Riwayat tahlilan
Kami melanjutkan tulisan sebelumnya tentang tahlilan dan anak sholeh yang termuat pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/30/tahlilan-dan-anak-sholeh/
Pendapat Imam Asy Syafi’i berkata dalam Al Umm (I/318) ”Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan.”
Makna sebenarnya ma’tam adalah perkumpulan ratapan dan tangisan.
Orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya yang bertugas dan dibayar.
Perkumpulan ratapan dan tangisan yang tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam Syafii mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan menjerit-menjerit, tapi disebut perkumpulan duka, namun beliau tak menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena ma’tam yang ada dimasa beliau sudah jauh berbeda dengan ma’tam yang dimasa Jahiliyah, karena jika ma’tam yang dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhkannya
Hal yang harus kita ingat bahwa kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yang dimaksud adalah “kariha/yakrahu/karhan” yg berarti makruh.
Makruh mempunyai dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah.
Makna makruh secara bahasa adalah benci, makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
Dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, tidak suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yang ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib
Jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yang disampaikan, maka jelas sudah makna ucapan imam Syafi’i itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram
Jika mereka menetapkan hukum pastilah diikuti dengan dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits.
Ke-makruh-an timbul jika ahli waris dapat menimbulkan suasana hati yang disebut oleh Imam Asy Syafi’i sebagai “memperbaharui kesedihan” atau kemungkinan timbul suasana hati yang tidak ikhlas akan ketetapan Allah Azza wa Jalla terhadap ahli kubur.
Keberhasilan dakwah Wali Songo (Wali Allah generasi ke sembilan) tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.
Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan atau ke-riang-an lainnya.
Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian sekarang tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Disini tahlil muncul sebagai terobosan cerdik dan solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat, solusi seperti ini pula yang disebut sebagai kematangan sosial dan kedewasaan intelektual sang da’i yaitu Walisongo.
Kematangan sosial dan kedewasaan intelektual yang benar-benar mampu menangkap teladan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dalam melakukan perubahan sosial bangsa Arab jahiliyah.
Dinamika pewahyuan Al-Quran pun sudah cukup memberikan pembelajaran bahwa melakukan transformasi sosial sama sekali bukan pekerjaan mudah, bukan pula proses yang bisa dilakukan secara instant.
Jadi acara kumpul di rumah ahli waris diisi dengan amal kebaikan berupa pembacaan untaian doa, dzikir, pembacaan surat Yasiin dan tahlil.
Tujuan Wali Songo mengisi acara kumpul dengan amal kebaikan agar tidak timbul kesedihan atau yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i pada awal tulisan ini sebagai “memperbaharui kesedihan” pada ahli waris dengan adanya dzikrullah untuk menegaskan ke Maha Kuasa an sehingga suasana hati ahli waris tetap ikhlas menerima takdir Allah ta’ala terhadap ahli kubur.
Sehingga acara tahlilan bermanfaat sebagaimana manfaat ziarah kubur antara lain.
1. Dapat mendoakan ahli kubur
2. Dapat mengingat mati.
3. Dapat mencegah dari perbuatan-perbuatan maksiat.
4. Dapat melemaskan hati seseorang yang mempunyai hati yang keras.
5. Dapat menghilangkan kegembiraan dunia (sehingga lupa akan kehidupan akherat).
6. Dapat meringankan musibah (bencana).
7. Dapat menolak kotoran hati.
8. Dapat mengukuhkan hati, sehingga tidak terpengaruh dari ajakan-ajakan yang dapat menimbulkan dosa.
9. Dapat merasakan bagaimana keadaan seseorang itu ketika akan menghadapi ajalnya (sakaratul maut).
10. Dapat mengingatkan untuk selalu mempersiapkan bekal sebelum kedatangan ajal. Sebaik-baik bekal adalah selalu menjalankan amal ketaatan (menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) dan mengerjakan amal kebaikan (amal sholeh).
Begitupula kita sebaiknya dapat membedakan antara jamuan makan untuk keramaian dan jamuan makan pada saat sedekah tahlil (tahlilan) sebagiaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/05/22/tahlilan-imam-syaukani/
Ada pula yang melarang sedekah tahlil (tahlilan) dengan mengutip hasil muktamar I Nahdlatul Ulama (NU) Keputusan masalah Dinniyah No. 18/13 Rabi’uts Tasaani 1345 H / 21 Oktober 1926 Di Surabaya
******* awal kutipan ******
Keluarga Mayit Menyediakan Makanan Kepada Penta’ziyah
Soal : Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziyah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah ia (keluarga) memperoleh pahala sedekah tersebut?
Jawab : Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala sedekah itu.
****** akhir kutipan *******
Jelas dalam keputusan tersebut bahwa jamuan untuk keramaian hukumnya makruh namun tidak menghilangkan pahala sedekah.
Jadi yang dimakruhkan oleh para ulama bukanlah sedekah tahlil (tahlilan) namun “jamuan makan untuk keramaian” yakni jamuan makan demi mengundang orang berkumpul sekedar keramaian, untuk menghilangkan kesedihan atau jamuan makan untuk perkumpulan ratapan dan tangisan.
Di dalam kitab Hasiyatul Jamal ‘alaa Syarh al-Minhaj (karangan Al-‘Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jamal) ; “dan sebagian dari bid’ah Munkarah dan Makruh mengerjakannya yaitu apa yang dilakukan orang daripada berduka cita (untuk keramaian) , berkumpul dan 40 harian, bahkan semua itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang (haram), atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya, atau yang lain sebagainya”
Berkata Shahibul Mughniy : Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang orang (untuk keramaian), maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru–niru perbuatan jahiliyah.
Bila mereka melakukannya karena ada sebab atau hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yang hadir mayyit mereka ada yang berdatangan dari pedesaan, dan tempat – tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu (Almughniy Juz 2 hal 215).
Jadi jamuan makan untuk keramaian hukumnya makruh.
Sedangkan jamuan makan karena ada sebab atau hajat seperti sedekah tahlil (tahlilan) atas nama ahli kubur hukum asalnya adalah mubah (boleh), menjadi makruh jika keluarga ahli kubur merasa terbebani atau meratapi kematian, menjadi haram jika dibiayai dari harta yang terlarang (haram), atau dari harta mayyit yang memiliki tanggungan / hutang atau dari harta yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.
Ada dari mereka yang mengaitkan waktu pelaksanaan sedekah tahlil (tahlilan) dengan perjalanan ruh setelah kematian adalah serupa dengan keyakinan kaum Hindu.
Allah Ta’ala telah berfirman bahwa perkara ghaib berasal dari Allah dan disampaikan kepada para Nabi sebagaimana firmanNya yang artinya,
“Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada Rasul yang dikehendaki”. (QS. Al Jin [72]: 26-27)
Begitupula pada hakikatnya keyakinan kaum Hindu juga berasal dari Nabi namun mereka merubah apa-apa yang telah disampaikan oleh Nabi mereka
Kitab Veda (Hindu atau Brahmanisme) diduga diambil dari ajaran Nabi Ibrahim a.s atau disebut Abraham atau Brahma yang kemudian mereka menjadikan Brahma (ditengarai Nabi Ibrahim as), Wisnu (ditengarai Nabi Nuh as ), Siwa (ditengarai Nabi Adam as) sebagai dewa-dewa mereka dan Dewi Parwati (ditengarai Hawa)
Kitab Avesta (Zoroaster), Bible (khususnya kitab kejadian) ditengarai diambil dari ajaran Nabi Ibrahim as
Sedangkan kaum Sikh, Budha, Jainisme, Taoisme, Confusius (Kong Hu Chu), Shinto mengambil ajaran-ajaran Nabi terdahulu khususnya dalam etika atau berbuat kebaikan
Pada awalnya kitab-kitab mereka menyampaikan bahwa tiada tuhan selain Allah namun mereka mengubahnya menjadikan tuhan-tuhan selain Allah. Sebagian lagi merubah utusan Allah menjadi penjelmaan atau titisan Tuhan dalam bentuk manusia atau avatar dan lain lain. Silahkan baca tulisan selengkapnya pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/01/07/sekiranya-mereka-beriman/
Hal perlu kita ketahui bahwa perjalanan ruh setelah kematian adalah menyangkut perkara ghaib dan ulama-ulama tertentu saja yang dikehendaki Allah sehingga mereka dapat mendalami dan menguasai perkara ghaib.
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit“. (QS Al Isra [17]:85 ).
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS Al An’aam [6]:50)
Dari kedua firmanNya tersebut dapat diketahui bahwa Allah Ta’ala memberikan pengetahuan tentang ghaib walaupun sedikit atau sebatas apa yang diwahyukan kepada Rasul yang dikehendakiNya, tentulah Rasul yang dikehendakiNya salah satunya yang paling utama adalah Sayyidina Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan selanjutnya Rasulullah menyampaikan kepada para Sahabat tertentu saja
Hal yang perlu kita ingat, tidak semua hadits-hadits terbukukan dalam kitab-kitab hadits, seperti hadits-hadits terkait amal kebaikan yang disampaikan secara turun temurun (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin ) yakni amalan yang dipraktikan dan diwariskan secara turun temurun sejak zaman Nabi sampai sekarang atau hadits-hadits terkait amal kebaikan untuk taqarrub ilallah yang tidak harus disampaikan dan diketahui kebanyakan orang yakni hadits-hadits yang harus disampaikan secara langsung melalui lisan dalam bentuk bimbingan karena kalau salah menerima dan memahaminya sehingga salah paham bahkan berakibat akan membunuh orang yang menyampaikannya.
Sahabat Nabi, Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata , ” Aku menerima sekantung ilmu dari Rasulullah. Separuh kantung aku bagikan kepada kamu semua dan separuhnya lagi aku simpan buat aku sendiri . Karena jika yang separuh lagi itu aku bagikan juga , niscaya kalian akan mengkafirkanku dan menggantungku”
Separuh kantung yang telah dibagikan dan harus diketahui kebanyakan orang adalah ilmu syariat dan separuh kantung lainnya adalah ilmu seperti “Hai’atil Maknun”
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata “Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menggambarkan ilmu yang tidak dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia sebagai “Haiatul Maknun” artinya “perhiasan yang sangat indah” yang diterima oleh para ulama Allah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seorangpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salamy)
Sedangkan mengenai waktu pelaksanaan sedekah tahlil (tahlilan) pada hari-hari tertentu pasca kematian seperti hari ketiga, tujuh, empat puluh, seratus dan seribu dan lain lain pada hakikatnya hukum asalnya mubah (boleh)
Dasar hukum yang membolehkan mengkhususkan waktu
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai kendaraan, sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)
Dalam mengomentari hadits ini Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkannya menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi) tidaklah haram. ((Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut
Hal ini mengingatkan kami kepada seorang mualaf yang menurut pengakuannya adalah mantan pendeta Hindu yang sekarang MENDADAK menjadi ustadz Wahabi yang ditahan di Mapolres Kulonprogo Jogjakarta, pada 16 November 2011 setelah mengisi ceramah yang berisi “adu domba” di Masjid Agung Wates Kulon Progo. Acara tersebut diselenggarakan oleh HTI sebagaimana yang diberitakan pada http://warkopmbahlalar.com/2474/ustadz-yang-mengaku-mantan-pendeta-hindu-di-tangkap-polisi/
Kita sangat prihatin dengan para mualaf , seorang dokter medis dari India, orang-orang yang baru selesai kursus bahasa Arab atau bahkan para penghafal Al Qur’an sekalipun sudah berani memahami dan menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits.
Untuk memahami Al Qur’an dan Hadits tidak cukup dengan arti bahasa saja dan apalagi hanya berbekal makna dzahir saja.
Oleh karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) maka diperlukan kompetensi menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain.
Jika orang-orang memahami dan berinstibat atau menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits atau berfatwa namun belum memahami ilmu-ilmu tersebut di atas maka mereka akan sesat dan menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
saya mengakui, kejeniusan peran wali songgo, akan tetapi hal ini juga menimbulkan seolah-olah hal ini wajib, bahkan syariah islam, belum lagi hidayangan yang memberatkan keluarga, bahkan ada beberapa tempat ditarifkan, yang berbicara kepada saya padahal dia kalngan yang pro dengan acara tahlian, hal ini harus kita pecahkan bersama
@abdul hadi masalah hukum dah jelas “bukan wajib” berarti kalau nggak mampu ya jangan memaksakan dong ……………ini menurut ana salah satu solusi .
ana hanya akan menangggapi pokok dari pokok persoalan, yakni hukum makruh.
al akh zon berkata bahwa makruh mempunyai 2 makna, yakni secara bahasa dan secara istilah. ana tidak akan membahas makna pertama, tapi hanya akan membahas makna kedua, yaitu secara istilah.
al akh zon berkata bahwa makna makruh secara istilah adalah suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan tidak berdosa. ini adalah makna yang benar, namun hanya dari 1 sisi.
kata makruh itu juga bisa bermakna haram. karena itu, para ulama mutaqoddimin membagi makna makruh menjadi 2, yaitu karohatut tahriima dan karohatut tanziiha. kalo karohatut tanziiha ana rasa kita semua paham, yaitu sebagaimana pengertiannya disebutkan oleh al akh zon dalam artikel di atas. adapun yang ana bahas secara khusus adalah karohatut tahriima alias makruh tahrim.
contoh makruh tahrim adalah firman Alloh: “Semua itu kejahatannya amat DIBENCI di sisi Tuhanmu” ( Al-Israa’ : 38)
yang dimaksud dengan “semua itu” adalah membunuh, berzina, syirik, makan harta anak yatim, durhaka pada orang tua dll sebagaimana disebutkan pada ayat2 sebelumnya. nah, apakah “semua itu” dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang apabila dikerjakan tidak berdosa? siapa bilang tidak berdosa apabila membunuh, berzina, syirik, makan harta anak yatim, dan durhaka pada orang tua?
perhatikan pula firman Alloh: “Tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu BENCI kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan” (Al-Hujuraat : 7)
benarkah tidak berdosa apabila mengerjakan kekafiran, kefasiqan dan kedurhakaan?
kemudian menurut ulama, contoh makruh yang tahrim adalah Imam Bukhori membuat bab dalam kitab shohih beliau: “Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Niyahah (Meratap) terhadap Mayit” dan ” Bab Apa-Apa yang Dimakruhkan dari Namimah (Mengadu Domba)”.
apakah meratap dan mengadu domba itu tidak berdosa apabila dikerjakan? jika akal ini masih sehat, tentu saja akan berkata itu adalah dosa.
lebih jelas tentang makruh tahrim, para ulama berkata:
Mahmuud As-Subkiy: “MAKRUH dengan makna HARAM menurut An-Nu’maan (Abu Haniifah) dan Maalik (adalah) membaca Al-Qur’an di sisi kubur, karena perbuatan tersebut tidak dilandasi satupun riwayat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari amal salaf. Akan tetapi amal yang mereka lakukan adalah bershadaqah (atas nama mayit) dan berdoa, bukan membaca Al-Qur’an.” [Ad-Diinul-Khaalish]
Ibnu Muflih berkata: “DIMAKRUHKAN mencukur rambut tengkuk tanpa ada keperluan. Dan beliau (Ahmad) juga berkata : ‘Hal itu termasuk perbuatan orang-orang Majusi, (sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda 🙂 Barangsiapa yang meniru/menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka’. Ini menunjukkan PENGHARAMAN” [Aadaabusy-Syar’iyyah, 3/333
=========================================
kembali pada masalah tahlilan atau selamatan, apakah hal itu termasuk makruh tahrim atau makruh tanzih?
jawabnya adalah termasuk makruh tahrim. indikasinya adalah bahwa ada niyahah (ratapan) di dalamnya.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “ada dua hal pada manusia dimana keduanya menyebabkan kufur : mencaci-maki nasab (garis keturunan) dan niyahah (meratap) atas mayyit” (Muslim)
dapat dipahami dari ahdits tersebut bahwa niyahah adalah haram, sebagaimana haramnya mencaci maki garis keturunan.
Abu Sa’id Al Khudry berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam melaknat wanita yang meratap dan orang-orang yang mendengarkannya (membiarkannya).” (Abu Dawud)
semua perkara yang kepadanya dikenai laknat adalah haram, karena laknat akan diikuti dengan azab, sedangkan azab diturunkan kepada seseorang yang berdosa. ini jelas menunjukkan bahwa orang yang meratap adalah berdosa.
@ajam
Bukankan sudah dijelaskan bahwa Tahlilan adalah upaya untuk mengganti tradisi meratapi Jenazah. ketika seseorang mengadakan tahlilan memang suasana duka itu nampak masih terasa bagi orang yang ditinggalkan, namun tidak sampai terjadi ratapan seperti yang anda kemukakan. siapa bilang membaca ayat al-qur’an disamping kuburan itu gak ada dalilnya..
al akh rifnal
niat mereka baik, yaitu menghilangkan tradisi meratapi mayit. dan memang benar dalam islam yang namanya niyahah atau meratapi mayit itu adalah haram dan merupakan adat jahiliyah.
hanya saja, dalam tahlilan atau selamatan itu masih ada niyahah, sekalipun dalihnya menghilangkap niyahah. apa wujud niyahah dalam acara tahlilan atau selamatan?
niyahah dalam acara tahlilan memang tidak ada tangisan, merobek-robek abju, menjambak-jambak rambut, dan hal-hal lain yang jelas kita ketahui keharamannya. wujud niyahah dalam acara tahlilan atau selamatan adalah “berkumpulnya orang-orang di rumah mayit dan menghidangkan makanan”.
Dari Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة
“Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).
Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.
“Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).
Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة ثم أهل الميت لبست منهم
“Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit” (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah)
Imam An-Nawawi berkata :
وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang dibenci (makruh tahrim). (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417)
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata :
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة لما صح عن جرير بن عبد الله
“Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah (terlarang) lagi dibenci (makruh tahrim), berdasarkan keterangan shahih dari Jarir bin ‘Abdillah” (Tuhfatul-Muhtaj 1/577)
Imam Ibnu ‘Abidin Al-Hanafy berkata :
ويكره اتخاذ الضيافة من الطعام و من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشرور وهي بدعة مستقبحة.
“Dimakruhkan (makruh tahrim) hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam waktu bahagia, bukan dalam waktu-waktu musibah. Dan hal itu merupakan bid’ah yang buruk bila dilaksanakan” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 2/240)
Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata :
وأما جمع الناس على طعام ببيت الميت فبدعة مكروهة
“Adapun berkumpul di dalam keluarga mayit yang menghidangkan makanan, hukumnya bid’ah yang dibenci (makruh tahrim)” (Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘alasy-Syarhil-Kabiir 1/419)
=======================================
Syaikh An-Nawawi Al-Bantani:
أما الطعام الذي ويتجمع عليه الناس ليلة دفن الميت – المسمى بالوحشة – فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم.
“Adapun menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul di malam penguburan mayit – yang biasa disebut al-wahsyah – adalah dibenci (makruh tahrim), bahkan diharamkan apabila biayanya diambil dari harta-harta anak yatim” (Nihayatuz-Zain fii Irsyadil-Mubtadi’in halaman 281)
=======================================
dan telah menjadi sunnatulloj, apabila bid’ah dihidupkan, maka akan dimatikan sunnah yang semisalnya. lalu apa sunnah yang dimatikan itu?
yaitu bagi orang lain yang tidak tertimpa musibah, disunnahkan untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayit.
smua udah jelas koq, kalo anda datang ketempat orang meninggal trus ikut meratap sampe kayak kesurupan itu “berlebihan” cuy apalgi klo sampai keterusan ntar malah jadi “haram”,terlepas dari tradisi ato bukan,yang jelas “tujuan”nya adalah silaturahmi berdo’a dan mendo’a kan ……helloooo AJAM !!!! apa yg ada salah dengan “silaturahmi” dan berdo’a……????? apakah silaturahmi dan berdoa itu haram????? tentu tidak kan …..jadi balik lagi kembali pada maksud dan tujuan diri anda sendiri …… bayangin kalo bapak ajam meninggal trus smua anggota keluarga yg ditinggal meratap menangis sampe kesurupan tiap malam ????bijimane jadinya hayo siapa yg bakal mengurus mereka????? apa bapak ajam yg sudah meninggal bisa mengurus mereka ????baiknya tanya pada hati nurani anda sendiri jangan gegabah dalam menafsirkan yang tersurat…..tapi tafsirkan yg tersirat di hati bapak AJAM….tahlillan juga ada batasnya klo cuma incar makan doang siih dan memberat kan keluarga yg di tinggal mending jangan datang deeh.klopun mau datang ya bawa oleh2 lah buat keluarga yg ditinggalkan plus mendoakan & ngasih nasihat agar bersabar,
GITU AJA KOQ REPOOOOT…..AJAM!!!AJAM ENTE EMANG KEJAM JAM!!JAM!! JAM!!,Jam…..[sorry bukan echo ini asli,li,li,li]
kemana saudaraku `ajam……atau Ibnu Abi `irfan ……semoga sehat2 saja , saya mengundangnya untuk kembali ” diskusi ” hal-hal yang perlu didiskusikan , ( itupun jika saudaraku `ajam masih bermadzhab wahabi). semoga beliau sudah tobat dari ajaran wahabi.
semoga saudaraku semuslim tetap monitor MZ dan tambah insyaf ……….dan tobat dari aqidah melenceng …….
budaya tahlil yg berkembang di negeri tidak hanya seputar upacara memperingati hari kematian, biasanya jg diadakan pada acara2 selamatan lainnya.. semoga Allah menerima semua amal kita
HUKUM SELAMATAN HARI KE-3, 7, 40, 100, SETAHUN, DAN 1000 HARI
Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambila dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut: قال الامام أحمد بن حنبل… رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام Artinya: “Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut. Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.” Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut: ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول ِArtinya: “Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.” @ mas Ajam ……..satu hal lagi nggak akan selesai sampai kiamat……..salam
antum kurang memperhatikan tulisan ana. coba antum simak kembali baik-baik.
acara yasinan atau tahlilan atau selamatan itu adalah haram ditinjau dari beberapa alasan:
1) adanya niyahah, yaitu berkumpulnya manusia di rumah ahli keluarga mayit.
2) keluarga mayit menghidangkan makanan.
3) dilaksanakan pada hari ke 3, 7, 40, 100, 100 dst.
sangat berbeda jika dibandingkan dengan apa yang antum kemukakan:
1) tidak ada perkumpulan di rumah keluarga mayit.
2) orang2 yang membuatkan makanan untuk keluarga mayit.
3) berturut-turut selama 7 hari.
berarti antum (kata arab yang merujuk makna kamu; bukan bahasa indonesia; bid’ah) yang kurang paham. wkwkwkwk. belum belajar qaidah arab saja belagu mengkurang kurangkan. wkwkwk. ukur saja iman semua orang.
sudah kang, jangan dilanjutkan. orangorang ini, kita lihat saja. sampai kakeknya meninggal. nanti kita ramairamai doakan saja kakeknya MASUK NERAKA. kalau mereka marah. (kelihatan nodanya)
hehehe …….
Mhn maaf numpang nanya :
1. apa alasan nye untuk yg 40 ,100. 1000, dst ?
2. Bukakkah Imam Syafi’i dlm kitab al Uum I /318 , sdh jelas membenci orang kumpul kumpul dirumah ahli mayit, apapun alasannya.
3. Bahwa tahlil itu merupakan salah satu strategi da’wah ( waktu itu ), ane sangat setuju. Budaya mmg harus kite hormati, jadi jgn mencari cari dalil untuk membenarkan sesuatu yg salah .
4.Kasian orang yg kaga mampu, klo harus ngutang kesana kesini, sekedar memberi makan minum orang yg datang tahlilan…mmg sih yg talilan itu kaga minta makan minum, tapi ….faktanya liat dilapangan….., sudah mendapat kesedihan akibat kehilangan salah satu keluarganya, harus bayar hutang lagi..seekor kambing warisan satu satunya terpaksa hrs dijual untuk biaya makan minum……makan hartanye anak yatim…..
5.Ane acc aze ame pelaksanaan tahlil, tapi seharusnya diteruskan dakwah wali 9 tsb…….dan diluruskan maksud dan tujuannya……afwan.
Aye setuju banget dengan komentar terakhir.
Terus saja orang yang suka ngadain tahlilan kematian menyudutkan pihak lain dengan cap anti tahlil. Kalu orang anti tahlil itu bukan muslim dong.
Bukan tahlilannya yang jadi masalah, tetapi yang lain-lainnya itu loh, sampai tuh ust bisa banget lagi bagi2 rejekinya dengan doa yang sambung menyambung, repot deh tuan rumah siapin amplop.
Orang hindu masuk Islam bingung, katanya Islam gak jauh beda sama hindu ya ?
Salut sama wali songo. namanya strategi ada masanya, jangan terus dilanjut bila sudah berbeda jaman dan kebutuhannya.
@Moh Nadjib
Masyarakat yg suka tahlilan suka mengghibah orang yg tdk tahlilan. Ngatain LDII/Lemkari lah, ngatain pelit lah, ngatain ngubur mayit seperti ngubur bangkai hewan lah, ngatain nggak ikut sosialisasi lah, ngatain kalau nggak ditahlili roh si mayit akan bergentayangan lah, ngatain ada pocong gentayangan lah, dsb.
Selain itu, orang-orang senang mendatangi undangan tahlilan, tapi kalau diundang oleh Allah melalui adzan banyak yg pura-pura nggak dengar. Cuma sedikit dari mereka yg mau datang ke masjid.
Selain itu juga, ada sebagian daerah yg pd saat tahlilan, di bagian tengah-tengah para hadirin ada yg dikasih makanan sesajen (samiran) yg ditutupi daun pisang, khusus hidangan ini biasanya nggak boleh dimakan. Lalu hidangan apa itu?
Wali songo yg terkenal berdakwah dengan dicampuri budaya setempat adalah wali yg asli lahir dari Jawa seperti Sunan Kalijaga. Sedangkan Walisongo yg berasal dari luar Jawa (Turki Utsmani) mereka berdakwah dengan cara yg murni tanpa tercampuri budaya.
kalau ngirim fatihah buat malaikat itu ada dalilnya gak ya ….
Orang kurang pinter dan cerdas itu, biasanya langsung tanya. hehehe, Kata imam Qordhowi. ini lah orang yahudi
asep hamdanillah bandung
al amru b i maqosidiha
al amru bimaqosidiha
Aslkm, numpang nimbrung nih. Untuk semuanya, ada hadits yg kurang lebih isinya bercerita bahwa nanti di hari kiamat ada orang yg terhalang meminum dari Telaga Nabi.
Kalau pake bhs yg gampang, orang2 itu adalah orang yang “kreatif” terhadap urusan agamanya.
Padahal kalau sudah minum dari air dari Telaga Rosul maka tidak akan haus selamanya.Ada yg sangat ‘kreatif’, ada yg ‘kreatif sebagian’.
Yang keliatannya aman………ya ga usah kreatiflah……Ga usah cari2 alasan pembenaran. Cape banget deh……Ad din itu mudah
@Bung Tak Kreatif
Setuju banget Mas, lebih baik kita berinovasi dalam masalah dunia dengan menciptakan teknologi2 baru. Tetapi dalam masalah agama/ibadah kita cukup meneladani Nabi dan para sahabatnya aja, tdk perlu berinovasi.
Ada hadits shohih yg menyebutkan bahwa sebagian umat Rasulullah ditolak ketika mau minum dari telaga Nabi. Mereka inilah yg suka membuat-buat inovasi baru dalam agama.
Perdebatan yg tidak ada ujungnya kalau membahas masalah ini…, akhirnya…sebagai manusia kita hanya berkewajiban saling mengajak, sharing ilmu, dg cara yg ikhsan…, agar mudah diresapi hati, dipikirkan akal, yg akhirnya terserah kepada Allah untuk urusan hidayah. Kalau dg cara debat tensi tinggi…akan berakhir dg kekerasan hati, lebih mengedepankan emosi.. Perlu diingat juga kebenaran itu bukan diukur atas menang /kalahnya debat…tapi kebenaran itu ada pada Al Qur’an dan As-Sunnah yg shahih berdasarkan pemahaman para pendahulu ummat ini. betul pemahaman saat ini banyak perbedaan…dan masing2 membawa dalil dg persepsi masing2. Alangkah lebih bahagianya orang yg pernah menyelami berbagai pemahaman dan bersungguh sungguh mencari kebenaran…dan akhirnya dia tahu dalil2 yg digunakan oleh berbagai pemahaman itu, sehingga dia menjadi lebih bijak, menjunjung akhlakul karimah dalam dakwah (sebagaimana rosulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak), sehingga orang yg berbeda faham pun akan tersentuh dg kata2 yg bernilai ilmu dan akhlak. Karena kita ketahui ilmu dan kemampuan manusia itu berbeda beda, sehingga perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan..dan kita semoga mendapat hidayah untuk menyikapi perbedaan itu dan memilih jalan yg lurus yg diridhoi Allah SWT.
Saya tinggal di negeri orang. dan, masih saja yang di perbincangkan dan menjadi perdebatan adalah seputar masalah tahlilan. hehehe, hingga, saya bosen untuk berhujjah. sebab, setingkat dewapun. menghadapi orang seperti itu tetap saja mengelak. ‘hidayah memang mahal’. saya punya segudang argument ulama’ ulama’ salaf dan klasik. DUZ, tetap saja. mereka lebih mentingin manjangin jenggot semrawutnya, daripada emaknya yang mati atau terkubur. wkwkwkw. naas, pada akhir cerita. ya sudahlah. orang saya percaya Alloh. yang nyampaiin pahala siapa?
sebenarnya, hanya sebagian kecil orang yang merasa sok benar. yang banyak diantara mereka yang manjang2in luka islam (partaipartai kejar setoran, partai jenggot, partai khilafah) lebih banyak diantara mereka yang kering dan ingin keluar.
saya disini
https://www.facebook.com/ibnnawawi
tahlilan bagus. tinggal adab adab majelis dipakai tidak?
yang tidak mau tahlilan juga jangan dikritik.trus jangan membidahkan tahlilan.
itu sarana untuk menyampaikan pesan agama, pentingnya akhirat, pentingnya dakwah ilalloh,islah diri dan umat agar iman meningkat,keikhlasan tercapai.mari khuruj fi sabilillah dakwah wa tabligh.
kefahaman bukan hak manusupa, Alloh punya kuasa.Alloh tidak melihat ilmu yang miliki manusia.Yang Ia lihat adalah hatinya.lunak atau keras? Alloh pilih hati hambanya yang lunak untuk diberu petunjuk,bukan orang yang berilmu tapi berhati keras
ralat. Kefahaman bukan hak manusia.Alloh punya kuasa.Alloh tidak melihat ilmu manusia. Yang Ia lihat adalah hatinya. Lunak atau keras?Alloh pilih hati hambanya yang lunak utnuk diberi petunjuk.Bukan orang yang berilmu tapi berhati keras
Allahul musta’an…
nanti klo mas ajam meninggal dunia kita akan berkumpul d rumah mas ajam tapi bukan bca yasin dan tahli atau berdoa tapi kita mau karokean ma main gaple biar tdak ada ratapan
ARTI MAKRUH/KARROHA DALAM AL-QUR’AN, HADITS, DAN PERKATAAN ULAMA
Pada kesempatan ini kami hendak mengingatkan kesalahan sebagian orang yang menisbatkan kepada al-Imam asy-Syafi’i bahwa beliau hanya berpendapat makruh (tidak haram).
Allah berfirman:
كلُّ ذلك كان سيئه عند ربك مكروها
“Semua itu adalah kejahatan yang MAKRUHA (dibenci) di sisi Tuhanmu.” (QS. Al-Isra:38)
Kita tahu sebelum ayat ini Alloh menyebutkan: Larangan menyekutukan Alloh (ayat 22, 23), larangan durhaka kepada orang tua (23), larangan tabdzir/boros thd harta (26, 27), larangan membunuh (31, 33), larangan mendekati zina (32), larangan memakan harta anak yatim secara zholim (34), larangan sombong (37) lalu Alloh menutup larangan-larangan tersebut dengan ayat di atas, yang intinya mengabarkan kepada para hamba-Nya, bahwa semua yang dilarang itu termasuk sesuatu yang makruh, yakni makruh yang diharamkan (makruh karohah tahrimiyyah).
“…Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu KARROHA (benci) kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.” (QS. Al-Hujurat: 7)
Dalam ayat ini jelas sekali mengartikan makruh dengan haram. Apa ada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan yang boleh….?
Rosullullah shollallohu’ alaihi wasallam bersabda:
احلفوا بالله، وبروا، واصدقوا، فإن الله يكره أن يحلف إلا به
“Bersumpahlah dengan nama Alloh, penuhilah sumpah itu, dan lakukanlah dengan tulus, karena Allah MEMAKRUHKAN (membenci) sumpah kecuali dengan (nama)-Nya.”
Nabi bersabda, “Barang siapa yang bersumpah atas nama selain Allah, maka dia telah berbuat kekufuran dan kesyirikan.” (Shahih, HR Abu Daud 3251 dan Tirmidzi 1535).
Dari Umar bin Khaththab, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau musyrik.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, seperti yang dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/57, sanad jayyid)
Kita tahu bersumpah dengan selain namanya adalah haram, tapi Rasulullah memakai istilah makruh untuk menyebut keharaman tersebut.
Perkataan Syafi’i rahimahullah: “Saya MEMAKRUHKAN membangun masjid di atas kubur dan hendaklah diratakan untuknya” (Al-Umm). Ungkapan Imam Syafi’i ialah makruh yang bermakna haram, karena itulah makna yang dimaksudkan oleh syariat dalam penggunaan (istilah yang dikehendaki oleh) Al-Quran. Tidak syak lagi bahawa Syafi’i terkesan dengan uslub al-Quran dengan kesan yang mendalam. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala: (Menjadikan kamu KARROHA/benci ( كَرَّهَ ) kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan). Al-Hujurat, 49:7) Yang mana semuanya ini (kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan) telah diharamkan oleh al-Quran”.
“Dari Anas radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah telah MEMAKRUHKAN membangun masjid di antara kuburan”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/185. Perawinya tsiqah termasuk perawi Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin al-Athram sebagaimana di Fathul Bari dari Ibnu Rajab 1/81/65 dari al-Kawakib)
Arti makruh yang disabdakan oleh Nabi di atas dapat dilihat dari hadits-hadits yg membahas tentang itu.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah melaknat Yahudi dan Nasrani yang telah menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai masjid-masjid”. (HR. Bukhari, 2/106. Muslim, 2/67. Ahmad, 6/80, 121, 255)
Dari ‘Aisyah ia berkata: Sesungguhnya Ummu Habibah dan Ummu Salamah pernah menerangkan kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam tentang gereja yang mereka lihat di negeri Habsyah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar (patung-patung). Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya mereka itu apabila ada di kalangan mereka orang soleh yang mati, mereka membangun masjid di kuburannya lalu mereka buat patung di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah pada Hari Kiamat”. (HR Bukhari 1/111, 112. Muslim, 2/66, 67. Ahmad, 6/51. Ibn Abi Syaibah, 4/140. Baihaqi, 4/51 dan an-Nasa’i)
“Dari Ibrahim an-Nakhai radhiallahu ‘anhu berkata: Sesungguhnya Nabi mencegah orang yang mendirikan masjid di atas perkuburan”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 4/134 dengan sanadnya yang sahih)
“Bersabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam: Janganlah kamu sholat menghadap kubur, dan janganlah kamu sholat di atas kubur”. (Diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam Mu’jam Al-Kabir 3/145 dan Al-Muqaddisi, shahih)
Dari Sa’id al-Khudri berkata: Telah bersabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam: “Bumi ini keseluruhannya tempat bersujud kecuali kubur dan jamban”. (HR Abu Daud (492), Darimi 1/322, Ibn Majah (745), Ahmad, Turmizi, Hakim dan Ibn Hibban)
“Dari Anas radhiallahu ‘anhu berkata: Sesungguhnya Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam melarang mendirikan solat di antara kubur-kubur”. (Menurut Imam Haitami bahawa para rawinya adalah perawi-perawi yang sahih. Lihat: Majmu az-Zawaid. Juz 2 Hlm. 27. Hadis sahih riwayat al-Bazzar)
“Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya sekeji-keji manusia ialah orang yang menemui kejadian kiamat sedangkan mereka masih hidup dan orang yang menjadikan kubur sebagai masjid”. (Hadis sahih riwayat Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, Tabrani di dalam Mu’jam Kabir, Abu Nuim dan Abu Ya’la)
An-Nawawi berkata: “Dan telah sepakat nash-nash dari As-Syafii dan juga para ashaab (para ulama madzhab syafiiyah) akan dibencinya membangun masjid di atas kuburan, sama saja apakah sang mayat masyhur dengan kesholehan atau selainnya karena keumuman hadits-hadits (yang melarang-pen). Ay-Syafii dan para ashaab berkata, “Dan dibenci sholat ke arah kuburan, sama saja apakah sang mayat orang sholeh ataukah tidak”. Al-Haafizh Abu Muusa berkata, “Telah berkata Al-Imaam Abul Hasan Az-Za’farooni rahimahullah : Dan tidak boleh sholat ke arah kuburannya, tidak boleh sholat di sisinya dalam rangka mencari barokah atau dalam rangka mengagungkannya, karena hadits-hadits Nabi, wallahu A’lam”.(Demikian perkataan An-Nawawi dalam Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 5/289)
Dalam Kamus Al Munawwir, yang diolah oleh Keluarga Pondok Pesantren “Al Munawwir” Krapyak Yogyakarta, Versi Arab-Indonesia, hal. 1204. Mengenai arti kata “Makruh”:
كَِرهَ – كَرْهًا – وَكَرَاهَة ً. اَلْمَكْرُوْهُ.
Artinya : yang tak disenangi, dibenci.
Ibnul Qayyim berkata dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in, “Asy-Syafi’i menegaskan bahwa makruh (dibenci) bagi seorang lelaki menikahi anak perempuan hasil zinanya. Beliau sama sekali tidak mengatakan bahwa hal itu boleh (mubah/ja’iz). Yang selaras dengan kemuliaan dan keimaman serta kedudukan yang disandangnya dalam agama ini, yang beliau maksud dengan makruh (dibenci) di sini adalah makruh yang bersifat haram. Beliau memutlakkan kata makruh (menggunakannya secara lepas) dalam masalah ini, karena di sisi Allah dan Rasul-Nya perkara yang haram itu adalah sesuatu yang makruh. Allah berfirman menyebutkan hal-hal yang haram mulai dari ayat:
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (al-Isra’: 23)
Sampai firman Allah : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (al-Isra’: 33)
Sampai firman Allah : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (al-Isra’: 36)
Sampai akhir ayat ke-37, kemudian Allah berfirman: “Semua itu kejelekannya amat dibenci (MAKRUH) di sisi Rabb-mu.” (al-Isra’: 38)
Dalam kitab ash-Shahih (Bukhari Muslim) dari Mughirah bin Syu’bah Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah membenci (KARIHA) tiga perkara untuk kalian: ucapan ini dan itu (ucapan sia-sia), banyak meminta dan bertanya, serta membuang harta dengan sia-sia.”
Jadi, kaum salaf terbiasa menggunakan kata makruh (dibenci) dengan makna yang digunakan dalam ucapan Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, orang-orang belakangan menjadikan kata makruh sebagai istilah untuk masalah yang tidak haram tetapi sebaiknya ditinggalkan. Kemudian ada di antara mereka yang menggiring ucapan imam-imam Islam ke makna yang sesuai dengan istilah baru tersebut sehingga dia pun keliru karenanya.
Yang lebih parah kesalahannya daripada ini adalah yang menggiring kata ‘makruh’ dan ‘la yanbaghi’ (tidak sepantasnya) dari ucapan Allah dan Rasul-Nya ke makna yang sesuai dengan istilah baru tersebut.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/80—81, cetakan Dar Ibnil Jauzi)
Ibnul Qoyyim berkata: Istilah makruh kadang dipakai untuk sesuatu yang diharamkan. Aku mengatakan: Sungguh, karena sebab ini, banyak para pengikut Imam Madzhab yang salah dalam menafsiri perkataan Imam mereka. Karena para Imam itu sangat wira’i dalam menggunakan istilah haram, sehingga mereka menggantinya dengan istilah makruh. Lalu setelah itu, mereka yang datang belakangan menafikan hukum haram pada apa yang dikatakan makruh oleh para imam itu. Kemudian (seiring perjalanan waktu), istilah makruh itu menjadi mudah dan ringan bobotnya bagi mereka, maka sebagian mereka memaknai istilah (makruh tahrim) itu dengan makruh tanzih, bahkan sebagian yang lain memaknainya dengan makruh tarkul aula, dan ini sangat banyak sekali dalam perkataan-perkataan mereka, sehingga karena sebab ini, terjadilah kesalahan yang fatal dalam (memahami) syariat dan perkataan para Imam itu. (I’lamul Muwaqqi’in 1/39)
Dalam ucapan ulama salaf, istilah makruh ini memiliki dua kemungkinan: Ada yang makruh tahrim (yakni sesuatu yang dibenci dan sampai pada derajat haram), dan ada yang makruh tanzih (yakni sesuatu yang dibenci, tapi tidak sampai pada derajat haram). Hal ini sudah banyak disinggung oleh pakar ilmu ushul fikih, diantaranya:
ويطلق المكروه على الحرام، وهو كثير في كلام الإمام أحمد رضي الله تعالى عنه وغيره من المتقدمين. ومن كلامه: “أكره المتعة والصلاة في المقابر” وهما محرَّمان
“Istilah makruh bisa dipakai untuk sesuatu yang diharamkan, istilah (makruh tahrim) ini banyak terdapat dalam perkataan Imam Ahmad -semoga Alloh meridloinya- dan banyak ulama terdahulu yang lainnya. Di antara perkataan Imam Ahmad adalah: “Aku me-MAKRUH-kan nikah mut’ah dan sholat di pemakaman” padahal kedua hal ini adalah haram di dalam madzhabnya. “ (Syarah Kaukabul Munir 1/419)
Imam Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Maliki (Mufti Andalusia, lahir sktr 720 H) berkata: “Adapun perkataan para ulama, jika mereka menyatakan al karaahiyah (makruh-pen) dalam hal-hal yang dilarang, maka mereka tidak memaksudkannya sebagai karahiyyah tanzih saja. Yang demikian itu adalah istilah mutaakkhirin (ulama belakangan-pen) ketika mereka membedakan antara dua kiblat. Untuk karahiyyah tahrim mereka hanya memakai istilah tahrim atau haram, man’u atau larangan, dan yang sejenisnya. Adapun jika orang-orang yang terdahulu pada kalangan salaf, tidak mendapatkan nash yang sharih, mereka tidak akan mengatakan ini halal atau haram dan berusaha menjauhi ungkapan seperti ini, karena khawatir pada firman Allah yang berbunyi, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah…. “(Qs. An-Nahl [16]: 116). Malik menceritakan dari orang yang sebelumnya mengenai pengertian semacam ini; apabila dalam perkataan mereka Anda mendapatkan hal-hal yang berkenaan dengan masalah bid’ah atau yang lainnya, “Aku membenci ini”, atau “Aku tidak menyukai ini”, atau “Ini makruh” dan yang sejenisnya, maka janganlah Anda pastikan bahwa yang mereka maksudkan adalah makruh tanzih saja, bila dalil sudah menunjukkan kepada kita bahwa seluruh bid’ah adalah sesat, dari mana hal yang sudah jelas bid’ah dihukumi karahiyyah tanzih saja? Kecuali jika mereka menyatakan makruh secara umum untuk sesuatu yang ada dasarnya dalam syariat tetapi bertentangan dengan perkara lain yang mu’tabar dalam syariat, sehingga dianggap makruh dari sisi ini, bukan karena ia adalah bid’ah makruhah.” (Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi)
Imam Asy-Syathibi berkata: “Orang yang melakukan perbuatan makruh tetap memandang bahwa meninggalkan perbuatan itu sebenarnya tetap lebih baik daripada melakukannya. Tetapi jiwanya memperindahnya walaupun ia tidak ingin melakukannya, maka hatinya akan terus —ketika ingat— gundah, sangat berharap bisa meninggalkannya, terlepas apakah ia berusaha mencari sebabnya —agar bisa meninggalkannya— atau tidak. Adapun pelaku bid’ah yang paling kecil sekalipun, kondisinya berlawanan dengan kondisi orang yang melakukan perbuatan makruh, sebab ia melihat bid’ahnya sebagai sesuatu yang baik, bahkan lebih baik daripada yang telah digariskan oleh syariat. Jadi, dimanakah rasa takut dan harapnya bila kondisinya seperti ini? Ia mengira bahwa cara yang ia tempuh lebih lurus dan ajarannya lebih layak untuk diikuti. Begitulah, walaupun syubhatnya ada. Syariat telah memberikan kesaksian melalui beberapa ayat dan hadits bahwa orang seperti ini mengikuti hawa nafsunya.” (Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi)
Imam Asy-Syathibi berkata: “Kesimpulan dari hal-hal yang telah disebutkan di sini adalah, setiap pelaku bid’ah berdosa, walaupun ia dianggap mengerjakan suatu pekerjaan bid’ah yang hanya dihukumi makruh dan terbukti bahwa yang dilakukannya termasuk karahah at-tanzih (perbuatan makruh yang harus dijauhkan). Jika ia termasuk orang yang akan mengambil kesimpulan hukum, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, karena ia membelanya atau tidak, maka kesimpulannya tidak diperbolehkan. Hal itu sesuai dengan dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya. Bagaimanapun juga ia termasuk orang yang berbuat dosa.” (Al-I’tisham oleh Imam As-Syathibi)
Panjang sekali uraiannya namun pada prinsipnya Imam Syafi’i ra tidak pernah merubah perkara makruh menjadi perkara haram
Mustahil Imam Syafi’i ra mengharamkan bid’ah di luar perkara syariat yang tidak melangggar satupun laranganNya atau bid’ah di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an , Hadits, Ijma dan Qiyas
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Hadits di atas diriwayatkan juga dalam Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.
Dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan adanya sunnah hasanah dan sunnah sayyiah
Arti hasanah adalah kebaikan dan arti sayyiah adalah keburukan
Kemungkinan arti sunnah adalah
1. Hadits Rasulullah
2, Anjuran (mandub/mustahab), jika dikerjakan mendapatkan kebaikan (pahala) jika ditinggalkan boleh saja
3. Contoh atau suri tauladan atau perkara baru
Dari ketiga kemungkinan arti dari kata sunnah,
1. Tentu tidak ada hadits Rasulullah yang menyuruh dalam keburukan
2. Tentu tidak ada anjuran (mandub/mustahab) dalam keburukan
3. Dalam hal hadits di atas dapat disimpulkan sunnah artinya contoh atau suri tauladan atau perkara baru, sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya.
Dalam hal ini perkara baru yang dibolehkan adalah perkara baru di luar perkara syariat atau di luar dari apa yang telah di syariatkanNya atau di luar dari apa yang telah diwajibkanNya yakni wajib dijalankan dan wajib dijauhi.
Perkara baru yang tidak diperbolehkan adalah perkara baru dalam perkara syariat atau perkara baru dalam urusan agama (urusan kami) atau perkara baru dalam urusan yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya, yakni melarang sesuatu yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya.
Kesimpulannya
Sunnah hasanah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah hasanah
Sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah dholalah
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak bertentangan dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313).
Jadi ahli bid’ah ada dua jenis yakni
1. Mereka yang mengada-ada dalam perkara syariat atau dalam urusan agama (urusan kami) yakni mereka melarang sesuatu yang tidak dilarangNya , mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya
2. Mereka yang mencontohkan atau meneladankan perbuatan di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas.
Nabi kita Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Artinya : Sesungguhnya Allah menahan taubat dari setiap ahli bid’ah hingga ia bertaubat dari kebid’ahannya”
Ahli bid’ah yang bagaimana sehingga Allah Azza wa Jalla menahan taubat mereka sampai mereka bertaubat dari kebid’ahannya ?
Ahli bid’ah yang mengada-ada dalam urusan agama atau dalam beberapa hadits disebut mengada-ada dalam “urusan kami” yakni mengada-ada dalam urusan yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni mereka melarang sesuatu yang tidak dilarangNya , mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya.
Mereka ditahan taubatnya sampai mereka bertaubat dari kebid’ahannya dikarenakan mereka menyekutukan Allah ta’ala dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Imam Syafi’i berkata : “Barangsiapa yang menganggap BAIK (suatu perkara) maka dia telah membuat syari’at” (Perkataan Imam As-Syafi’i ini dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi’i, diantaranya Al-Gozaali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur’aan, dan Ibnu Qudaamah dalam Roudhotun Naadzir)
Imam Syafi’i berkata: ”Sesungguhnya ANGGAPAN BAIK hanyalah menuruti selera hawa nafsu.” (Ar-Risalah oleh Imam Syafi’i hal. 507)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Andaikata aku menemui Allah (wafat) dengan membawa segala dosa selain syirik, lebih aku sukai daripada aku menjumpai Allah dengan membawa sedikit saja dari kebid’ahan.” (Sanadnya shahih, dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah)
Masalah hadits “Subbah hasanah” telah dijelaskan oleh Imam Syathibi.
Dijawab oleh Imam Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Maliki (Mufti Andalusia, sktr 720-790 H)
Jawaban dari sisi I: Sabda beliau SAW, “Barangsiapa membuat Sunnah yang baik.” Maksud hadits tersebut bukanlah menciptakan sesuatu yang tidak ada permisalan sebelumnya, karena jika maksudnya tidak demikian, maka pasti terjadi perselisihan antara dalil-dalil yang qath’i (jika menganggap bahwa sumber pertanyaan yang telah disebutkan berasal dari dalil-dalil yang qath’i. Namun jika menganggapnya dari dalil-dalil yang zhanni, maka dalil-dalil (tentang tercelanya bid’ah) yang terdahulu, yang telah disebutkan, juga berasal dari dalil-dalil qath’i.
Jadi, kondisi mengharuskan terjadinya pertentangan antara dalil qath’i dengan dalil zhanni serta penyelesaiannya dari kesepakatan para Muhaqqiqin. Namun pada perkara ini terdapat pembahasan —atau pengkajian— dari dua sisi:
Dikatakan bahwa perkara tersebut dilihat dari dua sisi yang bertentangan, sebab pada awal telah dinyatakan bahwa keutamaan dalil-dalil tentang celaan telah disebutkan berulang-ulang di dalam banyak hadits, tanpa adanya pengkhususan. Apabila terjadi perselisihan antara dalil-dalil yang umum dengan dalil-dalil yang khusus, maka dalil- dalil yang khusus tidak dapat lagi diterima.
Mengambil hukum tazanul (berhenti) untuk menghilangkan perselisihan, karena maksud hadits (tentang pembuatan Sunnah) bukanlah menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada, tetapi pengamalan terhadap Sunnah Nabi yang telah ditetapkan. Perkara ini ditinjau dari dua segi, diantaranya adalah sebab yang ada merupakan sebuah hadits (yaitu sedekah) yang telah disyariatkan, dengan dalil dari hadits shahih yang telah diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah RA, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah SAW pada pertengahan siang, kemudian datang satu kaum yang tidak beralaskan kaki dengan memakai kain untuk diselimutkan di badan —mantel— sambil menggantungkan pedang. Kebanyakan mereka dari Mudhar, bahkan semuanya berasal dari suku Mudhar. Lalu rona wajah Rasulullah SAW berubah karena melihat kefakiran yang mereka alami. Beliau kemudian masuk ke rumah dan setelah keluar rumah beliau memerintahkan Bilal untuk adzan dan iqamah.
Setelah itu beliau shalat dan berkhutbah, kemudian membaca, ‘Hai sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada Tuhan-Mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.’ (Qs. An-Nisaa’ [4]: 1) dan ‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).’ (Qs. Al Hasyr [59]: 18) Seseorang lalu bersedekah dari uang dinarnya, uang dirhamnya, dari bajunya, dari literan gandumnya, dan dari literan kurmanya, hingga beliau bersabda: ‘ Walau hanya dengan satu butir kurma’.”
Perawi berkata, “Seorang laki-laki Anshar datang dengan membawa bungkusan yang kedua telapak tangannya hampir-hampir tidak mampu membawanya, bahkan kedua telapak tangannya tidak mampu membawanya.”
Perawi menambahkan, “Kemudian orang-orang mengikuti perbuatannya, hingga saya melihat dua tumpukan dari makanan dan pakaian. Saya melihat wajah Rasulullah SAW menjadi berseri-seri. Seakan-akan (sedekah yang mereka lakukan tersebut) menjadi penghapus kesedihan beliau. Beliau pun bersabda: ‘Barangsiapa membuat Sunnah di dalam Islam dengan Sunnah yang baik, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dari pahala mereka. Sedangkan barangsiapa membuat Sunnah di dalam Islam dengan Sunnah yang buruk, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka’.”
Perhatikanlah sabda Rasulullah tersebut, dimana kalimat yang mengatakan tentang orang yang membuat Sunnah yang buruk? Kamu akan mendapatkannya pada seseorang yang berbuat sesuai kandungan hadits yang telah disebutkan secara sempurna, meskipun hanya dengan kantong maka setelah itu pintu sedekah terbuka secara jelas dan sempurna. Itulah yang membuat Rasulullah SAW sangat senang, hingga beliau bersabda: “Barangsiapa membuat Sunnah di dalam Islam dengan Sunnah yang baik.”
Oleh karena itu, menjadi dalil bahwa Sunnah yang dimaksud di sini adalah perbuatan yang telah dilakukan oleh sahabat Anshar tersebut, yaitu perbuatan yang ditetapkan menjadi Sunnah. Hadits ini sangat serasi dengan sabda beliau dalam hadits lain: “Barangsiapa menghidupkan Sunnah dari Sunnah-Sunnahku setelah aku meninggal dunia… barangsiapa berbuat bid’ah dengan bid’ah yang sesat” dan menjadikan lawan dari Sunnah adalah bid’ah, maka nampak bahwa Sunnah yang baik bukanlah bid’ah. Begitu pula sabda beliau SAW: “Dan barangsiapa menghidupkan Sunnahku maka ia telah mencintaiku.”
Apa yang menjadi dasar dalam hadits yang pertama sangat jelas, karena beliau SAW telah memerintahkan pertama kali untuk bersedekah, kemudian datang sahabat Anshar dengan bawaannya, maka setelah itu mengalir sedekah hingga mencukupi. Seakan-akan sedekah tersebut menjadi Sunnah yang telah dibangkitkan oleh sahabat tersebut dengan amal perbuatannya. Oleh karena itu, tidak dianggap sebagai orang yang menciptakan Sunnah atau membuat bid’ah.
Hal yang sama dengan hadits ini telah dicantumkan dalam kitab Ar-Raqa’iq karangan Ibnu Mubarak, yang menambah jelas pengertiannya, dari Khudzaifah RA, ia berkata, “Pada masa Rasulullah, ada seorang peminta minta yang datang untuk meminta-minta, namun orang-orang bersikap diam Kemudian seorang laki-laki memberi (peminta-minta tersebut) sesuatu, dai temyata orang-orang ikut memberi. Rasulullah SAW pun bersabda: “Barangsiapa membuat Sunnah yang baik dan diikuti, maka baginya pahalanya dan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka. Sedangkan barangsiapa membuat Sunnah yang buruk dan diikuti, maka baginya dosanya dan dosa seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa mereka.”
Dengan demikian, sabda beliau, “Barangsiapa membuat Sunnah.” artinya adalah ORANG YANG BERBUAT SESUAI DENGAN SUNNAH, BUKAN ORANG YANG MENCIPTAKAN SUNNAH.
Jawaban dari sisi II: Sabda beliau: “Barangsiapa membuat sunah yang baik… dan barangsiapa membuat sunah yang buruk.”
Tidak mungkin dipahami sebagai penciptaan sesuatu yang baru dari sumber asli, sebab pada prinsipnya sunah (perilaku) yang baik dan sunah yang buruk hanya dapat diketahui dari segi syariat, karena penilaian yang baik dan penilaian yang buruk hanya dikhususkan bagi syariat dan tidak ada peran bagi akal dalam perkara tersebut.
Pendapat tersebut adalah pendapat madzhab Ahlus-Sunnah dan pelaku bid’ah pun berpendapat demikian. Maksud saya, penilaian baik dan buruk itu berasal dari pendapat akal, maka sudah selayaknya kata sunah dalam hadits tersebut mempunyai arti bahwa sesuatu itu dinilai baik harus menurut penilaian syariat, atau sesuatu itu dinilai buruk harus pula menurut syariat, serta tidak dapat dibenarkan kecuali berdasarkan contoh perkara sedekah yang telah disebutkan sebelumnya dan seperti pembenaran semisalnya dari sunah-sunah yang telah disyariatkan.
Sementara itu, sunah yang buruk masuk dalam kategori perbuatan maksiat yang telah ditetapkan syariat, seperti perkara pembunuhan yang telah diterangkan di dalam hadits anak Adam tatkala Nabi SAW bersabda: “Karena ia adalah orang pertama yang membuat sunah (perilaku) pembunuhan.”
Hal tersebut ditetapkan sebagai perbuatan bid’ah, karena telah ditetapkan bahwa perilaku buruk tersebut tercela dan dilarang menurut syariat.
Adapun sabda beliau, “Barangsiapa berbuat bid’ah yang sesat.” dilihat dari zhahirnya (makna yang tersurat), karena sebab-sebab dalam hadits tersebut tidak dikuatkan dengan sesuatu. Oleh karena itu sudah selayaknya diartikan menurut lafazhnya, seperti perkara-perkara umum yang pertama kali timbul dan belum ditetapkan sebab-sebabnya. Jadi, dibenarkan untuk mengartikan sabda beliau, “Barangsiapa membuat kebiasaan buruk.” seperti pengertian tersebut, maksudnya, “Barangsiapa membuatnya dari yang tidak ada permisalan sebelumnya.” Pengertian ini pada dasarnya adalah perkara bid’ah yang dibuat pertama kali dari kemaksiatan, seperti perkara pembunuhan oleh salah seorang anak Adam atau yang dibentuk sesuai keadaan, sebab kebiasaan buruk tersebut sebelumnya tidak menjadi suatu kebiasaan, tetapi kemudian sang pelaku memberikan permisalan hal tersebut.
Namun masih tersisa hal-hal yang perlu dibahas dari sabda beliau, “Barangsiapa berbuat bid’ah yang sesat.” Bahwa pembatasan bid’ah dengan kesesatan memberikan pengertian yang hanya berdasarkan pada maksud dari pengertian kalimat itu, dan hal tersebut sangat dekat dengan penjelasan haditsnya. Sebab, penggandengan kalimat bid’ah dengan kesesatan tidak memberikan pengertian yang hanya berdasarkan pada maksud dari pengertiannya dalam hadits tersebut. Jadi, apabila kita sepakat untuk mengatakan bahwa perkara tersebut dapat dimengerti hanya berdasarkan pada maksud dari pengertiannya, sebagaimana menurut sebagian para ulama ushul, maka dalil pada pembahasan ini menolak kesepakatan tersebut, seperti halnya dalil-dalil yang menyatakan pengharaman atas riba yang sedikit atau yang banyak yang merujuk pada penolakan terhadap pengertian yang hanya berdasarkan pada maksud dari pengertiannya pada firman Allah, “Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Qs. Ali ‘Imraan (3): 130) Juga karena kesesatan sudah selayaknya menjadi sifat bid’ah secara mutlak, dengan dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya yang tidak hanya bersandar pada pemahaman maksud dari pengertiannya. (Al-I’tisham oleh imam Asy-Syathibi)
Ternyata masih keukeuh berkeyakinan adanya Bid’ah hasanah… ya kalau tetap terus berkeyakinan adanya Bid’ah hasanah pasti Tahlilan juga dianggap Bid’ah hasanah.. dalam Islam itu tidak ada yang namanya bid’ah hasanah..titik
kalau dulu katanya Tahlilan adalah metode yg di pakai oleh para wali songo..terus apakah sekarang masih berlaku untuk hal sperti (Tahlilan) itu kalau ada orang yg meninggal?
sebutkan satu hadist saja atau atsar ataupun mungkin hadist yg lemah atau palsu tentang TAHLILAN (selamatan kematian dengan membacakan dzikir dari AlQuran atau dari hadist secara berjamah atau dibaca kor pada hari ke 7,40,100 dan 1000)??????
@Yudi dan Susanto
Apakah antum tidak paham ucapan yang sangat JELAS dari Imam Syafi\’i ? (kata2 wa maa UHDITSA) dalam ucapan beliau:
وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ
atau ucapan beliau yang lain:
\”albid\’atu BID\’ATAANI, MAHMUUDATUN WA MADZMUUMATUN\” ?
Saya sedikit memaklumi jika penganut anti bid\’ah hasanah kekeh dengan pendirinanya karena ADA hadits shohih yang mengatakan dengan jelas pula bahwa bid\’ah itu sesat, tapi yang bagaimana??? Kesalahpahaman ini harus diluruskankan…
Begini kang…
1. secara SYARIAT, SEMUA bid\’ah itu ya memang sesat. Hal ini seperti dalam hadits Nabi : \”man \’amila \’amalan laisa \’alaihi amrinaa fahua roddun,,,\”, dll
Contohnya shalat shubuh 10 roka\’at misalnya (hehe,,,), hajji bukan di tanah hijaz, mujassimah, membenci Alhul bait, dll. Inilah yang dimaksud baginda Nabi saw dengan bid\’ah fii amrinaa (urusan agama Islam).
2. secara ISTILAH/nama, bid\’ah ya ada dua,,,, hasanah/mahmudah DAN dlolalah/madzmumah. Hal ini seperti yang diucapkan baginda Nabi saw \”man sanna fil Islam sunnatan hasanatan,,,\”, dan apa yang diucapkan Imam Syafi\’i: \”albid\’atu BID\’ATAANI, MAHMUUDATUN WA MADZMUUMATUN\” (arti kata2 ini sangat TERANG akan adanya dua bid\’ah).
Contohnya adalah marhabanan, barzanjian, Maulid, Tahlil, termasuk Liqo\’ dll adalah BID\’AH secara ISTILAH/nama saja karena SECARA SYARI\’AT jelas BUKAN bid\’ah , dan jenis bid\’ahnya adalah bid\’ah hasanah karena bersesuaian dengan kitab, sunnah dan ijma\’ Ulama (Maulid misalnya, didalamnya ada shalawat, silaturahmi, shodaqoh dll).
Kemudian ada yang bertanya apa hukum bid\’ah hasanah? apakah sunnah, wajib, atau lainnya? Pertanyaan seperti ini telah terjawab dengan ucapan Imam Ibn Hajar al-Atsqolani yang membagi bid\’ah menjadi 5 yaitu wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram, sesuia dengan \’illat hukumnya. Hal ini secara ushul fiqh jelas adanya dengan mengembalikan semua perkara kepada sumber hukum islamnya. Hal ini jugasesuai dengan qoidah fiqh : \”alhukmu yadullu ma\’a wujuudi \’illatihi wa adamihi\”…
saya ambil pembagian ini menurut Sayyid Muhammad bin Alawai Al-Maliki Al-Hasani al-Makki dalam kitab mafaahim yajiibu an tushahha\”).
Lantas segala amalan pun yang tanpa tuntunan cuma sekedar dibangun atas landasan niat baik menjadi legal?
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela” (Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 9: 113.)
Ada perkataan ‘Umar mengenai shalat Tarawih disikapi oleh Ibnu Rajab dengan pernyataan berikut:
“Adapun perkataan ulama salaf yang menganggap adanya bid’ah yang baik, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah lughowi (bid’ah secara bahasa) dan bukan menurut istilah syar’i. Contoh perkataan yang dimaksud adalah perkataan ‘Umar bin Khottob ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) bersama dengan satu imam di masjid. Lantas ‘Umar keluar dan melihat mereka shalat (dengan satu imam), lalu ia pun berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Diriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata pada ‘Umar, “Ini sebelumnya tidak ada”. “Aku tahu. Akan tetapi perbuatan ini baik (hasan)”, jawab ‘Umar. Yang dimaksudkan oleh ‘Umar bahwa shalat tarawih sebelumnya tidak dilakukan seperti itu sebelumnya. Akan tetapi, ada landasan dalam syari’at mengenai hal ini di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong dan memotivasi untuk melaksanakan qiyam Ramadhan. Dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang melaksanakan shalat tarawih secara jama’ah namun terpisah-pisah atau berkelompok-kelompok. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para sahabat di bulan Ramadhan lebih dari semalam. Kemudian beliau enggan melaksanakannya lagi karena khawatir shalat tarawih itu wajib. Beliau pun tidak merutinkannya setelah itu. Namun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kekhawatiran tersebut sudah tidak ada. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat tarawih bersama para sahabatnya di malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128.)
Dalil bahwasanya kita diperintahkan mengikuti ajaran khulafaur rosyidin,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan ajaranku dan ajaran kholifah yang diberi petunjuk dalam ilmu dan amal, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah (kuat-kuat) dengan gigi geraham kalian”.(HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih. Begitu pula hal yang sama dinyatakan oleh Syaikh Al Albani.)
Ibnu Taimiyah berkata, “Perlu dipahami bahwa istilah bid’ah hasanah yang disebutkan ‘Umar hanyalah penyebutan bid’ah secara bahasa dan bukan istilah syari’at. Karena bid’ah secara bahasa berarti setiap perbuatan yang diawali tanpa ada contoh sebelumnya.”(Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 1: 95.)
Bagaimana bisa hadits dipertentangkan dengan perkataan sahabat?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sebagaimana sabdanya,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat?” (HR. Muslim no. 867, Abu Daud no. 4607, An Nasai no. 1578.)
As-Syathibi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah hasanah.”[Disebutkan oleh Asy Syatibi dalam fatawanya hal. 180-181. Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91] Artinya setiap bid’ah itu tercela, tidak ada yang hasanah.
Lalu bagaimana kita menyikapi perkataan ‘Umar?
Taruhlah kita setuju dengan perkataan ‘Umar bahwa ada bid’ah hasanah karena beliau telah berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Maka cukup disanggah seperti kata Ibnu Taimiyah, “Perkataan sahabat bukanlah argumen. Bagaimana perkataan sahabat bisa sebagai alasan di saat bertentangan dengan sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”[Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, 1: 95]
Jika dengan perkataan sahabat saja tidak bisa dipertentangkan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lantas bagaimana lagi dengan perkataan ulama yang berada di bawah sahabat?
Memahami Perkataan Imam Syafi’i:
Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatawanya menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i di atas seraya berkata, “Apa saja yang menyelisihi dalil, maka itu adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui menyelisihi dalil, maka tidak disebut bid’ah. Imam Syafi’i rahimahullah menuturkan, “Bid’ah itu ada dua macam, yaitu bid’ah yang menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ dan atsar dari sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bid’ah seperti ini termasuk bid’ah dholalah (sesat). Sedangkan jika tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka ia termasuk bid’ah hasanah.” Karena ‘Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Perkataan semacam ini dan semisalnya dikeluarkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih”.[Majmu’ Al Fatawa, 20: 163]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i mengenai bid’ah hasanah (mahmudah) dan bid’ah madzmumah, “Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa bid’ah madzmumah (yang tercela) adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan bid’ah yang terpuji (bid’ah hasanah) adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah (ajaran Rasul), yaitu yang memiliki asal dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendukung. Namun yang dimaksudkan dengan bid’ah hasanah di sini adalah bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah menurut istilah syar’i karena bid’ah kedua ini bersesuaian dengan ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”[Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131]
Ibnu Rajab rahimahullah juga menambahkan, “Telah diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i perkataan beliau yang menafsirkan perkataan beliau di atas. Imam Syafi’i berkata,
والمحدثات ضربان : ما أُحدِثَ مما يُخالف كتاباً ، أو سنةً ، أو أثراً ، أو إجماعاً ، فهذه البدعة الضلال ، وما أُحدِث مِنَ الخير ، لا خِلافَ فيه لواحدٍ مِنْ هذا ، وهذه محدثة غيرُ مذمومة
“Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu pertaka yang dibuat-buat dan menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma’, maka ini termasuk bid’ah dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bid’ah) yang tercela”.[Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I (1: 468-469). Riwayat ini shahih sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131.]
Intinya di sini, sahabat mulia seperti ‘Umar bin Khottob dan Imam Syafi’i bukanlah orang yang begitu mudahnya melegalkan bid’ah. Dengan perkataan mereka berdua, orang-orang beralasan adanya bid’ah yang hasanah sehingga acara bid’ah maulid, selamatan kematian, yasinan, dan tahlilan sah-sah saja untuk dilegalkan. Karena perbuatan-perbuatan tadi jelas baik menurut mereka. Sebagai penutup, kami ulas sanggahan terakhir berikut ini bagi siapa saja yang beralasan dengan dua orang terkemuka di atas.
Pertama: Secara jelas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat tanpa ada pengecualian. Maka tidak bisa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dipertentangkan dengan perkataan sahabat atau perkataan imam madzhab. Sebagaimana kata Ibnu ‘Abbas dan Mujahid, lalu perkataan ini masyhur diucapkan oleh Imam Malik, juga diucapkan oleh Imam Ahmad,
ليس أحد إلا ويؤخذ من رأيه ويترك ؛ ما خلا النبي
“Pendapat seseorang bisa diambil atau ditinggalkan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Kedua: Jika seseorang merenungkan kembali perkataan Imam Syafi’i, “Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela”. Maksud beliau di sini adalah jika suatu amalan tidak menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah, maka itulah bid’ah hasanah (mahmudah) karena dalam perkataan beliau dikaitkan dengan demikian. Jika tidak demikian maksudnya, apalah gunanya beliau membuatkan kaitan setelah perkataannya. Setiap bid’ah yang menyelisihi syari’at bertentangan dengan ayat yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu” (QS. Al Ma’idah: 3). Begitu pula bid’ah yang tercela bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).
Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap bid’ah bukan wajib dan bukan sunnah, maka ia termasuk bid’ah sayyi’ah dan termasuk bid’ah dholalah (yang menyesatkan) menurut sepakat para ulama. Siapa yang menyatakan bahwa sebagian bid’ah dengan bid’ah hasanah, maka itu jika telah ada dalil syar’i yang mendukungnya yang menyatakan bahwa amalan tersebut sunnah (dianjurkan). Jika bukan wajib dan bukan pula sunnah (anjuran), maka tidak ada seorang ulama pun mengatakan amalan tersebut sebagai hasanah (kebaikan) yang mendekatkan diri kepada Allah.”[Majmu’ Al Fatawa, 1: 162.]
Ketiga: Sudah sangat ma’ruf bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang paling semangat dalam ittiba’ atau mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau juga adalah orang yang sangat keras pada orang yang membantah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat saja perkataan beliau pada orang yang menentang ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ
“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?”[Hilyatul Auliya’, 9: 107.]
Jika Imam Syafi’i bersikap keras dalam hal semacam ini, bagaimana mungkin kita pahami bahwa perkataan beliau berseberangan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Kullu bid’atin dholalah” (setiap bid’ah adalah sesat). Seharusnya kita memposisikan dengan benar perkataan Imam Syafi’I, yaitu kita pahami dengan pemahaman yang tidak bertentangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadinya kita pahami bahwa maksud Imam Syafi’i adalah bid’ah secara bahasa. Hal yang membuat kita seharusnya semakin husnuzhon kepada Imam Syafi’i karena beliau pernah mengeluarkan perkataan-perkataan seperti berikut ini,
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ
“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.”[Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab, 1: 63.]
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ
“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.”[Tarikh Dimasyq, 51: 389.]
كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي
“Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku.”[Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, 2: 9: 15.]
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي
“Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.”[Hilyatul Auliya’, 9: 107.]
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ
“Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.”[Siyar A’laamin Nubala’, 3: 3284-3285]
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.”[I’lamul Muwaqi’in, 2: 282.]
Setelah kita mengetahui pernyataan Imam Syafi’i bahwa perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib didahulukan dari ucapan beliau, maka semestinya kita berbaik sangka kepada beliau dengan mendudukkan ucapan beliau mengenai bid’ah tadi sebagai bid’ah secara bahasa, –yaitu setiap hal baru– yang tidak ada kaitannya dengan agama. Dengan demikian, antara ucapan Imam Syafi’i; “Bid’ah mahmudah dan madzmumah” dan sabda Rasulullah; “setiap bid’ah sesat” tidak akan bertabrakan.
Renungkanlah mas Khoiron Anwar,mudah2an jadi pencerahan.
Wassalamu’alaikum
Kalau menjelaskan perkataan Imam Syafi’i mengenai bid’ah, sebaiknya dari penerus Mazhab Syafi’i, sepert Imam Nawawi. Kalau mengambil dari orang lain yang tidak menempuh mazhab Imam Syafi’i, bisa aza tidak sesuai dengan yang dikehendaki Imam Syafi’i. Dan boleh jadi berdasarkan pemahaman sendiri tanpa mengkonfirmasi kepada Imam Syafi’i. Banyak kok ternyata mereka menyalahartikan perkataan Imam Syafi’i.
ikut share sdikit , maaf ini hanya hemat saya :
bid’ah : sesuatu ibadah/tatacara ibadah yg tidak sesuai dengan syariat Islam yg diajarkan oleh Rosulullah SAW dan para sahabatnya yg mendapat petunjuk. contoh : sholat dhuha jam 2 sore, dll
Perkara ibadah telah dijelaskan oleh rosulullah SAW sebagai teladan umat ini. Contoh : sholat, puasa sunnah senin kamis, takziah, dll
terus kalau kita puasa mutih atau ga buka2 selama beberapa hari, bagaimana…??. Kalau sya mah, karena puasa itu ibadah maka tatacaranya pun harus sesuai dengan yg diajarkan rosul, kalau nda sesuai …khawatir kita malah dicap tidak cinta sama rosul, dan lebih mengikuti tatacara yg bukan ajaran rosul, dan khawatir kita tdk dianggap sebagai ummat nabi di akhirat kelak. Begitu juga dengan ibadah yg lainnya, tdk susah sih…ikuti petunjuk rosul (sesuai haditsnya) semampu kita baik ilmunya maupun frekuensi ibadahnya.
ibadah ada yg khusus dalam nama, tatacara maupun waktunya (co sholat, dzikir2 tertentu, dll)…
ada juga yg umum yg tdk ditentukan waktu maupun tatacaranya : seperti berdzikirlah sebanyak2nya (maka berzikirlah dengan kalimat yg diajarkan Allah dan Rosulnya tanpa menetapkan jumlah maupun waktunya). Karena kalau kita mengkhususkan membaca suatu dzikir pada waktu tertentu dan jumlah bilangan tertentu, hal ini dikhawatirkan kita dianggap membuat waktu dan tatacara tertentu dalam ibadah sementara Rosulpun tidak melakukan hal itu. Sementara Hak menetapkan baik waktu, tatacara dalam ibadah hanyalah Hak Allah SWT dan dijelaskan melalui lisan Rosul-Nya. Rosulpun tdk berhak menetapkan ibadah, karena perkara ini hanya Hak Alloh SWT, apa yg dicontohkan oleh Rosul adalah Wahyu dari Allah SWT. Namun kalau tidak khawatir atau berbeda pandangan dalam hal ini, ya silahkan saja…nanti kita pertanggungjawabkan masing2 bukan…??
adapun hal2 baru yg bukan ibadah/ dalam urusan duniawi, yg sebenarnya bisa bernilai ibadah kalau niatnya baik…maka itu sangat dianjurkan. contoh: mengajak bersedekah di facebook, pergi haji pake pesawat, makan diniatkan agar kuat ibadah dll
mas Hery Perbuatan manusia ada dua jenis yakni
1. Dalam perkara syariat = amal ketaatan = yang disyariatkan=yang dicontohkan……….
2. Di luar perkara syariat= amal kebaikan =amal shaleh = tidak tentu dicontohkan Rosululloh
1. Di dalam perkara syariat, berlaku kaidah ushul fiqih “al-ashlu fil ‘ibaadati at-tahrim” yang artinya “hukum asal ibadah adalah haram” maksudnya ibadah dalam perkara syariat (apa yang telah disyariatkanNya) harus berdasarkan dalil yang menetapkannya.
Kita tidak boleh menetapkan hukum perkara terkait dosa, baik sesuatu yang ditinggalkan berdosa (perkara kewajiban) maupun sesuatu yang dikerjakan / dilanggar berdosa (perkara larangan/pengharaman) tanpa ada dalil yang menetapkannya…..
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)……
2. Sedangkan di luar perkara syariat, berlaku kaidah ushul fiqih, “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan (adat) atau segala perkara di luar perkara syariat adalah boleh saja (mubah) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya atau sampai ada dalil yang melarangnya atau mengharamkannya“.
Maksudnya adalah “segala kebiasan (adat) atau segala perkara di luar perkara syariat (diluar dari apa yang telah disyariatkanNya) selama tidak melanggar satupun laranganNya atau selama tidak ada laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits serta ijma dan qiyas maka hukum asalnya adalah mubah (boleh). Perubahan hukum asalnya tergantung jenis perbuatannya.“
Jika menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas dinamakan sunnah sayyiah (contoh / teladan / rintisan / perkara baru yang buruk) dan termasuk bid’ah dholalah
Jika tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas maka dinamakan sunnah hasanah (contoh / teladan / rintisan / perkara baru yang baik) dan termasuk bid’ah hasanah.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah (contoh) tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Sedangkan yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah adalah “orang-orang yang membawa hadits” yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu atau sanad guru dengan Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat yang bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam…..
mas mamo maaf antum dapet dari mana jika hukum asal Ibadah adalah Haram…..?
bang zon mohon teliti lagi masa sih hukum asal Ibadah adalah haram….? mohon petunjuk kaidah itu berasal dari kitab apa……..?
setahu ana hukum asal Ibadah adalah at-tauqiiif , dan ini adalah kaidah fiqhiyah bukan kaidah Ushul fiqh , karena memang maudhu` pembahasan keduanya juga berbeda. mohon penjelasan.
maksudnya ibadah dalam syariatNya mas Syahid ……shalat subuh 2 rokaat kita shalat asal shubuh 3 rokaat …..Rosul mencontohkan shalat shubuh 2 rokaat namun kita asal / menyelisih …..ini haram mas .itu yang ana pahami menurut tulisannya bang H zon…….maksudnya Hukum asal ibadah yang sudah disyariatkan Nya adalah haram ( membuat syariat baru )….wallohualam kalau salah mohon diluruskan mas …….
yap sepakat :
1. Hukum ibadah asalnya haram
2. hukum segala sesuatu/adat kebiasaan adalah boleh/halal
namun kita berbeda memasukan tahlilan masuk ke 1 atau ke no.2.
saya lebih sepakat dg yg memasukannya ke kaidah no. 1. , kenapa :
1. tahlilan adalah suatu tatacara dalam memperingati kematian, disitu ada tatawaktu 1-7, 40, 100, kadang sampai 1000, ada bacaan tertentu (meskipun bacaannya islam), dan dulunya adalah mencontoh kebudayaan hindu/budha.
2. sehingga tahlilan ini , menurut hemat saya, masuk dalam bentuk ” perkara yg baru dalam agama”, yaitu menyerupai ibadah, dan terkadang umat menganggap itu adalah bagian dari islam(sesuatu yg harus dilaksanakan)
Kalau kebiasaan seperti menari, memakai pakaian, dll itu sya sepakat masuk ke kaidah no. 2 asalkan tetap sesuai syari’at, namun jika menarinya dalam rangka ritual tertentu, menari dg mengumbar aurat, maka ini akan berubah hukumnya dari boleh mnjd haram.
jadi kaidah 1 itu hemat saya berlaku bukan hanya pada ibadah yg sudah dijelaskan oleh syari’at seperti sholat , puasa , dll, tapi berlaku pada kegiatan/ritual yg baru yg menyerupai syari’at ibadah, artinya ritual yg baru itu dibuat manusia yg menyerupai ibadah.
contoh lain :
puasa mutih—>puasa itu ibadah namun kalau puasa mutih gimana….?? hemat saya ini masuk ke kaidah yg pertama. lagian kebanyakan org puasa mutih bukan karena ibadah kepada Allah, namun ingin mencari kekuatan tertentu (niatnya dah ga ikhlas), lantas kekuatan itu darimana sebenarnya…??? kekuatan adalah dari Allah SWT, apa boleh kita meminta dengan cara yg tdk diajarkan oleh-Nya…???,
sya pribadi hanya ingin mengikuti jejak Rosulullah SAW, semampunya. ini hanya pemahaman saya, kalau ada baiknya itu dari Allah SWT, kalau ada salah itu datang dari kelemahan saya. mudah2an Allah memberi kita petunjuk.
Mas Hery, perbuatan manusia ada dua jenis yakni
1. Dalam perkara syariat atau
2. Di luar perkara syariat
Di dalam perkara syariat, berlaku kaidah ushul fiqih “al-ashlu fil ‘ibaadati at-tahrim” yang artinya “hukum asal ibadah adalah haram” maksudnya ibadah dalam perkara syariat (apa yang telah disyariatkanNya) harus berdasarkan dalil yang menetapkannya.
