariyah?
Dan selainya
maaaf bgt nih,, sy bukanlah orang sholeh…tp sy mau berkomentar….
kenapa blog ini isisnya kejelakan dari ibnu taimiyah semuanya……
bukankah anda yg merasa bahwa anda orang yang berilmu dilarang untuk menjelekan orang lain apalagi menyinggung salah satu kelompok….parah bgt.
coba berpikir kembali….dari pada menulis seperti ini lebih baik tulislah tulisan yang bisa mempersatukan semua umat ISLAM, agar Islam tidak lg tertindas di dunia ini……..bukan tulisan yang memancing keributan antar umat Islam…….
Alhamdulilllah, kami tidak berniat menyampaikan kejelekan orang lain atau bahkan kejelekan ulama. Kami hanya menyampaikan kesalahpahaman-kesalahpahaman karena Allah ta’ala semata dalam rangka mewujudkan Ukhuwah Islamiyah. Kesalahpahaman-kesalahpahaman yang telah terjadi dapat kita lihat telah menyebabkan terganggu ukhuwah Islamiyah. Sebenarnya pemahaman Ibnu Taimiyah telah terkubur dan dilupakan oleh ulama-ulama zaman dahulu namun telah diangkat kembali oleh berbagai pihak termasuk oleh pihak kaum non muslim.
Ibnu Hajar yang diagungkan oleh golongan Asya’iroh, telah memuji Ibnu Taimiyah setinggi langit. bahkan salah satu pujian Ibnu Hajar kepada Ibnu Taimiyah adalah karena telah mencetak beberapa murid yang dipuji juga setinggi langit oleh Ibnu Hajar, semisal Adz Dzahabi, Ibnu Katsir, Ibnul Qoyyim, Ibnu Abdil Hadi dll.
Ibnu Taimiyah memang manusia biasa yang bisa salah dalam berijtihad. sangat maklum jika Ibnu Hajar terkadang juga mengkritiknya (tentunya dengan adab yang baik, tidak seperti Asya’iroh masa kini). namun dari keseluruhan kritikan Ibnu Hajar kepada Ibnu Taimiyah, tidak ada satupun perkataan beliau yang menyebut Ibnu Taimiyah sebagai musyabbihun atau mujassimun.
entah dimana Al-hafidz Ibnu Hajar memuji Ibnu Taimiyah , satahu saya Ibnu Hajar men Tahdzir atas pemahaman Ibnu Taimiyah , silahkan baca Ad-duror al-kaminah , bagaimana al-Hafidz mentahdzir Ibnu Taimiyah.
saya heran kenapa masih ada aja yang mengikuti Ibnu Taimiyah , padahal banyak sekali Fatwa Ibnu Taimiyah yang menyelisihi Ijma` baik dalam masalah Furu` maupun Ushul.
belumlagi Tasybih dan Tajsim yang dianutnya.
coba antum sebutkan bagaimana perkataan Ibnu Hajar yang katanya mentahdzir Ibnu Taimiyah dalam kitab Ad Duror Al Kaminah!
berikut adalah beberapa perkataan Ibnu Hajar yang memuji Ibnu Taimiyah:
1) menjuluki sebagai Al Allamah
beliau berkata: “Hadits tersebut merupakan tambahan yang tidak terdapat dalam kitab manapun sebagaimana telah diperingatkan oleh Al Allaamah Taqiyuddin Ibnu Taimiyah.” (Al Fath 6/289)
2) menjuluki sebagai Al Hafidz
beliau berkata: “Hadits ini telah ditanyakan kepada Alhafidz Ibnu Taimiyah, beliau berkata : hadits tersebutmerupakan kedustaan, tidak dikenal sama sekali di kitab-kitab kaum muslimin yang diriwayatkan.” (Talkhisul Kabir 3/109)
3) menjuluki sebagai syaikhul islam
beliau berkata: “Masyhurnya keimaman Syaikh Taqiyuddin lebih masyhur dari matahari. Julukannya sebagai Syaikhul Islam pada zamannya tetap berlaku sampai sekarang dilisan orang-orang yang mensucikan dan akan tetap berlanjut dimasa mendatang seperti berlaku kemarin.” (pengantar kitab Raddul Waafir ala Man Zaama anna man Samma ibnu Taimiyah Syaikhul Islam kaafir)
dan lain-lain.
kalau antum mengatakan bahwa banyak fatwa Ibnu Taimiyah yang menyelisihi ijma’, maka hal itu terdapat 2 kemungkinan:
1) antum mengira perkara itu sudah menjadi ijma’, padahal belum.
2) antum mendapati kisah2 dusta tentang Ibnu Taimiyah, seperti kisah yang disebutkan oleh Ibnu Batutah.
pertanyaan sederhana : jika memang Al-hafidz Ibnu Hajar , menyanjung Ibnu Taimiyah sedemikian rupa, kenapa al-Hafidz Ibnu hajar malah ber aqidahkan Asy`ariyah….? kenapa beliau tidak mengikuti Aqidahnya Ibnu Taimiyah….?
lalu kenapa Adzahabi pun ber aqidahkan Asy`ariyah , padahal beliau murid Ibnu Taimiyah…..kenapa beliau tidak mengikuti aqidah Ibnu taimiyah….?
he he he @ajam nah looooo…….
al akh ahmad
perkara itu nanti saja. jangan mengalihkan pembicaraan sebelum tuntas pembicaraan kita sebelumnya. tidak baik untuk diri antum sendiri jika antum selalu dan selalu “kabur” seperti itu.
ana bertanya pada antum mana perkataan Ibnu Hajar yang antum bilang adalah tahdzir terhadap Ibnu Taimiyah?
yang kedua, ana sudah bawakan perkataan Ibnu Hajar yang memuji Ibnu Taimiyah dan antum pun tidak/belum bisa membantah keotentikan perkataan tersebut.
he he he `ajam selalu kabur , baik antum terjemahin sendiri aja ya soalnya pernyataan Ibnu Hajar panjeng banget hampir 3 halaman :
قول الحافظ ابن حجر العسقلاني في إبن تيمية
قال الحافظ ابن حجر في الدرر الكامنة (1/144) في ترجمة ابن تيمية:
“أحمد بن عبد الحليم ولد سنة 661هـ، وتحوّل به أبوه من حرّان سنة 67 فسمع من ابن عبد الدائم والقاسم الإربلي والمسلم بن علان وابن أبي عمرو والفخر في ءاخرين وقرأ بنفسه.
وأوّل ما أنكروا عليه من مقالاته في شهر ربيع الأول سنة 698 قام عليه جماعة من الفقهاء بسبب الفتوى الحموية وبحثوا معه ومُنع من الكلام، ثم حضر مع القاضي إمام الدين القزويني فانتصر له وقال هو وأخوه جلال الدين: من قال عن الشيخ تقي الدين شيئًا عزرناه.
ثم طُلِب ثاني مرة في سنة 705 إلى مصر فتعصّب عليه بيبرس الجاشنكير وانتصر له سلار، ثم ءال أمره أن حبس في خزانة البنود مدة، ثم نقل في صفر سنة 709 إلى الإسكندرية، ثم أُفرج عنه وأُعيد إلى القاهرة، ثم أُعيد إلى الإسكندرية، ثم حضر الناصر من الكرك فأطلقه ووصل إلى دمشق في ءاخر سنة 712 وكان السبب في هذه المحنة أن مرسوم السلطان ورد على النائب بامتحانه في معتقده لما وقع إليه من أمور تنكر في ذلك، فعقد له مجلس في سابع رجب وسئل عن عقيدته فأملى منها شيئًا، ثم أحضروا العقيدة التي تُعرف بالواسطية فقرىء منها وبحثوا في مواضع، ثم اجتمعوا في ثاني عشرة وقرروا الصفي الهندي يبحث معه، ثم أخّروه وقدّموا الكمال الزملكاني، ثم انفصل الأمر على أنه شهد على نفسه أنه شافعي المعتقد، فأشاع أتباعه أنه انتصر، فغضب خصومه ورفعوا واحدًا من أتباع ابن تيمية إلى الجلال القزويني نائب الحكم بالعادلية فعزره، وكذا فعل الحنفي باثنين منهم.
ثم في ثاني عشري رجب قرأ المِزيُّ فصلاً من كتاب أفعال العباد للبخاري في الجامع فسمعه بعض الشافعية فغضبوا وقالوا نحن المقصودون بهذا ورفعوه إلى القاضي الشافعي فأمر بحبسه، فبلغ ابن تيمية فتوجه إلى الحبس فأخرجه بيده، فبلغ القاضي فطلع إلى القلعة فوافاه ابن تيمية فتشاجرا بحضرة النائب واشتط ابن تيمية على القاضي لكون نائبه جلال الدين ءاذى أصحابه في غيبة النائب، فأمر النائب من ينادي أن من تكلّم في العقائد فُعِل كذا به وقصد بذلك تسكين الفتنة، ثم عقد لهم مجلس في سلخ رجب، وجرى فيه بين ابن الزملكاني وابن الوكيل مباحثة فقال ابن الزملكاني لابن الوكيل: ما جرى على الشافعية قليل حتى تكون أنت رئيسهم، فظن القاضي نجم الدين بن صصرى أنه عناه فعزل نفسه وقام، فأعاده الأمراء وولاه النائب وحكم الحنفي بصحة الولاية ونفّذها المالكي، فرجع إلى منزله وعلم أن الولاية لم تصحّ، فصمّم على العزل فرسم النائب لنوّابه بالمباشرة إلى أن يرد أمر السلطان.
ثم وصل بريدي في أواخر شعبان بعوده، ثم وصل بريدي في خامس رمضان بطلب القاضي والشيخ وأن يرسلوا بصورة ما جرى للشيخ في سنة 698 ثم وصل مملوك النائب وأخبر أن الجاشنكير والقاضي المالكي قد قاما في الإنكار على الشيخ وأن الأمر اشتدّ بمصر على الحنابلة حتى صفع بعضهم. ثم توجه القاضي والشيخ إلى القاهرة ومعهما جماعة فوصلا في العشر الأخير من رمضان وعقد مجلس في ثالث عشر منه بعد صلاة الجمعة، فادعى على ابن تيمية عند المالكي، فقال هذا عدوي ولم يجب عن الدعوى فكرّر عليه فأصرّ، فحكم المالكي بحبسه فأُقيم من المجلس وحبس في برج، ثم بلغ المالكي أن الناس يترددون إليه فقال: يجب التضييق عليه إن لم يقتل وإلا فقد ثبت كفره، فنقلوه ليلة عيد الفطر إلى الجبّ، وعاد القاضي الشافعي إلى ولايته ونُودِيَ بدمشق من اعتقد عقيدة ابن تيمية حلّ دمه وماله خصوصًا الحنابلة، فنُودي بذلك وقُرىء المرسوم وقرأها ابن الشهاب محمود في الجامع. ثم جمعوا الحنابلة من الصالحية وغيرها وأشهدوا على أنفسهم أنهم على معتقد الإمام الشافعي.
وذكر ولد الشيخ جمال الدين بن الظاهري في كتاب كتَبَهُ لبعض معارفه بدمشق أن جميع من بمصر من القضاة والشيوخ والفقهاء والعلماء والعوام يحطون على ابن تيمية إلاّ الحنفي فإنه يتعصّب له وإلا الشافعي فإنه ساكت عنه، وكان من أعظم القائمين عليه الشيخ نصر المنبجي لأنه كان بلغ ابن تيمية أنه يتعصّب لابن العربي فكتب إليه كتابًا يعاتبه على ذلك. فما أعجبه لكونه بالغ في الحطّ على ابن العربي وتكفيره فصار هو يحطّ على ابن تيمية ويغري به بيبرس الجاشنكير، وكان بيبرس يفرط في محبة نصر ويعظمه، وقام القاضي زين الدين بن مخلوف قاضي المالكية مع الشيخ نصر وبالغ في أذية الحنابلة، واتّفق أن قاضي الحنابلة شرف الدين الحرّاني كان قليل البضاعة في العلم فبادر إلى إجابتهم في المعتقد واستكتبوه خطه بذلك، واتفق أن قاضي الحنفية بدمشق وهو شمس الدين ابن الحريري انتصر لابن تيمية وكتب في حقّه محضرًا بالثناء عليه بالعلم والفهم، وكتب فيه بخطه ثلاثة عشر سطرًا من جملتها أنه منذ ثلاثمائة سنة ما رأى الناس مثله فبلغ ذلك ابن مخلوف فسعى في عزل ابن الحريري فعزل وقرّر عوضه شمس الدين الأذرعي، ثم لم يلبث الأذرعي أن عزل في السنة المقبلة. وتعصب سلار لابن تيمية وأحضر القضاة الثلاثة الشافعي والمالكي والحنفي وتكلم معهم في إخراجه فاتفقوا على أنهم يشترطون فيه شروطًا وأن يرجع عن بعض العقيدة فأرسلوا إليه مرّات فامتنع من الحضور إليهم واستمر، ولم يزل ابن تيمية في الجبّ إلى أن شفع فيه مهنا أمير ءال فضل، فأخرج في ربيع الأول في الثالث وعشرين منه وأحضر إلى القلعة ووقع البحث مع بعض الفقهاء فكتب عليه محضر بأنه قال أنا أشعري. ثم وجد بخطه ما نصه: الذي اعتقد أن القرءان معنى قائم بذات الله وهو صفة من صفات ذاته القديمة وهو غير مخلوق وليس بحرف ولا صوت، وأن قوله: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (5)} [سورة طه] ليس على ظاهره ولا أعلم كنه المراد به بل لا يعلمه إلا الله، والقول في النزول كالقول في الاستواء. وكتبه أحمد بن تيمية. ثم أشهدوا عليه أنه تاب مما ينافي ذلك مختارًا وذلك في خامس عشري ربيع الأوّل سنة 707، وشهد عليه بذلك جمع جمّ من العلماء وغيرهم وسكن الحال وأفرج عنه وسكن القاهرة.
ثم اجتمع جمع من الصوفيّة عند تاج الدين بن عطاء فطلعوا في العشر الأوسط من شوال إلى القلعة وشكوا من ابن تيمية أنه يتكلم في حقّ مشايخ الطريق وأنه قال لا يُستغاث بالنبي صلى الله عليه وسلم، فاقتضى الحال أن أمر بتسييره إلى الشام فتوجه على خيل البريديّ، وكل ذلك والقاضي زين الدين بن مخلوف مشتغل بنفسه بالمرض وقد أشرف على الموت، وبلغه سفر ابن تيمية فراسل النائب فردّه من بلبيس وادعى عليه عند ابن جماعة وشهد عليه شرف الدين ابن الصابوني، وقيل إن علاء الدين القونوي أيضًا شهد عليه فاعتقل بسجن بحارة الديلم في ثامن عشر شوال إلى سلخ صفر سنة 709، فنقل عنه أن جماعة يترددون إليه وأنه يتكلم عليهم في نحو ما تقدم، فأمر بنقله إلى الإسكندرية فنقل إليها في سلخ صفر وكان سفره صحبة أمير مقدم، ولم يمكن أحد من جهته من السفر معه وحبس ببرج شرقي. ثم توجه إليه بعض أصحابه فلم يمنعوا منه فتوجهت طائفة منهم بعد طائفة، وكان موضعه فسيحًا فصار الناس يدخلون إليه ويقرءون عليه ويبحثون معه قرأت ذلك في تاريخ البرزالي، فلم يزل إلى أن عاد الناصر إلى السلطنة فشفع فيه عنده، فأمر بإحضاره فاجتمع به في ثامن عشر شوال سنة تسع فأكرمه وجمع القضاة وأصلح بينه وبين القاضي المالكي، فاشترط المالكي أن لا يعود، فقال له السلطان قد تاب، وسكن القاهرة وتردد الناس إليه، إلى أن توجه صحبة الناصر إلى الشام بنية الغزاة في سنة 712 وذلك في شوال فوصل دمشق في مستهل ذي القعدة، فكانت مدة غيبته عنها أكثر من سبع سنين وتلقّاه جمع عظيم فرحًا بمقدمه، وكانت والدته إذ ذاك في قيد الحياة.
ثم قاموا عليه في شهر رمضان سنة 719 بسبب مسألة الطلاق وأكد عليه المنع من الفتيا، ثم عقد له مجلس ءاخر في رجب سنة عشرين، ثم حبس بالقلعة ثم أُخرج في عاشوراء سنة 721.
ثم قاموا عليه مرة أخرى في شعبان سنة 726 بسبب مسألة الزيارة واعتقل بالقلعة فلم يزل بها إلى أن مات في ليلة الاثنين والعشرين من ذي القعدة سنة 728″ اهـ.
ثم قال :”وكان يتكلم على المنبر على طريقة المفسّرين مع الفقه والحديث فيورد في ساعة من الكتاب والسُّنّة واللُّغة والنظر ما لا يقدر أحد على أن يورده في عدة مجالس كأنّ هذه العلوم بين عينيه فيأخذ منها ما يشاء ويذر، ومن ثَمّ نسب أصحابه إلى الغلو فيه واقتضى له ذلك العجب بنفسه حتى زها على أبناء جنسه واستشعر أنه مجتهد فصار يرد على صغير العلماء وكبيرهم قويّهم وحديثهم حتى انتهى إلى عمر فخطّأه في شىء، فبلغ الشيخ إبراهيم الرَّقي فأنكر عليه فذهب إليه واعتذر واستغفر، وقال في حق عليّ أخطأ في سبعة عشر شيئًا خالف فيها نص الكتاب منها اعتداد المتوفى عنها زوجها أطول الأجلين. وكان لتعصبه لمذهب الحنابلة يقع في الأشاعرة حتى إنه سبّ الغزالي فقام عليه قوم كادوا يقتلونه.