Kita tidak boleh menetapkan hukum perkara terkait dosa, baik sesuatu yang ditinggalkan berdosa (perkara kewajiban) maupun sesuatu yang dikerjakan / dilanggar berdosa (perkara larangan/pengharaman) tanpa ada dalil yang menetapkannya.
Kita tidak boleh melarang sesuatu yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya dan bagi yang melakukannya termasuk melakukan bid’ah dholalah karena menyekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak diturunkan keterangannya sehingga pelakunya akan bertempat di neraka.
Sedangkan di luar perkara syariat, berlaku kaidah ushul fiqih, “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan (adat) atau segala perkara di luar perkara syariat adalah boleh saja (mubah) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya atau sampai ada dalil yang melarangnya atau mengharamkannya“.
Maksudnya adalah “segala kebiasan (adat) atau segala perkara di luar perkara syariat (diluar dari apa yang telah disyariatkanNya) selama tidak melanggar satupun laranganNya atau selama tidak ada laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits serta ijma dan qiyas maka hukum asalnya adalah mubah (boleh). Perubahan hukum asalnya tergantung jenis perbuatannya.“
Jika menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas dinamakan sunnah sayyiah (contoh / teladan / rintisan / perkara baru yang buruk) dan termasuk bid’ah dholalah
Jika tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas maka dinamakan sunnah hasanah (contoh / teladan / rintisan / perkara baru yang baik) dan termasuk bid’ah hasanah
Jadi ahli bid’ah ada dua jenis yakni
1. Mereka yang mengada-ada dalam perkara syariat atau mereka yang mengada-ada dalam urusan agama (urusan kami) atau mereka yang mengada-ada dalam urusan yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya yakni mereka melarang sesuatu yang tidak dilarangNya , mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya
2. Mereka yang melakukan sunnah sayyiah yakni mencontohkan atau meneladankan perbuatan di luar perkara syariat yang bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas.
Point 1 berdalilkan
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Point 2 berdalilkan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah (contoh) tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Sedangkan yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah adalah “orang-orang yang membawa hadits” yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu atau sanad guru dengan Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat yang bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Berhati-hatilah dengan para ulama dari kalangan “orang-orang yang membaca hadits” yakni para ulama yang mengaku-aku mengikuti atau menisbatkan kepada Salafush Sholeh namun tidak bertemu atau bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh. Apa yang mereka katakan sebagai pemahaman Salafush Sholeh adalah ketika mereka membaca hadits, tentunya ada sanad yang tersusun dari Tabi’ut Tabi’in , Tabi’in dan Sahabat. Inilah yang mereka katakan bahwa mereka telah mengetahui pemahaman Salafush Sholeh. Bukankah itu pemahaman mereka sendiri terhadap hadits tersebut.
Mereka berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atasnamakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh. Fitnah dari orang-orang yang serupa dengan Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim Al Najdi yang karena kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga berani menghardik Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman bahwa Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. Kemudian ‘Umar berkata; Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan). (HR Bukhari 3341)
Semasa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memang belum terjadi fitnah dikarenakan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah. Sebab, saat para Sahabat ingin memerangi mereka, oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dicegah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tahu di belakangnya ada teman-teman mereka yang sifatnya sama. Sangat mungkin saat temannya dianiaya, mereka akan mengobarkan perang melawan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Sahabatnya. Padahal, mereka bukan orang “kafir” karena shalat, shaum, dan ritual mereka boleh dikatakan di atas rata-rata orang kebanyakan. Tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang akan merusak Islam. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memilih menjauhkan mereka dari Madinah. Dan mereka memilih tinggal di suatu kampung bernama Haruri. Oleh sebab itu pula, mereka sering disebut kaum Haruriyyah.
Setiap orang yang pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah termasuk sekte atau firqoh khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi pulalah yang karena kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga berani menghardik Sayyidina Ali bin Abi Thalib telah berhukum dengan thagut, berhukum dengan selain hukum Allah.
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi pulalah yang karena kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga sampai membunuh Sayyidina Ali ra
Abdurrahman ibn Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Karena bacaannya yang baik itu, pada masa Sayyidina Umar ibn Khattab ra, ia diutus untuk mengajar Al-Quran ke Mesir atas permintaan gubernur Mesir, Amr ibn Al-’Ash. Namun, karena ilmunya yang dangkal (pemahamannya tidak melampaui tenggorokannya) , sesampai di Mesir ia malah terpangaruh oleh hasutan (gahzwul fikri) orang-orang Khawarij yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka turuti. Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar dan memilih bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Sayyidina Ali ra.
Orang-orang serupa Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi , mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan muncul suatu sekte/firqoh/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya”. (HR Muslim 1773)
Orang-orang serupa Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi yakni anak-anak muda yang belum memahami agama dengan baik, mereka seringkali mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua dipergunakan untuk menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka. Padahal kualitas iman mereka sedikitpun tidak melampaui kerongkongan mereka.
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata; Sungguh, aku terjatuh dari langit lebih aku sukai dari pada berbohong atas nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan jika aku sampaikan kepada kalian tentang urusan antara aku dan kalian, (ketahuilah) bahwa perang itu tipu daya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: Akan datang di akhir zaman orang-orang muda dalam pemahaman (lemah pemahaman atau sering salah pahaman). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah, maksudnya suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits)) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3342)
“Semua Bid’ah adalah Sesat” tidak ada terkecuali karena menggunakan kata “KULLU” sekarang yang mau di ikuti perkataan siapa Rasulallah atau Imam2 Madzhab??? kalau masih beranggapan masih ada Bid’ah Hasanah ngak bakalan selesai2 diskusi ini,,lha wong semua dianggap Bid’ah Hasanah hal2 perkara baru dalam agama karena dengan anggapan BAIK…
Yahdikumullah….
test
Sya sepakat :
Kita tidak boleh melarang sesuatu yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya.
Perbedaannya adalah dalam memasukan apakah tahlilan itu ibadah (perkara syari’at) atau bukan (sebenarnya menurut hemat sya tatacara hidup ini telah diatur oleh syari’at). Silahkan sja direnungkan kembali…, rosulullah SAW jika ada yg meninggal apa yg beliau perintahkan..?? sya sendiri khawatir…ini termasuk dalam perkara memerintahkan apa yg Allah dan Rosulnya tdk perintahkan. hemat sya tahlilan ini sudah masuk dalam perkara ibadah, bukan hanya sekedar adat kebiasaan saja. Bahkan telah menjadi mirip ibadah mahdhoh(khusus), kenapa…ibadah mahdhoh itu ibadah mahdhoh itu mempunyai tatacara dan waktu tertentu, co: sholat ,puasa, .., tahlilan pun begitu menyerupai ibadah mahdhoh, yaitu punya waktu dan tatacaranya.
kalau melarang tahlilan dianggap melarang apa yg tidak dilarang Allah, sya kira perlu ditinjau ulang keyakinan seperti ini. Larangan dalam ibadah itu dg hadits ttg perkara baru dlm agama (bid’ah), dalam haditsnya bid’ah ini tidak ada pembagian, sedangkan hadits tentang sunnah bahkan ada pembagian sunnah hasanah dan sunah sayyiah. Apa ini terlewat…?? sehingga kita perlu perbaiki adanya bid’ah hasanah..?? apakah kita merasa lebih mampu/lebh baik dari rosulullah dan para sahabatnya sendiri…???
@Mas Yudi
Imam Mazhab itu pasti mengerti bahasa Arab, termasuk arti KULU. Mereka di samping mengerti, juga bertanya kepada Salafus sholeh, tentang makna dari setiap ayat dan hadits yang diterimanya. Kalau Anda tidak mau menerima pengertian Imam Mazhab, mohon Anda menjelaskan kepada kami beberapa arti dari KULU, baik di kamus bahasa Arab atau pendapat ulama muktabar. Apa benar arti KULU itu hanya SEMUA dan tidak ada arti yang lain? Atau Anda belum mengetahui adanya arti lain dari KULLU? Mohon jawaban yang jujur. Terima kasih.
mas bima maaf saya ikut nimbrung , rupanya ada sebagian yang ingin memaksakan pemahamannya kepada sebagian lain , dengan terus ngotot ” Tidak ada Bid`ah Hasanah ” , padahal jika kita melihat persoalan ini secara objektif ” istilah bid`ah hasanah ” sudah dikenal sejak zaman sayidina Umar ra , kemudian ditegaskan oleh Imam As-syafi`i dan Imam-Imam selainnya seperti sultonul ulama `izuddin Ibnu abdisalam dan Imam Nawawi dst…….
jadi menurut saya masalah ada tidaknya Bid`ah hasanah adalah masalah Khilafiyah , dimana sebagian orang tidak boleh memaksakan pemahamannya kepada pihak lain , belum tentu yang mengatakan tidak ada Bid`ah hasanah lebih benar ketimbangan yang mengatakan ada Bid`ah hasanah.
@Bima Asy-Syafi’i
Ini saya bawakan perkataan 4 Imam Mazhab:
1. Imam Malik (tabiut tabi’in/guru Imam Syafi’i)
a) Ibnu Al Majisyun berkata, “Aku mendengar Malik mengatakan bahwa barangsiapa membuat bid’ah dalam Islam yang dianggap baik, maka ia telah menyangka bahwa Muhammad saw telah berkhianat kepada risalah, karena Allah berfirman, ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu’. Apabila pada saat itu tidak ada agama, maka hari ini pun tidak ada agama selain agama Islam.” (Al-I’tisham oleh Imam As-Syathibi)
b) Ibnu Wadhah menceritakan, “Muadzin Madinah pada masa Malik menggunakan lafazh tatswib, maka Malik menyuruh seseorang untuk memanggilnya. Muadzin itu kemudian datang kepadanya. Malik kemudian berkata, “Apa yang kamu lakukan?” Aku ingin agar manusia tahu bahwa fajar akan terbit, sehingga mereka bangun,” jawab muadzin tersebut. Malik lalu berkata, “Jangan engkau lakukan itu. Jangan melakukan sesuatu yang baru di tempat kita ini, sesuatu yang dahulu tidak ada. Rasulullah SAW tinggal di negeri ini sepuluh tahun, kemudian Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka tidak melakukannya. Jadi, jangan melakukan sesuatu yang baru di tempat kita ini, sesuatu yang dahulu tidak ada.” Muadzin pun berhenti dari tatswib-nya. Setelah berlalu beberapa lama, muadzin itu berdehem di menara masjid ketika terbit fajar. Malik lalu menyuruh seseorang untuk memanggilnya. Setelah muadzin tersebut datang, Malik bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” la menjawab, “Aku ingin agar manusia tahu bahwa fajar akan terbit, sehingga mereka akan bangun.” Malik menjawab, “Bukankah aku telah melarangmu melakukan sesuatu yang baru, yang dahulu tidak ada?” la menjawab, “Engkau hanya melarangku dari melakukan tatswib.” Malik berkata, “Jangan kau lakukan.” Muadzin itu pun tidak melakukannya lagi. Setelah berlalu beberapa lama, muadzin itu memukuli pintu (ketika fajar akan terbit). Malik lalu menyuruh seseorang untuk memanggilnya, lalu ia berkata, “Apa yang kamu lakukan?” la menjawab, “Aku ingin agar manusia tahu bahwa fajar akan terbit, sehingga mereka akan bangun.” Malik menjawab, “Jangan engkau lakukan, jangan membuat sesuatu yang baru di tempat ini, sesuatu yang dahulu tidak ada.” (Al-I’tisham oleh imam Asy-Syathibi Al-Maliki)
c) Sufyan bin Uyainah mengatakan: Saya mendengar Malik bin Anas didatangi seseorang yang bertanya: Wahai Abu Abdillah dari mana saya harus melaksanakan ihram (untuk haji/umrah)? Imam Malik mengatakan: Dari Dzul Hulaifah, dari tempat Rasulullah shollallahu ’alaihi wasallam berihram. Orang itu berkata: Saya ingin berihram dari masjid dekat kuburan beliau. Imam Malik mengatakan: Jangan, saya khawatir kamu tertimpa fitnah. Orang itu berkata pula: Fitnah apa? Bukankah saya hanya sekedar menambah beberapa mil saja ? Imam Malik menegaskan: Fitnah apalagi yang lebih hebat dari sikapmu yang menganggap engkau telah mengungguli Rasulullah shollallahu ’alaihi wasallam mendapatkan keutamaan di mana beliau telah menetapkan demikian sementara kamu menambahnya? Dan saya mendengar firman Allah Ta’ala: ”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi dan Abu Nu’aim. Lihat pula Al-I’tisham oleh Imam Asy-Syathibi)
2. Imam Abu Hanifah (tabi’in)
Abu Hanifah berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan (dalam agama), karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq karya As Suyuthi hal. 322 dinukil dari Kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah hal. 54)
3. Imam Ahmad
a) Ahmad bin Hambal (imam mazhab/murid imam Syafi’i) berkata: Pokok-pokok sunnah menurut kami adalah: berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah berada di atasnya, meneladani mereka, meninggalkan seluruh bid’ah. Dan seluruh bid’ah merupakan kesesatan … [Riwayat Al Lalikai; Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 57-58].
b) Abu Dawud pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Apakah seorang yang hendak shalat ada membaca sesuatu sebelum takbir ?” Beliau menjawab, “Tidak ada !” [Lihat Masa’il Abi Dawud (hal.31)]
c) Imam Ahmad bin Hambal mengomentari masalah niat dalam sholat dengan berkata : “Ini (melafadzkan niat usholli) adalah sepuluh macam bid’ah, tidak ada yang meriwayatkan dengan sanad shahih atau dhoif, musnad atau mursal, bahkan tidak ada seorang dari sahabatnya atau dari pada tabi’in yang mengerjakannya.” (Syahdzaratil Balatin min Thayyibati Kalimati Salafinash Shalihin – Betulkah Sholat Anda”, hal 98, Imam Ahmad bin Hambal, cet. ke-X, edisi Indonesia, Bulan Bintang)
4. Imam Syafi’i
a) Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Andaikata aku menemui Allah (wafat) dengan membawa segala dosa selain syirik, lebih aku sukai daripada aku menjumpai Allah dengan membawa sedikit saja dari kebid’ahan.” (Sanadnya shahih, dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah)
b) Imam Syafi’i berkata : “Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara) maka dia telah membuat syari’at” (Perkataan Imam As-Syafi’i ini dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi’i, diantaranya Al-Ghozali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur’aan, dan Ibnu Qudamah dalam Roudhotun Naadzir)
c) Imam Syafi’i berkata: ”Sesungguhnya anggapan baik hanyalah menuruti selera hawa nafsu.” (Ar-Risalah oleh Imam Syafi’i hal. 507)
Mungkin dari kalangan Syafi’iyyah sangat populer perkataan beliau yg membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan dholalah. Yg dimaksud bid’ah hasanah oleh Asy-Syafi’i adalah bid’ah dalam arti bahasa bukan bid’ah syar’i.
Ibnu Rojab Al-Hanbali, “Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa bid’ah madzmumah (yang tercela) adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan bid’ah yang terpuji (bid’ah hasanah, pen) adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah (ajaran Rasul), yaitu yang memiliki asal dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendukung. Namun yang dimaksudkan dengan bid’ah hasanah di sini adalah bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah menurut istilah syar’i karena bid’ah kedua ini bersesuaian dengan ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 2: 131)
Ibnu Rajab berkata:“Adapun perkataan ulama salaf yang menganggap adanya bid’ah yang baik, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah lughowi (bid’ah secara bahasa) dan bukan menurut istilah syar’i. Contoh perkataan yang dimaksud adalah perkataan ‘Umar bin Khottob ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) bersama dengan satu imam di masjid. Lantas ‘Umar keluar dan melihat mereka shalat (dengan satu imam), lalu ia pun berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Diriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata pada ‘Umar, “Ini sebelumnya tidak ada”. “Aku tahu. Akan tetapi perbuatan ini baik (hasan)”, jawab ‘Umar. Yang dimaksudkan oleh ‘Umar bahwa shalat tarawih sebelumnya tidak dilakukan seperti itu sebelumnya. Akan tetapi, ada landasan dalam syari’at mengenai hal ini di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong dan memotivasi untuk melaksanakan qiyam Ramadhan. Dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang melaksanakan shalat tarawih secara jama’ah namun terpisah-pisah atau berkelompok-kelompok. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para sahabat di bulan Ramadhan lebih dari semalam. Kemudian beliau enggan melaksanakannya lagi karena khawatir shalat tarawih itu wajib. Beliau pun tidak merutinkannya setelah itu. Namun setelah Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam kekhawatiran tersebut sudah tidak ada. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat tarawih bersama para sahabatnya di malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan”.(Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 128)
Ibnu Katsir berkata, “Bid’ah itu ada dua macam:
a. Bid’ah syar’iyyah (menurut pengertian syari’at) seperti dalam sabda Rasulullah, “Karena setiap (perkara) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan.”
b. Bid’ah lughawiyyah (menurut arti bahasa) seperti perkataan Amirul Mukminin Umar ketika menyatukan mereka dalam shalat tarawih secara berkelanjutan, ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini’.”( Tafsir Ibnu Katsir (1/162), surat Al-Baqarah ayat 117)
Imam Syafi’i sendiri dalam kitab beliau Al-Umm lebih menyukai 1x adzan jum’at, melirihkan bacaan dzikir seusai sholat fardhu, membenci mat’am (berkumpul di tempat ahli mayit dgn dihidangkan makanan), dsb. Imam Syafi’i juga berpendapat tdk sampainya pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayit.
Sabda Rasulullah yang berbunyi, ”Setiap bid’ah adalah sesat” telah dijelaskan oleh para ulama, di antaranya yaitu:
1. Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata,” Kalimat ini simple dan sederhana namun memiliki cakupan makna yang luas tanpa kecuali serta merupakan kaidah dasar yang agung di antara sekian kaidah-kaidah agama.”(Jami’ul ‘Ulum 28).
2. Ibnu Hajar Al-Asqolani Asy-Syafi’i berkata,” Sabda beliau tersebut adalah kaidah agama yang global baik secara tersurat (manthuq) maupun secar tersirat (mafhum)nya. Secara aplikatif dapat dikatakan sebagai berikut,” Hukum hal ini adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan. Maka tidak termasuk dalam syari’ah karena semua syari’ah adalah petunjuk, sehingga jika kedua premis tersebut benar maka benarlah hasilnya.”(Fathul Baary syarh Shahih Bukhari 13/254).
3. Imam Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Maliki (Mufti Andalusia, wft 790 H)
Asy Syathibi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah hasanah.”(Asy Syatibi dalam fatawanya hal. 180-181)
Imam Syathibi menyalahkan pembagian mjd bid’ah hasanah, beliau berkata: ”Pembagian ini adalah rekayasa tidak berdalilkan syar’iy dan kontradiktif dengan sendirinya. Karena hakekat bid’ah adalah kehampaannya dari dalil syar’iy baik secara nash maupun kaidah-kaidah yang terintisarikan daripadanya karena seandainya ada dalil syar’iy atas pembagian itu niscaya tidak ada istilah bid’ah dan berarti pula merupakan usaha korelasi antara dua hal yang selalu kontradiktif (Jam’un baina mutanafiyaini).”(Al-I’tishom oleh Imam Asy-Syathibi 1/246).
Imam Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Maliki berkata: “Dalil-dalil yang berjumlah sangat banyak datang dalam bentuk mutlak dan umum yang tidak terdapat pengecualian, dan di dalamnya tidak ada sesuatu yang menunjukkan bahwa sebagian bid’ah termasuk mendapatkan petunjuk. Juga tidak ada keterangan atau ungkapan yang menunjukkan demikian, “Setiap bid’ah adalah sesat kecuali ini dan ini….” Atau ungkapan-ungkapan lain yang menyerupai itu. Seandainya pada sesuatu yang dibuat-buat (bid’ah) ada yang dianggap memiliki sisi kebaikan atau bisa dimasukkan ke dalam syariat, maka hal itu pasti disebutkan dalam Al Qur’an atau hadits, namun pada kenyataannya tidak demikian. Jika demikian, maka yang dimaksud adalah seluruhnya; hakikat yang jelas dan umum yang tidak meninggalkan satu sisi pun dari bagiannya.” (Al-I’tisham oleh Imam As-Syathibi)
4. Asy-Syaukani berkata,” Hadist-hadist di awal pembahasan ini termasuk kaidah-kaidah dasar agama yang mencakup berbagai hukum secara tak terbatas, betapa sangat tepat dan lantangnya dalil, ini dalam mematahkan pendapat di antara ahli fiqih yang membagi bid’ah ke dalam berbagai kategori dan menjadikan indikasi ketertolakan bid’ah pada sebagiannya tanpa menyertakan dalil yang mengkhususkan baik ‘aqli maupun naqli.”(Nailul Author oleh Asy-Syaukani 2/69).
5. Sahabat Abdullah bin Umar berkata: “Setiap bid’ah itu sesat meskipun dianggap BAIK oleh manusia.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal ilas Sunan Al-Kubra I/180 no.191, Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 205, dan Al-Lalika-i dalam Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaah no. 126)
Dari Nafi’, pada suatu saat mendengar seseorang bersin dan berkata: ”Alhamdulillah was sholatu was salamu’ala Rasulillah.” Berkatalah Abdullah bin Umar ra.: ”Bukan demikian Rasulullah shollallahu ’alaihi wasalam mengajari kita, tetapi beliau bersabda: ’Jika salah satu di antara kamu bersin, pujilah Allah (dengan mengucapkan): Alhamdulillah’, tetapi beliau tidak mengatakan: ’Lalu bacalah sholawat kepada Rasulullah!” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Kitab Sunan-nya no. 2738 dengan sanad yang hasan dan Hakim 4/265-266)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwa dirinya memasuki sebuah masjid untuk melakukan shalat, tiba-tiba ia mendapatkan muadzinnya mengumandangkan tatswib (panggilan sholat selain adzan) maka Abdullah bin Umar keluar dari masjid dan berkata, “Mari kita keluar (menjawab) dari orang yang melakukan bid’ah ini.” Beliau lalu tidak jadi melakukan shalat di masjid tersebut. (Al-I’tisham oleh imam Asy-Syathibi)
6. Al-Auza’i (tabi’in) berkata: ”Seandainya bid’ah ini BAIK, pasti tidak dikhususkan kepada engkau tanpa (didahului) orang-orang sebelummu. Karena sesungguhnya, tidaklah ada kebaikan apapun yang disimpan untukmu karena keutamaan yang ada pada kamu tanpa (keutamaan) mereka (Salafus Shalih). Karena mereka adalah sahabat-sahabat NabiNya, yang Allah telah memilih mereka. Dia mengutus NabiNya di kalangan mereka.” (Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 56-57)
7. Sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata: “Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada berlebih-lebihan dalam kebid’ahan.” (Ad-Darimi no. 233, Al-Hakim 1/103, Al-Lalikai dalam Syarh Ushuulil I’tiqad no. 14, dengan sanad jayyid)
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Sesungguhnya kami meneladani, kami tidak memulai. Kami mengikuti (ittiba’), kami tidak membuat bid’ah. Kami tidak akan sesat selama berpegang kepada atsar (riwayat dari Nabi dan sahabatnya, Pen.)”. (Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 42, no. 35)
8. Sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata: “Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Sahabat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam sebagai ibadah, janganlah kamu melakukannya! Sebab, generasi pertama itu tidak memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya untuk berpendapat (dalam masalah agama-pen). Bertakwalah kepada Allah, wahai para qurra’ (ahlul qira’ah) dan ambillah jalan orang-orang sebelum kamu!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam kitab beliau, Al-Ibaanah)
9. Sahabat Ibnu Abbas
Utsman bin Hadhir berkata: “Aku masuk menemui Ibnu Abbas, lalu aku berkata: “Nasehatilah aku”. Beliau (Ibnu ‘Abbas) lantas berkata: “Iya, wajib atasmu untuk bertakwa kepada Alloh dan beristiqomah, teladanilah dan janganlah kamu berbuat bid’ah.” (Ad-Darimi 141)
Abdullah bin ‘Abbas berkata: “Sesungguhnya perkara-perkara yang paling dibenci oleh Allah adalah bid’ah-bid’ah.” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubra 4/316)
Yup berbeda tdk masalah, namun apakah Al Imam An-Nawawi dan Imam As-Syafi’i melakukan ritual tahlilan/peringatan terhadap yg meninggal itu sahabatku….?? kalau seandainya Imam Syafi’i mengkalim bahwa ritual ini adalah bid’ah hasanah…ok lah..sya akan bisa sepakat dg beliau…,
kemudian adanya pengkhususan waktu, yg mirip sekali dg budaya hindu/budha. Jadi apakah tahlilan ini adat istiadat murni…?? bukan termasuk ibadah….???, saya khawatir berbeda antara pemahaman Imam Syafi’i dengan yg berusaha mengikutinya..
@Hery
Ya betul Mas Hery. Imam Nawawi dan Imam Syafi’i saja beranggapan tidak sampainya pahala bacaan Al-Qur’an kepada mayit, lalu kapan ya Imam Syafi’i melakukan selamatan kematian? Jelas tidak mungkin tuh.
An Nawawi berkata: “Dan adapun sholat dan puasa maka madzhab As-Syafi’i dan mayoritas ulama adalah tidak sampainya pahalanya kepada si mayat…adapun qiroah (membaca) Al-Qur’an maka yang masyhuur dari madzhab As-Syafi’i adalah tidak sampai pahalanya kepada si mayat.” (Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 1/90)
An Nawawi di dalam kitab Takmilatul Majmu’, Syarah Muhazzab dia mengatakan: “Adalah, membaca al-Qur’an dan mengirimkannya sebagai pahala untuk seseorang yang mati dan menggantikan sembahyang untuk seseorang yang mati atau sebagainya adalah tidak sampai kepada mayat yang dikirimkan menurut Jumhurul Ulama dan imam Syafi’i. Keterangan ini telah diulang beberapa kali oleh imam Nawawi di dalam kitabnya, Syarah Shohih Muslim” (As-Subki, Takmilatul Majmu’, Syarah Muhazzab: juz 10 hal: 426).
Al-Haitami (Ulama Syafi’iyyah) berkata: “Bagi seseorang mayat, tidak boleh dibacakan kepadanya apa-apa pun berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama Mutaqaddimin (terdahulu) yaitu bacaan-bacaan yang disedekahkan kepada si mati adalah tidak akan sampai kepadanya karena pahala bacaan tersebut pembaca saja yang menerimanya. Pahala yang diperoleh hasil dari sesuatu amalan yang telah dibuat oleh amil (orang yang beramal) tidak boleh dipindahkan kepada orang lain berdasarkan sebuah firman Allah yang berbunyi, “Dan manusia tidak memperolehi kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri.” (Al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah : juz 2, hal; 9)
Al-Khazin (Ulama Syafi’iyyah) berkata: “Dan yang masyhur di dalam mazhab Syafi’i adalah, bahwa bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayat) adalah tidak dapat sampai kepada mayat yang dikirimkan” (Al-Khazin, al-Jamal : Juz 4, hal ; 236)
perjalanan hidup para Imam itu (bioghrapi ) tidak mencatat seluruh aktifitas para Imam , tidak setiap apa yang dilakukan dan apa yang tidak dilakukan oleh para imam dicatat dalam bioghrafi mereka , masih banyak hal-hal yang luput dari pencatatan , yang jelas tercatat dari mereka adalah bahwa mereka ( sahabat Umar , Imam as-syafi` Imam `izuddin ibn abdisalam dan yang lainnya meyakini adanya Bid`ah hasanah , inilah fakta yang sampai pada kita ,
apakah kita akan terus mencari sesuatu yang tidak tercatat dan tidak sampai kepada kita , dan meninggalkan fakta yang tercatat dan sampai kepada kita…..saya rasa orang yang berakal sehat tidak akan melakukan hal seperti itu.
#ahmadsyahid
Coba di baca lagi dengan tenang dan teliti pemahaman Imam Syafi’i dan Sahabat Umar tentang Bid’ah Hasanah seperti yg telah saya jelaskan di atas.. Pertanyaaan saya sebenarnya simpel sekali,,pernahkan Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam mengadakan acara peringatan kematian tatkala Khadijah dan Hamzah dan shahabat yang lainnya yang telah meninggal dunia? adakah hadis yang menjelaskannya,,,? kalau nabi pernah melakukannya niscaya akan sampe kepada kita…
orang2 yang menolak adanya Bid`ah Hasanah mereka tidak mampu mendatangkan Hujjah , yang mereka lakukan tidak lain adalah pemaksaan keliru terhadap apa yang diucapkan para Imam , bahwa apa yang dikatakan sayidina Umar adalah Bid`ah lughoh , apa yang disampaikan Imam as-syafi`i dan seterusnya.adalah sekedar bahasa.
pemaksaan pembelokan pemahaman seperti ini , menunjukkan jika mereka ingin memaksakan pemahamannya kepada orang lain , mereka tidak mampu hidup dalam perbedaan , mereka tidak bisa merasakan nikmatnya perbedaan , mereka tidak toleran dan tidak menghargai pendapat orang lain , meskipun orang lain itu bisa jadi dalam kebenaran.
terlebih dibelakang mereka itu ada Sahabat Nabi yang mendukungnya.
@Ahmad Syahid
Ibnu Katsir berkata, “Bid’ah itu ada dua macam:
a. Bid’ah syar’iyyah (menurut pengertian syari’at) seperti dalam sabda Rasulullah, “Karena setiap (perkara) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan.”
b. Bid’ah lughawiyyah (menurut arti bahasa) seperti perkataan Amirul Mukminin Umar ketika menyatukan mereka dalam shalat tarawih secara berkelanjutan, ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini’.”( Tafsir Ibnu Katsir (1/162), surat Al-Baqarah ayat 117)
Imam Asy-Syathibi Al-Maliki (Mufti Andalusia, wft 790 H) berkata: “Adapun perkara yang sunah, maka sama sekali tidak termasuk bagian dari bid’ah. Hal ini dapat dilihat secara gamblang ketika memperhatikan contoh yang telah dipaparkan, yaitu shalat tarawih secara berjamaah pada bulan Ramadhan di dalam masjid. Dalam hal ini Nabi saw telah melaksanakannya di dalam masjid dan orang-orang mengikuti beliau dengan berdiri di belakang.” (Al-I’tisham)
Perkataan Umar “sebaik-baik bid’ah adalah ini” harus diteliti kembali.
Pada zaman Rasulullah, beliau pernah sholat tarawih berjamaah dengan para sahabat sebanyak 3 kali yaitu pd tgl 23, 25, dan 27. Bahkan Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya bila seseorang shalat tarawih berjama’ah bersama imam hingga selesai maka akan dihitung baginya shalat semalam suntuk.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh penulis kitab Sunan dan yang lainnya, Shahih Abu Dawud (1245) serta dalam Irwaul Ghalil (447)). Nabi tidak mengerjakan secara rutin karena takut dianggap sebagai kewajiban oleh umatnya.
Nabi bersabda: “Aku telah memperhatikan perbuatan kalian dan tidak ada yang mencegahku keluar kecuali aku khawatir —shalat tersebut— akan diwajibkan atas kalian.” (Hadits shahih, Al-I’tisham)
Aisyah ra berkata, “Jika Rasulullah saw meninggalkan suatu perbuatan padahal beliau sangat mencintai perbuatan tersebut, maka itu disebabkan kekhawatiran beliau akan diwajibkannya shalat tarawih bagi umat bila orang-orang mengerjakannya terus-menerus.”
Setelah Rasulullah wafat, maka kekhalifahan diganti oleh Abu Bakar. Pada masa Abu Bakar ini, banyak sekali tugas yang sangat penting yang harus beliau selesaikan, antara lain: (1) Memerangi nabi palsu Mutsailamah al-Kadzab (2) Memerangi orang yg murtad, dan (3) Memerangi orang yg tdk mau membayar zakat. Adanya tugas-tugas yg sangat penting ini telah banyak menyita waktu sahabat Abu Bakar, padahal beliau hanya memimpin sekitar 2 tahun masa kekhalifahan. Pada masa beliau sholat tarawih berjamaah dilakukan secara berkelompok-kelompok dalam satu masjid, tidak terkoordinir menjadi satu kelompok berjamaah seperti pada zaman Rasulullah dulu.
Setelah Abu Bakar wafat maka digantikan oleh Umar bin Khottob. Umar bin Khottob mengatur agar sholat tarawih dilaksanakan berjamaah dengan 1 imam sholat dalam 1 masjid seperti pada zaman Rasulullah dahulu, yg diimami oleh beliau sendiri Umar, atau Ubay bin Ka’ab, atau Tamim Ad-Dhari. Itulah latar belakang perkataan Umar ”sebaik-baik bid’ah adalah ini” karena pada masa Rasulullah terkoordinir dlm 1 imam, lalu pada masa Abu Bakar tdk terkoordinir dlm 1 imam alias berkelompok-kelompok karena kesibukan beliau, lalu pada masa Umar dikoordinir kembali dlm 1 imam seperti pada zaman Rasulullah.
Setelah mengetahui latar belakang tersebut, maka sholat tarawih berjamaah bukanlah termasuk bid’ah tetapi sunnah karena telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Ucapan Umar (sebaik-baik bid’ah adalah ini) hanyalah merupakan bid’ah menurut bahasa, bukan bid’ah syariah yg diancam dlm agama karena ada petunjuknya dari Rasulullah.
“Semua Bid’ah adalah Sesat” tidak ada terkecuali karena menggunakan kata “KULLU” sekarang yang mau di ikuti perkataan siapa Rasulallah atau Imam2 Madzhab???
Kok ada yang bilang bid’ah dunialah, bid’ah bahasalah dan macam-macamlah. Katanya semua bi’dah sesat. Kata-katanya bisa dipakai ga sih?
Pernahkah Nabi sholat taraweh berjamaah sebulan penuh, sambil khatamin Qur’an 30 juz?
ya begitulah mas bima , mereka tidak memahami apa yang mereka baca sehingga yang muncul adalah kontradiksi , jika mereka benar2 memahami apa yang mereka baca tentu tidak akan ada kontradiksi .
#Mas Bima + Ahmad
Mas-mas dalam perkataan Shahabat Umar Radiyallahu ‘Anhu dan Imam Syafi’i Rahimahullah menurut penjelasan para Ulama sperti yang telah saya kemukakan sebelumnya diantaranya Ibnu Rajab dan Ibnu Taimiyah masksud dari perkataan mereka bahwa itu adalah Bid’ah dilihat dari segi bahasa,bukan perkataan saya loh,,kalau pun ada Bid’ah Hasanah berarti mereka telah menyelisihi perkataan Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dong..karena sebagai kita ketahui bahwa para shahabat sangat tahu dan ingin sekali melakukan sunnah Nabinya.Karena sudah jelas ““Setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Muslim no. 867, Abu Daud no. 4607, An Nasai no. 1578.)
Kalau mereka menganggap ada Bid;ah Hasanah berarti tidak selaras dengan perkataan Nabinya..nich saya tulis lagi perkataan imam Syafi’i
Sudah sangat ma’ruf bahwa Imam Syafi’i adalah orang yang paling semangat dalam ittiba’ atau mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau juga adalah orang yang sangat keras pada orang yang membantah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat saja perkataan beliau pada orang yang menentang ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ
“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?”[Hilyatul Auliya’, 9: 107.]
Jika Imam Syafi’i bersikap keras dalam hal semacam ini, bagaimana mungkin kita pahami bahwa perkataan beliau berseberangan dengan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Kullu bid’atin dholalah” (setiap bid’ah adalah sesat). Seharusnya kita memposisikan dengan benar perkataan Imam Syafi’I, yaitu kita pahami dengan pemahaman yang tidak bertentangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadinya kita pahami bahwa maksud Imam Syafi’i adalah bid’ah secara bahasa. Hal yang membuat kita seharusnya semakin husnuzhon kepada Imam Syafi’i karena beliau pernah mengeluarkan perkataan-perkataan seperti berikut ini,
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ
“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.”[Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab, 1: 63.]
Wallahu’alam
mungkin bagi orang awam perkataan sayidina Umar , Imam as-syafi`i dan imam2 lainnya adalah bertentangan dengan Hadist Nabi , tetapi itu sesungguhnya tidak bertentangan bagi orang yang tahu metodologinya , apalagi membantah perkataan Nabi tidaklah mungkin keluar dari orang orang mulia seperti sayidina Umar , Imam Syafi`i dan imam2 lainnya ,
usaha untuk mensinkronkan / memposisikan perkataan sayidina Umar dan Imam Syafi`i agar terlihat tidak bersebrangan dengan perkataan Nabi adalah upaya yang tidak sepatutnya dilakukan , karena dengan upaya itu seolah kita menganggap bahwa : 1. sayidina Umar dan Imam syafi`i tidak faham akan perkataan Nabi , 2. sayidina Umar dan Imam syafi`i membantah perkataan Nabi
padahal yang terjadi adalah : 1. kita yang tidak faham akan perkataan Nabi , 2. kita yang tidak faham metodologi yang digunakan oleh sayidina Umar dan imam as-syafi`i , hingga sampai pada kesimpulan seolah ” bertentangan ” dengan perkataan Nabi. ( yang sebaenarnya sama sekali tidak bertentangan )
usaha untuk mensinkronkan / memposisikan perkataan sayidina Umar dan Imam Syafi`i agar terlihat tidak bersebrangan dengan perkataan Nabi adalah murni penyimpangan / pemaksaan atas kebebasan dalam ber Ijtihad , upaya seperti ini hanya merupakan upaya untuk menghilangkan fakta – fakta yang tidak mungkin dihilangkan , lalu dibuatlah ” pembelokan ” pemahaman , agar maksud dan tujuan mereka tercapai yaitu : tidak ada bid`ah yang hasanah.
wallahu a`lam bishowab.
@Ahmadsyahid
Imam Syafi’i رحمه الله telah berkata di dalam kitabnya al Umm (1/127):
….Dan aku (Imam Syafi’i) lebih memilih bagi para imam dan makmum untuk berdzikir setelah shalat (yang lima waktu) dengan cara menyembunyikannya (yakni tidak mengeraskan suaranya), kecuali bila imam harus mengajarkannya kepada makmum, maka ia (boleh) untuk mengeraskannya sampai mereka bisa mengikutinya, tetapi kemudian ia (imam) kembali menyembunyikannya (lagi seperti semula), karena sesungguhnya Allah سبحانه و تعالي telah berfirman:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا
“…dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya…”[QS. Al Isra’: 110]; maksudnya adalah— wallahu Ta’ala a’lam— (ketika) berdo’a; “…dan janganlah kamu mengeraskannya..” (maksudnya adalah: janganlah) kamu mengangkat (suaramu ketika berdo’a), “..dan janganlah pula kamu merendahkannya…” sehingga tidak terdengar oleh dirimu sendiri.
Bagi yang mampu untuk berbahasa Arab; silahkan merujuk ke kitab al Umm di bagian akhir pembahasan masalah shalat bab:
كَلَامُ الإِمَامِ وَجُلُوسِهِ بَعْد السَّلَامِ
Atau bagi mereka yang belum mampu untuk berbahasa Arab, bisa juga untuk merujuk ke kitab al Umm edisi terjemahan jilid: I hal: 296, pada Bab: “Berkata-katanya imam dan duduknya sesudah memberi salam,” disebutkan sebagai berikut:
“…Saya memandang baik bagi imam dan makmum. Bahwa berdzikir kepada Allah, sesudah keluar dari shalat. Keduanya itu menyembunyikan dzikir. Kecuali bahwa dia itu (adalah seorang) imam yang harus orang belajar dari padanya. Maka ia (boleh untuk) mengeraskan suaranya. Sehingga ia melihat bahwa orang (lain) telah mempelajari (lafazh dzikir itu) dari padanya, (maka) kemudian ia (kembali) mengecilkan suaranya. Allah—’azza wa Jalla—berfirman:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا
‘Dan janganlah engkau sholat dengan suara keras dan jangan pula diam saja.’ Yakni Allah Yang maha Tahu. Ialah: Do’a. Tidak engkau keraskan: Artinya: Tidak engkau tinggikan suara. Dan tidak diam saja: Artinya: Sehingga tidak dapat engkau dengar sendiri.”
yang tau perkatan /paham apa yang Imam Syafi’i tulis adalah para Ulama2 Syafi’iyah bukan ulama pengacau , bukan ulama wahabi , bukan ulama su’u ………….jadi jelaslah kalau mau bertanya apa maksud perkataan imam Syafi’i bertanyalah kepada para ulama yang ber madzhab Syafi’iyah ……..jangan ngarang yaa… he he he
@Mamo cemani gembong
Imam Nawawi (Ulama Besar Mazhab Syafi’i) dalam kitab Al-Majmu’ syarah Muhadzdzab menyebutkan, “Penyediaan makanan yang dilakukan oleh keluarga kematian dan berkumpulnya orang yang ramai di rumahnya, adalah tidak ada nasnya sama sekali, yang jelasnya semua itu adalah bid’ah yang tidak disunatkan.” (Al-Majmu’ syarah Muhadzdzab oleh Nawawi, juz 5, hal 286)
An Nawawi berkata: “Dan adapun sholat dan puasa maka madzhab As-Syafi’i dan mayoritas ulama adalah tidak sampainya pahalanya kepada si mayat…adapun qiroah (membaca) Al-Qur’an maka yang masyhuur dari madzhab As-Syafi’i adalah tidak sampai pahalanya kepada si mayat.” (Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 1/90)
@Mamo cemani gembong
Imam al ‘Izz bin ‘Abdis Salam asy Sya-fi’iy (w. 660 H, beliau adalah guru Abu Syamah, Abu Syamah gurunya Imam Nawawi) telah menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan kepadanya, sebagaimana yang tercantum di dalam Fatawanya hal. 46-47 no: 15 sebagai berikut:
Soal: Apakah disunnahkan bagi kita untuk berjabatan tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar? Dan apakah juga disunnahkan bagi imam untuk berdo’a setelah selesai salam (shalat) atau tidak? Dan bila engkau mengatakan bahwa hal itu disunnahkan, maka apakah imam itu juga harus menghadap ke kiblat atau tidak? Kemudian apakah boleh untuk mengeraskan suaranya atau justru menyembunyikannya? Kemudian, apakah seorang yang berdo’a (saat) itu juga boleh untuk mengangkat kedua tangannya atau tidak? Karena ini bukan merupakan tempat-tempat yang di situ Nabi صلي الله عليه وسلم mengangkat kedua tangannya.
Jawab: Berjabatan tangan setelah selesai dari shalat Shubuh dan Ashar termasuk perbuatan bid’ah… Dan Nabi biasa membaca beberapa dzikir/wirid setelah shalat, dan mengucapkan istigfar tiga kali, kemudian beliau pergi (dari tempatnya)… Dan kebaikan itu hanyalah kita dapati dengan cara meneladani Rasul. Imam Syafi’i pun menyukai agar seorang imam itu segera meninggalkan tempatnya setelah selesai salam (pastinya, setelah membaca beberapa wirid/dzikir yang disyari’atkan Nabi صلي الله عليه وسلم)… Dan tidaklah disukai bagi seorang pun untuk mengangkat kedua tangannya di saat berdo’a, kecuali pada saat-saat dan tempat yang di situ Rasulullah صلي الله عليه وسلم, mengangkat kedua tangannya, dan juga tidak diperbolehkan untuk mengusapkan kedua tangannya itu ke mukanya setelah selesai dia berdo’a, karena tidak ada yang melakukannya, kecuali orang-orang yang jahil (bodoh).
Mengapa orang yg bertaklid kepada beliau dlm masalah pembagian bid’ah mjd 5 tetapi tidak mau bertaklid juda dengan fatwa beliau di atas?
Mohon maaf, itu isi dari kitab klasik yg asli atau yg sudah dimanipulasi???
Karena setahu saya kitab2 para ulama seperti Kitabnya Imam Nawawi, Imam Syafi’I dan lebih dari 300 kitab klasik lainnya sudah dimanipulasi. Dan dari info sana-sini yg saya dapat, ada campur tangan Arab Saudi dalam pemalsuan dan manipulasi isi kitab para Imam Madzhab itu…
Dan banyak da’I-da’I Wahabi/Salafi yg memakai kitab2 yg sudah dimanipulasi ini untuk mendukung argumentasi mereka…mungkin mereka gak sadar kalau kitab yg mereka pakai sudah nggak asli
menurut bahasa dan menurut istilah sudah terkenal dalam dunia ilmu, sholat menurut bahasa adalah do’a, adapun menurut istilah adalah sebagaimana apa yg dicontohkan oleh rosulullah SAW. Jadi yg diambil adalah yg menurut istilah.
Umar pernah bilang sebagus2nya bid’ah adalah ini(pada saat sholat tarawih berjamaah terus menerus), ulama madzhab imam ahmad alhambali mengatakan bahwa yg dimaksud itu adalah bid’ah secara bahasa, ya..memang itu sesuatu yg baru karena rosulullah tdk melakukannya secara penuh (karena kalau rosulullah SAW melakukannya secara penuh akan ada konsekuensi penetapan hukum, artinya takut umatnya menganggap wajib)…namun bid’ah itu bukanlah secara istilah..karena rosul telah mencontohkannya untuk sholat berjamaah di mesjid.
Mohon maaf kawan…., kalau seandainya tahlilan dianggap bid’ah yg seperti umar katakan…ok saya akan setuju (itu adalah bid’ah yg baik atau menurut yg lainnya adalah bid’ah secara bahasa), artinya: jika tahlilan diajarkan oleh rosulullah SAW…setelah itu rosul ga melakukannya lagi…maka saya akan setuju bahwa tahlilan adalah bid’ah secara bahasa( atau bid’ah hasanah itu).
Tapi ya..memang kita takan pernah ketemu dlm masalah ini…, sya pun dulu seperti mas mamo dan ahmadsyahid dalam masalah tahlilan ini…, namun pemahaman muhammadiyyah, persis, ikhwanul muslimin, hti, mmi, salafi…ko ya sepakat dengan masalah tahlilan ini…, ini buat saya pertanyaan besar yg harus dicari jawabannya…., dan menurut apa yg saya fahami sekarang, setelah melihat realitas di masyarakat dan tentunya dengan tetap memohon petunjuk kepada Robbul A’lamin…akhirnya saya lebih sepakat dengan yg memasukannya kedalam sesuatu yg baru dalam agama dan bukan bagian dari agama islam ini…, wallohu a’lam. kita hanya mampu berusaha memahami perbedaan yg ada…dan betul memang kebenaran itu hanya milik Alloh SWT. Seandainya tahlilan itu bernilai baik/ibadah dimata Alloh…maka yg melakukannya akan dapat pahala…dan yg tdk melakukannya ya tdk apa2, namun jika tahlilan itu bernilai tdk baik mnurut Kholiq…maka yg tdk melakukan tidaklah kena hukuman. menyikapi hal2 yg kontroversi ini…buat saya pribadi ..lebih baik meninggalkannya.., karena masih tandatanya. Namun jika kawan2 meyakini tahlilan ini adalah baik…maka jawaban pastinya nanti setelah kita meninggal ..apakah baik atau tidaknya.
kalau seandainya salafi atau yg dikenal oleh para pembencinya itu sebagai “wahabi…” adalah sesat…,sungguh sya pribadi sangat sedih…karena apa yg diajarkan oleh ustad2 mereka sebenarnya mengajak kepada islam dan tauhid semurni murninya.
Bayangkan Imam Syafi’i , Imam Malik–> fatwa beliau bahwa sholat berjama’ah itu adalah hukumnya sunnah muakkad.
Namun Ibnu taimiyyah—> berfatwa hukum sholat berjamaah adalah fardu a’in. kenapa…??? kita lihat ayat : waaqimussholata waatujjakata warka’u maa’roki’in…< tegakanlah sholat, bayarlah zakat, dan rukulah beserta orang2 yg ruku….
maksudnya ruku beserta orang2 yg ruku itu apa…??? itulah sholat berjama'ah…
hal ini didukung dengan beberapa hadits rosulullah SAW, namun dalam hadist tersebut justru ada rukhsoh bagi keadaan2 terntentu…
jadi berbeda dengan imam madzhab bukan sutu hal yg diharamkan, tetapi kalau keluar dari ajaran Rosulullah SAW, maka itu yg haram.
Imam Bukhari, Imam Muslim, dan yg lainnya…setahu saya mereka tidak bingung dengan adanya madzhab…ya..karena yg dijadikan rujukan adalah hadits2 Rosulullah SAW, jika pendapat imam madzhab sesuai dengan hadits shahih..maka itu bisa diambil…dan sebaliknya…, ini artinya…kita harus kembali kepada Rosulullah SAW dan Para sahabatnya dalam memahami agama ini , melalui apa…?? melalui hadits2nya…, smoga kita smua mendapat hidaya Alloh SWT.
ikhwan semuanya , hery , yudi , paijo dst yang tidak setuju dengan adanya Bid`ah Hasanah , apakah dalil kalian sehingga kalian begitu keukeuh , seolah ini bukan masalah khilafiyah…… datangkan dalil kalian jika memang Bid`ah itu cuma 1 gak usah banyak2 1dalil aja jika kalian punya dalilnya…….?
-ahmadsyahid-
Assalamualaikum mas syahid, apa kabar? 😀
jawabannya mudah saja mas
“Dan semua perkara yang baru adalah bid’ah dan seluruh bid’ah adalah kesesatan dan seluruh kesesatan di neraka” (HR An-Nasaai no 1578)
Berkata ‘Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhu: “Semua bid’ah adalah sesat, walaupun manusia memandangnya sebagai kebaikan.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah hadits no.205 (1/339) dan Al-Laalikaa`iy hadits no.126 (1/92))
SETIAP bid’ah (dalam agama) itu SESAT, kalo ada bid’ah hasanah, apa iya ada KESESATAN yg HASANAH (BAIK)?
kalo kata ‘KULLU’ dlm sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tsb diartikan ‘SEBAGIAN’, maka akan terasa rancu jika di baca sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam :
“SEBAGIAN bid’ah itu sesat, dan SEBAGIAN kesesatan itu tempatnya di neraka” ????
Berarti ada ‘jenis’ kesesatan yg bs membawa kita masuk surga gitu?
Ya sudah…. anggaplah BID’AH HASANAH’ itu benar ada, lalu SIAPA ya mas ORANG yg memiliki wewenang ‘MENCIPTAKAN’ bid’ah hasanah tsb? habib-kah? kiayi-kah? ustadz-kah? atau seluruh umat islam berhak menciptakan ‘bidah hasanah’?
terima kasih….
WASSALAM
“ikhwan semuanya , hery , yudi , paijo dst yang tidak setuju dengan adanya Bid`ah Hasanah , apakah dalil kalian sehingga kalian begitu keukeuh , seolah ini bukan masalah khilafiyah…… datangkan dalil kalian jika memang Bid`ah itu cuma 1 gak usah banyak2 1dalil aja jika kalian punya dalilnya…….?”
Ketahuan ini mas Ahmad bacanya ngak dengan teliti,,dibaca lagi ya mas dari postingan awal,,,
Mas ahmadsyahid ini dalilnya:
“Setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Muslim no. 867, Abu Daud no. 4607, An Nasai no. 1578.)
اللهم لا تؤاخذني بما يقولون واغفر لي ما لا يعلمون
“Ya Allah, semoga Engkau tidak menghukumku karena apa yang mereka katakan. Dan ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 761 – dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad, hal. 284 no. 585; Maktabah Ad-Daliil, Cet. 4/1418].
إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali” [QS. Huud : 88].
Wassalumu’alaikum Warahmatullah Wabarakaatuh.
wah ternyata santoso , paijo juga anonim itu satu orang toh……bisanya cuma copas tanpa faham apa isinya , kalo mas yudi sama mas heri ini satu orang apa emang 2 orang…..? suka copas kaya santoso alias paijo alias itaca itachi alias anonim enggak…… ? jangan-jangan gak faham lagi dengan apa yang dicopas.
mas yudi mana dalilnya jika Bid`ah itu cuma 1….? spesifik aja taro satu yang mana dalilnya……?
Perasaan tidak ada Nabi ngomong : “Kalau saya sudah meninggal kalian boleh melaksanakan sholat taraweh berjamaah sebulan penuh sambil khatamin Qur’an”. Kalau ada pasti sudah dilakukan oleh Syayidina Abubakar. Karena Syayidina Abubakar paling khawatir kalau-kalau ada sunnah Nabi yang tertinggal. Tapi Syayidina Umar berijtihad, “inilah sebaik-baik bid’ah”. Ketika Syayidina Umar mengusulkan pengumpulan dan pencatatan Al Qur’an, Syayidina Abubakar bertanya, “mengapa engkau mengusulkan apa yang tidak diperintah Nabi?” Hanya dengan kata-kata demi kebaikan, Syayidina Abubakar bisa menerima. Demikian juga Sahabat Zaid setelah diyakinakan demi kebaikan mau mencatat dan mengumpulkan walau sebelumnya keberatan karena tidak ada perintah Nabi. Kalau mengikuti kata-kata “tidak ada perintah atau contoh Rasul”, wah nasib Qur’an bagaimana ya? Mungkin nasib sholat taraweh juga kita ga tau. Kan sudah ditinggalkan Rasul dan Syayidina Abubakar pun tidak memerintahkannya. Mengapa kita melakukan sesuatu yang ditinggalkan Nabi dan Syayidina Abubakar? Ntar cari dalil lagi, kan itu sunnah khulafar rasyidin yang diperintah Nabi untuk diikuti. Ketika dikatakan adzan dua kali pada hari Jum’at adalah Sunnah Syayidina Utsman, dibilang ga perlu lagi karena sudah ada speaker. Jadi ikut sholafus sholeh atau siapa sih? Yang memahami perkataan Nabi kan sahabat, yang memahami perkataan sahabat kan muridnya. Imam Syafi’i berada dalam rantai para shalafus sholeh. Nah yang mengerti kata-kata Imam Syafi’i itu adalah para murid-muridnya. Maka ambil arti perkataan Imam Syafi’i itu dari Mazhab Syafi’i. Jangan dari orang di luar mazhabnya yang mengutip perkataan Imam dengan tujuan batil.
A’udzubillaahi minal jahli wal hawa, wamimman yatakallamu bil jahli wal hawa. (Aku berlindung kepada Allah dari kebodohan dan hawa nafsu, dan dari orang-orang yg bicara berdasarkan kebodohan dan hawa nafsu).
yah…… hanya cuma bisa meratap , gak bisa datengin dalil , mana dalilnya kalo Bid`ah hasanah itu tidak ada …….? cengeng amat….
Abdullah bin Umar berkata: “Setiap bid’ah itu sesat meskipun DIANGGAP BAIK oleh manusia.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal ilas Sunan Al-Kubra I/180 no.191, Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 205, dan Al-Lalika-i dalam Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaah no. 126)
Dari Nafi’, pada suatu saat mendengar seseorang bersin dan berkata: ”Alhamdulillah was sholatu was salamu’ala Rasulillah.” Berkatalah Abdullah bin Umar ra.: ”Bukan demikian Rasulullah shollallahu ’alaihi wasalam mengajari kita, tetapi beliau bersabda: ’Jika salah satu di antara kamu bersin, pujilah Allah (dengan mengucapkan): Alhamdulillah’, tetapi beliau tidak mengatakan: ’Lalu bacalah sholawat kepada Rasulullah!” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Kitab Sunan-nya no. 2738 dengan sanad yang hasan dan Hakim 4/265-266)
Allah berfirman: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3)
Asy-Syathibi berkata: Syariat datang secara sempurna dan tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, sesuai firman-Nya, ” Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Qs. Al Maidah : 3). (Al-I’tisham)
Berkata Asy-Syaukani: “Maka, sungguh apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mematikan Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana dengan pendapat orang yang mengada-adakan setelah Allah subhanahu wa ta’ala menyempurnakan agama-Nya? Seandainya sesuatu yang mereka ada-adakan termasuk dalam urusan agama menurut keyakinan mereka, berarti belum sempurna agama ini kecuali dengan pendapat mereka, ini berarti mereka telah menolak Al-Qur`an. Dan jika apa yang mereka ada-adakan bukan termasuk dari urusan agama, maka apa faedahnya menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari urusan agama?
Ini adalah hujjah yang terang dan dalil yang agung, tidak mungkin orang yang mengandalkan akalnya dapat mempertahankan hujjahnya selama-lamanya. Maka jadilah ayat yang mulia ini (Al-Maa`idah:3) sebagai hujjah yang pertama kali memukul wajah ahlur ra`yi (orang yang mengandalkan dan mendahulukan akalnya daripada wahyu) dan menusuk hidung-hidung mereka dan mematahkan hujjah mereka.” (Al-Qaulul Mufiid fii Adillatil Ijtihaad wat Taqliid hal.38)
Ibnu Al Majisyun berkata, “Aku mendengar Malik mengatakan bahwa barangsiapa membuat bid’ah dalam Islam yang DIANGGAP BAIK, maka ia telah menyangka bahwa Muhammad saw telah berkhianat kepada risalah, karena Allah berfirman, ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukkamu agamamu’. Apabila pada saat itu tidak ada agama, maka hari ini pun tidak ada agama selain agama Islam.” (Al-I’tisham oleh Imam As-Syathibi)
Ibnu Wadhah menceritakan, “Muadzin Madinah pada masa Malik menggunakan lafazh tatswib, maka Malik menyuruh seseorang untuk memanggilnya. Muadzin itu kemudian datang kepadanya. Malik kemudian berkata, “Apa yang kamu lakukan?” Aku ingin agar manusia tahu bahwa fajar akan terbit, sehingga mereka bangun,” jawab muadzin tersebut. Malik lalu berkata, “Jangan engkau lakukan itu. Jangan melakukan sesuatu yang baru di tempat kita ini, sesuatu yang dahulu tidak ada. Rasulullah SAW tinggal di negeri ini sepuluh tahun, kemudian Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka tidak melakukannya. Jadi, jangan melakukan sesuatu yang baru di tempat kita ini, sesuatu yang dahulu tidak ada.” Muadzin pun berhenti dari tatswib-nya. Setelah berlalu beberapa lama, muadzin itu berdehem di menara masjid ketika terbit fajar. Malik lalu menyuruh seseorang untuk memanggilnya. Setelah muadzin tersebut datang, Malik bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” la menjawab, “Aku ingin agar manusia tahu bahwa fajar akan terbit, sehingga mereka akan bangun.” Malik menjawab, “Bukankah aku telah melarangmu melakukan sesuatu yang baru, yang dahulu tidak ada?” la menjawab, “Engkau hanya melarangku dari melakukan tatswib.” Malik berkata, “Jangan kau lakukan.” Muadzin itu pun tidak melakukannya lagi. Setelah berlalu beberapa lama, muadzin itu memukuli pintu (ketika fajar akan terbit). Malik lalu menyuruh seseorang untuk memanggilnya, lalu ia berkata, “Apa yang kamu lakukan?” la menjawab, “Aku ingin agar manusia tahu bahwa fajar akan terbit, sehingga mereka akan bangun.” Malik menjawab, “Jangan engkau lakukan, jangan membuat sesuatu yang baru di tempat ini, sesuatu yang dahulu tidak ada.” (Al-I’tisham oleh imam Asy-Syathibi Al-Maliki)
ya persis seperti , pambagian tauhid yang tidak pernah diajarkan dan tidak pernah dicontohkan oleh Rosulallah SAW , adalah Bid`ah dolalah , meskipun dianggap baik oleh para pemeluknya.
semoga bisa bercermin.
Ilmu Tauhid = Ilmu Fiqh, sama2 ilmu yg menunjang dalam agama ini…? coba saja pelajari perincian tauhid menjadi rububiyyah, uluhiyyah dan asma washifat…?? ulama merincinya adalah dalam rangka memurnikan tauhid…, sama aja dengan pembagian hukum syariat: wajib, sunah, makruh….,
maaf mas , yang saya maksud bukan Ilmu Tauhid , tapi pembagian tauhid ala wahabi siapa yang perintahkan / contohkan …….? Nabi gak pernah tuh nyontohin apalagi nyuruh ngebagi Tauhid.
Tauhid yang diajarkan Rosulallah SAw dan Para sahabatnya sudah sangat murni gak perlu dibagi-bagi malah jadi kotor mas , Ikut Nabi aja pasti selamat.
seandainya perincian tauhid menjadi rububiyyah, uluhiyyah dan asma washifat atau pembagian itu baik pasti hal tersebut dah dilakukan sahabat / tabiin dan salaf yang sholeh yo ……..he he he wahabi memang aneh bicara bid’ah lantang namun malah melakukan bid’ah dholalah sendiri ……..hikhikhik…….
gan jangan membantah perkataan ulama besar apalagi imam besar dengan dongeng rakyat. menganggap parawali lebih baik daripada Rasulullah
Bacaan sholat pun ga pernah rosul bilang ini wajib, itu sunnah, bahkan dalam hukum fiqh…ga pernah beliau menyatakan adanya hukum makruh…, semua itu adalah hasil penelusuran para u’lama.
begitu juga perincian tauhid:
1. rububiyah = berkaitan dengan mengurus alam semesta, menciptakan rizki, dan lain2 itu hak Allah SWT, jadi barang siapa yg beranggapan ada yg mampu mengasih rizki selain Allah, maka dia melakukan kesyirikan
2. u’luhiyyah = berkaitan dengan ibadah itu hanya kepada Allah SWT, jadi barang siapa yg beribadah, berdo’a kepada selain Allah , maka dia melakukan kesyirikan.
3. asma’ dan sifat= berkaitan dengan nama dan sifat Allah SWT, kita wajib mengimani nama dan sifat Allah SWT yang tertera dalam Al Qur’an dan As-Sunnah,,, siapa yg tidak mengimani…maka dia tdk beriman bukan(alias tauhidnya dipertanyakan)…??
tidak ada yg salah sahabatku….???? itu semua untuk mempermudah, kita dalam bertauhid kepada Allah SWT dan itu ada diambil dari Al Qur’an dan As-sunnah, sama halnya dengan pembagian hukum dalam syari’at.
Intinya dalam tauhid ini: kita tdk cukup hanya mengakui Allah SWT sebagai Tuhan semesta Alam yg mengurus makhluknya, tapi harus juga melaksanakan ibadah hanya kepada Allah, beserta mengimani nama dan sifat Allah yg ada dalam Al Qur’an dan As-Sunnah.
yaaah , belum apa2 udah gak konsisten , bukankah setiap hal baru dalam Agama adalah Bid`ah……….?
dan kalian sering mengatakan : Abdullah bin Umar berkata: “Setiap bid’ah itu sesat meskipun DIANGGAP BAIK oleh manusia.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal ilas Sunan Al-Kubra I/180 no.191,
kenapa gak konsisten……?
setuju mas Ahmad Syahid ……..kalau konsisten bukan salapoy namanya …..
ya begitulah mas mamo , ciri ajaran yang tidak sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabinya , akan mengandung kontradiksi sebagai tanda ada yang salah dalam ajaran itu ,
dan jika dalam sebuah ajaran tidak ada kontradiksi adalah alamat jika ajaran tersebut sesuai dengan Kitab Allah dan sunnah Nabi SAW sebab tidak ada Ikhtilaf ( kontradiksi ) dalam dua sumber hukum tersebut
mohon jawab dulu ..salah ga perincian tauhid…??( itu diambil dan hasil analisa dari al qur’an , ga beda dg adanya hukum makruh yg hasil analisa dari as-sunnah (hadits)…), siapa yg ga konsisten sebenarnya..???
…, yang dimaksud hal baru/bid’ah itu adalah dalam perkara ibadah bro (hal2 yg baru dalam peribadatan), kalau dalam urusan duniawi …itu berbeda hukumnya kawan…,
coba kemukakan dalil dari Imam Syafi’i…tentang bolehnya tahlilan , terus waktunya 1,2,3,4,5,6,7 atao 40 hari…., yg jelas sya akan menghargai yg bermadzhab Imam Syafi’i kalau memang utuh mengikuti Imam Syafi’i…
terus terang sya bukan salafy…sya mah ahlusunnah wal jama’ah…, coba deh pelajari muhammadiyyah, persis, atau MMI, or Wahdah Islamiyyah…kalo memang agak alergi dg istilah salafy…, jangan dahului dg kebencian…tapi niatkan mencari kebenaran krn Allah SWT…
J
tolong konsisten itu pembagian bukan perincian (taqsim , bukan tafshil) dan pembagian itu salah dari banyak sisi.
anda keliru jika lafadz ” Fii amrina ” dalam hadist, anda artikan dengan Ibadah , amru rosul (perkara kami) lebih luas dari sekedar Ibadah.
ketika anda sudah membagi bid`ah menjadi 2 , bid`ah ibadah dan bid`ah dunia , maka sadarlah jika anda sudah tidak konsisten dengan pernyataan anda bahwa semua Bid`ah adalah sesat tanpa pengecualian.
Ya anda jg perlu konsisten, ketika anda menyetuji pembagian hukum dalam fiqh yg berdasarkan analisa dan pengkodifikasian oleh ulama, itu menjadi tdk masalah menurut anda…, kenapa mempermasalahkan perincian /pembagian tauhid yg juga berdasarkan analisis ulama yg intinya harus mentauhidkan Allah dalam hal pengurusana makhluk, dll, dalam hal ibadah dalam hal asma’ dan sifat Allah….?? coba analisis kembali…yg sya sampaikan diatas..ga ada yg salah toh…??
Bukankan ibadah itu segala perkara/urusan agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai bukti penghambaan kepada Allah (ubudiyah)..?? , apakah anda lupa ibadah itu bukan hanya ibadah mahdhoh(khusus), namun juga ibadah ghouru mahdhoh…bukan…???
Sya ga pernah membagi bid’ah ibadah dan bid’ah dunia. Semua bid’ah sesat itulah makna hadits rosul…(makna kullu bid’atun dhollalah, = kulli pada tolabul ilmi faridotun a’la kulli muslimin), namun untuk perkara dunia rosulpun dalam sabdanya antum a’lamu bihi.., perkara dunia yg menunjang terlaksananya ibadah/diniatkan karena Allah SWT..maka insya Allah akan bernilai ibadah. Namun jangan samakan dg tahlilan yg sudah mempunyaii waktu dan tatacara tertentu,..ini menjadi mahdoh(khusus)…dan inilah yg dikritisi oleh sebagian umat islam, kenapa…??karena hak memerintahkan ibadah maupun tatacaranya hanyalah hak Allah SWT.., ini yg dikhawatirkan sebenarnya…,sehingga kita bukan ingin memerangi saudara sendiri…namun kita ingin menyampaikan mari mengikuti teladan rosulullah SAW…semampu kita…,
Apalagi kalau mengaku2 kalau madzhab imam syafii itu memang harus tahlilan…, ga ada itu kawan…., sya pun sangat menghargai para imam madzhab…, meskipun ada yg membagi bid’ah menjadi hasanah dan dholalah, ternyata…yg dimaksud bid’ah hasanah menurut mereka itu adalah banyak perkara dunia yg menunjang tegaknya agama ini (dan ini menurut ulama lainnya bukanlah bid’ah yg dimaksud dalam hadits rosul). Adapun tahlilan dg tatacara dan waktu tertentu…bukanlah termasuk kedalam bid’ah hasanah versi imam syafi’i…, kalau ada legalitas /fatwa dari beliau tentang bolehnya tahlilan, 1-7 hari, 40 hari 100 hari…bolehlah itu dikatakan bid’ah hasanah menurut imam syafii…(tapi ga akan ada bukan…??), ya karena beliau berbeda dg kalangan yg menganggap tahlilan sbg bid’ah hasanah.
Anda tahu…sholat berjama’ah dimesjid hukumnya menurut imam syafi’i adalah sunnah mua’kkad…????
Menurut Imam nawawi…??? fardlu kifayah
Sedangkan menurut ulama ibnu taimiyyah, ikhwanul muslimin, dll———> adalah fardlu’ain….???
wa aqimussholata, waatuzzakata, warkau’ maarrokiin ( hukum sholat wajib, zakat wajib, ruku beserta org2 yg ruku…?? anda yg pasti faham bahasa arab…, pasti akan sepakat bahwa rukulah beserta orang2 yg ruku dalam ayat tersebut hukumnya adalah wajib) apa yg dimaksud ruku beserta org2 yg ruku itu…??? ya…itulah sholat berjamaah , (dalam haditsnya justru ada keringanan dalam kondisi tertentu)
berbeda dg Imam Syafi’i bukanlah berarti dosa/durhaka/sesat…, tidak benar sama sekali…, dan jika ada dalil yg lebih shahih, maka apakah kita tetap mempertahankan pendapat imam madzhab…???? ini lah yg perlu difahami..sehingga kita tdk akan fanatik dalam madzhab tertentu maupun kelompok tertentu…
perkataan anda : Ya anda jg perlu konsisten, ketika anda menyetuji pembagian hukum dalam fiqh yg berdasarkan analisa dan pengkodifikasian oleh ulama, itu menjadi tdk masalah menurut anda…,
al-hamdulillah berarti anda sudah mengakui jika anda tidak konsisten , dan ketika anda meminta saya juga untuk konsisten , itulah bukti jika anda tidak konsisten.
perkataan anda :
kenapa mempermasalahkan perincian /pembagian tauhid yg juga berdasarkan analisis ulama yg intinya harus mentauhidkan Allah dalam hal pengurusana makhluk, dll, dalam hal ibadah dalam hal asma’ dan sifat Allah….??
karena saya ingin anda konsisten dengan keyakinan dan pemahaman anda tentang hadist ” Kullu Bid`atin dolalah “. menurut kaum wahabi hadist ini umum muthlaq tidak ada takhshish , saya beranggapan anda mas hery ikut dengan pemahaman model ini. mohon untuk terus terang.
perkataan anda : ketika anda menyetuji pembagian hukum dalam fiqh yg berdasarkan analisa dan pengkodifikasian oleh ulama, itu menjadi tdk masalah menurut anda…,
itulah bukti jika saya konsisten dengan keyakinan dan pemahaman saya terhadap hadist Kullu Bid`atin dolalah , bahwa hadist ini umum muthlaq yang terkena takhshish.
jika mas heri mengikuti pemahaman kaum wahabi tentang hadist kullu bid`atin dolalah , maka mas hery akan mempunyai keyakinan dan pemahaman yang kontradiktif , dan itu alamat , ada yang salah dengan cara anda memahami , pemahaman kondtradiktif merupakan alamat , jika faham itu tidak sesuai dengan qur`an dan Hadist.
mengenai pemahaman anda yang keliru tentang ” Fii amrina ” yang anda fahami / diartikan dengan Ibadah , adalah keliru karena itu merupakan distorsi terhadap makna Agama , yang benar adalah fii amrina = fii diinina ,(agama kami) , Agama Rosul (islam ) setidaknya membawa 5 hal , 1. tentang Tauhid dan keimanan , 2. ttg ubudiyah atau Ibadah ,3. tentang hukum , 4 . tentang amaliyah atau muamalat , 5. tentang kamalat dan prilaku ,
point diskusi kita masih seputar hadist kullu Bid`atin dolalah , tolong jangan dulu melebar , biar fokus point perpoint.
Perlu kita ingat selalu yang dilarang adalah bid’ah dalam “urusan agama” dan sunnah sayyiah
Bid’ah dalam “urusan agama”
Apakah agama ?
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in yang ketiga puluh)
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatkan dari surga” = perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)
Telah sempurna agama Islam maka telah sempurna atau tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang didiamkanNya atau dibolehkanNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)
Jadi bid’ah dalam “urusan agama” adalah mengada-ada larangan yang tidak dilarangNya , atau mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Sedangkan perbuatan di luar “urusan agama” adalah yang disebut dengan kebiasaan (adat)
Segala perkara dalam kebiasaan (adat) berlaku kaidah ushul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan (adat) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkannya dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Maksudnya adalah “segala kebiasan (adat) atau segala perkara yang telah didiamkanNya atau segala perkara di luar perkara syariat (diluar dari apa yang telah disyariatkanNya) selama tidak melanggar satupun laranganNya atau selama tidak ada laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits serta ijma dan qiyas maka hukum asalnya adalah mubah (boleh). Perubahan hukum asalnya tergantung jenis perbuatannya.“
Jika perbuatan tersebut menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas maka bid’ah dalam kebiasaan (adat) tersebut adalah sunnah sayyiah atau contoh yang buruk dan termasuk bid’ah dholalah.
Jika perbuatan tersebut tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas maka bid’ah dalam kebiasaan (adat) tersebut adalah sunnah hasanah atau contoh dalam kebaikan dan termasuk bid’ah hasanah
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan batasan bagi kaum muslim yang akan melakukan perbuatan di luar perkara syariat (di luar dari apa yang disyariatkanNya) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyelahi pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Saya mau tanya, apakah benar semua bid’ah itu sesat? Apakah benar makna kata “kullu” dalam al-Qur’an itu berarti “semua tanpa kecuali”?
Karena kenyataannya kata “kullu” dalam al-Qur’an bisa berarti “sebagian besar”. Karena ada ayat2nya di dlm al-Qur’an yg mengartikan kata “kullu” ini dgn arti “sebagian besar”.
Jadi kata “kullu bid’atin dholalah” bisa diartikan pula bahwa “sebagian besar bid’ah itu sesat”.
Bagaimana dengan hadist ;
“Barangsiapa yg melakukan bid’ah dholalah, maka ia masuk neraka”
Kalau gak salah dr Muslim (kalau gak salah).
Kalau baca hadist di atas, berarti kalau melakukan bid’ah hasanah nggak masuk neraka dong ya…???
Logikanya, kalau ada bid’ah dholalah berarti ada bid’ah hasanah…betul nggak???
Mohon izin komentar :
Kalau yang bilang “SEMUA BID’AH SESAT” harusnya mengakui “Tauhid Tiga” adalah bid’ah sesat karena tidak dicontohkan Nabi. Tapi kalau yang mengaku ada bid’ah hasanah,maka pembagian hukum fiqih adalah bid’ah hasanah. Demikian juga,dengan “Tauhid Tiga”, kalau dia sesuai dengan Qur’an dan sunnah, maka bid’ah hasanah. Kalau tidak sesuai dengan Qur’an dan sunnah maka bid’ah sesat. Tapi kalau “SEMUA BID’AH SESAT”, ya harus konseskuen akui “Tauhid Tiga” SESAT, karena PEMBAGIANNYA bukan dari Nabi, Sahabat dan para sahafussholeh. Mohon maaf kalau ada yang salah
mas Bima ………..itu kan kalau salapoy konsisten ……..hikhikhik …..
Mas zon numpang nimbrung dikit ….ya
bahasan ini menarik sekali,tapi saya bingung karena mbuleti seperti mbako enak…hehehe (nyantai mas guyon) semua argumen yang disampaikan masing-masing merasa paling benar,begini saja mas2 ada satu pertanyaan buat diri kita apakah kita sudah menjalankan perintah ALLOH dan melaksanakan apa yang dicontohkan ROSUL ?mari sejenak kita merenung dan intropeksi diri daripada saling menyalahkan apa yang dilakukan oleh orang lain,masih banyak hal yang harus kita lakukan selain berdebat menurut kebenaran masing-masing,ISLAM adalah rokhmatan lil alamin yang berarti menaungi alam semesta dan seisinya,jika para penganutnya kemudian saling merasa paling benar dari yang lain,yang jadi prtanyaan juga bagi saya apakah Rosul juga mengajarkan hal seperti itu ? Sungguh Maha Luas ilmu ALLOH dari pada pengetahuan kita…..kita tidak kan pernah bisa untuk mencapainya kecuali ata ijinNYA
Jadi buat saudaraku muslim semua….alangkah baiknya sekiranya kita pahami cuplikan ayat ini :
“jagalah dirimu dan ahlimu dari api neraka”, ALLOH dengan jelas memerintahkan diri kita masing-masing untuk menjaga dari perbuatan yang menyebabkan kita terbakar oleh api neraka….kemudian ke ahli kita siapa ? yaitu orang-orang terdekat kita(keluarga).Masalah tahlil dan lain sebagainya biarkan saja ndak usah di anggap neko-neko,belum tentu apa yang kita lakukan sehari hari persis meniru Rosul…amal perbuatan kita juga masih banyak menyimpang dari kaidah keISLAMAN, jadi sebaiknya simpan energi kita untuk hal hal yang baik untuk bekal kelak pada waktunya apabila kita menghadap SANG PENCIPTA (alias mati….ti) apa yang sudah kita persiapkan dari sekarang…..mari sama sama kita renungi
Maaf……ya ndak bermaksud ngajari
Wassalam
Yup mas Gareng, terima kasih atas apa yang mas sampaikan.
Namun satu hal yang perlu kita ingat bahwa mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya adalah termasuk perbuatan menyekutukan Allah
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Telah menceritakan kepadaku Abu Ghassan Al Misma’i, Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Basyar bin Utsman, teks milik Ghassan dan Ibnu Al Mutsanna, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam telah menceritakan kepadaku ayahku dari Qatadah dari Mutharrif bin Abdullah bin Asy Syakhir dari Iyadh bin Himar Al Mujasyi’i Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda pada suatu hari dalam khutbah beliau: Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Andaikan kaum muslim yang menyelenggarakan sedekah tahlil (tahlilan) akan masuk neraka kalau diyakini sebagai bid’ah dholalah tentulah Majelias Ulama Indonesia telah memperingatkannya
Adakah fatwa al imam as-syafii tentang melakukan tahlilan setiap tg 1-7, 40, 100, 1000 hari setelah org meninggal….??? pemahaman mengenai kullu bid’atun dholallah……tdk hanya salafy .., juga oleh muhammadiyyah, MMI, Wahdah Islamiyyah, Ikhwanul Muslimun..dan lainnya.
Justru memerintahkan tatacara ibadah yg tidak diperintahkan oleh rosulullah SAW…, hal ini buat saya pribadi sangat khawatir…lancang terhadap syari’at. tapi kalau sahabat2ku nda sependapat…ya..tidak apa2…., kita pertanggungjawabkan masing-masing..
Di dalam riwayat Imam Muslim dinyatakan, “Barangsiapa yang melakukan suatu AMALAN yang bukan termasuk urusan kami (agama), maka ia tertolak.”
Jadi konteksnya Amalan, silahkan saja terjemahkan AMalan itu sperti apa…???
Konsisten itu artinya: kalau adanya hukum makruh sebagai bagian dri ilmu fiqh, dan perincian tauhid sebagai bagian dari ilmu tauhid…maka ini sama…ini dua2nya ilmu yang dlandaskan Al Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan analisa u’lama.
sya tidak menyebutnya ilmu fiqh sebagai bid’ah, itu sebagai ilmu, perkara yg menunjang tegaknya suatu yg wajib…maka wajib pula bukan perkara tersebut…???
begitu juga dg ilmu tauhid…
al-hamdulillah anda sudah mulai benar , dengan mengartikan ” urusan kami ” dengan agama , hadist riwayat sayidatina Aisyah itu datang dengan dua redaksi 1. man `amila…… 2. man ahdasta….
konsisten itu jika anda mengatakan semua Bid`ah ( perkara baru ) adalah sesat , maka ya semua perkara baru adalah sesat seperti pembagian Tauhid , seperti dakwah melalui internet , pake motor , pake mobil , handphone dll , jika anda sudah mulai mengatakan oooh tidak ….., pake mobil motor hp gak termasuk , ya berarti anda sudah tidak konsisten.
lil wasail hukmul maqasid itu benar , hanya saja maksud yang baik belum tentu benar , ya seperti pembagian Tauhid ini.
sebenarnya jika tdk sepaham dengan topik yg dibicarakan jangan memaksakan kehendak. toh materi ini dibuat untuk memberikan informasi bahwa hal ini diperbolehkan sepanjang tidak ada larangan2 dari ALLOH SWT malah justru memberikan kebaikan (sodaqoh, sholawat, melantunkan ayat2 suci alqur’an, hub. antar manusia dll). untuk itu masing2 aja lah, islam itu tdak mati, tidak kering, perbanyaklah amal dan pahalamu selagi didunia..terima kasih untuk mutiarazuhud.
TAHLIL secara umum adalah bentuk kepedulian terhadap sesama muslim yang sedang mengalami musibah,disitu juga ada nilai kebaikan itu menurut pandangan saya sebagai orang awam yang mengartikan bahwa islam adalah ROKHMATAN LIL ALAMIN…dan jaminan surga telah diberikan oleh ALLOH bagi orang orang yang bertaqwa dan berbuat baik,kan begitu to mas…….?
Alkhamdulillah sekarang banyak kaum muslimin banyak yang hafal ayat per ayat juga paham hadist hadist yang soheh,tapi yang terjadi dan berkembang sekarang ini kok tidak seperti apa perintah ALLOH dan yang dicontohkan ROSULNYA yang punya predikat USWATUN HAZANAH…kenapa ? Padahal di zaman akhir sekarang ini dajjal sudah menampakan dirinya dalam wujud yang beragam mari pelajari dan amati perubahan waktu detik demi detik menit demi menit dan seterusnya…dan seterusnya,tanpa kita sadari kita sudah memasuki skenario dajjal yang begitu hebat sucikan diri bersihkan hati adalah lebih utama dari pada kita harus perang urat syaraf yang akhirnya kita menjadi lalai akan tujuan hidup dan hakekat hidup yang sesungguhnya……manusia punya takdir sendiri sendiri kita tidak akan pernah tau apakah kita nanti masuk surga ataukah nanti masuk neraka…hanya ALLOH lah yang tau.
Ayat dan hadist bukan hanya dibaca dan dihafal saja dan digunakan untuk saling menyerang yang lain….tapi dilakukan dan diperbuatkan dalam kehidupan sehari hari selama kita masih bernafas .
Saudaraku….kita semua belum tentu ada jaminan surga semua masih berproses menuju kesana sekelas ustadz,kyai,habaib sekalipun……jadi kita tidak berhak atas apa yang dilakukan orang lain bahwa itu tertolak tidak diterima dlsb…….MAHA SUCI ALLOH…………………………………………
Biarlah yang bertahlil,biarlah yang berqunut,biarlah yang berdzikir sambil menari-nari,dan biarlah yang tidak melakukan hal tersebut…jadikan itu semua sebagai tolak ukur keimanan kita masing sampai sejauh mana kita memahami Islam dan mengenal ALLOH SWT.Dengan mengenali diri sendiri kemudian mengenal ALLOH jauh lebih dalam maka kebeningan hati kita akan selalu terjaga…………amin…ya ROBBAL ALAMIN
ISLAM = KEDAMAIAN SELURUH UMAT
Wassalam
Menurut anda apa itu amalan….??? dalam hadits : man a’mila a’malan alaisa a’laihi amrunaa fahuwa roddun…?? “barang siapa yg melakukan amalan yg tidak kami perintahkan maka tertolak” ………..???
anda tau sholat itu ada makna secara bahasa dan secara syari’at….??? sholat menurut mana yg anda lakukan setiap hari…??? secara syari’at bukan….???? sya yakin bukan melakukannya secara bahasa(hanya berdo’a saja)
Begitu juga dg bid’ah :
secara bahasa : ya smuanya baru , handphone, pesawat terbang, dan smua perkara duniawi…
namun bukan ini yg dimaksud dalam syari’at (sesuai hadits: smua bid’ah adalah sesat), tentunya makna bid’ah secara syari’at.
apanya yg tidak benar dg pembagian tauhid….???, apakah hukum makruh itu ada dari rosulnya…???
tahlilan ya sya akui niatnya bagus—-> namun tidak cukup niat bagus dalam ibadah ini, namun harus mengikuti teladan rosulullah SAW bukan….?? Bagaimana sebenarnya kalau rosulullah SAW bertakziah kepada keluarga yg ditinggalkan….?? kenapa kita tdk mau mencontohnya…?? (bukankah dalam haditsnya, barang siapa yg tidak menyukai sunnahku maka bukan umatku…??) anda tau pasti makna sunnah itu bukan hukumnya sunnah, tapi jalan hidup/petunjuk rosulullah/al hadits.
Apakah anda mengiuti imam syafi’i dalam tahlilan…??? imam syafi’i sangat faham betul bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah yg beliau maksud, dan beliau tidak pernah memasukan tahlilan 1-7 hari, 40, 100, 1000 hari termasuk dalam bid’ah hasannah yg beliau maksudkan. Jadi sebenarnya, kalau memang konsisten…ya tetap ikuti 100% madzhab imam syafi’i.
@mas Hery..setuju pisan..I agree with you
kita hanya bisa berdo’a aza
اللهم لا تؤاخذني بما يقولون واغفر لي ما لا يعلمون
“Ya Allah, semoga Engkau tidak menghukumku karena apa yang mereka katakan. Dan ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 761 – dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad, hal. 284 no. 585; Maktabah Ad-Daliil, Cet. 4/1418].
Mas Hery, mudahnya begini saja.
Andaikan kaum muslim yang menyelenggarakan sedekah tahlil (tahlilan) akan masuk neraka , mengapa Majelis Ulama Indonesia tidak memperingatkannya ? Apakah Majelis Ulama Indonesia tidak tahu atau lupa ?
mas mutiara suhud
kenapa ya banyak parbedaan pandangan yang sebebetulnya justru tidak membawa kebaikan malah sebaliknya berdampak tidak baik bagi aqidah..
satu kelompok menasbihkan pendahulunya sebagai ahli kitab,ahli tafsir dan ahli menjalankan ibadahnya dan siapa pula dari ke 4 mazhab yang ahli surga sedangkan pandanganya juga berbeda……dan ada dimana arti QOLBUUN SALIIM menurut pandangan islam…
Terima kasih kpd mutiara zuhud blog nya banyak mengandung pencerahan
hehehe…ayo mas sambil ngopi
amalan itu ada 3 , amalan qolbi , amalan lisan , dan amalan badan ,
mengenai definisi Bid`ah yang terbaik adalah definisi yang disampaikan Imam as-syafi`i , dan itu merupakan Hasil Ijtihad yang luar biasa , sehingga siapapun yang mencoba menyelisihi definisi Bid`ah karya Imam As-syafi`i , akan terjatuh dalam kontradiksi yang parah , siapapun yang mencoba memalingkan definisi karya Imam syafi`i meskipun dengan cara membelokkan maksud dengan bid`ah bahasa akan terjatuh dalam masalah yang besar , seperti kaum wahabi yang mencoba membelokkan definisi Imam syafi`i soal Bid`ah , terjatuh dalam Bid`ah pembagian Tauhid yang jelas bertentangan dengan Qur`an dan Hadist.
Maaf mas hery ya….ada pertanyaan mas hery yanag bunyinya begini
“sholat menurut mana yang anda lakukan setiap hari” tentu jawabanya adalah menurut syariat yang telah di contahkan beliau ROSUL kan begitu,dan itupun tidak cukup sampai disitu karena perjalanan dari waktu sholat ke sholat yang lainya juga butuh implementasasi dalam menjalankanya dan isi kandungan sholat tidak melulu di syar’i saja…kira2 begitukah..? klo kita pelajari lebih dalam lagi kenapa 4 mazhab berbeda paham padahal beliau juga adalah generasi dekat ROSULULLOH…dan sama2 sumbernya Alquran dan Al-hadist..?sementara generasi yang jauh dibawahnya berpendapat seakan akan sudah sesuai menjalankan kemurnian dalam beribadah….?Aqidah dan keyakinan yang hakiki adalah ketika pemeluknya merasa dekat dengan sang KHOLIQnya dan merasakan interaksi dan berdialog denganNYA,karena hakikat sholat juga tidak sebatas untuk menggugurkan kewajiban saja disitu terkandung FIILLAH,LILLAH,BILLAH yang harus kita kerjakan di semua lini kehidupan kita…. jadi inti sholat adalah menutup semua urusan yang berhubungan dg duniawi dan menyatukan seluruh jiwa dan raga untuk berinteraksi dan berdialog dengan sang KHOLIQ…….sudahkah kita melakukanya….?
Lalu saya bertanya ke mas hery,sholat seperti apakah pula yang mas hery lakukan,dan thaharoh seperti apa juga yang mas hery kerjakan..?
maaf beribu maaf bukan bermaksud apa2…hanya sedikit share tentang sholat
selanjutnya mazhab siapa yang mas hery jadikan rujukan,lalu kemudian bagaimana mazhab mazhab yang lainnya………saya harap penjelasanya tidak melenceng dari topik tapi logis dan beraqidah,…….
Kemudian masalah tahlil seperti yang pernah saya sampaikan bahwa disitu ada nilai kebai’kan,baik dari sisi dakwah maupun sisi kemanusiaan sisi dakwahnya adalah kita selalu dIingatkan akan kematian sehingga kita bisa selaLu mengingat ALLOH sisi kemanusiaanya kita saling bersilaturahmi mengenal masing2 individu secara lebih dekat dan kekeluargaan….karena fenomena sekarang ini banyak yang tidak mengenal tetangga dekatnya sendiri lihatlah dengan mata hati betapa kehidupan kota besar terutama diperumahan2 banyak penghuninya tidak saling mengenal karena sikap individulismenya……apakah islam juga mengajarkan seperti itu…? ltukah yang kita inginkan dengan mengatakan bahwa tahlil itu bid’ah….tapi itu sudah menjadi SUNATULLOH,DIA menciptakan kesemibangan di alam semesta ini dan diperuntukan bagi orang2 yang mau berpikir dengan kebeningan hati dan jiwa mereka,dan beruntunglah bagi mereka yang karena tidak termasuk kedalam golongan yang merugi mari sama sama kita baca dan kita renungi isi dan makna surat AL-ASR…..
MAHA BENAR ALLOH…..
wassalam
Mas Yudi : Smoga kita smua dan para pembaca mendapat hidayah Allah SWT..amin..
Mas Zon : sya mah ga mengatakan yg melakukan tahlilan akan masuk neraka, yg tahu kita mau masuk surga atau masuk neraka itu Hak Allah. Kita hanya berusaha menjalankan agama ini sesuai Al Qur’an dan As-Sunnah semampu kita.
MUI isinya beragam, dan Indonesia bukan negara berdasarkan syariat Islam. Tidak salah kalau kita mengetahui/mengikuti fatwa ulama luar negeri (mesir/arab saudi/negara lainnya). sya pernah menyimak salah satu ketuanya KH Ma’ruf Amin dia berkata bahwa pernah belajar kepada Syaikh Abdul Aziz bin abdullah Bin Baz…namun menyikapi tahlilan beda juga…, sya melihatnya lebih menjaga kemaslahatan/persatuan..shingga ya sepakat ya jalankan yang ngga ya ngga usah. yg NU ya..Nu, yg muhammadiyyah ya muhammadiyyah…, Dalam konteks sharing disini kita ingin mengetahui sebenarnya kenapa terjadi perbedaan, dan kita disini mencoba berpendapat menurut dalil dan pemahaman masing2, bukan menganggap diri masing2 lebih benar. Namun kita berusaha menyampaikan ilmu yg kita yakini benar, kalau memang ada perbedaan kita kembalikan ke Al Qur’an dan As-sunnah.., ya mudah2an ini adalah salah satu media pembelajaran. dengan begini insya Allah umat islam akan mau belajar, dan tidak hanya manut manut aja..tanpa mengetahui dalil. Dan akhirnya terserah masing2, kewajiban kita hanya menyampaikan, sedangkan taufik itu datangnya dari Allah SWT.
Ahmadsyahid:
kita tahu tujuan kita diciptakan itu apa…?? ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (adz-dzariat ayat : 56), Ibadah menurut bahasa adalah merendahkan diri serta tunduk , sedangkan menurut syara’ adalah sebutan yg mencakup seluruh apa yg dicintai dan dirihoi Allah SWT baik berupa ucapan/perbuatan, yg zhahir maupun batin. Ya amalan atau ibadah itu dibagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan.
jadi amalan dalam hadits tersebut maknanya adalah ibadah. jadi hadits tentang sesuatu yg baru itu maknanya dalam ibadah(termasuk didalamnya keyakinan/ibadah hati, ucapan, maupun perbuatan).
Syarat diterimanya ibadah : 1. Ikhlas,(merupakan konsekuensi syahadat laailaha ilallah) 2. Ittiba’ (sesuai tuntunan Rosulullah SAW)/ merupakan konsekuensi syahadat muhammadurosulullah).
Hak Pembuatan Syariat(Tasyri’)/hak memerintah dan melarang itu adalah Hak Allah SWT. Sehingga sya pribadi khawatir, kalau kita membiasakan memperingati 1-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dengan metode tertentu, ini masuk kedalam melibatkan diri pada hak Tasyri, dan tidak mengikuti petunjuk rosulullah SAW (sunnah rosul dalam takziah ) sedangkan dalam haditsnya”barang siapa yg tidak menyukai sunnahku maka bukan umatku, dikhawatirkan kita lebih mneyukai cara yg lain, dari pada sunnah nabi kita sendiri…. , disis lain…hal ini dikhawatirkan menyerupai kaum hindu/budha. Mohon maaf ya…,kenapa orang2 banyak yg anti trhdp tahlilan—> karena hal ini saudaraku…, tapi kalau memang tdk sepakat…ya sudah..tdk mengapa…
perincian/macam2 tauhid merupakan analisa dari Al Qur’an samahalnya dg ilmu fiqh:
1. Tauhid rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yg dikerjakan Allah, baik mencipta memberi rizki, yg menghidupkan dan yg mematikan.
” Ingatlah menciptakan dan memerintahkan itu hanyalah hak Allah……(Al-Araaf: 54)
syetan pun mengakui Allah sebagai penciptanya…??ya karena dia pernah diperintah langsung oleh Allah,
begitu juga kaum musyirikin mengakui bahwa pencipta langit dan bumi itu Allah (Yunus 31-32/azzukhruf : 9).
Namun mengakui Allah sebagai pencipta, tidak lah cukup, namun kita harus juga menyembah hanya kepada Allah (ibadah hanya kepada Allah). dan inilah tauhid uluhiyyah itu
2. tauhid Uluhiyyah , artinya mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba , yg dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyariatkan oleh-Nya, (menyembah/beribadah hanya kepada Allah dengan tidak menyekutukannya dg sesuatu apapun).
Al ilaah= al ma’luh yaitu sesuatu yg disembah dg penuh kecintaan dan keagungan.
dalilnya :
” Wamaa umiruu illa liya’budulloha mukhlisiina lahuddiin” , dan ayat lainnya.
Orang2 yg ikhlas, jelas beribadah hanya kepada Allah, dan pasti mengakui Allahlah sebagai satu2 pencipta, pemberi rizki,dst (tauhid rububiyyah)
3. Tauhid Asma wa Shifat
Ahlusunnah menetapkan apa2 yg Allah dan Rosul-Nya telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu berupa Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah dan mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rosul-Nya.
Kita wajib menetapkan Sifat2 Allah baik yg terdapat dalam Al Qur’an maupun dalam As-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil.
AL Walid bin Muslim pernah bertanya kpd Imam Malik, Al Auza’i, Al-Lait bin sa’ad dan Sufyan at-Tsauri tentang berita yg datang mengenai sifat2 Allah, mereka semua menjawab :
“Amirruuhaa kamaa jaat bilaakaifa” ” perlakukanlah seperti datangnya dan janganlah engkau persoalkan(jangan engkau tanya ttg bagaimana sifat itu).
ini artinya ayat2 sifat wajib diyakini sebagaimana dia datang, dan ga usah ditanyakan bagaimana cara, bentuk dan lainnya.
jadi saudaraku, perincian tauhid dibagi 3 itu hasil analisa ulama terhadap AL Qur’an, jadi sama saja dengan ilmu fiqh.
kalau tetap dg imam syafi’i ya silahkan saja, namun sekali lagi, apakah imam syafii memfatwakan tentang bolehnya tahlilan 1-7 hari, 40 hari, 100 hari dst…???, sya kira bid’ah hasanah yg dimaksud imam syafi’i itu adalah bid’ah secara lughowi bahasa menurut ulama yg mengklasifikasikan hanya ada 1 bid’ah, sebagaimana haditsnya. Kalau kita cermati justru ada hadits tentang sunnah hasannah dan sunnah sayyiah, nabi justru menyampaikan hal itu, sedangkan ttg bid’ah..ga ada hadistnya yg membaginya mnjadi dolalah dan hasanah. Berbeda dg imam syafi’i tidak akan berdosa, tetapi kalau berbeda dg rosulullah SAW..ini menurut saya..yang perlu dicermati…
Mas gareng: insya Allah saya berusaha mengikuti tuntunan rosulullah SAW semampu saya dalam menjalankan agama ini, kita sebagai manusia tidak luput dari kekurangan maupun kesalahan. Namun kita dituntut untuk terus menerus belajar sampai liang lahat. Prinsip saya, ulama itu tidak terbatas kepada imam madzhab, banyak juga ulama ahlul hadist, ahlul tafsir, dsb…kalau mas gareng bermadzhab imam syafi’i..ya silahkan saja. Menjadi orang yg beriman, yg melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, merupakan dambaan kita smua, dan kita smua berusaha mengarah kesana.
Kewajiban kita sesama muslim adalah saling mengingatkan, dan hanya menyampaikan, sedangkan hidayah itu kewenangan Allah SWT. Jika banyak kesalahan saya silahkan dikasih koreksi/masukan, sya sangat berterima kasih.
Perkara ibadah khusu’ sya tidak berani mengatakan saya sudah khusu’, namun saya hanya berusaha semampunya menjalankan sesuai syari’at Islam. Kalu mas gareng sudah mampu dan terus menerus khusu..dan mampu menjalankan/implementasikan dalam kehidupan sosial…alhamdulillah, sya ikut bahagia…mudah2an..mas gareng bisa menularkan ilmunya kepada saya.
Mengenai tahlilan ya sya sepakat dalam hal sosial banyak sekali kebaikannya, namun prinsip saya..nilai sosial bukan menjadi satu2nya indikator tentang nilai suatu perkara khususnya ibadah. sebagai contoh: kita diajak makan siang oleh kaum nasrani/teman lainnya yg islam dalam keadaan puasa, secara sosial demi menjaga persahabatan maka apakah kita harus mengikuti ajakan mereka…?? jadi menurut hemat saya ada hal2 pokok yg menjadi prinsip agama yg perlu kita jaga. Kalau tahlilan banyak fungsi sosialnya…sebenarnya bisa kita alihkan untuk menjaga silaturahmi antar tetangga, baik dengan kerja bakti, gotong royong, dan kegiatan positif lainnya. Sehingga dg demikian hubungan sosial akan tetap terjaga.
jadi hemat saya, mengenai tahlilan itu..ada hal2 prinsip yg perlu kita pegang. Islam sudah pasti telah menjelaskan bagaimana takziah itu…?. Namun mengenai peringatan 1-7 hari, 40 hari, 100 hari, hal tersebut menurut hemat saya…masuk kedalam suatu perkara yg awalnya adalah kebiasaan, namun telah menjadi seperti syari’at…/ajaran yg dibawa oleh Rosulullah SAW..,padahal rosulpun tidak mengajarkan hal tersebut, ” barang siapa yg melakukan amalan yg tidak kami perintahkan maka tertolak”. dan banyak lagi dalil lainya. Ini pendapat sya, kalau mas gareng……….tetap yakin tahlilan itu tdk msalah..ya silahkan saja…, kewajiban kita belajar terus menerus. Prinsip saya, sya belajar kepada siapa saja asalkan sesuai dg al qur’an dan as-sunnah/hadits, jadi seandainya NU mengeluarkan fatwa dan fatwanya sesuai AL Qu’ran dan As-SUnnah..maka wajib kita ikuti, begitu juga ormas/manhaj lainnya jika benar fatwanya..maka wajib kita ikuti, …, sya slalu berusaha mencari kebenaran…dg demikian sya tidak membenci sesama islam ..karena kita smua bersaudara shg harus saling mengingatkan dlm kebaikan. Imam syafii pun pernah dituduh rafidhoh, namun beliau katakan bahwa jika rafidoh itu adalah yg mencintai ahlul bait, maka saksikanlah bahwa aku adalah rafidoh. Jadi prinsip saya mempelajari islam, sya tdk didahului dg kebencian terhadap manhaj/madzhab/golongan tertentu…dan sebagai muslim kita harus crosscek tentang informasi sepihak dari golongan tertentu yg menyudutkan golongan tertentu itu. Dan kita tetap berusaha bersungguh2 mencari kebenaran, dg harapan mudah2an Allah SWT menunjukan jalan-Nya. (Wain jahaduu fiina lanahdiyannahum subulanaa). Wass. mhon maaf jika ada kata yg kurang berkenan…:-)
Alkhamdulillah…wa syukurillah
Mas Hery :melihat dan mencermati suatu perkara memang harus dengan kebeningan hati dan kebersihan jiwa…insya ALLOH..amien
sedikit mengomentari pernyataan mas hery bahwasanya tulisan saya tidak ada yang berbunyi saya sudah melakukan ibadah dengan khusyu’ itu yang pertama…artinya point prtama bahwa nilai ibadah hanya ALLOH yang tahu dan yang berhak menilainya.Ini terkait dengan pertanyaan mas hery kepada saya.(tlg direview kembali spy tidak terjadi salah paham tanggapan mas Hery)
berikutnya pertanyaan saya belum mas hery jawab dan di uraikan,begini tulisan saya dari ke 4 mazhab kemudian setelahnya bermunculan ahli tafsir kenapa berbeda beda pandanganya sedang sumbernya satu AL-QURAN DAN AL-HADIST…dan seterusnya munculah generasi baru sampai generasi berikutnya yaitu generasi sekarang yang juga hampir sama dengan generasi pendahulunya didalam melihat dan menilai suatu ibadah contoh tahlil adalah bid’ah…dan terlebih lagi setiap bid’ah itu sesat…maaf sekali lagi maaf…..
kemudian selanjutnya contoh yang diberikan mas hery mengenai hubungan sosial terhadap sesama manusia,dalam hal ini seorang teman dan beragama lain mengajak kita untuk makan siang padahal teman muslimnya sedang berpuasa…..contohnya apa ndak kurang pas mas hery…point kedua
selanjutnya mengalihkan kegiatan tahlil dengan gotong royong semisal kerja bhakti…maaf.. tlg mas hery cermati disekitar kita bagaimana kegiatan gotong royong kerja bhaktinya orang enggan datang bahkan diganti dengan uang,rokok dlsbnya itu fenomena apa…?karena nilai nilai kebaikan sudah agak bergeser…tahlil juga dilakukan tidak hanya pada acara kematian ada rutinitas..berjangka semisal malam jumat dimana disitu juga dibicarakan masalah masalah yang berhubungan dengan syiar Islam…
Sudah jadi kewajiban setiap muslim dan muslimat didalam menuntut ilmu tidak berbatas usia tetapi menuntut ilmu sampai keliang lahat itu betul…ada persepsi yang saya kurang sependapat kalau tahlil menurut mas hery hal yang biasa kemudian oleh kaum yang menjalankan tahlil jadi syari’at….kalau menurut saya itu bentuk ibadah kebaikan saja,yang mau melakukan silahkan yang tidak ya ndak apa2…kan begitu ? karena yang menilai suatu ibadah kebaikan seseorang/orang lain. adalah ALLOH semata bukan kita.
untuk mencari dan mencari kebenaran tidak hanya mengedepankan akal saja tapi yang lebih utama apabila kita juga menggunakan hati dan rasa..yang menjadi sumber segala kearifan dalam kita mengarungi kehidupan untuk mencari ridhoNYA…sekali lagi mohon maaf kalo ada yang kurang berkenan sama halnya seperti mas hery saya masih harus terus belajar untuk mencari ridho ALLOH karena tujuan hidup hanya ridho ALLOH semata yang kita cari….bukan yang lainya
wassalam……………………………………………….
makasi buat semuanya.lewat diskusi ini jadi jelas mana yang halal mana yang haram.mana orang yang mengikuti ajaran Rasulullah mana orang yang mengaku lebih baik dari Rasulullah sehingga berani membuat aturan baru dalam ibadah hanya dengan alasan baik dan bermanfa’at menurut akal mereka,
Mas Abah Docio, tidak ada yang membuat aturan baru dalam Ibadah dan tidak ada pula yang mengaku lebih baik dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kaum muslim yang awampun pasti paham bahwa tidak ada manusia yang paling mulia kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sedekah tahlil (tahlilan) hanyalah sebuah sedekah atau amal kebaikan
Assalamualikum
abah doclo
Alloh Maha Sempurna atas semua yang telah diciptakan,perbedaan itu sebaiknya disikapi dengan kearifan hati dan berpikir bijak kan begitu abah…dari beberapa diskusi ini ada hal hal yang sangat krusial dan itu tidak bisa di katakan mana yang halal dan mana yang haram dan benar adanya apa yang dikatakan mas mutiara zuhud,bahwa tidak ada yangmembuat aturan baru dalam beribadah dan tidak ada yang mengaku lebih baik dari ROSULULLOH SAW,apakah sebuah ibadah yang bermuatan kebaikan itu tidak baik dan bermanfaat menurut akal..maaf tlg dikaji kembali
karena sudah dijelaskan dengan sejelas jelasnya di dalam AL-QURAN mengenai hal yang halal dan haram misalnya riba,makan daging babi,minum khamr,berjudi dan ada yang lainya.
Jadi mari kita lihat topik ini supaya kita bisa lebih bisa memaknai sebuah perbedaan ini sesuai dengan porsi dan permasalahanya………
Dan mohon penjelasanya dengan kalimat,jelas mana yang halal dan mana yang haram mana yang mengikuti ajaran ROSULULLOH mana orang yang mengaku lebih baik dari ROSULULLOH sehingga berani membuat aturan baru dalam ibadah hanya dengan alasan baik dan bermanfaat menurut akal mereka….
Apakah tahlilan berdosa lalu kemudian masuk neraka…?pertanyaan ini terkait dengan makna halal dan haram karena dari keduanya berkonotasi surga dan neraka….mohon dijelaskan
Dan mohon maaf juga yang sebesar besarnya jika ada kata yang kurang berkenan
wassalam………………………………….
Kalo Mas gareng belum melakukan ibadah dg khusu’, ya mari kita bersama2 berusaha terus untuk mencapai itu, yg saya katakan kalau mas gareng sudah khusu’….ini hanya dugaan saya mas…(ya bersyukur kalau benar) , Ya amalan kita itu akhirnya Allah yg nilai, namun sebelum kesana kita wajib mengikuti tatacara yg Allah dan Rosulnya ajarkan, inilah bukti taat kepada Allah dan Rosul-Nya, sehingga ibadah yg tdk sesuai dg ajaran Rosulullah SAW..kita sesama umat islam harus saling mengingatkan…
Ya betul mas, pemahaman banyak terjadi perbedaan padahal sumbernya sama, hal ini sudah menjadi sunnatullah, dan Rosulullah SAW dalam haditsnya tentang iftiroqul ummah menyebutkan bahwa ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu yg masuk surga, dan menurut Beliau SAW yg akan masuk surga itu adalah yg mengikuti sunnahku dan sunnah sahabatku yg mendapat petunjuk. Namun yg 72 golongan itu, masih ada peluang untuk dapat syafaat dari Rosulullah SAW setelah dicuci dosanya. Ya mudah2an kita berharap masuk kedalam satu golongan itu , dan kita trus brusaha untuk tetap mengikuti sunnah Rosulullah SAW dan para sahabatnya.
Imam yang 4 sebenarnya mengajarkan kepada kita untuk terus menggali ilmu. Bukan berarti harus mengikuti mereka secara mutlak, mereka pun menyadari sebagai manusia biasa kita tdk luput dari kesalahan. Imam Syafi’i pun bernah berkata , bahwa jika ada pendapatku yg bertentangan dg hadits shahih maka lemparkan pendapatku itu ketembok dan ambilah hadits shahih itu. Sehingga jika kita mengikuti hadits shahih , meskipun bertentangan dg fatwa Imam Syafi’i…maka sebenarnya kita ini lebih mengikuti imam Syafi’i. Kita akan pertanggung jawabkan sesuai kemampuan kita. Imam Syafi’i tidak akan menanggung kesalahan2 para pengikutnya(jika memang ada kesalahan), maka pengikut ini akan dimintai pertanggunjawabannya masing2…
Dalam Al Qur’an pun jika ada perbedaan pendapat maka kembalikanlah kepada Allah dan Rosul-Nya (AL Qur’an dan AL Hadits), ke 4 madzhab pun smuanya berusaha merujuk ke sumber yg sama. Perbedaaan akan tetap ada meskipun merujuk ke sumber yg sama, beberapa faktor diantaranya:
1. Pemahaman ttg hadits berbeda-beda, misalnya menurut imam A suatu hadits itu adalah hasan dan menurut lainnya mungkin dhoif. Oleh karena itu dalam bidang hadits, ulama hadits lah yg perlu kita ikuti, Imam Bukhari, Imam Ahmad, dan lain2.
Sebagai contoh : Imam syafi’i berfatwa tentang mengangkat telunjuk itu setelah ucapan ashaduallaa ilaaha illalloh pada tasahud.
Sementara dihaditsnya: tidak mengatakan demikian, namun hanya mengatakan berilah isyarat dg telunjukmu ketika tasahud. Ulama lainnya berfatwa bahwa mengangkat telunjuk adalah dari awal permulaan tasahud.
Mana yg akan kita ikuti…???
Ketika imam Syafi’i salah, maka sebagai mujtahid..jika salah pun dia mendapat pahala. Tapi tentu akan berbeda hukumnya dengan kita jika mengikuti imam Syafi’i dlm hal mengangkat telunjuk , karena kita sudah dapat rujukan dari ulama ahli hadits (ini misalnya ya…). Sehingga orang yg mengajak kepada sumber/dalil yg lebih shahih, pada hakikatnya dia mengajak untuk mengikuti Sunnah Rosulullah SAW.
2. Perbedaan itu tidak harus menjadi perpecahan kalau dua2nya bersandar pada dalil yg shahih (sama2 kuat), pada level ini kita harus saling toleran.
3. Jika perbedaan itu dalilnya yg satu kuat dan yg satu lemah, maka seyogyanya kita harus mengikuti dalil yg paling kuat(shahih). Jika kita memegang dalil yg dhoif, maka berarti kita tidak mau ta’at kepada Rosulullah SAW.
Pemahaman saya mengenai bid’ah hasanah yg menurut Imam Syafi’i, adalah bid’ah secara bahasa, dan ini tidak mengapa memang, seperti kendaraan, handphone, microphone, dll. Namun setahu saya imam syafi’i tidak mengklasifikasikan tahlilan (1-7 hari, 40 hari, 100 hari) kedalam bid’ah hasanah yg beliau maksud itu. Kalau memang Imam Syafi’i berfatwa demikian…sya yakin akan berbeda pembahasannya.
ttg hubungan sosial kalau mnurut mas gareng kurang pas…ya nda apa2..itu hak mas gareng untuk tdk sepakat.
Artinya kalau tahlilan banyak fungsi sosialnya: maka kenapa kita tdk berusaha seoptimal mungkin dibidang sosialnya langsung (gotong royong, dll), dan ini kan kewenangan aparat kelurahan/desa stempat untuk reward dan punnishmentnya…
Kalau memang ingin tetep tahlilan, ya silahkan saja, kita pertanggungjawabkan masing2. Disini sya hanya ingin menyampaikan pemahaman lain dari tahlilan itu sendiri…, sya pribadi tidak pernah tunjuk langsung..ketika ada tahlilan..bahwa itu adalah bid’ah…dholalah, dan lainnya. Tidak…tidaklah demikian, sya pun sangat ingin menjaga persaudaraan sesama islam…, oleh karena itu…apa yg bisa saya sampaikan semampu saya..ya saya akan sampaikan…
Ya memang kita berbeda pendapat mengenai hukum dzikir bersama dg suara keras dan berdo’a bersama2, dan juga berbeda dalam hal tawassul. Kalau acara membahas ilmu tentang islam…sya sepakat, itu sangat dianjurkan..
Menurut mas gareng tahlilan menjadi ibadah kebaikan saja, yang mau melakukan silahkan yang tidak ya ndak apa2…, Nah disinilah kita berbeda…, hal2 duniawi betul akan menjadi ibadah jika niatnya baik. Contoh : makan, kita niatkan agar kuat ibadah, dan lain sebagainya.
Namun tahlilan ini menurut pemahaman sya: ini sudah menyerupai syari’at, yg seolah olah itu adalah bagian dari islam. Islam itu kalau ada yg meninggal maka harus tahlilan (begitu kira2 bahasa mudahnya). Menurut mas gareng mungkin tahlilan bukan termasuk ibadah , Kalau menurut saya tahlilan itu sudah masuk dalam kategori ibadah yg tatacara (ada bacaan khusus) dan waktunya dibuat oleh umat manusia. Padahal hak memerintahkan itu hanyalah Hak Allah SWT yg dijelaskan melalui lisan Rosul-Nya. Sehingga prinsip saya, ketika rosulullah SAW tidak pernah melakukan tahlilan dg waktu tertentu…maka sebagai ummat yg ta’at hendaknya mengikuti beliau SAW. Hal inilah yg juga dipegang oleh Muhammadiyyah, Persis, PKS(ikhwanul muslimin), Hizbut Tahrir, Salafy, Majelis Mujahidin Indonesia, Wahdah Islamiyyah, Al Atsyariyyah, dll dan hanya NU dan mungkin tasawuf (namun mungkin jamaah tabligh tdk melakukannya juga). Ini mas yg membuat sya terus menggali/belajar…,
Ya betul yang menilai suatu ibadah kebaikan seseorang/orang lain. adalah ALLOH semata bukan kita. Namun kalau wilayah Syari’at itu kita sendiri berdasarkan Al Qur’an dan As-Sunnah dapat menilanya mas…., contoh sholat subuh 3 roka’at, itu kan salah meskipun si niatnya ikhlas, maka tetap harus dikasih tau. Begitu juga syi’ah dan ahmadiyyah, jelas2 mereka melenceng, maka harus diperingatkan/dikasih tahu, kita tahu mereka salah dari mana…?? Tidak lain adalah menurut Al Qur’an dan As-Sunnah/ Allah dan Rosul-Nya. Baru setelah kita berusaha sesuai dg syari’at, maka mengenai khusu’ /diterima /tidaknya ibadah kita …pada titik inilah itu terserah kepada Allah SWT.
Betul mas gareng untuk mencari kebenaran tidak hanya mengedepankan akal saja tapi yang lebih utama apabila kita juga menggunakan hati dan rasa..yang menjadi sumber segala kearifan dalam kita mengarungi kehidupan untuk mencari ridhoNYA… ,
dan juga dalam mencari kebenaran janganlah didahului dg kebencian terhadap golongan tertentu, karena bisa jadi apa yg kita benci itu ternyata paling baik menurut Allah dan Rosul-Nya. Oleh karena itu kita harus terbuka dengan fatwa dari golongan lain, kalau memang dalilnya shahih…maka kita berkewajiban mengikuti dalil yg shahih… ., Mohon maaf jika ada kata-kata yg kurang berkenan…, semoga kita mendapat taufik dan hidayah. wassalam
Ok mas hery,jadi sudah jelas sikap masing2 individu dalam menentukan dan melaksanakan ibadah apa yang seperti jadi keyakinannya,ternyata kita masih dalam taraf pembelajaran dalam rangka mencari jatidiri untuk menuju suatu kebenaran yang mendapat ridho dari ALLOH SWT….semoga..
Perbedaan adalah anugrah yang patut di syukuri..dengan begitu kita tahu sampai sejauh mana pengabdian kita kepada SANG PENCIPTA….karena bagaimanapun itu sudah menjadi SUNATULLOH.Dan firman ALLOH mutlak memerintahkan kepada diri kita masing2 untuk menjaga diri kita dari api neraka baru setelahnya kepada ahli kita….siapa ?yaitu keluarga kita yang terdiri dari anak2 dan istri kita…..dari api neraka.
Jadi ayat itu jelas dan tegas kita diperintahkan memperbaiki diri kita,artinya
perilaku kita,ucapan kita,berpikir kita,dlsbnya benar dulu baru kita menyampaikan kepada yang lain yaitu keluarga kita……nah dengan begitu insya ALLOH kebenaran yang sesungguhnya dapat kita rasakan…..amien
Karena di akherat nanti masing masing individu punya tanggung jawab sendiri2 atas apa yang ucapkan dan diperbuatnya…dan saya sangat senang sekali terhadap tulisan mas hery dibagian awal dan akhir diskusi dengan saya sebagian sudah terkontrol…dan menggunakan hati karena inilah pelajaran islam yang sesungguhnya hati dan rasa harus diatas logika yang kadang diselimuti hawa nafsu dan kadang berenergi negatife…MAHA SUCI ALLOH
Sekali lagi biarlah perbedaan itu tetap ada tetapi jangan sampai membutakan hati untuk tetap bersilahturakhim sebagai sesama manusia apalagi sesama muslim
Wassalam….
Ya sya sepakat semoga perbedaan adalah anugrah yang patut di syukuri, tentunya selama perbedaan itu masing2 berlandaskan dalil yg shahih, maka itulah anugrah dari Allah SWT. Mengingatkan sesama saudara atas suatu hal yg tidak bersandar pada Al Qur’an dan As-sunnah..itu juga kewajiban kita smua, namun tentunya kewajiban ini dilakukan semampu kita…(apakah dg tangan, lisan, ataupun hati), sebagai contoh: ahmadiyyah yg mengaku ada nabi stelah Rosulullah SAW…hal ini jelas perlu diluruskan…namun karena negara kita bukanlah negara Islam…maka pendekatannya perlu dg syiar/dakwah islam. Seandainya kita berada dalam kekuasaan negara Islam sebagaimana dahulu Rosulullah SAW dan para sahabatnya ..maka hal2 yg keluar dari koridor syari’at, akan ditindak langsung oleh negara.
Betul sekali, kita harus menjaga diri, keluarga, dari api neraka, dan bgtu juga sebagai sesama islam, kita punya kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar…(sesuai kemampuan kita).
Dalam menyikapi perbedaan itu dalam prakteknya di masyarakat tentu sangat perlu memperhatikan rasa sosial itu/menjaga perasaan sesama muslim. Oleh karena itu saya sering menegaskan dalam beberapa tulisan disini…”ini hanya pemahaman saya, kalau tdk sepakat ya tdk apa2, akan kita pertanggungjawabkan masing”. Saya hanya berusaha menyampaikan apa yg saya fahami…sebagai informasi berimbang atas sesuatu hal, sehingga yg membaca akan dapat informasi dg seimbang antara yg pro maupun kontra, dan akhirnya terserah masing2 mau pilih yg mana.
Sya mau coba memberi komentar trhadap pertanyaan mas gareng kpd abah doclo
1. Benar yg halal dan yg haram telah dijelaskan oleh Al Qur’an dan As-Sunnah
2. membuat aturan yg baru yg dimaksud mas gareng mungkin adanya tatacara tertentu dan waktu tertentu dalam tahlilan (contohnya : 1-7 hari, 40 hari, 100 hari)
3. Mengenai apakah ibadah yang bermuatan kebaikan itu tidak baik dan bermanfaat menurut akal..?? Islam adalah agama wahyu mempunyai dalil naqli dan aqli, dalil naqli itu harus dikedepankan dari pada akal pikiran. co: sholat subuh 2 rokaat itu adalah nash hadits, (sedangkan menurut akal itu semakin banyak rokaat maka semakin baik…ini hanya contoh untuk mempermudah saja). ibadah yg disyariatkan itu pasti bernilai kebaikan. namun hal2 biasa yg diniatkan krn Allah SWT…maka akan bernilai ibadah jg (berpahala) co makan diniatkan agar kuat ibadah, dll. Akan tetapi kalau kita melaksanakan amalan yg tidak diperintahkan oleh Allah dan Rosul-Nya, bagaimana hukumnya…??contoh puasa mutih, puasa sehari semalam, dsb…??? tentu hukumnya akan berbeda dengan makan yg diniatkan karena Allah SWT, jadi menurut hemat saya :ibadah/amalan itu harus diniatkan ikhlas dan juga harus mengikuti petunjuk Rosulullah SAW(sebagai bukti taat kepada rosul).
4. dalam kaidah ushul: hukum asal ibadah itu terlarang(haram) kecuali yg diperintahkan (karena ibadah itu bersifat tauqif). Contoh yg diperintahkan : sholat, zakat, puasa, haji, dll. Ada ibadah mahdhoh ada juga ghoiru mahdhoh.
“barang siapa yg melakukan amalan yg tidak kami perintahkan maka tertolak” (HR Muslim), sehingga kalau kita beribadah dengan tatacara yg tidak diajarkan oleh Rosulullah SAW…maka hal ini tertolak.
Pemahaman sya, tahlilan itu masuk kedalam kategori amalan yg tidak diperintahkan oleh Rosulullah SAW,dimana rosulullah SAW ketika takziah tidak pernah memerintahkan tahlilan dg metode & waktu tertentu. Hal ini yg dikritisi oleh banyak para ulama(kecuali NU/tasawuf). Nah yg jadi permasalahan apakah kita mau ikut Rosulullah SAW ataukah kyai NU…?? NU memang betul bermadzhab Imam Syafi’i—> namun menurut saya Imam Syafi’i tidak pernah melakukan tahlilan dg metode& waktu tertentu itu…(ini pendapat sya, kalau mas gareng berbeda..ya tdk apa2)
adapun hukum asal segala sesuatu(kebiasaan/makanan,sandang, dll) adalah mu’bah/boleh kecuali yg dilarang.
hukum asal makanan itu ya boleh smuanya, kecuali yg diharamkan (co : riba,makan daging babi,minum khamr,berjudi dan ada yang lainya), Jadi kaidah ushulnya berbeda antara ibadah(amalan) dengan kebiasaan(urusan duniawi, sandang, pangan/papan)
Sya yakin, yg melakukan tahlilan, tidak merasa lebih baik dari rosulullah SAW, namun persepsi yg mengkritisi tahlilan adalah kalau kita melaksanakan ibadah yg tidak diperintahkan oleh rosulullah SAW adalah menganggap agama ini belum sempurna sehingga perlu ada tambahan dalam ibadah ini.
Sebenarnya menurut hemat sya standar kebenaran itu tdk hanya hati/perasaan atau keyakinan dlm hati, namun standarnya adalah AL Qur’an dan As-sunnah, kalau sesuai berarti benar, kalau tdk berarti salah. Mengenai masuk surga atau neraka itu hak Allah SWT, namun kita pasti sudah tahu mana amalan yg berpeluang untuk dapat masuk surga atau neraka. dan itu ilmiah mas gareng. Soalnya kalau hanya hati yg dikedepankan…menurut hemat saya kurang pas juga, tapi dalil yg harus dikedepankan kemudian menyampaikannya dg hati.
mohon maaf jika ada kata2 yang kurang berkenan.
Mohon maaf sebelumnya saya baru Bisa OL lagi abis keluar kota, langsung saja.
Hery
Ahmadsyahid:
kita tahu tujuan kita diciptakan itu apa…?? ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (adz-dzariat ayat : 56), Ibadah menurut bahasa adalah merendahkan diri serta tunduk , sedangkan menurut syara’ adalah ” sebutan yg mencakup seluruh apa yg dicintai dan dirihoi Allah SWT baik berupa ucapan/perbuatan, yg zhahir maupun batin “. Ya amalan atau ibadah itu dibagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan.
Jawab : definisi Ibadah seperti diatas menurut siapa…..? menurut saya definisi itu bertentangan dengan al-qur`an.
hery
jadi amalan dalam hadits tersebut maknanya adalah ibadah. jadi hadits tentang sesuatu yg baru itu maknanya dalam ibadah(termasuk didalamnya keyakinan/ibadah hati, ucapan, maupun perbuatan).
Jawab : YANG KITA DISKUSIKAN soal pendapat wahabiyah tentang Bid`ah , dimana kaum wahabi tidak konsisten dengan femahamnya sendiri , sehingga mereka terjatuh kedalam Bid`ah dolalah.
Hery
Syarat diterimanya ibadah : 1. Ikhlas,(merupakan konsekuensi syahadat laailaha ilallah) 2. Ittiba’ (sesuai tuntunan Rosulullah SAW)/ merupakan konsekuensi syahadat muhammadurosulullah).
Jawab : sepakat meskipun tidak 100%
Hery
Hak Pembuatan Syariat(Tasyri’)/hak memerintah dan melarang itu adalah Hak Allah SWT. Sehingga sya pribadi khawatir, kalau kita membiasakan memperingati 1-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dengan metode tertentu, ini masuk kedalam melibatkan diri pada hak Tasyri, dan tidak mengikuti petunjuk rosulullah SAW (sunnah rosul dalam takziah ) sedangkan dalam haditsnya”barang siapa yg tidak menyukai sunnahku maka bukan umatku, dikhawatirkan kita lebih mneyukai cara yg lain, dari pada sunnah nabi kita sendiri…. , disis lain…hal ini dikhawatirkan menyerupai kaum hindu/budha. Mohon maaf ya…,kenapa orang2 banyak yg anti trhdp tahlilan—> karena hal ini saudaraku…, tapi kalau memang tdk sepakat…ya sudah..tdk mengapa…
Jawab : anda bicara soal hak tasyri` tetapi anda sendiri mentasyri` ( melarang ) tanpa Dalil , apa anda tidak malu………? Lalu yang anda tuduhkan menyerupai kaum hindu/budha apanya……..? anda tahu shaum yaum asyura ditiru dari kaum mana…….? Apa hikmah dibalik pengambilan saum asyura` dari kaum lain…..?
hery
perincian/macam2 tauhid merupakan analisa dari Al Qur’an samahalnya dg ilmu fiqh:
jawab : ini menunjukkan jika kaum wahabi tidak konsisten dengan femahamannya sendiri soal Bid`ah , Pembagian Tauhid adalah soal pokok sangat berbeda dengan Fiqih yang membahas furu`
hery
1. Tauhid rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yg dikerjakan Allah, baik mencipta memberi rizki, yg menghidupkan dan yg mematikan.
” Ingatlah menciptakan dan memerintahkan itu hanyalah hak Allah……(Al-Araaf: 54)
syetan pun mengakui Allah sebagai penciptanya…??ya karena dia pernah diperintah langsung oleh Allah,
begitu juga kaum musyirikin mengakui bahwa pencipta langit dan bumi itu Allah (Yunus 31-32/azzukhruf : 9).
Namun mengakui Allah sebagai pencipta, tidak lah cukup, namun kita harus juga menyembah hanya kepada Allah (ibadah hanya kepada Allah). dan inilah tauhid uluhiyyah itu.
Jawab : apa maksud dari mentauhidkan Allah segala apa yg dikerjakan Allah……..? disini mulai kelihatan jika pembagian tauhid ini bertentangan dengan qur`an dan Hadist , lalu apakah tauhid rububiyah hanya berkaitan dengan mencipta , memberi rizqi , menghidupkan dan mematikan …….bukankah ini bentuk distorsy atas rububiyah Allah….?
Hery :
2. tauhid Uluhiyyah , artinya mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba , yg dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyariatkan oleh-Nya, (menyembah/beribadah hanya kepada Allah dengan tidak menyekutukannya dg sesuatu apapun).
Al ilaah= al ma’luh yaitu sesuatu yg disembah dg penuh kecintaan dan keagungan.
dalilnya :
” Wamaa umiruu illa liya’budulloha mukhlisiina lahuddiin” , dan ayat lainnya.
Orang2 yg ikhlas, jelas beribadah hanya kepada Allah, dan pasti mengakui Allahlah sebagai satu2 pencipta, pemberi rizki,dst (tauhid rububiyyah).
Jawab : lalu diletakkan dimanakah rukun iman yang enam……..?
Hery :
3. Tauhid Asma wa Shifat
Ahlusunnah menetapkan apa2 yg Allah dan Rosul-Nya telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu berupa Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah dan mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rosul-Nya.
Kita wajib menetapkan Sifat2 Allah baik yg terdapat dalam Al Qur’an maupun dalam As-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil.
Jawab : barusan diatas anda bicara soal hak tasyri` hanya milik Allah , sekarang anda lagi2 sudah mentasry` melarang Takwil Tanpa dalil , tidak punya malukah anda……?
Hery :
AL Walid bin Muslim pernah bertanya kpd Imam Malik, Al Auza’i, Al-Lait bin sa’ad dan Sufyan at-Tsauri tentang berita yg datang mengenai sifat2 Allah, mereka semua menjawab :
“Amirruuhaa kamaa jaat bilaakaifa” ” perlakukanlah seperti datangnya dan janganlah engkau persoalkan(jangan engkau tanya ttg bagaimana sifat itu).
Jawab : Ammiruha kok jangan ” persoalkan “……..? al-imror apa itu al-imroor…….? Tanpaknya anda gak faham Imroor.
Hery :
ini artinya ayat2 sifat wajib diyakini sebagaimana dia datang, dan ga usah ditanyakan bagaimana cara, bentuk dan lainnya.
Jawab : andai seperti ini ayat shifat difahami fa na`am , hanya sayang praktek dilapangan sangat jauh berbeda.
Hery :
jadi saudaraku, perincian tauhid dibagi 3 itu hasil analisa ulama terhadap AL Qur’an, jadi sama saja dengan ilmu fiqh.
Jawab : pembagian Tauhid versi wahabi bertentangan dengan Qur`an dan Sunnah , lagi pula ini soal pokok , berbeda dengan fiqh masalah furu`
Hery :
kalau tetap dg imam syafi’i ya silahkan saja, namun sekali lagi, apakah imam syafii memfatwakan tentang bolehnya tahlilan 1-7 hari, 40 hari, 100 hari dst…???,
jawab : Imam syafi`I memberikan kaidah bersifat kulli , yang artinya tidak perlu dirinci pun dapat difahami , ” apa yang bertentangan dengan qur`an atau sumber hokum lainnya maka Bid`ah madzmumah , lalu apa yang menurut hery dari angka-angka diatas (tahlilan ) yang bertentangan dengan qur`an dan sumber hokum lainnya…..?
hery :
sya kira bid’ah hasanah yg dimaksud imam syafi’i itu adalah bid’ah secara lughowi bahasa menurut ulama yg mengklasifikasikan hanya ada 1 bid’ah, sebagaimana haditsnya. Kalau kita cermati justru ada hadits tentang sunnah hasannah dan sunnah sayyiah, nabi justru menyampaikan hal itu, sedangkan ttg bid’ah..ga ada hadistnya yg membaginya mnjadi dolalah dan hasanah. Berbeda dg imam syafi’i tidak akan berdosa, tetapi kalau berbeda dg rosulullah SAW..ini menurut saya..yang perlu dicermati…
jawab : itukan perkiraan anda yang keliru , wong sudah jelas kok Imam syafi`I adalah Mujtahid pendiri Madzhab urusan agama , kok hasil Ijtihadnya diselewengkan jadi urusan bahasa……..? , sebutan Bid`ah dolalah dan Bid`ah hasanah itu ada Hadisnya riwayat Imam Tirmidzi , anda aja yg tidak tahu , lalu kalupun tidak ada hadistnya maka perbedaan dalam penyebutan itu tidak ada masalah , yang jadi masalah justru orang – orang yang mempermasalahkan Tahlilan dan Bid`ah hasanah lainnya tanpa dalil dan dia sendiri terjerumus dalam Bid`ah madzmumah tidak terasa.
Hery ;
bukan begitu mas ahmad, itu pendapat anda lho….
Justru ibnu taimiyyah menyampaikan bahwa ayat2 Sifat itu wajib diimani sebagaimana ia datang, tanpa takwil. Jadi kewajiban kita hanya beriman saja, tanpa menanyaka bagaiama bentuk./tatacaranya.
Jawab : persoalannya bukan sekedar tidak boleh menanyakan bagaimananya , persoalannya juga kaum wahabi banyak menetapkan makna ayat Mutasyabihat tanda dalil , lalu mana dalilnya jika kita tidak boleh mentakwil……..? hery ini sering bikin syare`at baru , selalu melarang tanpa dalil.
Hery :
Menurut mas ahmad yadullah diartikan apa…??? ayatnya yadullah lho..,
Jawab : yadullah adalah Yadullah , mengartikannya cukup membacanya
Hery :
kalau ingin lebih rinci silahkan baca lum’atul i’tiqod karya Al maqdisi yg disyarah oleh Dr. Shalih Al fauzan dan Ibnu Utsaimin…insya Allah akan jelas.
Jawab : saya semakin yakin kedua orang diatas adalah musyabih Mujassim , setelah baca syarh aqidah washitiyah dan kitab Lum`atul I`tiqod Nasibnya tidak jauh berbeda dengan kitab Aqidah thohawiyah ketika di syarahi oleh kaum mujassimah.
Hery :
Saran saya jangan ikut2an mencela wahabi sebelum mempelajarinya lebih dalam, terus terang sya pun ga sanggup mengikuti semua fatwa mereka dalam hal2 lainnya…karena saking ketatnya dalam menjalankan islam yg harus sesuai dg rosulullah SAW dan parasahabat-Nya.
Jawab : saya bukan tipe orang yang ikut-ikutan , saya berpendapat seperti ini atas dasar Bashiroh , mengkaji dan mengkaji.
Hery :
Sya hanya berusaha mencari kebenaran dg tetap berdo’a kepada Allah SWT.
Jawab : mencari kebenaran tidak cukup dengan berdo`a , anda harus datang dan bertanya kepada Ahlinya , banyak kok Wahabi tobat seperti Dr. shuhaib syaqqor kelahiran Makkah . dulu aku adalah wahabi sekarang aku menulis 1000 lembar untuk menebus dosaku menjadi wahabi. Silahkan baca karya-karya beliau semoga dapet pencerahan.
Hery :
Seandainya wahabi itu sesat dianggap mujassimah, arab saudi sebagai negara yg berhaluan salafy atau wahabi(menurut musuh2nya) tentu akan Allah hancurkan para ulama mereka itu dari sejak dahulu. karena tdk layak berada di tanah haram.
Jawab : alas an yang cocok buat orang awam , bagi seorang pencari kebenaran sejati masa seperti ini cara menemukan kebenaran >……..
Hery :
Oleh karena itu…coba pelajari dulu…, sya dlu NU juga…., namun sekarang…sya mah..ingin menjadi ahlusunnah waljamaah saja ..
Jawab : saya sudah cukup pelajari , semakin saya pelajari ajaran wahabi semakin saya menemukan kejanggalan dan pertentangan dengan Qur`an dan Hadist serta tuntunan Ulama Ahlu Sunnah , apa anda berpendapat NU bukan Ahlu Sunnah………? Bagaimana cara mengukurnya……….? Jangan – jangan kayak ngukur wahabi asal mengatasnamakan Makkah Madinah jadi deh Ahlu sunnah…….. safsathoh cocok buat orang awam.
saran saya bahas satu-satu persoalan biar ada Natijah dan faidah.
Ahmad syahid Says: “sebutan Bid`ah dolalah dan Bid`ah hasanah itu ada Hadisnya riwayat Imam Tirmidzi , anda aja yg tidak tahu , lalu kalupun tidak ada hadistnya maka perbedaan dalam penyebutan itu tidak ada masalah , yang jadi masalah justru orang – orang yang mempermasalahkan Tahlilan dan Bid`ah hasanah lainnya tanpa dalil dan dia sendiri terjerumus dalam Bid`ah madzmumah tidak terasa.”
Bisa disebutkan Haditsnya yang komplit isnad dan matannya dalam teks bahasa Arabnya Mas????
nunggu mas hery.
@Ustadz Ahmad Syahid
Terima kasih atas pencerahannya. Benar Ustadz, sebaiknya pertanyaan Yudi W jangan dijawab dulu. Nunggu Hery dulu agar ada natijah dan faidah. Mudahan-mudahan dari masalah-masalah di atas, bisa mendapatkan pencerahan bagi kita semua. Terima kasih
1. definisi Ibadah seperti diatas menurut siapa…..? menurut saya definisi itu bertentangan dengan al-qur`an.
>>>> insya Allah itu menurut ‘ulama, ibadah menurut definisi antum…,???
Man amila amalan alaisa alaihi amrunaa fahua roddun, apakah tahlilan ada perintah secara khusus dari rosulullah SAW…?? Yg tatacaranya dan waktunya tertentu itu…??
2. YANG KITA DISKUSIKAN soal pendapat wahabiyah tentang Bid`ah , dimana kaum wahabi tidak konsisten dengan femahamnya sendiri , sehingga mereka terjatuh kedalam Bid`ah dolalah.
>>>>Maksudnya: tauhid dibagi 3 itu…??? Sama halnya dengan pembagian hukum fiqh…, itu adalah hasil analisis para u’lama terhadap al qur’an. Bid’ah yg dimaksud adalah dalam hal ibadah(a’malan, baik hatu, ucapan, maupun perbuatan). Pembagian tauhid merupakan ilmu tauhid dan itu sama dengan ilmu fiqh, atau ilmu bahasa arab (yg membagi isim, fail) padahal rosulullah SAW tidak pernah membahas hal ini.Akan tetapi ini adalah ilmu yg menunjang dalam agama islam. Tentu ini berbeda dg tahlilan. Tdk hanya wahabi koq yg berpendapat demikian, muhammadiyyah, persis, HTI,MMI, IM, dll juga berpendapat demikian…, coba pembagian syariat, hakikat maupun ma’rifat…sesuai dg AL Qur’an dan as-sunnah tidak…?? kalau sesuai (ada dalilnya) sya mah ga masalah.., tapi klo nda sesuai ya …hak sya untuk tdk sepakat..
3. Syarat diterimanya ibadah : 1. Ikhlas,(merupakan konsekuensi syahadat laailaha ilallah) 2. Ittiba’ (sesuai tuntunan Rosulullah SAW)/ merupakan konsekuensi syahadat muhammadurosulullah).
Jawab : sepakat meskipun tidak 100%
>>>>>>Brapa % nya yg tdk sepakat…?? Dalam hal apanya ni…?? Bedakan antara ibadah mahdhoh dg ghoiru mahdhoh. Amalan yg dibuat2 dg tatacara dan waktu tertentu , ini akan menyerupai ibadah mahdhoh (sebagaimana tahlilan)
4. anda bicara soal hak tasyri` tetapi anda sendiri mentasyri` ( melarang ) tanpa Dalil , apa anda tidak malu………? Lalu yang anda tuduhkan menyerupai kaum hindu/budha apanya……..? anda tahu shaum yaum asyura ditiru dari kaum mana…….? Apa hikmah dibalik pengambilan saum asyura` dari kaum lain…..?
>>>>> dalilnya : man amila amalan alaisa alaihi amruna fahuwa roddun…dst (apakah ini bukan dalil…??). Kalau memang rosulullah SAW memerintahkan ..ya kita terima (karena perintah rosulullah SAW berbeda dan hemat sya jangan samakan dg perintah kyai yg menyuruh tahlilan…, bgitu lah ttg as-syuro)
1-7 hari, 40 hari,-> hal ini seperti yg dilakukan budha/hindu juga, kalau tdk salah sunan kalijaga yg mempelopori tahlilan ini, benar ga…?? Dan dia berkata tdk apa2..mudah2an nanti generasi kita g akan memperbaikinya…?? (wallohu a’lam).
5. ini menunjukkan jika kaum wahabi tidak konsisten dengan femahamannya sendiri soal Bid`ah , Pembagian Tauhid adalah soal pokok sangat berbeda dengan Fiqih yang membahas furu`
>>>>>>>>Kalau sholat tidak sama dg tatacara rosulullah SAW (ini masalah fiqh)…apakah ini dikatakan boleh2 aja karena masalah furu…, sya kira tdk demikian sahabatku…??, sekali lagi tdk hanya wahabi…., persis , muhammadiyyah, dll mengakui hal ini,,,
6. Jawab : apa maksud dari mentauhidkan Allah segala apa yg dikerjakan Allah……..? disini mulai kelihatan jika pembagian tauhid ini bertentangan dengan qur`an dan Hadist , lalu apakah tauhid rububiyah hanya berkaitan dengan mencipta , memberi rizqi , menghidupkan dan mematikan …….bukankah ini bentuk distorsy atas rububiyah Allah….?
>>>>>Sering kita membaca : robbighfirli waliwalidayya warhahuka kama ROBBAYANII sogiroo…, robbayani : maknanya adalah mengurus/memelihara…
Disinilah u’lama arab Saudi ,dll-> menganalisa terhadap ayat Al QUr’an…
Perbedaan makna Robbul dan Ilah…, Laailaaha illallah-> kenapa dalam kalimat tauhid ini pakai ilaha….? Tdk pakai robb…??? Tentu ada ilmu didalamnya…, silahkan kalau mau memperdalam…nanti insya Allah akan mudah untuk difahami…dan ini dirinci menjadi tauhid rubbubiyyah dan u’luhiyyah
7. Lalu diletakkan dimanakah rukun iman yang enam……..?
>>>>> maksudnya…?? Bukankah kita harus mengimani hal tersebut …?? Ya sebagai konsekuensi melaksanakan tauhid uluhiyyah ini. Itulah bukti org yg hanya menyembah kepada Allah (baik dalam hati ucapan, perbuatan), mengimani hadits rosulullah SAW (rukun iman dijelaskan dari hadits).
Kalau menurut antum tauhid itu seperti apa …?? apakah cukup mengakui Allah sebagai Tuhan semesta a’lam (robbul a’lamiin)…? Atu bagaimana…??
8. barusan diatas anda bicara soal hak tasyri` hanya milik Allah , sekarang anda lagi2 sudah mentasry` melarang Takwil Tanpa dalil , tidak punya malukah anda……?
>>>>>>>>Masya Alloh silahkan anda bicara sesuka hatimu karena kesombonganmu …..: ayat Al Qur’an itu bukankah kita wajib menerimanya…??
Sya mau Tanya antum: ayat sifat itu ditakwil seperti apa…?? Kalau memang antum merasa boleh boleh…?? Kenapa boleh…?? Dalilnya apa ni mas…??
1. Yadullah
2. Wajhullah
3. Biyamiina (dlm surat az-zumar )
Kemudian ulama mana yg menakwil itu …??? Silahkan jawab, jangan menghindar terus dg pertanyaan seperti ini saudaraku…, ada mungkin mengikuti madzhab imam syafi’i…beranikah beliau menakwil ayat2 sifat itu…?? Sya hanya mengikuti Imam Malik yg ditanya ttg istiwa’…(hanya beriman bahwa Allah beristiwa’ diatas arsy sebagaimana ayatnya, diatas arsy itu bukan berarti melekat sebagaimana kita duduk dikursi (karena memang Allah SWT berbeda dg makhluq), tapi jauh diatasnya lagi…dan itulah menurut u’lama)
9. ini artinya ayat2 sifat wajib diyakini sebagaimana dia datang, dan ga usah ditanyakan bagaimana cara, bentuk dan lainnya.
Jawab : andai seperti ini ayat shifat difahami fa na`am , hanya sayang praktek dilapangan sangat jauh berbeda.
>>>> Konkritnya ….???, kalau anda tidak mengakui bahwa Allah punya Tangan / Wajah, sementara di Al Qur’an disebutkan…? Apakah anda mengingkari ayat al Qur’an…???. Contoh: Yadullah ana takwil dg kekuatan>>>>Dah dijawab diatas…
11. Imam syafi`I memberikan kaidah bersifat kulli , yang artinya tidak perlu dirinci pun dapat difahami , ” apa yang bertentangan dengan qur`an atau sumber hokum lainnya maka Bid`ah madzmumah , lalu apa yang menurut hery dari angka-angka diatas (tahlilan ) yang bertentangan dengan qur`an dan sumber hokum lainnya…..?
>>>>>>Nah disini letak perbedaannya, silahkan dicek kembali fatwa imam syafi’I tentang berkumpul di klrga yg meninggal, sya kira imam syafi’I tdk pernah bukan melakukan tahlilan itu…dg waktu dan tatacara tertentu…?? (sya khawatir Al Imam As-Syafi’I justru melarangnya…), mohon penjelasannya menurut Imam Syafi’i…??
Kira2 boleh ga membuat a’malan yg tdk diperintahkan rosulullah SAW…??? Andai rosulullah saw masih ada, bagaimana pendapat mas ahmadsyahid…apakah beliau diam saja…??
12. itukan perkiraan anda yang keliru , wong sudah jelas kok Imam syafi`I adalah Mujtahid pendiri Madzhab urusan agama , kok hasil Ijtihadnya diselewengkan jadi urusan bahasa……..? , sebutan Bid`ah dolalah dan Bid`ah hasanah itu ada Hadisnya riwayat Imam Tirmidzi , anda aja yg tidak tahu , lalu kalupun tidak ada hadistnya maka perbedaan dalam penyebutan itu tidak ada masalah , yang jadi masalah justru orang – orang yang mempermasalahkan Tahlilan dan Bid`ah hasanah lainnya tanpa dalil dan dia sendiri terjerumus dalam Bid`ah madzmumah tidak terasa.
>>>>>>>>Mujtahid jika salah mendapat pahala, tapi kita akan berbeda hukumnya jika mengikuti fatwa yg bertentangan dg Rosulullah SAW . Ya sya belum menemukan, coba kasih tahu mas ahmad ttg hadits tersebut…, perbedaan penyebutan kalau bertentangan dg hadits rosulullah SAW…apakah tdk masalah gitu mas…??
Menurut saya yg bikin masalah adalah yg menyuruh/melaksanakan amalan yg tidak diperintahkan rosulullah SAW, seperti tahlilan itu…, janganlah mengatasnaakan imam syafi’i..padahal beliau tdk memfatwakannya..
13. persoalannya bukan sekedar tidak boleh menanyakan bagaimananya , persoalannya juga kaum wahabi banyak menetapkan makna ayat Mutasyabihat tanda dalil , lalu mana dalilnya jika kita tidak boleh mentakwil……..? hery ini sering bikin syare`at baru , selalu melarang tanpa dalil.
>>>>>>Tanpa dalil bagaimana, ayatnya terdapat dalam AL Qu’ran lho mas ahmad…?? Takwil itu harus berdasarkan dalil, kalau memang Allah SWT, Rosulullah SAW dan parasahabatnya mentakwil ..ya itu harus diikuti/dipedomani, kalau mereka sendiri tdk mentakwil…bagaimana menurut mas…??apakah kita aja takwilkan sendiri agar sesuai dg akal atau hati…??sya kira tdk seperti itu.
14. saya semakin yakin kedua orang diatas adalah musyabih Mujassim , setelah baca syarh aqidah washitiyah dan kitab Lum`atul I`tiqod Nasibnya tidak jauh berbeda dengan kitab Aqidah thohawiyah ketika di syarahi oleh kaum mujassimah.
>>>>> Masya Alloh : silahkan saja kalau antum ga percaya…? Istkhoroh /minta petunjuk sama Allah SWT tentang perkara ini.
anda yakin, univ. madinah, uiv lainnya diarab Saudi , muhammadiyyah, persis, ikhwanul muslimin, dll , beserta u’lamanya adalah mujassimah yg berarti orang2 kafir karena telah menyerupkan Allah dg makhluknya…??? Coba cermati kembali…jangan2 antum yg salah.., hati2 tuduhan itu bisa kembali kepada anda..
Sungguh ironi…kalau arab Saudi dihuni ulama mujasimah, sementara Allah tetap membiarkan mereka ditanah suci selama ratusan tahun.., justru aneh kenapa sufi tdkmendapatkan tempat di arab sauidi…?? Bukankah islam itu lahir di arab Saudi…?? Jadi apakah islamnya yg di Indonesia ini yg paling benar…??
>>>>>> bagaiaana org yg berani menakwilkan ayat AL qur’an dg akal pikirannya sendiri tanpa wahyu atau hadits…???
15. Jawab : saya bukan tipe orang yang ikut-ikutan , saya berpendapat seperti ini atas dasar Bashiroh , mengkaji dan mengkaji.
Alhamdulillah kalau begitu, …..dari mana anda tahu bahwa hasil bashiroh anda itu benar dan sesuai AL Qur’an dan As-sunnah…dan mendapat bimbingan Allah SWT…???
16. mencari kebenaran tidak cukup dengan berdo`a , anda harus datang dan bertanya kepada Ahlinya , banyak kok Wahabi tobat seperti Dr. shuhaib syaqqor kelahiran Makkah . dulu aku adalah wahabi sekarang aku menulis 1000 lembar untuk menebus dosaku menjadi wahabi. Silahkan baca karya-karya beliau semoga dapet pencerahan.
>>>>>>>>> ya betul sepakat harus nanya sama ahli-Nya. Setahu saya org arab Saudi ga pernah mengaku wahabi, mereka mengaku salafy. SIlahkan juga anda baca juga karya 2 Prof. Nashr abdul Karim Al Aql sebagai bantahan tehadap yg memfitnah terhadap yg dianngap wahabi. Supaya berimbang..
17. Jawab : alas an yang cocok buat orang awam , bagi seorang pencari kebenaran sejati masa seperti ini cara menemukan kebenaran >……..
>>>> Ya memang itu salah satu alasan dan bukan satu2nya alasan, emang kenapa, salah…?? Adakah sufi di arab Saudi…?? Adakah barjanjian, sholawat2 buatan disana…?? Arab Saudi…dg berbagai perguruan tingginya..apakah sesat semua…?? Sebagi pencari kebenaran sejati anda jangan terkungkung dg NU/sufi…cob kaji yg lainnya.., insya Allah tdk lah seperti yg anda bayangkan…dan perkirakan…
18. Jawab : saya sudah cukup pelajari , semakin saya pelajari ajaran wahabi semakin saya menemukan kejanggalan dan pertentangan dengan Qur`an dan Hadist serta tuntunan Ulama Ahlu Sunnah , apa anda berpendapat NU bukan Ahlu Sunnah………? Bagaimana cara mengukurnya……….? Jangan – jangan kayak ngukur wahabi asal mengatasnamakan Makkah Madinah jadi deh Ahlu sunnah…….. safsathoh cocok buat orang awam.
>>>>> jangan didahului rasa benci….meskipun anda benci terhadap orang2nya..belum tentu ajarannya salah…begitu juga meski anda menyukai orang2nya..belum tentu ajarannya benar, Saya kira orang awam lebih mengikuti NU di Indonesia ini…., tapi yg intelek kebanyakan muhammadiyyah, ikhwanul muslimin, HTI, …, sya ga berpendapat NU bkn ahlusunnah…, yg jelas tolak ukunya adalah harus mengikuti sunnah rosulullah SAW dan para sahabatnya..dlam menjalankan agama ini.
Mas Hery berlarut-larut membicarakan sedekah tahlil atau tahilan. Tentu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ada memerintahkan kita bersedekah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia baik dari keluarga atau orang lain
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا
Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)
Contoh sedekah oleh bukan keluarga
Pernah dicontohkan bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya Nabi bersabda: “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim 1674)
Selengkapnya dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2009/12/20/2012/03/14/tahlilan/ atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/06/13/tidak-lagi-mengharamkan/ atau pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/07/11/terputus-segala-amal/
Mas Baihaqi saya ini bukan ustadz , dan ustadz zon diskusi ini enaknya dikolom khusus sehingga tidak ada yang merasa dikeroyok , baik mari kita lanjutkan dengan mas hery.
Hery >>>> insya Allah itu menurut ‘ulama, ibadah menurut definisi antum…,???
Jawab : ya benar definisi itu menurut mayoritas Ulama wahabi seperti Sholih al-syeikh dalam at-tamhiid , dan syeikh sa`di dalam qowaid wal Ushul , bunyi definisinya seperti yang anda bawakan : ” Ibadah menurut syara’ adalah ” sebutan yg mencakup seluruh apa yg dicintai dan dirihoi Allah SWT baik berupa ucapan/perbuatan, yg zhahir maupun batin “. definisi Ibadah seperti ini mensyaratkan 1 hal agar sebuah perbuatan disebut Ibadah 1. perbuatan itu dicintai / diridhoi Allah , definisi Ibadah seperti ini bertentangan dengan Al-qur`an , sebab al-qur`an banyak menyebut perbuatan penyembah berhala atau perbuatan penyembah selain Allah adalah ” Ibadah ” , padahal perkara ini adalah bukan :
1. perkara yang disenangi Allah ,
sebagaimana disyaratkan dalam definisi Ibadah kaum wahabi , sehingga banyak perbuatan yang Allah sebut sebagai ” Ibadah ” , tidak disebut Ibadah oleh definisi kaum wahabi , jika demikian keadaannya definisi ini Harus dibuang karena tidak sesuai dengan Al-qur`an.
Dan saya berharap ada Ustadz wahabi yang `alim untuk diskusi soal definisi Ibadah , karena definisi Ibadah yang salah inilah banyak fatwa2 ngawur muncul dari kaum wahabi.
Hery :
Man amila amalan alaisa alaihi amrunaa fahua roddun, apakah tahlilan ada perintah secara khusus dari rosulullah SAW…?? Yg tatacaranya dan waktunya tertentu itu…??
Jawab : kenapa menanyakan Dalil Tahlilan secara Khusush………………..? bukankah Dalil Umum dan dalil Khusush mempunyai kekuatan hokum yang sama……..? atau anda tidak mengerti aturan ber-istidlal…….?
Hery >>>>Maksudnya: tauhid dibagi 3 itu…??? Sama halnya dengan pembagian hukum fiqh…, itu adalah hasil analisis para u’lama terhadap al qur’an. Bid’ah yg dimaksud adalah dalam hal ibadah(a’malan, baik hatu, ucapan, maupun perbuatan). Pembagian tauhid merupakan ilmu tauhid dan itu sama dengan ilmu fiqh, atau ilmu bahasa arab (yg membagi isim, fail) padahal rosulullah SAW tidak pernah membahas hal ini.Akan tetapi ini adalah ilmu yg menunjang dalam agama islam. Tentu ini berbeda dg tahlilan. Tdk hanya wahabi koq yg berpendapat demikian, muhammadiyyah, persis, HTI,MMI, IM, dll juga berpendapat demikian…, coba pembagian syariat, hakikat maupun ma’rifat…sesuai dg AL Qur’an dan as-sunnah tidak…?? kalau sesuai (ada dalilnya) sya mah ga masalah.., tapi klo nda sesuai ya …hak sya untuk tdk sepakat..
jawab : tauhid tiga hanyalah salah satu contoh dan bukti ketidak konsistenan kaum Wahabi dalam memahami Bid`ah , lebih parah dari hal ini kaum wahabi menghalalkan ” perkara baru dalam Agama ” Untuk mereka sendiri , contohnya pembagian Tauhid , dan meng-Haramkannya untuk Muslim lainnya seperti Tahlilan , sampe-sampe minta Dalil khusush , padahal pembagian Tauhid Pun tidak ada dalil khusushnya dan tidak ada perintah untuk membaginya ,
hery >>>>>>Brapa % nya yg tdk sepakat…?? Dalam hal apanya ni…?? Bedakan antara ibadah mahdhoh dg ghoiru mahdhoh. Amalan yg dibuat2 dg tatacara dan waktu tertentu , ini akan menyerupai ibadah mahdhoh (sebagaimana tahlilan).
Jawab : saya setuju dengan Syarat sah , bukan syarat ” diterima ” karena sulit mengukur keikhlasan seseorang dalam beribadah .
Hery >>>>> dalilnya : man amila amalan alaisa alaihi amruna fahuwa roddun…dst (apakah ini bukan dalil…??). Kalau memang rosulullah SAW memerintahkan ..ya kita terima (karena perintah rosulullah SAW berbeda dan hemat sya jangan samakan dg perintah kyai yg menyuruh tahlilan…, bgitu lah ttg as-syuro)
1-7 hari, 40 hari,-> hal ini seperti yg dilakukan budha/hindu juga, kalau tdk salah sunan kalijaga yg mempelopori tahlilan ini, benar ga…?? Dan dia berkata tdk apa2..mudah2an nanti generasi kita g akan memperbaikinya…?? (wallohu a’lam).
Jawab : dalil yang anda bawakan bukanlah dalil larangan Tahlilan sangatlah tidak nyambung dengan apa yang anda larang , anda melarang Tahlilan tanpa dalil , dalil yang anda bawakan jika seperti itu cara memahaminya , maka dalil itu lebih berhaq ditujukan kepada mereka yang membagi Tauhid , Kalau memang rosulullah SAW memerintahkan ..ya kita terima (karena perintah rosulullah SAW. Mana perintah Rosul untuk membagi Tauhid………?
Hery >>>>>>>>Kalau sholat tidak sama dg tatacara rosulullah SAW (ini masalah fiqh)…apakah ini dikatakan boleh2 aja karena masalah furu…, sya kira tdk demikian sahabatku…??, sekali lagi tdk hanya wahabi…., persis , muhammadiyyah, dll mengakui hal ini,,,
jawab : astaghfirullah logika anda ini jungkir balik hanya karena ingin mencari pembenaran. Masa sholat tidak sesuai dengan tata cara Rosul sholat mau dibolehkan……..?
hery >>>>>Sering kita membaca : robbighfirli waliwalidayya warhahuka kama ROBBAYANII sogiroo…, robbayani : maknanya adalah mengurus/memelihara…
Disinilah u’lama arab Saudi ,dll-> menganalisa terhadap ayat Al QUr’an…
Perbedaan makna Robbul dan Ilah…, Laailaaha illallah-> kenapa dalam kalimat tauhid ini pakai ilaha….? Tdk pakai robb…??? Tentu ada ilmu didalamnya…, silahkan kalau mau memperdalam…nanti insya Allah akan mudah untuk difahami…dan ini dirinci menjadi tauhid rubbubiyyah dan u’luhiyyah.
Jawab : analisa Ulama wahabi sebenarnya hanya bentuk ” membebek ” dan pembenaran atas apa yang telah dilakukan oleh M. Abdul Wahhab yang dengan ekstrim dan membabi Buta mengikuti kekliruan Ibnu Taimiyah , sehingga analisa mereka tidak mau tunduk terhadap Al-qur`an dan Al-hadist yang nyata-nyata tidak pernah membedakan Makna Robb dan Makna Ilah apalagi memisahkan makna keduanya , sebagaimana yang dilakukan kaum wahabi.
hery >>>>> maksudnya…?? Bukankah kita harus mengimani hal tersebut …?? Ya sebagai konsekuensi melaksanakan tauhid uluhiyyah ini. Itulah bukti org yg hanya menyembah kepada Allah (baik dalam hati ucapan, perbuatan), mengimani hadits rosulullah SAW (rukun iman dijelaskan dari hadits).
Kalau menurut antum tauhid itu seperti apa …?? apakah cukup mengakui Allah sebagai Tuhan semesta a’lam (robbul a’lamiin)…? Atu bagaimana…??
Jawab : rukun Iman yang 6 tidak pernah dicantumkan dalam Tauhid Uluhiyah versi wahabi , karena menurut wahabi Tauhid uluhiyah adalah ” meng-esakan Ibadah hanya untuk Allah. Hal ini benar hanya banyak distorsi didalamnya seperti Iman kepada malaikat , Iman kepada Kitab dll tidak masuk dalam Tauhid ini , lalu diletakan dimana rukun Imannya , padahal Iman tidak sah kecuali dengan rukunnya………?
Hery >>> Kalau menurut antum tauhid itu seperti apa …??
Jawab ; Tauhid adalah Mashdar dari wahhada yuwahhidu , sehingga Tauhid adalah meng –esakan Allah dalam Dzat , shifat dan Af`al , bukan rububiyah Uluhiyah , sebab pembagian menjadi Rububiyah dan Uluhiyah adalah ” pemisahan paksa ” dua kata yang tidak dapat dipisah , dan pemisahan seperti ini akan bertentangan dengan Qur`an dan Sunnah.
Hery >>> apakah cukup mengakui Allah sebagai Tuhan semesta a’lam (robbul a’lamiin)…? Atu bagaimana…??
Jawab : menurut al-qur`an cukup dan menurut kaum wahabi tidak cukup.
Seperti : dalam Tuhid Rububiyah dikatakan , bahwa meng Imani Allah SWt dengan Tauhid Rububiyah saja tidak cukup , alias seseorang belum dikatakan Muslim jika ia hanya ber Iman dengan Tauhid Rububiyah meskipun dia telah mengucapkan 2 kalimah Syahadat.
pendapat Ibnu Taimiyah ini didukung penuh oleh para pengikutnya (wahabiyah) padahal pendapat ini bertentangan dengan Firman Allah : sesungguhnya orang -orang yang mengatakan Robbunallah ( tuhan kami adalah Allah ) kemudian mereka Istiqomah didalamnya , akan turun kepada mereka malaikat janganlah kalian takut dan bersedih dan mereka akan diberi kabar gembira berupa surga dst. (fushilat : 30 )
dalam ayat ini jelas sekali jika pengakuan Rububiyah saja sudah cukup memasukkan orang menjadi Ahli Surga ( mukmin) lalu kenapa para pengikut Ibnu Taymiyah masih saja mengatakan : Tauhid Rububiyah saja tidak cukup , Tauhid Rububiyah saja belum muslim…..?
tentu masih banyak ayat lain yang menunjukkan cukupnya Tauhid Rububiyah menjadikan seseorang menjadi Ahli Tauhid , begitu juga dengan Hadist Shohih tentang pertanyaan Malaikat di alam kubur yang ditanya adalah Man Robbuka ……? ( tauhid rububiyah) tidak ada satu riwayatpun yang menyebutkan pertanyaannya ” Man Robuka wa Ilahuka “. ( rububiyah dan uluhiyah ).
saya rasa sudah jelas bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Tauhid Rububiyah saja tidak cukup menjadikan seseorang menjadi muslim ahli Tauhid , telah nyata ber-tentangan dengan Qur`an dan Sunnah .
hery >>>>>>>>Masya Alloh silahkan anda bicara sesuka hatimu karena kesombonganmu …..: ayat Al Qur’an itu bukankah kita wajib menerimanya…??
Sya mau Tanya antum: ayat sifat itu ditakwil seperti apa…?? Kalau memang antum merasa boleh boleh…?? Kenapa boleh…?? Dalilnya apa ni mas…??