ولما قدم غازان بجيوش التتر إلى الشام خرج إليه وكلّمه بكلام قوي، فهمّ بقتله ثم نجا، واشتهر أمره من يومئذ. واتفق أن الشيخ نصرًا المنبجي كان قد تقدّم في الدولة لاعتقاد بيبرس الجاشنكير فيه، فبلغه أن ابن تيمية يقع في ابن العربي لأنه كان يعتقد أنه مستقيم وأن الذي ينسب إليه من الاتحاد أو الإلحاد من قصور فهم من ينكر عليه، فأرسل ينكر عليه وكتب إليه كتابًا طويلاً ونسبه وأصحابه إلى الاتحاد الذي هو حقيقة الإلحاد، فعظم ذلك عليهم وأعانه عليه قوم ءاخرون ضبطوا عليه كلمات في العقائد مغيرة وقعت منه في مواعظه وفتاويه، فذكروا أنه ذكر حديث النزول فنزل عن المنبر درجتين فقال كنزولي هذا فنسب إلى التجسيم، وردّه على من توسّل بالنبي صلى الله عليه وسلم أو استغاث، فأشخص من دمشق في رمضان سنة خمس وسبعمائة فجرى عليه ما جرى وحبس مرارًا فأقام على ذلك نحو أربع سنين أو أكثر وهو مع ذلك يشتغل ويفتي، إلى أن اتّفق أن الشيخ نصرًا قام على الشيخ كريم الدين الآملي شيخ خانقاه سعيد السعداء فأخرجه من الخانقاه، وعلى شمس الدين الجزري فأخرجه من تدريس الشريفيّة، فيقال إن الآملي دخل الخلوة بمصر أربعين يومًا فلم يخرج حتى زالت دولة بيبرس وخمل ذكر نصر وأطلق ابن تيمية إلى الشام. وافترق الناس فيه شيعًا فمنهم من نسبه إلى التجسيم لما ذكر في العقيدة الحموية والواسطية وغيرهما من ذلك كقوله إن اليد والقدم والساق والوجه صفات حقيقيّة لله وإنه مستوٍ على العرش بذاته، فقيل له: يلزم من ذلك التحيّز والانقسام، فقال: أنا لا أسلّم أن التحيز والانقسام من خواص الأجسام، فألزم بأنه يقول بتحيّز في ذات الله. ومنهم من ينسبه إلى الزندقة لقوله إن النبي صلى الله عليه وسلم لا يُستغاث به وأن في ذلك تنقيصًا ومنعًا من تعظيم النبي صلى الله عليه وسلم، وكان أشد الناس عليه في ذلك النور البكري فإنه لما عقد له المجلس بسبب ذلك قال بعض الحاضرين يعزر، فقال البكري: لا معنى لهذا القول فإنه إن كان تنقيصًا يقتل وإن لم يكن تنقيصًا لا يعزر. ومنهم من ينسبه إلى النفاق لقوله في عليّ ما تقدّم ولقوله: إنه كان مخذولاً حيثما توجه، وإنه حاول الخلافة مرارًا فلم ينلها وإنما قاتل للرياسة لا للديانة، ولقوله: إنه كان يحب الرياسة، وإن عثمان كان يحب المال، ولقوله: أبو بكر أسلم شيخًا لا يدري ما يقول وعليّ أسلم صبيّا والصبي لا يصح إسلامه على قول”. انتهى كلام ابن حجر
sekarang dah bisa jawab
pertanyaan sederhana kan…: jika memang Al-hafidz Ibnu Hajar , menyanjung Ibnu Taimiyah sedemikian rupa, kenapa al-Hafidz Ibnu hajar malah ber aqidahkan Asy`ariyah….? kenapa beliau tidak mengikuti Aqidahnya Ibnu Taimiyah….?
lalu kenapa Adzahabi pun ber aqidahkan Asy`ariyah , padahal beliau murid Ibnu Taimiyah…..kenapa beliau tidak mengikuti aqidah Ibnu taimiyah….?
ana tidak bisa menerjemahkan tulisan di atas. mohon antum menyebutkannya dalam bahasa indonesia saja agar ana bisa tahu bahwa itu benar2 tahdzir Ibnu Hajar kepada Ibnu Taimiyah. jangan lupa sebutkan juga dalam kitab apa. syukron…
adapun mengenai pertanyaan antum:
1. kenapa Ibnu Hajar berpemahaman Asy’ariyah?
jawab:
a. karena Ibnu Hajar bukan seorang muqollid, melainkan seorang mujtahid. beliau mengikuti Ibnu Taimiyah dalam hal2 yang beliau anggap benar dan menyelisihi Ibnu Taimiyah dalam hal2 yang beliau anggap keliru.
b. sering juga seorang murid menyelisihi gurunya, baik dalam hal aqidah maupun fiqh. apalagi Ibnu Hajar dan Ibnu Taimiyah tidak mempunyai hubungan murid-guru.
c. sering juga seorang ulama, khususnya ulama jarh wa ta’dhil, mengkritik dengan keras jika ada seorang ulama yg mempunyai kesalahan sangat fatal. namun secara umum, ia tetap menghormati dan tetap menganggap ulama yg bersalah itu sebagai ahlus sunnah. misalnya Adz Dzahabi yg mengkritik dengan sangat keras Imam Abu Nu’aim, pengarang Hilyatul Aulia karena beliau membawakan hadits palsu tanpa menjelaskan kepalsuannya.
d. Ibnu Hajar berpemahaman Asy’ariyah dalam beberapa persoalan saja, akan tetapi dalam persoalan lain justru membantah Asy’ariyah. misalnya dalam pembagian bid’ah.
bisa saja dan sangat wajar jika Ibnu Hajar berselisih paham dengan Ibnu Taimiyah. sangat wajar jika beliau mengkritik pendapat2 Ibnu Taimiyah, karena hal ini memang tiada terlarang dan tercela. akan tetapi secara umum Ibnu Hajar tetap menganggap Ibnu Taimiyah seorang ulama yang mulia. terbukti dengan menjulukinya Al Hafidz, Taqiyudin, dan bahkan Syaikhul Islam.
2. kenapa Adz Dzahabi berpemahaman Asy’ariyah?
jawab: kalo ini perlu klarifikasi dulu, benarkah Adz Dzahabi seorang Asy’ari? apa bukti yang membenarkan hal itu?
justru yg diketahui secara pasti, beliau berintishob pada “SALAFI”. dalam kitabnya siyar a’lam nubala, ketika memuji seseorang beliau sering menjulukinya “fulan bin fulan adalah salafi”.
beliau juga menulis kitab berjudul mu’jam syuyukh yang berisi daftar guru2nya. dan siapakah yang berada di urutan no.1? siapa lagi kalo bukan Ibnu Taimiyah?
Mas Ajam , apa yang disampaikan oleh Al Imam Ibn Hajar maupun Adz Dzahabi tentang Ibnu Taimiyah adalah semata-mata penghormatan terhadap Ibnu Taimiyah. Mereka melaksanakan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Jangan engkau menyebut-nyebut apa yang pernah dilakukan oleh orang yang meninggal kecuali hal-hal yang baik saja, sesungguhnya mereka telah menyerahkan apa yang telah mereka perbuat.”
Namun penghormatan mereka terhadap Ibnu Taimiyah tidak menghilangkan atau menggugurkan upaya-upaya mereka meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman Ibnu Taimiyah
Contoh,
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang akidah mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali, apakah akidah Imam Ahmad bin Hambal seperti akidah mereka ?
Beliau menjawab:
Akidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihkan beliau darinya itu.
Al Hafizh Al Hujjah Al Imam, Sang Panutan, Abul Faraj Ibnul Jauzi, salah seorang pembesar imam mazhab Hambali yang membersihkan segala macam tuduhan buruk ini, telah menjelaskan tentang masalah ini bahwa segala tuduhan yang dilemparkan kepada sang imam adalah kedustaan dan tuduhan yang keji terhadap sang imam. Bahkan teks-teks perkataan sang imam telah menunjukkan kebatilan tuduhan itu, dan menjelaskan tentang sucinya Allah dari semua itu. Maka pahamilah masalah ini, karena sangat penting.
Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim dan orang seperti mereka berdua.
Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah?
Bagaimana orang-orang atheis itu melampaui batas-batas, menabrak aturan-aturan dan merusak tatanan syariat dan hakikat, lalu mereka menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk dari tuhan mereka, padahal tidaklah demikian. Bahkan mereka berada pada kesesatan paling buruk, kemurkaan paling tinggi, kerugian paling dalam dan kedustaan paling besar. Semoga Allah menghinakan orang yang mengikutinya dan membersihkan bumi ini dari orang-orang semisal mereka.
Sumber : Al Fatawa Al Haditsiyah 1/480 karya Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami.
Selengkapnya:
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/kesalahpahaman-itiqod/
https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Sedangkan mas Ajam menyampaikan bahwa Ibnu Hajar mengikuti Ibnu Taimiyah , yang dimaksud Ibnu Hajar yang mana ? ada dua Ibnu Hajar yang kita kenal yakni
Ibnu Hajar Al Haitami (909 – 974 H) dan Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (773 – 852 H), namun kedua-duanya bermazhab Imam Syafi’i
Ibnu Hajar Al Haitami (909 – 974 H)
Nama lengkap beliau adalah Syihabuddin Ahmad bin Hajar al Haitami, Lahir di Mesir tahun 909 H. dan wafat di Mekkah tahun 974H. Pada waktu kecil beliau diasuh oleh dua orang Syeikh, yaitu Syeikh.Syihabuddin Abul Hamail dan Syeikh Syamsuddin as Syanawi. Pada usia 14 tahun beliau dipindahkan belajar masuk Jami’ Al Azhar. Pada Unirnersitas Al Azhar beliau belajar kepada Syeikhul Islam Zakariya al Anshari dan lain-lain.
Kitab.kitab karangan beliau banyak sekali, diaantaranya:
1. Kitab Tuhfatul Muhtaj al Syarhil Minhaj (10 jilid besar), sebuah kitab fiqih dalam Madzhab Syafi’i yang sampai saat ini dipakai dalam sekolah-sekolah Tinggi Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Kitab ini setaraf dengan kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj (8 jilid besar) karangan Imam Ramli (wafat 1004 H). Kedua dua kitab ini adalah tiang tengah dari Madzhab Syafi’i, tempat kembali bagi Ulama-ulama Syafi’iyah dalam masalah-masalah agama di Indonesia pada waktu ini.
2. Kitab fiqih Fathul Jawad.
3. Kitab fiqih al Imdad
4. Kitab fiqih al Fatawi.
5. Kitab fiqih al ‘Ubad.
6. Kitab Fatawi al Haditsiyah.
7. Kitab Az Zawajir, frgtirafil Kabaair.
8. As Syawa’iqul Muhriqah Firradi al az Zindiqah.
9. Dan banyak lagi yang lainnya.
Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (773 – 852 H)
Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin ‘Ali bin Muhammad, Abdul Fadhli al Kinani as Syafi’i, yang masyhur dengan nama “Al ‘Asqalani” saja, lahir di Mesir tahun 773 H dan wafat tahun 852 H dalam usia 79 tahun.