1. Yadullah
2. Wajhullah
3. Biyamiina (dlm surat az-zumar )
Kemudian ulama mana yg menakwil itu …??? Silahkan jawab, jangan menghindar terus dg pertanyaan seperti ini saudaraku…, ada mungkin mengikuti madzhab imam syafi’i…beranikah beliau menakwil ayat2 sifat itu…?? Sya hanya mengikuti Imam Malik yg ditanya ttg istiwa’…(hanya beriman bahwa Allah beristiwa’ diatas arsy sebagaimana ayatnya, diatas arsy itu bukan berarti melekat sebagaimana kita duduk dikursi (karena memang Allah SWT berbeda dg makhluq), tapi jauh diatasnya lagi…dan itulah menurut u’lama)
jawab : kenapa anda sewot …….? Bukankah anda yang melarang Takwil dan saya Tanya mana dalil Larangan Takwilnya……..? tinggal jawab saja ga usah sewot sekali lagi mana Dalilnya……. Jika kita tidak boleh Takwil……….?
>>>> Konkritnya ….???, kalau anda tidak mengakui bahwa Allah punya Tangan / Wajah, sementara di Al Qur’an disebutkan…? Apakah anda mengingkari ayat al Qur’an…???. Contoh: Yadullah ana takwil dg kekuatan>>>>Dah dijawab diatas…
jawab : konkritnya silahkan anda baca bantahan saya terhadap ustadz firanda tentang klaim Ijmak keberadaan Allah dilangit , yang akhirnya ustadz firanda (salah satu tokoh wahabi) mengatakan Allah berada pada arah yang tidak berwujud (klik Ummati press) , dan ini aqidah wahabi yang sesungguhnya , >>>>>> ya ini yang disebut Tasybih , sangat jauh dari Manhaj Salaf as-shalihin , ini yang saya maksud ” sayang praktek dilapangan sangat jauh berbeda.”
hery >>>>>>Nah disini letak perbedaannya, silahkan dicek kembali fatwa imam syafi’I tentang berkumpul di klrga yg meninggal, sya kira imam syafi’I tdk pernah bukan melakukan tahlilan itu…dg waktu dan tatacara tertentu…?? (sya khawatir Al Imam As-Syafi’I justru melarangnya…), mohon penjelasannya menurut Imam Syafi’i…??
jawab : disinilah anda harus jeli membedakan Ma`tam dan Tahlilan , Ma`tam itu apa Tahlilan itu apa , sehingga anda tidak keliru dalam menetapkan hokum ,
hery >>>>>>Kira2 boleh ga membuat a’malan yg tdk diperintahkan rosulullah SAW…??? Andai rosulullah saw masih ada, bagaimana pendapat mas ahmadsyahid…apakah beliau diam saja…??
Jawab ; Boleh dan Sahabat melakukan hal itu , sebagian ada yang Rosul terima , sebagian lagi ada yang Rosul Tolak , dari kejadian kejadian seperti inilah Imam Syafi`I dan Ulama lainnya bahkan sahabat Nabi sayidina Umar berkesimpulan jika , boleh membuat a’malan yg tdk diperintahkan rosulullah SAW , sehingga Munculah Istilah Bid`ah Hasanah dan Bid`ah Madzmumah.
Hery >>>>>>>>Mujtahid jika salah mendapat pahala, tapi kita akan berbeda hukumnya jika mengikuti fatwa yg bertentangan dg Rosulullah SAW .
jawab : pemahaman anda diatas itu menurut siapa…..? Mujtahidnya dapet pahala , Muqolidnya mendapat Dosa , sehingga seluruh Ummat Islam sejak zaman Sahabat hingga yaumil akhir yang mengikuti Imam Syafi`I dan sayidina Umar , adalah Ummat yang berdosa karena mengikuti Fatwa yang bertentangan dengan Rosulallah SAW.
Ok , saya mo Tanya bagaimana cara anda beristhinbath sehingga mempunyai kesimpulan seperti diatas , mohon jelaskan cara anda sampai pada keimpulan Itu…………..?
Hery >>>>>> Ya sya belum menemukan, coba kasih tahu mas ahmad ttg hadits tersebut…, perbedaan penyebutan kalau bertentangan dg hadits rosulullah SAW…apakah tdk masalah gitu mas…??
Jawab : silahkan lihat Sunan at-tirmidzi hadist no 2077 saran saya tolong jangan difahami dengan hanya sekedar diterjemahkan , untuk memhaminya agar benar minimal anda faham , 1.manthuq , 2. mafhum dan 3. fahwa
حدثنا عبد الله بن عبد الرحمن أخبرنا محمد بن عيينة عن مروان بن معاوية الفزاري عن كثير بن عبد الله هو ابن عمرو بن عوف المزني عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لبلال بن الحارث اعلم قال ما أعلم يا رسول الله قال اعلم يا بلال قال ما أعلم يا رسول الله قال إنه من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي فإن له من الأجر مثل من عمل بها من غير أن ينقص من أجورهم شيئا ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا قال أبو عيسى هذا حديث حسن ومحمد بن عيينة هو مصيصي شامي وكثير بن عبد اللههو ابن عمرو بن عوف المزني
silahkan cermati hadist diatas tentu dengan Ilmunya, bukan sekedar diterjemahkan.
hery >>>>>Menurut saya yg bikin masalah adalah yg menyuruh/melaksanakan amalan yg tidak diperintahkan rosulullah SAW, seperti tahlilan itu…, janganlah mengatasnaakan imam syafi’i..padahal beliau tdk memfatwakannya..
jawab : yang bikin masalah adalah orang yang ingin menang sendiri , merasa benar sendiri , mengharamkan orang lain yang menyuruh/melaksanakan amalan yg tidak diperintahkan rosulullah SAW, seperti tahlilan , dan menghalalkan diri sendiri untuk menyuruh / melaksanakan amalan yg tidak diperintahkan rosulullah SAW, seperti Pembagian Tauhid.
Hery >>>>>>Tanpa dalil bagaimana, ayatnya terdapat dalam AL Qu’ran lho mas ahmad…?? Takwil itu harus berdasarkan dalil, kalau memang Allah SWT, Rosulullah SAW dan parasahabatnya mentakwil ..ya itu harus diikuti/dipedomani, kalau mereka sendiri tdk mentakwil…bagaimana menurut mas…??apakah kita aja takwilkan sendiri agar sesuai dg akal atau hati…??sya kira tdk seperti itu.
Jawab : ya Mana dalil Larangan Takwilnya……..? kok selalu mengatasnamakan Al-qur`an……….? Tanpa mampu menyebutkan ayatnya……….?
Hery >>>>> Masya Alloh : silahkan saja kalau antum ga percaya…? Istkhoroh /minta petunjuk sama Allah SWT tentang perkara ini.
anda yakin, univ. madinah, uiv lainnya diarab Saudi , muhammadiyyah, persis, ikhwanul muslimin, dll , beserta u’lamanya adalah mujassimah yg berarti orang2 kafir karena telah menyerupkan Allah dg makhluknya…??? Coba cermati kembali…jangan2 antum yg salah.., hati2 tuduhan itu bisa kembali kepada anda..
Jawab : Yang saya sebut disini sebagai Musyabih dan Mujassim adalah dua orang diatas yaitu ibn utsaimin dan sholih al-fauzan , adapun universitas dan ormas yang anda sebut jika mengajarkan buku – buku yang bermuatan Tasybih dan Tajsim , patut diduga akan terjerumus pada persoalan yang sama.
Hery >>>> Sungguh ironi…kalau arab Saudi dihuni ulama mujasimah, sementara Allah tetap membiarkan mereka ditanah suci selama ratusan tahun.., justru aneh kenapa sufi tdkmendapatkan tempat di arab sauidi…?? Bukankah islam itu lahir di arab Saudi…?? Jadi apakah islamnya yg di Indonesia ini yg paling benar…??
Jawab : Untuk mengukur benar tidaknya sebuah aqidah adalah dengan cara menyandingkannya kepada Qur`an dan Sunnah , bukan dengan dimana Aqidah itu berada , sebab kalau tempat yang menjadi ukuran kebenaran dan kebathilan maka sungguh ajaran wahabi berasal dan berkembang dari tempat munculnya Tanduk Syaithon Nejd.
hery >>>>>> bagaiaana org yg berani menakwilkan ayat AL qur’an dg akal pikirannya sendiri tanpa wahyu atau hadits…???
Jawab : ya jelas salah , sama salahnya dengan org yang berani melarang Takwil tanpa dalil.
Hery>>>> Alhamdulillah kalau begitu, …..dari mana anda tahu bahwa hasil bashiroh anda itu benar dan sesuai AL Qur’an dan As-sunnah…dan mendapat bimbingan Allah SWT…???
Jawab : saya tahu jika saya benar atau salah dari Al-qur`an dan As-sunnah , seperti inilah Mayoritas Ulama mengukur kebenaran dan kebathilan , saya mengukurnya tidak dengan tempat , seperti makkah dan Madinah pasti benar diluar Makkah dan Madinah pasti salah , pendalilan seperti apa ini……?
hery >>>>>>>>> ya betul sepakat harus nanya sama ahli-Nya. Setahu saya org arab Saudi ga pernah mengaku wahabi, mereka mengaku salafy. SIlahkan juga anda baca juga karya 2 Prof. Nashr abdul Karim Al Aql sebagai bantahan tehadap yg memfitnah terhadap yg dianngap wahabi. Supaya berimbang..
jawab : orang wahabi Minder disebut wahabi , ada apa nih…..? , saran saya kebenaran adalah untuk diikuti bukan untuk dibantah.
Hery >>>> Ya memang itu salah satu alasan dan bukan satu2nya alasan, emang kenapa, salah…?? Adakah sufi di arab Saudi…?? Adakah barjanjian, sholawat2 buatan disana…??
Jawab : ya jelas salah masa kebenaran diukur dengan tempat …….? Kebenaran itu diukur dengan kesesuaiannya dengan Qur`an dan Hadist . bukan dengan tempat , kalo kebenaran diukur dengan tempat seperti yang anda lakukan harusnya anda sudah tinggalkan faham wahabisme , karena faham wahabi Muncul dan berkembang dari tempat munculnya Tanduk syetan, nejd.
Dan apa anda tidak tahu dengan sholawat2 buatan al-albani dan bin baaz…..?
Hery >>>>>> Arab Saudi…dg berbagai perguruan tingginya..apakah sesat semua…?? Sebagi pencari kebenaran sejati anda jangan terkungkung dg NU/sufi…cob kaji yg lainnya.., insya Allah tdk lah seperti yg anda bayangkan…dan perkirakan…
jawab : bukan Cuma sesat tapi juga menyesatkan , berapa banyak pengkafiran ummat Islam muncul dari sana (arab Saudi) , berapa banyak Tasybih dan Tajsim disebarkan dari sana.
Hery >>>>> jangan didahului rasa benci….meskipun anda benci terhadap orang2nya..belum tentu ajarannya salah…begitu juga meski anda menyukai orang2nya..belum tentu ajarannya benar, Saya kira orang awam lebih mengikuti NU di Indonesia ini…., tapi yg intelek kebanyakan muhammadiyyah, ikhwanul muslimin, HTI, …, sya ga berpendapat NU bkn ahlusunnah…, yg jelas tolak ukunya adalah harus mengikuti sunnah rosulullah SAW dan para sahabatnya..dlam menjalankan agama ini.
Jawab :mas hery , persoalannya bukan suka atau tidak suka , persoalannya bukan benci atau tidak benci , persoalan satu-satunya adalah Agama ini Nashihat , bukti – bukti sudah disampaikan bagaimana kaum wahabi salah dalam men-definisikan kata Ibadah hingga bertentangan dengan Qur`an , kaum wahabi juga menyakini Tauhid yang keliru , yaitu Tauhid yang bertentangan dengan Qur`an dan Hadist seperti diatas sudah dijelaskan , masihkah akan dibiarkan………? Kita harus menasehati mereka Agar kembali pada ajaran yang sesuai dengan Qur`an dan Hadist.
@Mas Ahmad Syahid
Trims atas, pencerahannya. Walaupun NU dinilai sebagai “orang awam” oleh Mas Hery, namun Alhamdulillah uraian Ustadz Ahmad Syahid “tidak kalah inteleknya”. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Mas Ahmad Syahid. Amin
1. Dalam definisi itu ada definisi menurut bahasa dan ada juga mneurut syariat, Ibadah yg dimaksud Ibnu Taimiyyah adalah menurut syari’at. Tentunya penyembahan berhala bukanlah ibadah yg dimaksud menurut syariat islam itu sendiri. Ibadah secara bahasa: tunduk/merendahkan diri. Menurut Saya ga salah, tapi kalau mas ahmad bilang salah…, ok lah..ga apa2 itu hak anda.
2. Jawab : kenapa menanyakan Dalil Tahlilan secara Khusush………………..? bukankah Dalil Umum dan dalil Khusush mempunyai kekuatan hokum yang sama……..? atau anda tidak mengerti aturan ber-istidlal…….?
Tahlilan menurut hemat saya, masuk dalam amalan khusus dalam waktu dan tatacaranya, sehingga perlu dalil khusus, bukan kah ulama ahlusunnah punya kaidah “hukum asal ibadah itu terlarang(haram), kecuali ada dalil yg memerintahkan”. Menurut saya sedekah berbeda banget dg tahlilan. Sedekah ya apa saja, tdk ada metode khusus maupun waktu khusus, dan ini menggunakan dalil ttg sedekah. Kalau tahlilan pakai dalil sedekah, sya kira ini memaksakan kehendak.…., coba bagi2 ilmu ttg aturan istidlal itu…kalau antum sudah ahli…
3. tauhid tiga hanyalah salah satu contoh dan bukti ketidak konsistenan kaum Wahabi dalam memahami Bid`ah , lebih parah dari hal ini kaum wahabi menghalalkan ” perkara baru dalam Agama ” Untuk mereka sendiri , contohnya pembagian Tauhid , dan meng-Haramkannya untuk Muslim lainnya seperti Tahlilan , sampe-sampe minta Dalil khusush , padahal pembagian Tauhid Pun tidak ada dalil khusushnya dan tidak ada perintah untuk membaginya.
>>>>>>bid’ah menurut Imam As-Syathibi : Bid’ah adalah suatu metode /cara dalam urusan agama yg sengaja dibuat buat menyerupai syari’at yg sudah ada, dengan tujuan berlebih lebihan dalam ibadah/memiliki tujuan seperti tujuan syariat.
Tahlilan adalah amalan…, apakah ada perintahnya dari Rosulullah SAW…??
Pembagian Tauhid adalah hasil analisis ulama, sebagaimana ilmu fiqh (apakah ada disuruh bikin hukum islam menjadi makruh…??), sebagaimana Imam Syafi’i rhm menafsirkan menyentuh perempuan, kan itu hasil analisis beliau, sementara Rosulullah SAW pernah mencium istrinya bukan ketika punya wudlu…
4. saya setuju dengan Syarat sah , bukan syarat ” diterima ” karena sulit mengukur keikhlasan seseorang dalam beribadah.
>>> menurut saya yg menilai bukan kita, Allah akan menerima amal yg niatnya semata untuk Allah dengan tatacara sesuai syariat-Nya, kalau niatnya karena yg lain berarti ini kan syirik asghor bukan…??
5. dalil yang anda bawakan bukanlah dalil larangan Tahlilan sangatlah tidak nyambung dengan apa yang anda larang , anda melarang Tahlilan tanpa dalil , dalil yang anda bawakan jika seperti itu cara memahaminya , maka dalil itu lebih berhaq ditujukan kepada mereka yang membagi Tauhid , Kalau memang rosulullah SAW memerintahkan ..ya kita terima (karena perintah rosulullah SAW. Mana perintah Rosul untuk membagi Tauhid………?
>>>>>>>>>> bukankah hukum asal ibadah itu haram…?? Jadi ibadah/amalan ya harus berdasarkan dalil yg memerintahkannya.
Pembagian tauhid…menurut hemat saya..adalah ilmu hasil analisis ulama.
Sya kira beda antara ilmu dan amal, ilmu fiqh. Ilmu nahwu, apa itu ga boleh…?? Menurut saya itulah sunnah hassannah…
6. jawab : astaghfirullah logika anda ini jungkir balik hanya karena ingin mencari pembenaran. Masa sholat tidak sesuai dengan tata cara Rosul sholat mau dibolehkan……..?
>>>knapa anda sewot begitu mas…, siapa juga bilang seperti itu. Ini kan artinya masalah fiqh itu jangan digeneralisir sebagai masalah yg furu…
7. Jawab : analisa Ulama wahabi sebenarnya hanya bentuk ” membebek ” dan pembenaran atas apa yang telah dilakukan oleh M. Abdul Wahhab yang dengan ekstrim dan membabi Buta mengikuti kekliruan Ibnu Taimiyah , sehingga analisa mereka tidak mau tunduk terhadap Al-qur`an dan Al-hadist yang nyata-nyata tidak pernah membedakan Makna Robb dan Makna Ilah apalagi memisahkan makna keduanya , sebagaimana yang dilakukan kaum wahabi.
>>> itu perkiraan anda saja, orang arab saudi lebih faham bahasa arabnya dari pada anda…, contoh : Laailaaha illallah…dalam al qur’an robbul a’lamiin.
8. Jawab ; Tauhid adalah Mashdar dari wahhada yuwahhidu , sehingga Tauhid adalah meng –esakan Allah dalam Dzat , shifat dan Af`al , bukan rububiyah Uluhiyah , sebab pembagian menjadi Rububiyah dan Uluhiyah adalah ” pemisahan paksa ” dua kata yang tidak dapat dipisah , dan pemisahan seperti ini akan bertentangan dengan Qur`an dan Sunnah.
>>> ya tauhid memang masdar or gerund….,anda sudah faham tauhid mengesakan Allah dalam dzat, shifat dan af’al. Pemisahan tersebut hasil analisis ulama, yg kesimpulannya adalah mentauhidkan Allah dalam Af’al, Dzat, Shifat dan ibadah (penyembahan hanya kepada Allah). Definisi antum itu dari mana..sepertinya tidak mencakup pengesaan Allah dalam penyembahan/ibadah. Kalau orang sudah mengakui Allah itu esa dalam dzat, shifat, dan af’al…terus kemudian membangkang terhadap perintah Allah, atau syirik/beribadah kepada selain Allah….apakah itu sudah bertauhid…?? Bukankah Setan pun mengakui Dzat, Shifat maupun Af’al Allah…, begitu juga kaum musyrikin mekkah sebagaimana terdapat dalam ayat Al qur’an…, lebih jauh lagi…dimana letak rukun iman…?? Tauhid dalam beribadah/penyembahan ini bermakna menyembah hanya kepada Allah , jadi semua perintah (rukun iman dan rukun islam adalah pondasi dalam menyembah Allah SWT).
Allah mencela orang2 yg mencari takwil:
“adapun orang2 yg didalam hatinya terdapat kecondongan kepada kebatilan maka mereka mengikuti sebagian ayat2 mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari cari takwilnya. Dan (padahal) tidak ada yg mengetahui takwilnya kecuali Allah (Ali Imran : 7)
9. menurut al-qur`an cukup dan menurut kaum wahabi tidak cukup. >>Sya yakin kalau kita bertauhid ya harus mengakui dzat, sifat, af’al dan juga hanya menyembah Allah semata, jadi memang menurut saya lebih komprehensif menurut ulama saudi Arabia.
meskipun dia telah mengucapkan 2 kalimah Syahadat. Kalau berbuat syirik/beribadah kepada selain Allah, maka itu termasuk tidak bertauhid…
10. Ya yg bersahadat(kalau memang itu menurut anda sudah bertauhid), kalau istiqomah didalamnya, artinya dia pun menyembah/beribadah hanya kepada Allah , tidak syirik, maka akan diberi kabar gembira. Ini artinya apa…?? Tauhid itu tidak cukup hanya pengakuan tapi harus juga dg perbuatan menyembah/ibadah hanya kepada Allah semata.
11. kenapa anda sewot …….? Bukankah anda yang melarang Takwil dan saya Tanya mana dalil Larangan Takwilnya……..? tinggal jawab saja ga usah sewot sekali lagi mana Dalilnya……. Jika kita tidak boleh Takwil……….?
>>>ada ayatnya mas…
12. disinilah anda harus jeli membedakan Ma`tam dan Tahlilan , Ma`tam itu apa Tahlilan itu apa , sehingga anda tidak keliru dalam menetapkan hukum.
Sya yakin orang arab saudi lebih faham ilmu bahasa arab maupun dalam istinbath…, justru pendapat anda..ttg tahlilan ini tdk ada yg melakukannya kecuali NU/tasawuf…, ini yg jadi bahan pelajaran buat saya.
13. Boleh dan Sahabat melakukan hal itu , sebagian ada yang Rosul terima , sebagian lagi ada yang Rosul Tolak , dari kejadian kejadian seperti inilah Imam Syafi`I dan Ulama lainnya bahkan sahabat Nabi sayidina Umar berkesimpulan jika , boleh membuat a’malan yg tdk diperintahkan rosulullah SAW , sehingga Munculah Istilah Bid`ah Hasanah dan Bid`ah Madzmumah.
>>> contoh yg dilakukan sahabat….??
14. pemahaman anda diatas itu menurut siapa…..? Mujtahidnya dapet pahala , Muqolidnya mendapat Dosa , sehingga seluruh Ummat Islam sejak zaman Sahabat hingga yaumil akhir yang mengikuti Imam Syafi`I dan sayidina Umar , adalah Ummat yang berdosa karena mengikuti Fatwa yang bertentangan dengan Rosulallah SAW.
>>>anda keliru, bukan begitu maksudnya, jika mujtahid dikemudian hari terdapat kekeliruan, sementara ada hadits shahih yg bertentangan dg pendapat mujtahid itu, mana yg akan anda ikut…???begitu maksudnya mas…
15. Jawab : silahkan lihat Sunan at-tirmidzi hadist no 2077 saran saya tolong jangan difahami dengan hanya sekedar diterjemahkan , untuk memhaminya agar benar minimal anda faham , 1.manthuq , 2. mafhum dan 3. fahwa
حدثنا عبد الله بن عبد الرحمن أخبرنا محمد بن عيينة عن مروان بن معاوية الفزاري عن كثير بن عبد الله هو ابن عمرو بن عوف المزني عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لبلال بن الحارث اعلم قال ما أعلم يا رسول الله قال اعلم يا بلال قال ما أعلم يا رسول الله قال إنه من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي فإن له من الأجر مثل من عمل بها من غير أن ينقص من أجورهم شيئا ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا قال أبو عيسى هذا حديث حسن ومحمد بن عيينة هو مصيصي شامي وكثير بن عبد اللههو ابن عمرو بن عوف المزني
silahkan cermati hadist diatas tentu dengan Ilmunya, bukan sekedar diterjemahkan.
>> >>> Jadi kesimpulan antum yg ngerti manthuq, mafhum maupun fahwa ttg hadits itu…??
Menurut sya hadist ini ttg barang siapa yg menghidupkan sunnah dari sunnah nabi, maka akan dapat pahala dari orang yg mengikutinya tanpa mengurangi pahala irang yg mengikutinya sedikitpun, dan begitu juga sebaliknya dg bid’ah…, sya kira ga pas kalau hadist ini dianggap adanya bid’ah hasanah, yg ada adalah sunnah hasannah
16. yang bikin masalah adalah orang yang ingin menang sendiri , merasa benar sendiri , mengharamkan orang lain yang menyuruh/melaksanakan amalan yg tidak diperintahkan rosulullah SAW, seperti tahlilan , dan menghalalkan diri sendiri untuk menyuruh / melaksanakan amalan yg tidak diperintahkan rosulullah SAW, seperti Pembagian Tauhid.
>>>>> apakah Rosulullah SAW, mengajarkan ilmu bahasa arab, siapa yg menemukan nahwu , dll itu..? ini hasil analisa trhdp bahasa al qur’an juga, begitu jg dg ilmu fiqh,
>>> oklah..sya ga memaksakan kehendak, yg penting sudah menyampaikan pemahaman sya. Kalau kita nda sepakat, ga apa2…
.
17. Untuk mengukur benar tidaknya sebuah aqidah adalah dengan cara menyandingkannya kepada Qur`an dan Sunnah , bukan dengan dimana Aqidah itu berada, sebab kalau tempat yang menjadi ukuran kebenaran dan kebathilan maka sungguh ajaran wahabi berasal dan berkembang dari tempat munculnya Tanduk Syaithon Nejd.
>>> Kalau nda salah, yg beliau tunjuk itu adalah nejd yg diarah timur dari mekkah yaitu di iran. Anda tahu iran, disitu banyaknya syi’ah rafidhoh bukan…??? Menurut saya anda jangan tergesa2 terhasut oleh orang2 yg memusuhi salafy, karena orang2 syiah dan yahudi tidak suka dg keberadaan salafy ini. Ya begitulah halnya dakwah rosulullah SAW banyak fitnah dan cacian dari musuhnya, sya kira yg dialami salafy merupakan konsekuensi dakwah yg mengajak kepada tauhid yg benar, islam awalnya asing dan akan kembali asing diakhir zaman…,orang2 yg mengajak tauhid yg benar dianggaplah sebagai orang sesat, rosulullah SAW pun dulu dianggap orang gila…, tidak apa2. Mudah2an Allah SWT menunjukkan mana yang hak dan mana yg bathil.
18. Jawab : saya tahu jika saya benar atau salah dari Al-qur`an dan As-sunnah , seperti inilah Mayoritas Ulama mengukur kebenaran dan kebathilan , saya mengukurnya tidak dengan tempat , seperti makkah dan Madinah pasti benar diluar Makkah dan Madinah pasti salah , pendalilan seperti apa ini……?
>>> itu bukanlah dalil, namun sebagai salah satu yg perlu dianalisis lebih lanjut. Orang arab saudi yg bahasa aslinya arab, yg jelas2 mengerti bahasa AL Qur’an, masa sih ga ngerti masalah rubbubiiyah dan uluhiyyah itu…, dan Imam Abul Hasan AL Asy’ari pun awalnya menakwilkan ayat2 sifat bahkan menetapkan sifat2 Allah berdasarkan pikirannya, namun kemudian beliau mengakui akidah Imam Ahmad bin Hambal.
19. orang wahabi Minder disebut wahabi , ada apa nih…..? , saran saya kebenaran adalah untuk diikuti bukan untuk dibantah.
>>> anehnya , mereka sendiri ga pernah mengatas namakan wahabi, kalau salafy ya betul. Berarti itu adalah sebutan musuhnya yg dengki kepada mereka
20. ya jelas salah masa kebenaran diukur dengan tempat …….? Kebenaran itu diukur dengan kesesuaiannya dengan Qur`an dan Hadist . bukan dengan tempat , kalo kebenaran diukur dengan tempat seperti yang anda lakukan harusnya anda sudah tinggalkan faham wahabisme , karena faham wahabi Muncul dan berkembang dari tempat munculnya Tanduk syetan, nejd.
Dan apa anda tidak tahu dengan sholawat2 buatan al-albani dan bin baaz…..?
>>> ya betul, memang harus sesuai AL qur’an dan As-Sunnah itulah kebenaran. Tapi implementasinya ternyata malah banyak mengikuti kyai2 dari pada rosulullah SAW. Nejd yg dimaksud adalah nejd di iran…syiah rafidhoh …,
21. jawab : bukan Cuma sesat tapi juga menyesatkan , berapa banyak pengkafiran ummat Islam muncul dari sana (arab Saudi) , berapa banyak Tasybih dan Tajsim disebarkan dari sana.
Itu pendapat anda…, kalau memang sesuai AL QUr’an dan As-Sunnah pengkafiran itu ya berarti benar, tdk masalah bukan. Tasybih /tajsim itu adalah dugaan anda memahaminya. Sya khawatir justru anda yg tidak mau mengakui ayat al qur’an (khususnya ayat2 sifat). Yadullah , wajhullah itu menurut mas apa sih artinya…???
22. persoalannya bukan suka atau tidak suka , persoalannya bukan benci atau tidak benci , persoalan satu-satunya adalah Agama ini Nashihat , bukti – bukti sudah disampaikan bagaimana kaum wahabi salah dalam men-definisikan kata Ibadah hingga bertentangan dengan Qur`an , kaum wahabi juga menyakini Tauhid yang keliru , yaitu Tauhid yang bertentangan dengan Qur`an dan Hadist seperti diatas sudah dijelaskan , masihkah akan dibiarkan………? Kita harus menasehati mereka Agar kembali pada ajaran yang sesuai dengan Qur`an dan Hadist.
>>>> betul agama ini nashiat, tauhid, ibadah, sudah sya jelaskan diatas. Begitu juga mereka perlu menasihati yg melakukan amalan2 buatan yg tdk dicontohkan oleh rosulullah SAW.
Mas bima , sya ga mengatakan seperti itu lho, sya hanya bilang banyak juga orang awamnya di NU.
Mas Zon, sya sepakat kalau ttg sedekah mah…., dan menurut sya berbeda dg tahlilan yg ada metode dan waktu tertentu.., Ini pendapat sya, kalau berbeda..ga apa2…
Mas hery, kebiasaan sedekah boleh kapan saja dan dibuat ritme tertentu juga boleh asalkan tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Bolehkan kita merutinkan kebiasaan bersedekah kepada anak yatim setiap hari Jum’at, beberapa jam sebelum sholat jum’at ?
Kebiasaan (adat) atau segala perkara di luar dari perkara syariat atau segala perkara di luar dari apa yang telah disyariatkanNya berlaku kaidah ushul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan (adat) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkannya dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarangnya atau mengharamkannya“.
Maksudnya adalah “segala kebiasan (adat) atau segala perkara yang telah didiamkanNya atau segala perkara di luar perkara syariat (diluar dari apa yang telah disyariatkanNya) selama tidak melanggar satupun laranganNya atau selama tidak ada laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits serta ijma dan qiyas maka hukum asalnya adalah mubah (boleh). Perubahan hukum asalnya tergantung jenis perbuatannya.“
Jika perkara baru dalam kebiasaan (adat) tersebut menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas dinamakan sunnah sayyiah (contoh / teladan / rintisan / perkara baru yang buruk) dan termasuk bid’ah dholalah
Jika perkara baru dalam kebiasaan (adat) tersebut tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas maka dinamakan sunnah hasanah (contoh / teladan / rintisan / perkara baru yang baik) dan termasuk bid’ah hasanah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah (contoh) tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah (contoh) tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan batasan bagi kaum muslim yang akan melakukan perbuatan di luar perkara syariat (di luar dari apa yang disyariatkanNya) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyelahi pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Benar kata Imam Syafi`I ketika mengatakan : maa nadhortu `aliman qoth illa wagholabtuhu , wama Nadhoroni Jahilun qoth Illa wagholabani.
Hery
Dalam definisi itu ada definisi menurut bahasa dan ada juga mneurut syariat,
Jawab : kata siapa ada Definisi menurut bahasa……? Kalau yang Namanya definisi berarti sudah masuk pada pengertian khusus , bukan lagi pengertian dalam bahasa.
Hery>.Ibadah yg dimaksud Ibnu Taimiyyah adalah menurut syari’at. Tentunya penyembahan berhala bukanlah ibadah yg dimaksud menurut syariat islam itu sendiri.
Jawab : jelas menurut Istilah syareat yang saya maksud , Qur`an menyebut perbuatan penyembah berhala terhadap berhalanya disebut Ibadah , sementara menurut Definisi kaum wahabi tidak disebut Ibadah, kenapa tidak membuat Definisi yang sesuai dengan Qur`an dan Hadist saja……….? Kenapa masih mempertahankan Definisi yang tidak selaras dengan Qur`an……………?
Hery>>>Ibadah secara bahasa: tunduk/merendahkan diri. Menurut Saya ga salah, tapi kalau mas ahmad bilang salah…, ok lah..ga apa2 itu hak anda.
Jawab : hery nt kok senengnya bermain2 ya ……..? yang saya bahas itu Ibadah menurut Istilah syar`I bukan menurut bahasa , lagi pula Salah benar itu bukan menurut saya atau menurut anda , Neraca kita hanya Qur`an dan Hadist , dan Definisi Ibadah kaum wahabi bertentangan dengan Qur`an dan Hadist. Coba jelaskan jika menurut anda tidak bertentangan dengan qur`an……?
hery>>>> Tahlilan menurut hemat saya, masuk dalam amalan khusus dalam waktu dan tatacaranya, sehingga perlu dalil khusus, bukan kah ulama ahlusunnah punya kaidah “hukum asal ibadah itu terlarang(haram), kecuali ada dalil yg memerintahkan”. Menurut saya sedekah berbeda banget dg tahlilan. Sedekah ya apa saja, tdk ada metode khusus maupun waktu khusus, dan ini menggunakan dalil ttg sedekah. Kalau tahlilan pakai dalil sedekah, sya kira ini memaksakan kehendak.…., coba bagi2 ilmu ttg aturan istidlal itu…kalau antum sudah ahli…
jawab : amalan khusus membutuhkan dalil khusus kaidah dari mana……? Sebutkan referensinya……?
>>>>>>bid’ah menurut Imam As-Syathibi : Bid’ah adalah suatu metode /cara dalam urusan agama yg sengaja dibuat buat menyerupai syari’at yg sudah ada, dengan tujuan berlebih lebihan dalam ibadah/memiliki tujuan seperti tujuan syariat.
Tahlilan adalah amalan…, apakah ada perintahnya dari Rosulullah SAW…??
Pembagian Tauhid adalah hasil analisis ulama, sebagaimana ilmu fiqh (apakah ada disuruh bikin hukum islam menjadi makruh…??), sebagaimana Imam Syafi’i rhm menafsirkan menyentuh perempuan, kan itu hasil analisis beliau, sementara Rosulullah SAW pernah mencium istrinya bukan ketika punya wudlu…
jawab : sama dengan pembagian Tauhid wahabi adalah suatu metode /cara dalam urusan agama yg sengaja dibuat buat menyerupai syari’at yg sudah ada (lihat hadist jibril) , dengan tujuan berlebih lebihan dalam ibadah/memiliki tujuan seperti tujuan syariat.
Dan pembagian Tauhid lebih tinggi dari sekedar amalan karena ini adalah keyakinan , mana dalil perintahnya dari Rosulallah SAW ……?
>>> menurut saya yg menilai bukan kita, Allah akan menerima amal yg niatnya semata untuk Allah dengan tatacara sesuai syariat-Nya, kalau niatnya karena yg lain berarti ini kan syirik asghor bukan…??
Jawab : betul yang menilai itu Allah , dan yang menerima juga Allah , kenapa anda yang bikin syarat…….?
>>>>>>>>>> bukankah hukum asal ibadah itu haram…?? Jadi ibadah/amalan ya harus berdasarkan dalil yg memerintahkannya.
Pembagian tauhid…menurut hemat saya..adalah ilmu hasil analisis ulama.
Sya kira beda antara ilmu dan amal, ilmu fiqh. Ilmu nahwu, apa itu ga boleh…?? Menurut saya itulah sunnah hassannah…
Jawab : hokum asal Ibadah adalah at-tauqiif , bukan haram.
Pembagian Tauhid adalah hasil analisa yang bertentangan dengan Qur`an dan Hadist, jika tidak bertentangan dengan Qur`an dan Hadist boleh disebut Sunnah Hasanah,
sebagaimana Tahlilan dan Mulidan adalah Sunnah Hasanah karena tidak ada satu hal pun yang dikandungnya yang bertentangan dengan Qur`an dan Hadist.
>>>knapa anda sewot begitu mas…, siapa juga bilang seperti itu. Ini kan artinya masalah fiqh itu jangan digeneralisir sebagai masalah yg furu…
jawab : masalah fiqh itu semuanya masalah furu` gimana toh anda ini ……tidak dapat bedain yang furu` sama yang ushul …….? Fiqh itu semuanya furu`.
>>> itu perkiraan anda saja, orang arab saudi lebih faham bahasa arabnya dari pada anda…, contoh : Laailaaha illallah…dalam al qur’an robbul a’lamiin.
Jawab : itu adalah bukti , bukan perkiraan , dan yang ngebantah m. abdul wahhab itu orang Arab juga bahkan dari seluruh dunia Islam , banyak yang bahasa arabnya lebih hebat dari m abdul wahhab.
>>> ya tauhid memang masdar or gerund….,anda sudah faham tauhid mengesakan Allah dalam dzat, shifat dan af’al. Pemisahan tersebut hasil analisis ulama, yg kesimpulannya adalah mentauhidkan Allah dalam Af’al, Dzat, Shifat dan ibadah (penyembahan hanya kepada Allah). Definisi antum itu dari mana..sepertinya tidak mencakup pengesaan Allah dalam penyembahan/ibadah. Kalau orang sudah mengakui Allah itu esa dalam dzat, shifat, dan af’al…terus kemudian membangkang terhadap perintah Allah, atau syirik/beribadah kepada selain Allah….apakah itu sudah bertauhid…?? Bukankah Setan pun mengakui Dzat, Shifat maupun Af’al Allah…, begitu juga kaum musyrikin mekkah sebagaimana terdapat dalam ayat Al qur’an…, lebih jauh lagi…dimana letak rukun iman…?? Tauhid dalam beribadah/penyembahan ini bermakna menyembah hanya kepada Allah , jadi semua perintah (rukun iman dan rukun islam adalah pondasi dalam menyembah Allah SWT).
Allah mencela orang2 yg mencari takwil:
“adapun orang2 yg didalam hatinya terdapat kecondongan kepada kebatilan maka mereka mengikuti sebagian ayat2 mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari cari takwilnya. Dan (padahal) tidak ada yg mengetahui takwilnya kecuali Allah (Ali Imran : 7)
jawab : saya akan komentari soal ayat ini , siapakah orang2 yg didalam hatinya terdapat kecondongan kepada kebatilan maka mereka mengikuti sebagian ayat2 mutasyabihat…..?
mereka adalah orang yang menolak Tafwidh dan Takwil seperti kaumnya Ibnu taimiyah cs ( wahabiyah) , mereka beranggapan tidak ada ayat Mutasyabihat , semua ayat itu muhkamat / dapat dimengerti maknanya sehingga mereka mengikuti ayat mutasyabihat , dan mereka terjatuh dalam Tasybih dan Tajsim.
dan siapakah yang mencari2 takwilnya ……? Mereka adalah kaum Mu`athilah seperti Jahmiyah dan mu`tazilah.
Jadi ayat ini tidak mengena kepada seluruh Takwil , sebab Nabipun mendoakan Ibnu Abbas agar Allah beri pemahaman dan Takwil , tidak semua Takwil terlarang.
Hery >>Sya yakin kalau kita bertauhid ya harus mengakui dzat, sifat, af’al dan juga hanya menyembah Allah semata, jadi memang menurut saya lebih komprehensif menurut ulama saudi Arabia.
meskipun dia telah mengucapkan 2 kalimah Syahadat. Kalau berbuat syirik/beribadah kepada selain Allah, maka itu termasuk tidak bertauhid…
jawab : pertanyaan yang anda ajukan adalah : apakah cukup mengakui Allah sebagai Tuhan semesta a’lam (robbul a’lamiin)…? Atu bagaimana…??
Bukan soal pembatal keimanan dan keislaman , kenapa anda sering gak nyambung….?
Hery>> Ya yg bersahadat(kalau memang itu menurut anda sudah bertauhid), kalau istiqomah didalamnya, artinya dia pun menyembah/beribadah hanya kepada Allah , tidak syirik, maka akan diberi kabar gembira. Ini artinya apa…?? Tauhid itu tidak cukup hanya pengakuan tapi harus juga dg perbuatan menyembah/ibadah hanya kepada Allah semata.
Jawab : pertanyaan yang anda ajukan adalah : apakah cukup mengakui Allah sebagai Tuhan semesta a’lam (robbul a’lamiin)…? Atu bagaimana…?? , bukan apakah sekedar pengakuan cukup atau tdk cukup……….kenapa sering gak nyambung………?
Dan Pertanyaan anda diatas sudah saya jawab : menurut kaum wahabi Tauhid rububiyah saja tidak cukup , menurut Qur`an dan Hadist Cukup , karena Robb adalah Ilah dan Ilah adalah Robb.
>>>ada ayatnya mas…
jawab : ayat yang anda bawakan bukanlah tentang larangan Takwil , ayat yang anda bawakan adalah tentang Tahdzir agar hati2 dalam mentakwil , dan sangat disayangkan ayat itu tidak anda bawakan secara Utuh , anda melarang Takwil dengan dalil yang tidak Pas alias tidak ada dalilnya , sebab Rosulpun mendoakan Ibnu Abbas agar menjadi Ahli Takwil , apa anda kira Rosul telah menentang Allah …… karena mendoakan Ibnu Abbas menjadi ahli Takwil………? Apakah anda merasa lebih mengeri qur`an ………dari…..?
hery>>Sya yakin orang arab saudi lebih faham ilmu bahasa arab maupun dalam istinbath…, justru pendapat anda..ttg tahlilan ini tdk ada yg melakukannya kecuali NU/tasawuf…, ini yg jadi bahan pelajaran buat saya.
Jawab : Nu ( aqidahnya ) dan Tassawwuf itu Mayoritas Ulama Islam diseluruh dunia , jadi 2 kata NU dan Tasawwuf itu sudah mewakili 85% Ummat Islam dunia , apakah yang 85% ini salah dan yang 4% (wahabi) benar…..? 11% lainnya campuran antar sekte.
>>> contoh yg dilakukan sahabat….??
Jawab : banyak , contoh seperti sholat syukrul wudhu , tidak ada perintahnya dari Rosul agar setelah wudhu Sholat ini ibadah khusus , tahu-tahu Sayidina Bilal setiap batal berwudhu lalu sholat 2 rokaat setelahnya , tanpa ada perintah dari Rosul , lama-kelamaan Rosul diberitahu oleh Allah jika derap Langkah bilal sudah ada disurga , sehingga Rosul kaget dan bertanya Kepada Bilal , Bilal apa yang kau kerjakan hingga kau mendahului aku disurga ……. Sayiduna bilal menjawab , Tidak ya Rosul kecuali setiap batal wadhu saya kembali wudhu dan sholat 2 rokaat setelahnya , ini contoh perbuatan tanpa ada perintah Namun Rosul terima ,
ada pula perbuatan tanpa perintah dari Rosul , Rosul tolak seperti :
Sayidina Kholid ibn walid yang pulang dari negeri Habsyah , beliau Sujud dihadapan baginda Nabi sebagai bentuk penghormatan , karena beliau melihat bagaimana Raja diperlakukan ( dihormati) dan beliau berpendapat jika Nabi lebih berhak untuk di Hormati
, Namun perbuatan beliau ini Rosul Tolak.
dari kejadian kejadian seperti inilah Imam Syafi`I dan Ulama lainnya bahkan sahabat Nabi sayidina Umar berkesimpulan jika , boleh membuat a’malan yg tdk diperintahkan rosulullah SAW , sehingga Munculah Istilah Bid`ah Hasanah dan Bid`ah Madzmumah.
>>>anda keliru, bukan begitu maksudnya, jika mujtahid dikemudian hari terdapat kekeliruan, sementara ada hadits shahih yg bertentangan dg pendapat mujtahid itu, mana yg akan anda ikut…???begitu maksudnya mas…
jawab : oooh berarti anda merasa lebih ngerti Hadist ketimbang Imam Syafi`I dan Sahabat Umar ra………? Berapa hadist yang anda Hafal……..? jika anda baru mengenal Ulumul hadist sudah berani mengukur Sayidina Umar dan Imam syafi`I hebat sekali anda.
Lalu darimana anda dapat menentukan Shohih tidaknya sebuah Hadist…….. sementara anda bukanlah seorang Hafidz……..?
15. Jawab : silahkan lihat Sunan at-tirmidzi hadist no 2677 saran saya tolong jangan difahami dengan hanya sekedar diterjemahkan , untuk memhaminya agar benar minimal anda faham , 1.manthuq , 2. mafhum dan 3. fahwa
حدثنا عبد الله بن عبد الرحمن أخبرنا محمد بن عيينة عن مروان بن معاوية الفزاري عن كثير بن عبد الله هو ابن عمرو بن عوف المزني عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لبلال بن الحارث اعلم قال ما أعلم يا رسول الله قال اعلم يا بلال قال ما أعلم يا رسول الله قال إنه من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي فإن له من الأجر مثل من عمل بها من غير أن ينقص من أجورهم شيئا ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا قال أبو عيسى هذا حديث حسن ومحمد بن عيينة هو مصيصي شامي وكثير بن عبد اللههو ابن عمرو بن عوف المزني
silahkan cermati hadist diatas tentu dengan Ilmunya, bukan sekedar diterjemahkan.
>> >>> Jadi kesimpulan antum yg ngerti manthuq, mafhum maupun fahwa ttg hadits itu…??
Menurut sya hadist ini ttg barang siapa yg menghidupkan sunnah dari sunnah nabi, maka akan dapat pahala dari orang yg mengikutinya tanpa mengurangi pahala irang yg mengikutinya sedikitpun, dan begitu juga sebaliknya dg bid’ah…, sya kira ga pas kalau hadist ini dianggap adanya bid’ah hasanah, yg ada adalah sunnah hasannah
jawab : manthuq mafhum dan fahwa beserta hukum2nya anda ga ngerti , mahamin satu hadist saja anda ga becus , udah ngukur sayidina Umar dan Imam Syafi`I , bahwa fatwa keduanya bertentangan dengan Hadist shohih , coba anda i`rob potongan Hadist diatas ini :
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا
Kalo ngi`rob ini aja anda gak mampu , lalu apa yang anda andelin untuk menilai para Imam Mujtahid……?
16. yang bikin masalah adalah orang yang ingin menang sendiri , merasa benar sendiri , mengharamkan orang lain yang menyuruh/melaksanakan amalan yg tidak diperintahkan rosulullah SAW, seperti tahlilan , dan menghalalkan diri sendiri untuk menyuruh / melaksanakan amalan yg tidak diperintahkan rosulullah SAW, seperti Pembagian Tauhid.
hery >>>>> apakah Rosulullah SAW, mengajarkan ilmu bahasa arab, siapa yg menemukan nahwu , dll itu..? ini hasil analisa trhdp bahasa al qur’an juga, begitu jg dg ilmu fiqh,
jawab : apa kaitannya dengan jawaban saya diatas…..? apa anda tidak tahu jika Rosulallah SAW adalah Gudangnya Ilmu……….? Sehingga semua dasar disiplin ilmu sudah Rosul ajarkan…….? Dan anda keliru mengatakan Nahwu adalah Hasil analisa , Nahwu adalah hasil Istiqro yang dasar2nya sudah Rosul letakkan dalam Qur`an dan Hadist , begitu juga dengan Fiqh dan Ushul Fiqh
>>> oklah..sya ga memaksakan kehendak, yg penting sudah menyampaikan pemahaman sya. Kalau kita nda sepakat, ga apa2…
jawab : bagaimana anda mengaku tidak memaksakan kehendak ……….? Dari awal hingga kini anda masih memvonis Salah terhadap pendapat adanya Bid`ah hasanah tanpa ilmu ……?
.
>>> Kalau nda salah, yg beliau tunjuk itu adalah nejd yg diarah timur dari mekkah yaitu di iran. Anda tahu iran, disitu banyaknya syi’ah rafidhoh bukan…???
Jawab : Anda jelas salah jika nejd adalah iran , wong Lajnah Daimah lil buhust wal ifta kerajaan Saudi saja mengakui jika Nejd adalah tempat lahirnya m. abdul wahhab.
Hery >> Menurut saya anda jangan tergesa2 terhasut oleh orang2 yg memusuhi salafy, karena orang2 syiah dan yahudi tidak suka dg keberadaan salafy ini. Ya begitulah halnya dakwah rosulullah SAW banyak fitnah dan cacian dari musuhnya, sya kira yg dialami salafy merupakan konsekuensi dakwah yg mengajak kepada tauhid yg benar, islam awalnya asing dan akan kembali asing diakhir zaman…,orang2 yg mengajak tauhid yg benar dianggaplah sebagai orang sesat, rosulullah SAW pun dulu dianggap orang gila…, tidak apa2. Mudah2an Allah SWT menunjukkan mana yang hak dan mana yg bathil.
Jawab : eeey ente bandingin Dakwah Rosulallah SAW dengan Dakwah m. abdul wahhab……..? sungguh ini penghinaan terhadap Rosulallah SAW. Dan hanya muncul dari mulut orang2 Jahil.
hery >>> itu bukanlah dalil, namun sebagai salah satu yg perlu dianalisis lebih lanjut. Orang arab saudi yg bahasa aslinya arab, yg jelas2 mengerti bahasa AL Qur’an, masa sih ga ngerti masalah rubbubiiyah dan uluhiyyah itu…, dan Imam Abul Hasan AL Asy’ari pun awalnya menakwilkan ayat2 sifat bahkan menetapkan sifat2 Allah berdasarkan pikirannya, namun kemudian beliau mengakui akidah Imam Ahmad bin Hambal.
Jawab : itu cara beristidlal , dan nt tahu tahun berapa Nahwu mulai ditulis dan diajarkan ……..? Tahun 40 hijriyah ditangan abu aswad ad-duali atas perintah sayidina Ali kw , hanya 40 tahun setelah hijroh bahasa Arab sudah mulai Rusak , m.abdul wahhab itu baru lahir abad 12h 1200 tahun saliqoh `arobiyah sudah hilang.
Al-qur`an dan hadist tidak membedakan Rububiyah dan Uluhiyah , apalagi memisahkan keduanya sebagaimana yang dilakukan oleh kaum wahabi.
hery >>> anehnya , mereka sendiri ga pernah mengatas namakan wahabi, kalau salafy ya betul. Berarti itu adalah sebutan musuhnya yg dengki kepada mereka
jawab : ha ha ha , para dedengkot wahabi bangga dengan Nama dan sebutan Wahabi ini kroco2nya pada memungkiri.
Hery >>> ya betul, memang harus sesuai AL qur’an dan As-Sunnah itulah kebenaran. Tapi implementasinya ternyata malah banyak mengikuti kyai2 dari pada rosulullah SAW. Nejd yg dimaksud adalah nejd di iran…syiah rafidhoh …,
jawab : apa anda kira para Kiyai Ahlu Sunnah tidak mengikuti Nabi……? silahkan klik web resmi lajnah daimah lil buhuts wal ifta kerajaan Saudi , agar dapat membuktikan Nejd itu mana. ( dulu kaum wahabi menggemborkan Nejd adalah Irak , sekarang hery bilang Iran).
hery>>>> Itu pendapat anda…, kalau memang sesuai AL QUr’an dan As-Sunnah pengkafiran itu ya berarti benar, tdk masalah bukan. Tasybih /tajsim itu adalah dugaan anda memahaminya. Sya khawatir justru anda yg tidak mau mengakui ayat al qur’an (khususnya ayat2 sifat). Yadullah , wajhullah itu menurut mas apa sih artinya…???
Jawab : itu pendapat mayoritas Ulama Islam bukan hanya pendapat saya pribadi , dan pengakifan yang dilakukan oleh m.abdul wahhab beserta kroni2nya sangat jauh dari tuntunan al-qur`an dan as-sunnah , bahkan bertentangan dengan keduanya , pengkafiran kaum wahhabi hanya berdasarkan pada 1. kekeliruan dalam mendefinisikan Ibadah , 2. kekeliruan dalam meng-identifikasi ” penyebab kemusyrikan ” kafir quresy 3. kekeliruan dalam memahami kata do`a.
>>>> betul agama ini nashiat, tauhid, ibadah, sudah sya jelaskan diatas. Begitu juga mereka perlu menasihati yg melakukan amalan2 buatan yg tdk dicontohkan oleh rosulullah SAW.
Jawab : melakukan amalan yang tdk dicontohkan oleh Rosulallah SAW tidaklah masalah , selama perbuatan2 itu tidak bertentangan dengan Qur`an Hadist Ijma` dan sumber hokum islam Lainnya , sama dengan Kaum wahabi yang telah membagi Tauhid tanpa ada perintah dari Rosul SAW , hanya perbuatan kaum wahabi ini ( membagi Tauhid ) bertentangan dengan Qur`an dan Hadist.
Silahkan pelajari :
dalam Tuhid Rububiyah dikatakan , bahwa meng Imani Allah SWt dengan Tauhid Rububiyah saja tidak cukup , alias seseorang belum dikatakan Muslim jika ia hanya ber Iman dengan Tauhid Rububiyah meskipun dia telah mengucapkan 2 kalimah Syahadat.
pendapat Ibnu Taimiyah ini didukung penuh oleh para pengikutnya (wahabiyah) padahal pendapat ini bertentangan dengan Firman Allah : sesungguhnya orang -orang yang mengatakan Robbunallah ( tuhan kami adalah Allah ) kemudian mereka Istiqomah didalamnya , akan turun kepada mereka malaikat janganlah kalian takut dan bersedih dan mereka akan diberi kabar gembira berupa surga dst. (fushilat : 30 )
dalam ayat ini jelas sekali jika pengakuan Rububiyah saja sudah cukup memasukkan orang menjadi Ahli Surga ( mukmin) lalu kenapa para pengikut Ibnu Taymiyah masih saja mengatakan : Tauhid Rububiyah saja tidak cukup , Tauhid Rububiyah saja belum muslim…..?
tentu masih banyak ayat lain yang menunjukkan cukupnya Tauhid Rububiyah menjadikan seseorang menjadi Ahli Tauhid , begitu juga dengan Hadist Shohih tentang pertanyaan Malaikat di alam kubur yang ditanya adalah Man Robbuka ……? ( tauhid rububiyah) tidak ada satu riwayatpun yang menyebutkan pertanyaannya ” Man Robuka wa Ilahuka “. ( rububiyah dan uluhiyah ).
saya rasa sudah jelas bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Tauhid Rububiyah saja tidak cukup menjadikan seseorang menjadi muslim ahli Tauhid , telah nyata ber-tentangan dengan Qur`an dan Sunnah .
silahkan jelaskan jika menurut anda Tauhid rububiyah versi wahabi tidak bertentangan dengan Qur`an dan Hadist.
kita belum berbicara mengenai Uluhiyah dan shifat bagaimana keduanya bertentangan dengan Qur`an dan Hadist.
Takwil Imam Malik bin Anas terhadap hadist mustasyabihat tentang turunnya Allah di 1/3 malam terakhir adalah “yanzilu amrihi” yaitu “turunnya Rahmat dan Perintah Allah” pada 1/3 malam. Adapun Allah itu tetap tidak bergeser maupun berpindah.
Sumber yg mengatakan Imam Malik bin Anas menakwil adalah Attamhid 8/143; Siyaru a’lamun nubala 8/105; dan ada pula dalam kitab lainnya.
Jadi walau pun Imam Malik tidak menakwil surah at-Thaha :5, tapi beliau tidak anti terhadap takwil. Buktinya beliau menakwil hadist mustasyabihat…
1. Kalau yang Namanya definisi berarti sudah masuk pada pengertian khusus , bukan lagi pengertian dalam bahasa.
>>>Insya Allah kalau antum sering mengkaji ilmu, pasti akan menemui pengertian menurut etimologi(lughoh) maupun terminology(istilah).
2. jelas menurut Istilah syareat yang saya maksud , Qur`an menyebut perbuatan penyembah berhala terhadap berhalanya disebut Ibadah , sementara menurut Definisi kaum wahabi tidak disebut Ibadah, kenapa tidak membuat Definisi yang sesuai dengan Qur`an dan Hadist saja……….? Kenapa masih mempertahankan Definisi yang tidak selaras dengan Qur`an……………?
>>> kalau menurut Ustad Luqman Ba’abduh , Ibadah dilihat dari 2 sudut pandang :
1) atta’abud-> perbuatannya (al fi’il)——artinya attadzallul (perendahan diri)
perendahan diri itu dalam bentuk i’badah yg disertai mahabbah dan ta’dziman (cinta dan pengagungan)
2) AlMutta’abad bihijenis ibadahnya, ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah menurut jenis ibadahnya. Ibadah yg dimaksud disini adalah semua ibadah dalam rangka mentauhidkan Allah SWT. (sholat, zakat, puasa, tolabul ilmi, d ll)
Kalau yg antum maksud dalam al qur’an ada yg beribadah kepada toghut, ini bermakna perendahan diri atau menyembah. Tentunya ini adalah ibadah syirik. Sehingga bukanlah ibadah yg benar menurut Islam, meskipun disebut ibadah-dan itu bukanlah i’badah yg diperintahkan Allah SWT.
Jadi yg dimaksud Ibnu Taimiyyah adalah ibadah yg diridhoi oleh Allah SWT dalam rangka mentauhidkannya/ibadah yg dimaksud oleh agama yg suci kita. Merupakan juga sebuah istilah yg mencakup segala ibadah (sholat, tolabul ilmi, dll) yg diajarkan Allah dan rosul-Nya.
Insya Allah sya ga bermain2, menurut antum…apakah ibadah kepada selain Allah itu adalah ibadah yg dimaksud /yg diinginkan/yg diridhoi Allah SWT..??? ya ok lah benar disebut ibadah, tapi ibadah syirik….dan itu bukanlah ibadah yg diridhoi Allah SWT. Kalau pengen lebih detail bisa Tanya langsung kepada beliau…., maklum anna bukan ustad….tapi hanya berusaha mencari kebenaran….
3. jawab : amalan khusus membutuhkan dalil khusus kaidah dari mana……? Sebutkan referensinya……?
>>>>sholat —ibadah mahdhoh (karena waktu dan tatacaranya memang khusus), zakat, puasa, dll—semuanya ada dalil yg mengkhususkan. Tahlilan menurut hemat saya, khusus juga. dan tdk ada dalil secara khusus yg memerintahkan hal tersebut. Kalau menurut antum mungkin tdk perlu ya….?? Ok deh ga apa2….silahkan saja…kalau prinsip antum begitu. Kita akan pertanggungjawabkan masing2.
4. sama dengan pembagian Tauhid wahabi adalah suatu metode /cara dalam urusan agama yg sengaja dibuat buat menyerupai syari’at yg sudah ada (lihat hadist jibril) , dengan tujuan berlebih lebihan dalam ibadah/memiliki tujuan seperti tujuan syariat.
>>> ushul fiqh dg kaidah2nya merupakan hasil analisis ulama terhadap al qur’an dan as-sunnah, perincian tauhid pun begitu. Tahlilan, maulid nabi, perayaan isro mi’raj, mengeraskan niat dalam sholat, merupakan contoh yg dimaksud disitu
5. Dan pembagian Tauhid lebih tinggi dari sekedar amalan karena ini adalah keyakinan , mana dalil perintahnya dari Rosulallah SAW ……?
Tauhid menurut anda : mentauhidkan Allah dari dzat, asma dan af’al. Ini tdk salah namun menurut saya kurang lengkap. Karena mentauhidkan Allah itu tidak hanya dari dzat, asma, dan af’al, namun perlu juga mentauhidkan Allah dalam beribadah. Kenapa, karena hanya mengakui Allah sebagai salah satu Tuhan yg esa baik dzatnya, asma maupun af’al, belum lengkap dikatakan sebagai orang yg mentauhidkan Allah. Memang jika sudah bersahadat dia menjadi muslim, tapi dalam prakteknya banyak orang muslim itu pergi ke dukun, peramal, dll. Sehingga medkipun muslim dia ternyata belum mentauhidkan Allah SWT. Oleh karena itu definisi menurut mas ahmad, ini menurut saya ya…perlu dilengkapi dengan mentauhidkan Allah dalam beribadah. Dan inilah tauhid yg diajarkan oleh para Rosul.
Tauhid dirinci menjadi 3 :
1. Mentahuidkan Allah dalam Af’al (robbayanii soghiroo: memelihara kami sejak kecil, dalam hal ini, kita harus mentauhidkan Allah dalam hal kepengurusan Alam Semesta/makhluk-Nya (rubbubiyyah)
2. Mentahuidkan Allah dalam ibadah
3. Mentauhidkan Allah dalam asma washifat
Jadi orang yg bertauhid itu harus mentauhidkan Allah dalam dzat, asma dan dalam ibadah. Sya kira nda ada yg bertentangan dg Al Qur’an. Jika hanya mentauhidkan allah dari segi af’al saja- kan tidak cukup, harus juga beribadah hanya kepada Allah , dan mentauhidkannya dalam asma washifat.
6. betul yang menilai itu Allah , dan yang menerima juga Allah , kenapa anda yang bikin syarat…….?
>>> Sya sangat berdosa kalau memang saya menurut antum membuat syariat, tapi demi Allah itu tdk benar. Sya hanya menyampaikan apa yg diperintahkan Allah dan Rosulnya (wamaa atakumurosulu fahudzuhu wamaa nahakum anhu fantahu). Justru menurut saya yg membuat amalan yg baru itulah yg perlu ditinjau ulang…??seperti tahlilan, mengeraskan niat, maulid, dll…….., ini pendapat sya …, kalu antum nda sepakat ya nda apa2…
7. hokum asal Ibadah adalah at-tauqiif , bukan haram.
Pembagian Tauhid adalah hasil analisa yang bertentangan dengan Qur`an dan Hadist, jika tidak bertentangan dengan Qur`an dan Hadist boleh disebut Sunnah Hasanah,
>>>silahkan dicek juga ushul fiqhnya. Betul tauqif, oleh karena itu ibadah menjadi haram kecuali ada perintahnya (sehingga harus tauqif), karena memang dala Al Qur’an maupun As-Sunnah pun yg namanya ibadah itu (ibadah menurut Islam) diperintahkan dulu
>>> kalau menurut sya justru analisa yg lebih lengkap, kalau tahlilan hasil analisa siapa mas….?? Masalahnya Imam Syafi’i pun yg saya heran ko ga melakukannya…makanya sya berbeda dg pemahaman mas ahmad…, tapi ya itulah manusia isi kepala kita berbeda2. Mudah2an Allah member taufik pada kita semua.
8. sebagaimana Tahlilan dan Mulidan adalah Sunnah Hasanah karena tidak ada satu hal pun yang dikandungnya yang bertentangan dengan Qur`an dan Hadist.
>>> ya itu analisa mas, yg menurut saya justru bertentangan, tapi sekali lagi ok lah…ga apa2…masing2 akan mempertanggungjawabkannya.
9. masalah fiqh itu semuanya masalah furu` gimana toh anda ini ……tidak dapat bedain yang furu` sama yang ushul …….? Fiqh itu semuanya furu.
Bukan tdk dibedain, hemat saya yg furu dan ushul itu sama2 penting. Ushul yg salah (jahmiah , mu’tazilah, syiah) akan sesat, —>>> Ya islam kan dibagi 73 golongan, pasti banyak yg saling berbantah bantahan dan banyak golongan, tapi yg benar itu hanya 1 kata Rosul, ya smoga aja sya dan mas ahmad masuk dalam yg benar itu. Artinya kebenaran itu tdk lah identik dg banyaknya pengikut. Dan banyak yg membantah, bukanlah tolak ukur benar atau salah. Para rosul pun dahulu banyak yg membantah. Syiah itu sangat menyimpang sekali, dan dia sangat anti arab saudi (salafy), tapi syiah ini masih bisa bergandengan dg yg lainnya selain salafy, anda mungkin tahu siapa yg bisa bergandengan itu. Salafy juga sangat menentang terhadap Jama’ah islamiyyah yg ngebom sana sini. Salafy berusaha mengajak kepada mentauhidkan Allah SWT dan mengajak mengikuti teladan Rosulullah SAW.
11. saya akan komentari soal ayat ini , siapakah orang2 yg didalam hatinya terdapat kecondongan kepada kebatilan maka mereka mengikuti sebagian ayat2 mutasyabihat…..?
mereka adalah orang yang menolak Tafwidh dan Takwil seperti kaumnya Ibnu taimiyah cs ( wahabiyah) , mereka beranggapan tidak ada ayat Mutasyabihat , semua ayat itu muhkamat / dapat dimengerti maknanya sehingga mereka mengikuti ayat mutasyabihat , dan mereka terjatuh dalam Tasybih dan Tajsim.
dan siapakah yang mencari2 takwilnya ……? Mereka adalah kaum Mu`athilah seperti Jahmiyah dan mu`tazilah.
Jadi ayat ini tidak mengena kepada seluruh Takwil , sebab Nabipun mendoakan Ibnu Abbas agar Allah beri pemahaman dan Takwil , tidak semua Takwil terlarang.
>>> Ya takwil tdk semua terlarang, kalau memang Rosulullah SAW dan para sahabatnya ada takwilnya, ya kita ikuti. Ayat mutasyabihat itu ada, Yadullah itu tidak ada yg mengetahui takwilnya seperti apa itu bentuknya karena mengenai dzat Allah hanya Allah SWT yg mengetahui>
>>> mohon maaf mas, menurut mas ayat 2 sifat seperti yadullah , wajhullah itu, maknanya harusnya ditakwil atau dibiarkan sja…??mohon penjelasannya.
12. pertanyaan yang anda ajukan adalah : apakah cukup mengakui Allah sebagai Tuhan semesta a’lam (robbul a’lamiin)…? Atu bagaimana…??
Bukan soal pembatal keimanan dan keislaman , kenapa anda sering gak nyambung….?
>>> ga nyambung ya mas, maksudnya orang yg mengakui Allah sebagai Tuhan semesta alam yg menicptakan seluruh makhluknya, namun dia tidak beribadah hanya kepada Allah, apakah dia dikatakan bertauhid kepada Allah…??, tentunnya kalau dia udah bersahadat ya dia muslim, namun apakah bisa dikatakan mentauhidkan Allah(soalnya kan ada juga yg Islam KTP).
13. Dan Pertanyaan anda diatas sudah saya jawab : menurut kaum wahabi Tauhid rububiyah saja tidak cukup , menurut Qur`an dan Hadist Cukup , karena Robb adalah Ilah dan Ilah adalah Robb.
>>>yam as, sya lebih sepakat dg mereka, karena lebih lengkap…, betul Robb adalah Illah, namun penggunaanya dalam Al Qur’an berbeda juga termasuk sahadat memakai Ilah, menurut ustad salafy :
LaaIlaaha Ilallah itu maknanya : Tiada Tuhan (yg berhak diibadahi dg benar) kecuali Allah, Laama’buda bihaqqin ilalloh?tiada yg diibadahi dg benar kecuali Allah, yg disembahkan banyak toh mas, ada berhala, jin, dll, tapi yg berhak diibadahi dg benar (sesuai syari’at islam) hanyalah Allah.
Menurut tasawuf kalau nda sala lama’buda ilalloh, lama’juda ilallah(mohon dikoreksi jika salah).
14. ayat yang anda bawakan bukanlah tentang larangan Takwil , ayat yang anda bawakan adalah tentang Tahdzir agar hati2 dalam mentakwil , dan sangat disayangkan ayat itu tidak anda bawakan secara Utuh , anda melarang Takwil dengan dalil yang tidak Pas alias tidak ada dalilnya , sebab Rosulpun mendoakan Ibnu Abbas agar menjadi Ahli Takwil , apa anda kira Rosul telah menentang Allah …… karena mendoakan Ibnu Abbas menjadi ahli Takwil………? Apakah anda merasa lebih mengeri qur`an ………dari…..?
>>ga melarang takwil sih, namun betul harus hati2, menurut saya terhadap ayat sifat biarkan saja ga perlu ditakwil, kan ulama dahulu juga begitu (imam malik, imam ahmad), kalau menurut mas gimana…?
15. Jawab : Nu ( aqidahnya ) dan Tassawwuf itu Mayoritas Ulama Islam diseluruh dunia , jadi 2 kata NU dan Tasawwuf itu sudah mewakili 85% Ummat Islam dunia , apakah yang 85% ini salah dan yang 4% (wahabi) benar…..? 11% lainnya campuran antar sekte.
>>> begitu ya…, tapi imam madzhab sepertinya ga ada yg berikrar sbg ahli tasawuf mas, atau bagaimana ya…?? Mnurut sya sih prinsip kebenaran itu tdk identik dg kebanyakan orang, tpi ga apa2 lah kita berbeda…
16. Jawab : banyak , contoh seperti sholat syukrul wudhu , tidak ada perintahnya dari Rosul agar setelah wudhu Sholat ini ibadah khusus , tahu-tahu Sayidina Bilal setiap batal berwudhu lalu sholat 2 rokaat setelahnya , tanpa ada perintah dari Rosul , lama-kelamaan Rosul diberitahu oleh Allah jika derap Langkah bilal sudah ada disurga , sehingga Rosul kaget dan bertanya Kepada Bilal , Bilal apa yang kau kerjakan hingga kau mendahului aku disurga ……. Sayiduna bilal menjawab , Tidak ya Rosul kecuali setiap batal wadhu saya kembali wudhu dan sholat 2 rokaat setelahnya , ini contoh perbuatan tanpa ada perintah Namun Rosul terima ,
>> Yg satu yg selamat itu menurut Rosulullah SAW adalah yg mengikuti sunnahku dan sunnah sahabatku yg mendapat petunjuk. Jadi kalau sahabat yg dimaksud disitu adalah yg sudah dijamin rosulullah tdk akan sesat untuk diikuti.
17. dari kejadian kejadian seperti inilah Imam Syafi`I dan Ulama lainnya bahkan sahabat Nabi sayidina Umar berkesimpulan jika , boleh membuat a’malan yg tdk diperintahkan rosulullah SAW , sehingga Munculah Istilah Bid`ah Hasanah dan Bid`ah Madzmumah.
>> menurut ulama bid’ah hasanah itu bukan bid’ah secara syariat, ini pendapat sya g apa2 lah kita beda…
18. jawab : oooh berarti anda merasa lebih ngerti Hadist ketimbang Imam Syafi`I dan Sahabat Umar ra………? Berapa hadist yang anda Hafal……..? jika anda baru mengenal Ulumul hadist sudah berani mengukur Sayidina Umar dan Imam syafi`I hebat sekali anda.
Lalu darimana anda dapat menentukan Shohih tidaknya sebuah Hadist…….. sementara anda bukanlah seorang Hafidz……..?
>>> Imam ahli hadits setelah imam syafii kan banyak mas…, sya kan ngikuti mereka dan ulama2 lainnya yg berbeda dg imam syafii..
19. Kalo ngi`rob ini aja anda gak mampu , lalu apa yang anda andelin untuk menilai para Imam Mujtahid……?
>>> Ilmu itu milik Allah SWT, seandainya sya seorang mujtahid sekaliber imam ahmad pun tdk perlu menjawab keinginan hawa nafsu…., namun orang arab pun dahulu ahli juga bahasa arab, tapi banyak juga yg menentang rosulullah, insya Allah sya ngerti maksudnya…, Imam Syafi’i pun ga pernah menyombongkan keahliannya..yg dihadapan Allah mungkin baru hanya sedikit…, mudah2an Allah mengampuni mas ahmad KALAU terbesit ada kesombongan dalam hati mas, mhon maaf ya…, …
>>> jadi bagaimana nih menurut ahli bahasa arab…? Apakah pas pendalilannya ttg adanya bid’ah hasanah….?? Menurut hemat sya , sunnah itu jelas haditsnya ada sunnah hasannah, ada sunnah sayyiah, sementara bid’ah…(wakullu bid’atun dholalah)…
20. apa kaitannya dengan jawaban saya diatas…..? apa anda tidak tahu jika Rosulallah SAW adalah Gudangnya Ilmu……….? Sehingga semua dasar disiplin ilmu sudah Rosul ajarkan…….? Dan anda keliru mengatakan Nahwu adalah Hasil analisa , Nahwu adalah hasil Istiqro yang dasar2nya sudah Rosul letakkan dalam Qur`an dan Hadist , begitu juga dengan Fiqh dan Ushul Fiqh
>>> menurut sya perincian tauhid juga sama mas ahmad…, sya kira ilmu duniawi ga tuuh mas…, antum a’lamu bih kata rosul ttg urusan duniawi…,
21. bagaimana anda mengaku tidak memaksakan kehendak ……….? Dari awal hingga kini anda masih memvonis Salah terhadap pendapat adanya Bid`ah hasanah tanpa ilmu ……?
>>>> Inysa Allah atas ijin Allah sya pakai ilmu, bukan pakai hawa nafsu…,
22. Anda jelas salah jika nejd adalah iran , wong Lajnah Daimah lil buhust wal ifta kerajaan Saudi saja mengakui jika Nejd adalah tempat lahirnya m. abdul wahhab.
Betul memang, namun yg dimaksud rosulullah itu nejd di iran. Nunjuknya ke aras timur dari mekkah kata ulama….
22. Jawab : eeey ente bandingin Dakwah Rosulallah SAW dengan Dakwah m. abdul wahhab……..? sungguh ini penghinaan terhadap Rosulallah SAW. Dan hanya muncul dari mulut orang2 Jahil.
>>>masya Alloh…,tdk apa2 anda menyebut sya jahil, hati2 julukan ini berbalik kepada anda…dan itu mudah bagi Allah.
23. Jawab : itu cara beristidlal , dan nt tahu tahun berapa Nahwu mulai ditulis dan diajarkan ……..? Tahun 40 hijriyah ditangan abu aswad ad-duali atas perintah sayidina Ali kw , hanya 40 tahun setelah hijroh bahasa Arab sudah mulai Rusak , m.abdul wahhab itu baru lahir abad 12h 1200 tahun saliqoh `arobiyah sudah hilang.
Al-qur`an dan hadist tidak membedakan Rububiyah dan Uluhiyah , apalagi memisahkan keduanya sebagaimana yang dilakukan oleh kaum wahabi.
>>> bukan dipisahkan…., udah sya jelaskan diatas…, terus dzikir2 tasawuf diajarkan ga…? Tarian sema untuk mendekatkan diri kepada Allah katanya…, niat sholat fardlu/sunnha, maulid, dll…?? Apakah ente yg baru bisa bahasa arab..sudah mengaku lebih baik dari rosulullah SAW….?? Terus bagaimana dengan ahli tasawuf yg mengaku2 sebagai Allah…al hallaj, siti jenar ..??? Ini jelas berbahaya mas…
24. ha ha ha , para dedengkot wahabi bangga dengan Nama dan sebutan Wahabi ini kroco2nya pada memungkiri.
>>>fitnah syetan ituh mah…, jangan ikuti yahudi dan syiah…
25. apa anda kira para Kiyai Ahlu Sunnah tidak mengikuti Nabi……? silahkan klik web resmi lajnah daimah lil buhuts wal ifta kerajaan Saudi , agar dapat membuktikan Nejd itu mana. ( dulu kaum wahabi menggemborkan Nejd adalah Irak , sekarang hery bilang Iran).
>>> ya mohon maaf jika salah…dahulu kan ga ada irak dan iran kalau ga salah dulu namanya apa ya…? Sya lupa mas…sory ya…
26. itu pendapat mayoritas Ulama Islam bukan hanya pendapat saya pribadi , dan pengakifan yang dilakukan oleh m.abdul wahhab beserta kroni2nya sangat jauh dari tuntunan al-qur`an dan as-sunnah , bahkan bertentangan dengan keduanya , pengkafiran kaum wahhabi hanya berdasarkan pada 1. kekeliruan dalam mendefinisikan Ibadah , 2. kekeliruan dalam meng-identifikasi ” penyebab kemusyrikan ” kafir quresy 3. kekeliruan dalam memahami kata do`a.
>>> kekeliruan bagi mas…., insya Allah menurut sya dan ulama2 lainnya..justru mereka (salafy) lah yg benar(muhammadiyyah, persis, Ikhwanul muslimin, HTI, Wahdah Islamiyyah, MMI,dll sangat anti dg amalan2 NU…mereka hanya berbeda dalam maslaah politik /organisasi dg salafy, tapi kalau masalah bid’ah , ibadah, do’a…mereka hampir sama dg salafy) …
27. dalam Tuhid Rububiyah dikatakan , bahwa meng Imani Allah SWt dengan Tauhid Rububiyah saja tidak cukup , alias seseorang belum dikatakan Muslim jika ia hanya ber Iman dengan Tauhid Rububiyah meskipun dia telah mengucapkan 2 kalimah Syahadat.
>>> anda keliru, bukan dikatakan belum muslim tapi belum mentauhidkan Allah dg benar.
28. pendapat Ibnu Taimiyah ini didukung penuh oleh para pengikutnya (wahabiyah) padahal pendapat ini bertentangan dengan Firman Allah : sesungguhnya orang -orang yang mengatakan Robbunallah ( tuhan kami adalah Allah ) kemudian mereka Istiqomah didalamnya , akan turun kepada mereka malaikat janganlah kalian takut dan bersedih dan mereka akan diberi kabar gembira berupa surga dst. (fushilat : 30 )
dalam ayat ini jelas sekali jika pengakuan Rububiyah saja sudah cukup memasukkan orang menjadi Ahli Surga ( mukmin) lalu kenapa para pengikut Ibnu Taymiyah masih saja mengatakan : Tauhid Rububiyah saja tidak cukup , Tauhid Rububiyah saja belum muslim…..?
>>>anda keliru mas, belim mentauhidkan Allah, bukan belum muslim. Orang setelah sahadat akan muslim, tapi belum tentu mentauhidkan Allah(banyak yg islam KTP, datang ke peramal, dll)
29. di alam kubur yang ditanya adalah Man Robbuka ……? ( tauhid rububiyah) tidak ada satu riwayatpun yang menyebutkan pertanyaannya ” Man Robuka wa Ilahuka “. ( rububiyah dan uluhiyah ).
>>>betul itu mas…, dan itu hak Allah mau pakai Robb ataupun Ilah, karena jawaban yg benarnya adalah Allah SWT. Kalau kita renungkan makna sahadat disitu pakai ilah=menurut u’lama ilah itu bermakna alma’luh= al ma’bud (Yg disembah) , sehingga menurut ulama salafy : sahadat bermakna : Tiada Tuhan yang berhak diibadahi dg benar kecuali Allah. Menurut tasawuf gimana mas…??
Pertanyaan :
1. siapa tuhanmu yg menicptakan/mengurus/member rizki seluruh makhluk: jawabnya Allah
2. Siapa Yg disembah dg benar Oleh umat Islam : Allah (Laa ilaaha Illallah)
Kalau orang yg sudah mampu hanya beribadah kepada Allah, pasti dia mengakui Robbul a’lamin itu :adalah Allah.
Tapi orang yg mengakui bahwa yg menciptakan itu Allah (af’alullah)——, namun dia ga mau menyembah(beribadah) kepada Allah, maka tauhidnya dipertanyakan…,
.30. kita belum berbicara mengenai Uluhiyah dan shifat bagaimana keduanya bertentangan dengan Qur`an dan Hadist.
>>> sya kira kita sudah sering ngebahas ini.
Mohon maaf jika ada kata2 yg kurang berkenan…, mudah2an kita smua mendapat taufik dan hidayyah dari Allah SWT.
Bu shinta, kalau ada dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah, memang tdk masalah menakwilkan kalau memang Sahabat /rosulullah SAW menakwilkannya terhadap ayat tertentu.
Assalamu ‘alaikum
@hery
Permisi..ikut nimbrung.
Bertolak dari dalil yg dibawakan oleh saudara hery :
” pada 30 Juli 2012 pada 11:04 am>>>>>>bid’ah menurut Imam As-Syathibi : Bid’ah adalah suatu metode /cara dalam urusan agama yg sengaja dibuat buat menyerupai syari’at yg sudah ada, dengan tujuan berlebih lebihan dalam ibadah/memiliki tujuan seperti tujuan syariat.”
Saya :
Yang saya garis bawahi adalah kata-kata ” berlebih lebihan “. Kalau dalil ini ditujukan utk menyatakan tahlilan sebagai ibadah yg berlebihan maka pertanyaan buat saudara hery adalah :
1)Berlebihan dari ibadah yang mana ?
Pertanyaan saya ini berdasarkan bid’ah yg dilakukan Umar bin Khattab (Taraweh)
2) Bertolak dari dalil pada 14 Juli 2012 pada 4:22 pm Abdullah bin Umar berkata: “Setiap bid’ah itu sesat meskipun DIANGGAP BAIK oleh manusia.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal ilas Sunan Al-Kubra I/180 no.191, Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 205, dan Al-Lalika-i dalam Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaah no. 126)
Pertanyaannya adalah :
Apabila seorang mujtahid berijtihad maka menghasilkan apa ?
Mohon tanggapannya…terima kasih.
Maaf kalau ada salah kata.
pencerahan yang bagus
hery>>>Insya Allah kalau antum sering mengkaji ilmu, pasti akan menemui pengertian menurut etimologi(lughoh) maupun terminology(istilah).
Jawab : Hery : ini pernyataan anda : ” Dalam definisi itu ada definisi menurut bahasa dan ada juga mneurut syariat ” , jawaban anda diatas hanya bentuk ngeles , sebab yang kita bicarakan bukan soal ada tidaknya pengertian etimologis.
hery >>> kalau menurut Ustad Luqman Ba’abduh , Ibadah dilihat dari 2 sudut pandang :
1) atta’abud-> perbuatannya (al fi’il)——artinya attadzallul (perendahan diri)
perendahan diri itu dalam bentuk i’badah yg disertai mahabbah dan ta’dziman (cinta dan pengagungan)
2) jenis ibadahnya, ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah menurut jenis ibadahnya. Ibadah yg dimaksud disini adalah semua ibadah dalam rangka mentauhidkan Allah SWT. (sholat, zakat, puasa, tolabul ilmi, d ll)AlMutta’abad bihi
dan itu bukanlah i’badah yg diperintahkan Allah SWT.Kalau yg antum maksud dalam al qur’an ada yg beribadah kepada toghut, ini bermakna perendahan diri atau menyembah. Tentunya ini adalah ibadah syirik. Sehingga bukanlah ibadah yg benar menurut Islam, meskipun disebut ibadah-
Jadi yg dimaksud Ibnu Taimiyyah adalah ibadah yg diridhoi oleh Allah SWT dalam rangka mentauhidkannya/ibadah yg dimaksud oleh agama yg suci kita. Merupakan juga sebuah istilah yg mencakup segala ibadah (sholat, tolabul ilmi, dll) yg diajarkan Allah dan rosul-Nya.
Insya Allah sya ga bermain2, menurut antum…apakah ibadah kepada selain Allah itu adalah ibadah yg dimaksud /yg diinginkan/yg diridhoi Allah SWT..??? ya ok lah benar disebut ibadah, tapi ibadah syirik….dan itu bukanlah ibadah yg diridhoi Allah SWT. Kalau pengen lebih detail bisa Tanya langsung kepada beliau…., maklum anna bukan ustad….tapi hanya berusaha mencari kebenaran….
Jawab : mau tidak mau akhirnya andapun mengakui jika : ” perbuatan ” penyembah berhala kepada berhalanya juga disebut Ibadah meskipun Ibadah Fasidah,
Artinya definisi Ibadah yang dibuat oleh Ibnu Taimiyah adalah definisi yang tidak Jami` tidak pula Mani`, bahkan tidak selaras dengan al-qur`an dan Sunnah , oleh karena itu kita Butuh kepada definisi Yang Jami` dan Mani` yang selaras dengan Qur`an dan Sunnah.
Terlebih definisi Ibadah yang diajarkan kaum wahabi juga , mengandung kegoncangan luar biasa yang mengakibatkan pengkafiran ummat islam , hal ini terjadi karena definisi Ibadah kaum wahabi yang tidak selaras dengan qur`an dan sunnah.
>>>>sholat —ibadah mahdhoh (karena waktu dan tatacaranya memang khusus), zakat, puasa, dll—semuanya ada dalil yg mengkhususkan. Tahlilan menurut hemat saya, khusus juga. dan tdk ada dalil secara khusus yg memerintahkan hal tersebut. Kalau menurut antum mungkin tdk perlu ya….?? Ok deh ga apa2….silahkan saja…kalau prinsip antum begitu. Kita akan pertanggungjawabkan masing2.
Jawab : yang saya tanyakan adalah referensi dari kaidah yang anda bawa bahwa : amalan khusus membutuhkan dalil khusus ” , ini kaidah dari mana……?
Dan rupanya anda juga tidak faham apa yang dimaksud dengan Ibadah Mahdloh atau khusus.
>>> ushul fiqh dg kaidah2nya merupakan hasil analisis ulama terhadap al qur’an dan as-sunnah, perincian tauhid pun begitu. Tahlilan, maulid nabi, perayaan isro mi’raj, mengeraskan niat dalam sholat, merupakan contoh yg dimaksud disitu
jawab : Nah jika kaum wahabi konsisten dengan pemahaman mereka tentang Bid`ah , tentu akan meolak semua hal baru dalam Agama , seperti Ushul fiqh , Fiqh dan ilmu-ilmu lainnya bahkan sebagian besar hasil Ijtihad harusnya ditolak juga , hanya karena memang kaum wahabi tidak konsisten dengan pemahamannya sendiri soal Bid`ah , akhirnya ya begini mancla mencle.
hery >>.Tauhid menurut anda : mentauhidkan Allah dari dzat, asma dan af’al. Ini tdk salah namun menurut saya kurang lengkap. Karena mentauhidkan Allah itu tidak hanya dari dzat, asma, dan af’al, namun perlu juga mentauhidkan Allah dalam beribadah. Kenapa, karena hanya mengakui Allah sebagai salah satu Tuhan yg esa baik dzatnya, asma maupun af’al, belum lengkap dikatakan sebagai orang yg mentauhidkan Allah. Memang jika sudah bersahadat dia menjadi muslim, tapi dalam prakteknya banyak orang muslim itu pergi ke dukun, peramal, dll. Sehingga medkipun muslim dia ternyata belum mentauhidkan Allah SWT. Oleh karena itu definisi menurut mas ahmad, ini menurut saya ya…perlu dilengkapi dengan mentauhidkan Allah dalam beribadah. Dan inilah tauhid yg diajarkan oleh para Rosul.
Tauhid dirinci menjadi 3 :
1. Mentahuidkan Allah dalam Af’al (robbayanii soghiroo: memelihara kami sejak kecil, dalam hal ini, kita harus mentauhidkan Allah dalam hal kepengurusan Alam Semesta/makhluk-Nya (rubbubiyyah)
2. Mentahuidkan Allah dalam ibadah
3. Mentauhidkan Allah dalam asma washifat
kan tidak cukup, harus juga beribadah hanya kepada Allah , dan mentauhidkannya dalam asma washifat.Jadi orang yg bertauhid itu harus mentauhidkan Allah dalam dzat, asma dan dalam ibadah. Sya kira nda ada yg bertentangan dg Al Qur’an. Jika hanya mentauhidkan allah dari segi af’al saja-,
jawab : saya hanya sedikit bertanya : apakah ada orang yang meyembah apa yang tidak diyakininya memiliki Shifat-shifat ketuhanan………? Baik sebagian maupun muthlaq…….?
hal ini saya tanyakan karena anda mengira bahwa Tauhid pada Dzat , af`al dan shifat saja adalah kurang .
hery>>> Sya sangat berdosa kalau memang saya menurut antum membuat syariat, tapi demi Allah itu tdk benar. Sya hanya menyampaikan apa yg diperintahkan Allah dan Rosulnya (wamaa atakumurosulu fahudzuhu wamaa nahakum anhu fantahu). Justru menurut saya yg membuat amalan yg baru itulah yg perlu ditinjau ulang…??seperti tahlilan, mengeraskan niat, maulid, dll…….., ini pendapat sya …, kalu antum nda sepakat ya nda apa2….
Jawab : saya sarankan anda mempelajari masalah at-tark , masalah yang tidak dilarang dan juga tidak diperintah ini disebut at-tark , sehingga anda tidak lagi mempersoalkan apa2 yang tidak dipersoalkan oleh Allah dan Rosulnya.
Silahkan perhatikan dua hadist berikut :
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647).
hery>>>silahkan dicek juga ushul fiqhnya. Betul tauqif, oleh karena itu ibadah menjadi haram kecuali ada perintahnya (sehingga harus tauqif), karena memang dala Al Qur’an maupun As-Sunnah pun yg namanya ibadah itu (ibadah menurut Islam) diperintahkan dulu.
Jawab : dua ungkapan yang berbeda Jika anda katakan Hukum Asal Ibadah adalah Haram , maka anda akan bertabrakan dengan qur`an , Namun jika anda katakan Hukum Asal Ibadah adalah at-tauqiff anda akan selaras dengan qur`an, makanya saya koreksi ungkapan anda itu.
hery>>> kalau menurut sya justru analisa yg lebih lengkap, kalau tahlilan hasil analisa siapa mas….?? Masalahnya Imam Syafi’i pun yg saya heran ko ga melakukannya…makanya sya berbeda dg pemahaman mas ahmad…, tapi ya itulah manusia isi kepala kita berbeda2. Mudah2an Allah member taufik pada kita semua.
Jawab : apa gunanya hasil analisa yang lengkap jika bertabrakan dengan qur`an dan Sunnahh………?
hery>>> ya itu analisa mas, yg menurut saya justru bertentangan, tapi sekali
lagi ok lah…ga apa2…masing2 akan mempertanggungjawabkannya.
Jawab : silahkan terangkan sisi pertentangan Tahlilan dengan Qur`an maupun Sunnah , silahkan sebutkan sisi pertentangannya.
hery>>>>Bukan tdk dibedain, hemat saya yg furu dan ushul itu sama2 penting.
Jawab : kok jadi masalah penting tidak penting………? Yang saya koreksi itu pemahaman anda yang menyamakan masalah `itiqod dengan masalah amaliyah ( furu`) , bokan soal penting tidak penting……..?
Hery >>>>: ” Ushul yg salah (jahmiah , mu’tazilah, syiah) akan sesat, —>>> Ya islam kan dibagi 73 golongan, pasti banyak yg saling berbantah bantahan dan banyak golongan, tapi yg benar itu hanya 1 kata Rosul, ya smoga aja sya dan mas ahmad masuk dalam yg benar itu. Artinya kebenaran itu tdk lah identik dg banyaknya pengikut. Dan banyak yg membantah, bukanlah tolak ukur benar atau salah. Para rosul pun dahulu banyak yg membantah. Syiah itu sangat menyimpang sekali, dan dia sangat anti arab saudi (salafy), tapi syiah ini masih bisa bergandengan dg yg lainnya selain salafy, anda mungkin tahu siapa yg bisa bergandengan itu. Salafy juga sangat menentang terhadap Jama’ah islamiyyah yg ngebom sana sini. Salafy berusaha mengajak kepada mentauhidkan Allah SWT dan mengajak mengikuti teladan Rosulullah SAW.
Jawab : 1. dimana Rosul pernah bilang Islam akan terpecah menjadi 73 golongan …….? Hati-hati jangan seenaknya mengatasnamakan Rosulallah SAW.
2. menurut logika betul jika : ” kebenaran itu tdk lah identik dg banyaknya pengikut ” dan salah menurut pemahaman agama , Karena Rosul menjamin : Ummatku tidak akan bersatu dalam kesesatan ” artinya mayoritas (al-jama`ah) Ummat Islam ada dalam kebenaran.
3. Syi`ah dan Wahabiyah adalah sama sama sekte sempalan yang keluar dari Mayoritas ( jama`ah ) Ummat Islam.
4. pernyataan anda : Salafy berusaha mengajak kepada mentauhidkan Allah SWT dan mengajak mengikuti teladan Rosulullah SAW”. Adalah Vonis jika Ummat Islam diluar kelompok Wahabi ” tidak mentauhidkan ” Allah alias Musyrik , dan ini jelas pengkafiran Ummat Islam sedunia diluar wahabi. Hati-hati anda telah mengkafirkan seluruh Ummat Islam diluar wahabi.
>>> Ya takwil tdk semua terlarang, kalau memang Rosulullah SAW dan para sahabatnya ada takwilnya, ya kita ikuti. Ayat mutasyabihat itu ada, Yadullah itu tidak ada yg mengetahui takwilnya seperti apa itu bentuknya karena mengenai dzat Allah hanya Allah SWT yg mengetahui>
jawab : 1. makanya hati2 dalam berkata : tidak boleh takwil , tidak boleh Takwil apa ini…..?
2. makanya saya bilang : kaum wahabi ( ibnu taymiyah cs.) adalah orang orang yang mengikuti ayat Mutasyabihat , padahal Allah sudah mentahdzirnya , dan ini terbukti seperti saudara hery ini hanya menafikan kaifiyah , seolah tahu makna yang Allah kehendaki dari kata Yad.
hery>>> mohon maaf mas, menurut mas ayat 2 sifat seperti yadullah , wajhullah itu, maknanya harusnya ditakwil atau dibiarkan sja…??mohon penjelasannya.
Jawab : ada dua metodologi ahlu sunnah dalam memahami ayat Shifat yaitu Tafwidh ma`a tanzih dan Takwil shohih dengan persyaratannya.
12. pertanyaan yang anda ajukan adalah : apakah cukup mengakui Allah sebagai Tuhan semesta a’lam (robbul a’lamiin)…? Atu bagaimana…??
Bukan soal pembatal keimanan dan keislaman , kenapa anda sering gak nyambung….?
>>> ga nyambung ya mas, maksudnya orang yg mengakui Allah sebagai Tuhan semesta alam yg menicptakan seluruh makhluknya, namun dia tidak beribadah hanya kepada Allah, apakah dia dikatakan bertauhid kepada Allah…??, tentunnya kalau dia udah bersahadat ya dia muslim, namun apakah bisa dikatakan mentauhidkan Allah(soalnya kan ada juga yg Islam KTP).
Jawab : 1. adakah orang yang benar2 meyakini Allah sebagai Robbul `alamin kemudian menyembah bersama Allah selain Allah……? ( saya faham pertanyaan anda ini akibat doktrin kuat dari tauhid rububiyah , yang mencoba memisahkan dua kata Robb dan Ilah ).
2. janganlah bersu udzon , kepada orang lain meskipun baru Islam KTP , baiknya kita bersyukur mereka muslim meskipun baru KTP.
13. Dan Pertanyaan anda diatas sudah saya jawab : menurut kaum wahabi Tauhid rububiyah saja tidak cukup , menurut Qur`an dan Hadist Cukup , karena Robb adalah Ilah dan Ilah adalah Robb.
>>>yam as, sya lebih sepakat dg mereka, karena lebih lengkap…, betul Robb adalah Illah, namun penggunaanya dalam Al Qur’an berbeda juga termasuk sahadat memakai Ilah, menurut ustad salafy :
LaaIlaaha Ilallah itu maknanya : Tiada Tuhan (yg berhak diibadahi dg benar) kecuali Allah, Laama’buda bihaqqin ilalloh?tiada yg diibadahi dg benar kecuali Allah, yg disembahkan banyak toh mas, ada berhala, jin, dll, tapi yg berhak diibadahi dg benar (sesuai syari’at islam) hanyalah Allah.
Menurut tasawuf kalau nda sala lama’buda ilalloh, lama’juda ilallah(mohon dikoreksi jika salah).
Jawab : bahasan kita pada cukup tidaknya pengakuan rubububiyah menjadikan seseorang ahli Tauhid , Al-qur`an Hadist bilang cukup , dan bagi Ummat Islam cukuplah dua sumber itu sebagai neraca Bukan yang lainnya.
14. ayat yang anda bawakan bukanlah tentang larangan Takwil , ayat yang anda bawakan adalah tentang Tahdzir agar hati2 dalam mentakwil , dan sangat disayangkan ayat itu tidak anda bawakan secara Utuh , anda melarang Takwil dengan dalil yang tidak Pas alias tidak ada dalilnya , sebab Rosulpun mendoakan Ibnu Abbas agar menjadi Ahli Takwil , apa anda kira Rosul telah menentang Allah …… karena mendoakan Ibnu Abbas menjadi ahli Takwil………? Apakah anda merasa lebih mengeri qur`an ………dari…..?
>>ga melarang takwil sih, namun betul harus hati2, menurut saya terhadap ayat sifat biarkan saja ga perlu ditakwil, kan ulama dahulu juga begitu (imam malik, imam ahmad), kalau menurut mas gimana…?
Jawab : ya makanya jangan sembarangan melarang. Tapi lagi2 anda bilang gak perlu ditakwil , gak stabil amat sih……?
hery>>> begitu ya…, tapi imam madzhab sepertinya ga ada yg berikrar sbg ahli tasawuf mas, atau bagaimana ya…?? Mnurut sya sih prinsip kebenaran itu tdk identik dg kebanyakan orang, tpi ga apa2 lah kita berbeda…
jawab : 1. Tassawuf bukanlah Ikrar atau sekedar pengakuan , Tasawwuf adalah suluk yang sesuai dengan Qur`an dan Hadist , bukan sekedar Ikrar , Ulama 4 Madzhab jelas pelaku Tasawwuf meskipun tidak Ikrar secara perkataan , karena memang tasawwuf bukan sekedar kata2.
2. menurut akal benar jika ” prinsip kebenaran itu tdk identik dg kebanyakan orang “, namun menurut agama , kebenaran itu akan selalu berada pada mayoritas ulama Islam , makanya ada sebagian Ijma` dimana pemungkir Ijma`nya bias kafir.
3. silahkan pelajari lagi hadist2 tentang `ismah .
hery >> Yg satu yg selamat itu menurut Rosulullah SAW adalah yg mengikuti sunnahku dan sunnah sahabatku yg mendapat petunjuk. Jadi kalau sahabat yg dimaksud disitu adalah yg sudah dijamin rosulullah tdk akan sesat untuk diikuti.
Jawab : coba benahi lagi cara berfikirnya , bukankah contoh ini berkaitan dengan pertanyaan anda , soal boleh tidaknya beramal tanpa perintah Nabi …..?
>> menurut ulama bid’ah hasanah itu bukan bid’ah secara syariat, ini pendapat sya g apa2 lah kita beda…
jawab : ya karena anda sudah terdoktrin kuat , dengan pembelokan Makna Bid`ah hasanah menjadi Urusan Bahasa.
>>> Imam ahli hadits setelah imam syafii kan banyak mas…, sya kan ngikuti mereka dan ulama2 lainnya yg berbeda dg imam syafii..
jawab : boleh saja anda mengikuti salah satu madzhab yang bukan madzhabnya Imam as-syafi`I , hanya sangat disayangkan anda berani menyalahkan Imam Asyafi`I dimana pendapat Imam as-syafi`I ini didukung oleh Sahabat besar Sayidina Umar ra.
hery>>> Ilmu itu milik Allah SWT, seandainya sya seorang mujtahid sekaliber imam ahmad pun tdk perlu menjawab keinginan hawa nafsu…., namun orang arab pun dahulu ahli juga bahasa arab, tapi banyak juga yg menentang rosulullah, insya Allah sya ngerti maksudnya…, Imam Syafi’i pun ga pernah menyombongkan keahliannya..yg dihadapan Allah mungkin baru hanya sedikit…, mudah2an Allah mengampuni mas ahmad KALAU terbesit ada kesombongan dalam hati mas, mhon maaf ya…, …
jawab : manakah yang lebih sombong saya atau orang yang menilai Imam Syafi`I salah….. sementara dia gak ngerti sedikitpun qowaidulughoh…….?
hery>>> jadi bagaimana nih menurut ahli bahasa arab…? Apakah pas pendalilannya ttg adanya bid’ah hasanah….?? Menurut hemat sya , sunnah itu jelas haditsnya ada sunnah hasannah, ada sunnah sayyiah, sementara bid’ah…(wakullu bid’atun dholalah)…
jawab : saya sudah sampaikan Hadist Riwayat Imam at-turmudzi , bagaimana Rosulallah menyebut adanya Bid`ah Dolalah , dimana Mafhumnya adalah Bid`ah Hasanah , sehingga dakwaaan bahwa fatwa Imam syafi`I tentang pembagian Bid`ah adalah salah dan mnenentang Rosulallah Saw terbantahkan oleh Hadist ini.
>>> menurut sya perincian tauhid juga sama mas ahmad…, sya kira ilmu duniawi ga tuuh mas…, antum a’lamu bih kata rosul ttg urusan duniawi…,
jawab : ini menunjukkan ketidakkonsistenan kaum wahabi dengan pemahamannya sendiri soal Bid`ah , inilah standar ganda kaum wahabi.
hery >>>> Inysa Allah atas ijin Allah sya pakai ilmu, bukan pakai hawa nafsu…,
jawab : klaim anda dibatalkan oleh pernyataan pernyataan anda sendiri.
22. Anda jelas salah jika nejd adalah iran , wong Lajnah Daimah lil buhust wal ifta kerajaan Saudi saja mengakui jika Nejd adalah tempat lahirnya m. abdul wahhab.
hery>>>Betul memang, namun yg dimaksud rosulullah itu nejd di iran. Nunjuknya ke aras timur dari mekkah kata ulama….
Jawab : fatwa resmi lajnah daimah , membantah pernyataan anda soal Nejd.
>>>masya Alloh…,tdk apa2 anda menyebut sya jahil, hati2 julukan ini berbalik kepada anda…dan itu mudah bagi Allah.
Jawab : ya jelas jahil masa Dakwah Nabi SAW disamakan dengan dakwah barbarisme M. abdul wahhab……….?
Ini penghinaan terhadap Nabi SAW.
hery >>> bukan dipisahkan…., udah sya jelaskan diatas…, terus dzikir2 tasawuf diajarkan ga…? Tarian sema untuk mendekatkan diri kepada Allah katanya…, niat sholat fardlu/sunnha, maulid, dll…?? Apakah ente yg baru bisa bahasa arab..sudah mengaku lebih baik dari rosulullah SAW….?? Terus bagaimana dengan ahli tasawuf yg mengaku2 sebagai Allah…al hallaj, siti jenar ..??? Ini jelas berbahaya mas…
jawab : wong-jelas jelas dipisahkan Robb dan Ilah oleh kaum wahabi makanya mereka bagi Tauhid itu menjadi uluhiyah rububiyah kok masih mungkir……?
>>>fitnah syetan ituh mah…, jangan ikuti yahudi dan syiah…
jawab : itu finah Nejd tanduk syetan hi hi hi
>>> ya mohon maaf jika salah…dahulu kan ga ada irak dan iran kalau ga salah dulu namanya apa ya…? Sya lupa mas…sory ya…
jawab : pernyataan yang kontradiktif cirri khas kaum wahabi.
hery>>> kekeliruan bagi mas…., insya Allah menurut sya dan ulama2 lainnya..justru mereka (salafy) lah yg benar(muhammadiyyah, persis, Ikhwanul muslimin, HTI, Wahdah Islamiyyah, MMI,dll sangat anti dg amalan2 NU…mereka hanya berbeda dalam maslaah politik /organisasi dg salafy, tapi kalau masalah bid’ah , ibadah, do’a…mereka hampir sama dg salafy) …
jawab : yap benar hanya salafoy dan wahabilah yang benar
hery>>> anda keliru, bukan dikatakan belum muslim tapi belum mentauhidkan Allah dg benar.
Jawab : ini bukti dari faham keliru wahabi , memisahkan Robb dan Ilah , Muslim tapi belum bertauhid = alias muslim musyrik , istilah seperti ini adalah Bid`ah kreasi wahabiyyun.
>>>anda keliru mas, belim mentauhidkan Allah, bukan belum muslim. Orang setelah sahadat akan muslim, tapi belum tentu mentauhidkan Allah(banyak yg islam KTP, datang ke peramal, dll)
jawab : anda hanya mampu berulang2 saya keliru tanpa menjelaskan letak kekeliruannya, dan perkataan anda ini (diatas ) bukti penguat jika wahabi memisahkan Robb dan Ilah , qur`an dan Hadist tidak pernah memisahkan dua kata Robb dan Ilah.
hery>>>betul itu mas…, dan itu hak Allah mau pakai Robb ataupun Ilah, karena jawaban yg benarnya adalah Allah SWT. Kalau kita renungkan makna sahadat disitu pakai ilah=menurut u’lama ilah itu bermakna alma’luh= al ma’bud (Yg disembah) , sehingga menurut ulama salafy : sahadat bermakna : Tiada Tuhan yang berhak diibadahi dg benar kecuali Allah. Menurut tasawuf gimana mas…??
Jawab : inilah liciknya kaum wahabi membelokkan dalil yang membantah pernyataan mereka tentang cukup tidaknya pengakuan Rububiyah , dibelokkan menjadi jawaban , padahal dalil kuat pertaanyaan malaikat hanya menanyakan siapa Robbmu , yang berarti Robb dan Ilah itu sama , lantas mengikuti siapakah kaum wahabi ini …….? Membedakan Robb dan Ilah bahkan memisahkan keduanya…?
Hery :
Pertanyaan :
1. siapa tuhanmu yg menicptakan/mengurus/member rizki seluruh makhluk: jawabnya Allah
2. Siapa Yg disembah dg benar Oleh umat Islam : Allah (Laa ilaaha Illallah)
Kalau orang yg sudah mampu hanya beribadah kepada Allah, pasti dia mengakui Robbul a’lamin itu :adalah Allah.
Tapi orang yg mengakui bahwa yg menciptakan itu Allah (af’alullah)——, namun dia ga mau menyembah(beribadah) kepada Allah, maka tauhidnya dipertanyakan…,
Jawab : pertanyaan –pertanyaan anda merupakan hasil dari doktrin Tauhid tiga yang bertentangan dengan qur`an dan sunnah.
.30. kita belum berbicara mengenai Uluhiyah dan shifat bagaimana keduanya bertentangan dengan Qur`an dan Hadist.
>>> sya kira kita sudah sering ngebahas ini.
Mohon maaf jika ada kata2 yg kurang berkenan…, mudah2an kita smua mendapat taufik dan hidayyah dari Allah SWT.
Jawab : anda hanya bias ngeles , tanda jika anda bukan pencari kebenaran.
, sarsn saya bahas satu2 saja biar ada faidahnya , satu persoalan bahas tuntas , baru pindah kepersoalan lain.
Najd memang menjadi nama sebuah tempat di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam . Akan tetapi di lisan orang Arab waktu itu, istilah ‘Najd’ tidak selalu merujuk pada Najd.
Telah berkata Al-Imaam Al-Khaththaabiy rahimahullah :
نجد: ناحية المشرق، ومن كان بالمدينة كان نجده بادية العراق ونواحيها، وهي مشرق أهلها، وأصل النجد: ما ارتفع من الأرض، والغور: ما انخفض منها، وتهامة كلها من الغور، ومنها مكة، والفتنة تبدو من المشرق، ومن ناحيتها يخرج يأجوج ومأجوج والدجال، في أكثر ما يروى من الأخبار
“Najd adalah arah timur. Dan bagi Madinah, najd-nya sahara/gurun ‘Iraaq dan sekelilingnya. Itulah arah timur bagi penduduk Madinah. Asal makna dari najd adalah : setiap tanah yang tinggi; sedangkan ghaur adalah setiap tanah yang rendah. Seluruh wilayah Tihaamah adalah ghaur, termasuk juga Makkah. Fitnah muncul dari arah timur; dan dari arah itu pula akan keluar Ya’juuj, Ma’juuj, dan Dajjaal sebagaimana terdapat dalam kebanyakan riwayat” [I’laamus-Sunan, 2/1274].
Telah berkata Al-Haafidh Al-Kirmaaniy rahimahullaah :
ومن كان بالمدينة الطيبة -صلى الله على ساكنها- كان نجده بادية العراق ونواحيها، وهي مشرق أهلها
“Dan bagi Al-Madinah Ath-Thayyibah – semoga Allah melimpahkan barakah kepada penduduknya – , maka najd-nya adalah sahara/gurun ‘Iraaq dan sekelilingnya. Ia adalah arah timur bagi penduduk Madinah” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy, 24/168].
Kesulitan yang Anda alami adalah ketika Anda memahaminya dengan pemahaman Ajam. Timur (masyriq) menurut orang Arab dulu tidaklah selalu merujuk arah timur kompas seperti pemahaman Anda dan saya. Maka, orang Arab menyebut negeri di sebelah timur Hijaz (termasuk ‘Iraq – di peta sekarang) dengan sebutan Maysriq atau negeri masyriq. Orang Arab dulu pun hanya kenal arah : timur, barat, kanan, dan kiri.
Oleh karena itu, pahamilah istilah-istilah orang Arab dengan lisan orang Arab.
Anyway,…. penjelasan yang saya sebutkan di atas bukan an sich pembelaan terhadap Saudi Arabia sebagaimana perkiraan Anda, karena sudah ratusan tahun lalu sebelum kelahiran ‘Wahabiy’ para ulama menyatakan Najd dalam hadits tersebut adalah ‘Iraaq.
Kita tidak pernah mengingkari Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab lahir di Najd. Dan memang ada daerah di Saudi bernama Najd itu.
Tapi yang jadi pembahasan tentang hadits kemunculan tanduk setan kan ?Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa Najd yang dimaksudkan dalam hadits adalah Najd dalam pengertian umum sebagai daerah yang berada di sebelah Timur Madinah seperti yang telah dijelasakan Al-Imaam Al-Khaththaabiy rahimahullah diatas.
Inilah pendapat salaf :
1)
حدثنا عبدالله بن عمر بن أبان وواصل بن عبدالأعلى وأحمد بن عمر الوكيعي (واللفظ لابن أبان). قالوا: حدثنا ابن فضيل عن أبيه. قال: سمعت سالم بن عبدالله بن عمر يقول: يا أهل العراق! ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم للكبيرة! سمعت أبي، عبدالله بن عمر يقول : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول “إن الفتنة تجئ من ههنا” وأومأ بيده نحو المشرق “من حيث يطلع قرنا الشيطان” وأنتم يضرب بعضكم رقاب بعض. وإنما قتل موسى الذي قتل، من آل فرعون، خطأ فقال الله عز وجل له: {وقتلت نفسا فنجيناك من الغم وفتناك فتونا} [20/طه/40].
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, Waashil bin ‘Abdil-A’laa, dan Ahmad bin ‘Umar Al-Wakii’iy (dan lafadhnya adalah lafadh Ibnu Abaan); mereka semua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari ayahnya, ia berkata : Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata : “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar. Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam bersabda : ‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini – ia menunjukkan tangannya ke arah timur – dari arah munculya dua tanduk setan’. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Muusaa hanya membunuh orang yang ia bunuh yang berasal dari keluarga Fir’aun itu karena tidak sengaja. Lalu Allah ‘azza wa jalla berfirman padanya : ‘Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan.” (Thaahaa: 40)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2905 (50)].
2)
حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا ابن نمير حدثنا حنظلة عن سالم بن عبد الله بن عمر عن ابن عمر قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يشير بيده يؤم العراق ها إن الفتنة ههنا إن الفتنة ههنا ثلاث مرات من حيث يطلع قرن الشيطان.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku (Ahmad bin Hanbal) : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair : Telah menceritakan kepada kami Handhalah, dari Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan tangannya menunjuk ke arah ‘Iraaq. (Beliau bersabda) : “Di sinilah, fitnah akan muncul, fitnah akan muncul dari sini”. Beliau mengatakannya tiga kali. “Yaitu, tempat munculnya tanduk setan” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/143].
Shahih sesuai syarat Al-Bukhaariy dan Muslim.
Pembagian Tauhid menurut Ahlu Sunnah mari kita simak beserta dalil2nya:
1.Tauhid Rububiyyah adalah : Suatu keyakinan yang pasti bahwa Allah subhaanahu wa ta’ala satu-satunya pencipta, pemberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta mengatur semua urusan makhluk-makhluk-Nya tanpa ada sekutu bagi-Nya. Dalil-dalil yang menunjukkan Tauhid Rububiyyah ini diantaranya firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
”Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-Fatihah : 2].
Juga firman-Nya :
أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-A’raf : 54].
Dalam ayat di atas Allah menjelaskan kepada hamba-Nya bahwa Dia-lah satu-satunya pencipta dan pemilik seluruh alam semesta ini serta Dia pulalah yang mengaturnya secara mutlak, tidak ada pengecualian (yang luput) dari-Nya sesuatupun.
Di samping dua ayat di atas, Allah juga menjelaskan tentang Rububiyyah-Nya dengan firman-Nya :
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ قُلِ اللَّهُ
Katakanlah: “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Jawabnya: “Allah.” [QS. Ar-Ra’d : 16].
Dan juga firman-Nya :
قُلْ لِمَنِ الأرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَذَكَّرُونَ * قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ * قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”. Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”. Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?”. Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” [QS. Al-Mukminun : 84-89].
Dari pengertian ayat di atas, tiada keraguan bagi orang yang berakal tentang rububiyyah Allah bahwa Dia-lah satu-satunya Dzat yang mampu menciptakan langit dan bumi, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Demikian pula pengakuan mereka (orang-orang Quraisy) ketika ditanya tentang siapa pencipta langit dan bumi ? Dan siapa Rabb langit dan bumi ? Mereka akan mengatakan : ”Allah”. Sebagaimana firman Allah :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
”Dan jika kamu bertanya kepada mereka : Siapakah yang menciptakan tujuh langit dan bumi. Pasti mereka akan mengatakan : Allah” [QS. Luqman : 25].
Juga firman-Nya :
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ * سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ
Katakanlah : ”Siapakah Rabb langit yang tujuh dan ’Arsy yang besar ?”. Pasti mereka akan mengatakan : ”Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” [QS. Al-Mukminun : 86-87].
Allah banyak menyebutkan dalam Al-Qur’an pengakuan orang-orang kafir Quraisy terhadap rububiyyah Allah, akan tetapi dengan pengakuan tersebut mereka tetap menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
2.Tauhid Uluhiyyah adalah : Pengesaan Allah subhaanahu wa ta’ala dalam hal ibadah dengan penuh ketaatan dan rendah diri serta cinta pada setiap peribadatan tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Dalil tentang Tauhid Uluhiyyah di antaranya adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
”Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” [QS. Al-Fatihah : 2].
Lafadh Allah maknanya adalah Al-Ma’luh (yang disembah) dan Al-Ma’bud (Yang diibadahi). Dan juga firman Allah :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
”Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” [QS. Al-Fatihah : 5].
Kemudian juga firman-Nya :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
”Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” [QS. Al-Baqarah : 21].
Juga firman-Nya :
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ * أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
”Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” [QS. Az-Zumar : 2-3].
Dan firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” [QS. Al-Bayyinah : 5].
Ayat-ayat di atas menjelaskan kepada kita agar kita mengesakan Allah dalam beribadah. Oleh sebab itu dilarang menyembah selain Allah baik dia seorang Nabi, wali, raja, atau malaikat sekalipun.
Yang dimaksud dengan ibadah adalah segala aktifitas kehidupan yang Allah ridlai dan Allah cintai baik berupa perkataan atau perbuatan yang lahir maupun yang batin. Ibadah dibangun di atas tiga hal yang sangat besar dan sangat penting pengaruhnya dalam perjalanan ibadah seseorang, yaitu : cinta (mahabbah), takut (khauf), dan harapan (raja’). Cinta kepada Allah dalam beribadah akan membuahkan keikhlasan, takut kepada Allah akan membawa seseorang untuk menjauhi segala larangan Allah subhaanahu wa ta’ala dan membimbingnya untuk selalu taat kepadanya. Sedangkan pengharapan akan membangkitkan semangat dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya untuk mendapatkan janji-janji Allah subhaanahu wa ta’ala. Kalau ketiga penggerak hati tersebut sudah tumbuh dengan kuat di hari seorang hamba, maka akan mudah baginya untuk mendapatkan ridla dan cinta Allah subhaanahu wa ta’ala. Dengan kata lain kalau seseorang masih berbuat maksiat atau suatu hal yang tidak dicintai dan diridlai Allah berarti kecintaannya dan ketakutannya terhadap Allah sangat rendah, bahkan dapat dikatakan orang tersebut tidak mengharapkan atau tidak percaya terhadap janji-janji Allah dan meremehkan ancaman-ancaman Allah subhaanahu wa ta’ala. Na’uudzu billahi min-dzaalik.
Dari dalil-dalil dan keterangan di atas dapat diketahui bahwa tauhid ibadah (uluhiyyah) adalah hakekat makna Laa ilaaha illallaah yang mengandung nafi (peniadaan) dan itsbat (penetapan). Makna nafi adalah meniadakan segala macam peribadatan kepada selain Allah bagaimanapun bentuk dan macamnya, atau peniadaan segala macam bentuk ketuhanan. Sedangkan makna itsbat adalah menetapkan ke-Esa-an Allah dalam beribadah dengan berbagai bentuk ibadah yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islamiyyah yang telah disampaikan oleh Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam dan penetapan bahwa tidak ada ilah yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja. Dua kandungan di atas – yaitu nafi dan itsbat – tidak boleh dipisahkan dan harus dipahami dan diambil keduanya. Karena kalau diambil salah satu saja, tidaklah seseorang dikatakan muslim. Misalnya, seseorang yang mengambil nafi saja tanpa itsbat, berarti dia seorang komunis karena dia meniadakan segala macam bentuk ketuhanan tanpa menetapkan ketuhanan bagi Allah. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang hanya mengambil itsbat saja tanpa nafi, dia juga bukan seorang muslim. Bahkan dia seorang kafir karena disamping menetapkan Allah sebagai ilah, ia juga menetapkan selain Allah sebagai ilah. Penyebabnya adalah karena dia tidak mengingkari tuhan-tuhan selain Allah sebagaimana orang-orang kafir Quraisy yang disamping mengakui Allah sebagai Rabb alam semesta, juga mengakui adanya sesembahan selain Allah seperti Latta, ’Uzza, dan lain-lain. Dengan perbuatan mereka ini, Allah dan Rasul-Nya menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir. Oleh sebab itu tidaklah cukup seseorang mengambil nafi saja tanpa itsbat, begitu pula itsbat saja tanpa nafi. Kalau seseorang mengakui dirinya seorang muslim, maka wajib baginya untuk mengambil, meyakini, dan mengamalkan keduanya secara bersamaan tanpa memisah-misahkannya dalam rangka membenarkan persaksian (syahadat) Laa ilaaha illallaah (tiada Rabb yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali Allah).
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keesaan Allah dalam uluhiyyah-Nya adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” [QS. Al-Anbiyaa’ : 25].
Juga firman-Nya :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (= segala sesuatu yang diibadahi selain Allah dan dia ridla dengan peribadatannya tersebut)” [QS. An-Nahl : 36].
Juga firman-Nya :
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. Ali-’Imran : 18].
Ayat-ayat di atas adalah dalil yang sangat jelas akan keesaan Allah dalam hal uluhiyyah-Nya.
Kerancuan (syubhat) yang biasa dilontarkan oleh sebagian manusia adalah pernyataan mereka : ”Bagaimana kamu menyatakan tidak ada Rabb (Tuhan) selain Allah sedangkan Allah sendiri menyatakan keberadaan tuhan-tuhan selain-Nya ? sebagaimana firman-Nya :
وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ
”Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain” [QS. Al-Qashash : 88].
Juga firman-Nya :
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ
”Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu” [QS. Al-Mukminun : 117].
Juga firman-Nya :
فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
”Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah” [QS. Huud : 101].
Jawaban atas kerancuan tersebut :
Pertama, yang perlu diketahui bahwa ketuhanan selain Allah adalah ketuhanan yang bathil atau tidak hak (benar), walaupun tuhan-tuhan tersebut diibadahi atau disembah oleh orang-orang yang bodoh dan sesat. Sesungguhnya tuhan-tuhan tersebut adalah sesuatu yang tidak pantas untuk diibadahi sebagaimana firman-Nya :
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil” [QS. Luqman : 30].
Kedua, sebutan tuhan bagi tuhan-tuhan selain Allah adalah sekedar penamaan saja sebagaimana firman-Nya subhaanahu wa ta’ala :
إِنْ هِيَ إِلا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
”Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya” [QS. An-Najm : 23].
Dua macam tauhid di atas (Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah) tidak ada yang menentangnya dan tidak ada pula yang mengingkarinya dari kalangan ahli kiblat yang menyandarkan diri kepada Islam, kecuali orang yang berlebih-lebihan dari kalangan Syi’ah Rafidlah. Mereka menyatakan bahwa ’Ali bin Abi Thalib adalah tuhan sebagaimana yang dilakukan oleh ’Abdullah bin Saba’ (pemimpin Syi’ah yang pertama) yang datang kepada ’Ali bin Abi Thalib dan berkata kepadanya : ”Kamu (wahai ’Ali) adalah Allah yang sebenarnya”. Akan tetapi ’Abdullah bin Saba’ adalah Yahudi yang berpura-pura masuk Islam. Dengan pengakuan ingin melindungi keluarga Rasulullah, dia berusaha menghancurkan Islam dari dalam. Perbuatan ’Abdullah bin Saba’ ini diingkari oleh ’Ali bin Abi Thalib dan beliau tidak ridla kepada siapa saja yang menempatkan dirinya lebih dari semestinya. Karena beliau juga seorang hamba Allah, bahkan di atas mimbar Kuffah beliau berkata : ”Sebaik-baik umat setelah Nabi-Nya (shallallaahu ’alahi wa sallam) adalah Abu Bakar, kemudian ’Umar”. ’Ali juga memerintahkan untuk membakar ’Abdullah bin Saba’ dan pengikut-pengikutnya. Yang jelas, kedua macam tauhid di atas tidak ada yang mengingkari secara terang-terangan dari ahli kiblat (kaum muslimin) walaupun ada dari kalangan ahli bid’ah yang mengingkarinya dengan berbagai penakwilan (penyelewengan makna).
3.Tauhid Asmaa’ wa Shifat Allah adalah : Berkeyakinan dengan keyakinan yang pasti tentang nama-nama Allah, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya yang termuat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, tanpa merubah-rubah atau menolak atau menanyakan bagaimana hakekatnya atau menyerupakan dengan makhluk-Nya. Dalil tentang Tauhid Asmaa’ wa Shifaat ini adalah firman Allah subhaanahu wa ta’ala :
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama yang terbaik)” [QS. Al-Israa’ : 110].
Juga firman-Nya :
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
”Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia)?” [QS. Maryam : 65].
Juga firman-Nya :
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
”Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai al asmaul-husna (nama-nama yang baik)” [QS. Thaha : 8].
Juga firman-Nya :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].
Ayat-ayat di atas merupakan hujjah yang menyatakan tentang tauhid asma’ wa shifat Allah.
Dalam mengimani nama-nama Allah subhaanahu wa ta’ala ada beberapa kaedah, antara lain :
Semua nama Allah adalah terbaik dan berada dalam puncak kebaikan. Karena nama Allah mengandung atau menunjukkan sifat-Nya yang sempurna, tidak ada cacat atau kekurangan dari segi apapun. Seperti Al-Hayyu (الْحَيُّ) ”Yang Maha Hidup”, salah satu dari nama Allah yang mengandung arti bahwa Allah hidup secara mutlak, tidak didahului oleh ketiadaan dan tidak pula berakhir dengan kebinasaan. Dia hidup dengan kesempurnaan-Nya.
Nama Allah adalah nama sekaligus sifat bagi-Nya subhaanahu wa ta’ala. (Al-Hayyu, Al-’Aliim, As-Samii’) ”Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Mendengar” ; semua adalah nama untuk Dzat yang satu, yaitu Allah subhaanahu wa ta’ala. Nama-nama tersebut mengandung makna dan sifat yang berbeda-beda, karena makna Al-Hayyu lain dengan makna Al-’Aliim dan lain pula dengan makna As-Samii’. Dan begitu pula nama-nama Allah yang lain. Nama Al-Hayyu mengandung sifat al-hayat (hidup), Al-’Aliim mengandung sifat al-’ilmu (ilmu/mengetahui), As-Samii’ mengandung sifat as-sam’u (mendengar). Dan begitu pula nama-nama Allah yang lain.
Nama Allah yang mengandung sifat Muta’addi (sifat yang pengaruhnya mengenai makhluk-Nya), ia mengandung tiga perkara :
a. Penetapan nama tersebut untuk Allah.
b. Penetapan sifat yang terkandung dalam nama tersebut bagi-Nya.
c. Penetapan hukum dan pengaruh-Nya.
Contohnya : As-Samii’ – salah satu nama Allah yang artinya Yang Maha Mendengar. Lafadh tersebut ditetapkan sebagai nama Allah dan ditetapkan pula sebagai sifat Allah. Adapun hukum dan pengaruhnya adalah Dia mendengar apa saja, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak pada makhluk-Nya.
Sedangkan jika nama Allah menunjukkan sifat yang Lazim (yang tidak berpengaruh kepada yang lainnya), maka ia menunjukkan dua perkara :
– Penetapa nama bagi-Nya.
– Penetapan sifat yang terkandung dalam nama tersebut untuk-Nya.
Seperti nama Al-Hayyu yang berarti Yang Maha Hidup. Maka lafadh Al-Hayyu ditetapkan sebagai nama Allah dan sekaligus sifat bagi Allah semata.
Nama-nama Allah menunjukkan atas Dzat dan sifat-Nya sesuai dengan kandungannya, nama dan sifat itu akan terus ada dan tidak pernah sirna, seperti : Al-Khaaliq, salah satu nama Allah yang artinya Yang Maha Menciptakan – menunjukkan atas Dzat dan sifat Allah yang mengandung makna bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia tetap serta terus-menerus sebagai Sang Pencipta.
Nama-nama Allah semuanya harus diambil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Tidak ada tempat bagi akal untuk menentukannya. Oleh karena itu janganlah menambah atau menguranginya, karena nama-nama Allah adalah merupakan permasalahan ilmu yang ghaib, dan hanya Allah sajalah yang mengetahuinya.
Nama-nama Allah tidak terbatas dengan jumlah tertentu sebagaimana diterangkan dalam hadits yang masyhur tentang doa ketika dalam kesedihan :
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ
”(Ya Allah), aku minta dengan (menyebut) segala nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan pada kitab-Mu, atau Engkau ajarkan pada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau tentukan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu…” [HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim].
Dalil ini menunjukkan ketidakterbatasan nama Allah. Adapun nama Allah yang disebutkan dalam hadits 99 (sembilan puluh sembilan) nama tidak menunjukkan batas akhir. Hadits yang menunjukkan perincian atau penyebutan nama-nama-Nya yang berjumlah 99 adalah hadits yang lemah (dla’if).
Haram bagi seseorang untuk mengingkari, menolak sifat-sfat Allah, atau menyerupakan dengan makhluk-Nya.
Tentang masalah sifat-sfat Allah, Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mengimaninya tanpa merubah (tahrif), mengingkari (ta’thil), menanyakan bagaimana (takyif), dan tidak pula menyerupakan (tasybih) dengan sifat makhluk-Nya.
Tanpa tahrif (merubah) artinya tdak merubah makna yang terkandung dalam sifat tersebut. Seperti perkataan Jahmiyyah tentang sifat istiwaa’ (bersemayam), mereka rubah menjadi istaulaa’ (menguasai). Juga perkataan sebagian ahlul-bid’ah tentang makna al-ghadlab (marah) diartikan dengan iradatul-intiqaam (kehendak untuk menyiksa); dan makna ar-rahmah dirubah menjadi iradatul-in’am (kehendak untuk memberi nikmat). Semuanya ini tidak benar. Yang benar adalah bahwa makna istiwaa’ bagi Allah adalah bahwa Allah mempunyai sifat ketinggian dan berada dalam ketinggian yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya. Begitu pula dengan al-ghadlab dan ar-rahmah, adalah sifat bagi Allah secara hakekat sesuai dengan kemuliaan Allah dan keagungan-Nya.
Tanpa ta’thil (menolak) adalah tidak mengingkari sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pengingkaran atas hal ini adalah seperti yang dilakukan oleh Jahmiyyah dan semisalnya. Perbuatan mereka merupakan puncak kebatilan. Padahal dalam Al-Qur’an dan As-Sunah banyak sekali diterangkan sifat-sifat Allah yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.
Tanpa tasybih (menyerupakan) adalah tidak menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Untuk itu kita tidak boleh mengatakan bahwa sifat Allah itu adalah seperti sifat kita. Hal itu dikarenakan Allah sudah menyatakan tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatupun.
Adapun makna tanpa takyif (menanyakan bagaimananya) adalah tidak menanyakan bagaimana hakekatnya. Seperti menanyakan bagaimana istiwaa’-nya Allah ? Atau menanyakan bagaimana wajah dan tangan Allah ? Yang seharusnya kita lakukan adalah kita beriman akan keberadaan sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an maupun As-Sunnah sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa menanyakan bagaimana hakekat sifat itu, karena Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mengkhabarkan bagaimana hakekat sifat tersebut.
Pedoman yang harus dipegang oleh setiap muslim adalah :
Semua sifat Allah adalah sifat yang paling sempurna, tidak memiliki kekurangan sama sekali dari segi apapun.
Sifat Allah dibagi menjadi dua :
Sifat tsubutiyyah, yaitu sifat yang ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an atau melalui lisan Rasul-Nya. Semuanya adalah sifat yang sempurna, tidak ada unsur kekurangan sama sekali.
Sifat salbiyyah, yaitu sifat yang di-nafi-kan (ditiadakan) oleh Allah untuk diri-Nya, baik peniadaan tersebut termuat dalam Al-Qur’an mapun As-Sunnah. Semuanya yang di-nafi-kan tersebut berupa sifat-sifat kekurangan seperti sifat mati, bodoh, lemah, dan lain-lain. Untuk itu wajib bagi kaum muslimin untuk meniadakan sifat-sifat tersebut dari Allah subhaanahu wa ta’ala dan menetapkan sifat kesempurnaan lawan sifat tersebut.
Semua sifat Allah harus berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada tempat bagi akal untuk menentukannya.
Dari dalil-dalil pada pembagian di atas dapat diketahui oleh siapa saja tentang kebenaran pembagian tauhid menjadi tiga, yaitu :
– Tauhid Rububiyyah.
– Tauhid Uluhiyyah.
– Tauhid Asmaa’ wa Shifat.
Orang yang mengingkari pembagian tauhid ini adalah orang yang mengingkari sesuatu tanpa ilmu dan berbicara atas nama Allah tanpa didasari ilmu. Karena orang yang mempunyai ilmu sedikit saja dari kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dimana saja ia berada dan kapan saja, mesti akan mengetahui kebenaran pembagian tersebut.
Jika Anda tidak mentauhidkan Allah dalam Rububiyyahnya, Uluhiyyah, dan Al-Asmaa’ wash-Shifaat, memangnya apa yang Anda tauhidkan ?
Berikut ini adalah perkataan ulama salaf sebelum zaman Ibnu Taimiyyah tentang pembagian Tauhid.
1. AL-Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit w. 150H, berkata dalam kitab Fiqhul Absath hal 51:
“Allah تعالى itu diseru dengan sifat yang tinggi bukan dengan sifat rendahan, karena sifat yang rendah bukanlah termasuk sifat Rububiyyah dan Uluhiyah sedikitpun”.
2. Ibnu Jarir Ath-Thobari w. 310H, berkata dalam tafsirnya terhadap firman Allah تعالى QS. Muhammad 19:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah wahai Muhammad, tidak ada sesembahan yang pantas atau layak bagi-Nya untuk disembah, dan tidak boleh bagimu dan bagi seluruh makhluk untuk menyembahnya kecuali Allah تعالى yang menciptakan para makhluk, Penguasa seluruh alam, yang segala sesuatu tunduk padanya dengan kekuasaan Rububiyyah-Nya”.
3. Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi w. 321H, berkata dalam mukaddimah kitab Ath-Thohawiyyah:
“Kami katakan dengan penuh keyakinan –semoga Allah تعالى memberikan curahan taufiknya- dalam masalah pengesaan terhadap Allah تعالى : Allah itu maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada sesuatu yang sepadan dengan-Nya, tidak ada sesuatupun yang mampu mengalahkan-Nya, dan tidak ada sesembahan yang haq melainka Dia”.
4. Imam Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al-Busti w. 354H, berkata dalam mukaddimah kitab Roudhotul Uqola’ wa Nuzhatul Fudholaa’:
“Segala puji bagi Allah Yang Maha Tunggal dalam ke-esaan Uluhiyyah-Nya, yang maha mulia dengan Rubbubiyyah-Nya, yang mengurusi segala yang hidup dengan ketentuan ajal…
5. Ibnu Abi Zaid Al-Qoirowani Al-Maliki w. 386H menyebutkan dalam kitab Aqidah-nya:
“Termasuk kedalamnya: Beriman dengan hati serta mengucapkan dengan lisan bahwa Allah adalah sesembahan yang Esa, tidak ada sesembahan selain-Nya, tidak ada yang serupa dan sebanding dengan-Nya, Dia tidak memiliki anak dan orang tua. Tidak ada pembantu dan sekutu, tidak ada permulaan dalam uluhiyyah-Nya, serta tidak ada penghabisan bagi yang selain-Nya. Tidak mungkin menjangkau kesempurnaan sifat sifat Allah dengan sekedar sifat sifat yang disebutkan oleh orang orang yang mensifatinya, dan kaum cendikiawan tidak akan bisa menjangkau urusan Allah dengan olah pikirnya”.
Sampai Beliau berkata: “Ingatlah Dia adalah Rabb para hamba dan Rabb dari perbuatan perbuatan mereka.
6. Berkata Al-Imam Abu Abdillah Ubaidulloh bin Muhammad bin Baththoh Al-‘Akbari w. 387H, dalam kitabnya Al-Ibanah ‘an Syariati Al-Firqotin Najiyah wa Mujanibatil Firqotil Madzmumah:
“Sesungguhnya prinsip keimanan kepada Allah تعالى yang wajib diyakini oleh para makhluk dalam hal keimanan kepada-Nya ada tiga bagian:
Pertama: Seseorang hamba harus meyakini Rabbaniyyah Allah. Yang demikian itu sebagai pemisah antara madzhab ahlul tha’thil yang tidakmenetapkan adanya pencipta.
Kedua: Seorang hamba harus meyakini keesaan Allah. Hal ini untuk membedakan dengan madzhab pelaku syirik yang menetapkan adanya pencipta namun menyekutukan Allah dalam peribadatannya.
Ketiga: Dia harus meyakini bahwa Allah disifati dengan sifat sifat sebagaimana Allah mensifati diri-Nya, seperti Qudroh, hikmah, dan seluruh apa yang Dia sifatkan didalam kitab-Nya”.
7. Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Ath-Thurthusy w. 520H, dalam mukaddimah kitab Sirajul Muluk (1/7):
“Dan aku bersaksi bahwa sungguh bagi Allah sifat Rububiyyah dan Ke-Esaan, dan dengan apa apa yang Allah telah persaksikan bagi diri-Nya dan Nama nama-Nya baik dan sifat sifat-Nya yang maha tinggi serta sifat sifat-Nya yang maha sempurna”.
8. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi w. 671 berkata dalam tafsirnya (1/72):
“Maka Allah adalah nama yang menunjukkan keberadaan yang haq, terkandung didalam-Nya sifat sifat Ilahiyyah, yang bersifat dengan sifat Rububiyyah. Maha tunggal dengan keberadaan-Nya yang hakiki. Tidak ada sesemgahan yang haq melainkan Dia”.
Beliau juga berkata dalam tafsirnya (5/118):
“Dasar kesyirikan yang diharamkan adalah berkeyakinan adanya sekutu bagi Allah dalam Uluhiyyah-Nya, dan ini adalah kesyirikan yang terbesar, dan kesyirikan yang dilakukan oleh orang orang jahiliyyah. Bentuk kesyirikan yang lainnya adalah keyakinan adanya sekutu bagi Allah dalam perbuatan walaupun dia tidak meyakini ketuhanan hal tersebut, seperti perkataan orang: “Sesungguhnya selain Allah memungkinkan untuk mengadakan dan menciptakan dengan tanpa adanya keterkaitan”.
Disini saya akan tambahkan manhaj aqidah Imam Syafi’i sebagai imam panutan muslim Indonesia sebagai bantahan pada mereka yg mengklaim imam Syafi’i berakidah Asy’ari :
1. Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang harus diimani, maka beliau menjawab, bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitabNya dan dijelaskan oleh NabiNya kepada umatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan) sampai kepadanya karena Al-Qur’an turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu. Maka barangsiapa yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, ia adalah ma’dzur (diampuni) karena kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan pemikiran. Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini” (dua tangan), dengan firmanNya, yang artinya: “Tetapi kedua tangan Alloh terbuka” (QS: Al-Maidah: 64). Dia memiliki wajah, dengan firmanNya, yang artinya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahNya” (QS: Al-Qashash: 88).” (Manaqib Asy-Syafi’i, Al-Baihaqi, 1/412-413; Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, Al-Lalikai, 2/702; Siyar A’lam An-Nubala’, Adz-Dzahabi, 10/79-80; Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyah, Ibnul Qayyim, 94).
2. Sumber aqidah Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: sebuah ucapan seperti apapun tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) Kitabulloh atau Sunnah RasulNya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya). Wallahu a’lam. ( Manaqibusy Syafi’i, 1/470&475)
3. Dari Ar-Robi’ bin Sulaiman: Imam Syafi’i mengatakan: “Barangsiapa bersumpah dengan nama Alloh, atau dengan nama-namaNya yang lain, lalu ia melanggarnya, maka ia wajib membayar kaffarot (tebusan). (Manaqib Syafi’i 1/405). Yang demikian itu: “Karena nama-nama Alloh itu bukanlah makhluk, maka barangsiapa bersumpah dengan nama Alloh, lalu melanggarnya, maka wajib atasnya membayar kaffarot”. (Adab syafi’i libni Abi Hatim, Al-Hilyah li Abi Nu’aim 9/112, Sunan Kubro lil baihaqi 1/28, Al-Asma was shifat lil baihaqi 255-256, Syarhus sunnah lil baghowi 1/188, Al-Uluw lidz Dzahabi 121, Mukhtashorul Uluw lil albani 77)
4. Imam Syafi’i mengatakan: Perkataan dalam sunnah yang aku berjalan di atasnya, dan aku lihat para sahabat kami juga berjalan di atasnya, -yakni para ahlul hadits yang ku temui dan ku ambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Malik, yang lainnya-, adalah: Berikrar dengan persaksian bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Alloh, sesungguhnya Muhammad itu Rosululloh, sesungguhnya Alloh itu diatas arsy-Nya, di atas langit-Nya, Dia mendekat kepada makhluknya bagaiamanapun Dia kehendaki, dan Alloh juga turun ke langit dunia sesuai kehendaknya. (Ijtima’ul juyusyil islamiyah libnil qoyyim, hal: 165. Itsbatu Shifatil Uluw, hal:124. Majmu’ul Fatawa 4/181-183. Al-Uluw lidz Dzahabi, hal: 120. Mukhtashorul Uluw lil Albani, hal: 176)
5. Al-Imam Syafi’i berkata didalam kitab Ar-Risalah hal 7-8 : “Segala puji bagi Alloh… yang Dia itu sebagaimana disifati sendiri oleh-Nya, dan lebih agung dari sifat yang diberikan oleh para makhluknya”. (Ar-Risalah, hal:7-8)
6. Dari Ar-Robi bin Sulaiman, dari Asy-Syafii: “Barangsiapa mengatakan Alqur’an itu makhluk, maka dia kafir”. (Syarah Ushul I’tiqodi Ahlissunnah wal Jama’ah lillalaka’I 1/252)
7. Robi’ bin Sulaiman mengatakan: aku pernah mendatangi Muhammad bin Idris Asy-Syafii, ketika sampai padanya kertas yang bertuliskan: “Apa pendapatmu tentang firman Alloh ta’ala: ‘Sekali-kali tidak, sungguh mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari melihat Tuhannya’.” (Al-Muthoffifin: 15). Imam Syafii mengatakan: “Ketika mereka terhalangi (dari melihat-Nya) di saat (Alloh) marah, itu berarti dalil bahwa sesungguhnya mereka akan melihatnya di saat (Alloh) ridho”. Ar-Robi’ bertanya: “Apa dengan itu engkau berpendapat?”. “Ya, itulah agama yang akan kupertanggung-jawabkan di hadapan Alloh kelak”. (Syarah Ushul I’tiqodi Ahlissunnah wal Jama’ah lillalaka’i 2/506)
Semoga dapat membukakan hati2 yg telah taqlid buta oleh akidah asy’ari. Inilah aqidah Imam agung nashirus sunnah, Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i -rahimahullah-. Jadi, tidaklah tepat ketika seseorang mengatakan aqidah asy’ariyah adalah aqidah ijma’ dari imam 4 madzhab.
Wassalamu’alaikum.
Sebenarnya yg dimaksud Imam Malik adalah bid’ah dlm hal syariat. Contoh, bikin shalat 2 bahasa, tentulah ini bid’ah yg dimaksud oleh Imam Malik.
Jika Imam Malik membenci seluruh bid’ah, mengapa justru Imam Malik melakukan bid’ah yg dianggapnya hasanah???
Contoh, setiap hendak menyampaikan hadist Imam Malik selalu wudhu dan shalat sunnah dahulu 2 raka’at. Bukankah ini tidak pernah disuruh dan dicontohkan Nabi Saw? Tapi dikerjakan oleh Imam Malik.
Akidahnya Imam Syafi’I adalah Allah ada tanpa bertempat…
Para ulama Wahabi sudah memanipulasi kitab2 Ulama Klasik sehingga tidak jelas apa akidah para Imam Madzhab yg sesungguhnya.
Apakah mas Yudi sudah tabayun ke kitab Imam Syafi’I yg asli??? Apakah justru mas Yudi yg taklid buta dengan tahrij dr ulama-ulama Wahabi terhadap kitab2 ulama klasik???
Mari kita buktikan siapa yg taklid…
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakan keberkahan bagi negeri Yaman namun tidak bagi negeri Najed
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Husain bin Al Hasan berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Aun dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar berkata, Beliau berdoa: Ya Allah, berkatilah kami pada negeri Syam kami dan negeri Yaman kami. Ibnu ‘Umar berkata, Para sahabat berkata, Juga untuk negeri Najed kami. Beliau kembali berdoa: Ya Allah, berkatilah kami pada negeri Syam kami dan negeri Yaman kami. Para sahabat berkata lagi, Juga untuk negeri Najed kami. Ibnu ‘Umar berkata, Beliau lalu berdoa: Disanalah akan terjadi bencana dan fitnah, dan di sana akan muncul tanduk setan. (HR Bukhari 979)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menetapkan miqot bagi penduduk negeri Yaman di Yalamlam sebelah tenggara kota Makkah/Madinah sesuai arah dari negeri Yaman, sedangkan penduduk negeri Najed di Qarnul Manazil sebelah timur dari kota Makkah/Madinah sesuai arah dari negeri Najed. Begitupula penduduk Iraq miqot di Dzat Irq, Timur Laut Makkah/Madinah sesuai arah dari negeri Iraq.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Ammar Al Maushulli yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Haasyim Muhammad bin ‘Ali dari Al Mu’afiy dari Aflah bin Humaid dari Qasim dari Aisyah yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam dan Mesir di Juhfah, bagi penduduk Iraq di Dzatu ‘Irq, bagi penduduk Najd di Qarn dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam [Shahih Sunan Nasa’i no 2656]
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Hammad dari ‘Amru dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam di Al Juhfah, bagi penduduk Yaman di Yalamlam dan bagi penduduk Najed di Qarnul Manazil. Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut bila datang melewati tempat-tempat tersebut dan berniat untuk hajji dan ‘umrah. Sedangkan bagi orang-orang selain itu, maka mereka memulai dari tempat tinggalnya (keluarga) dan begitulah ketentuannya sehingga bagi penduduk Makkah, mereka memulainya (bertalbiyah) dari (rumah mereka) di Makkah. (HR Bukhari 1431)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa penduduk Yaman cepat menerima kebenaran sedangkan penduduk Najed dari Bani Tamim, orang-orang yang seperti Dzul Khuwaishirah berwatak keras dan suka harta
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Shakhrah dari Shafwan bin Muhriz Al Mazini dari ‘Imran bin Hushain radliallahu ‘anhuma dia berkata; Sekelompok orang dari Bani Tamim datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda: ‘Terimahlah kabar gembira wahai Bani Tamim.’ Mereka menjawab; ‘Anda telah memberikan kabar gembira kepada kami, oleh karena itu berikanlah sesuatu (harta) kepada kami.’ Maka muka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berubah, tidak lama kemudian serombongan dari penduduk Yaman datang kepada beliau, maka beliau bersabda: Terimalah kabar gembira, karena Bani Tamim tidak mau menerimanya! Mereka berkata; Ya Rasulallah, kami telah menerimanya. (HR Bukhari 4017)
Telah bercerita kepada kami ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyats telah bercerita kepada kami bapakku telah bercerita kepada kami Al A’masy telah bercerita kepada kami Jami bin Syaddad dari Shafwan bin Muhriz bahwa dia bercerita kepadanya dari ‘Imran bin Hushain radliallahu ‘anhuma berkata; Aku datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan untaku aku ikat di depan pintu. Kemudian datang rombongan dari Bani Tamim maka Beliau berkata: Terimalah kabar gembira wahai Bani Tamim. Mereka berkata:; Tuan telah memberikan kabar gembira kepada kami maka itu berilah kami (sesuatu harta) . Mereka mengatakannya dua kali. Kemudian datang orang-orang dari penduduk Yaman menemui Beliau, lalu Beliau berkata: Terimalah kabar gembira, wahai penduduk Yaman, jika Bani Tamim tidak mau menerimanya. Mereka berkata; Kami siap menerimanya, wahai Rasulullah. (HR Bukhari 2953)
Telah menceritakan kepada kami Isma’il Telah menceritakan kepadaku Malik bin Anas dari pamannya – Abu Suhail bin Malik – dari bapaknya, bahwa dia mendengar Thalhah bin ‘Ubaidullah berkata: Telah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seorang dari penduduk Najed dalam keadaan kepalanya penuh debu dengan suaranya yang keras terdengar, namun tidak dapat dimengerti apa maksud yang diucapkannya, hingga mendekat (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) kemudian dia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Shalat lima kali dalam sehari semalam. Kata orang itu: apakah ada lagi selainnya buatku. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Dan puasa Ramadlan. Orang itu bertanya lagi: Apakah ada lagi selainnya buatku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) . Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut: Zakat: Kata orang itu: apakah ada lagi selainnya buatku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat) . Thalhah bin ‘Ubaidullah berkata: Lalu orang itu pergi sambil berkata: Demi Allah, aku tidak akan menambah atau menguranginya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Dia akan beruntung jika jujur menepatinya. (HR Bukhari 44)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dann banyak dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah) (QS Al Baqarah [2]:269)
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ أَضْعَفُ قُلُوبًا وَأَرَقُّ أَفْئِدَةً الْفِقْهُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib Telah menceritakan kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang berperasaan dan hatinya paling lembut, kefaqihan dari Yaman, hikmah ada pada orang Yaman.” (HR Bukhari 4039)
و حَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ وَحَسَنٌ الْحُلْوَانِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ وَهُوَ ابْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ صَالِحٍ عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ هُمْ أَضْعَفُ قُلُوبًا وَأَرَقُّ أَفْئِدَةً الْفِقْهُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ
Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Sejak abad 7 H di Hadramaut (Yaman), dengan keluasan ilmu, akhlak yang lembut, dan keberanian, Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra beliau berhasil mengajak para pengikut Khawarij untuk menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang mutakbaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya. Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas
Untuk direnungkan kembali perkataan dari Imam Malik, dia berkata, “Barang siapa yang membuat bid’ah di dalam Islam yang ia menganggapnya bid’ah hasanah, maka sesungguhnya ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkhianat di dalam (menyampaikan) risalah. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu Agama kamu……….”. Maka apa-apa yang tidak menjadi Agama pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi Agama pada hari ini.” (Al I’tisham)
Apakah nabi melakukan Tahlilan tatkala Khadijah meninggal dunia????? kemudian apakah ketika Rasulallah Shallallahu Alaihi Wasallam meninggal para sahabat melakukan Tahlilan????
Laukana khairon lasabaquuna ilaih.
Mohon maaf, untuk para ustadz di sini, mohon cek ricek pd kitab ulama yg asli….yg asli…jangan yg sudah ditahrij. Karena banyak manipulasi
Untuk mas Yudi n Heri:
Ibnu Abbas Ra sahabat sekaligus keluarga Nabi Saw menakwil ayat2 mustasyabihat. Contohnya kata kursi dalam ayat Kursi, oleh Ibnu Abbas Ra ditakwil sebagai. “Ilmu Allah”
Sebenarnya yg dimaksud Imam Malik adalah bid’ah dlm hal syariat. Contoh, bikin shalat 2 bahasa, tentulah ini bid’ah yg dimaksud oleh Imam Malik.
Jika Imam Malik membenci seluruh bid’ah, mengapa justru Imam Malik melakukan bid’ah yg dianggapnya hasanah???
Contoh, setiap hendak menyampaikan hadist Imam Malik selalu wudhu dan shalat sunnah dahulu 2 raka’at. Bukankah ini tidak pernah disuruh dan dicontohkan Nabi Saw? Tapi dikerjakan oleh Imam Malik.
Mas Yudi W, kaum Zionis Yahudi melancarkan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) untuk menimbulkan perpecahan di antara kaum muslim dengan potongan ayat yang bersumber dari firman Allah ta’ala salah satunya adalah,
waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiimun,
“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. (QS al Ahqaaf [46]:11 ).
Dari perkataa orang-orang kafir tersebut, kemudian dipotong menjadi “Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi” dan dimaknakan sebagai “Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya”.
Dari susunan kata “Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi” tak ada satupun yang dapat diartikan sebagai “para Sahabat”.
Selengkapnya silahkan baca tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/19/penetapan-perkara-baru/
Mas Yudi W , memang benar apa yang disampaikan oleh Imam Malik ra bahwa bid’ah di dalam Islam atau dalam beberapa hadits disebut bid’ah dalam “urusan agama” atau “urusan kami” tidak ada bid’ah hasanah. Kemudian dipertegas dengan kalimat
“Maka apa-apa yang tidak menjadi Agama pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi Agama pada hari ini.”
Larangan, pengharaman dan kewajiban adalah “urusan agama” atau dalam beberapa hadits disebut dengan “urusan kami” dan hanya berasal dari Allah Azza wa Jalla
Bid’ah dholalah adalah bid’ah dalam “urusan agama” dan sunnah sayyiah (contoh yang buruk)
Apakah agama ?
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in yang ketiga puluh)
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatkan dari surga” = perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah [5]:3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.”
Telah sempurna agama Islam maka telah sempurna atau tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang didiamkanNya atau dibolehkanNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
“Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Jadi bid’ah dalam “urusan agama” (urusan kami) adalah bid’ah dalam urusan yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya atau mensyariatkannya atau bid’ah dalam perkara syariat yakni mengada-ada larangan yang tidak dilarangNya atau mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Sedangkan sunnah sayyiah (contoh yang buruk) adalah contoh atau perkara baru (bid’ah) di luar “urusan agama” yang menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an , Hadits, Ijma dan Qiyas
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah (contoh) tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah (contoh) tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan batasan bagi kaum muslim yang akan melakukan perbuatan di luar “urusan agama” atau di luar perkara syariat (di luar dari apa yang disyariatkanNya) adalah
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyelahi pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
ALhamdulillah Mas Yudi, penjelasannya buat saya sangat mencerahkan, mudah2an umat islam lainnya juga demikian…
1. Dalam definisi itu ada definisi menurut bahasa dan ada juga mneurut syariat ” , jawaban anda diatas hanya bentuk ngeles , sebab yang kita bicarakan bukan soal ada tidaknya pengertian etimologis.
>>> lho…gimana anda ini…, ini logika yg jungkir balik. Ahli ngeles juga anda…
2. Mau tidak mau akhirnya andapun mengakui jika : ” perbuatan ” penyembah berhala kepada berhalanya juga disebut Ibadah meskipun Ibadah Fasidah,
Artinya definisi Ibadah yang dibuat oleh Ibnu Taimiyah adalah definisi yang tidak Jami` tidak pula Mani`, bahkan tidak selaras dengan al-qur`an dan Sunnah , oleh karena itu kita Butuh kepada definisi Yang Jami` dan Mani` yang selaras dengan Qur`an dan Sunnah.
Terlebih definisi Ibadah yang diajarkan kaum wahabi juga , mengandung kegoncangan luar biasa yang mengakibatkan pengkafiran ummat islam , hal ini terjadi karena definisi Ibadah kaum wahabi yang tidak selaras dengan qur`an dan sunnah.
>>>> yg sya sampein itu menurut ustad salafy (dan itu dah lengkap)…andapun ga ngebantah bukan…(mencakup yg jami’ dan juga mencakup ibadah yg benar dalam Islam). Ibadah yg benar menurt Islam adalah menurut Ibnu Taimiyyah itu yg mampu mencakup semua ibadah. Menyembah berhala bukanlah ibadah yg dimaksud dalam islam (ibadah yg benar). Anda mau pungkiri ini…??? Silahkan saja…., Kalau anda pakai bashiroh tidak akan merasa ada kegoncangan,
3. Jawab : yang saya tanyakan adalah referensi dari kaidah yang anda bawa bahwa : amalan khusus membutuhkan dalil khusus ” , ini kaidah dari mana……?
Dan rupanya anda juga tidak faham apa yang dimaksud dengan Ibadah Mahdloh atau khusus.
>>> jangan2 anda ga ngerti mana ibadah yg khusus dan mana yg ngga, anda tau ada ibadah fasidh…tapi kurang meresapi maknanya.
4. Nah jika kaum wahabi konsisten dengan pemahaman mereka tentang Bid`ah , tentu akan meolak semua hal baru dalam Agama , seperti Ushul fiqh , Fiqh dan ilmu-ilmu lainnya bahkan sebagian besar hasil Ijtihad harusnya ditolak juga , hanya karena memang kaum wahabi tidak konsisten dengan pemahamannya sendiri soal Bid`ah , akhirnya ya begini mancla mencle.
>>> hhh3…coba belajar lagi deh…bahasa arabmu itu…, kalau mau jelas datangi ustadz luqman ba’abduh atau umar assewed…, aku mah hanya kroco2nya kan mnurut ente…
5. jawab : saya hanya sedikit bertanya : apakah ada orang yang meyembah apa yang tidak diyakininya memiliki Shifat-shifat ketuhanan………? Baik sebagian maupun muthlaq…….?
hal ini saya tanyakan karena anda mengira bahwa Tauhid pada Dzat , af`al dan shifat saja adalah kurang .
>>> Mudah2an anda diberi kelapangan hati…, itu ga susah koq mempelajarinya. Yg namanya orang yg bertauhid itu, dia tidak boleh beribadah kepada selain Allah, kalau hanya mengaku Allah sbg Kholiq, terus dia tetap ibadah/berdo’a kepada makhluk(wali, nabi, malaikat, jin) datangi peramal, jelas dia jadi bukan bertauhid justru dia menjadi musyrik (meskipun masih islam karena sudah pernah sahadat, tapi ttep dosa besar, bahkan bisa mengeluarkan dari islam kalau ga tobat). Jadi kalau hanya mengakui Allah sebagai robbul a’lamiin, terus dia masih datang ke peramal, atau suka sesajen, dll, dia bukanlah ahli tauhid, meskipun islam. Gimana faham ga…??
Penjelasan ustad Yudi udah jelas tuh…., silahkan kalau mau mengingkari, itu tanggung jawab anda. Kalau anda mencari kebenaran pasti akan sepakat dg yg disampaikan ustad Yudi..
6. saya sarankan anda mempelajari masalah at-tark , masalah yang tidak dilarang dan juga tidak diperintah ini disebut at-tark , sehingga anda tidak lagi mempersoalkan apa2 yang tidak dipersoalkan oleh Allah dan Rosulnya.
Silahkan perhatikan dua hadist berikut :
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647).
>>>>>> Ya memang benar 2 hadits itu, namun jangan jadikan alasan smua yg anda beserta kaum anda lakukan adalah tidak dilarang (tahlilan, dll), Apa2 yg diperintahkan Allah maka lakukan apa yg dilarang maka tinggalkan, ta’atlah kepada Allah dan kepada Rosul, rosulullah SAW teladan terbaik umat ini. Saran saya jangan mementingkan golongan, karena anda nU /tasawuf dan sehingga benci terhadap salafy…, ini akan menutup hati terhadap kebenaran.
7. dua ungkapan yang berbeda Jika anda katakan Hukum Asal Ibadah adalah Haram , maka anda akan bertabrakan dengan qur`an , Namun jika anda katakan Hukum Asal Ibadah adalah at-tauqiff anda akan selaras dengan qur`an, makanya saya koreksi ungkapan anda itu.
8. apa gunanya hasil analisa yang lengkap jika bertabrakan dengan qur`an dan Sunnahh………?
>>> sekali lagi baca penjelasan ustad Yudi…, ga ada yg bertabrakan. Justru kalau anda menggunakan akal sehat anda ataupun bashiroh anda…itu akan terlihat kebenaran..
.
9. silahkan terangkan sisi pertentangan Tahlilan dengan Qur`an maupun Sunnah , silahkan sebutkan sisi pertentangannya.
>>> sya Tanya dulu —tahlilan ibadah bukan…?? Ada tatacara dan waktu nya tidak…?? Apa makna tauqif itu…?? Siapa yg bertabrakan sebenarnya…??
10. kok jadi masalah penting tidak penting………? Yang saya koreksi itu pemahaman anda yang menyamakan masalah `itiqod dengan masalah amaliyah ( furu`) , bokan soal penting tidak penting……..?
>>> Itiqod dan Furu itu sama saja dua2nya penting, dua2nya harus benar, dua duanya harus seuai Al QUr’an dan As-Sunnah jangan ikuti ibadah2 yg muhdats. Jadi jangan remehkan masalah furu’
11. 1. dimana Rosul pernah bilang Islam akan terpecah menjadi 73 golongan …….? Hati-hati jangan seenaknya mengatasnamakan Rosulallah SAW.
2. menurut logika betul jika : ” kebenaran itu tdk lah identik dg banyaknya pengikut ” dan salah menurut pemahaman agama , Karena Rosul menjamin : Ummatku tidak akan bersatu dalam kesesatan ” artinya mayoritas (al-jama`ah) Ummat Islam ada dalam kebenaran.
3. Syi`ah dan Wahabiyah adalah sama sama sekte sempalan yang keluar dari Mayoritas ( jama`ah ) Ummat Islam.
4. pernyataan anda : Salafy berusaha mengajak kepada mentauhidkan Allah SWT dan mengajak mengikuti teladan Rosulullah SAW”. Adalah Vonis jika Ummat Islam diluar kelompok Wahabi ” tidak mentauhidkan ” Allah alias Musyrik , dan ini jelas pengkafiran Ummat Islam sedunia diluar wahabi. Hati-hati anda telah mengkafirkan seluruh Ummat Islam diluar wahabi.
>>>>>>> Insya Allah sya ga seenaknya, mungkin anda aja belum tahu, coba cek lagi deh.
Ya tidak akan bersatu dalam kesesatan, termasuk di Indonesia, Muhammadiyyah, Persis, HTI, Salafy, MMi, Wahdah Islamiyyah- pemahamannya hampir sama tentang tahlilan dan bid’ah—— NU/tasawwuf..malah sendirian tuh..
>>> Syi’ah itu paling sesat dan itu adalah musuhnya Salafy. Mestinya Anda harus crosscek…knapa salafy sebegitu kencangnya memberantah ahlul bid’ah/syiah itu. Kalau syiah itu sesat..maka musuhnya yaitu salafy harusnya jadi bahan kajian anda..jangan2 itulah yg penuh dg kebenaran.., Justru NU banyak tercampur dg adat istiadat, yg terkadang mnutup kita pada kebenaran.
12. 1. makanya hati2 dalam berkata : tidak boleh takwil , tidak boleh Takwil apa ini…..?
2. makanya saya bilang : kaum wahabi ( ibnu taymiyah cs.) adalah orang orang yang mengikuti ayat Mutasyabihat , padahal Allah sudah mentahdzirnya , dan ini terbukti seperti saudara hery ini hanya menafikan kaifiyah , seolah tahu makna yang Allah kehendaki dari kata Yad.
>>> anda coba kaji juga tulisan ustad Yudi…., yg ga boleh di takwil itu adalah ayat2 sifat (kecuali ada penjelasan dari Allah maupun rosul-Nya, bukanlah keseluruhan Al Qur’an tidak boleh ditakwil.
>>>justru asy’ariyyah yg menakwilkan ayat2 sifat tanpa ilmu, tapi menakwil agar sesuai dg akal pikiran.
13. ada dua metodologi ahlu sunnah dalam memahami ayat Shifat yaitu Tafwidh ma`a tanzih dan Takwil shohih dengan persyaratannya.
>>> tolong bedakan ahlusunnah dan asy’ariyyah…sungguh beda, baca penjelasan ustad Yudi). Kalau anda mau menjelaskan ahlusunnah pakailah keterangan ulama ahlusunnah ttg ayat sifat itu, bukan keterangan asy’ariyyah..(memang diakhirnya Imam Abul Hasan Al As’ari itu mengikuti akidahnya Imam Ahmad, tapi kebanyakan kaum as’ari ini mengikuti pendapat sang imam sebelum mengakui akidahnya imam ahmad bin hambal).
14. adakah orang yang benar2 meyakini Allah sebagai Robbul `alamin kemudian menyembah bersama Allah selain Allah……? ( saya faham pertanyaan anda ini akibat doktrin kuat dari tauhid rububiyah , yang mencoba memisahkan dua kata Robb dan Ilah ).
2. janganlah bersu udzon , kepada orang lain meskipun baru Islam KTP , baiknya kita bersyukur mereka muslim meskipun baru KTP.
>>> sya ga pernah didoktrin, tapi saya pelajari karya2 ustad salafy, diskusi dg orang2 yg bermanhaj salafy. Ketika saya baca…mereka justru ngajarkan Islam yg sebenar-benarnya.
Bukannya banyak…?? Ah antum ini gimana..? Orang Islam yg udah bersahadat pasti mengakui Allah Robbul a’lamiin, tapi yg ga kuat bener imannya/pemahamnnya ttg islam banyak yg tergelincir kedalam kesyirikan(datangin paranormal, meminta kepada kuburan, dll). Disatu sisi dia sholat, tapi disisi lain dia juga kadang ke para normal…, gimana ngerti kan..?? Anda jangan terbutakan dg kebenaran ini.
Ya memang… syukurlah masih muslim. Mudah2an Allah memberikan taufik dan hidayahnya kepada mereka dan sya.
14. bahasan kita pada cukup tidaknya pengakuan rubububiyah menjadikan seseorang ahli Tauhid , Al-qur`an Hadist bilang cukup , dan bagi Ummat Islam cukuplah dua sumber itu sebagai neraca Bukan yang lainnya.