Pada waktu muda remaja beliau menghafal kitab al Hawi karangan Al Mawardi dan kitab Mukhtasar karangan Ibnul Hajib.
Tidak lama beliau berangkat ke Mekkah dan belajar menambah ilmunya di sana dengan Syeikh al ‘Iz bin Jama’ah dan lain-lain ulama fiqih Syafi’i. Beliau pernah menjadi Qadhi seluruh Mqsir lebih kurang selama 2l tahun di mana beliau menjadi hakim dalam Madzhab Syafi’i. Beliau banyak sekali mengarang kitab-kitab dalam bermacam-macam bidang ilmu, tetapi karangannya yang sangat terkenal ialah Fathul Bari Syarah Sahih Bukhari, 17 jilid.
Khabarnya karya beliau sampai 150 buah kitab agama yang sernuanya berrnutu tinggi, terpakai dalam sekolah-sekolah tinggi.
Diantara karangan beliau adalah:
1. Fathul Bari, syarah Bukhari (17 jilid) yang dikarang selama 29 tahun, dari tahun 813 H. sampai tahun 842 H.
2. Kitab Bulugul Maram, kitab Hadits yang telah disyarahkan oleh as Shan’ani dengan nama “Kitab Subulus Salam”.
3. Al Ishabah fi asmais Shabah.
4. Tahdzibut Tahazib.
5. Talkhisul Habir.
6. Dan lain-lain.
Di antara dua orang Ulama Ibnu Hajar ini yang terkemuka di bidang fikih adalah Ibnu Hajar al Haitami karena Ibnu Hajar al ‘Asqalani lebih banyak kesibukannya dalam ilmu hadits daripada ilmu fiqih.
antum benar bahwa kadang Ibnu Hajar atau ulama lain memuji dan kadang pula mengkritik Ibnu Taimiyah dalam persoalan2 tertentu. namun secara umum, Ibnu Hajar memuliakan dan mengagungkan Ibnu Taimiyah dan tidak mengeluarkannya dari ahlus sunnah, bahkan malah menjulukinya Al Hafizh, At Taqiyuddin, dan Asy Syaikhul Islam.
sikap Ibnu Hajar ini sangat bertentangan dengan sikap golongan Asy’ari masa kini, dimana mereka menghujat, mencela, menuduh, dan mengeluarkan Ibnu Taimiyah dari ahlus sunnah. terlebih lagi ada yang menjulukinya dengan julukan buruk seperti mujassimah atau musyabbihah. bahkan ada pula yang mengkafirkannya.
yang ana maksud Ibnu Hajar Al Asqolani. sebagaimana lazimnya, jika hanya disebut Ibnu Hajar atau disebut Al Hafizh, maka yang dimaksud adalah Ibnu Hajar Al Asqolani. hal ini sudah lazim dan umum.
kalo yang dimaksud adalah Ibnu Hajar Al Haitami (909-973) atau Ibnu Hajar Al Haitsami (735-807) , maka akan disebutkan julukannya, yaitu Al Haitami atau Al Haitsami.
oOo yang mas ‘Ajam maksud Ibnu Hajar Al Asqolani. Ibnu Hajar yang terkemuka dalam ilmu hadits
Permasalahan pada zaman sekarang ini adalah segelintir ulama tahu, mengerti, paham tentang hadits-hadits atau menguasai ilmu hadits namun sesungguhnya mereka belum berkompetensi menetapkan hukum perkara (istinbat) berdasarkan hadits-hadits yang mereka pahami
Kompetensi ilmu hadits berbeda dengan kompetensi menetapkan hukum perkara (istinbat) atau dikenal sebagai imam mujtahid
Ibnu Hajar Al Asqolani ~rahimahullah yang terkemuka dalam ilmu hadits saja tetap mengikuti pendapat Imam Syafi’i ~rahimahullah. Beliau pengikut Imam Syafi’i
Apalagi hadits-hadits yang dapat kita temukan/kumpulkan pada zaman kini dalam bentuk kitab / tulisan adalah hanya sebagian dari keseluruhan hadits-hadits yang ada.
Para Imam Mazhab yang berkompetensi sebagai imam mujtahid mutlak, mereka telah mensortir / menseleksi / menyaring hadits-hadits yang mereka pahami dan dapatkan secara langsung dari lisan-lisan minimal Tabi’ut Tabi’in atau dari mereka yang bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Jadi para ulama dahulu menghormati Ibnu Taimiyah sebagai ulama yang mengetahui hadits-hadits namun Ibnu Taimiyah tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau sebagai Imam Mazhab (imam yang dapat diikuti).
Kesalahpahaman terjadi dikarenakan Ibnu Taimiyah mendeklarasikan bahwa apa yang beliau pahami dan beliau sampaikan adalah mazhab salaf dan mazhab salaf adalah pasti benar. Seolah-olah mazhab selain mazhab salaf adalah tidak benar.
“Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]
Padahal kita paham bahwa yang pasti benar hanyalah lafaz/nash Al Qur’an dan Hadits sedangan pemahaman maupun pendapat manusia bisa benar dan bisa pula salah. Namun pendapat / pemahaman para Imam Mazhab yang empat telah diakui oleh jumhur ulama sebagai pendapat/pemahaman yang bisa kita ikuti .
Kami telah menguraikan dalam beberapa tulisan bahwa manhaj salaf atau mazhab salaf yang telah difatwakan oleh Ibnu Taimiyah pada hakikatnya tidak pernah dikatakan oleh para Salafush Sholeh maupun oleh Nabi kita Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Tulisan tersebut secara berurutan adalah
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/04/adakah-manhaj-salaf/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/06/ikutilah-orang-sholeh/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/06/07/mengapa-harus-salafi/
al akh mutiarazuhud
di awal pembicaraan, ana hanya mengatakan bahwa Ibnu Hajar sangat menjunjung tinggi kedudukan Ibnu Taimiyah. terbukti dengan menjulukinya dengan julukan yang sangat mulia, seperti Al Hafizh, At Taqiyuddin, Al ‘Allamah, dan Asy Syaikhul Islam. lalu ana ingin antum membandingkannya dengan sikap Asy’ariyun masa kini yang bertolak belakang dengan sikap Ibnu Hajar.
andai saja saat ini Ibnu Hajar masih hidup dan berdiri di hadapan kalian, kemudian beliau mendengar kalian menghujat Ibnu Taimiyah dan menjulukinya mujassimah atau musyabbihah, kira2 akan seperti apa reaksi Ibnu Hajar?
Mas ‘Ajam, bukan kami menghujat Ibnu Taimiyah namun ulama-ulama terdahulu yang menyampaikan tentang kesalahpahaman-kesalahpahaman Ibnu Taimiyah sebagaimana yang terurai pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/kesalahpahaman-itiqod/
https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
lalu bagaimana dengan sebutan mujassimah dan musyabbihah? bagaimana juga dengan tuduhan bahwa beliau telah berkhutbah di atas mimbar dan berkata Alloh duduk sebagaimana dia duduk dan Alloh turun ke dunia sebagaimana dia turun?
apakah sebutan dan tuduhan itu pernah dilontarkan oleh ulama semisal Ibnu Hajar Al Asqolani? jika bukan, lalu siapa yang antum maksud dengan “ulama” pada komentar antum di atas?
Silahkan mas Ajam telusuri, ulama-ulama mana saja yang mengkritisi pemahaman Ibnu Taimiyah pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/kesalahpahaman-itiqod/
https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
sepertinya ada yg belum antum pahami dari pertanyaan ana. ana bertanya apakah sebutan mujassimah atau musyabbihah pernah dilontarkan oleh para ulama yang antum maksud?
kalau sekedar mengkritik kekeliruan pemahaman Ibnu Taimiyah, maka ini hal yang sangat wajar. adapun jika sampai menyebut mujasimah atau musyabbihah, maka ini perkara lain. ini bukan kritikan, melainkan celaan atau hujatan.
Contohnya kami salinkan dari https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/kesalahpahaman-itiqod
***** awal kutipan ******
Al Imam al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi (w 579 H) dalam kitab “Talbis Iblis”, artinya Membongkar Tipu Daya Iblis menuliskan, (yang artinya)
“Mereka yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi (materi/harfiah) ada beberapa golongan. Mereka berkata bahwa Allah bertempat di atas arsy dengan cara menyentuhnya, jika DIA turun (dari arsy) maka DIA pindah dan bergerak. Mereka menetapkan ukuran penghabisan (bentuk) bagi-NYA. Mereka mengharuskan bahwa Allah memiliki jarak dan ukuran. Mereka mengambil dalil bahwa Dzat Allah bertempat di atas arsy [–dengan pemahaman yang salah–] dari hadits Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Yanzil Allah Ila Sama’ ad Dunya”, mereka berkata: “Pengertian turun (yanzil) itu adalah dari arah atas ke arah bawah”.
“Mereka memahami makna “nuzul” (dalam hadits tersebut) dalam pengertian indrawi yang padahal itu hanya khusus sebagai sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum Musyabbihah yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi (materi / harfiah). Dan Telah kami paparkan perkataan-perkataan mereka dalam kitab karya kami berjudul “Minhaj al Wushul Ila ‘Ilm al Ushul”.