>>> anda kaji kembali tulisan ustad Yudi. Mudah2an anda tercerahkan. Jangan dahului dg kedengkian terhadap salafy…, nanti anda ga mau dan susah menerima kebenaran.., karena bisa jadi malu atau gengsi, atau apalah alasannya.
>>>sya kira kalau anda pelajari lebih dalam, suatu saat akan mengakui kebenaran ttg Tauhid ini. Yang ngaku Allah sebagai kholiq, terus datang ke peramal, apa cukup dikatakan sbg ahli tauhid..?? kalau dia mengakui Allah sbg Kholiq/ Tuhan, maka harus ibadah hanya kepada-Nya(ini lah tauhid yg benar), karena tdk cuku hanya mengakui, tapi harus ada pembuktian, bukankah begitu …??
15. awab : ya makanya jangan sembarangan melarang. Tapi lagi2 anda bilang gak perlu ditakwil , gak stabil amat sih……?
>>>udah dijelasin diatas…, baca juga tulisan ustad Yudi.
16. 1. Tassawuf bukanlah Ikrar atau sekedar pengakuan , Tasawwuf adalah suluk yang sesuai dengan Qur`an dan Hadist , bukan sekedar Ikrar , Ulama 4 Madzhab jelas pelaku Tasawwuf meskipun tidak Ikrar secara perkataan , karena memang tasawwuf bukan sekedar kata2.
2. menurut akal benar jika ” prinsip kebenaran itu tdk identik dg kebanyakan orang “, namun menurut agama , kebenaran itu akan selalu berada pada mayoritas ulama Islam , makanya ada sebagian Ijma` dimana pemungkir Ijma`nya bias kafir.
3. silahkan pelajari lagi hadist2 tentang `ismah.
17. Jawab : coba benahi lagi cara berfikirnya , bukankah contoh ini berkaitan dengan pertanyaan anda , soal boleh tidaknya beramal tanpa perintah Nabi …..?
>>>>>>> Sepertinya anda yg perlu dibenahi …, jadi maksud anda karena para sahabat juga melakukan beberapa hal ibadah yg tdk dicontohkan Rosul, kita juga jadi boleh seenaknya bikin ibadah yg baru , gitu kan maksudnya. Apaka ada jaminan dari Rosul tentang ibadah yg kita buat itu tidak akan sesat…?? Menurt saya sahabat jelas2 berbeda dg kita, sahabat itu ada jaminan dari Rosul kita mah boro2 kan…?? kalau Umar sholat berjamaah di mesjid saat tarawih, itu kan dicontohkan oleh rosulullah SAW. Bolehnya sholat teraweh secara berjama’ah di masjid.
18. jawab : ya karena anda sudah terdoktrin kuat , dengan pembelokan Makna Bid`ah hasanah menjadi Urusan Bahasa.
>>> tidak sudaraku , sya ga pernah didoktrin sama siapapun, sya berusaha pelajari Islam ini secara sukarela. Sya kira smua umat islam faham tentang adanya pengertian secara bahasan dan secara syariat…,
19. boleh saja anda mengikuti salah satu madzhab yang bukan madzhabnya Imam as-syafi`I , hanya sangat disayangkan anda berani menyalahkan Imam Asyafi`i dimana pendapat Imam as-syafi`I ini didukung oleh Sahabat besar Sayidina Umar ra.
>>> Kalau yg dimaksud bid’ah hasanah menurut Imam Syafii adalah ilmu fiqh, ilmu nahwu, atau berbagai ilmu yg menunjang Islam, maupun perkara dunia lainnya, itu sya sepakat bahwa smua itu bukanlah bid’ah yg dimaksud oleh Rosulullah SAW dalam haditsnya. (Kalau Imam syafii menyebutnya bid’ah hasanah, ya itu hak ijtihad beliau, adapun ulama lainnya bilang itu bid’ah menurut bahasa saja, bukan bid’ah menurut syari’at). Tapi kalau amalan seperti tahlilan mau disamakan sebagai bid’ah hasanah, disini sya ga sepakat. Dan apa yg dilakukan umar, itu juga sama bukanlah bid’ah sesuai syari’at.
20. Manakah yang lebih sombong saya atau orang yang menilai Imam Syafi`i salah….. sementara dia gak ngerti sedikitpun qowaidulughoh…….?
>>> kalau ada ulama, misal Syaikh Ahmad Asy-Syakir dalam tahqiqnya terhadap kitab al umm, terus disana beliau menemukan adanya hadist palsu (dan mungkin Imam Syafi’i pun sebagai manusia biasa, bisa saja keliru), apakah beliau disebut sebagai sombong…??,
Bukankah imam syafii pun menyuruh kepada imam ahmad, jika ada pendapat beliau yg bertentangan dg hadits shahih, maka lemparkan pendapatnya itu, ambilah hadits shahih itu. Sebagai manusia biasa, Imam Syafi’i pun tidaklah ma’sum bukan…?? sya hanya dalam rangka mengikuti u’lama lainnya yg berbeda dg Imam Syafi’i dan menurut hemat sya adalah lebih benar, sya yakin hal ini bukan dalam rangka menyombongkan diri.
atau yg mengaku2 ahli bhasa arab…??? Padahal itu baru secuil dari ilmu Allah, keahlian mu dalam bahasa arab bukan jaminan pendapatmu itu benar. Orang salafy di arab saudi, dan berbagai universitasnya sya yakin mereka lebih ahli dari ahmadsyahid kalau urusan bahasa mah, apalagi orang yg kurang tawadhu begitu…aeh aeh…
21. saya sudah sampaikan Hadist Riwayat Imam at-turmudzi , bagaimana Rosulallah menyebut adanya Bid`ah Dolalah , dimana Mafhumnya adalah Bid`ah Hasanah , sehingga dakwaaan bahwa fatwa Imam syafi`I tentang pembagian Bid`ah adalah salah dan mnenentang Rosulallah Saw terbantahkan oleh Hadist ini.
>>>>>
22. jawab : ini menunjukkan ketidakkonsistenan kaum wahabi dengan pemahamannya sendiri soal Bid`ah , inilah standar ganda kaum wahabi.
>>>> anda kemukakan doktrin tidak konsisten terhadap salafy, menurut sya karena diawali dg kedengkian, coba pelajari dg tenang…, dan baca juga tulisan ustad Yudi diatas. Ga ada tuh tdk konsisten itu.., kalau sesuatu yg baru dalam agama ini adalah bid’ah (ya tetap bid’ah dalam syariat), dan pembagian tauhid itu smua jelas dalilnya.
23. klaim anda dibatalkan oleh pernyataan pernyataan anda sendiri.
>>> anda yg mengaku ahli bahasa arab, namun syang sekali banyak ketergelinciran anda dalam memahami tauhid.
>>>menurut tasawuf gimana coba makna laailaaha ilallah itu…??? Sepertinya tidak lebih baik dari salafy, justru malah ada yg keliru, coba jelaskan anda jelaskan ke sya…
22. ya jelas jahil masa Dakwah Nabi SAW disamakan dengan dakwah barbarisme M. abdul wahhab……….?
Ini penghinaan terhadap Nabi SAW.
>>> jadi yg sesuai adalah NU /tasawuf gitu…??? Masya Allah justru ini yg menghina Nabi SAW, apalagi al hallaj…., aduh…khawatir sya…, siapa yg jahil itu sebenarnya…???
—Sungguh jauh beda Rosulullah SAW dg tasawuf…, masa Rosulullah SAW disamakan dg tasawuf (yg salah satu dedengkotnya itu al hallaj)…?? dimana letak keahlian ilmu anda itu…??
— Sya kira Imam Syafii sungguh sangat membenci ahli kalam/filsafat/ dan juga tasawuf yg awalnya berangkat dari filsafat itu. Makanya dia ga pernah berikrar sbg ahli tasawuf.
24. jawab : itu finah Nejd tanduk syetan hi hi hi
>>> syang yg mengaku berilmu itu, ga bisa bedai Nejd arab saudi sama nejd disebelah timur itu( baca tulisan ustad Yudi di atas)
25. pernyataan yang kontradiktif cirri khas kaum wahabi.
>>>bukan kontradiktif, anda yg belum memahaminya …mudah2an Allah membukakan hati anda…
26. yap benar hanya salafoy dan wahabilah yang benar
>>> Yang benar adalah yg mengikuti Rosulullah SAW dan parasahabatnya yg mendapat petunjuk, jadi yg memahami Islam berdasarkan pemahaman mereka (pemahaman salaf). Siapa saja yg sesuai dg pemahaman salaf, maka dial ah yg benar.
Kalau anda mengakui tasawuf yg paling benar, apa dasar anda…?? Coba jelaskan ttg tauhid menurut tasawuf terkait makna Laailaha illallah…?? Terus siapa itu al hallaj…? syeikh anda kah…??
27. anda hanya mampu berulang2 saya keliru tanpa menjelaskan letak kekeliruannya, dan perkataan anda ini (diatas ) bukti penguat jika wahabi memisahkan Robb dan Ilah , qur`an dan Hadist tidak pernah memisahkan dua kata Robb dan Ilah.
>>>> Allah itu punya sifat robbaniyyah, dan Sifat Uluhiyyah, jadi bukan dipisahkan, coba baca tulisan ustad Yudi…, kalau setelah membaca anda mengakui kebenarannya, Alhamdulillah…, kalau nda…wah…sya ga bisa maksa2 anda harus sepakat dg sya…, tapi itu sepertinya akan membuktikan apakah mau mencari kebenaran atau memang sudah dengki aja sama salafy ini….
28. inilah liciknya kaum wahabi membelokkan dalil yang membantah pernyataan mereka tentang cukup tidaknya pengakuan Rububiyah , dibelokkan menjadi jawaban , padahal dalil kuat pertaanyaan malaikat hanya menanyakan siapa Robbmu , yang berarti Robb dan Ilah itu sama , lantas mengikuti siapakah kaum wahabi ini …….? Membedakan Robb dan Ilah bahkan memisahkan keduanya…?
>>> bukan licik, baca tuh tulisan ustad Yudi, sebenarnya anda yg perlu ditanyakan apakah mengikuti ulama ahlusunnah atau tasawuf…??
>>>Ulama2 ahlusunnah pun mengakui Allah punya sifat robbaniyyah dan sifat uluhiyyah,
>>> pertanyaan didalam kubur itu bisa dijawab bagi orang2 yg bertakwa, kalau anda teliti, pertanyaan bukan hanya siapa Robbmu, tapi nabimu, imamu pun akan ditanyakan…?? Ini artinya apa…?? Kalau anda mengaku muslim /ahli tauhid, maka tidak cukup hanya mengaku Allah sebagai Tuhan (Robb)…, tapi ada syarat2 lain, yaitu harus juga beriman kepada Rukun Iman yg lainnya. Ini sebagai bukti bahwa tdk cukup hanya mengakui Allah sbg Robb…(ustad Yudi, sudah jelaskan dg gamblang)
29. pertanyaan –pertanyaan anda merupakan hasil dari doktrin Tauhid tiga yang bertentangan dengan qur`an dan sunnah.
>>>anda yg belum bisa menerima kebenaran, coba baca tulisan ustad Yudi…
30. Jawab : anda hanya bias ngeles , tanda jika anda bukan pencari kebenaran.
, sarsn saya bahas satu2 saja biar ada faidahnya , satu persoalan bahas tuntas , baru pindah kepersoalan lain.
>>>dah sya bahas, baca juga tulisan ustad Yudi…,anda sih bukan ahli ngeles, tapi anda didahului dg kebencian, dan mungkin gengsi menerima kebenaran dari salafy…, harusnya tunda tuh sifat fanatik trhdp tasawuf/NU anda…, biar bisa melihat kebenaran.
Mas Yudi dan Salafi/Wahabi yg lain…
Yg dimaksud Imam Malik bin Anas tersebut adalah bid’ah yg dalam urusan syariat. Misal, melakukan shalat 2 bahasa, tentunya ini nelanggar syariat meskipun org yg melakukannya menganggap baik.
Jika Imam Malik bin Anas menentang bid’ah hasanah, dan sepakat dengan kalian bahwa tidak ada bid’ah hasanah sama sekali, dan menganggap semua bid’ah itu sesat tanpa kecuali, namun mengapa justru Imam Malik sendiri melakukan bid’ah hasanah???
Contoh bid’ah hasanah yg dilakukan Imam Malik:
Setiap Imam Malik hendak berbicara ttg hadist, maka Imam Malik akan berwudhu dahulu, memakai gamis, memakai imamah, memakai celak, lalu melaksanakan shalat 2 raka’at, setelah itu baru beliau menyampaikan hadist…
Adakah perintah Nabi Saw setiap menyampaikan hadist harus wudhu dan shalat dahulu 2 raka’at??? Namun justru Imam Malik melakukannya.
Imam Bukhari sendiri setiap hendak menulis hadist beliau wudhu dan shalat 2 raka’at. Padahal Nabi Saw tidak pernah memerintah dan mencontohkan hal demikian…
Berarti pemahaman Wahabi/Salafi ttg bid’ah itu berbeda dg pemahaman Imam Malik…krn buktinya justru Imam Malik melakukan bid’ah hasanah
Salah satu kejahatan dr oknum kaum Salafi/Wahabi adalah memanipulasi kitab2 para ulama. Lalu kejahatan ini diteruskan oleh pengikut2nya yg tidak mau tabayun ke kitab Imam Syafi’I dan para Imam Madzhab yg lain.
Mari kita lihat kejahatan ini:
@mas Yudi dan mas Heri, apakah kalian sudah tabayun ke kitab Imam madzhab yg asli, contohnya kitab Imam Syafi’I.
Atau justru kalian sendiri yang taklid pada ulama-ulama kalian yg senang memanipulasi?
Dengan Membawa Nama Para Imam demi membela dan menyebarkan kekacauan aqidah tajsimnya, beberapa hal di antaranya tidak malu-malu menyebarkan dan berdusta dengan menyandarkan perkataan dari Imam Syafi,i
” روى شيخ الإسلام أبو الحسن الهكاري ، والحافظ أبو محمد المقدسي بإسنادهم إلى أبي ثور وأبي شعيب كلاهما عن الإمام محمد بن إدريس الشافعي ناصر الحديث رحمه الله قال: القول في السنة التي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الذين رأيتهم وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الاقرار بالشهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ، وأن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وأن الله ينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء “
“ Syaikhul Islam Abu Hasan Al-Hakary meriwayatkan dan Al-Hafidz Abu Muhammad Al-Muqoddasi dengan isnad mereka kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib, keduanya dari imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, Nashirul hadits Rh, beliau berkata “ Pendapat di dalam sunnah yang aku pegang dan juga para sahabatku dari Ahli hadits yang telah aku saksikan dan aku ambil dari mereka seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya adalah pengakuan dengan syahadah bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt, Muhammad adalah utusan Allah dan sesungguhnya Allah Swt di atas Arsy-Nya di dalam langit-Nya yang mendekat kepada makhluk-Nya kapan saja DIA kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia kapan saja DIA kehendaki “.
(Mukhtashor Al-‘uluw halaman : 176)
Coba Anda Perhatikan Perkataan ini dari sisi sanadnya:
1. Al-Hafidz Adz-Dzahaby di dalam kitabnya MIZAN AL-I’TIDAL juz : 3 halaman : 112 berkata :
أبي الحسن الهكاري : أحد الكذابين الوضاعين
“ Abu Al-Hasan Al-Hakkari adalah salah satu orang yang suka berdusta dan sering memalsukan ucapan “
2. Abul Al-Qosim bin Asakir juga berkata :
قال أبو القاسم بن عساكر : لم يكن موثوقاً به
“ Dia (Abu Al-Hasan) orang yang tidak dapat dipercaya “
3. Ibnu Najjar berkata :
وقال ابن النجار : متهم بوضع الحديث وتركيب الأسانيد
“ Dia dicurigai memalsukan hadits dan menyusun-nysun sanad “
4. Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab LISAN AL-MIZAN juz : 4 halaman : 159 berkata :
وكان الغالب على حديثه الغرائب والمنكرات ، وفي حديثه أشياء موضوعة
“ Kebanyakan hadits yg diriwayatkannya adalah ghorib dan mungkar dan juga terdapat hadits-hadits palsunya “.
5. Ibrahim bin Muhammad Ibn Sibth bin Al-Ajami di di dalam kitabnya Al-Kasyfu Al-Hatsits juz ; 1 halaman : 184 :
وهو كذاب وضاع
“ Dia adalah seorag yang suaka berdusta dan suka memalsukan hadits”
Dan perhatikan pula dari sisi masanya:
Mereka (wahhaby salafy) mengaku atsar tersebut diriwayatkan oleh Abu Syu’aib dari imam Syafi’i. Benarkah ??
Ini sebuah kedustaan yang nyata karena di dalam kitab-kitab tarikh / Sejarah bahwasanya Abu Syu’aib ini dilahirkan dua tahun setelah wafatnya imam Syafi’i, sebagaimana disebutkan dalam kitab TARIKH AL-BAGHDADI juz : 9 halaman : 436…
Sekarang bagaimanakah aqidah imam syafi’i yang sebenarnya tentang Istiwa Allah Swt ?
Berikut ini perkataan-perkataan imam Syafi’i yang kami nukil dari kitab-kitab yang mu’tabar dan dari riwayat-riwayat yang tsiqoh :
1. Ketika imam Syafi’I ditanya tentang makna ISTAWA dalam al-Quran beliau menjawab :
“ ءامنت بلا تشبيه وصدقت بلا تمثيل واتهمت نفسي في الإدراك وأمسكت عن الخوض فيه كل الإمساك”
ذكره الإمام أحمد الرفاعي في ( البرهان المؤيد) (ص 24) والإمام تقي الدين الحصني في (دفع شبه من شبه وتمرد ) (ص 18) وغيرهما كثير.
“ Aku mengimani istiwa Allah tanpa memberi penyerupaan dan aku membenarkannya tanpa melakukan percontohan, dan aku mengkhawatirkan nafsuku di dalam memahaminya dan aku mencegah diriku dari memperdalam persoalan ini dengan sebenar-benarnya pencegahan “
Ini telah disebutkan oleh imam Ahmad Ar-Rifa’i di dalam kitab “ Al-Burhan Al-Muayyad “ (Bukti yang kuat) halaman ; 24.
Juga telah disebutkan oleh imam Taqiyyuddin Al-Hishni di dalam kitab Daf’u syibhi man syabbaha wa tamarroda halaman : 18. Di dalam kitab ini juga pada halaman ke 56 disebutkan bahwa imam Syafi’I berkata :
ءامنت بما جاء عن الله على مراد الله وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله
“ Aku beriman dengan apa yang datang dari Allah Swt sesuai maksud Allah Swt, dan beriman dengan apa yang datang dari Rasulullah Saw menurut maksud Rasulullah Saw “.
Syaikh Salamah Al-Azaami dan selainnya mengomentari ucapan imam syafi’I tsb :
ومعناه لا على ما قد تذهب إليه الأوهام والظنون من المعاني الحسية والجسمية التي لا تجوز في حق الله تعالى.
“ Maknanya adalah bukan seperti yang terlitas oleh pikiran dan persangkaan dari makna fisik dan jisim yang tidak boleh bagi haq Allah Swt “
Dan masih banyak lagi yang lainnya.
2. Ketika imam Syafi’i ditanya tentang sifat Allah Swt, beliau menjawab :
حرام على العقول أن تمثل الله تعالى وعلى الأوهام أن تحد وعلى الظنون أن تقطع وعلى النفوس أن تفكر وعلى الضمائر أن تعمق وعلى الخواطر أن تحيط إلا ما وصف به نفسه – أي الله على لسان نبيه صلى الله عليه وسلم –
ذكره الشيخ ابن جهبل في رسالته انظر طبقات الشافعية الكبرى ج 9/40 في نفي الجهة عن الله التي رد فيها على ابن تيمية.
“Haram bagi akal membuat perumpamaan, Haram bagi pemikiran membuat batasan, dan haram bagi prasangka untuk membuat statemen, dan Haram juga bagi Jiwa untuk memikirkan (Dzat, perbuatan dan sifat-sifat) Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan haram bagi hati untuk memperdalam, dan Haram bagi lintasan-lintasan hati untuk meliputi, kecuali apa yang telah Allah sifati sendiri atas lisan nabi-Nya Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa Sallam”
(Telah disebutkan oleh syaikh Ibnu Jahbal di dalam Risalahnya, lihatlah Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra juz : 9 halaman : 40 tentang menafikan arah dari Allah Swt sebagai bantahan atas Ibnu Taimiyyah)
3. Di dalam kitab Ittihaafus saadatil muttaqin juz : 2 halaman ; 24, imam Syafi’I berkata :
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكانَ لا يجوز عليه التغييرُ في ذاته ولا التبديل في صفاته”
“ Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tanpa tempat, lalu Allah menciptakan tempat dan Allah senantiasa dalam shifat ‘AzaliNya (tidak berubah) sebagaimana wujud-Nya sebelum menciptakan tempat. Mustahil bagi Allah perubahan di dalam Dzat-Nya dan juga perpindahan di dalam sifat-sifat-Nya”
4. Di dalam kitab Syarh Al-Fiqhu Al-Akbar halaman : 52, imam Syafi’I berkata yang merupakan keseluruhan pendapat beliau tentang Tauhid :
من انتهض لمعرفة مدبره فانتهى إلى موجود ينتهي إليه فكره فهو مشبه وإن اطمأن إلى العدم الصرف فهو معطل وإن اطمأن لموجود واعترف بالعجز عن إدراكه فهو موحد
“ Barangsiapa yang berantusias untuk mengetahui Allah Sang Maha Pengatur-Nya hingga pikirannya sampai pada hal yang wujud, maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dgn makhluq). Dan jika ia merasa tenang dengan suatu hal yang tiada, maka ia adalah mu’aththil (meniadakan sifat Allah Swt). Dan jika ia merasa tenang pada kwujudan Allah Swt dan mengakui ketidak mampuan untuk memahaminya, maka ia adalah MUWAHHID (orang yang mengesakan Allah Swt) “
Sungguh imam Syafi’I begitu jeli dan luas pemahamannya akan hal ini, beliau sungguh telah mengambil dari ayat-ayat Allah Swt dalam Al-Quran :
– {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة الشورى]
“ Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah “
– فَلاَ تَضْرِبُواْ لِلّهِ الأَمْثَالَ } [سورة النحل]
“ Janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpoamaan bagi Allah Swt “
– :{هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا } [سورة مريم]
“ Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia ? “
Semua ini membuktikan bahwa imam Syafi’I Ra mensucikan Allah Swt dan sifat-sifat-Nya dari apa yang terlintas dalam pikiran berupa makna-makna jisim / fisik seperti duduk, dibatasi dengan arah, tempat, gerakan dan diam serta yang semisalnya dan inilah aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah.
Para Wahabi/Salafi juga memanipulasi tulisan Imam asy-Syaukani:
Asy-Syaukani versi manipulasian Wahabi berkata,” Maka jika Allah telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mewafatkan Nabi-Nya, disebut apalagi pendapat orang setelah Allah menyempurnaknnya?!? Jika mereka berkeyakinan itu termasuk dalam perkara agama, berarti belumlah sempurna kecuali denagn disertakannya pendapat mereka dan itu adalah penolakan terhadap Al-Quran. Adapun jika mereka tidak berkeyakinan bahwa itu bukan termasuk agama, lalu untuk apa menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan agama???”
Ini merupakan pukulan telak serta dalil yang agung tak mungkin terelakkan, dari itu jadikanlah ayat yang mulia ini sebagai senjata pertama untuk melumpuhkan para ahli bid’ah.
Asy-Syaukani kembali berkata,” Hadist-hadist di awal pembahasan ini termasuk kaidah-kaidah dasar agama yang mencakup berbagai hukum secara tak terbatas, betapa sangat tepat dan lantangnya dalil, ini dalam mematahkan pendapat di antara ahli fiqih yang membagi bid’ah ke dalam berbagai kategori dan menjadikan indikasi ketertolakan bid’ah pada sebagiannya tanpa menyertakan dalil yang mengkhususkan baik ‘aqli maupun naqli.”(Nailul author 2/69).
Tanggapan dari ulama ahlusunnah :
memutar balikkan ucapan Imam Assyaukaniy dan mengguntingnya, ucapan beliau adalah :
وهذا الحديث من قواعد الدين لأنه يندرج تحته من الأحكام ما لا يأتي عليه الحصر وما مصرحه وأدله على إبطال ما فعله الفقهاء من تقسيم البدع إلى أقسام وتخصيص الردببعضها بلا مخصص من عقل ولا نقل
فعليك إذا سمعت من يقول هذه بدعة حسنة بالقيام في مقام المنع مسندا له بهذه الكلية وما يشابهها من نحو قوله صلى الله عليه وآله وسلم كل بدعة ضلالة طالبا لدليل تخصيص تلك البدعة التي وقع النزاع في شأنها بعد الاتفاق على أنها بدعة فإن جاءك به قبلته وإن كاع كنت قد ألقمته حجرا واسترحت من المجادلة
“hadits hadits ini merupakan kaidah kaidah dasar agama karena mencakup hukum hukum yg tak terbatas, betapa jelas dan terangnya dalil ini dalam menjatuhkan pendapat para fuqaha dalam pembagian Bid’ah kepada berbagai bagian dan mengkhususkan penolakan pada sebagiannya (Bid;ah yg baik) dengan tanpa mengkhususkan (menunjukkan) hujjah dari dalil akal ataupun dalil tulisan (Alqur’an/hadits),
maka bila kau dengar orang berkata : “ini adalah Bid’ah hasanah”, dg kau mengambil posisi mengingkarinya dg bertopang pada dalil bahwa keseluruhan Bid;ah adalah sesat dan yg semacamnya sebagaimana sabda Nabi saw : “semua Bid’ah adalah sesat” dan (kau) meminta dalil pengkhususan (secara logika atau dalil Alqur’an dan hadits) mengenai hal Bid’ah yg menjadi pertentangan dalam penentuannya (apakah itu bid;ah yg baik atau bid’ah yg sesat) setelah ada kesepakatan bahwa hal itu Bid;ah (hal baru), maka bila ia membawa dalil tentang Bid’ah hasanah yg dikenalkannya maka terimalah, bila ia tak bisa membawakan dalilnya (secara akal logika atau nash Alqur’an dan hadits) maka sungguh kau telah menaruh batu dimulutnya dan kau selesai dari perdebatan” (Naylul Awthaar Juz 2 hal 69-70).
Jelaslah bahwa ucapan Imam Asyaukaniy menerima Bid;ah hasanah yg disertai dalil Aqli (Aqliy = logika) atau Naqli (Naqli = dalil Alqur’an atau hadits), bila orang yg mengucapkan pada sesuatu itu Bid’ah hasanah namun ia tak bisa mengemukakan alasan secara logika, atau tak ada sandaran Naqli nya maka pernyataan tertolak, bila ia mampu mengemukakan dalil logikanya, atau dalil Naqli nya maka terimalah.
Inilah penyimpangan dan kelicikan atau kebodohan anda, anda menggunting kalimat Imam Syaukani dan membelokkan maknanya.
Demikianlah wahabiy, mereka menggunting ucapan2 para imam lalu menambalnya satu sama lain, licik bagaikan misionaris nasrani, entah karena kelicikannya atau karena kebodohannya, atau karena keduanya.
**
hery dah mulai keteteran nih, buktinya berulang kali nunjuk2 koment nya si yudi, kasihan si hery yah, padahal komenya si yudi benar2 gak bisa diandalkan karena dalil yg dia pakai dah dibantah sama Shinta. gimana nih. Lagian si hery gak fokus banget kesana kemari pembahasannya.
Jadi ingat diskusi tentang “tuduhan orang tua Nabi kafir”. Begitu berapi-api bawa dalil. Eh ketahuan yang dipakai “kitab palsu” eh langsung ngaciiiiir, padahal sudah sempat menuduh orang bodoh, gak bersandar ulama, munafik, dll tuduhan. Kita nantikan tanggapan “Syech Copy Paste”, mudah2an ga ngaciiiiiiir …..
Sebetulnya masih banyak tulisan para Imam-Imam klasik yg digunting kemudian ditambal dengan kalimat sendiri oleh ulama-ulama Wahabi ini… Lucunya para pengikut ulama-ulama ini enggan, malas, atau memang senang taklid buta dengan ulama-ulama Wahabi sampai-sampai tidak cek n ricek cari info ke sana-sini…
Di hari kiamat nanti mereka akan dihadapkan kpd para Imam-Imam besar tsb krn telah mencemari kitab-kitab mereka sehingga membuat umat di akhir jaman ini bingung.
Satu lagi kejahatan Wahabi ini, mereka selalu menuduh “Tasawuf” itu sama dengan al-Hallaj. Padahal al-Hallaj sendiri adalah oknum, yang akhirnya dibunuh oleh para Ulama Tasawuf yg lainnya krn dianggap mencemari akidah umat Islam pd waktu itu. Sebenarnya kalau mau belajar sejarah, kita pun akan menemukan bahwa para Ulama Tasawuf di jaman al-Hallaj pun tidak sepakat dengan al-Hallaj. Hanya saja karena kedengkian para Wahabi/Salafi ini terhadap Ulama Tasawuf, lantas gebyah uyah alias main pukul rata bahwa semua Ulama Tasawuf sama seperti al-Hallaj. Ini adalah kesalahan fatal yg harus mereka pertanggungjawabkan nanti di hari kiamat, jika mrk tidak bertobat dari menuduh hal yg demikian, krn ini akan menjadi fitnah.
1. Semua bid’ah adalah sesat adalah hadits Rosulullah SAW. Tentu yg dimaksud dalam hadits tersebut adalah bid’ah menurut syariat, bukanlah menurut bahasa(lughoh).
Kalaupun menurut anda itu bid’ah hasanah, namun menurut u’lama lainnya (itu adalah bid’ah secara bahasa ) dan bukanlah bid’ah sesuai syariat Islam.
Kalau anda pergi sekolah/menuntut ilmu, terus berwudu, apakah dibilang sesat…? Ya mungkin anda maksud itu adalah bid’ah hasanah, coba kaji ulang tentang keutamaan berwudlu.
2. Kalau ulama mentahqiq, melakukan penelitian, terus memperbaiki kekeliruan dari ulama lainnya, bukanlah dimaksudkan memanipulasi. Selama tahqiqnya benar. Hal ini dilakukan agar Ilmu lebih bermanfaat dg bersandar pada dalil yg lebih shahih.
3. Akidah Imam Syafi’I : “ Aku mengimani istiwa Allah tanpa memberi penyerupaan dan aku membenarkannya tanpa melakukan percontohan, dan aku mengkhawatirkan nafsuku di dalam memahaminya dan aku mencegah diriku dari memperdalam persoalan ini dengan sebenar-benarnya pencegahan “
>>>>>>>> Ya , begitulah ahlusunnah mengimani istiwa Allah…, dia tdk memberi penyerupaan, tanpa ada percontohan, dan mencegah memperdalam soal ini.
Bu sinta, pemahaman salaf adalah hanya mengimani Istiwa Allah, udah segitu saja, dan tidak menakwilkannya, menyelewengkan maknanya, bukankah hal ini sama dg pemahaman Imam Syafi’i…??
4. “ Aku beriman dengan apa yang datang dari Allah Swt sesuai maksud Allah Swt, dan beriman dengan apa yang datang dari Rasulullah Saw menurut maksud Rasulullah Saw “.
Syaikh Salamah Al-Azaami dan selainnya mengomentari ucapan imam syafi’I tsb :
“ Maknanya adalah bukan seperti yang terlitas oleh pikiran dan persangkaan dari makna fisik dan jisim yang tidak boleh bagi haq Allah Swt “.
>>>Benar bu sinta, pemahaman salaf memang begitu, ketika kita mengimani wajhullah dan yadullah atau Istiwanya Allah maknanya bukanlah seperti wajah manusia, tangan manusia. Pemahaman salaf hanya mengimani ayat2 sifat tersebut, dan tidak menyerupakan dg makhluk (Laisa kamitslihi syaiun). Kalau mengimani wajhullah, yadullah——- jangan dianggap bahwa itu tajsim, karena tajsim itu menganggap bahwa yadullah itu seperti tangan manusia (ini baru mujassimah). Dan pemahaman salaf bukan seperti tajsim dan dugaan anda…, coba cermati. Pemahaman salaf adalah hanya mengimani ayat sifat, dan kita tdk tahu makna yg sebenarnya. Allah SWT Maha mendengar, manusia pun mendengar, namun kita tdk tahu bagaimana caranya Allah mendengar itu…,kita hanya mengimani Allah Maha Mendengar Bukan…?? Dan mujasiimah itu adalah yg menyerupakan bahwa alat pendengaran Allah seperti telinga manusia. Ini baru tajsim. Coba cermati.
5. Ketika imam Syafi’i ditanya tentang sifat Allah Swt, beliau menjawab :
“Haram bagi akal membuat perumpamaan, Haram bagi pemikiran membuat batasan, dan haram bagi prasangka untuk membuat statemen, dan Haram juga bagi Jiwa untuk memikirkan (Dzat, perbuatan dan sifat-sifat) Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan haram bagi hati untuk memperdalam, dan Haram bagi lintasan-lintasan hati untuk meliputi, kecuali apa yang telah Allah sifati sendiri atas lisan nabi-Nya Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa Sallam”
(Telah disebutkan oleh syaikh Ibnu Jahbal di dalam Risalahnya, lihatlah Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra juz : 9 halaman : 40 tentang menafikan arah dari Allah Swt sebagai bantahan atas Ibnu Taimiyyah)
>>> Ya benar, sya sepakat. Sudah sya jelaskan diatas. Pemahaman salaf hanya mengimani sifat2 Allah. Dan bedakan dg tajsim. Justru yg menakwil (yadullah dg kekuasaaan seperti kaum as’ariyyah: yg beranggapan bahwa masa Allah punya tangan seperti manusia, ini kan akal yg bicara, padahal salaf hanya mengimani Sifat Yadullah, dan mengenai bentuk/takwilnya hanya Allah Yg Tahu, dan kami tdklah beranggapan yadullah seperti tangan manusia) - ini yg ga sejalan dg pernyataan Imam Syafi’i.
6. Di dalam kitab Ittihaafus saadatil muttaqin juz : 2 halaman ; 24, imam Syafi’I berkata :
“ Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tanpa tempat, lalu Allah menciptakan tempat dan Allah senantiasa dalam shifat ‘AzaliNya (tidak berubah) sebagaimana wujud-Nya sebelum menciptakan tempat. Mustahil bagi Allah perubahan di dalam Dzat-Nya dan juga perpindahan di dalam sifat-sifat-Nya”
>>>Arrohmanu a’lal arsyiy tawa’ bukan berarti Allah bertempat di arsy, duduk seperti manusia. Tapi Allah Istiwa diatas Arsy. Diatas itu maknanya menurut Dr. Shalih Al fauzan, adalah diatasnya Arsy (sesuai dg sifat Allah yg Al U’luw, yg Maha Tinggi)
7. Di dalam kitab Syarh Al-Fiqhu Al-Akbar halaman : 52, imam Syafi’I berkata yang merupakan keseluruhan pendapat beliau tentang Tauhid :
“ Barangsiapa yang berantusias untuk mengetahui Allah Sang Maha Pengatur-Nya hingga pikirannya sampai pada hal yang wujud, maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dgn makhluq). Dan jika ia merasa tenang dengan suatu hal yang tiada, maka ia adalah mu’aththil (meniadakan sifat Allah Swt). Dan jika ia merasa tenang pada kwujudan Allah Swt dan mengakui ketidak mampuan untuk memahaminya, maka ia adalah MUWAHHID (orang yang mengesakan Allah Swt) “
Sungguh imam Syafi’I begitu jeli dan luas pemahamannya akan hal ini, beliau sungguh telah mengambil dari ayat-ayat Allah Swt dalam Al-Quran :
– {لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة الشورى]
“ Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah “
– فَلاَ تَضْرِبُواْ لِلّهِ الأَمْثَالَ } [سورة النحل]
“ Janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpoamaan bagi Allah Swt “
– :{هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا } [سورة مريم]
“ Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia ? “
Semua ini membuktikan bahwa imam Syafi’I Ra mensucikan Allah Swt dan sifat-sifat-Nya dari apa yang terlintas dalam pikiran berupa makna-makna jisim / fisik seperti duduk, dibatasi dengan arah, tempat, gerakan dan diam serta yang semisalnya dan inilah aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah.
>>>>>>>>>> ulama salaf memang seperti itu, sudah sya jelaskan diatas. Dan sya sepakat dg Imam Syafi’i. Kalau anda sya ga tahu…jangan2 Asy-ariyyah….?? Yg berani menakwil2 agar sesuai dg akal fikiran….??.
Sya ingin tahu bu sinta menjelaskan tentang tauhid…??makna tauhid seperti apa? Makna laailaha illallah itu apa…?? Coba sampaikan menurut versi tasawuf…?? Hati2 juga anda terjerumus seperti al hallaj, dkk nya…,
18. Para Wahabi/Salafi juga memanipulasi tulisan Imam asy-Syaukani:
Asy-Syaukani versi manipulasian Wahabi berkata,” Maka jika Allah telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mewafatkan Nabi-Nya, disebut apalagi pendapat orang setelah Allah menyempurnaknnya?!? Jika mereka berkeyakinan itu termasuk dalam perkara agama, berarti belumlah sempurna kecuali denagn disertakannya pendapat mereka dan itu adalah penolakan terhadap Al-Quran. Adapun jika mereka tidak berkeyakinan bahwa itu bukan termasuk agama, lalu untuk apa menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan agama???”
Ini merupakan pukulan telak serta dalil yang agung tak mungkin terelakkan, dari itu jadikanlah ayat yang mulia ini sebagai senjata pertama untuk melumpuhkan para ahli bid’ah.
Asy-Syaukani kembali berkata,” Hadist-hadist di awal pembahasan ini termasuk kaidah-kaidah dasar agama yang mencakup berbagai hukum secara tak terbatas, betapa sangat tepat dan lantangnya dalil, ini dalam mematahkan pendapat di antara ahli fiqih yang membagi bid’ah ke dalam berbagai kategori dan menjadikan indikasi ketertolakan bid’ah pada sebagiannya tanpa menyertakan dalil yang mengkhususkan baik ‘aqli maupun naqli.”(Nailul author 2/69).
Tanggapan dari ulama ahlusunnah :
memutar balikkan ucapan Imam Assyaukaniy dan mengguntingnya, ucapan beliau adalah :
وهذا الحديث من قواعد الدين لأنه يندرج تحته من الأحكام ما لا يأتي عليه الحصر وما مصرحه وأدله على إبطال ما فعله الفقهاء من تقسيم البدع إلى أقسام وتخصيص الردببعضها بلا مخصص من عقل ولا نقل
فعليك إذا سمعت من يقول هذه بدعة حسنة بالقيام في مقام المنع مسندا له بهذه الكلية وما يشابهها من نحو قوله صلى الله عليه وآله وسلم كل بدعة ضلالة طالبا لدليل تخصيص تلك البدعة التي وقع النزاع في شأنها بعد الاتفاق على أنها بدعة فإن جاءك به قبلته وإن كاع كنت قد ألقمته حجرا واسترحت من المجادلة
“hadits hadits ini merupakan kaidah kaidah dasar agama karena mencakup hukum hukum yg tak terbatas, betapa jelas dan terangnya dalil ini dalam menjatuhkan pendapat para fuqaha dalam pembagian Bid’ah kepada berbagai bagian dan mengkhususkan penolakan pada sebagiannya (Bid;ah yg baik) dengan tanpa mengkhususkan (menunjukkan) hujjah dari dalil akal ataupun dalil tulisan (Alqur’an/hadits),
maka bila kau dengar orang berkata : “ini adalah Bid’ah hasanah”, dg kau mengambil posisi mengingkarinya dg bertopang pada dalil bahwa keseluruhan Bid;ah adalah sesat dan yg semacamnya sebagaimana sabda Nabi saw : “semua Bid’ah adalah sesat” dan (kau) meminta dalil pengkhususan (secara logika atau dalil Alqur’an dan hadits) mengenai hal Bid’ah yg menjadi pertentangan dalam penentuannya (apakah itu bid;ah yg baik atau bid’ah yg sesat) setelah ada kesepakatan bahwa hal itu Bid;ah (hal baru), maka bila ia membawa dalil tentang Bid’ah hasanah yg dikenalkannya maka terimalah, bila ia tak bisa membawakan dalilnya (secara akal logika atau nash Alqur’an dan hadits) maka sungguh kau telah menaruh batu dimulutnya dan kau selesai dari perdebatan” (Naylul Awthaar Juz 2 hal 69-70).
Jelaslah bahwa ucapan Imam Asyaukaniy menerima Bid;ah hasanah yg disertai dalil Aqli (Aqliy = logika) atau Naqli (Naqli = dalil Alqur’an atau hadits), bila orang yg mengucapkan pada sesuatu itu Bid’ah hasanah namun ia tak bisa mengemukakan alasan secara logika, atau tak ada sandaran Naqli nya maka pernyataan tertolak, bila ia mampu mengemukakan dalil logikanya, atau dalil Naqli nya maka terimalah.
Inilah penyimpangan dan kelicikan atau kebodohan anda, anda menggunting kalimat Imam Syaukani dan membelokkan maknanya.
Demikianlah wahabiy, mereka menggunting ucapan2 para imam lalu menambalnya satu sama lain, licik bagaikan misionaris nasrani, entah karena kelicikannya atau karena kebodohannya, atau karena keduanya.
>>>>Masya Allah wallohu a’lam apakah anda yg memfitnah salafy. Stahu saya, ulama salafy itu hanya mentahqiq ulang kitab2 para u’lama, kita ketahui bahwa manusia ini tdk ada yg ma’sum. Imam Syafi’I maupun Imam Asy-syaukani, dll…tidak mungkin tdk pernah mengalami kekeliruan, pasti mengalaminya. Oleh karena itu ulama2 ahli hadits, yg telah menguasai Ilmu hadits meneliti kitab2 para ulama seperti imam asy-syaukani, atau imam nawawi , dll. Hal ini bukan dimaksudkan untuk memanipulasi, namun mengeluarkan jikalau ada hal2 yg bersandar pada dalil yg lemah /palsu. Kita ketahui bahwa, Imam Bukhary, dan Imam2 ahli hadits itu terlahir setelah Imam Syafi’I ada. Kalau anda menganggap ada manipulasi, silahkan bikin karya ilmiah sebagai bantahannya dan sampaikan kepada ustad salafy atau kalau perlu ke arab saudi sekalian yg anda anggap manipulasi. Jangan hanya tuduhan kacangan seperti ini. Insya Allah para u’lama akan menjawabnya dg ilmiah juga.
Mas Hery berkata:
Oleh karena itu ulama2 ahli hadits, yg telah menguasai Ilmu hadits meneliti kitab2 para ulama seperti imam asy-syaukani, atau imam nawawi , dll. Hal ini bukan dimaksudkan untuk memanipulasi, namun mengeluarkan jikalau ada hal2 yg bersandar pada dalil yg lemah /palsu. Kita ketahui bahwa, Imam Bukhary, dan Imam2 ahli hadits itu terlahir setelah Imam Syafi’I ada. Kalau anda menganggap ada manipulasi, silahkan bikin karya ilmiah sebagai bantahannya dan sampaikan kepada ustad salafy atau kalau perlu ke arab saudi sekalian yg anda anggap manipulasi. Jangan hanya tuduhan kacangan seperti ini. Insya Allah para u’lama akan menjawabnya dg ilmiah juga.
Tanggapan saya:
Sangat aneh…manipulasi yg dibolehkan oleh ulama Wahabi dengan mengeluarkan pendapat Imam Nawawi, Imam Syafi’I, Imam Asy-Syaukani, dan Imam2 Besar lainnya adalah cara-cara yg tidak amanah.
Jika tidak setuju dg pendapat para Imam Besar itu, cukup diberi komentar di footnote/catatan kaki, jangan main potong sehingga orang2 yg awam tidak mengerti ucapan asli para Imam itu.
Coba anda baca ulang perkataan Imam Asy-Syaukani yg asli dg yg versi Wahabi…lihat dg mata kepala anda terhadap ketidakamanahan ini (jikalau anda masih punya hati nurani).
Seandainya kejahatan manipulasi terhadap tulisan Imam Asy-Syaukani tidak dibeberkan, tentunya orang awam yg membaca akan mengira bahwa memang seperti itulah pemikiran Imam Asy-Syaukani alias sama persis seperti yg ada di buku2 Salafy/Wahabi.
Tapi ternyata tidak kan???
Ternyata jauh api dari panggang…
Jika seperti ini terus dan terus kejadiannya, percayalah…akan terlaksana nubuat Nabi Saw bahwa umat Islam akan memerangi Arab. Selain karena Dinasti Saud itu bid’ah dholalah krn merebut kekuasaan dr kekhalifahan Ustmani yg sah, juga krn dlm Islam tidak ada pemerintahan berdasarkan dinasti…plus campur tangan ulama2 Wahabi dalam mengacak-acak karya para ulama Klasik….
Permasalahan yg lain, jika pun hal ini ditanggapi oleh ulama Salafi/Wahabi, jawabannya pasti tidak mengena…krn terlanjur taklid buta pd syekh2 Wahabi/Salafi Arab Saudi, jadi dengan berbagai alasan akan membolehkan penghapusan tulisan dari karya2 ilmiah para Ulama Klasik
Perlu anda catat, bahwa ahli hadist itu banyak…bukan cuma yg berfirqoh Salafi/Wahabi. Jadi yg berhak untuk mengkaji tulisan para Ulama Klasik secara asli itu adalah kami setiap umat Islam yg ingin mempelajarinya.
Jadi kalian jangan memaksakan dalil dari kitab yg sudah dipotong kepada kami…kalau mau fair berdalil-lah dengan kitab yg masih asli…
Jadi lebih tepatnya, pemahaman Salafi/Wahabi tidak tepat seperti pemahaman para Imam2 Besar itu, namun pemahaman para Imam2 Besar itu diperkosa agar selaras dengan pemahaman Ulama Wahabi/Salafi. Kalau memang amanah, harusnya tetap meletakkan tulisan-tulisan mereka sebagai mana adanya…jangan main rubah gitu saja, ini sangat tidak fair.
zainal arifin
hery dah mulai keteteran nih, buktinya berulang kali nunjuk2 koment nya si yudi, kasihan si hery yah, padahal komenya si yudi benar2 gak bisa diandalkan karena dalil yg dia pakai dah dibantah sama Shinta. gimana nih. Lagian si hery gak fokus banget kesana kemari pembahasannya.
>>>>>> Insya Allah , sya ga ngerasa keteteran, menang atau kalah dalam diskusi agama, mudah2an ini ladang kita mencari ilmu…dan pembelajaran buat kita smua…
Bima AsSyafi’i
Jadi ingat diskusi tentang “tuduhan orang tua Nabi kafir”. Begitu berapi-api bawa dalil. Eh ketahuan yang dipakai “kitab palsu” eh langsung ngaciiiiir, padahal sudah sempat menuduh orang bodoh, gak bersandar ulama, munafik, dll tuduhan. Kita nantikan tanggapan “Syech Copy Paste”, mudah2an ga ngaciiiiiiir …..
>>>> ngaciir…..?? emang maling mas…??? mari kita belajar agama…, sya ga fanatik golongan koq…., sya bisa menerima fatwa dari mana saja asal bersandar pada dalil yg sahih…, jangan agung2kan golongan anda…karena fanatik golongan/madzhab itu terkadang membuat kita enggan menerima kebenaran dari luar. Berfikirlah terbuka…
Bismillah… saya sedkit saja mau mengomentari perkataan Shinta mengenai Manipulasi kitab2 yang katanya digunting kemudian ditambal dengan kalimat sendiri oleh ulama-ulama Wahabi.. bisa dibuktikan dengan hasil Scan kitab tersebut berikut dengan penerbitnya yang komplit antara dua kitab tersebut yang menurut Shinta sudah di manipulasi oleh Ulama Wahabi???? biar kita sama2 bisa mengecek kitab tersebut bukan hanya menuduh saja..
1. “ Aku beriman dengan apa yang datang dari Allah Swt sesuai maksud Allah Swt, dan beriman dengan apa yang datang dari Rasulullah Saw menurut maksud Rasulullah Saw “.
Syaikh Salamah Al-Azaami dan selainnya mengomentari ucapan imam syafi’I tsb :
“ Maknanya adalah bukan seperti yang terlitas oleh pikiran dan persangkaan dari makna fisik dan jisim yang tidak boleh bagi haq Allah Swt “.
>>>>>>Benar bu sinta, pemahaman salaf memang begitu seperti yang telah di jelaskan mas Hery…Nich saya akan nukilkan perkataan Tasybih menurut pemahaman Ahlus-Sunnah tidaklah seperti yang anda sangka:
وقَالَ إِسْحَاق بْنُ إِبْرَاهِيمَ: إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ: يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ، فَإِذَا قَالَ: سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ، وَأَمَّا إِذَا قَالَ: كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ” يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ ” وَلَا يَقُولُ كَيْفَ، وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ، فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا، وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُDan Ishaaq bin Rahawaih berkata : “Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ‘Tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)”. Jika ia berkata : ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)’, maka inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak mengatakan : ’bagaimana’ dan tidak pula mengatakan ’seperti’ pendengaran makhluk; maka itu tidak termasuk tasybih. Dan itu sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11)” [Sunan At-Tirmidziy, 2/43, tahqiq : Basyaar ‘Awwaad Ma’ruuf; Daarul-Gharb Al-Islaamiy, Cet. 1/1996 M].
2.”Di dalam kitab Ittihaafus saadatil muttaqin juz : 2 halaman ; 24, imam Syafi’I berkata :
“ Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tanpa tempat, lalu Allah menciptakan tempat dan Allah senantiasa dalam shifat ‘AzaliNya (tidak berubah) sebagaimana wujud-Nya sebelum menciptakan tempat. Mustahil bagi Allah perubahan di dalam Dzat-Nya dan juga perpindahan di dalam sifat-sifat-Nya”
>>>>>>penetapan bahwa Allah dengan Dzat-Nya mempunyai sifat ketinggian di atas Arasy dan semua makhluk-Nya itu tidaklah mengkonsekuensikan tasybiih hanya karena ada sebagian kesamaan bahwa sifat tinggi juga dimiliki oleh makhluk-Nya. Hanya saja, ketinggian Allah adalah ketinggian yang sempurna yang tidak ada sesuatu pun yang menyamainya. Dan itu sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11)”
Ingat Mas…ulama Salafi/Wahabi sangat anti dgn takwil, bahkan ada yg berani bilang kalau orang yg menakwil itu sesat. Padahal sahabat Nabi Saw yaitu Ibnu Abbas Ra menakwil ayat2 mustasyabihat, tidak hanya ayat kursi yg beliau takwil, namun juga ayat2 yg lainnya…
Kalian tidak bisa membedakan antara menakwil dg mencari-cari takwil.
Main menyamaratakan begitu saja…
Mas Yudi…permasalahannya adalah, ulama kalian memaksakan harus mengimani bahwa Allah memiliki sifat-sifat tubuh secara hakiki…ingat mas, secara hakiki lho. Lalu sifat-sifat tubuh secara hakiki ini dibungkus dengan kalimat Laisa Kamistlihi Syai’un. Jadi menurut ulama kalian, Allah punya wajah secara hakiki namun wajahnya berbeda dari makhluk-makhluk-Nya. Allah punya tangan secara hakiki, dan kedua-dua tangannya berada di kanan, namun tangannya
Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya. Allah memiliki telinga secara hakiki, namun telinga Allah berbeda dari makhluk-makhluknya..dst..
Jika ini dibandingkan dengan pemahaman para ulama besar sekaliber Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Hambali, dsb…tentu sangat jauh. Sayangnya, agar pemahaman ini dapat diterima oleh mayoritas umat Islam yg mengikuti 4 madzhab, dicatutlah nama2 para Imam besar itu dengan mentahqiq tulisan Imam Besar itu (dengan cara dihapus yg tidak sesuai pemahaman ulama Wahabi/Salafi), kemudian nama para ulama besar itu dibawa-bawa untuk melariskan dagangan akidah Wahabi seolah-olah para Imam Besar itu berakidah yg sama.
Harusnya kalau anda memang benar-benar pencari kebenaran, anda baca kitab Imam Klasik yg asli…supaya anda memiliki perbandingan, supaya jelas maksud dr para Imam2 itu. Jangan cuma baca nukilan-nukilannya saja…
hery dan yudi , apa yang disampaikan mbak shinta adalah benar bahwa Dusta , tipu muslihat , dan pemalsuan kitab2 Ulama Ahlu Sunnah banyak dilakukan oleh kaum wahabi adalah fakta yang tidak dapat dibantah , untuk membuktikannya silahkan klik : Abu salafy atau Salafy tobat . disana lengkap berikut scan kitabnya.
mengenai Shifat Allah swt , kaum wahabi biasa menjadikan perkataan Ulama Ahlu sunnah sebagai Tameng dan pembungkus dari aqidah mereka yang sesungguhnya (aqidah mereka wahabi sesungguhnya adalah Tasybih dan Tajsim ).
buat hery dan yudi juga wahabis lainnya , jika ingin diskusi mari kita tentukan materinya satu-satu agar diskusi menghasilkan faidah dan manfaat , dan saya minta ustadz zon sebagai Admin bertindak sebagai moderator , dengan cara seperti ini Insya Allah akan banyak faidahnya.
usulan buat Mas zon untuk menghapus copy paste kaum wahabi , agar mas zon tidak terbawa ” ikut menyebarkan ” faham bathil mereka. mohon maaf jika ada kata yang tidak berkenan.
Saya sudah buktikan koq ustadz…kitab fiqih Imam Syafi’I cetakan Arab Saudi sudah dipotong beberapa juzz. Awalnya sih penasaran gara2 baca Salafi Tobat…tapi kalau gak buktikan dg mata kepala sendiri gak afdol (pikir saya waktu itu). Akhirnya pergilah ke toko buku yg jual kitab2 klasik, ternyata memang benar ada perbedaan.
Tapi gak tau juga kalau orang2 Wahabi ini, apakah mereka tergerak hatinya untuk menyelidiki dengan keluar masuk toko buku mencari kitab yg asli. Atau cuma percaya gitu aja dengan doktrin ulama Wahabi/Salafi Arab Saudi…
Lain kali kalau ustadz Ahmad Syahid debat sama Wahabi/Salafi, jangan percaya dulu kalau mereka bawa-bawa dalil dari kitab para ulama Klasik….langsung cek n ricek ustadz. Udah capek2 nanggepin, eh ternyata dalilnya dari kitab palsu…
Sekedar saran ya ustadz…:-)
MUANTAB ……….AYO BONGKAR TERUS BROOOOO…..
pindah disini him.
waalaikum salam wr.wb , al-hamdulillah sehat him , mnurut kaum wahabi potongan hadist yang nt bawakan diatas :
Dan semua perkara yang baru adalah bid’ah , dan seluruh bid’ah adalah kesesatan dan seluruh kesesatan di neraka” (HR An-Nasaai no 1578)
dan yang sejenisnya , adalah Umum Muthlaq yang terkena Takhsish enggak him………?
Ya sudah mas…..diskusi diatas kayanya udah terlalu panjang, saya ga mau menambah diskusi mjd lbh panjang lg….
To the point aja, anggaplah amalan bid’ah hasanah dlm agama itu memang benar ada, lantas siapa ya mas ORANG yg berhak MENCIPTAKAN amalan-amalan bid’ah hasanah dlm agama itu?
terima kasih…..
Mau diskusi yang sebenarnya bukan di media maya umum seperti ini, ada tempat/ majlis yang lebih beradab dan islami. Silaturahim dong langsung ke radio Roja sana dengan niat ikhlas ingin saling menasehati bishshobri wa bilhaq. Debat tidak diperbolehkan, sekedar saling menyampaikan lalu semua bertafakur, hasilnya ya terserah masing2 mau menggunakan jalan mana, toh kebenaran Mutlak Hanya Milik Alloh, dan bisa jadi itu bukan hanya satu.
Kalau melihat mudahnya beragama, kita gak usah macam menciptakan amalan2 yang tidak prinsip deh, yang wajib dan prinsip saja kita kedodoran.
Bayar hutang belum, bayar zakat apalagi, eh malahan ramai bersodaqoh, dimana logika otak dan imannya ?
Sholat wajib belum beres, Hukum Islam belum diupayakan, eh banyak melakukan amalan2 fadhilah, kemana sampainya ?
Sama juga belum punya pekerjaan tetapi mengharap bonus/ THR.
Ah sudah, silakan saja deh jalan masing2 nanti juga hidayah Alloh akan mendarat di hati yang siap dan mau untuk menerimanaya.
Wallohu a’lam bishshawaab,
Ini diskusi kelas apa, kalau diskusi haruslah setara; ilmunya, pengalamannya, dll. Karena nanti kalau tidak setara ilmunya, hasilnya akan mengarah kepada kalah menang, dan naudzubillah… bisa2 justru menyesatkan ummat yang masih sedang belajar tahap awal/ dasar.
Makanya media ini bukan lah untuk diskusi hal-hal seperti ini, media maya seperti ini harusnya sekedar untuk saling memberi info, bertanya. Kalau mau debat ya bertemu/ bersilaturahmi langsung.
Kalau saya sih, terima saja semua, pikirkan/ gali, renungi, siapkan diri untuk menerima hidayah Alloh, praktekan deh… InsyaAlloh diredhoi.
Saya yakin suatu hari nanti ummat Islam akan berjaya memimpin dunia kembali. Prosesnya nanti ada satu kelompok yang benar/ haq (kita tidak tahu yang mana) berjaya dan akhirnya yang lain ikut karena merasa/ tahu bahwa selama ini dirinya/ kelompoknya kurang benar (bukan salah).
Jadi, dari kelompok mana itu yang menjadi pemimpin kejayaan Islam ?
Wallhua’lam bishshawab, jangan pernah mengklaim kelompok kita paling benar. Kita serius saja menegakkan Islam, terutama yang prinsip, bukan yang amalan2 kreatif. InsyaAlloh kita akan menjadi bagian dalam proses kembalinya kejayaan Islam. Amiin YRA
Lalu siapakah yang berhak menentukan Bid`ah hasanah dan bukan Bid`ah Hasanah , jawabnya setiap Ummat islam yang memiliki kapasitas keilmuan Agama yang mumpuni ( sekelas mujtahid madzhab).
Yang saya tanyakan adalah SIAPA orang YANG memiliki WEWENANG MENCIPTAKAN (MEMBUAT) amalan bid’ah hasanah kalo memang amalan bid’ah hasanah itu benar ada dalam Islam, jadi BUKAN siapa orang yg MENENTUKAN/MENETAPKAN…..tolong JANGAN DIPLESETKAN….Karena mjd sangat berbeda mas konteks pertanyaan saya
terima kasih….
jawabannya tetap sama , tinggal ganti aja him , kata menentukan dengan menciptakan , kata menetapkan ganti saja dengan membuat.
MAAF nimbrung mas …….kok jadi pencipta bid’ah hasanah ya …..ini kan kontek dalam beramal di agama islam kalau amalan itu sesuai Al Qur’an n Hadits ya nggak terlarang ……namun kalau melanggar ya terlarang ya ……bertaqwa itulah tujuan ber agama ……apa itu bertaqwa ???? menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya …..Nya disini Alloh ta ‘ala …..Tuhan seluruh alam yang Rahmatan lil alamin bukan menjalankan perintah ustadz wahabi dan menjauhi ustadz wahaboi……maaf ya kalau tersinggung ya boleh ……
Secara makna bahasa tentu berbeda donk mas antara ‘membuat’ dg ‘menetapkan’, kalo ‘membuat’ itu kan menciptakan yg awalnya TIDAK ADA mjd ADA, kalo ‘menetapkan’ itu kan memang dr awal sudah ada, lalu ditetapkan hukumnya….. beda jauhhh mas….
Itu dalil dr mana ya mas kalo setiap umat islam yg memiliki kapasitas berhak membuat amalan baru dlm agama?
kalo gtu pd akhirnya Islam akan mjd agama buah ‘campur tangan’ manusia karena akan banyak amalan-amalan ‘tambahan’ yg diciptakan oleh manusia… Naudzubillah….
Terima Kasih,
Wassalam…..
untuk Bid`ah Hasanah tidak ada bedanya mau disebut membuat atau minciptakan , makanya disebut ” HASANAH ”
dalilnya : dari semua Hadist yang menunjukkan adanya Bid`ah hsasanah dan dalil2 tentang Ijtihad.
selama ” campur tangan ” manusia dalam lingkup yang dibenarkan dalam ranah Ijtihad , tidak masalah , yang terpenting Hal Baru tersebut selaras dengan Qur`an dan Sunnah……..selama hal baru itu sesuai dengan qur`an dan Sunnah itulah Bid`ah Hasanah.
“dalilnya : dari semua Hadist yang menunjukkan adanya Bid`ah hsasanah dan dalil2 tentang Ijtihad.”
————————————————-
mohon maaf mas sebelumnya, bisa tolong disharing mas dalil yg mana yg menyebutkan kalo setiap umat islam yg memiliki kapasitas berhak membuat amalan baru dlm agama…..
“selama ” campur tangan ” manusia dalam lingkup yang dibenarkan dalam ranah Ijtihad , tidak masalah , yang terpenting Hal Baru tersebut selaras dengan Qur`an dan Sunnah…….”
——————————————————-
Ataghfirllah aladzim….perkataan mas ahmadsyahid ini akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak mas, itu syariat dr mana mas? ……
sampe hari kiamat Islam itu GA BUTUH ‘CAMPUR TANGAN’ TAMBAHAN manusia mas….
coba
yusuf I :
mohon maaf mas sebelumnya, bisa tolong disharing mas dalil yg mana yg menyebutkan kalo setiap umat islam yg memiliki kapasitas berhak membuat amalan baru dlm agama…..
jawab : pertanyaan yang aneh , bukankah kaum wahabi pada ber-Ijtihad sendiri…….? Mana dalilnya jika kaum wahabi boleh Ijtihad sendiri2…………? Lalu Kenapa Muslim lainnya dipertanyakan …….ketika ber-Ijtihad ……..? Apakah Ijtihad itu halal bagi wahabi Haram bagi yang lainnya………..? apa dalilnya……..?
yusuf I :
Ataghfirllah aladzim….perkataan mas ahmadsyahid ini akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak mas, itu syariat dr mana mas? ……
Jawab : astaghfirullah hal `adzim , him semua akan mempertanggungjawabkan baik saya maupun nt akan dimintai pertanggung jawaban , melarang tanpa dalil adalah Bid`ah dolalah.
Yusuf I :
sampe hari kiamat Islam itu GA BUTUH ‘CAMPUR TANGAN’ TAMBAHAN manusia mas….
Jawab : hanya orang yang hidup dalam dunia dongeng yang berkata seperti perkataan yusuf Ibrahim , seolah dia langsung mengenal dan mengamalkan Islam dari Wahyu , seolah dia tahu halal dan haram bukan dari Manusia (ulama) , bangun him jangan ngehayal terus.
“pertanyaan yang aneh , bukankah kaum wahabi pada ber-Ijtihad sendiri?……….”
——————————————–
jawaban yg aneh, saya nanyain dalilnya ttg setiap ujmat muslim berhak membuat amalan baru dlm agama koq, jawabannya malah kemana-mana yah….
saya minta dalil yah mas, bukan meminta mas ahmadsyahid ber-ijtihad sendiri tanpa kapasitas utk yg KESEKIAN KALINYA…..
“…..melarang tanpa dalil adalah Bid`ah dolalah.”
——————————————————————–
Lah….kan setiap umat Islam dilarang utk melakukan kesesatan mas, sedangkan setiap bid’ah dalam agama itu sesat….. dan ga ada kesesatan yg hasanah (baik)….
“…… seolah dia langsung mengenal dan mengamalkan Islam dari Wahyu , seolah dia tahu halal dan haram bukan dari Manusia (ulama)…”
————————————-
Hehe…. dibaca lagi mas, mengenal yg HALAL dan HARAM bukan berarti MENAMBAH-NAMBAH syariat seperti adzan sebelum makan dst…tolong dipahami konteksnya mas…..
yusuf : jawaban yg aneh, saya nanyain dalilnya ttg setiap ujmat muslim berhak membuat amalan baru dlm agama koq, jawabannya malah kemana-mana yah….
saya minta dalil yah mas, bukan meminta mas ahmadsyahid ber-ijtihad sendiri tanpa kapasitas utk yg KESEKIAN KALINYA…..
jawab : saya kan dah jawab dalilnya adalah Dalil tentang bolehnya ber-Ijtihad , dan saya tidak pernah ber-Ijtihad sendiri maupun berkelompok saya hanya mengikuti pendapat para Ulama tentang adanya Bid`ah Hasanah , lalu nt nanya siapa yang berhak mencipta atau membuat Bid`ah Hasanah , jwaban saya : semua Ummat Islam yang memiliki pengetahuan agama yang mumpuni ( Mujtahid Madzhab).
Apa masih belum jelas…….? Atau nt belum tahu dalil bolehnya Ijtihad bagi yang sudah mencukupi syaratnya………?
Yusuf I :
Lah….kan setiap umat Islam dilarang utk melakukan kesesatan mas,
Jawab : yang nyuruh bikin kesesatan itu siapa him…….?
Yusf Ibrahim : sedangkan setiap bid’ah dalam agama itu sesat…..
jawab : berarti nt sudah diluar konteks , nt sudah muter berbalik arah him……. bukankah diatas nt diawal sudah mau menerima adanya Bid`ah Hasanah ………? Dan nt diatas tidak mau mendiskusikan Hadist yang nt bawain diatas……( umum Mthlaq terkena Takhsish tidak Him )..….? nt ga mau bahaskan………Kok sekarang balik lagi……….?
Yusuf Ibrahim : dan ga ada kesesatan yg hasanah (baik)…. Yang bilang ada kesesatan Hasanah itu siapa him……?
Yusuf Ibrahim : Hehe…. dibaca lagi mas, mengenal yg HALAL dan HARAM bukan berarti MENAMBAH-NAMBAH syariat seperti adzan sebelum makan dst…tolong dipahami konteksnya mas…..
Jawab : he he he Rupanya nt bingung , nt tahu him kenapa nt terlihat bingung……..? karena nt menyamakan Bid`ah Hasanah dengan Bid`ah Madzmumah , nt mencampur adukkan keduanya , tolong difahami him konteks yang sedang kita diskusikan adalah Bid`ah Hasanah, jangan dicampur adukkan……..
DALAM STATUS/ARTIKEL DIATAS KAN MASALAH TAHLILAN ……..KALAU ALLOH TA ‘ALA AJA NGGAK MELARANG KENAPA KAUM WAHABOI NGOTOT HAL TSB ADALAH LARANGAN ???????? LARANGAN SIAPA ???????
Sebelum makan adzan dulu juga ga ada larangannya mas…… mas mamo mau ngelakuin itu juga ga?
sebelum ‘buang air’ baca yasin dulu juga ga ada larangannya mas….
kalo saudaraku Yusuf Ibrahim mau melakukannya boleh
Memangnya boleh yah mas? dasarnya mas ahmadsyahid membolehkan apa ya mas? karena saya dididik berilmu dulu baru beramal…..
Membolehkan sebagaimana dahulu mas ahmadsyahid jg pernah membolehkan MAKAN TANAH KUBURAN gus dur utk OBAT SAKIT PERUT?
bukan cuma nt him semua juga didik berilmu dalu baru ber amal , ketika dalam Al-qur`an dan As-sunnah tidak ada larangan kenapa kita melarang……..? atas dasar apa……….?
katanya HANYA Ummat islam yang memiliki kapasitas keilmuan Agama sekelas mujtahid madzhab yg boleh ber-ijtihad, tp koq mas ahmadsyahid ini sering sekali ber-ijtihad sendiri yah? sudah sekelas mujtahid madzhab-kah mas ahmadsyahid ini?.
kalo ga ada perintahnya, apa iya kita mau ‘sok pintar’ dan ‘sok alim’ melebihi para sahabat yg jelas-jelas tidak pernah melakukannya….???? apakah para sahabat ‘lalai’?
Kalau saja perbuatan itu baik, tentu para Sahabat telah lebih dahulu melakukannya……
Saya akhiri sajalah.. kalo diteruskan toh ‘ijtihad’ mas ahmadsyahid yg waallahu ‘alam punya kapasitas atau tdk ini sudah semakin ‘ngelantur’……
Iya sih, saya ga kaget koq kalo mas ahmadsyahid ini ber-‘ijtihad’ BOLEH membaca yasin sebelum ‘buang air’ atau adzan dulu sebelum makan.
Toh…..jangankan ‘cuma’ adzan sblm makan atau baca yasin sblm ‘buang air’, MAKAN TANAH KUBURAN gus dur utk OBAT SAKIT PERUT saja anda BOLEHKAN…. 😀
Masihkah kita berpegang pd kaidah ‘SELAMA TIDAK ADA LARANGANNYA, APAPUN BOLEH DILAKUKAN, termasuk MAKAN TANAH KUBURAN” ?
Naudzubillah….
him , kita hanya dapat mengikuti Al-qur`an dan As-sunnah , apa yang dilarang keduanya kita larang apa yang diperintah keduanya kita laksanakan , ada perkara yang tidak dilarang tidak pula diperintah , ini yang disebut al-`afu atau at-tark , hukumnya mengikuti hukum Taklif yang lima ,
perhatikan Hadist ini : Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar).
adapun soal Tabarruk dengan Tanah Kuburan as-sholihin banyak riwayat yang membolekannya , kenapa nt melarangnya…….? tidak sadarkah nt jika pelarangan tanpa dali adalah Bid`ah Madzmumah ……..? nt ingin lari menjauh dari kebid`ahan ternyata justru Masuk dalam Bid`ah itu sendiri.
Astaghfirullaahal `adzim.
silahkan Buka Qur`an surat an-nahl ayat 116 :
mas Yusuf Ibrahim apa nt berani bilang Imam Syafi’i pasti masuk neraka ????????
Bid’ah Hasanah yang dilakukan oleh Imam syafi’i ra.
وقال الذهبي في سير أعلام النبلاء : قال الربيع بن سليمان من طريقين عنه، بل أكثر كان الشافعي يختم القرآن في شهر رمضان ستين ختمة، ورواها ابن أبي حاتم عنه فزاد كل ذلك في صلاة، ومثله في تهذيب الكمال للمزي.
berkata ad-dahabi dalam kitab sairu a’lami an-nubala: berkata ar-rabi’ bin sulaiman dari dua jalan periwayatan darinya bahkan lebih banyak,bahwa Imam syafi’i mengkhatamkan al-qur’an di bulan ramadhan 60 kali khattam dan meriwayatkan juga Ibnu abi hatim darinya dengan tambahan ”dan pengkhatamman al-qur’an dilakukan seluruhnya dalam sholat”. begitu juga yang disebutkan dalam kitab tahdibul kamal
وقال الحميدي كان الشافعي يختم في كل شهر ستين ختمة
المجموع شرح المهذب
الإمام محيى الدين النووي
الجزء الأول
dan Berkata al-humaidiy: dulu Imam syafi’i menghatamkan di setiap bulan 60 kali khattam
disebutkan dalam kitab majmu’ syarah al-Muhaddab milik Imam muhyid diin AN-Nawawi di juz pertama………..ilmu nt dibanding beliau bagaimana mas YI ?????
ana harap para pengikut ulama MBAW agar belajar lagilah tentang Islam ………sebelum diskusi ….malu2 in ….jadi wahabi mbok yang cerdas dikit ya ….
-mamo-
Ya ampun mas mamo, yg bilang baca Al-Quran itu bid’ah dan masuk neraka itu siapa mas? yg bilang baca Al-Quran di bulan ramadhan bid’ah itu siapa mas?
mau khatam 60 kali keq, 100 kali keq, yaa itu bagus toh mas….semakin sering khatam justru semakin bagus….
Adapun membaca Al-Quran di bulan Ramadhan itu SUNNAH mas, BUKAN bid’ah…..semakin ‘ngawur’ aja kalo baca Al-Quran dibilang bid’ah walaupun hasanah…..
sekedar saran mas, mending mas mamo diam saja, drpd sekalinya komentar ‘model’-nya ky begitu….
terima kasih
mas mamo kalo ga bertobat, maka perkataan mas mamo bahwa membaca Al-Quran adalah bid’ah walaupun hasanah ini akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak karena membaca Al-Quran itu hukumnya SUNNAH, BUKAN bid’ah…..karena kedudukan SUNNAH itu jauh lebih tinggi dan utama….
adakah perintah dari Rosul mas Yusuf mana haditsnya ?????? menghatamkan Al Qur’an sampai 60 kali ????
koq nggak konsisten yo ????? katanya kalau nggak di contohin Rosul bid’ah yang sesat ???katanya amalan nggak ada perintah bid’ah …?????>>>>>>>>>”Amalan-amalan yg memang sudah jelas-jelas ada PERINTAH, CONTOH dan DIAJARKAN langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam saja BELUM sepenuhnya kita laksanakan, ini malah sudah muncul ‘amalan’ baru lagi ‘ala ahmadsyahid’. “>>>>> tuh ana copasin komentar antum……berani nt bilang mas Imam Syafi’i masuk neraka mas YI ????
Tetap aja itu BUKAN bid’ah donk mas, mengkhatamkan Al-Qur’an itu sama seperti infaq dan shadaqah mas, mau infaq Rp 100 perak keq, Rp 1,000 keq, Rp 100,000 keq, sejuta keq itu terserah mas….. begitu jg mengkhatamkan Al-Qur’an, mau khatam sebulan 60 x keq, 100 kali keq, itu terserah mas…..semakin sering khatam, semakin bagus dan BESAR pahalanya….
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Qatadah (wafat: 118 H) rahimahullah berkata, “Mutharrif bin Abdullah (Tabi’in, wafat 95H) jika membaca ayat tsb beliau berkata: “Ini adalah ayat orang-orang yang suka membaca Al Quran” (Lihat kitab Tafsir Al Quran Al Azhim).
Asy Syaukani (w: 1281H) rahimahullah berkata,
“Maksudnya adalah terus menerus membacanya dan menjadi kebiasaannya”(Lihat kitab Tafsir Fath Al Qadir).
“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi
Tapi baca Al-Qur’an ya mas, bukan baca surat Yasin doank, karena surat dlm Al-Qur’an bukan cuma Yasiin aja 😀
Masa’ baca surat Al-Baqarah aja belum, udh langsung ‘lompat’ ke surat Yasiin sih…..hehehe,
kalo ‘pola pikir’-nya seperti mas mamo ini, bisa-bisa shalat yg kita lakukan di masjid komplek rumah akan mas mamo bilang ‘bidah’ juga lagi walaupun hasanah karena Rasulullah Shalllallahu ‘alaihi wasalam dan para Sahabat TIDAK PERNAH shalat di masjid komplek rumah kita…. 😀
Nah sekarang mas mamo sendiri ini sebulan udh khatam brp kali mas? 😀
Daripada MENCIPTAKAN atau MENGERJAKAN ‘amalan’ baru, mending mengkhatamkan Al-Qur’an kan mas?
mas Yusuf ana kan nanya adakah perintah dari Rosul mas Yusuf mana haditsnya ?????? menghatamkan Al Qur’an sampai 60 kali ????
kan group nt selalu kalau nggak ada tuntunannya bid’ah sesat lagi ????? dah jawab dulu tuh pertanyaan mas Syahid ………mas YI
1. Sangat aneh…manipulasi yg dibolehkan oleh ulama Wahabi dengan mengeluarkan pendapat Imam Nawawi, Imam Syafi’I, Imam Asy-Syaukani, dan Imam2 Besar lainnya adalah cara-cara yg tidak amanah.
Jika tidak setuju dg pendapat para Imam Besar itu, cukup diberi komentar di footnote/catatan kaki, jangan main potong sehingga orang2 yg awam tidak mengerti ucapan asli para Imam itu.
Coba anda baca ulang perkataan Imam Asy-Syaukani yg asli dg yg versi Wahabi…lihat dg mata kepala anda terhadap ketidakamanahan ini (jikalau anda masih punya hati nurani).
Jawab :
>>>> Insya Allah dugaan anda itu tidaklah benar. Ulama2 arab saudi dg berbagai universitasnya disana…sangat menjungjung tinggi nilai2 akademis/ilmiah. Kalau anda tdk sepakat dg hasil tahqiq…sya kira silahkan di kasih jawaban ilmiah dan rinci sampaikan ke ustad salafy seperti Ustadz. Luqman Ba’abduh atau langsung ke arab saudi sekalian.
Justru sya, masih bertanya2 terhadap aqidah tasawuf, karena Imam Madzhab malah belum pernah satu pun yg mengikrarkan sbg ahli tasawuf/ahli tarekat tertentu. Imam Syafi’i malah anti dg ahli kalam /filsafat. Smentara Al Ghazali adalah ahli filsafat…, lebih2 akidah al hallaj…, makna laailaha illalloh dalam tasawuf menurut hemat sya ada beberapa kekeliruan, mungkin mba sinta bisa menjelaskan makna yg sebenarnya menurut tasawuf…(mohon dijawab bu sinta…)
Anda jangan emosi dulu…,tenang saja…,ketidakamanahan itu versi anda yg belum tentu terbukti secara ilmiah, tuduhan ataupun ada pihak lain yg anti salaf bisa saja ada dibelakang itu semua. Kalau memang itu benar adanya…? Sya kira anda bisa konsultasikan dg ustad salaf terdekat…insya Allah mereka akan terbuka untuk klarifikasi dari anda…
2. Seandainya kejahatan manipulasi terhadap tulisan Imam Asy-Syaukani tidak dibeberkan, tentunya orang awam yg membaca akan mengira bahwa memang seperti itulah pemikiran Imam Asy-Syaukani alias sama persis seperti yg ada di buku2 Salafy/Wahabi.
Tapi ternyata tidak kan???
Ternyata jauh api dari panggang…
Jika seperti ini terus dan terus kejadiannya, percayalah…akan terlaksana nubuat Nabi Saw bahwa umat Islam akan memerangi Arab. Selain karena Dinasti Saud itu bid’ah dholalah krn merebut kekuasaan dr kekhalifahan Ustmani yg sah, juga krn dlm Islam tidak ada pemerintahan berdasarkan dinasti…plus campur tangan ulama2 Wahabi dalam mengacak-acak karya para ulama Klasik….,
Jawab:
>>> menurut saya anda baru mendapat informasi sepihak dari yg anti arab saudi/salafy, Silahkan baca karya ustad luqman ba’abduh tentang “mereka adalah teroris”, sebuah bantahan ilmiah terhadap karya imam samudra.
Seandaninya anda diawali dg ketidak bencian terhadap salafy, diawali dg ketenangan, Insya Allah apa yg anda fahami ttg salafy itu akan berubah…, jadi janganlah mendahulukan ego firqoh anda…, kebenaran itu kadang bukan hanya dalam diri kita(golongan kita), tapi kadang yg dulu kita anggap sebagai musuh, namun setelah dikaji dg tenang…malah menjadi teman. Terus terang sya dulu anti muhammadiyyah,…, karena mereka ga mau barjanzian, tahlilan ,d lll tapi setelah berjalannya waktu..dikaji sedikit demi sedikit…nanti kita akan faham kenapa mereka seperti itu, padahal dari segi keilmuan, banyak professor ataupun doktor ahli2 hadits juga dimereka. Dan sejauh pemahamn sya, mereka ga anti salafy, muhammadiyyah melakukannya dg pendekatan lainnya.
3. Ingat Mas…ulama Salafi/Wahabi sangat anti dgn takwil, bahkan ada yg berani bilang kalau orang yg menakwil itu sesat. Padahal sahabat Nabi Saw yaitu Ibnu Abbas Ra menakwil ayat2 mustasyabihat, tidak hanya ayat kursi yg beliau takwil, namun juga ayat2 yg lainnya…
Kalian tidak bisa membedakan antara menakwil dg mencari-cari takwil.
Main menyamaratakan begitu saja…
Jawab:
>>>> Ibnu Abbas R.A memang didoakan oleh Rosulullah SAW. Takwil yg dilarang adalah untuk ayat2 sifat(kecuali ada dalil dari Rosulullah SAW dan Para sahabatnya seperti Ibnu Abbas R.A)
4. permasalahannya adalah, ulama kalian memaksakan harus mengimani bahwa Allah memiliki sifat-sifat tubuh secara hakiki…ingat mas, secara hakiki lho. Lalu sifat-sifat tubuh secara hakiki ini dibungkus dengan kalimat Laisa Kamistlihi Syai’un. Jadi menurut ulama kalian, Allah punya wajah secara hakiki namun wajahnya berbeda dari makhluk-makhluk-Nya. Allah punya tangan secara hakiki, dan kedua-dua tangannya berada di kanan, namun tangannya
Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya. Allah memiliki telinga secara hakiki, namun telinga Allah berbeda dari makhluk-makhluknya..dst.