Imam Ibn al Jawzi al Hanbali menegaskan bahwa “keyakinan Allah Azza wa Jalla bertempat di atas ‘Arsy adalah keyakinan musyabbihah”
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab berjudul “Hasyiyah Al-’allaamah Ibn Hajar Al-Haitami ‘Alaa Syarh Al-Idlah Fii Manasik Al-Hajj”
“Penghinaan Ibnu Taimiyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh; oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan, –Allah Maha Suci dari segala apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir dengan kesucian yang agung–. Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji. Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini–”.
*****akhir kutipan *****
Pendapat Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad yang sebaiknya kita ingat selalu agar kita terhindar dari kekufuran dalam i’tiqod / akidah.
“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”
“Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, betempat), ia kafir secara pasti.”
Ibnul Jauzi berkata: “Mereka berkata bahwa Allah bertempat di atas arsy dengan cara menyentuhnya”
adakah Ibnu Taimiyah berkata bahwa bahwa Alloh bersentuhan dengan ‘Arsy?
Ibnul Jauzi berkata: “jika DIA turun (dari arsy) maka DIA pindah dan bergerak”
adakah Ibnu Taimiyah berkata bahwa Alloh itu berpindah dan bergerak?
Ibnul Jauzi berkata: “Mereka menetapkan ukuran penghabisan (bentuk) bagi-NYA. Mereka mengharuskan bahwa Allah memiliki jarak dan ukuran”
adakah Ibnu taimiyah menetapkan jarak dan ukuran bagi Alloh?
sepengetahuan ana, tidak ada perkataan atau kitab Ibnu Taimiyah yang seperti itu. begitu pula dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, Al Albani, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin dll.
tambahan:
mengenai kenapa harus menmanhaj salaf, maka ana lebih dahulu bertanya
islam adalah satu-satunya agama yang diridhoi oleh Alloh, namun cukupkah hanya dengan islam saja? sedangkan islam itu terpecah menjadi 73 golongan dan hanya 1 golongan yang masuk surga
jika dijawab, islam yang berlandaskan pada Al Quran dan As Sunnah, maka ana kembali bertanya, tidakkah ke 73 golongan islam itu semuanya berlandaskan pada Al Quran dan As Sunnah juga, sekalipun ia syi’ah ataupun khowarij?
jika dijawab, islam yang berlandaskan pada Al Quran dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafush sholih, maka inilah yang benar dan sempurna. akan tetapi tidakkah lebih mudah dan sederhana jika dikatakan saja “Manhaj atau Madzhab Salaf”?
adapun Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan lainnya juga dianggap termasuk dalam madzhab Salafiyah karena memang mereka adalah salaf umat ini yang mengambil atsar dari salafnya.
adapun logika antum bahwa hanya madzhab salaf saja yang benar dan selain itu adalah sesat, maka hal itu memang sewajarnya. islam itu datang dari generasi salaf, bukan dari generasi kholaf. kalo bukan salaf, pastilah ia kholaf. maka madzhab yang berasal dari generasi kholaf atau madzhab kholaf pastilah ia madzhab yang sesat.
Mas Ajam, bukan kami yang berlogika atau yang menyampaikan bahwa mazhab salaf yang benar atau pasti benar namun Ibnu Taimiyah yang berfatwa
“Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]
dan kami mengingkari fatwa Ibnu Taimiyah tersebut karena yang pasti benar hanyalah lafaz/nash Al Qur’an dan Hadits, segala upaya penterjemahan, penafsiran , pemahaman terhadap lafaz/nash Al Qur’an dan Hadits , bisa benar dan bisa pula salah.
Sedangkan Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali dikatakan sebagai madzhab Salafiyah dalam arti Mazhab ulama Salaf atau Mazhab ulama terdahulu benar adanya namun mazhab-mazhab tersebut bukan “mazhab salaf” karena mereka menyandang penamaan nama para Imam Mazhab. Penamaan mazhab salaf atau manhaj salaf hanyalah penamaan yang dilakukan oleh ulama-ulama kemudian, salah satunya adalah Ibnu Taimiyah
Kami pun mengingkari pendapat mas ‘Ajam bahwa “madzhab yang berasal dari generasi kholaf atau madzhab kholaf pastilah ia madzhab yang sesat” karena pemahaman terhadap Al Qur’an dan Hadits tidak ada kaitannya dengan generasi.
Kesahpahaman terjadi karena kesalahpahaman Ibnu Taimiyah. Pemahaman ulama kholaf (kemudian) bisa benar dan bisa pula salah ,
Ibnu Taimiyah termasuk ulama kholaf,
Pemahaman Ibnu Taimiyah terhadap Al Qur’an dan Hadits tidak pasti sesuai dengan pemahaman ulama salaf yang sholeh.
Upaya pemahaman Ibnu Taimiyah terhadap lafaz/tulisan ulama yang sholeh yang dinamakan oleh Ibnu Taimiyah sebagai “mazhab salaf”. Hal inilah yang mengecoh segelintir umat muslim sehingga terjadi kesalahpahaman-kesalahpahaman selama ini tentang adanya mazhab/manhaj salaf
Silahkan baca juga informasi pada http://ummatipress.com/2011/09/05/salafi-wahabi-digugat-para-ulama-dan-kaum-muslimin-sedunia/
Assalamuallaykum mas Ajam pa kabar ??? Taqobbalallohu minna wa minkum
Taqobbal ya Karim……..maaf atas kekhilafan ana mas …….maaf mau nanya mas bagaimana dgn hadits Sabda Rasulullah saw :
Sungguh telah kukira wahai Abu Hurairah (ra) bahwa tiada yang menanyakanku mengenai hadits ini yang pertama darimu, dari apa-apa yang kulihat atas penjagaanmu pada hadits ini, yang paling bahagia dengan syafaatku dihari kiamat adalah yang mengucap Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan Selain Allah) ikhlas dari hatinya dan dirinya” (Shahih Bukhari no.97)….apa nggak kontra dgn komentar nt …mohon pencerahanya ana yang masih awam mas Ajam @ ……salam
wa’alaikumsalam warohmatulloh
ana tidak tau apa yang antum tanyakan dari hadits tersebut. shohih atau tidaknya kah? atau syarahnya kah? atau gimana?
al akh mutiarazuhud
memahami Al Quran dan As Sunnah itu harus sesuai dengan pemahaman salafush sholih. apa yang mereka kerjakan, maka kerjakanlah dan apa yang mereka tinggalkan maka tinggalkanlah. adapun apa yang dikerjakan oleh orang2 kholaf yang tidak ada tuntunannya dari generasi kholaf, maka itu termasuk bid’ah.
Hudzaifah bin al-Yaman ra berkata, “Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Sahabat Rasulullah saw sebagai ibadah, maka janganlah kamu lakukan! Karena generasi pertama itu tidak memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya untuk berpendapat (dalam masalah agama). Bertakwalah kepada Allah wahai para qurra’ (ahlul qira’ah) dan ambillah jalan orang-orang sebelum kami!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitabnya al-Ibaanah)
Mas ‘Ajam, antum mengatakan bahwa memahami Al Qur’an dan As Sunnah harus sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh
Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana yang dikatakan “pemahaman Salafush Sholeh” sedangkan kita tidak bertemu dengan para Salaf yang sholeh atau Salafush Sholeh ?
Kita tidak bertemu dengan para Salaf yang sholeh untuk mengkonfirmasi sebagai pemahaman mereka
Yang tertinggal saat ini adalah lafaz / tulisan ulama salaf yang sholeh bukan pemahaman Salafush Sholeh !
Begitupula kita tidak melihat langsung apa yang Salafush Sholeh kerjakan maupun tinggalkan, yang tertinggal adalah lafaz/tulisan ulama salaf yang sholeh tentang apa yang mereka kerjakan dan apa yang mereka tinggalkan namun perlu kita pahami lafaz/tulisan tersebut
Apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah sebagai pemahaman Salafush Sholeh adalah upaya Ibnu Taimiyah memahami lafaz / tulisan ulama salaf yang sholeh.
Pertanyaannya adalah apakah upaya pemahaman yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah adalah pasti benar ? Jelas bisa benar dan bisa pula salah. Hal yang jelas Ibnu Taimiyah tidak dikenal berkompetensi sebagai imam mujtahid mutlak.
jika antum berpegang pada hadits dan atsar yang shohih, maka antum sudah berpegang dengan pemahaman salaf.
apa yg mereka kerjakan, tentunya sudah ada dalam atsar2 mereka yg shohih. sedangkan apa yg mereka tinggalkan, tentunya yg tidak ada dasarnya/dalilnya dari mereka.
kalau pemahaman salafush sholih yang tertulis di kitab2 hadits itu antum anggap hanya sekedar tulisan, dan bukan suatu pemahaman, lantas apa gunanya para ulama menulis hadits2? apa gunanya perkataan Hudzaifah: ““Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Sahabat Rasulullah saw sebagai ibadah, maka janganlah kamu lakukan! “? apa gunanya perkataan Umar bin Abdul Aziz: ““Berhentilah kamu di mana para Sahabat berhenti (dalam memahami nash), karena mereka berhenti berdasarkan ilmu dan dengan penglihatan yang tajam mereka menahan (diri). Mereka lebih mampu untuk menyingkapnya dan lebih patut dengan keutamaan.”? apa gunanya firman Alloh: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu”?
semua itu sia-sia karena bolehnya mengikuti bid’ahnya orang2 kholaf
Mas Ajam , yang tertinggal dari para Salaf yang Sholeh adalah lafazh/tulisan mereka untuk itulah perlu upaya penterjemahan, penafsiran dan pemahaman
Lalu pemahaman siapa yang kita ikuti ?
Sebaiknya kita mengikuti pemahaman para Imam Mazhab karena mereka melihat langsung bagaimana implementasi pemahaman para Salaf yang sholeh (Salafush Sholeh) dalam beribadah. Para Imam Mazhab menyadari bahwa umat Islam selanjutnya tidak akan pernah melihat langsung bagaimana implementasi pemahaman para Salaf yang sholeh (Salafush Sholeh) dalam beribadah. Untuk itulah mereka menuliskan dan menguraikannya dalam kitab fiqih.
Sebaiknya kita jangan mengikuti pemahaman ulama yang salah pikir atau salah paham karena mereka tidak melihat langsung bagaimana implementasi pemahaman para Salaf yang sholeh (Salafush Sholeh) dalam beribadah. Mereka berupaya memahami melalui lafazh/tulisan ulama salaf yang sholeh namun upaya pemahaman mereka belum tentu benar dan terkadang bercampur dengan ra’yu mereka sendiri.
apa yang dikerjakan dan dikatakan oleh salaf, maka begitulah pemahaman mereka. dan ini sudah jelas dan tidak perlu takwil lagi.
ana ambil contoh, Zainab berkata: “Kalian (istri2 Nabi yang lain) dinikahkan oleh saudara kalian, sedangkan aku dinikahkah oleh Alloh dari langit ke tujuh”, maka inilah pemahaman Zainab bahwasanya Alloh itu di atas langit ke tujuh. mau ditakwil kemana lagi perkataan beliau ini jika bukan sebagaimana apa yang beliau katakan?
ana tergelitik dengan perkataan antum: “Sebaiknya kita mengikuti pemahaman para Imam Mazhab…dst.”
yang ana tangkap dari tulisan2 antum sebelumnya bahwa yang antum maksud dengan madzhab hanya ada 4, yakni Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. jika ana salah tangkap mohon diluruskan.
lalu ana bertanya, jika ada suatu ikhtilaf dalam suatu persoalan, kemudian ada pendapat yang di luar 4 madzhab di atas, apakah itu berarti bukan pendapat ahlus sunnah? atau dengan kata lain, apakah pendapat itu pasti salah jika di luar pendapat 4 madzhab?
kasihan saudara salafi…
Allah persult untuk menjadi orang baik. Hablum minallah-nya konon sesuai “manhaj” yg lurus. hablum minannas nya ancur-ancuran. Wallahu A’lam
apakah pendapat yang di luar 4 madzhab langsung dianggap pendapat yang salah atau bukan pendapat ahlus sunnah?
mas Ajam ana yang sangat awam aja bisa tau yang pendapatnya salah pasti yang menyelisih Al Qur’an n Hadits Nabi …..la ana liat nt termasuk orang berilmu …..kok bertanya spt gitu mas …
afwan, antum simaklah dulu diskusi ana dengan Mutiarazuhud di atas. beliau berkata: “Sebaiknya kita mengikuti pemahaman para Imam Mazhab karena mereka melihat langsung bagaimana implementasi pemahaman para Salaf yang sholeh (Salafush Sholeh) dalam beribadah”.
kalo ana menangkap maksud yang diinginkan oleh al akh mutiarazuhud adalah bahwa yang dinamakan ahlus sunnah adalah jika masih di atas rel madzhab, sehingga apabila ada pendapat yang keluar dari rel tersebut, maka dianggap pendapat yang pasti salah atau sesat. benarkah begitu? silakan antum jawab jika ingin membantu al akh mutiarazuhud
NB. madzhab yang dimaksud oleh al akh mutiarazuhud terbatas pada 4 madzhab besar, yakni Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
@ ‘Ajam
menurut ente, apakah imam 4 tersebut berpijak pada al quran dan as sunnah atau justru sebaliknya? apakah pengikut wahabi dan faham ibnu taimiya saja yang ante maksud sebagai ahlussunna wal jamaah? bagaimana dengan pembantain wahabiun atas ulama2 dan muslimin yang jelas2 bersyahadat dan tak berdaya? apakah mereka wahabiun mencontoh nabi dalam memerangi sesuatu?
menuut ente:
apakah pengikut muslimin yang mengikuti (muqollid) 4 imam madhzab sebagai musyrik? jika ya rincikanlah, biar ana belajar lebih dalam dengan ente
Al Akh azzam
pertanyaan konyol antum tidak layak untuk ana jawab
klo menterjemahkan bahasa arabnya saja gak bisa dengan apa dapat ilmu agama yg benar ya …? Kitab ibnu taimiyah kan juga dalam bahasa arab klo baca cuma terjemahan kita gak tau loh klo yg terjemahin itu salah, wis saiki belajar dululahbahasa arab mendingan belajar dulu fiqih 4 mazhab + fikih muridnya hemper baru diskisi he he he
@’Ajam
pertanyaan yang konyol???? baiklah klo begitu. apakah ente tahu kalo ulama wahabi memusyrikkan para imam tersebut?
apakah ente yakin tanpa bimbingan guru (bermadzhab) dalam belajar addinulislam benar secara lahir batin?
Al Akh azzam
nama antum bagus namun kata2 antum busuk. itu juga tuduhan konyol. sudah dibantah bahwa salafiyun tidak menuduh ulama ahlus sunnah seperti An Nawawi atau Ibnu Hajar sebagai pelaku kesyirikan.
apa tujuan antum dari cara berdiskusi macam ini? kapan ana melarang dari bermadzhab sehingga antum berpikir ana tidak butuh bimbingan guru yang bermadzhab?
termikasih atas pujian ente, semoga mengurangi dosa2 ana. dan bukanlah tuduhan konyol yang ana sampaikan, ente bisa cari info mengenai kebrutalan ulama wahabi dalam ungkapan memusyrikan ulama2 salaf pengikut madzhab 4 sekalian scan kitabnya di didunia maya ini.
ente keliatan gusar sekali atas pertanyaan ana. cool man!!!. kalo ente tidak anti madzhab tentunya pertanyaan ente terhadap mas Mutiarazuhud tidak seperti itu, demikian juga dengan cara penafsiran ayat2 al quran dan assunah.
jujur ana berdikusi disini juga belajar, sekalipun ada bloger ateis berkomentar, guna memantapkan pandangan dan keimana ana. pertanyaan adalah pertanyaan yang ada jawabanya meskipun pertanyaan itu sangat “konyol”. hanya orang yang merara lebih tinggi dari org lain yang menganggap pertanyaan2 yang tidak sesuai pemekirannya sbg pertanyaan konyol. meski pertanyaan itu ada bukti jawabannya.
sudah ada jawaban/bantahan atas tuduhan yang antum lontarkan itu. ana bantu antum, silakan antum cek sendiri
http://bantahansalafytobat.wordpress.com/2010/10/20/bantahan-6-kedustaan-tuduhan-al-albany-mengkafirkan-al-bukhari/
http://bantahansalafytobat.wordpress.com/2010/10/20/bantahan-7-kedustaan-tuduhan-al-utsaimin-mengkafirkan-annawawi-dan-ibnu-hajar/
http://bantahansalafytobat.wordpress.com/2010/10/20/bantahan-8-kedustaan-tuduhan-bin-baz-mengkafirkan-sahabat-nabi/
antum lihat dulu diskusinya secara menyeluruh. kenapa ana bertanya seperti itu pada al akh mutiarazuhud? itu karena beliau berkata: “Sebaiknya kita mengikuti pemahaman para Imam Mazhab…dst”
untuk mendapatkan pemahaman yang benar terhadap Al Quran dan As Sunnah, al akh mutiarazuhud menganjurkan untuk mengikuti imam madzhab (mungkin maksud beliau 4 madzhab besar).
ana bertanya, apakah jika ada pendapat yang menyelisihi pendapat 4 madzhab tersebut, langsung dianggap pendapat yang salah atau sesat?
Mas Ajam, sebaiknyalah kita mengikuti pendapat ulama yang bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Minimal ulama yang bermazhab karena dengan mengikuti pendapat imam Mazhab artinya tetap mempertahankan sanad ilmu atau sanad guru karena para Imam Mazhab bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Tapi berhati-hati dengan kitab imam mazhab yang telah ditahrif oleh mereka yang bukan pengikut imam mazhab
Kami telah sampaikan bahwa para Ulama (ahli ilmu) sebaiknya hanya menyampaikan apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berjenjang melalui lisan para Sahabat, lisan para Tabi’in, lisan para Tabi’ut Tabi’in terus melaui ulama-ulama yang sholeh pengikut para Imam Mazhab yang empat. Inilah yang disebut sebagai sanad ilmu atau sanad guru. Jangan bercampur dengan ra’yu atau akal pikiran sendiri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sepeninggalku kelak, akan muncul suatu kaum yang pandai membaca Al Qur`an tidak melewati kerongkongan mereka” (HR Muslim)
Pengertian “tidak melewati kerongkongan” adalah pemahaman dengan akal pikiran sendiri, ra’yu / logika tanpa sanad ilmu atau sanad guru
“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu Abbas ra~ Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dlm neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
mohon dijawab dengan bahasa yang sederhana, lugas, jelas dan langsung pada intinya. jawaban antum itu sama sekali tidak nyantol dari apa yang ana tanyakan
Mas Ajam, antum bertanya “apakah jika ada pendapat yang menyelisihi pendapat 4 madzhab tersebut, langsung dianggap pendapat yang salah atau sesat?”
Pendapat seseorang bisa benar dan bisa pula salah.