Jawab :
>>> Sekali lagi salaf hanya mengimani Yadullah, Wajhullah karena ada dalam Al Qur’an. Adapun bentuk, takwil, dll itu hanya Allah SWT yg tahu, penjelasan Ibnu Ishaq tentang tasybih..sya kira membuktikan bahwa, penyerupaan(tasybih) itu kalau tangan Allah seperti tangan manusia…ini mba sinta yg disebut tasybih itu.
Anda tahu Allah Maha mendengar bukan…?? Manusia mendengar tidak…?? Apakah ini disebut tasbih karena mengatakan Allah serupa dg manusia karena punya sifat mendengar…??? Coba cermati….insya Allah…salafy pun bukan dalam rangka mengajarkan yg sesat, lagian buat apa kita mencari pemahaman sesat/ngajarkan yg sesat, kita juga ingin selamat dunia wal akhirat…
>>sya mau Tanya sama anda apakah ada takwil yadullah dan Wajhullah menurut anda…??
Fasubhaanalladzii biyadihi malakuutu kulli syaiin wailaihi turjau’un.
فَسُبْحَانَ الَّذِي بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.(QS. Yassin: 83)
Coba kalau Yad bermakna kekuasaan/keuatan, maka jadi rancu maknanya.
5. Jika ini dibandingkan dengan pemahaman para ulama besar sekaliber Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Hambali, dsb…tentu sangat jauh. Sayangnya, agar pemahaman ini dapat diterima oleh mayoritas umat Islam yg mengikuti 4 madzhab, dicatutlah nama2 para Imam besar itu dengan mentahqiq tulisan Imam Besar itu (dengan cara dihapus yg tidak sesuai pemahaman ulama Wahabi/Salafi), kemudian nama para ulama besar itu dibawa-bawa untuk melariskan dagangan akidah Wahabi seolah-olah para Imam Besar itu berakidah yg sama.
Jawab:
Ini hanyalah prasangka anda akibat kebencian anda terhadap salafy/arab saudi. Kalau anda lihat negara di dunia ini yg paling makmur adalah mereka itu, padahal mekkah dan madinah ada dibawah fatwa u’lama saudi Arabia. SUngguh ironi sekali seandainya Allah SWT membiarkan salafy yg dituduh sbg wahaby yg sesat menurut tasawuf (padahal wahhab itu adalah Yang Maha Pemberi/itu nama Allah SWT) berada ditanah yg suci). Menurut sya, Allah SWT menolong agama-Nya dg u’lama2 dari kalangan mereka.
Anda kaji ulang tentang tasawuf, bagaimana komentar Imam Syafi’i terhadap ahli kalam itu…
6. Harusnya kalau anda memang benar-benar pencari kebenaran, anda baca kitab Imam Klasik yg asli…supaya anda memiliki perbandingan, supaya jelas maksud dr para Imam2 itu. Jangan cuma baca nukilan-nukilannya saja…
>>> Insya Allah kita berusaha membacanya mba…jangan khawatir…
7. Ahmad syahid:
hery dan yudi , apa yang disampaikan mbak shinta adalah benar bahwa Dusta , tipu muslihat , dan pemalsuan kitab2 Ulama Ahlu Sunnah banyak dilakukan oleh kaum wahabi adalah fakta yang tidak dapat dibantah , untuk membuktikannya silahkan klik : Abu salafy atau Salafy tobat . disana lengkap berikut scan kitabnya.
>>> Kalau hanya begini, informasinya bersifat sepihak…., menurut sya kalau memang anda anti salafy. Lebih baik ajak dialog ustad salafy sprti ustad Luqman Ba’abduh, Ummar As-Sawwed, biar antum bisa terpuaskan…, karena memang kami ini hanyalah manusia lemah yg miskin I’lmu mungkin ga seperti anda yg ahli bahasa arab…, tapi kelemahan itu bukanlah sebagai alasan untuk menjadi malas belajar agama..justru harus dipupuk dg terus mencari ilmu sampai liang lahat, dan mencari ilmu itu tidaklah terbatas pada madzhab/manhaz tertentu….
8. mengenai Shifat Allah swt , kaum wahabi biasa menjadikan perkataan Ulama Ahlu sunnah sebagai Tameng dan pembungkus dari aqidah mereka yang sesungguhnya (aqidah mereka wahabi sesungguhnya adalah Tasybih dan Tajsim).
Jaawab:
>>> sya kira sudah dijelaskan ulama ahlusunnah itu pemahamannya seperti apa terhadap ayat2 sifat. Sya kira sama dg salafy…,
9. usulan buat Mas zon untuk menghapus copy paste kaum wahabi , agar mas zon tidak terbawa ” ikut menyebarkan ” faham bathil mereka. mohon maaf jika ada kata yang tidak berkenan.
>>> Buat apa sya mencari ilmu yg sesat/faham yg bathil…, sya juga ingin selamat dunia akhirat. Ok lah karena anda ada di tasawwuf/NU…jadi persepsi anda…yg bathil terhadap salafy. Tapi…muhammadiyyah, persis, MMI, wahdah Islamiyyah,…dll…sya kira ga sepakat dg anda…,
Buat Mas Zon…, mohon maaf jika ada kata2 yg kurang berkenan, jika antum mau mendelete komentar2 kami…silahkan saja itu kwenangan anda…, Demi Allah sya ga ngajak kedalam kesesatan…, sya mengajak agar kita menilai suatu faham itu jangan didahului oleh kebencian (bukankah sesama umat islam itu bersaudara), crosscek ke sumbernya langsung jika ada hal2 yg perlu dikonfirmasi(baik kpd ustad salafy/arab saudi langsung).
Wass.Wr.Wb.
Subhanalloh…
Ayo lanjut deh terus diskusinya sampai berbusa.
Yang lapang dada hatinya dan ikhlas dalam menyampaikannya nanti insyaAlloh akan siap menerima hidayah, yang penuh kedengkian nanti juga hatinya busuk suk… kembali kepada kegelapan… Naudzubillah…
Lanjut terus tahlilnya… 3 hari … 7 hari … 100…1000… sampai tiada hari tanpa tahlilan, kan enak dapat berkat terus… ustad pada dapat amplop terus…
Asyiiik… saya mau jadi ustad khusus pimpin tahlil ah, lumayan 100-200 ribu sekali pimpin.
Yang mau dukung sistim kerajaan ayo aja …
Yang mau dukung demokrasi liberal, yang banyak yang menang, gak penting bodoh atau pinter, yang penting banyak.
Tetapi sayangnya ummat Islam banyak di negeri ini tetapi gak menang, aneh kan ???
Ya gak aneh lah, wong mau nya ribut sendiri terus, bukan pikirkan, fahami dan tegakkan yang prinsip.
Kalo acara tahlilan/yasinan itu GA ADA MAKANANNYA atau BESEKNYA, cuma AIR PUTIH saja, kira-kira banyak yg datang ga yah? trs ustadz yg memipin acara tahlilan tsb cuma ‘dibayar’ dg ucapan ‘terima kasih’, kira-kira ada yg mau ga yah?
her ambil 1 materi diskusi silahkan nt ajak saya atau yg lainnya untuk mendiskusikannya sampai tuntas , ingat 1 materi saja , jangan kayk yang udah2 akhirnya ga fokus.
berapa kali saya minta bahas 1 , 1 , namun heri gak pernah menyambutnya , dia lebih suka bicara kesana kemari , ngalor ngidul , biar bisa belok lalu muter lagi , belok lagi muter lagi , makanya kalo memang hery serius ingin mencari kebenaran yuk diskusinya kita fokuskan satu , satu saja . setelah tuntas baru pindah , gimana her siap gak……?
Mas Hery said:
Insya Allah dugaan anda itu tidaklah benar. Ulama2 arab saudi dg berbagai universitasnya disana…sangat menjungjung tinggi nilai2 akademis/ilmiah. Kalau anda tdk sepakat dg hasil tahqiq…sya kira silahkan di kasih jawaban ilmiah dan rinci sampaikan ke ustad salafy seperti Ustadz. Luqman Ba’abduh atau langsung ke arab saudi sekalian.
Justru sya, masih bertanya2 terhadap aqidah tasawuf, karena Imam Madzhab malah belum pernah satu pun yg mengikrarkan sbg ahli tasawuf/ahli tarekat tertentu. Imam Syafi’i malah anti dg ahli kalam /filsafat. Smentara Al Ghazali adalah ahli filsafat…, lebih2 akidah al hallaj…, makna laailaha illalloh dalam tasawuf menurut hemat sya ada beberapa kekeliruan, mungkin mba sinta bisa menjelaskan makna yg sebenarnya menurut tasawuf…(mohon dijawab bu sinta…)
Anda jangan emosi dulu…,tenang saja…,ketidakamanahan itu versi anda yg belum tentu terbukti secara ilmiah, tuduhan ataupun ada pihak lain yg anti salaf bisa saja ada dibelakang itu semua. Kalau memang itu benar adanya…? Sya kira anda bisa konsultasikan dg ustad salaf terdekat…insya Allah mereka akan terbuka untuk klarifikasi dari anda…
Jawaban Saya:
Waduh Mas….kalau memang gak benar, kenapa justru orang2 Salafi/Wahabi ketika berdebat yg digunakan adalah hujjah2 yg berasal dr kitab palsu. Setelah dicek ke kitab yg asli ternyata bunyinya beda, gak seperti yg ditulis sm org2 Salafi/Wahabi. Lha dari sini aja udah ketahuan koq….
Lha memang siapa yg nyebarkan ke sana-sini tulisan Imam Asy-Syaukani yg palsu??? Lha wong yg nyebarin jg orang2 Salafi/Wahabi buat menohok muslimin yg gak sepahaman dengan kalian.
Lihat saja didiskusi-diskusi yg lain, justru kalianlah yg nyebarin tulisan2 palsu itu untuk berhujjah.
Contoh, saya baca di mutiarazuhud yg temanya membahas apakah orangtua Nabi Muhammad Saw kafir atau tidak, orang dr Salafi/Wahabi berhujjah dg perkataannya Imam Abu Hanifah, dll. Eh ternyata ketahuan kalau yg dijadikan hujjah itu dr kitab palsu…malah di kitab yg aslinya Imam Abu Hanifah meyakini kl orangtua Nabi Saw bukan org kafir. Nggak cuma itu ya, saya sudah lihat berkali-kali orang2 Wahabi/Salafi ketika masuk ke web ulama ahlusunnah berhujjah dg kitab2 palsu…tapi akhirnya kabur krn ketahuan kebohongannya.
Untuk masalah tasawuf, anda harusnya obyektif dong.
Tasawuf itu tidak sama dengan al-Hallaj, dan jangan diidentikkan dengan al-Halllaj. Anda belajar sejarah al-Hallaj dong supaya lebih ngerti. Al-Hallaj sendiri pun dibunuh oleh ulama2 tasawuf pada jaman itu, karena dianggap menyimpang.
Terus terang saya miris baca tulisan ulama2 anda yg selalu memojokkan tasawuf dengan bawa2 nama al-Hallaj, seolah2 semua ulama Tasawuf/sufi sama dengan al-Hallaj…seolah2 mereka berakidah yg sama dengan al-Hallaj. Itu sama dengan fitnah Mas…
Ulama2 anda sepertinya nggak ngerti sejarah al-Hallaj dihukum mati, padahal yg mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi al-Hallaj adalah para ulama Sufi. Dari sejarah saja sudah ketahuan, bahwa para ulama Tasawuf/Sufi saja mayoritas tidak setuju bahkan merasa gerah dengan akidahnya al-Hallaj…sampai2 mereka bersepakat untuk menghukum mati al-Hallaj saking khawatirnya akidah al-Hallaj akan diikuti umat Islam pd jaman itu.
Tapi terserah anda Mas, kalau masih mau su’udzhon semua ulama Sufi sama dengan al-Hallaj…silahkan anda pertanggungjawabkan di akhirat nanti.
. Tasawuf itu adalah akhlak Mas. Anda makan pakai tangan kanan, itu adalah tasawuf. Anda makan dan minum sambil duduk, itu juga tasawuf. Anda mau ke kamar mandi berdoa dahulu, itu juga tasawuf. Tasawuf itu adalah ilmu untuk berakhlak. Yg ngajarin ilmu akhlak ini adalah Rasulullah Saw…diturunkan pd cucu2nya, termasuk Imam Ali Zainal Abidin Ra beliau sangat indah sekali akhlaknya. Ilmu akhlak ini kemudian dipelajari, dan baru kemudian diberi nama dengan Tasawuf.
Jadi Tasawuf itu bukan akidah Mas…
Kalau pun ada ulama Sufi/Tasawuf yg menyimpang akidahnya, menyimpang dalam praktek hidup kesehariannya, itu sih yg salah manusianya…bukan ilmu akhlaknya yg salah.
Saya pernah membaca, seorang Ulama Wahabi Arab Saudi yg menyatakan sesat pd para Ulama Tasawuf seperti Ibnu Arabi, Syekh Abdul Qadir Jilani, Imam Al-Ghazali…yg saya perhatikan si syekh ini tidak mengerti kalimat majazi rupanya. Jadi kalimat majazi yg diucapkan oleh para ulama Sufi itu ditelan oleh syekh Wahabi bulat2 sehingga menjadi rancu.
Dan setelah saya tabayun cari info ke sana-sini, akhirnya saya mendapatkan scan kitab Ibnu Arabi yg asli…yg ditulis dengan tangan beliau…yg mana di kitab aslinya tsb Ibnu Arabi justru mengkafirkan orang yg akidahnya wahdatul wujud, atau yg biasa dikenal dg ana al-Haq.
Ini berbeda sekali ya dengan gembar-gembor ulama Wahabi yg mengatakan akidahnya Ibnu Arabi adalah akidah sesat, bahkan si ulama ini berani mengatakan iblis terhadap Ibnu Arabi.
Ternyata kitab Ibnu Arabi yg beredar di masyarakat abad ini adalah kitab yg sudah dipalsukan, dan akidah Ibnu Arabi di dalam kitab palsu itu diganti dengan akidah ana al-haq tersebut.
Namun sayangnya ulama Wahabi enggan tabayun cari2 informasi dulu apakah benar di kitab yg aslinya Ibnu Arabi seperti yg mrk tuduhkan itu…
Dan ternyata nasib yg sama pun terjadi pd kitab Abdul Qadir Jilani, yg ternyata telah dipalsukan.
Coba anda tabayun dulu, di internet ada koq scan kitab Ibnu Arabi yg asli…dan ada bantahan dr sebuah tarekat yg masih menyimpan kitab syekh Abdul Qadir Jilani yg asli…sangat berbeda dg yg sudah beredar di masyarakat abad ini.
Kasihan ulama2 sufi tersebut, mrk sudah terkena fitnah dari orang2 jahil…
Kalau untuk makna Laa ilaa ha ilallaah…jangan langsung menisbahkan pd tasawuf dong. Tergantung anda baca uraian ulama yg mana, krn setiap ulama punya pengertian sendiri terhadap lafaz tsb. Mungkin ada ulama yg lurus dlm pemaknaannya, mungkin juga ada yg menyimpang. Mungkin maksudnya majazi…sehingga maknanya harus ditakwilkan…
Imam Syafi’I tadinya memang meragukan ulama sufi, namun setelah beliau bertemu dg seorang ulama sufi yg lurus dan mengetahui apa itu tasawuf akhirnya Imam Syafi’I pun menganjurkan untuk mempelajari tasawuf. Ya sebaiknya belajar sejarah Imam Syafi’i-nya jangan sepotong2, supaya mengerti kalau pd akhirnya iMam Syafi’I menyetujui tasawuf.
Nggak semua ahli kalam itu jelek Mas…’Krn banyak pula ahli kalam yg lurus, yaitu yg sesuai dg al-Qur’an dan sunnah. Jadi jangan main sama rata begitu saja…
Mas Hery said:
Anda tahu Allah Maha mendengar bukan…?? Manusia mendengar tidak…?? Apakah ini disebut tasbih karena mengatakan Allah serupa dg manusia karena punya sifat mendengar…??? Coba cermati….insya Allah…salafy pun bukan dalam rangka mengajarkan yg sesat, lagian buat apa kita mencari pemahaman sesat/ngajarkan yg sesat, kita juga ingin selamat dunia wal akhirat…
Jawaban saya:
Allah Maha Mendengar, itu adalah sifat Allah…namun jangan lantas Allah disifati dengan sifat jasmani/tubuh, misalnya Allah punya telinga, namun telinga-Nya berbeda dari makhluk2-Nya.
Ini adalah penyifatan secara jasmani/bentuk tubuh.
Perbedaan antara mendengar dan telinga itu jelas ada, mendengar itu tidak berbentuk, sdgkan telinga itu berbentuk.
>sya matTanya sama anda apakah ada takwil yadullah dan Wajhullah menurut anda…??
Fasubhaanalladzii biyadihi malakuutu kulli syaiin wailaihi turjau’un.
فَسُبْحَانَ الَّذِي بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.(QS. Yassin: 83)
Coba kalau Yad bermakna kekuasaan/keuatan, maka jadi rancu maknanya.
Jawaban saya:
Anda bisa baca takwil Ibnu Abbas Ra terhadap ayat2 sifat tsb…
Saya pernah baca Ibnu Abbas Ra menakwil kata “tangan”, “wajah”, dsb…
Oh ya Mas…saya mau tanya, kenapa gitu Salafi/Wahabi benci bgt sama ulama yg melakukan bid’ah hasanah? Misal para habib2 di Indonesia mayoritas melakukan bid’ah hasanah, dibilang sbg kuburiyyin, ahlul ahwa, dsb.
Padahal banyak dr mrk yg wafat namun jenazahnya masih utuh meski sudah puluhan tahun dikubur. Contoh spt habib (saya lupa namanya) yg di Palembang, beliau suka Maulidan, suka Barjanjian, mempelajari tasawuf sehingga akhlaknya luar biasa baik, ketika jenazahnya hendak dipindahkan ternyata masih utuh.
Dan, kenapa ustadz Firanda benci dg habib Munzir? Padahal Habib Munzir nggak pernah lho nyuruh minta2 sama kuburan.
Kalau pun tawasul, habib Munzir tawasulnya juga hanya seperti ini “Ya Allah, demi hak Nabi mu yg engkau cintai…Muhammad Saw, maka kabulkanlah hajat kami ya Allah.” Apakah tawasul seperti itu syirik menurut Wahabi/Salafi? Bagian mananya ya yg syirik? Kalau memang habib Munzir sesat, kenapa justru banyak anggota Majelis Rasulullah Saw yg akhirnya bisa bertemu dgn Nabi Saw? Dan kenapa justru Nabi Saw pun sering mengunjungi habib Munzir?
Memang mas Heri sering ketemu sama Nabi Muhammad Saw ya…koq sepertinya keukeuh banget sama faham Slafi/Wahabi…
Maaf, selama mengikuti diskusi ini, kok teman-teman wahabi/salafy muter muter terus………………
Saudara @hery…
Mohon pencerahannya..
Apabila seorang mujtahid berijtihad menghasilkan apa ?
Maaf nih Mas Husaini, saya ikutan nambahin…
Buat mas Hery, mas Yudi, mas Ibrahim, dkk, tolong juga tanggapi copasan saya ini ya? Soalnya kalian keukeuh banget bilang kalau arti kata “kullu” itu “semua”.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah swt.berfirman : “Angin taufan itu telah menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah swt.berfirman : “Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
Begitupun juga dalam surat An-Najm ayat 39 Allah swt.berfirman: “Bahwasanya setiap manusia itu tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘selain apa yang telah diusahakannya’ pada ayat ini bersifat umum, namun keumumannya itu tidak terpakai karena banyak sekali hadits-hadits shohih yang menunjukkan bahwa seorang muslim yang telah meninggal masih dapat memperoleh kebaikan dan manfaat dari muslim yang lain seperti sholat jenazah, do’a, sedekah dan lain-lain.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah swt. berfirman : “Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah swt. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Aali ‘Imran : 173 Allah swt. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang….” Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang memerangi Rasulallah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..”. Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa as dan bundanya yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”. Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah swt. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan soal-soal keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan seterusnya “. Firman Allah ini bersifat umum, sebab Allah swt. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman Allah; mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi (QS.Al-A’raf : 179).
Firman Allah swt dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”.
Ayat ini menunjukkan tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja membocorkan perahu orang-orang miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu. Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah (semua/setiap perahu).
Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلاَ يُؤْمِنُونَ
“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air.
Dalam ayat al-Qur’an Ar-Rahman:15 berikut ini:
وَخَلَقَ الْْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS.
Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air.
Hadits riwayat Imam Ahmad :
عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)
Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada wanita ajnabiyah (yang bukan muhrim).
Begitu juga Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah berkata: ”Mengenai hadits ‘Bid’ah Dhalalah’ ini bermakna ‘Aammun makhsush’, [sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya], seperti firman Allah: ‘… yang menghancurkan segala sesuatu’ [QS Al-Ahqaf 25] dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (atau ayat: ‘Sungguh telah kupastikan ketentuan-Ku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruh annya’ QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim–.pen) atau hadits: ‘Aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini ’ [dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw.] (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang walaupun didalamnya terdapat keumuman namun ternyata keumumannya itu tidak terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulallah saw. bersabda: “Orang yang menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. Hadits ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya !
Ibnu Hajar mengatakan; ‘ Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoalan harus dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulallah saw. yang menyatakan bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr rh. dalam At-Tamhid mengatakan: Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulallah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih banyak contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun Hadits. Banyak sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang lain dikhususkan maksud dan maknanya, demikian pula banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; ‘Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat ! Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadatan saja. Allah swt. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk.
Banyak kenyataan membuktikan, bahwa Rasulallah saw. membenarkan dan meirdhoi macam-macam perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Silahkan baca kembali hadits-hadits yang telah kami kemukakan diatas. Bagaimanakah cara kita memahami semua persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang lebih jelas uraiannya (yang menganjurkan manusia selalu berbuat kebaikan) ?
BISANYA MEREKA HANYA ITU SIH ………..
NIIIIH KEGIATAN PARA WAHABI http://www.facebook.com/photo.php?fbid=349531358458883&set=a.264134376998582.63428.100002060667988&type=1
1. Waduh Mas….kalau memang gak benar, kenapa justru orang2 Salafi/Wahabi ketika berdebat yg digunakan adalah hujjah2 yg berasal dr kitab palsu. Setelah dicek ke kitab yg asli ternyata bunyinya beda, gak seperti yg ditulis sm org2 Salafi/Wahabi. Lha dari sini aja udah ketahuan koq….
Lha memang siapa yg nyebarkan ke sana-sini tulisan Imam Asy-Syaukani yg palsu??? Lha wong yg nyebarin jg orang2 Salafi/Wahabi buat menohok muslimin yg gak sepahaman dengan kalian.
Lihat saja didiskusi-diskusi yg lain, justru kalianlah yg nyebarin tulisan2 palsu itu untuk berhujjah.
Contoh, saya baca di mutiarazuhud yg temanya membahas apakah orangtua Nabi Muhammad Saw kafir atau tidak, orang dr Salafi/Wahabi berhujjah dg perkataannya Imam Abu Hanifah, dll. Eh ternyata ketahuan kalau yg dijadikan hujjah itu dr kitab palsu…malah di kitab yg aslinya Imam Abu Hanifah meyakini kl orangtua Nabi Saw bukan org kafir. Nggak cuma itu ya, saya sudah lihat berkali-kali orang2 Wahabi/Salafi ketika masuk ke web ulama ahlusunnah berhujjah dg kitab2 palsu…tapi akhirnya kabur krn ketahuan kebohongannya.
>>>> Ok mba sinta, kalau menurut anda seperti itu, ya silahkan saja (itu menjadi referensi anda untuk terus anti/ benci salafy, dan itu menjadi pertanggungjawaban anda kelak)…, namun Insya Allah maknanya bukanlah pemalsuan, sya kira itu tahqiq u’lama yg meluruskan hal2 yg dianggap keliru atau ada hal2 yg bersandar pada dalil yg lemah. Kita ketahui tidak ada yg ma’sum setelah Rosulullah SAW.
2. Untuk masalah tasawuf, anda harusnya obyektif dong.
Tasawuf itu tidak sama dengan al-Hallaj, dan jangan diidentikkan dengan al-Halllaj. Anda belajar sejarah al-Hallaj dong supaya lebih ngerti. Al-Hallaj sendiri pun dibunuh oleh ulama2 tasawuf pada jaman itu, karena dianggap menyimpang.
Terus terang saya miris baca tulisan ulama2 anda yg selalu memojokkan tasawuf dengan bawa2 nama al-Hallaj, seolah2 semua ulama Tasawuf/sufi sama dengan al-Hallaj…seolah2 mereka berakidah yg sama dengan al-Hallaj. Itu sama dengan fitnah Mas…
Ulama2 anda sepertinya nggak ngerti sejarah al-Hallaj dihukum mati, padahal yg mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi al-Hallaj adalah para ulama Sufi. Dari sejarah saja sudah ketahuan, bahwa para ulama Tasawuf/Sufi saja mayoritas tidak setuju bahkan merasa gerah dengan akidahnya al-Hallaj…sampai2 mereka bersepakat untuk menghukum mati al-Hallaj saking khawatirnya akidah al-Hallaj akan diikuti umat Islam pd jaman itu.
Tapi terserah anda Mas, kalau masih mau su’udzhon semua ulama Sufi sama dengan al-Hallaj…silahkan anda pertanggungjawabkan di akhirat nanti.
>>> Iya sya faham…, yg dijadikan penilaian dalam Islam adalah Al Qur’an dan As-Sunnah, jadi meskipun al Ghazali ada kekeliruan (missal banyak hadits dhaif ataupun palsu)…sya juga yakin beliau tdk bermaksud menggunakan hadits2 itu jika tahu bahwa hadist tersebut lemah/mungkar…, dan ini hanya Allah yg menilai apa diampuni atau tidak. Adapun yg dapat dilakukan kita sebagai manusia biasa, adalah mencocokkan dg Al Qur’an dan As-sunnah. Dahulu ibnu mas’ud melihat halaqoh yg berdzikir dg batu dan hitungan tertentu saja..dia marah sekali. (mungkin menurut anda ini hadits lemah, namun ulama lainnya ada juga yg mensahihkannya).
Al Hallaj ya..itu dihukum mati oleh kaum sufi juga, karena dianggap menyimpang. Kenapa sampai bisa menyimpang itu…?? Hal ini menjadi indikator bahwa tasawuf yg berlebihan itu akan berbahaya, karena dzikir yg diluar batas kemampuan sampai ribuan selain diluar batas2 sunnah rosulullah SAW..hal ini akan membuat kita sbg manusia biasa akan error…, oleh karena itu Allah SWT dan Rosulullah SAW sudah mengajarkan dzikir2 yg dianjurkan. Dan sya kira sebagai pengikut Rosulullah SAW , sudah selayaknya kita mengikuti petunjuk-Nya dari pada mengikuti dzikir tarekat…, terlebih2 ada yg udah ga sholat juga karena merasa dekat dg Allah.., padahal Allah SWT berfirman lataghluu fidinikum(janganlah berlebih2 lebihan dalam agamamu).
3. Tasawuf itu adalah akhlak Mas. Anda makan pakai tangan kanan, itu adalah tasawuf. Anda makan dan minum sambil duduk, itu juga tasawuf. Anda mau ke kamar mandi berdoa dahulu, itu juga tasawuf. Tasawuf itu adalah ilmu untuk berakhlak. Yg ngajarin ilmu akhlak ini adalah Rasulullah Saw…diturunkan pd cucu2nya, termasuk Imam Ali Zainal Abidin Ra beliau sangat indah sekali akhlaknya. Ilmu akhlak ini kemudian dipelajari, dan baru kemudian diberi nama dengan Tasawuf.
Jadi Tasawuf itu bukan akidah Mas…
Kalau pun ada ulama Sufi/Tasawuf yg menyimpang akidahnya, menyimpang dalam praktek hidup kesehariannya, itu sih yg salah manusianya…bukan ilmu akhlaknya yg salah.
>>> Ya sya sepakat kalau akhlak merupakan tujuan dari Dakwah Rosulullah SAW , Rosul diutus sebagai penyempurna akhlak. Akan tetapi tasawuf memiliki tarekat tertentu…dan ini terkadang keluar dari koridor Sunnah Rosulullah SAW. Akhirnya dia lebih memilih amalan tarekat dibanding amalan sunnah Rosulullah SAW, dan terkadang juga mungkin karena niatnya ingin itu ingin keajaiban, dll..mohon maaf ya..ini apa yg saya sempat lihat…, padahal man rogibba an sunnatii falaisaa minni…, kalau sya sih khawatir mba…kita lebih suka dzikir tarekta dibanding dzikir2 sunnah Rosulullah SAW…
4. Saya pernah membaca, seorang Ulama Wahabi Arab Saudi yg menyatakan sesat pd para Ulama Tasawuf seperti Ibnu Arabi, Syekh Abdul Qadir Jilani, Imam Al-Ghazali…yg saya perhatikan si syekh ini tidak mengerti kalimat majazi rupanya. Jadi kalimat majazi yg diucapkan oleh para ulama Sufi itu ditelan oleh syekh Wahabi bulat2 sehingga menjadi rancu.
Dan setelah saya tabayun cari info ke sana-sini, akhirnya saya mendapatkan scan kitab Ibnu Arabi yg asli…yg ditulis dengan tangan beliau…yg mana di kitab aslinya tsb Ibnu Arabi justru mengkafirkan orang yg akidahnya wahdatul wujud, atau yg biasa dikenal dg ana al-Haq.
Ini berbeda sekali ya dengan gembar-gembor ulama Wahabi yg mengatakan akidahnya Ibnu Arabi adalah akidah sesat, bahkan si ulama ini berani mengatakan iblis terhadap Ibnu Arabi.
Ternyata kitab Ibnu Arabi yg beredar di masyarakat abad ini adalah kitab yg sudah dipalsukan, dan akidah Ibnu Arabi di dalam kitab palsu itu diganti dengan akidah ana al-haq tersebut.
Namun sayangnya ulama Wahabi enggan tabayun cari2 informasi dulu apakah benar di kitab yg aslinya Ibnu Arabi seperti yg mrk tuduhkan itu…
Dan ternyata nasib yg sama pun terjadi pd kitab Abdul Qadir Jilani, yg ternyata telah dipalsukan.
Coba anda tabayun dulu, di internet ada koq scan kitab Ibnu Arabi yg asli…dan ada bantahan dr sebuah tarekat yg masih menyimpan kitab syekh Abdul Qadir Jilani yg asli…sangat berbeda dg yg sudah beredar di masyarakat abad ini.
Kasihan ulama2 sufi tersebut, mrk sudah terkena fitnah dari orang2 jahil.
>>> ya menurut anda syaikh tdk ngerti makna majazi…, yg anehnya itu syaikh dari Arab Saudi, yg setiap hari bahasa arab…dan juga banyak doktor dibidang hadist…ga ngerti makna majazi mana hakiki…, anda mungkin bisa merujuk pada ucapan2 ibnu a’rabi…, dan ucapan2 yg merusak akidah inilah yg dpt dinilai. Walau dia tdk bermaksud, tapi kalau ucapannya sudah ga bener, ya harus diluruskan.
Syaikh abdul qodir jailani merupakan ulama ahlusunnah yg banyak mendapat karomah dari Allah SWT, namun terkadang para muridnya ada yg berlebihan terhadap beliau.
Ulama mentahqiq kitab2 ulama yg sebelumnya, menurut sya bukanlah ulama yg beloon…, bagaimana mungkin universitas islam madinah, dll…ga ngerti bagaimana cara tahqiq yg sesuai kaidah2 keilmuan/akademis…
5. Kalau untuk makna Laa ilaa ha ilallaah…jangan langsung menisbahkan pd tasawuf dong. Tergantung anda baca uraian ulama yg mana, krn setiap ulama punya pengertian sendiri terhadap lafaz tsb. Mungkin ada ulama yg lurus dlm pemaknaannya, mungkin juga ada yg menyimpang. Mungkin maksudnya majazi…sehingga maknanya harus ditakwilkan…
Imam Syafi’I tadinya memang meragukan ulama sufi, namun setelah beliau bertemu dg seorang ulama sufi yg lurus dan mengetahui apa itu tasawuf akhirnya Imam Syafi’I pun menganjurkan untuk mempelajari tasawuf. Ya sebaiknya belajar sejarah Imam Syafi’i-nya jangan sepotong2, supaya mengerti kalau pd akhirnya IMam Syafi’I menyetujui tasawuf.
Nggak semua ahli kalam itu jelek Mas…’Krn banyak pula ahli kalam yg lurus, yaitu yg sesuai dg al-Qur’an dan sunnah. Jadi jangan main sama rata begitu saja…
>>> Wallohu a’lam …Imam Syafi’i menyetujui atau tdk, yg perlu dipertimbangkan adalah Imam Syafi’I lebih banyak menggeluti bidang fiqh dan hadist …dibanding menekuni tasawuf/tarekat tertentu. kan seharusnya kalau Bukankah Islam itu mudah, dan Allah menyukai kemudahan kenapa dipersulit dg hal2 yg harus dimaknai majazi…dll, kasihan orang awam…
Makna laailaaha illallaah–menurut tasawuf (tolong diluruskan jika salah):
1. Lama’buda ilallaah- tidak ada yg disembah kecuali Allah.
Padahal yg disembah didunia oleh kaum kafir itu banyak…(ada berhala, patung budha, yesus, dll) jadi makna tersebut jelas kurang pas. Menur sya , makna menurut u’lama salaf yg benar : Laa ma’buda bihaqqin ilallaah (Tidak ada yg disembah dg benar kecuali Allah)…
2. Lama’juda ilallah - tidak ada yg ma’ujud kecuali Allah, Padahal kita smua terlihat(berwujud)
6. Allah Maha Mendengar, itu adalah sifat Allah…namun jangan lantas Allah disifati dengan sifat jasmani/tubuh, misalnya Allah punya telinga, namun telinga-Nya berbeda dari makhluk2-Nya.
Ini adalah penyifatan secara jasmani/bentuk tubuh.
Perbedaan antara mendengar dan telinga itu jelas ada, mendengar itu tidak berbentuk, sdgkan telinga itu berbentuk.
>>> Kita tdk pernah mengatakan sifat Allah kalau tdk ada dlm Al Qur’an dan As-Sunnah. Sya pun beriman Allah Maha mendengar, namun dg apa Allah mendengar, caranya seperti apa, Sya tdk tahu itu dan hanya Allah SWT yg mengetahuinya. Dan Sya pun tdk mengatakan Allah punya telinga (sejauh pemahaman sya ga ada dalam AL Qur’an dan As-Sunnah)
Kalau Yadullah dan wajhullah— benar ini ada dalam Al Qur’an , salah kalau mengimaninya…?? Atau jangan2 berdosa yg tdk mengimaninya, karena Allah sendiri mensifatinya dalam Al Qur’an..
7. Saya pernah baca Ibnu Abbas Ra menakwil kata “tangan”, “wajah”, dsb.
>>> kalau bisa mohon sya dikasih pencerahan…dan penjelasan lebih lanjut mengenai takwil Ibnu Abbas tersebut…
8. Oh ya Mas…saya mau tanya, kenapa gitu Salafi/Wahabi benci bgt sama ulama yg melakukan bid’ah hasanah? Misal para habib2 di Indonesia mayoritas melakukan bid’ah hasanah, dibilang sbg kuburiyyin, ahlul ahwa, dsb.
Padahal banyak dr mrk yg wafat namun jenazahnya masih utuh meski sudah puluhan tahun dikubur. Contoh spt habib (saya lupa namanya) yg di Palembang, beliau suka Maulidan, suka Barjanjian, mempelajari tasawuf sehingga akhlaknya luar biasa baik, ketika jenazahnya hendak dipindahkan ternyata masih utuh.
Dan, kenapa ustadz Firanda benci dg habib Munzir? Padahal Habib Munzir nggak pernah lho nyuruh minta2 sama kuburan.
Kalau pun tawasul, habib Munzir tawasulnya juga hanya seperti ini “Ya Allah, demi hak Nabi mu yg engkau cintai…Muhammad Saw, maka kabulkanlah hajat kami ya Allah.” Apakah tawasul seperti itu syirik menurut Wahabi/Salafi? Bagian mananya ya yg syirik? Kalau memang habib Munzir sesat, kenapa justru banyak anggota Majelis Rasulullah Saw yg akhirnya bisa bertemu dgn Nabi Saw? Dan kenapa justru Nabi Saw pun sering mengunjungi habib Munzir?
Memang mas Heri sering ketemu sama Nabi Muhammad Saw ya…koq sepertinya keukeuh banget sama faham Slafi/Wahabi…
>>> mba sinta, sya dulu mungkin sama dg anda…koq sesama islam saling bid’ah2 an begitu…, dlu sya pun sempat diajak teman ziarah kubur ke makam sunan gunung jati, yg kebetulan beliau adalah pengikut tarekat tasawuf(abah anom)…, namun hati sya merasa runyam ketika melihat para penjiarah itu melempar2 bunga ke tembok penghalang makam sang wali…, dan seperti meratap…(pikiran sya pada waktu itu…lho ko kenapa begini…, terus terang hati sya ga tentram…), terus mesjid nya juga kalau ga salah menghadap ke kuburan…., mungkin ini salah satu penyebab para ulama salafy bilang penyembah kuburan itu (kuburiyyun). Anda tdk sepakat, tdk apa2…ya..habib mundzir..sya kira tdk mungkin nyuruh u nyembah kuburan…., tawassul kepada orang yg meninggal (hal ini beranggapan bahwa yg sudah meninggal itu dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT)…hal ini menurut ulama salafy adalah syirik. Umar pernah bertawasul ketika rosul masih hidup, tetapi setelah meninggal beliau bertawassul dg ibnu abbas(paman rosul yg masih hidup). Sya kira dg sholawat itu lebih aman dan lebih baik.
Mas Heri, anda ini kan nyuruh kami untuk gak taklid buta, tapi saya lihat untuk masalah tahqiq atau takhsis anda justru taklid buta pd ulama anda.
Tahqiq atau takhsis diperbolehkan, selama tidak merubah arti atau maksud dr kitab yg ditahqiq atau takhsis. Kalau sudah merubah dr arti si penulis kitab itu, namanya manipulasi.
Misal, Imam Asy-Syaukani dalam kitab aslinya menyuruh kita untuk menerima bid’ah hasanah selama ada dalil naqli dan aqli. Namun ketika tulisan Imam Asy-Syaukani dimasukkan dalam makalah ustadz Wahabi/Salafi tiba2 dipotong dan bunyinya jadi berubah seolah2 Imam Asy-Syaukani tidak menerima istilah bid’ah hasanah. Lalu nama Imam Asy-Syaukani dibawa-bawa oleh simpatisan Wahabi lainnya bermodal makalah dari ustadz Wahabi/Salafi itu, dan nama Imam Asy-Syaukani dijadikan tameng untuk berhujjah anti bid’ah hasanah.
Hey Bung, ini namanya pembohongan publik…
Pernah baca belum hadist Rasulullah Saw, yg intinya barangsiapa yg menyembunyikan ilmu ia akan disediakan cemeti di neraka…
Manipulasi terhadap perkataan Imam Asy-Syaukani diambil simpatisan Wahabi/Salafi dr makalah Ust Syaikh Mudrik Ilyas dalam acara Daurah Dirosah Islamiyah pada tanggal 15, 16, 17 Maret 2002 di Masjid Abu Bakar shiddiq oleh Lajnah dakwah Yayasan Qolbun Salim Malang.”
Gak cuma Imam Asy-Syaukani lho yg dimanipulasi, bahkan Imam Ibnu Hajar dan yg lainnya pun makna dari tulisannya dibelokkan…agar terkesan Ibnu Hajar dan yg lainnya menolak bid’ah hasanah…
Untuk masalah tasawuf, saya bukan ahlinya…
Tapi sebaiknya kita berbaik sangka dengan mereka yg belajar Tasawuf. Memang pada akhirnya simpatisan Tasawuf pun ada yg menyimpang…tapi tolong jangan salahkan Tasawufnya, yg salah adalah manusianya.
Yang belajar Tasawuf itu ada ribuan mungkin jutaan orang, mereka semua memiliki pemikiran yg berbeda…jikalau pemikiran sebagian golongan mereka menyimpang, ya jangan salahkan tasawufnya. Namun salahkan masing2 pribadinya saja….
Jangan seperti orang kafir yg senang main pukul rata. Orang kafir itu kalau ada muslim yg korupsi, lantas yg dituduh agama Islam-nya… Kalau ada muslim yg membunuh, lagi-lagi yg dituduh agama Islamnya… Ini tabiat orang kafir. Anda jangan ikut2an menuduh jelek tasawufnya jika ada simpatisan Tasawuf yg error….krn kalau sufi yg lurus berdasar al-Qur’an dan hadist, dia adalah manusia yg mulia…
Tokh banyak kita jumpai ulama sufi yg jasadnya masih utuh meski telah dikubur ratusan atau puluhan tahun…contoh, seperti habib yg saya sebutkan di atas (sayang sy lupa namanya).
Kalau anda punya uneg2 dengan tarekatnya Abah Anom, kenapa gak nanya sama mereka, jangan langsung berburuk sangka. Mungkin ada hal2 yg anda gak ngerti maksudnya…
Ya saya tahu, ulama Wahabi seperti contohnya ustadz Firanda tidak percaya dengan kasyaf. Tapi bagi orang yg mengalaminya, akan berbeda pendapatnya.
Seperti guru suami saya, beliau gak pernah ikutan tarekat, gak amalin yg aneh2…tiba2 beliau dibukakan mata hatinya oleh Allah Swt, melihat sesuatu di alam malakut, diperlihatkan siksa, dsb… Ini yg disebut kasyaf. Bagi orang awam yg gak pernah ngalamin gak akan percaya, tapi bagi sesama org yg kasyaf hal itu adalah suatu hal yg wajar/biasa. Bahkan mrk menganggap kasyaf itu bisa jd hiburan, tapi jg bisa jd cobaan, tergantung bgmn Allah memperlihatkan suatu dimensi di luar nalar manusia. Bagi mrk yg pernah atau sering mengalaminya maka akan tergetar hatinya, timbul perasaan takut, dan akhirnya krn rasa takut itu mrk banyak berdzikir mengingat Allah Swt, banyak melakukan shalat sunnah dsb.
Krn rasa takut diperlihatkan alam malakut tsb, akhirnya mrk terus menerus berdzikir hingga tak terasa sampai puluhan ribu atau ratusan ribu…
Namun bagi orang awam yg belum pernah mengalami hal tsb, rasa takutnya belum setingkat dg mereka…akan terasa berat berdzikir hingga ribuan atau ratusan ribu…sehingga mrk menjadi berprasangka buruk terhadap org2 yg kasyaf tsb. Menganggap aneh, menganggap tidak sesuai sunnah Rasulullah Saw, menganggap berlebihan…
Jadi kalau saya pribadi mau dzikir terus ya monggo, mau dzikir 100 kali seperti sunnah Rasulullah Saw ya monggo…
Tapi apakah Rasulullah Saw tidak terus-menerus basah lidahnya untuk berdzikir? Bukankah Allah Swt di dalam al-Quran menyuruh untuk berdzikir sebanyak-banyaknya?
Jikalau Rasulullah Saw menyuruh berdzikir sehabis shalat dgn bilangan 100 saya rasa hanya untuk memudahkan, krn tidak semua umatnya mampu untuk banyak berdzikir. Tapi bukan berarti Rasulullah Saw melarang umatnya berdzikir sebanyak-banyaknya…
Coba baca sejarah para Imam cucu dan cicit dari Rasulullah Saw, mrk malah tidak lepas dr berdzikir…lidah mrk selalu basah dg dzikir.
Untuk masalah Universitas Madinah, saya pernah baca buku2 yg disediakan di perpustakaan pun adalah yg sudah disortir oleh Dinasti Saud. Jadi mahasiswa di sana memang dicuci otaknya untuk berpahaman Salafi/Wahabi, sehingga kitab2 para ulama klasik pun banyak yg sudah tidak asli.
Ingat ya, di Arab Saudi yg namanya ulama itu gak cuma yg berpaham Salafi/Wahabi saja…krn ulama2 yg non-Salafi/Wahabi masih banyak di sana. Mereka juga berbahasa Arab kan? Mereka jg tahu mana yg majazi dan mana yg bukan, tapi mereka gak anti takwil spt ulama Salafi/Wahabi. Ulama yg non-Salafi/Wahabi ini juga banyak yg Doktor, banyak yg profesor…tapi kenapa yg anda pelajari cuma ulama yg Salafi/Wahabi saja???
Harusnya anda juga nanya sama diri sendiri….
Untuk masalah tawasul…adakah ayat atau pun hadist yg mengatakan bahwa tawasul setelah Nabi Saw wafat itu syirik? Ingat lho, syirik berarti dihukumi kafir…
Setahu saya, Allah itu senang jika hamba-Nya yg sholeh kita sebut2 namanya. Misal, kita sering nyebut2 nama Nabi Muhammad Saw, pasti Allah akan senang…
Misal kalau saya berdoa seperti ini, “Ya Allah, aku mencintai nabi Muhammad, tolong ampuni aku ya Allah.” Ini syirik gak menurut anda? Padahal kalimat seperti itu termasuk tawasul juga lho…
Kalau menyebut nama Nabi Muhammad Saw di dalam doa dianggap syirik, hanya krn beliau telah wafat, tentunya lucu….
Contoh tawasulnya habib Munzir, dengan mengatakan “ya Allah, demi hak nabi-Mu yg Engkau cintai. Maka kabulkanlah hajat kami”
Syirik dibagian mananya ya Mas?
“Ya Allah”—-> Jelas yg dimintai adalah Allah, berarti habib Munzir berdoa cuma minta kepada Allah.
“Demi hak nabi-Mu yg Engkau cintai” —-> hak Nabi Saw adalah diijinkan memberikan syafa’at kepada umatnya di hari kiamat kelak,
“Maka kabulkanlah hajat kami”—-> yg mengabulkan tetap Allah
Tapi koq kalau baca tulisan ustadz Firanda seperti nuduh habib Munzir minta2 sama mayat….bagian mananya yg minta2 sama mayat ya?
Riwayat Umar Ra yg tidak tawasul setelah Nabi Saw wafat apa lantas dijadikan dalil syirik bagi orang yg melakukannya? Berarti Bilal syirik dong ya?
Kenapa justru orang2 yg dituduh syirik ini malah sering bertemu dgn Rasulullah? Ada yg lewat mimpi, ada yg dalam keadaan terjaga…
Untuk masalah anda yg lihat orang meratap di kuburn sunan Gunung Jati, ya jangan lantas menyamaratakan di luar Salafi/Wahabi ziarah kuburnya seperti itu semua. Ya jangan menyamaratakan….krn kenyataannya gak semua spt itu.
Cuma sayangnya, simpatisan Salafi/Wahabi suka genyah uyah, menganggap yg di luar mrk ziarah kuburnya minta2 sama kuburan…
Kalau main gebyah uyah begini, yg ada cuma numpukin penyakit hati…
Mba sinta berikut sekedar referensi untuk menjawab tentang bid’ah :
Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
(www.muslim.or.id)
Tidak Semua yang Baru Berarti Bid’ah —
Syubhat 2: Adakah Bid’ah Hasanah?
Sebagian orang menganggap bahwa bid’ah ada dua; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah (dholalah). Mereka berhujjah dengan pendapat sebagian salaf seperti perkataan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Sebaik-baik bid’ah adalah ini[1])
Atau perkataan Imam Syafi’i -rahimahullah- yang menyebutkan:
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم
Bid’ah itu ada dua: terpuji dan tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah berarti terpuji, sedangkan yang menyelisihinya berarti tercela [2]).
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai khutbah beliau senantiasa mengatakan:
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ, إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ… (رواه النسائي يرقم 1560, وابن ماجه في مقدمة السنن برقم 45)
“Barangsiapa diberi hidayah oleh Allah, maka tak seorang pun bisa menyesatkannya; dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tak seorang pun yang bisa memberinya hidayah. Sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) ialah bid’ah, sedang setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di Neraka…” (H.R. An Nasa’i dan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah, dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat Irwa’ul Ghalil 3/73)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dari jalur yang sama, yaitu Ja’far bin Muhammad (Ash Shadiq) dari ayahnya (Muhammad bin ‘Ali Al Baqir) [3]), dari sahabat Jabir bin Abdillah, dengan lafazh:
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap bid’ah itu sesat” [4](
Dalam kedua hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, dan sabda beliau ini berkenaan dengan bid’ah menurut syari’at. Mengapa harus begitu? Karena dua hal; pertama: menurut kaidah ushul fiqih, dalam menafsirkan dalil-dalil syar’i, terlebih dahulu kita harus membawanya kepada pengertiannya secara syar’i, kalau tidak bisa, baru kita membawanya kepada pengertian yang lain, seperti pengertian bahasa atau adat setempat sesuai dengan qarinah (petunjuk) yang ada[5]). Kedua: jika ia ditafsirkan sebagai bid’ah lughawi, konsekuensinya semua hal yang baru dianggap bid’ah dan sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap penemuan baru dalam bidang IPTEK pun dianggap sesat…dan jelas tidak mungkin ada orang berakal yang mengatakan seperti itu, apalagi seorang Rasul yang ma’shum.
Mendudukkan maksud ucapan Umar bin Khatthab
Jika kita telah memahami makna bid’ah secara lughawi dan syar’i, maka ucapan Umar bin Khatthab yang berbunyi: “sebaik-baik bid’ah adalah ini…”, sama sekali tidak bisa dijadikan dalil akan adanya bid’ah hasanah dalam agama, karena makna ucapan tersebut ialah bid’ah secara bahasa yang sifatnya nisbi (relatif).
Alasannya: Lihatlah konteks ucapan Umar selengkapnya berikut:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ, وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ, فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ, فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ, وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ, يَعْنِي آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Dari Abdurrahman bin Abdil Qaary katanya; aku keluar bersama Umar bin Khatthab t di bulan Ramadhan menuju masjid (Nabawi). Sesampainya di sana, ternyata orang-orang sedang shalat secara terpencar; ada orang yang shalat sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi sejumlah orang. Maka Umar berkata: “Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu imam akan lebih baik…” maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam satu jama’ah– dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya di malam yang lain, dan ketika itu orang-orang sedang shalat bersama imam mereka, maka Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, akan tetapi saat dimana mereka tidur lebih baik dari pada saat dimana mereka shalat”, maksudnya akhir malam lebih baik untuk shalat karena saat itu mereka shalatnya di awal malam. (H.R. Malik dalam Al Muwaththa’ bab: Ma jaa-a fi qiyami Ramadhan).
Kemudian sebagaimana kita ketahui, anjuran beliau untuk shalat tarawih berjama’ah itu bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukannya beberapa kali, kemudian beliau hentikan karena khawatir kalau shalat tarawih diwajibkan atas umatnya[6]). Akan tetapi di masa Umar berkuasa, tidak semua warga Madinah tahu akan hal ini, karena banyak di antara mereka yang tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi shalat dibelakang beliau. Karenanya, bagi mereka ini merupakan hal baru (bid’ah lughawi). Jadi, jelaslah bahwa bid’ah yang dimaksudkan Umar di sini bukanlah bid’ah syar’i maupun lughawi secara mutlak, akan tetapi bid’ah lughawi nisbi (hal yang baru bagi sebagian kalangan).
Lebih dari itu, ingatlah bahwa Umar termasuk salah seorang Khulafa’ Ar Rasyidin yang perbuatannya dianggap sebagai sunnah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه أبو داود (4607) واللفظ له, وابن ماجه (42), وأحمد (16521,16522), والدارمي (95) وصححه الألباني)
Kuwasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati pemimpin kalian meski ia seorang budak habsyi (kulit hitam). Karena siapa yang hidup sepeninggalku nanti, pasti akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib baginya berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran)-ku dan Sunnahnya Khulafa’ur Rasyidin sepeninggalku. Peganglah sunnah tadi erat-erat dan gigitlah dengan taringmu. Dan waspadailah setiap muhdatsaatul umuur [7]), karena itu semua adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. (H.R Abu Dawud (no 4607) Ibnu Majah (42), Ahmad (16521,16522) dan Ad Darimi (95); ini adalah lafazh Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat: Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud).
Demikian juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
(رواه الترمذي وقال: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ).
Dari Hudzaifah katanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Jadikanlah dua orang sepeninggalku sebagai qudwah (panutan/teladan) kalian: Abu Bakar dan Umar” (H.R. Tirmidzi dan beliau menghasankannya) [8]).
Kalaulah yang diperbuat oleh Umar tadi merupakan bid’ah dalam agama (bid’ah syar’i), maka mustahil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk meneladani seseorang yang mengatakan bahwa bid’ah syar’i itu ada yang baik, sedangkan Nabi sendiri mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat… Ini adalah sesuatu yang kontradiksi! Dan tidak pantas bagi sahabat sekaliber Umar bin Khatthab yang dijuluki al faruq (pembeda antara haq dan batil), untuk menyelisihi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menganggap bahwa ada bid’ah yang baik dalam agama.
Karenanya, ucapan Umar bin Khatthab di atas tidak boleh diartikan sebagai bid’ah secara syar’i, namun yang beliau maksudkan ialah bahwa keputusannya untuk menyatukan kaum muslimin pada satu imam merupakan suatu hal baru dan baik setelah sekian lama ditinggalkan.
Perhatian:
Sekiranya kita menganggap ucapan ‘Umar bin Khatthab tadi sebagai bentuk pembenaran akan adanya bid’ah hasanah –meskipun ini mustahil–; maka sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’shum harus didahulukan dari perkataan Umar yang tidak ma’shum. Cobalah anda renungi kembali jawaban Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas yang kami cantumkan di mukaddimah buku ini (hal 12).
Mendudukkan ucapan Imam Syafi’i
Kalaulah Imam Syafi’i -rahimahullah- mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang terpuji dan ada yang tercela, maka beliau jualah yang mengatakan berikut ini:
مَا مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَتَذْهَبُ عَلَيهِ سُنَّةٌ لِرَسُولِ اللهِ وَتَعْزُبُ عَنْهُ فَمَهْمَا قُلْتُ مِنْ قَوْلٍ أَوْ أَصَّلْتُ مِنْ أَصْلٍ, فِيْهِ عَنْ رَسُولِ اللهِ لِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَالْقَوْلُ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ وَهُوَ قَوْلِي ( تاريخ دمشق لابن عساكر 15 / 389 )
Tak ada seorang pun melainkan pasti ada sebagian sunnah Rasulullah yang luput dari pengetahuannya. Maka perkataan apa pun yang pernah kukatakan, atau kaidah apa pun yang kuletakkan, sedang di sana ada hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertentangan dengan pendapatku, maka pendapat yang benar ialah apa yang dikatakan oleh Rasulullah, dan itulah pendapatku (lihat: Tarikh Dimasyq, 15/389 oleh Ibnu Asakir)
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ e لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
(الفلاني ص 68)
Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.(lihat Muqaddimah Shifatu Shalatin Nabii, oleh Al Albani).
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ. ( النووي في المجموع 1 / 63 )
Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang. (lihat Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab 1/63)
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ ( سير أعلام النبلاء 3/3284-3285)
Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok. (Siyar A’laamin Nubala’ 3/3284-3285).
كُلُّ مَسْأَلَةٍِ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ e عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي. ( أبو نعيم في الحلية 9 / 107 )
Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku (Hilyatul Auliya’ 9/107)
إِذَا رَأَيْتُمُوْنِي أَقُوْلُ قَوْلاً وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُهُ فَاعْلَمُوا أَنَّ عَقْلِي قَدْ ذَهَبَ. (تاريخ دمشق لابن عساكر بسند صحيح 15 / 10 / 1 )
Jika kalian mendapatiku mengatakan suatu perkataan, padahal di sana ada hadits shahih yang berseberangan dengan pendapatku, maka ketahuilah bahwa akalku telah hilang!! (Tarikh Dimasyq, oleh Ibnu ‘Asakir)
كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي. (تاريخ دمشق لابن عساكر بسند صحيح 15 / 9 / 2 )
Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku.
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ. ( تاريخ دمشق, 51/389)
Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku (Tarikh Dimasyq, 51/389).
قَالَ الرَّبِيْعُ: سَأَلَ رَجُلٌ الشَّافِعِيَّ عَنْ حَدِيْثِ النَّبِيِّ فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: فَمَا تَقُوْلُ؟ فَارْتَعَدَ وَانْتَفَضَ وَقَالَ: أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ. (حلية الأولياء 9/107)
Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita: Ada seseorang yang bertanya kepada Asy Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya: “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya: “Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?” (lihat: Hilyatul Auliya’ 9/107) [9]).
Setelah kita mengetahui pernyataan beliau bahwa perkataan Rasulullah wajib didahulukan dari ucapan beliau, maka semestinya kita berbaik sangka kepada beliau dengan mendudukkan ucapan beliau mengenai bid’ah tadi sebagai bid’ah secara bahasa, –yaitu setiap hal baru– yang tidak ada kaitannya dengan agama. Dengan demikian, antara ucapan Imam Syafi’i; “Bid’ah mahmudah dan madzmumah” dan sabda Rasulullah; “setiap bid’ah sesat” tidak akan bertabrakan.
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel http://www.muslim.or.id
[1]) H.R. Malik dalam Al Muwaththa’ bab Ma Jaa-a fi Qiyaami Ramadhan.
[2]) Lihat: Fathul Baari Syarh Shahihil Bukhari, penjelasan hadits no 7277.
[3]) Ja’far Ash Shadiq dan ayahnya: Muhammad Al Baqir (putera Ali Zainul ‘Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib) merupakan tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah dari kalangan Ahlul Bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka meriwayatkan hadits yang agung ini karena kecintaan mereka terhadap kemurnian ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kebencian mereka terhadap bid’ah. Demikianlah profil Ahlul Bait sejati yang mengenyam ilmu dari sumbernya yang terpelihara, yaitu para salafus shaleh radhiyallaahu ‘anhum. Silakan saudara bandingkan sikap mereka terhadap bid’ah dengan sikap anak-cucu mereka (?) saat ini, yang dengan sekuat tenaga hendak menyimpangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang ma’shum– dengan mengatakan: “Oo, bukan begitu… tidak semua bid’ah itu sesat…!! Anda telah salah menafsirkan hadits di atas… Hadits di atas memang benar, tapi kita tidak boleh tergesa-gesa dalam memutuskan bahwa semua bid’ah sesat” (yang bercetak tebal ini adalah ucapan salah seorang ‘habib’ yang sedang produktif menulis buku-buku demi melegitimasi berbagai bid’ah, yang kalaulah tidak karena khawatir bukunya jadi terkenal, niscaya penulis cantumkan di sini). Subhaanallaah!! alangkah beraninya ia mengoreksi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam …!? Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu orang yang tak fasih berbicara, hingga sabdanya yang seterang matahari di siang bolong ini masih harus dipelintar-pelintir kesana kemari? Tak cukup sampai di sini, si ‘habib’ malah membikin kebohongan atas nama sahabat dengan mengatakan bahwa mereka memahami sabda Nabi tadi dengan menyisipkan kata: ‘yang bertentangan dengan syari’at’ antara kata ‘bid’ah’ dan ‘dholalah’, jadi menurutnya, pemahaman para sahabat ialah bahwa setiap bid’ah yang bertentangan dengan syari’at itu sesat. Ia hendak membentuk opini bahwa jika bid’ah itu tidak bertentangan dengan syari’at maka tidak sesat… ‘Audzubillah min hadza!
[4]) Lihat: Shahih Muslim, kitab: Al Jumu’ah, bab: Takhfiefus Shalati wal Khutbah, hadits no 867.
[5]) Lihat Raudhatun Nadhir 2/15, Irsyadul Fuhul 1/113.
[6]) Lihat H.R. Bukhari dalam Shahihnya no 7290, dan Muslim no 781, dari sahabat Zaid bin Tsabit.
[7]) As Sayyid Muhammad Murtadha Az Zabidy –rahimahullah– menjelaskan:
ومُحْدَثَاتُ الأُمُورِ : مَا ابتَدَعَهُ أَهْلُ الأَهْوَاءِ مِنَ الأَشْيَاءِ الَّتِي كَانَ السَّلَفُ الصَّالِحُ عَلىَ غَيْرِهَا (انظر: تاج العروس, مادة: بدع؛ وكذا في اللسان
9/158؛ وتهذيب اللغة)
Muhdatsaatul umuur ialah bid’ah-bid’ah yang dimunculkan oleh para pengikut hawa nafsu, yaitu berupa hal-hal yang para salaf tidak pernah melakukannya (Lihat:Taajul ‘Aruus; demikian juga dalam Lisaanul ‘Arab 9/158, dan Tahdziebul Lughah).
[8]) Lihat Sunan At Tirmidzi, kitab Al Manaqib, bab: fie manaqib Abi Bakr wa Umar, hadits nomor 3595. Hadits senada juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari sahabat Abdullah bin Mas’ud dalam kitab yang sama, bab: manaqib Abdillah bin Mas’ud (no 3741). Demikian pula dalam Muqaddimah Sunan Ibnu Majah, bab: Fazhlu Abi Bakr wa Umar (no 94). Dari sekian jalur ini Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkannya, lihat (Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmidzi, hadits no 3662,3663).
[9]) Anda dapat merujuk sebagian besar dari perkataan Imam Syafi’i tadi dalam muqaddimah Shifatu Shalaatin Nabiy, tulisan Al ‘Allaamah Muhammad Nashieruddien Al Albani, rahimahullah.
Dari artikel Ini Dalilnya (4): Adakah Bid’ah Hasanah? — Muslim.Or.Id by null
Terus terang…saya nggak percaya kalau orang Wahabi/Salafi bawa nukilan dr kitab2 ulama. Yg saya tahu ulama Al-Bani memang senang mentahrij kitab ulama klasik, namun apakah tahrij-an beliau sesuai atau tidak dg yg ditulis ulama klasik itu perlu diselidiki terlebih dahulu.
Untuk ustadz2 yg mampir di sini, yg pandai bahasa Arab mohon dicek referensi yg diberikan mas Heri ini….apakah memang betul nukilan yg disebutkan artikel di atas sesuai dengan kitab yg aslinya…
Tambahan referensi
Syubhat 1: Tidak Semua Yang Baru Berarti Bid’ah
Banyak orang yang salah faham akan makna bid’ah yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mengatakan bahwa semua bid’ah adalah kesesatan. Mereka menganggap bahwa dengan memahami hadits ‘kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin finnaar’ [1] secara tekstual, maka semua orang akan masuk neraka, sebab kehidupan kita dipenuhi dengan bid’ah. Cara berpakaian, berbagai jenis perabotan rumah tangga, sarana transportasi, pengeras suara, permadani yang terhampar di masjid-masjid, lantai masjid yang terbuat dari batu marmer, penggunaan sendok dan garpu, hingga berbagai kemajuan teknologi lainnya, semua itu merupakan hal baru yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Semuanya adalah bid’ah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka.[2]
Pemahaman yang rancu semacam ini muncul dari ketidaktahuan mereka akan uslub (gaya bahasa) Al Qur’an, Hadits, atau ucapan para ulama yang senantiasa membedakan pengertian suatu kata dari segi etimologis (bahasa) dan terminologis (istilah/syar’i). Kerancuan tadi juga disebabkan oleh ketidak fahaman orang tersebut akan konteks suatu nash (ayat/hadits), atau karena pemahaman parsial — yang memegangi satu nash dan mengabaikan nash-nash lainnya–, atau akibat mencomot nash tersebut dari konteks selengkapnya. Dan yang terakhir ini cukup fatal akibatnya, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.
Pentingnya membedakan antara definisi lughawi (bahasa) dan syar’i.
Sebagai contoh, kata ‘ash-shalah’ (الصَّلاَة) merupakan mashdar (bentukan/noun) dari kata صَلَّى- يُصَلِّي, yang dalam bahasa Arab memiliki tak kurang dari lima makna. Al Fairuzabadi[3]) mengatakan:
وَالصَّلاَةُ: الدُّعَاءُ, وَالرَّحْمَةُ, وَالاِسْتِغْفَارُ, وَحُسْنُ الثَّنَاءِ مِنَ اللهِ عَلىَ رَسُولِهِ, وَعِبَادَةٌ فِيْهَا رُكُوعٌ وَسُجُودٌ.
‘ash shalaah’ artinya: (1)doa, (2)rahmat, (3)istighfar, (4) pujian yang baik dari Allah terhadap Rasul-Nya, dan (5)ibadah yang mengandung ruku’ dan sujud [4]).
Ketika menemukan definisi (الصلاة) semacam ini, seseorang harus menentukan terlebih dahulu mana yang merupakan definisi lughawi dan mana yang syar’i. Lalu ketika hendak mengartikan suatu hadits atau ayat tertentu, ia harus memperhatikan konteks ayat/hadits di mana istilah ini berada, kemudian menentukan apakah shalat di sini yang dimaksud ialah shalat secara lughawi ataukah syar’i. Kalau secara bahasa ia memiliki lebih dari satu makna, maka ia harus meneliti makna apa yang diinginkan dalam konteks ini.
Bagaimana jika ia hanya memahami satu makna saja dari kata shalat tadi, lantas menerapkannya dalam seluruh konteks kalimat….? Jelas, cara seperti ini pasti mengacaukan pemahaman yang sebenarnya. Cobalah Anda simak jika shalat dalam ayat berikut diartikan secara lughawi sebagai doa umpamanya:
“Dirikanlah doa dari sejak matahari tergelincir hingga malam gelap…” (Al Isra’: 78). Tentu aneh kedengarannya, karena (الصلاة) disini maksudnya ialah shalat secara syar’i yang pakai ruku’ dan sujud, bukannya sekedar doa. Demikian pula kalau ia hanya mengartikannya dengan pengertian syar’i tanpa mengindahkan makna lughawinya. Maka ketika mendapati ayat berikut pemahamannya akan kacau:
“Ambillah sebagian harta mereka sebagai zakat yang membersihkan dan menyucikan mereka; dan ‘shalatlah(?)’ kepada mereka, karena shalatmu menimbulkan ketenangan bagi mereka…(?)” (QS. 9:103). Dengan pola pikir semacam ini, tak menutup kemungkinan kalau suatu saat akan ada yang mengatakan bahwa menyolatkan orang yang masih hidup hukumnya sunnah!! Padahal yang dimaksud dengan (وَصَلِّ عَلَيْهِمْ) di sini artinya: “doakanlah mereka”, karena doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menimbulkan ketenangan bagi mereka.
Bagaimana pula ia hendak mengartikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ (رواه مسلم 1431).
Apakah akan diartikan: “Kalau salah seorang dari kalian diundang makan hendaklah ia memenuhinya. Jika ia sedang berpuasa maka shalatlah (?), namun jika sedang tidak berpuasa silakan menyantap makanannya” (H.R. Muslim no 1431). Padahal maksudnya agar ia mendoakan orang yang mengundangnya kalau ia sedang berpuasa.
Sama persis dengan masalah bid’ah yang sedang kita bahas. Berangkat dari salah pengertian tentang makna bid’ah yang dianggap sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagian orang langsung membid’ahkan setiap hal baru yang terjadi pada diri kita, tanpa memilah-milah antara bid’ah dalam agama dengan bid’ah dalam urusan duniawi. Karenanya, kita harus mendudukkan pengertian bid’ah yang sebenarnya.
Akan tetapi sebelum kita mendefinisikan bid’ah, kita harus mengenal Sunnah terlebih dahulu. Karena sunnah identik dengan apa-apa yang harus dilakukan, sedangkan bid’ah identik dengan apa-apa yang harus ditinggalkan. Dan apa-apa yang harus dilakukan lazimnya dibahas lebih dahulu dari pada apa-apa yang harus ditinggalkan. Insya Allah dengan memahami Sunnah, kita akan memahami bid’ah [5]).
Apa itu Sunnah?
Sunnah menurut bahasa, artinya: cara yang diikuti. Sedang menurut syar’i ialah semua yang disyari’atkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya atas izin dari Allah Ta’ala; yang berupa jalan-jalan kebaikan, atau adab-adab dan keutamaan yang beliau anjurkan, demi menyempurnakan umat ini dan membahagiakannya. Kalau yang beliau syari’atkan itu berupa perintah untuk melakukan sesuatu dan menekuninya, maka itulah Sunnah waajibah (yang diwajibkan), yang tak boleh ditinggalkan oleh seorang muslim pun. Namun jika bukan seperti itu, berarti itu Sunnah mustahabbah (yang disukai), yang bila dilakukan akan mendapat pahala, namun jika ditinggalkan pelakunya tidak akan disiksa.
Pembaca yang budiman, perlu kita ketahui bahwa sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sunnah tadi lewat sabdanya; beliau juga mengajarkannya lewat perbuatan dan persetujuannya. Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sesuatu secara berulang-ulang hingga jadi kebiasaan, jadilah hal itu sunnah bagi umatnya sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk khususiyyah (kekhususan) beliau, seperti puasa secara bersambung umpamanya (puasa wishal).
Demikian pula ketika beliau mendengar atau melihat sesuatu yang terjadi pada para sahabatnya, kemudian hal itu berulang sekian kali tanpa diingkari oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, jadilah itu sunnah taqririyyah (sunnah karena persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Akan tetapi jika apa yang beliau lakukan, atau yang beliau lihat dan dengarkan tadi tidak terjadi berulang kali, maka tidak termasuk sunnah. Mengapa? Karena kata sunnah (سَنَّ – يَسُنُّ – سُنَّةً) berasal dari sesuatu yang berulang kali. Seperti kata (سَنَّ السِّكِّيْنَ) yang artinya mengasah pisau, yaitu menggosoknya berulang kali pada asahan sampai tajam [6]).
Contoh apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekali saja dan tak diulangi lagi –hingga tidak dianggap sebagai sunnah– ialah ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak antara shalat dhuhur dan asar, dan antara maghrib dan isya’ tanpa udzur seperti safar, sakit, ataupun hujan (H.R. Muslim dan Tirmidzi) [7]). Karenanya, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi tak menjadi sunnah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini, beliau berkata:
جَمِيعُ مَا فِي هَذَا الْكِتَابِ مِنْ الْحَدِيثِ فَهُوَ مَعْمُولٌ بِهِ وَبِهِ أَخَذَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مَا خَلَا حَدِيثَيْنِ: حَدِيثَ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ وَحَدِيثَ النَّبِيِّ أَنَّهُ قَالَ إِذَا شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِي الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ.
Semua hadits yang ada dalam kitab ini (Sunan Tirmidzi) ialah untuk diamalkan, dan menjadi dalil bagi sebagian ulama; kecuali dua hadits: Hadits Ibnu Abbas yang berbunyi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak antara dhuhur, asar, maghrib, dan isya’ di Madinah tanpa alasan takut maupun hujan. Dan hadits Nabi yang mengatakan: “Kalau seseorang ketahuan minum khamer, maka cambuklah. Kalau ia minum lagi keempat kalinya, maka bunuh saja…” (lihat Kitabul ‘Ilal dari Sunan At Tirmidzi).
Sedangkan contoh dari apa yang pernah beliau diamkan dan beliau setujui sekali saja –hingga tidak bisa dianggap sunnah bagi kaum muslimin,– ialah hadits yang mengatakan tentang nadzar seorang wanita yang bila Allah Ta’ala memulangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari safarnya dalam keadaan selamat, ia akan menabuh rebana di hadapan beliau sebagai luapan rasa bahagia atas keselamatannya[8]). Maka wanita tersebut melangsungkan nadzarnya, dan beliau menyetujuinya kali itu saja. Karenanya, hal ini tidak bisa dianggap sebagai sunnah bagi umatnya.
Adapun contoh dari sunnah fi’liyyah ialah kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selepas shalat berputar ke arah makmum. Hal ini terjadi ratusan kali, karenanya ini merupakan sunnah bagi setiap imam selepas shalat, meskipun beliau tak pernah memerintahkannya. Sedangkan contoh dari sunnah taqririyyah ialah ketika beliau mendiamkan apa yang dilakukan para sahabatnya saat mengiring jenazah. Beliau melihat ada yang berjalan di depan jenazah, ada yang disamping kanan, di kiri, dan ada yang di belakang, akan tetapi beliau mendiamkan mereka; dan hal terjadi berulang kali setiap mereka mengiring jenazah. Maka hal ini dianggap sebagai sunnah taqririyyah.
Demikianlah pengertian sunnah, maka hadirkanlah selalu makna ini dalam benak anda… dan jangan lupa untuk menyertakan pula sunnah-sunnah Khulafa’ur Rasyidin sepeninggal beliau.
Pengertian bid’ah
Adapun bid’ah, maka itulah lawan dari Sunnah. Mengapa? Karena bid’ah hakekatnya ialah segala sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya, maupun melalui lisan Nabi-Nya; baik berupa keyakinan, ucapan, maupun perbuatan. Atau dengan kata lain, bid’ah ialah: semua yang di zaman Rasulullah dan para sahabatnya tidak dianggap sebagai agama yang dijadikan ritual ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Baik berupa keyakinan, ucapan, maupun perbuatan, meski ia dianggap memiliki nilai sakral luar biasa, atau dijadikan syi’ar agama[9]). Ini definisi bid’ah menurut syar’i secara global, sedang perinciannya sebagai berikut:
Definisi Bid’ah secara lughawi
Kata ‘bid’ah’ berasal dari bada‘a – yabda’u – bad’un atau bid’atun, yang secara lughawi artinya sesuatu yang baru. Mengenai hal ini, Imam Al Azhari[10]) menukil ucapan Ibnu Sikkiet yang mengatakan:
اَلْبِدْعَةُ: كُلُّ مُحْدَثَةٍ.
“Bid’ah itu segala sesuatu yang baru” [11]).
Definisi senada juga dinyatakan oleh Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy[12]), yang mengatakan:
البَدْعُ: إِحْدَاثُ شَئْ ٍلَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْ قَبْلُ خَلْقٌ وَلاَ ذِكْرٌ وَلاَ مَعْرِفَةٌ
“Al bad’u (bid’ah) ialah mengadakan sesuatu yang tidak pernah diciptakan, atau disebut, atau dikenal sebelumnya” [13]).
Isim fa’il (nama pelaku) dari kata bada’a tadi ialah badie’ (بَدِيْعٌ) atau mubdi’ (مُبْدِعٌ), artinya: pencipta sesuatu tanpa ada contoh terlebih dahulu. Hal ini seperti firman Allah:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرضِ “Dialah pencipta langit dan bumi” (Al Baqarah :117), yaitu tanpa ada contoh (prototip) sebelumnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Az Zajjaj[14]).
Korelasi antara definisi bid’ah secara lughawi dan syar’i
Dari nukilan-nukilan di atas, dapat kita fahami bahwa bid’ah secara bahasa ialah segala sesuatu yang baru, entah itu baik atau buruk; berkaitan dengan agama atau tidak. Karenanya Az Zajjaj mengatakan:
وَكُلُّ مَنْ أَنْشَأَ مَالَمْ يُسْبَقْ إِلَيْهِ قِيْلَ لَهُ: أَبْدَعْتَ. وَلِهَذَا قِيْلَ لِمَنْ خَالَفَ السُّـنَّةَ: مُبْتَدِعٌ. لأَِنَّهُ أَحْدَثَ فِي الإِسْلاَمِ مَالَمْ يَسْبِقْهُ إِلَيْهِ السَّلَفُ.
“Setiap orang yang melakukan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, kita katakan kepadanya: “abda’ta” (anda telah melakukan bid’ah (terobosan baru)). Karenanya, orang yang menyelisihi ajaran (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah), sebab ia mengada-adakan sesuatu dalam Islam yang tidak pernah dikerjakan oleh para salaf sebelumnya” [15]).
Jadi, korelasi antara kedua definisi tadi ialah bahwa bid’ah itu intinya sesuatu yang baru dan diada-adakan. Namun bedanya, bid’ah secara syar’i khusus berkaitan dengan agama, sebagaimana yang disebutkan oleh Az Zajjaj di atas. Untuk lebih jelasnya perhatikan definisi bid’ah secara syar’i menurut Al Jurjani berikut:
البِدْعَةُ هِيَ الْفِعْلَةُ الْمُخَالِفَةُ لِلسُّـنَّةِ، سُمِّيَتْ: اَلْبِدْعَةَ، لأَِنَّ قَائِلَهَا ابْتَدَعَهَا مِنْ غَيْرِ مَقَالِ إِمَامٍ، وَهِيَ الأَمْرُ الْمُحْدَثُ الَّذِي لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُوْنَ، وَلَمْ يَكُنْ مِمَّا اقْتَضَاهُ الدَّلِيْلُ الشَّرْعِيُّ.
“Bid’ah ialah perbuatan yang menyelisihi As Sunnah (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i” [16]).
Kata-kata yang bercetak tebal di atas amat penting untuk kita fahami maknanya. Sehingga kita tidak mencampuradukkan antara bid’ah dengan maslahat mursalah [17]). Atau antara bid’ah secara bahasa dengan bid’ah secara syar’i. Berangkat dari pemahaman ini, Imam Asy Syathiby mendefinisikan bid’ah secara syar’i dengan definisi paling universal sebagai berikut:
الْبِدْعَةُ عِبَارَةٌ عَنْ: طَرِيْقَةٍ فيِ الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ, تُضَاهِي الشَّرِيْعَةَ, يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فيِ التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ (الاعتصام 1/50).
Bid’ah adalah sebuah metode baru dalam agama yang bersifat menyaingi syari’at, dan dilakukan dengan tujuan beribadah secara lebih giat kepada Allah Ta’ala.
Kaidah dalam mendefinisikan bid’ah
Dari definisi-definisi di atas, bisa kita simpulkan bahwa bid’ah menurut syar’i harus memiliki kriteria berikut:
Berkaitan dengan agama, bukan dengan urusan duniawi.
Bersifat baru dan belum pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bersifat menyaingi syari’at Allah dan Rasul-Nya.
Tidak selaras dengan dalil-dalil syar’i.
Dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah.
Bertolak dari kaidah ini, jelaslah bahwa cara berpakaian, cara makan, sarana transportasi, komunikasi dan hasil kemajuan teknologi lainnya tidak bisa disebut bid’ah secara syar’i, karena kesemuanya tidak memenuhi kriteria di atas.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel http://www.muslim.or.id
[1]) Yang artinya: Semua bid’ah adalah kesesatan, dan semua kesesatan berada di Neraka.
[2]) Seperti yang dinyatakan oleh Novel Alaydrus dalam buku: Mana Dalilnya 1, hal 17.
[3]) Beliau ialah Al Imam Al Lughawy Abu Thahir Majduddien Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin ‘Umar Asy Syirazi Al Fairuzabadi. Lahir di Karazin-Persia, pada tahun 720H. Sejak kecil beliau telah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Beliau hafal Al Qur’an dan pandai menulis sejak umur tujuh tahun, dan ini merupakan sesuatu yang langka untuk bocah seusia itu. Kehausannya dalam mencari ilmu mengharuskannya untuk mengembara ke Irak, Syam, Mesir, Hijaz, Romawi, India dan akhirnya menetap di desa Zabid, Yaman. Diantara gurunya ialah Ibnul Qayyim, Ibnu Hisyam, dan Taqiyyuddin As Subky. Karyanya cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu, seperti bahasa Arab, tafsir, tarikh, biografi, hadits, dan fiqih. Beliau wafat di Zabid, malam Selasa bulan Syawal tahun 817 H, dalam usia mendekati 90 tahun tapi penglihatan dan pendengarannya masih prima. (Muqaddimah Al Qomus Al Muhith, hal 9-15 cet. Muassasah Ar Risalah, Beirut-Libanon )
[4]) Al Qomus Al Muhith, hal 1303-1304. cet. Muassasah Ar Risalah.
[5]) Paragraf ini dan yang setelahnya kami sadur dari kitab: Al Inshaf fiima Qiila fi Maulidin Nabiyyi minal Ghuluwwi wal Ijhaaf, (تتمة نافعة) tulisan syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairy.
[6]) Lihat Al Qomus Al Fiqhy, 1/183.
[7]) Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, no 705; juga oleh At Tirmidzi dalam Sunan-nya, no 172.
[8]) H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan katanya: hadits ini hasan shahih gharib. Disini hanya kami cuplikkan sebagian dari hadits seutuhnya yang cukup panjang.
[9]) Al Inshaf Fiima Qiila fil Maulid Minal Ghuluwwi wal Ijhaaf, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairy.
[10]) Beliau ialah Al ‘Allamah Al Lughawy Abu Manshur, Muhammad bin Ahmad ibnul Azhar Al Azhary Al Harawy Asy Syafi’iy. Lahir sekitar tahun 282 H. Beliau adalah Imam dalam bahasa Arab dan fiqih. Seorang ulama yang tsiqah dan taat beragama. Diantara karya ilmiahnya ialah: Tahdzibul Lughah, Kitab At Tafsir, Tafsir Alfaazhul Muzany, ‘Ilalul Qira’ah, Ar Ruh, Al Asma’ul Husna dan lainnya. Beliau wafat pada Rabi’ul Akhir tahun 370 H, pada usia 88 tahun (As Siyar, 3/3212-3213)
[11]) Lihat Tahdziebul Lughah, pada kata (بدع).