Sebaiknyalah kita mengikuti pendapat ulama yang bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bagaimana membedakan antara orang yang benar-benar bersanad ilmu pada rasulullah dengan orang yang hanya ngaku-ngaku?
dan apakah orang yang bersanad ilmu langsung pada Alloh itu pasti benar perkataannya?
kalau mengacu pada perkataan antum: “Pendapat seseorang bisa benar dan bisa pula salah.”, berarti orang yang bersanad ilmu pada Rasulullah punya kemungkinan salah dalam berpendapat dan orang yang tidak bersanad ilmu kepada Rasulullah punya kemungkinan benar dalam berpendapat.
Mas Ajam, mereka yang bersanad ilmu sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, selama mereka hanya menyampaikan apa yang mereka dengar dan pahami dari lisan ulama yang sholeh sebelumnya (terdahulu) tanpa mencampurnya dengan ra’yu (akal pikiran) mereka sendiri insyaallah akan terjaga kebenarannya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanya menyampaikan apa yang diwahyukanNya tanpa mencampurnya dengan hawa nafsu atau ra’yu (akal pikiran) nya sendiri.
al akh mutiarazuhud
jadi menurut antum, ada orang yang bersanad ilmu pada Rasulullah namun mengatakan perkataan yang tidak sesuai dengan perkataan Rasulullah?
lalu mana yg harus diikuti? orangnya atau perkataannya?
jika ada orang yang tidak bersanad ilmu pada Rasulullah namun mengatakan perkataan yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah, apakah tidak boleh ana mengikutinya?
Mas Ajam, tentu saja kalau kebenaran boleh saja diikuti.
Salah satu keterjagaan Al Qur’an adalah dengan apa yang dilakukan oleh para penghafal Al Qur’an yang mereka hafal dari mendengar lisan ke lisan dari para penghafal terdahulu.
Begitu juga dengan pemahaman perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga melalui lisan ke lisan ulama yang sholeh tanpa mencampurnya dengan ra’yu / akal pikiran mereka sendiri.
Percampuran dengan ra’yu atau akal pikiran sendiri cenderung terjadi pada mereka yang memahami lebih bersandar dengan cara membolak-balik kitab seorang diri.
Mas Ajam, sejauh mereka yang bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah hanya menyampaikan apa yang mereka dengar dan pahami dari ulama-ulama terdahulu tanpa mencampurnya dengan ra’yu (akal pikiran) sendiri pastilah akan sesuai dengan perkataan Rasulullah
namun yang terjadi adalah lain
orang yang ngaku-ngaku bersanad pada Rasulullah yang antum agung-agungkan, ternyata perkataannya tidak mempunyai dasar sama sekali dari para salafush sholih. dia mengada-adakan perkataan yang tidak pernah diucapkan oleh salafush sholih.
lalu dari mana perkataannya ini berasal? tentu saja dari pemikirannya sendiri atau dari salafnya yang menggunakan pemikirannya sendiri. dan siapakah salafnya itu? siapa lagi kalau bukan Mu’tazillah dan Jahmiyyah.
al akh MUTIARAZUHUD
ana tahu bahwa antum disibukkan oleh urusan lain, sehingga tidak sempat menjawab pertanyaan ana. akan tetapi karena antum tidak segera menjawab pertanyaan ana, muncullah orang-orang yang tidak mengetahui alasan kenapa ana bertanya tentang masalah itu yang mereka menuduh ana dengan tuduhan anti madzhab. jika antum sudah memiliki waktu yang longgar, segeralah untuk menjawab pertanyaan ana.
antum berkata: “Sebaiknya kita mengikuti pemahaman para Imam Mazhab…dst”
ana bertanya: jika ada suatu ikhtilaf dalam suatu persoalan dimana ada pendapat yang di luar 4 madzhab, apakah pendapat itu langsung dianggap sebagai pendapat yang pasti salah dan sesat?
mas Ajam kalau pertannyaan sepele itu ana yang sangaaaaaat awam pun bisa menjawab meski jawaban ana yang bodoh ini sering salah jarang sekali benar ( karena ana bukan mujtahid …he he he )
Ajam bertanya: jika ada suatu ikhtilaf dalam suatu persoalan dimana ada pendapat yang di luar 4 madzhab, apakah pendapat itu langsung dianggap sebagai pendapat yang pasti salah dan sesat?
ana jawab : ya enggak mesti salah laaaah …..selama itu sesuai dgn Al Qur’an n hadis nggak menyelisihinya…….yang salah yang melanggar / menyelisihi Al Qur’an n Hadits Nabi ………he he he ……maaf bang Zon kalau ana keliru……begitu mas Ajam ana sangaaaaaat lemah 1 haditspun nggah hafal apalagi dgn hukum sanad dan matannya jadi pendapat ana sering kali salah jaraaaaaang sekali benar ……
kalau begitu jawaban antum, insyaAlloh ana setuju. dan begitulah seharusnya dalam ittiba’. bukan mengikuti orangnya, namun mengikuti perkataannya. kalau sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah, sekalipun dia orang kafir atau ahli bid’ah, tetap harus diikuti. dan kalau menyelisihi Al Quran dan As Sunnah. sekalipun dia Abu Bakar atau Umar, tetap harus ditinggalkan.
Ass. Ustadz, sbg orang awam prlu mengkaji lebih rinci info2 yg didapat. Manakah artikel yg bs dipertanggungjawabkan artikel ustadz ataukah dari artikel berikut:
http://www.firanda.com/index.php/artikel/6-sirah/227-haruskah-membenci-ibnu-taimiyyah-padahal-ibnu-hajar-al-asqolaani-dan-para-ulama-syafiiyah-terkmuka-lainnya-telah-memuji-ibnu-taimiyyah-dengan-pujian-setinggi-langit
Walaikumsalam
Mereka adalah yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun kenyataannya mereka tidak lebih dari mengikuti pemahaman ulama-ulama seperti ulama Ibnu Taimiyyah, ulama Ibnu Qoyyim Al Jauziah, ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau bahkan mengikuti ulama Al Albani yang didapati telah mengingkari hadits-hadits. Contoh sebuah hadits yang diingkarinya diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/09/2011/11/22/tidak-cukup/ atau pengingkaran hadits-hadits lainnya sebagaimana terurai dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/04/inilahahlussunnahwaljamaah.pdf
Memang ulama mereka membaca Al Qur’an , Tafsir bil Matsur, Hadits Shohih, Sunan, Musnad, lalu ulama mereka pun berjtihad dengan pendapat mereka. Apa yang ulama mereka katakan tentang kitab-kitab tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu ulama mereka sendiri. Sumbernya memang Al Quran dan As Sunnah, tapi apa yang ulama-ulama mereka sampaikan semata-mata lahir dari kepala mereka sendiri. Setiap upaya pemahaman bisa benar dan bisa pula salah. Kemungkinan salahnya semakin besar jika yang melakukan upaya pemahaman (ijtihad) tidak dikenal oleh jumhur ulama berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Kesalahpahaman besar telah terjadi ketika ulama-ulama mereka mengatakan bahwa apa yang mereka pahami dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh. Jika apa yang ulama mereka pahami dan sampaikan sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh tentu tidaklah masalah namun ketika apa yang ulama mereka pahami dan sampaikan tidak sesuai dengan pemahaman sebenarnya Salafush Sholeh maka pada hakikatnya ini termasuk fitnah terhadap para Salafush Sholeh. Fitnah akhir zaman.
Apakah yang disampaikan oleh ust Firanda adalah pembelaan terhadap ulama panutannya. Kadang pujian ulama diberikan saat mereka menjelaskan riwayat hidup ulama yang telah wafat atau menjelaskan/menceritakan orangnya, bukan pada saat menjelaskan kesalahpahamannya.
Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.
Sedangkan ulama-ulama yang menjelaskan kesalahpahaman-kesalahpahaman ulama Ibnu Taimiyyah seperti pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/12/06/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/
Klik untuk mengakses ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Walaikumsalam
Pada hakikatnya lebih baik dan selamat kita mengikuti pemahaman atau pendapat Imam Mazhab yang empat sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya (Imam Mujtahid Mutlak) yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh.
Kita mengikuti Imam Mazhab yang empat beserta penjelasan dari ulama-ulama pengikut mereka sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Begitupula kita dalam belajar agama, di dunia maya melalui media internet maupun di dunia nyata melalui buku, tulisan atau mengaji kepada ulama , pastikanlah apa yang disampaikan bersumber dari pemahaman atau pendapat Imam Mazhab atau pastikan penulis atau pendakwahnya bermazhab dengan salah satu Imam Mazhab yang empat.
Sebaiknya janganlah mengikuti pemahaman ulama yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun kenyataannya mereka tidak bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh. Darimana mereka mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh kalau bukan pemahaman mereka sendiri dengan akal pikiran mereka sendiri.
Sebaiknya jangan pula mengikuti pendapat ulama yang berasal dari perkataan atau kitab Imam Mazhab yang empat namun telah ditahrif atau dipahami oleh ulama bukan pengikut Imam Mazhab dengan akal pikiran mereka sendiri.
Rasulullah telah melarang kita untuk memahami Al Qur’an dengan akal pikiran kita sendiri
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah.
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.
Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaikannya.
Hal yang akan dipertanyakan terhadap sebuah pendapat / pemahaman seperti :
“Apakah yang kamu pahami telah disampaikan / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam” ?
“Siapakah ulama-ulama terdahulu yang mengatakan hal itu” ?
“Dari siapakah mendapatkan pemahaman seperti itu” ?
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.
Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan agama kepada Sahabat. Sahabat menyampaikan kepada Tabi’in. Tabi’in menyampaikan pada Tabi’ut Tabi’in. Para Imam Mazhab yang empat, pemimpin / imam ijtihad kaum muslim pada umumnya, mereka berijtihad dan beristinbat berlandaskan hasil bertalaqqi (mengaji ) pada Salafush Sholeh
Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ra
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra
Jumhur ulama dari dahulu sampai sekarang telah sepakat bahwa perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat hanyalah dalam masalah furuiyah (cabang) bukan pada masalah pokok seperti pemahaman dalam i’tiqod (akidah). Perbedaan pemahaman yang tidak menimbulkan perselisihan, seperti saling menyesatkan , saling mengkafirkan atau saling membunuh. Imam Mazhab yang empat tidak pernah menyesatkan Imam Mazhab sebelumnya.
Ada timbul perselisihan dari mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Imam Mazhab yang empat namun pemahaman mereka menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat, seperti membangga-banggakan mazhabnya.
Contoh nasehat Imam Mazhab yang empat, jika sholat berjama’ah maka ikutilah mazhab yang dipergunakan oleh Imam Sholat. Andaikanpun terjadi kesalahan pada Imam Sholat, tidak ditanggung oleh makmumnya.
Hadits yang diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Jika pemahaman agama baik dan benar, sesuai sebagaimana asalnya dari Tuhan maka tidak akan menimbulkan pertentangan atau perselisihan yang menimbulkan perbuatan saling menyesatkan, saling mengkafirkan atau saling membunuh.
Firman Allah Azza wa Jalla,
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa 4 : 82)
Mereka yang pemahaman agamanya berdasarkan akal pikiran sendiri boleh jadi akan timbul pertentangan atau perselisihan yang menimbulkan perbuatan saling menyesatkan, saling mengkafirkan atau saling membunuh seperti contohnya yang dapat kita ketahui dari
Klik untuk mengakses Muhammad_Sewed_di_Gugat.pdf
Klik untuk mengakses
http://isnad.net/dialog-luqman-hizbi-firanda-sururi
http://isnad.net/?dl_name=dzulqornain_yayasan.rar
Klik untuk mengakses dzul-akmal-undercover.pdf
http://www.facebook.com/note.php?note_id=255000094557451
http://www.facebook.com/notes/padepokan-kanjeng-sunan/buku-sms-abu-abu-salafi-melawan-salafi-al-bani-vs-bin-bas-utsaimin/248700811863777
http://www.wattpad.com/397024-salafy-haraky-vs-salafy-yamani-vs-salafy-sururi
http://semogakamiselamat.wordpress.com/2011/11/07/point-point-kesesatan-para-penyembah-thogut-radio-rodja/
Mereka yang pemahaman agamanya berdasarkan akal pikiran sendiri “memerangi” orang beriman sebagaimana yang dialami oleh mufti mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah yang mempertahankan fatwa bahwa Niqab ( Cadar / Purdah) adalah suatu kebiasaan yang di bolehkan dan bukan merupakan satu kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) sebagaimana kesepakatan jumhur ulama bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat bagi perempuan. Hal ini diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/30/hukum-penutup-muka/
Mereka yang pemahaman agamanya berdasarkan akal pikiran sendiri “memerangi” orang beriman sebagaimana perintah ulama mereka dalam kitabnya berjudul “al-Majmu’ al-mufid min ‘Aqidati al Tauhid” hal. 55
لاينفع اسلامكم اذا أعلنتم الحرب العشواء على هذه الطرق الصوفية فقضيتم عليها قاتلوا هم قبل أن تقاتلوا اليهود والمجوس
“Tidak berguna Islam kalian sebelum kalian mengumumkan perang terhadap torikoh sufi dan kalian membantainya, perangilah mereka sebelum memerangi yahudi dan majusi”
Contoh lain mereka yang pemahaman agamanya berdasarkan akal pikiran sendiri “memerangi” orang beriman bahkan membunuh saudara muslimnya sendiri sebagaimana yang terurai dalam tulisan pada http://www.aswaja-nu.com/2010/01/dialog-syaikh-al-syanqithi-vs-wahhabi_20.html atau pada http://www.facebook.com/photo.php?fbid=220630637981571&set=a.220630511314917.56251.100001039095629
Oleh karenanya lebih baik dan selamat kita mengikuti pemahaman/pendapat Imam Mazhab yang empat, pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya (Imam Mujtahid Mutlak) karena mereka bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salafush Sholeh.
Untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah, marilah kita bertalaqqi (mengaji) kepada ulama-ulama yang mengikuti pemahaman Imam Mazhab yang empat. Jika kita membaca tulisan baik didunia maya maupun nyata melalui kitab/buku maka pastikanlah sumbernya berasal dari pemahaman/pendapat Imam Mazhab yang empat.
Cara lain agar selamat adalah mengikuti pendapat/pemahaman para Habib dan para Sayyid yang sholeh, ahli ba’it , keturunan cucu Rasululah , mereka yang dapat pengajaran agama turun temurun dari orang tua-orang tua mereka terdahulu tersambung kepada lisannya Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Namun kita harus bisa bedakan antara ahli bait, keturunan cucu Rasulullah dengan mereka yang mengaku-aku sebagai pengikut Imam Sayyidina Ali ra
Mereka yang mengaku-aku sebagai pengikut Imam Sayyidina Ali ra, juga korban hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi.
Imam Sayyidina ‘Ali ra berkata: aku bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah ciri-ciri mereka? Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka menyanjungimu dengan sesuatu yang tidak ada padamu”.
Nasib Abdullah bin Saba’ pada akhir hayatnya menjadi orang buangan, yang dibuang oleh Sayyidina Ali ra setelah beliau menjadi Khalifah keempat, Beliau marah karena dia membuat fitnah atas diri Beliau, dia akhirnya dibuang ke daerah Madain.
Kelompok Abdullah bin Saba’ ini terpisah menjadi 2 ( dua ) kelompok besar, yaitu :
1. Kelompok yang menyatakan bahwa sesungguhnya Sayyidina Ali ra adalah Allah sendiri yang menciptakan segala sesuatu dan memberi rizki. Dalam hal ini, Sayyidina Ali ra mengajak mereka berdialog, namun mereka ternyata bersikeras mempertahankan pendapatnya. Maka akhirnya Sayyidina Ali ra membakar orang– orang yang diketahui dari golongan mereka dengan api. Kemudian golongan mereka berkata : “Seandainya Ali bukan Allah itu sendiri tentu ia tidak membakar mereka dengan api. Karena sesungguhnya tidak akan melakukan pembakaran dengan api kecuali Tuhan.” Mereka berkeyakinan bahwa Ali akan menghidupkan mereka, setelah ia membunuh mereka. Mereka inilah orang-orang yang membawa kepercayaan bahwa tuhan melakukan penitisan kepada makhluknya beserta cabang-cabang kepercayaan ini meliputi faham-faham yang sesat.
2. Kelompok yang memberontak terhadap Sayyidina Ali ra setelah terjadinya perang Shiffin. Mereka juga menuduh Ali Kafir, karena beliau telah menghentikan peperangan dan menyetujui Tahkim dengan kitabullah dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi Sayyidina Ali ra dan Muawiyah ra. Sebagian dari mereka juga ada yang mengkafirkan ketiga orang Khalifah sebelum Sayyidina Ali ra. Mereka ini telah membunuh seorang Tabi’in besar yang bernama Abdullah bin Khobbab ra dan istrinya, karena ia memuji keempat Khulafaur Rasyidin. Kemudian ketika Sayyidina Ali ra meminta agar mereka menyerahkan para pembunuhnya, mereka menolak sambil berkata: “Kami semua ikut membunuh mereka dan kami semua menganggap halal terhadap darah-darah kalian dan darah-darah mereka semua.”Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh juga korban hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh terhasut oleh kaum Zionis Yahudi sehingga mereka memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan pada belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah). Mereka “meninggalkan” pendapat/pemahaman Imam Mazhab yang empat, pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya (Imam Mujtahid Mutlak) yang bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salafush Sholeh.
Salah satu penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf. Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.
Kaum Zionis Yahudi juga menghasut kaum SEPILIS (sekulerisme, pluralisme, liberalisme) untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran sendiri, yang dikatakan oleh mereka sebagai pemahaman yang menyesuaikan dengan keadaan zaman (modernisasi/pembaharuan) atau pemahaman bersifat pragmatis (kepentingan). Sebagaimana contoh diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/04/28/mengangkat-taimiyah/
Assalamu’alaikum mas Zon.
Sebaiknya bagaimanakah kita menyikapi ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah? Saya membaca e-book “Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi” yang saya download dari website ini. Disitu ada beberapa argumen yang digunakan oleh Ust. Idrus Romli yang diambil dari kitab Ibnu Taimiyah.
Sebaiknya bagaimana mas Zon? Apakah kita ikuti ajaran-ajarannya dengan terlebih dahulu menyaringnya / memfilternya ataukah kita jauhi seluruh ajarannya mengingat aqidah beliau tidak sesuai dengan Aswaja?
Wassalamu’alaikum.
Sebaiknya lupakan saja pemahaman Ibnu Taimiyyah, pendapat beliau bisa berubah-berubah
Lebih selamat mengikuti para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat
Kalau teman2 dari PKS itu apakah mereka mengikuti Ibnu Taimiyyah/wahabi? terima kasih
mas zon ruwet,tdk bisa mjawab pertanyaan2 mas ajam…..neng keminter
Jawabannya ada dalam tulisan-tulisan terbaru pada
Terkait Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, silahkan baca artikel lengkap dan komprehensiv dibawah :
Ucapan Bathil Ust.Abdul Somad, Lc,MA At-Tahriri Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Sangat Tendensius. Silahkan Bantah Beberapa Artikel Dibawah Secara Tertulis Dan Ilmiyah(No Youtube).
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/06/ucapan-bathil-ustabdul-somad-lcma-at.html?m=0