[12]) Beliau ialah Al Imam Shahibul ‘Arabiyyah, Al Khalil bin Ahmad bin ‘Amru Al Azdy Al Farahidy Al Bashry. Beliau adalah peletak dasar-dasar ilmu ‘Arudh, orang terdepan dalam hal bahasa Arab, taat beragama, wara’, penuh qana’ah, tawadhu’ dan amat disegani. Beliau berguru kepada Ayyub As Sikhtiyani, ‘Ashim Al Ahwal dan lainnya. Darinyalah Imam Sibawaih menimba ilmu nahwu, demikian pula An Nadhar bin Syumeil, Al Ashma’iy dan yang lainnya. Beliau adalah orang yang super cerdas. Lahir tahun 100H. Diantara karyanya ialah Kitabul ‘Ain (ع), namun belum selesai. Beliau wafat tahun 169 atau 170 H -rahimahullah- (As Siyar, 2/1636).
[13]) Lihat Kitaabul ‘Ain, 2/54.
[14]) Tahdziebul Lughah, pada kata (بدع).
[15]) Ibid. Perhatikan bagaimana Az Zajjaj membedakan antara definisi bid’ah lughawi dengan syar’i. Ia tak sekedar mengatakan bahwa bid’ah adalah melakukan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Namun ungkapan selanjutnya menegaskan siapakah pelaku bid’ah itu, yaitu orang-orang yang berbuat menyelisihi sunnah (ajaran) Rasulullah e. Jadi jelaslah bahwa yang dimaksud bid’ah secara syar’i khusus berkaitan dengan agama yang diajarkan Rasulullah e. Sehingga apabila beliau menyatakan bahwa bid’ah itu sesat, maka bid’ah di sini ialah bid’ah secara syar’i.
[16]) At Ta’riefaat 1/13. Oleh Al Jurjani.
[17]) Mengenai maslahat mursalah akan kami bahas secara terpisah pada bab: Antara bid’ah dan Maslahat Mursalah hal 44.
Dari artikel Ini Dalilnya (3): Tidak Semua yang Baru Berarti Bid’ah — Muslim.Or.Id by null
Maaf mas Heri…
Untuk masalah Bid’ah yg katanya ulama Wahabi/Salafi gak ada bid’ah hasanah…
Mau tanya pengertian dari hadist yg kalau gak salah bunyinya gini:
“Barang siapa yg melakukan bid’ah dholalah, dia masuk neraka” kalau gak salah dr hadist Muslim (ntar saya cari dulu ya , soalnya gak hafal).
Dari hadist di atas berarti kan ada pengkhususan, bahwa yg bid’ah dholalah saja yg masuk kategori masuk neraka. Kalau di hadist tsb disebut ttg bid’ah dholalah, berarti ada bid’ah hasanah juga dong”
Salafi/Wahabi kan anti Maulid Nabi kan? Padahal itu cuma setahun sekali…
Gimana dengan para Imam yg namanya disebut oleh mas Hery, contoh Imam Syafi’I yg katanya membagi bid’ah hanya dr segi bahasa saja. Lantas koq Imam Syafi’I melakukan bid’ah hasanah dengan membuat redaksi shalawat sendiri? (Tentunya gak apa2 kalau di luar sholat)
Imam Syafi’I juga khatam 60 kali baca Qur’an di bulan Ramadhan, pdhl Nabi Saw gak pernah nyuruh buat ngatamin al-Qur’an sampai 60 kali pas Ramadhan kan?
Imam Malik Ra gurunya Imam Syafi’I kl mau menyampaikan hadist selalu wudhu dulu, dan shalat sunnah dulu 2 raka’at. Ini bid’ah to mas Hery? Bid’ah hasanah tentunya…
Begitu jg dg Imam Bukhari dan para Imam lainnya…seperti Ibnu Hajar al-Astqolani, Imam Nawawi, Imam Bukhari, dsb…
Kalau para Imam2 yg anda sebut saja pada melakukan bid’ah hasanah….sebaiknya anda gak usah masukkan nama2 mereka sebagai referensi anti bid’ah hasanah. Krn tokh jd kontradiksi…
Mungkin mahasiswa Madinah yg nulis artikel di atas gak mempelajari sejarah hidupnya Imam Syafi’I dan Imam2 yg dia sebutkan, jadi gak ngerti kalau Imam Syafi’I dan Imam yg lainnya pada melakukan bid’ah hasanah…
Oh ya, satu lagi…anda tadi menyinggung soal imam al-Ghazali
Yang saya tahu, imam al-Ghazali itu kasyaf…beliau sering berjumpa dengan nabi Muhammad Saw dalam keadaan tidur /bermimpi maupun jaga…
Beliau memang dinilai banyak mengambil hadist2 yg lemah bahkan hadist yg tidak ada asal-usulnya…
Tapi sebenarnya beliau mengambil hadist2 lemah itu untuk menempa diri sendiri agar mampu bersikap zuhud terhadap dunia. Dan bisa saja beliau dapatkan hadist2 tsb langsung dr Rasulullah Saw dalam mimpi2 beliau maupun dalam keadaan beliau sdg terjaga dlm khalwatnya.
Tapi yg jelas, kita patut bersyukur dengan karya ulama macam Imam Ghazali ini, krn beliau banyak menceritakan penglihatan bathin/kasyaf dan memberi panduan kepada umat muslim agar tidak tersesat manakala penglihatan bathinnya dibukakan oleh Allah Swt.
Kasyaf itu ada mas…dan ada tingkatannya. Namun banyak orang yg berhenti krn lebih asyik dengan apa yg dilihatnya, lupa dg tujuan semula yaitu mencari ridha-Nya.
Orang yg dibukakan sedikit penglihatan ttg dimensi jin, malah pd akhirnya banyak yg asyik di situ…asyik mencari jin, asyik membicarakan jin, asyik bergaul dg jin…ini tentunya jd melenceng.
Imam Ghazali dan syekh Abdul Qadir Jilani memberikan panduan agar umat Islam yg dibukakan kasyaf itu tidak tersesat, krn setan dan iblis tidak akan terima manusia mendapatkan kedudukan yg mulia di sisi Allah Swt, mrk akan terus mengintai mencari celah agar manusia tersesat, sehingga lupa akan tujuan hidupnya semula.
Oleh krn itu, muslim yg dibukakan mata bathinnya oleh Allah Swt perlu guru pembimbing agar tidak tersesat. Perlu baca juga buku2 dari ulama yg mengalami hal yg serupa. Kalau yg saya dengar dr guru suami saya, kasyaf itu bukan tujuan, tapi bisa sbg alat untuk menambah keimanan. Dengan diperlihatkan dimensi lain selain alam yg kita tahu ini, akan menambah keimanan kita kpd Allah Swt bahwa Allah Maha Mencipta…baik mencipta makhluk-Nya maupun alam2/dimensi…Maha Luas tak terbatas (sehingga kita tidak boleh mensifati-Nya dengan bentuk2 tubuh secara dhohir, krn dengan mensifati bentuk tubuh scr dhohir berarti ada ukuran dan ada batasan pd Dzat Allah)
Ulama ahlusunnah non-Wahabi/Salafi banyak yg kasyaf…dan ini bukan dongengan. Krn mrk diperlihatkan ttg dimensi alam lain di luar nalar manusia, membuat mrk berakidah Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat. Mustahil menunjuk pd arah, manakala sudah berada di suatu dimensi yg berbeda dg dimensi alam kita…
Kalau ulama Wahabi/Salafi hanya percaya yg dhohir saja…wajar, krn mrk belum pernah dibukakan mata batinnya. Namun janganlah krn hal ini mrk jd sembrono, mengejek Imam al-Ghazali, menganggao aneh dan tidak rasional…mengejek ulama Sufi…mengejek para habib dan ulama di luar golongan mereka.
Seandainya, entah krn apa tiba2 Allah membukakan mata bathin mas Hery…sehingga terlihat hal2 yg ghaib. Kemana mas Hery akan mencari tahu ttg apa yg dialami mas Heri kalau tidak mencari referensi pd ulama yg kasyaf?
Apakah mas Heri akan tanya pd ulama Wahabi yg gak ngerti kasyaf itu apa? Yg ada mas Hery dijadikan bahan ejekan mereka…
Maka bersyukurlah ada kitab karangan Imam Ghazali yg menyentil ttg kasyaf, krn sangat membantu sekali bagi saudara2 kita yg dibukakan mata bathinnya oleh Allah Swt…
Imam Ghozali ahli tasawuf …….apakah masuk neraka karena sesat ??????? mohon pencerahannya mas Heri ……..
Saudara hery …
Saya ucapkan banyak terima kasih dari sekian panjangnya kutipan anda.
Dan kerena ini topiknya tahlilan…maka saya minta penjelasan bertolak dari kutipan anda yaitu :
” Berkaitan dengan agama, bukan dengan urusan duniawi.
Bersifat baru dan belum pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bersifat menyaingi syari’at Allah dan Rasul-Nya.
Tidak selaras dengan dalil-dalil syar’i.”
Pertanyaan saya adalah :
1) Tahlilan MENYAINGI syari’at yg mana ?
2) Tahlilan TIDAK SELARAS dgn dalil syar’i….bisakah anda sebutkan dalilnya ?
ijin nyimak……?
Tahlilan tidak ada yang salah, lah wong enaaak banyak dapat berkat (besek), dan ustad juga makmur dapat amplop, kok ribut.
Nah kan bagus uangnya jadi terus tersalurkan demi kepentingan ummat (kenyang). Nah yang tidak punya uang, jangan khawatir nanti disumbang oleh mereka yang seperti mewajibkan tahlilan.
Yang tidak suka tahlilan, uangnya jangan dipendam, digunakan untuk menolong Agama Alloh.
Nah silakan pilih deh bagus yang mana, yang terlalu banyak bicara dalil, pusing. Lah wong cara sederhana saja sudah jelas.
Mohon maaf, memang imam-imam yang sering disebut dalam diskusi diatas, pangkat beliau apa sih ? Kok seolah-olah mereka tidak bisa salah. Apa orang setelah mereka tidak ada lagi yang memiliki kemampuan melebihi mereka ?
Bisa saja Bung Zon jauh lebih pintar dari mereka. Memang dalil mana yang menetapkan mereka itu ma’sum ?
Lama-lama anak muda semakin tertarik mengikuti Islam Liberal nih ?
Karena kok seolah-olah otak/ daya pikir-dzikir tidak mendapat tempat lagi dalam Islam, kokotak hanya dipakai untuk berdebat saja.
Sudah deh pulang tidur, besok pergi ke pantai atau ke gunung, pikirkan tuh ciptaan Alloh.
Astaghfirulloh,
Wallohua’lam bishshawaab,
Saudara Nadjib yang baik..
Pertanyaan dari tulisan anda….
Siapa yg (seperti) mewajibkan tahlilan ?
Apakah orang yang maksum tidak pernah berbuat salah ?
Untuk masalah Bid’ah, ini copas dr bantahan habib Munzir terhadap copasan simpatisan Salafi/Wahabi yg pakai ucapan palsu para Imam:
Ibn Rajab atau anda membelokkan maknanya, sebagaimana dijelaskan :
قال الحافظ ابن رجب في كتاب جامع العلوم والحكم فيه تحذير للأمة من اتباع الأمور المحدثة المبتدعة وأكد ذلك بقوله كل بدعة ضلالة والمراد بالبدعة ما أحدث مما لا أصل له في الشريعة يدل عليه وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا وإن كان بدعة لغة.
Berkata Al hafidh Ibn Rajab dalam kitabnya Jami’ul Uluum walhikam yg padanya peringatan bagi ummat dari mengikuti hal hal yg baru diada adakan, dan itu dikuatkan dg hadits : “semua Bid’ah adalah sesat” maka yg dimaksud Bid;ah adalah yg tak ada asal usulnya dalam syariah yg menjadi penjelasnya, adapun apa apa yg ada asal usulnya dalam syariah maka hal itu tak bisa disebut Bid’ah dalam makna syariah, walaupun ia tetap disebut Bid’ah dalam makna bahasa. (Aunul Ma’bud Juz 12 hal 235)
وقال ابن رجب في كتابه جامع العلوم والحكم ما لفظه جوامع الكلم التي خص بها النبي صلى الله عليه وسلم نوعان أحدهما ما هو في القران كقوله تعالى إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي قال الحسن لم تترك هذه الاية خيرا إلا أمرت به ولا شرا إلا نهت عنه والثاني ما هو في كلامه صلى الله عليه وسلم وهو منتشر موجود في السنن المأثورة عنه صلى الله عليه وسلم انتهى
Berkata Ibn Rajab dalam kitabnya Jami’ul Uluum walhikam bahwa lafadhnya : kumpulan seluruh kalimat yg dikhususkan pada nabi saw ada dua macam, yg pertama adalah Alqur’an sebagaimana firman Nya swt : “Sungguh Allah telah memerintahkan kalian berbuat adil dan kebaikan, dan menyambung hubungan dg kaum kerabat, dan melarang kepada keburukan dan kemungkaran dan kejahatan” berkata Alhasan bahwa ayat ini tidak menyisakan satu kebaikanpun kecuali sudah diperintahkan melakukannya, dan tiada suatu keburukan pun kecuali sudah dilarang melakukannya.
Maka yg kedua adalah hadits beliau saw yg tersebar dalam semua riwayat yg teriwayatkan dari beliau saw. (Tuhfatul Ahwadziy Juz 5 hal 135)
Justru dalam kitab Jaami’ul uluum dijelaskan bahwa yg dimaksud semua Bid;ah sesat secara bahasa memang jelas bahwa semua bid’ah adalah sesat, namun makna Bid;ah secara syariah adalah semua Bid’;ah yg tak ada asal usul dari agama (Jaami’ul Uluum walhikam Juz 1 hal 266)
**
Anda kembali mendustakan atau anda tak memahami ucapan Imam Ibn Hajar :
ما أحدث وليس له أصل في الشرع ويسمى في عرف الشرع بدعة وما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة، فالبدعة في عرف الشرع مذمومة بخلاف اللغة فان كل شيء أحدث مثال يسمى بدعة سواء كان محمودا أو مذموما وكذا القول في المحدثة وفي الأمر المحدث الذي ورد في حديث عائشة من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد كما تقدم شرحه ومضى بيان ذلك قريبا في كتاب الأحكام وقد وقع في حديث جابر المشار اليه وكل بدعة ضلالة وفي حديث العرباض بن سارية وإياكم ومحدثات الأمور فان كل بدعة ضلالة وهو حديث أوله وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظة بليغة فذكره وفيه هذا أخرجه احمد وأبو داود والترمذي وصححه بن ماجة وابن حبان والحاكم وهذا الحديث في المعنى قريب من حديث عائشة المشار اليه وهو من جوامع الكلم قال الشافعي البدعة بدعتان محمودة ومذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم أخرجه أبو من طريق إبراهيم بن الجنيد عن الشافعي
وجاء عن الشافعي أيضا ما أخرجه البيهقي في مناقبه قال المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال وما أحدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه محمودة انتهى وقسم بعض العلماء البدعة الى الأحكام الخمسة وهو واضح.
“semua hal baru yg tak ada asal/dalil dalam syariah dinamakan Bid’ah, namun apa apa yg ada dasar syariahnya maka bukanlah Bid’ah,
maka kalimat Bid’ah dalam makna syariah adalah hal yg buruk, namun berbeda dengan makna bahasa, karena dalam bahasa kesemua hal baru disebut Bid’ah, sama saja apakah itu yg baik atau yg buruk, demikian pula dalam hal hal baru, sebagaimana hadits yg diriwayatkan oleh Aisyah ra: “barangsiapa yg membuat hal baru dalam urusan kami (syariah) yg bukan dari syariah maka ia tertolak”, sebagaimana penjelasannya sudah kukemukakan beserta penjelasannya dalam kitab Al Ahkam, lalu pula terjadi pada hadits riwayat Jabir ra : “Semua yg bid;ah adalah sesat”, demikian pula hadits riwayat Al Irbadh bin Saariyah ra : “Hati hatilah dg hal yg baru, maka sungguh semua yg bid;ah itu sesat”, hadits itu diawali dengan wasiat Nabi saw pada kami dengan wasiat yg indah, maka disebutlah hadits itu, hasdits itu dikeluarkan oleh Ahmad, dan Abu Dawud, dan Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ibn Majah, dan Ibn Hibban dan Hakim, maka hadits ini dg makna yg dekat dg hadits Aisyah sebagaimana disebutkan, dan terpadu padanya banyak sumber pemahaman kalimat, dan berkata Imam Syafii bahwa Bid;ah terbagi dua, Bid;ah terpuji dan Bid;ah tercela, maka hal hal baru yg sesuai dg sunnah maka ia terpuji, dan yg tak sesuai dg sunnah maka tercela, demikian diriwayatkan dari Abu, dari Ibrahim bin Aljuneid, dari Assyafii.
Dan juga datang dari riwayat Assyafii sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dalam manakibnya, bahwa hal hal baru adalah dua macam : yaitu apa apa dari hal baru yg bertentangan dg Kitab dan Sunnah atau Atsar sahabat, atau Ijma; ulama maka itu adalah Bid;ah dhalalah, dan hal hal baru berupa kebaikan yg tak bertentangan dg hal hal diatas maka hal itu terpuji.
Dan sebagian para Ulama telah membagi Bid’ah kepada 5 hukum, dan hal ini telah jelas. (Fathul baari Almasyhur Juz 13 hal 254)
Inilah ucapan Imam Ibn hajar dalam kitabnya Fathul Baari yg anda sebutkan namun anda memebelokkan maknanya atau memang tidak memahaminya, atau keduanya.
berkata Al hafidh Imam Nawawi mengenai hadits riwayat shahih Muslim no.1017 ini :
هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة
pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yg baru adalah Bid’ah, dan semua yg Bid’ah adalah sesat”, sungguh yg dimaksudkan adalah hal baru yg buruk dan Bid’ah yg tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
@ mas Heri, coba anda bandingkan tulisan para Imam yg ditulis oleh habib Munzir dengan yg ditulis ulama Salafi/Wahabi. Supaya jelas bagian mana yg dipotong…
pening juga ngikuti dialog ini,. tp bagus juga untuk nambah pengetahuan dari mas-mas yang pandai berdalil ini… gak seperti aku yang cuma tahu 1 dalil tok ” inna kholaktul jinna wal insa illaa liya’b… berarti segala sesuatu bisa jadi ibadah dong asal niat lillahi ta’ala..
( maaf cuma ikut nimbrung hehehehe)
nyimak ….
Selama mengikuti diskusi ini , kok sepertinya Sdr hery memaksakan kehendaknya…………….apa ndak keliru itu. yang namanya BEDA yan tetap BEDA sampai akhir dunia tidak mungkin SAMA. Ada baiknya tidak usah mengoreksi amal orang lain. kalo anda Yakin dengan apa yang anda yakini mbok ya dipakai sendiri aja tidak usah dipaksakan harus diyakini oleh orang lain tentang apa yang anda yakini……………. terima kasih. monggo dilanjut ijin menyimak.
mas Heri bahkan menurut Ibnu Taimiyyah dan Syaikh al-Utsaimin orang mati bisa mendapatkan manfaat dari bacaan al-Qur’an dan amal-amal lainnya.Lihat ; Majmu’ Fatwa Ibnu Taimiyah dan Majmu’ Fatawa wa Rasaail al-Utsaimin…….
Dalam prakteknya kaum Muslimin bersama-sama melakukan kegiatan ini ketika ada umat Islam yang wafat diantara mereka. Kegiatan ini justru di abadikan dalam kitab-kitab para Imam, seperti : Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w 620 H) mengabadikan informasi ini didalam kitab al-Mughni [2/242] :
وقال بعضهم: إذا قرئ القرآن عند الميت، أو أهدي إليه ثوابه، كان الثواب لقارئه، ويكون الميت كأنه حاضرها، فترجى له الرحمة. ولنا، ما ذكرناه، وأنه إجماع المسلمين؛ فإنهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرءون القرآن، ويهدون ثوابه إلى موتاهم من غير نكير
“Ketika dibacakan al-Qur’an disamping orang mati atau menghadiahkan pahalanya kepada orang mati maka ada pahala bagi pembacanya sedangkan orang mati seperti orang yang hadlir, maka diharapkan orang mati tersebut mendapatkan rahmat. Dan bagi kami, apa yang telah kami sebutkan, bahwa kegiatan tersebut merupakan ijma’ kaum Muslimin, karena sesungguhnya mereka pada setiap masa dan kota berkumpul bersama-sama, mereka membaca al-Qur’an dan mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang mati diantara mereka tanpa ada yang mengingkarinya”……
@Mas Mamo
Kitabnya asli kan? Mudah2an nanti ga ada yang tahqik.
Mba Shinta :
1) Mengenai bid’ah sya dah sampaikan kutipan dari salah seorang ustad,
“Barang siapa yg melakukan bid’ah dholalah, dia masuk neraka” kalau gak salah dr hadist Muslim (ntar saya cari dulu ya , soalnya gak hafal).
>>> ya terserah mba kalau memang tetep pada adanya bid’ah hasanah; monggo silahkan saja. Dalam hadist tersebut, itu persepsi anda saja mengatakan adanya bid’ah hasanah. Tdk ada hadits yg secara pasti mengatakan itu, sedangkan mengenai sunnah, sangat jelas hadisnya (ada sunnah hasannah dan sunnah sayyiah). Ok lah bid’ah hasanah yg dimaksud Imam Syafi’I merupakan bid’ah secara lughowi..menurut salaf…, akan tetapi menurut pemahaman sya terkadang beda persepsi bid’ah hasanah yg dimaksudkan Imam dg pengikutnya di Indonesia, sehingga berargumen bahwa Imam Syafi’I membolehkan bid’ah hasanah, oleh karena itu kita juga boleh membuat a’malan2 baru (“yg baik menurut pelakunya”). Begini mba sya mau menanyakan:
>> Tahlilan apakah ibadah…?? , terus hukum asal ibadah menurut imam syafi’i seperti apa…??
>> Rosulullah SAW kalau ada yg meninggal apakah melakukan gelar do’a bersama di rumah mayyit, terutama pada hari2 tertentu sebagaimana tahlilan (terlebih2 ada bacaan khusus yg sudah menjadi kebiasaan dan seolah2 itu adalah ajaran Rosulullah SAW), terus juga makan2 (kalau nda salah Rosul malahan mengharamkan..) …??
>>dalam tahlilan ada tawassul tradisi kirim fatihah, ke rosul, ke leluhur, bahkan ke malaikat muqorrobbin (kalau ga salah)…., sya mau menanyakan …kenapa harus kirim2 pahala/bacaan tersebut dan fungsinya apa…??
2) Salafi/Wahabi kan anti Maulid Nabi kan? Padahal itu cuma setahun sekali…
Gimana dengan para Imam yg namanya disebut oleh mas Hery, contoh Imam Syafi’I yg katanya membagi bid’ah hanya dr segi bahasa saja. Lantas koq Imam Syafi’I melakukan bid’ah hasanah dengan membuat redaksi shalawat sendiri? (Tentunya gak apa2 kalau di luar sholat).
>>> Maulid itu sama dg natal kan mba…??memperingati hari kelahiran …?? Prinsip sya a’malan itu perlu perintah dari Allah dan Rosul-Nya…, kalau membuat2 sendiri…sya khawatir mba sinta…kita dianggap ga mau mengikuti sunnah rosulullah SAW dalam menjalankan agaman ini…
3) Imam Syafi’I juga khatam 60 kali baca Qur’an di bulan Ramadhan, pdhl Nabi Saw gak pernah nyuruh buat ngatamin al-Qur’an sampai 60 kali pas Ramadhan kan?
>>> Kalau Imam Syafi’I mewajibkan diri harus seperti itu, ini namanya memberatkan diri sendiri. Namun sya yakin Imam Syafii bukan mewajibkan diri untuk khatam 60 kali. Kalau anda sanggup hatam 2 kali, 3 kali, berapapun dalam ramadhan…apakah anda akan berdosa…?? Yg sesat menurut sya adalah anda mewajibkan diri sendiri bahkan kepada orang lain bahwa di bulan ramadhan wajib hatam qur’an sekian kali…
4) Imam Malik Ra gurunya Imam Syafi’I kl mau menyampaikan hadist selalu wudhu dulu, dan shalat sunnah dulu 2 raka’at. Ini bid’ah to mas Hery? Bid’ah hasanah tentunya…
Imam malik sendiri mengatakan bahwa yg melakukan bid’ah berarti menganggap Rosulullah SAW berkhianat atas kerasulannya, artinya rosul dianggap menyembunyikan hal2 yg seharusnya disampaikan. Disitu imam malik tdk berkata bid’ah hasanah. Oleh karena itu pemahaman sya Imam malik tahu persis mana yg masuk bid’ah menurut syariat, dan mana yg bukan.
Mba sinta , kalau mba menghafal mau ujian, terus mba wudhu…?? Dosa ga…? Sesat nda..menurut mba…??
5) Mungkin mahasiswa Madinah yg nulis artikel di atas gak mempelajari sejarah hidupnya Imam Syafi’I dan Imam2 yg dia sebutkan, jadi gak ngerti kalau Imam Syafi’I dan Imam yg lainnya pada melakukan bid’ah hasanah…
>>silahkan saja itu persepsi anda, menurut sya tulisan beliau..cukup ilmiah , dan sebagian ummat islam menyetujuinya, kecuali NU/Tasawuf dan mungkin juga syi’ah..
6) Oh ya, satu lagi…anda tadi menyinggung soal imam al-Ghazali
Yang saya tahu, imam al-Ghazali itu kasyaf…beliau sering berjumpa dengan nabi Muhammad Saw dalam keadaan tidur /bermimpi maupun jaga…
Beliau memang dinilai banyak mengambil hadist2 yg lemah bahkan hadist yg tidak ada asal-usulnya…
Tapi sebenarnya beliau mengambil hadist2 lemah itu untuk menempa diri sendiri agar mampu bersikap zuhud terhadap dunia. Dan bisa saja beliau dapatkan hadist2 tsb langsung dr Rasulullah Saw dalam mimpi2 beliau maupun dalam keadaan beliau sdg terjaga dlm khalwatnya.
>>> Oleh karena itulah terkadang kitab2 yg masih tercampur dalil yg lemah, palsu, shahih, itu perlu ditahqiq…., kalau kasyaf, bermimpi ketemu dg Rosulullah SAW… Itu masih perlu dipertanyakan…?? Betul memang tdk ada yg bisa menyerupai Rosulullah SAW dlm mimpi. Ulama salaf mengatakan bahwa bagi orang yg belum pernah bertemu beliau dalam keadaan hidupnya…, bisa saja setan mengaku sbg Rosulullah SAW (karena kita kan ga tahu muka rosul seperti apa, didalam hadist itu Syetan tdk bisa menyerupai Rosul dalam mimpi…, kalau mengaku ngaku itu bisa saja bukan…??), oleh karena itu haruslah bersandar kepada Al Qur’an dan As-Sunnah..bukan kepada mimpi2 dalam menjalankan Islam ini…
Mengenai Imam ghazali masuk neraka atau tdk..?? wah emang sya ini siapa bung…?? Itu kewenangan Allah SWT…, apakah Allah akan mengampuni dosa hambanya atau tidak itu kewenangan Allah SWT…, bukankah ada pelacur yg memberi minum anjing..akhirnya diampuni oleh Allah SWT…?? Yg bisa kita lakukan adalah berusaha semampu kita untuk mencari bekal di akhirat nanti..yg sesuai Al Qur’an dan As-Sunnah..,adapun perkara diampuni dosa atas kemaksiatan ataupun ketidaksengajaan tersesat (karena kejahilan).. itu Hak Allah SWT.
7) Menurut Mba Orang yg kasyaf kadang terlena, jadi tersesat. Ya…karena perkara dibukakan mata bathin atau apalah namanya..itu hak Allah, dan kewajiban kita adalah mentaati Allah dan Rosul-Nya (menjalankan Islam, Iman, Ikhsan). Oleh karena itu barometernya adalah AL QUr’an dan As-sunnah, jangan sampai orang yg menurut anda kasyaf…padahal yg membukakan mata bathinnya itu adalah syetan..jadilah tersesat. Banyak yg gila, terus dzikir2 sampai ribuan..dll.., ini dah keluar dari sunnah Rosulullah SAW…?? Sebenarnya apa yg ingin dicari itu …??? Kasyaf…?? Atau mencari ridho Allah…?? Ok lah mungkin ulama tasawuf ngerti ini…??namun yg mengikutinya kadang melenceng?? Al hallaj pun yg mungkin ilmu kasyafnya sudah diluar batas..maka jadi error…
Allah tdk mengingikan kita terbebani dg syariat Islam, oleh karena itu Rosulullah SAW sbg teladan terbaik Ummat ini sudah mengajarkan bagaimana dzikir dalam islam dg hitungan2 tertentu yg menurut fitrah manusia itu dapat dilakukan dg wajar …(dan itupun kita kadang ga mampu menjalankan smuanya ..karena malas atau sibuk, dll). Firman Allah : Laa taghluu fidinikum..(jangan berlebih2an dalam agamamu..).
Terkadang pengikut tarekat lebih menyukai dzikir2 tarekat dg hitungan2 khusus, dan mengabaikan sunnah Rosulullah SAW…., ya mungkin dia tdk bermaksud bgtu. Namun faktanya banyak dzikir2 sunnah Rosul yg terabaikan…., maka sungguh bahagianya Ahlusunnah itu..yg berusaha menghidupkan kembali sunnah rosulullah SAW yg banyak ditinggalkan ummatnya…
8) Untuk masalah Bid’ah, ini copas dr bantahan habib Munzir terhadap copasan simpatisan Salafi/Wahabi yg pakai ucapan palsu para Imam: @ mas Heri, coba anda bandingkan tulisan para Imam yg ditulis oleh habib Munzir dengan yg ditulis ulama Salafi/Wahabi. Supaya jelas bagian mana yg dipotong…
>>>begini mba Sinta…, informasi ini bersifat sepihak, yg mba klaim asli…belum tentu juga itu asli, dan berbagai kemungkinan klaim lainnya bisa saja terjadi. dan sya juga khawatir keliru dalam berkomentar…, lebih baik mba bukukan beberapa hal yg menurut mba merupakan manipulasi terhadap karya2 ulama.., kemudian berikan komentar dan minta klarifikasi pada ustadz salafy atau bahkan langsung ke dewan fatwa arab saudi. Mudah2an ini menjadi amalam mba Sinta…kalau mba merasa ada manipulasi..dan jg sebagai perjuangan menolong agama Allah.
9). salafy totok
Selama mengikuti diskusi ini , kok sepertinya Sdr hery memaksakan kehendaknya…………….apa ndak keliru itu. yang namanya BEDA yan tetap BEDA sampai akhir dunia tidak mungkin SAMA. Ada baiknya tidak usah mengoreksi amal orang lain. kalo anda Yakin dengan apa yang anda yakini mbok ya dipakai sendiri aja tidak usah dipaksakan harus diyakini oleh orang lain tentang apa yang anda yakini……………. terima kasih. monggo dilanjut ijin menyimak.
>>> Sya hanya berusaha menyampaikan pemahaman sya.., kalau anda ga sepakat..ya ga apa2…,
10).
mas Heri bahkan menurut Ibnu Taimiyyah dan Syaikh al-Utsaimin orang mati bisa mendapatkan manfaat dari bacaan al-Qur’an dan amal-amal lainnya.Lihat ; Majmu’ Fatwa Ibnu Taimiyah dan Majmu’ Fatawa wa Rasaail al-Utsaimin…….
>>> kalau kita sholat jenazah, itu dalam rangka memohon ampunan Allah SWT bagi si mayyit. Oleh karena itu yg bisa kita lakukan adalah mendoa’akan, dan mengikuti apa yg diajarkan Rosulullah SAW dan para sahabatnya dalam melakukan amalan bagi yg meninggal…, bacaan Al Qur’an kalau kita niatkan untuk si mayyit (kalau memang pernah diajarkan oleh Rosul dan sahabat-Nya …ya pasti sampai) … Namun Imam Syafi’i kalau ga salah beliau menyampaikan bahwa pahala membaca Al Qur’an itu adalah untuk yg membacanya. Wallohu a’lam, missal kita baca AL Qur’an, terus berdoa: ya Allah mohon pahala bacaan Al Qur’an ini disampaikan kepada kakek sya yg telah meninggal…, ini yg bisa kita lakukan..hanya berdo’a…kalau sampai ya syukur..kalau nda..ya pahalanya buat pembaca-Nya. Ulama yg anda sebutkan mungkin seperti ini yg dimaksud…, namun perlu anda ketahui mereka bukan dalam rangka memberikan persetujuan dg ritual tahlilan.
11).
Dalam prakteknya kaum Muslimin bersama-sama melakukan kegiatan ini ketika ada umat Islam yang wafat diantara mereka. Kegiatan ini justru di abadikan dalam kitab-kitab para Imam, seperti : Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w 620 H) mengabadikan informasi ini didalam kitab al-Mughni [2/242] :
“Ketika dibacakan al-Qur’an disamping orang mati atau menghadiahkan pahalanya kepada orang mati maka ada pahala bagi pembacanya sedangkan orang mati seperti orang yang hadlir, maka diharapkan orang mati tersebut mendapatkan rahmat. Dan bagi kami, apa yang telah kami sebutkan, bahwa kegiatan tersebut merupakan ijma’ kaum Muslimin, karena sesungguhnya mereka pada setiap masa dan kota berkumpul bersama-sama, mereka membaca al-Qur’an dan mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang mati diantara mereka tanpa ada yang mengingkarinya”……
>>> DIHARAPKAN orang mati mendapat rahmat. Artinya ini sebuah harapan kita…, ya mudah2an saja…
>>> terus membacanya, apakah bareng2…tiap orang baca dan menjadi ribut …?? Dalam al qur’an : “Dan Jika dibacakan AL Qur’an, maka dengarkanlah, diamlah, mudah2an kamu dirahmati”.
Mas Hery said:
ya terserah mba kalau memang tetep pada adanya bid’ah hasanah; monggo silahkan saja. Dalam hadist tersebut, itu persepsi anda saja mengatakan adanya bid’ah hasanah. Tdk ada hadits yg secara pasti mengatakan itu, sedangkan mengenai sunnah, sangat jelas hadisnya (ada sunnah hasannah dan sunnah sayyiah). Ok lah bid’ah hasanah yg dimaksud Imam Syafi’I merupakan bid’ah secara lughowi..menurut salaf…, akan tetapi menurut pemahaman sya terkadang beda persepsi bid’ah hasanah yg dimaksudkan Imam dg pengikutnya di Indonesia, sehingga berargumen bahwa Imam Syafi’I membolehkan bid’ah hasanah, oleh karena itu kita juga boleh membuat a’malan2 baru (“yg baik menurut pelakunya”). Begini mba sya mau menanyakan:
>> Tahlilan apakah ibadah…?? , terus hukum asal ibadah menurut imam syafi’i seperti apa…??
Jawab:
Kata “kullu” itu kan bisa berarti sebagian besar Mas Hery…
Dan untuk mengetahui maknanya harus ada yg namanya ilmu, baik ilmu nahwu, balagoh, dsb…
Kalau main hantam kromong dengan mengatakan bahwa arti kata “kullu” adalah “semua tanpa kecuali” maka bisa bahaya…kalau diterapkan dalam al-Qur’an bahwa kata “kullu” harus diartikan sebagai “semua tanpa kecuali” maka akan terjadi kontradiksi…
Jadi untuk mengetahui maknanya harus ada perbandingan antar hadist, termasuk hadist “barangsiapa yg melakukan bid’ah dholalah, maka ia masuk neraka”.
Amalan2 baru asalkan tidak menambah2i ibadah yg syariatnya sudah baku saya rasa tidak masalah…
Untuk soal tahlilan, semua ulama juga tahu kalau tahlilan hanya tradisi saja, dan bukan ibadah baku. Semua ulama juga tahu kalau gak ada yg mewajibkan tahlilan.
Tapi inti dari tahlilan itu apa sih? Ya intinya mengingat Allah, mengingat mati…baca dzikir bersama, baca doa bersama, intinya adalah kebersamaan…
Kalau pun Rasulullah Saw tidak melakukan tahlilan, bukan berarti Rasulullah Saw men-cap tahlilan sesat…
Kalau Rasulullah Saw hidup dimasa sekarang kemudian tahu kalau isi tahlilan hanya baca dzikir, baca yasin, berdoa bersama, silaturohim antar keluarga dan tetangga, apakah Rasulullah Saw akan mengatakan sesat dan harus dibubarkan???
Saya rasa akhlak Rasulullah Saw tidak seperti itu ya…
Untuk masalah makan2, yg tidak diperbolehkan adalah makan2 dalam rangka ratapan.
Imam Syafi’I juga mengatakan tidak apa2 makan2 dlm rangka menghormati tamu yg hadir, asalkan tidak memberatkan si keluarga mayit. Kalau di Indonesia makan2 setelah penguburan hanya sekedarmya saja. Kalau di daerah saya, kalau ada yg meninggal justru tetangga pd datang membawakan bahan2 makanan membantu keluarga si mayit…dan saya rasa kalau Rasulullah Saw melihat bagaimana tetangga bergotongroyong membantu kesusahan keluarga mayit, Rasulullah Saw akan bangga…krn itulah indahnya Islam.
Saya pernah baca hadist dan hadistnya shahih, dimana dikisahkan Rasulullah Saw pernah menguburkan seseorang, kemudian istri si mayit mengundang Rasulullah Saw makan di rumahnya, dan Rasulullah Saw bersama sahabat memenuhi undangan istri si mayit tersebut…
Coba tanya kepada orang yg tahlilan…apakah mereka mengundang orang2 ke rumahnya untuk pesta ratapan? Bagian mananya ya yg ratap-meratap? Yg saya tahu, mereka mengundang orang datang untuk tahlilan supaya mayit banyak yg mendoakan…itu saja.
Mengirim alfatihah kan gak apa2 Mas…
Al-fatihah itu isinya kan do’a…untuk masalah ini hanya ikhtilaf saja, tokh banyak pula ulama khalaf yg membolehkan mengirim ayat2 al-Qur’an pd mayit, dan menurut mereka pahalanya sampai.
Kalau untuk kirim2 al-fatihah pd malaikat muqorobin saya kurang tahu itu…krn kalau di daerah saya tahlilan cuma dzikir bareng2, baca do’a, baca yasin, makanan pun hasil sumbangan dr handai taulan, berupa cemilan2 jajan pasar.
Tapi dalam hadist kan kalau kita mendoakan oranglain maka para malaikat akan mendoakan kita, ya saya rasa kalau ada yg baca al-fatihah untuk malaikat muqorobin mungkin maksudnya supaya malaikat muqarabin mendoakan mereka…
Ikhtilaf jangan dijadikan iftirad ma Hery…krn perbedaan ijtihad di kalangan ulama itu adalah rahmat. Tapi akan jadi bencana kalau gara2 ikhtilaf lantas berani men-cap sesat.
Rasulullah Saw di dalam hadist berkata, “…sahabatku bagaikan bintang-bintang di langit. Perbedaan pendapat di antara sahabatku adalah rahmat”
Sahabat Umar Ra tidak melakukan tawasul setelah Rasulullah Saw wafat. Sedangkan sahabat Bilal Ra melakukan tawasul setelah Rasulullah Saw wafat. Apakah lantas Umar Ra mengatakan sahabatnya yg bernama Bilal Ra sesat, syirik???
Tidak pernah. Bahkan antara Umar Ra dan Bilal Ra saling kasih mengasihi…inilah ikhtilaf diantara sahabat, inilah akhlak mereka, inilah rahmat, dan inilah indahnya Islam.
Tokh antara Umar Ra dan Bilal Ra keduanya sering bermimpi bertemu Rasulullah Saw dalam mimpi2 mrk…
Namun berbeda dengan Wahabi/Salafi yg berani mengatakan syirik pd orang2 yg tawasul setelah Rasulullah Saw wafat…padahal syirik itu hukumnya kafir lho.
Mas Hery said:
Maulid itu sama dg natal kan mba…??memperingati hari kelahiran …?? Prinsip sya a’malan itu perlu perintah dari Allah dan Rosul-Nya…, kalau membuat2 sendiri…sya khawatir mba sinta…kita dianggap ga mau mengikuti sunnah rosulullah SAW dalam menjalankan agaman ini…
Jawab:
Maulid Nabi Saw adalah memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw sang Nabi ajaran Monotheisme yg murni.
Isinya hanya baca shalawat bersama2, baca beberapa surah al-Qur’an, baca sejarah hidup Nabi Saw. Dan Maulid Nabi Saw sebenarnya bisa kapan saja, dan ini hanya sebagai sarana dakwah saja.
Acara Maulid Nabi Saw ini bisa menyentuh ke banyak pihak, termasuk org2 kafir…soalnya org kafir kalau langsung diajak masuk masjid sudah keder duluan Mas. Jd sarana yg lebih soft untuk memperkenalkan Islam pd org2 kafir
Kalau Natal itu adalah memperingati hari kelahiran Yesus Kristus, Tuhan-nya orang kafir yg katanya juru selamat. Bedanya jelas banget, kalau Natal itu bersuka cita dalam mempersekutukan Allah.
Jadi jelas terlihat ada perbedaan antara Maulid Nabi Saw dengan Natal
Guru saya ada yg masuk Islam awal mulanya gara2 ikutan Maulid Nabi.
Mas Hery said:
Kalau Imam Syafi’I mewajibkan diri harus seperti itu, ini namanya memberatkan diri sendiri. Namun sya yakin Imam Syafii bukan mewajibkan diri untuk khatam 60 kali. Kalau anda sanggup hatam 2 kali, 3 kali, berapapun dalam ramadhan…apakah anda akan berdosa…?? Yg sesat menurut sya adalah anda mewajibkan diri sendiri bahkan kepada orang lain bahwa di bulan ramadhan wajib hatam qur’an sekian kali…
Jawab:
Perasaan ulama kami seperti habib Munzir, ustadz Arifin Ilham, A’a Gym, A’a Hadi, A’a Reza, para habib yg lainnya tidak ada yg mewajibkan hal2 yg bid’ah hasanah. Mereka nggak pernah bilang tahlilan itu wajib, mrk juga gak pernah bilang dzikir jama’ah itu wajib, gak pernah bilang yasinan itu wajib…dsb..
Sama saja dengan Imam Syafi’I, beliau khatam 60 kali. Kalau ada umat Islam yg mampu khatam 60 kali krn ngikutin beliau, apa lantas dianggap sesat? Apa kalau ada umat Islam yg ramai2 ikutan baca shalawatnya buatan Imam Syafi’I (di luar shalat) apa lantas dianggap sesat?
Sebetulnya, cap-cap sesat yg dilontarkan ulama Salafi/Wahabi inilah yg syubhat…dan bid’ah dholalah krn telah menuduh dan berburuk sangka…
Mas Hery said:
Imam malik sendiri mengatakan bahwa yg melakukan bid’ah berarti menganggap Rosulullah SAW berkhianat atas kerasulannya, artinya rosul dianggap menyembunyikan hal2 yg seharusnya disampaikan. Disitu imam malik tdk berkata bid’ah hasanah. Oleh karena itu pemahaman sya Imam malik tahu persis mana yg masuk bid’ah menurut syariat, dan mana yg bukan.
Mba sinta , kalau mba menghafal mau ujian, terus mba wudhu…?? Dosa ga…? Sesat nda..menurut mba…??
Jawab:
Nah, jelas kan mana yg bid’ah menurut syariat dan mana yg bukan?
Yg bid’ah menurut syariat contohnya shalat 2 bahasa, shalat tidak menghadap kiblat, shalat cuma 2 kali sehari, meyakini ada Rasul/Nabi setelah Nabi Muhammad Saw.
Sedangkan definisi bid’ah menurut ulama Salafi/Wahabi kan melakukan suatu ibadah yg tidak dicontohkan Nabi Saw. Contoh, salaman setelah shalat dianggap bid’ah sesat. Dzikir berjama’ah dengan satu suara dianggap sesat, pelatihan shalat khusyu dianggap sesat, melafadzkan niat sebelum sholat dianggap sesat. Tawasul setelah Rasulullah Saw wafat dianggap sesat. Dzikir dengan biji tasbih dianggap sesat.
Waduh, anda jadi Salafi/Wahabi koq setengah-setengah gitu ya? Itu menyalahi fatwa2 ulama anda lho…hehehe
Padahal jelas ulama2 Salafi/Wahabi memberikan definisi bid’ah. Dholalah adalah segala ibadah yg tidak dicontohkan atau tidak dilakukan Rasulullah Saw.
Lha kalau mau ujian wudhu dulu ya kami setuju, lha wong wudhu-nya itu bid’ah hasanah koq. Kan cuma kalian yg gak ngakuin adanya bid’ah hasanah to ya…piye to sampeyan iki Mas…
Lha kan saya cuma kasih contoh definisi bid’ah menurut Salafi/Wahabi adalah ibadah yg gak dicontohkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw…termasuk wudhu dan shalat sunnah dulu sebelum menyampaikan hadist, wudhu dan shalat sunnah dulu sebelum nulis hadist. Yg dicontohkan Rasul Saw kan hanya wudhu sebelum baca al-Qur’an…tapi Imam Malik menambah2i amalan dengan wudhu dan shalat dulu sebelum menyampaikan hadist…dan yg dilakukan Imam Malik ini ditiru para habib…apakah lantas para habib yg niru2 ini sesat???
Jadi sebenarnya bid’ah seperti apa sih yg gak boleh sama Imam Malik? Koq buktinya Imam Malik nambah2i amalan?
Mas Hery said:
silahkan saja itu persepsi anda, menurut sya tulisan beliau..cukup ilmiah , dan sebagian ummat islam menyetujuinya, kecuali NU/Tasawuf dan mungkin juga syi’ah.
Jawab:
Hehe…saya ini bukan NU lho…bukan juga Syi’ah…tasawuf juga sekedar baca2 aja krn pengen tahu…
Begini Mas…
Ini para ulama non-Wahabi yg bergelar kesarjanaan pada khawatir dengan nasib2 manuskrip yg ada di tangan Dinasti Saudi. Krn apa? Karena mereka menemukan penyelewengan /manipulasian terhadap copy-an dari manuskrip2 itu. Dan, copy-copy-an ini ditaruh di perpustakaan2 universitas di sana.
Ya mungkin mahasiswanya gak ngerti kalau buku yg jd rujukan mrk sudah dirubah isinya…mungkin dia gak sadar.
Makanya kalau ada perdebatan/diskusi suka bingung, yg ditampilkan Salafi/Wahabi beda dengan yg ditampilkan non-Salafi/Wahabi.
Tapi yg namanya barang palsu pasti akan ketahuan juga..
Buktinya kalau debat2 antara ulama Salafi/Wahabi dg ulama kami, ulama Salafi/Wahabi-nya keteteran…malah ada yg meninggalkan tempat debat. Yach, kalau memang hujjahnya benar harusnya kan bisa dipertanggungjawabkan, apalagi ulama Salafi/Wahabi itu paling banter ngeluarin cap syirik-musyrik sama yg di luar firqoh mrk, harusnya bisa mempertanggungjawabkan tuduhan syirik-musyrik itu di depan khalayak ramai.
Untungnya masih banyak ulama non-Salafi/Wahabi yg masih pegang manuskrip2 kuno, nah ketahuannya dari situ…setelah dibandingkan koq beda…
Kuliah di tempat terkenal seperti Universitas Madinah gak jamin koq dia hatinya bersih, buktinya ada ulama Salafi/Wahabi yg kuliah di sana tapi kerjanya buruk sangka terus sama yg di luar firqohnya. Contoh, ketika saya baca tulisan salah seorang ulama Salafi/Wahabi yg ngebahas ttg kesesatan Imam Ghazali…yg saya tangkap si ulama ini gak ngerti kalau tulisan yg ditampilkannya adalah kalimat majaz. Saya aja bisa nilai koq kalau itu majazi, tapi ditelan secara letterlux oleh si ulama ini.
Saya jadi mbatin waktu baca komentarnya si ulama ini, lho koq gitu sih…
Termasuk waktu ulama ini ngebahas ttg shalawat Nariyah, yg ternyata adalah bentuk prosa yg harusnya dimaknai secara majazi…tapi ya itu tadi, main telan bulat2…sehingga salah sangka dan main tuduh syirik-musyrik.
Padahal kalau syirik-musyrik itu tidak terbukti, tuduhan itu akan berbalik ke arahnya lho….
Mas Hery said:
Oleh karena itulah terkadang kitab2 yg masih tercampur dalil yg lemah, palsu, shahih, itu perlu ditahqiq….,
Jawab:
Boleh ditahqiq, asal tidak keluar dari koridor pentahqiqan yaitu harus tetap sesuai dengan maksud penulis dr kitab yg ditahqiq. Bukannya malah merubah arti, itu namanya pemalsuan Mas…
.As Hery Said:
kalau kasyaf, bermimpi ketemu dg Rosulullah SAW… Itu masih perlu dipertanyakan…?? Betul memang tdk ada yg bisa menyerupai Rosulullah SAW dlm mimpi. Ulama salaf mengatakan bahwa bagi orang yg belum pernah bertemu beliau dalam keadaan hidupnya…, bisa saja setan mengaku sbg Rosulullah SAW (karena kita kan ga tahu muka rosul seperti apa, didalam hadist itu Syetan tdk bisa menyerupai Rosul dalam mimpi…, kalau mengaku ngaku itu bisa saja bukan…??), oleh karena itu haruslah bersandar kepada Al Qur’an dan As-Sunnah..bukan kepada mimpi2 dalam menjalankan Islam ini…
;awab:
Tolong sebutkan ulama Salaf yang mana yg ngomong gitu? Di kitab apa, biar jelas dan gak jadi fitnah atas ulama Salaf
Lha…jadi untuk apa ya hadist ttg setan yg gak bisa menyerupai Rasulullah Saw? Tokh kita semua yg hidup setelah ulama Salaf gak ada yg ngerti wajahnya Rasulullah Saw, termasuk ulama Wahabi. Jadi standar kebenaran wajah Rasulullah Saw apa harus sesuai dengan standarnya ulama Wahabi/Salafi, lha wong mrk juga gak ngerti kan wajah Rasulullah itu seperti apa.
Kalau ada ulama non-Salafi/Wahabi memberikan gambaran wajah Nabi Saw yg tepat seperti hadist pun, pasti akan tetap ditampik oleh ulama Salafi/Wahabi. Betul to?
Atau mungkin yg dilihat mas Hery yg lebih tepat ya? Koq bisa yakin banget yg dilihat non-Salafi/Wahabi itu setan yg lagi ngaku2?
.
Mas Hery said:
Menurut Mba Orang yg kasyaf kadang terlena, jadi tersesat. Ya…karena perkara dibukakan mata bathin atau apalah namanya..itu hak Allah, dan kewajiban kita adalah mentaati Allah dan Rosul-Nya (menjalankan Islam, Iman, Ikhsan). Oleh karena itu barometernya adalah AL QUr’an dan As-sunnah, jangan sampai orang yg menurut anda kasyaf…padahal yg membukakan mata bathinnya itu adalah syetan..jadilah tersesat. Banyak yg gila, terus dzikir2 sampai ribuan..dll.., ini dah keluar dari sunnah Rosulullah SAW…?? Sebenarnya apa yg ingin dicari itu …??? Kasyaf…?? Atau mencari ridho Allah…?? Ok lah mungkin ulama tasawuf ngerti ini…??namun yg mengikutinya kadang melenceng?? Al hallaj pun yg mungkin ilmu kasyafnya sudah diluar batas..maka jadi error…
Jawab:
Lha itu anda bisa jawab sendiri…ulama sufi pun tahu koq kalau dzikir yg dicari adalah ridho-nya Allah. Ulama sufi banyak yg ngikutin para Imam pendahulu mereka, contoh seperti Imam Ali Zainal Abidin…beliau adalah Imam yg gak lepas dr dzikir. Dzikirnya gak cuma bilangan 100 saja, tapi apakah beliau sesat???
Lha gimana bisa bilang beliau sesat, lha wong beliau itu imam-nya kita2..
Untuk masalah tersesat, mau nggak dzikir, mau dzikir 100, mau dzikir sampai ribuan…semua pun bisa tersesat kalau didomplengi setan
Mau nggak kasyaf atau kasyaf, semua jg bisa tersesat kalau didomplengi setan.
Karena yg namanya setan, iblis, gak akan pernah berhenti untuk menyesatkan manusia….
Yg dzikirnya 100 kalau jd ujub krn ngerasa ngikutin sunnah pun jadinya ya sesat, akhirnya hati jadi dengki…liat orang yg dzikirnya ribuan pikirannya udah su’udzhon melulu.
Mas Hery said:
Allah tdk mengingikan kita terbebani dg syariat Islam, oleh karena itu Rosulullah SAW sbg teladan terbaik Ummat ini sudah mengajarkan bagaimana dzikir dalam islam dg hitungan2 tertentu yg menurut fitrah manusia itu dapat dilakukan dg wajar …(dan itupun kita kadang ga mampu menjalankan smuanya ..karena malas atau sibuk, dll). Firman Allah : Laa taghluu fidinikum..(jangan berlebih2an dalam agamamu..).
Terkadang pengikut tarekat lebih menyukai dzikir2 tarekat dg hitungan2 khusus, dan mengabaikan sunnah Rosulullah SAW…., ya mungkin dia tdk bermaksud bgtu. Namun faktanya banyak dzikir2 sunnah Rosul yg terabaikan…., maka sungguh bahagianya Ahlusunnah itu..yg berusaha menghidupkan kembali sunnah rosulullah SAW yg banyak ditinggalkan ummatnya…
Jawab:
Silahkan kalau mau dzikir 100, 100, atau pun sejuta…kalau saya lebih milih berbaik sangka aja…
Kalau merasa mampu untuk dzikir 100 ya monggo…
Kalau merasa mampu dzikir ribuan ya monggo…
Kalau saya usil ngurusin dzikirnya orglain takutnya malah nambahin penyakit hati saya saja…wong ibadah saya sendiri aja belum becus koq ngurusin ibadah org lain…
Mas Hery said:
begini mba Sinta…, informasi ini bersifat sepihak, yg mba klaim asli…belum tentu juga itu asli, dan berbagai kemungkinan klaim lainnya bisa saja terjadi. dan sya juga khawatir keliru dalam berkomentar…, lebih baik mba bukukan beberapa hal yg menurut mba merupakan manipulasi terhadap karya2 ulama.., kemudian berikan komentar dan minta klarifikasi pada ustadz salafy atau bahkan langsung ke dewan fatwa arab saudi. Mudah2an ini menjadi amalam mba Sinta…kalau mba merasa ada manipulasi..dan jg sebagai perjuangan menolong agama Allah.
Jawab:
Bagaimana kalau itu juga dilakukan oleh mas Hery…
Kalau saya pribadi Insya Allah akan saya copy, buat perbandingan.
@ mas Hery dan simpatisan Salafi/Wahabi
Berikut ini jawaban dari seorang ulama Sufi ketika ditanya ttg ilmu hikmah dan tariqah
# APA BEDANYA ILMU HIKMAH DAN THARIQAH?
Jawaban dr ulama Sufi:
Ilmu hikmah dan thariqah itu bedanya antara langit dan bumi.
Dalam wilayah thariqah, ilmu hikmah seharusnya sudah jadi masa lalu, sebab kata seorang syeikh Abdul Jalil Mustaqim, “Ilmu Hikmah bisa jadi hijab,” bagi penempuh jalan sufi.
Kalau anda berdzikir dengan tujuan supaya rizki anda banyak, berarti dzikir anda tergolong ilmu hikmah, apa pun yang anda baca.
Kenapa demikian? Karena tujuan dzikir anda tidak Lillahi Ta’ala, tetapi rizki yang banyak dan sebagainya. Ketika terbayang rizki yang banyak, anda “kehilangan Allah” kan?
Ada juga para Ulama atau Mursyid yang mengijazahkan Ilmu Hikmah kepada muridnya, tetapi tetap dalam “koridor” tasawuf. Dimaksud koridor tasawuf ini, ilmu tersebut ketika diamalkan semata karena menjalankan perintah mursyidnya, bukan hikmah dibalik itu. Dan mengamalkannya tetap Liwajhillah, Lillahi Ta’ala, hanya menuju Allah Ta’ala, agar prosesi ruhaniyah dibalik dzikir itu tidak terhalang (terhijab) oleh bayangan hikmah dibaliknya.
Lanjutan pertanyaan;
# KATANYA SEMUA WIRID ADA KHODAMNYA. APAKAH KITA TERMASUK MUSYRIK? (maksudnya apakah mengamalkan wirid-wirid tsb adalah syirik?)
Jawaban dr ulama Sufi:
Seluruh ayat Al-Qur’an dijaga oleh para malaikat, tetapi ketika ayat-ayat al-Qur’an itu digunakan untuk kepentingan hawa nafsu, maka akan didomplengi oleh khadam Jin Islam. Dan hal demikian sangat dijauhi oleh para Sufi.
Dzikir thariqah sendiri senantiasa bersanad secara bersambung dari Mursyid ke Mursyid hingga sampai ke Rasulullah Saw tanpa terputus.
Tentu, berbeda dengan wirid ilmu hikmah.
Wallahu A’lam bish-Showab
(diambil dari rubrik konsultasi Majalah Sufi)
1. Kata “kullu” itu kan bisa berarti sebagian besar Mas Hery…
Dan untuk mengetahui maknanya harus ada yg namanya ilmu, baik ilmu nahwu, balagoh, dsb…, Kalau main hantam kromong dengan mengatakan bahwa arti kata “kullu” adalah “semua tanpa kecuali” maka bisa bahaya…kalau diterapkan dalam al-Qur’an bahwa kata “kullu” harus diartikan sebagai “semua tanpa kecuali” maka akan terjadi kontradiksi.
Jadi untuk mengetahui maknanya harus ada perbandingan antar hadist, termasuk hadist “barangsiapa yg melakukan bid’ah dholalah, maka ia masuk neraka”.
Amalan2 baru asalkan tidak menambah2i ibadah yg syariatnya sudah baku saya rasa tidak masalah.
>>>
Kalau kullu dalam konteks hadits ini menurut sya bermakna semuanya..?? Kullu nafsin dzaaiqotu ma’ot (sama dg kullu pada ayat disitu). kalau anda berkata kullu bid’atun dholallah, itu sebagian bid’ah ada yg baik/tdk sesat , maka ulama salaf mengatakan bahwa itu adalah bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah yg dimaksud syari’at.
Nah ucapan anda masih berdasarkan perasaan, (sya rasa ga masalah). Ya memang kalau dirasa rasa seolah2 ga masalah. Karena pelaku bid’ah itu, tidak akan sadar dia melakukan suatu kebid’ahan, dan bahkan dianggap baik, dan akan berbeda dg pelaku maksiat yg dikemudian hari akan berpeluang menyadari kesalahannya karena dia tahu bahwa itu adalah salah. Termasuk mengeraskan niat, bersalaman setelah sholat, merupakan tambahan terhadap syari’at ini. Sya kadang bingung, apakah ga cukup dg apa yg Rosulullah SAW contohkan…, dan perlu nambah2 seperti ini ..yg memang kalau dirasa rasa rasanya ya beda mba…ah kayanya ga apa2 tuh…, tidak ada suatu dalil pun dari Rosulullah SAW yg mengajarkan mengeraskan niat.., bersalaman setelah sholat fardlu. Bersalaman memang disyariatkan ketika sama2 bertemu, namun jika dilakukan terus menerus setelah sholat fardlu..ini kan seolah2 menjadi bagian dari Syariat yg dibawa oleh Rosulullah SAW…, padahal Rosul ga mengajarkan hal ini. Apa menurut anda kurang cukup dg apa yg diajarkan oleh Rosulullah SAW…sehingga perlu nambah2 hal2 seperti ini.
Sya mau nanya mba Sinta bukan NU…?? Kenapa ….???
2. untuk soal tahlilan, semua ulama juga tahu kalau tahlilan hanya tradisi saja, dan bukan ibadah baku. Semua ulama juga tahu kalau gak ada yg mewajibkan tahlilan.
Tapi inti dari tahlilan itu apa sih? Ya intinya mengingat Allah, mengingat mati…baca dzikir bersama, baca doa bersama, intinya adalah kebersamaan…
Kalau pun Rasulullah Saw tidak melakukan tahlilan, bukan berarti Rasulullah Saw mencap tahlilan sesat…
Kalau Rasulullah Saw hidup dimasa sekarang kemudian tahu kalau isi tahlilan hanya baca dzikir, baca yasin, berdoa bersama, silaturohim antar keluarga dan tetangga, apakah Rasulullah Saw akan mengatakan sesat dan harus dibubarkan???
Saya rasa akhlak Rasulullah Saw tidak seperti itu ya…
>> Bukan Ibadah Baku, maksudnya…??? Berarti kan itu ibadah, dan menurut hemat saya itu termasuk membuat amalan baru yg namanya tahlilan, dg waktu yg khusus(1,2,3,4-7, 100, 40, 1000, dll), bacaannya juga khusus, jadilah suatu ritual ibadah yg baru. Sya yakin Rosulullah SAW akan menegur kalian…, jadi meskipun menurut anda ada bid’ah yg baik. Maka kalau tahlilan diklasifikasikan kedalam bid’ah hasanah itu…menurut saya keliru, para Imam Madzhab pun belum pernah melakukannya. Sya akan menghargai kalau memang ada Imam Madzhab yg melakukannya…, karena mereka faham mana yg dimaksud bid’ah didalam syariat.
Benar ga mba , kaidah ushul fiqh (menurut Imam Syafi’i/ulama lainnya):
>hukum asalah ibadah itu haram (terlarang)…
>hukum asal mu’amalah ituh boleh, kecuali ada yg melarang…??
3. Untuk masalah makan2, yg tidak diperbolehkan adalah makan2 dalam rangka ratapan.
Imam Syafi’I juga mengatakan tidak apa2 makan2 dlm rangka menghormati tamu yg hadir, asalkan tidak memberatkan si keluarga mayit. Kalau di Indonesia makan2 setelah penguburan hanya sekedarmya saja. Kalau di daerah saya, kalau ada yg meninggal justru tetangga pd datang membawakan bahan2 makanan membantu keluarga si mayit…dan saya rasa kalau Rasulullah Saw melihat bagaimana tetangga bergotongroyong membantu kesusahan keluarga mayit, Rasulullah Saw akan bangga…krn itulah indahnya Islam.
>>> oh iya kalau gotong royong membantu keluarga mayyit memang dianjurkan dalam Islam.
>>> kalau tanpa makanan, atau berkat lainnya, ada ga g mau datang…???
4. Saya pernah baca hadist dan hadistnya shahih, dimana dikisahkan Rasulullah Saw pernah menguburkan seseorang, kemudian istri si mayit mengundang Rasulullah Saw makan di rumahnya, dan Rasulullah Saw bersama sahabat memenuhi undangan istri si mayit tersebut…
>>> tapi kan ga tahlilan toh…??? Hadist tersebut…perlu dicek keshahihannya, ya kalau mungkin shahih..rosul merasa di undang…, kalau sekarang mah ga diundang pun datang..pengen dapat berkat atau upah dll…(sya kira kalau anda obyektif…pasti melihat fakta seperti itu). Coba kalau ga ada berkat…mana ada yg mau datang…, apalagi kalau diamplop wah pasti banyak yg datang. Seharusnya…dikasih amplop atau berkat ya ditolak aja…, wong ngedoain ko pengen dibayar…?? Masya Alloh…, gimana ummat ini…
5. Coba tanya kepada orang yg tahlilan…apakah mereka mengundang orang2 ke rumahnya untuk pesta ratapan? Bagian mananya ya yg ratap-meratap? Yg saya tahu, mereka mengundang orang datang untuk tahlilan supaya mayit banyak yg mendoakan…itu saja.
6. Mengirim alfatihah kan gak apa2 Mas…
Al-fatihah itu isinya kan do’a…untuk masalah ini hanya ikhtilaf saja, tokh banyak pula ulama khalaf yg membolehkan mengirim ayat2 al-Qur’an pd mayit, dan menurut mereka pahalanya sampai.
Kalau untuk kirim2 al-fatihah pd malaikat muqorobin saya kurang tahu itu…krn kalau di daerah saya tahlilan cuma dzikir bareng2, baca do’a, baca yasin, makanan pun hasil sumbangan dr handai taulan, berupa cemilan2 jajan pasar.
Tapi dalam hadist kan kalau kita mendoakan oranglain maka para malaikat akan mendoakan kita, ya saya rasa kalau ada yg baca al-fatihah untuk malaikat muqorobin mungkin maksudnya supaya malaikat muqarabin mendoakan mereka.
>>> Ya itulah mba…kalau ga ada tuntunan Rosulullah SAW, dan bahkan para imam madzhab pun…jadinya bgtu.
>> apa makna ngirim fatihah kepada Rosulullah SAW…? Atau yg sudah meninggal dari syeikh tasawuf…?? Bukankah ini beranggapan bahwa yg sudah meninggal itu dpt menedekatkan kepada Allah….??
7. Ikhtilaf jangan dijadikan iftirad ma Hery…krn perbedaan ijtihad di kalangan ulama itu adalah rahmat. Tapi akan jadi bencana kalau gara2 ikhtilaf lantas berani men-cap sesat.
>>> ikhtilaf yg bersandar pada dalil yg sama2 kuat ya ga apa2…,itu rahmat. Namun mengenai tahlilan…sya kira ga ada imam madzhab yg melakukannya…, perkataan Imam Syafi’I ttg adanya bid’ah hasanah itu..dijadikan tameng untuk semua amalan yg baru…,
8. Rasulullah Saw di dalam hadist berkata, “…sahabatku bagaikan bintang-bintang di langit. Perbedaan pendapat di antara sahabatku adalah rahmat”
Sahabat Umar Ra tidak melakukan tawasul setelah Rasulullah Saw wafat. Sedangkan sahabat Bilal Ra melakukan tawasul setelah Rasulullah Saw wafat. Apakah lantas Umar Ra mengatakan sahabatnya yg bernama Bilal Ra sesat, syirik???
Tidak pernah. Bahkan antara Umar Ra dan Bilal Ra saling kasih mengasihi…inilah ikhtilaf diantara sahabat, inilah akhlak mereka, inilah rahmat, dan inilah indahnya Islam.
Tokh antara Umar Ra dan Bilal Ra keduanya sering bermimpi bertemu Rasulullah Saw dalam mimpi2 mrk…
Namun berbeda dengan Wahabi/Salafi yg berani mengatakan syirik pd orang2 yg tawasul setelah Rasulullah Saw wafat…padahal syirik itu hukumnya kafir lho.
>>>Ya betul sahabat harus kita ikuti…, namun dalilnya harus diperhatikan jg jangan sampai ada yg lemah atau bahkan palsu…, kata siapa yg melakukan syirik langsung kafir…??? Anda kan tahu mana syirik kecil dan mana syirik besar..??, tawassul bilal seperti apa mba…?? Sya aga ragu dg beberapa ungkapan mba…
• •
7. Maulid Nabi Saw adalah memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw sang Nabi ajaran Monotheisme yg murni.
Isinya hanya baca shalawat bersama2, baca beberapa surah al-Qur’an, baca sejarah hidup Nabi Saw. Dan Maulid Nabi Saw sebenarnya bisa kapan saja, dan ini hanya sebagai sarana dakwah saja.
Acara Maulid Nabi Saw ini bisa menyentuh ke banyak pihak, termasuk org2 kafir…soalnya org kafir kalau langsung diajak masuk masjid sudah keder duluan Mas. Jd sarana yg lebih soft untuk memperkenalkan Islam pd org2 kafir
Jadi jelas terlihat ada perbedaan antara Maulid Nabi Saw dengan Natal
Guru saya ada yg masuk Islam awal mulanya gara2 ikutan Maulid Nabi.
>>> Ya kalau beranggapan ada bid’ah hasanah– ritual apapun namanya dihukumi menjadi sesuatu yg baik dg berbagai alasannya.…., sya ga sepakat dg anda…, kalau anda tetap seperti itu silahkan saja mba sinta…kita akan mempertanggungjawabkan masing2…
Dua2nya sama memperingati hari kelahiran natal itu bahasa kita sedangkan maulid diambil dr bhsa arab…, apakah Islam membolehkan memperingati hari kelahiran…?? Ulang tahun itu ajaran mana kira2…??Rosulullah SAW dan para sahabatnya pun ga pernah melakukan hal2 seperti ini, apakah kita merasa lebih baik dari pada mereka…?? Ya mungkin anda tdk bermaksud merasa lebih baik, namun hal ini merupakan indikasi merasa lebih tahu syariat dari pada Rosulullah SAW dan para sahabatnya..
Bukankah perkara /amalan yg dapat mendekatkan diri kepada Allah itu sudah diajarkan oleh Rosulullah SAW. Kalau mau dakwah ya dakwah saja, jangan bawa embel2 maulid, isro mi’raj , dll…., kalau menurut sya ini hanya sekedar ceremonial, dan itu mengeluarkan biaya yg tdk sedikit (lbh bagus disedekahkan kpd anak yatim , fakir miskin ,dll)
8. Perasaan ulama kami seperti habib Munzir, ustadz Arifin Ilham, A’a Gym, A’a Hadi, A’a Reza, para habib yg lainnya tidak ada yg mewajibkan hal2 yg bid’ah hasanah. Mereka nggak pernah bilang tahlilan itu wajib, mrk juga gak pernah bilang dzikir jama’ah itu wajib, gak pernah bilang yasinan itu wajib…dsb..
Sama saja dengan Imam Syafi’I, beliau khatam 60 kali. Kalau ada umat Islam yg mampu khatam 60 kali krn ngikutin beliau, apa lantas dianggap sesat? Apa kalau ada umat Islam yg ramai2 ikutan baca shalawatnya buatan Imam Syafi’I (di luar shalat) apa lantas dianggap sesat?
Sebetulnya, cap-cap sesat yg dilontarkan ulama Salafi/Wahabi inilah yg syubhat…dan bid’ah dholalah krn telah menuduh dan berburuk sangka…
>>> Ya susah kalau pakai perasaan…, ahmadiyyah juga merasa diri mereka benar2 aja…, Ya tdk akan ada yg berani mewajibkan tahlilan atau bid’ah2 yg lainnya….Faktanya: tahlilan, itu dilakukan setiap ada yg meninggal, dan ini sudah mendarah daging, seolah2 itu merupakan syariat yg dibawa oleh Rosulullah SAW….??
Begini mba, ada ga…perintah untuk melakukan tahlilan pada hari ke 1,2,3, dll
9. Nah, jelas kan mana yg bid’ah menurut syariat dan mana yg bukan?
Yg bid’ah menurut syariat contohnya shalat 2 bahasa, shalat tidak menghadap kiblat, shalat cuma 2 kali sehari, meyakini ada Rasul/Nabi setelah Nabi Muhammad Saw.
Sedangkan definisi bid’ah menurut ulama Salafi/Wahabi kan melakukan suatu ibadah yg tidak dicontohkan Nabi Saw. Contoh, salaman setelah shalat dianggap bid’ah sesat. Dzikir berjama’ah dengan satu suara dianggap sesat, pelatihan shalat khusyu dianggap sesat, melafadzkan niat sebelum sholat dianggap sesat. Tawasul setelah Rasulullah Saw wafat dianggap sesat. Dzikir dengan biji tasbih dianggap sesat.
Waduh, anda jadi Salafi/Wahabi koq setengah-setengah gitu ya? Itu menyalahi fatwa2 ulama anda lho…hehehe
Padahal jelas ulama2 Salafi/Wahabi memberikan definisi bid’ah. Dholalah adalah segala ibadah yg tidak dicontohkan atau tidak dilakukan Rasulullah Saw.
>>>>Memang iya …, sya sepakat koq..dzikir berjama’ah, melafadzkan niat sblm sholat, adalah bid’ah…??
10. Lha kalau mau ujian wudhu dulu ya kami setuju, lha wong wudhu-nya itu bid’ah hasanah koq. Kan cuma kalian yg gak ngakuin adanya bid’ah hasanah to ya…piye to sampeyan iki Mas…
….
Lha kan saya cuma kasih contoh definisi bid’ah menurut Salafi/Wahabi adalah ibadah yg gak dicontohkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw…termasuk wudhu dan shalat sunnah dulu sebelum menyampaikan hadist, wudhu dan shalat sunnah dulu sebelum nulis hadist. Yg dicontohkan Rasul Saw kan hanya wudhu sebelum baca al-Qur’an…tapi Imam Malik menambah2i amalan dengan wudhu dan shalat dulu sebelum menyampaikan hadist…dan yg dilakukan Imam Malik ini ditiru para habib…apakah lantas para habib yg niru2 ini sesat???
Jadi sebenarnya bid’ah seperti apa sih yg gak boleh sama Imam Malik? Koq buktinya Imam Malik nambah2i amalan?
>>> Masa wudhu dibilang bid’ah….??? Bukankah ketika anda wudhu anda menjadi suci…?? Sya yakin rosulullah SAW dan para sahabatnya selalu menjaga wudhu.., jadi setiap aktivitas yg dilakukan mereka..ya..dalam kondisi suci….
“Setan membuat tiga ikatan pada tengkuk seorang diantara kalian jika ia tidur. Setan akan memukul setiap ikatan itu (seraya membisikkan), “Bagimu malam yang panjang, maka tidurlah”. Jika ia bangun seraya menyebut Allah (berdzikir), maka terlepaslah sebuah ikatan. Jika ia berwudhu’, maka sebuah ikatan yang lain terlepas. Jika ia sholat, maka sebuah ikatan akan terlepas lagi. Lantaran itu, ia akan menjadi bersemangat lagi baik jiwanya. Jika tidak demikian, maka ia akan jelek jiwanya lagi malas”. [HR. Al-Bukhoriy (1142 & 3269) dan Muslim (1816)].
Coba dicermati, jika ia sholat maka sebuah ikatan akan terlepas lagi. Jika ia tdk sholat…berarti dia berwudhu saja…, artinya apa…?? Wudhu itu ibadah..mbae..ga mesti harus sholat bukan…?? yg mau melakukan aktivitas lainnya kemudian kita berada dalam kondisi suci …ya itu akan utama…sya yakin Imam Syafi’i…tdk akan mengklasifikasikan sbg bid’ah hasanah…??? Wong itu ibadah koq…
11. anda bukan NU…?? Ah yg bener…terus emang ikutan mana,,,,?? Koq getol banget ngebela tahlilan…??? Umat Islam itu tdk akan bersepakat dalam kesesatan bukan…?? Muhammadiyyah , persis, salafy, MMI, Wahdah Islamiyyah, Al Atsariyyah, HTI, IM- sepakat koq—– tahlilan itu bid’ah…(bid’ah dholalah menurut anda)….hanya tasawuf/NU yg ga sepakat…, mana sebenarnya yg salah ini ya…????
kalau orang arab saudi ga ngerti makna majaz maupun hakiki…sya kira terlalu sembrono ngecap seperti itu…,
Masa berdo’a pakai2 majazi…yg jelas aja lah…karena terbukti bahaya tuh….(nabi Muhammad yg menghilangkan kesusahan…(sholawat nariyyah)…meskipun anda beralasan sbg majazi…namun ini sudah berbahaya lho mba…yg menghilangkan kesusahan itu hanya Allah SWT…., Aneh bin Ajaib kalau syeikh saudi Arabia ga ngerti majazi dan hakiki…siapa sebenarnya yg bloon ini…, siapa sih yg buat sholawat nariyyah ini (yg katanya kalau dibaca 4444 kalau akan dikabulkan hajat…masya Allah kaya Rosul aja ni manusia…)
Manuskrip kuno…, anda memang sudah tercuci otaknya bahwa salafy ini smuany ahli manipulasi kitab…?? Wah…kasihan sya kpd anda…., justru menurut sya jangan dibenci dulu mba…kan mba seneng belajar dikit2 toh…coba pelajari karya2 ulama /ustadnya…anda akan faham hakikat yg sebenarnya dari manhaj salaf ini…
12. Boleh ditahqiq, asal tidak keluar dari koridor pentahqiqan yaitu harus tetap sesuai dengan maksud penulis dr kitab yg ditahqiq. Bukannya malah merubah arti, itu namanya pemalsuan Mas…
>>> Sya yakin Univ di arab saudi sangat faham kaidah2 itu…, pemalsuan yg sering anda lontarkan…masih perlu dikonfirmasi kpd mereka…jangan2 yg anda maksud asli justru punya anda yg palsu…
13. kalau kasyaf, bermimpi ketemu dg Rosulullah SAW… Itu masih perlu dipertanyakan…?? Betul memang tdk ada yg bisa menyerupai Rosulullah SAW dlm mimpi. Ulama salaf mengatakan bahwa bagi orang yg belum pernah bertemu beliau dalam keadaan hidupnya…, bisa saja setan mengaku sbg Rosulullah SAW (karena kita kan ga tahu muka rosul seperti apa, didalam hadist itu Syetan tdk bisa menyerupai Rosul dalam mimpi…, kalau mengaku ngaku itu bisa saja bukan…??), oleh karena itu haruslah bersandar kepada Al Qur’an dan As-Sunnah..bukan kepada mimpi2 dalam menjalankan Islam ini…
;awab:
Tolong sebutkan ulama Salaf yang mana yg ngomong gitu? Di kitab apa, biar jelas dan gak jadi fitnah atas ulama Salaf.
>>> sya baca di majalah As-Syari’ah, ada penjelasan ttg itu dari salah seorang ustad salafy…nanti sya cek ulang…(kira2 menurut anda benar ga ungkapan itu…??), benar kan…???. Atau coba deh buka sejenak tulisan ini :
http://muslim.or.id/aqidah/mimpi-ketemu-nabi.html
.
14. Lha itu anda bisa jawab sendiri…ulama sufi pun tahu koq kalau dzikir yg dicari adalah ridho-nya Allah. Ulama sufi banyak yg ngikutin para Imam pendahulu mereka, contoh seperti Imam Ali Zainal Abidin…beliau adalah Imam yg gak lepas dr dzikir. Dzikirnya gak cuma bilangan 100 saja, tapi apakah beliau sesat???
Lha gimana bisa bilang beliau sesat, lha wong beliau itu imam-nya kita2..
>>> Apakah anda mendompleng ulama2 besar, padahal tdk pernah berikrar sbg tasawuf…
bukan begitu mba…., dzikir silahkan sebanyak banyaknya…namun janganlah menetapkan batasan harus sekian sekian, seribu, dan lain2….karena akan terbesit..kalau mencapai hitungan tertentu itu…(merasa amalannya lbh dari org lain, atau keinginan tertentu, karomah, atau lain2). Kecuali ada batasan dari Rosulullah SAW.
Untuk masalah tersesat, mau nggak dzikir, mau dzikir 100, mau dzikir sampai ribuan…semua pun bisa tersesat kalau didomplengi setan
Mau nggak kasyaf atau kasyaf, semua jg bisa tersesat kalau didomplengi setan.
Karena yg namanya setan, iblis, gak akan pernah berhenti untuk menyesatkan manusia….
Yg dzikirnya 100 kalau jd ujub krn ngerasa ngikutin sunnah pun jadinya ya sesat, akhirnya hati jadi dengki…liat orang yg dzikirnya ribuan pikirannya udah su’udzhon melulu.
>>> hh3…suudzon itu persepsi mba…, kalau mengajak utk mengikuti sunnah rosul dibilang suudzon…ya repot lah….
15. Jawab:
Silahkan kalau mau dzikir 100, 100, atau pun sejuta…kalau saya lebih milih berbaik sangka aja…
Kalau merasa mampu untuk dzikir 100 ya monggo…
Kalau merasa mampu dzikir ribuan ya monggo…
Kalau saya usil ngurusin dzikirnya orglain takutnya malah nambahin penyakit hati saya saja…wong ibadah saya sendiri aja belum becus koq ngurusin ibadah org lain…
>>> hhh3 sekali lagi dzikir lah sebanyak2nya…silahkan sebanyak banyaknya , tpi ga usah menetapkan harus sekian sekian (kecuali ada tuntunan Rosul-Nya, misal hadits2 tentang dzikir: barang siapa yg membaca ini…sekian kali..akan begini…), karena itu berarti membuat aturan sendiri mba (nandingi hadist lho mba…), yg punya kewenangan membuat aturan syariat itu kan Allah SWT, dan dijelaskan oleh Rosulullah SAW.
16. Jawab:
Bagaimana kalau itu juga dilakukan oleh mas Hery…
Kalau saya pribadi Insya Allah akan saya copy, buat perbandingan.
>> sya blm ada referensi, kalau ada insya Allah…akan sya tanyakan langsung.
Mas Hery said:
Kalau kullu dalam konteks hadits ini menurut sya bermakna semuanya..?? Kullu nafsin dzaaiqotu ma’ot (sama dg kullu pada ayat disitu). kalau anda berkata kullu bid’atun dholallah, itu sebagian bid’ahada yg baik/tdk sesat , maka ulama salaf mengatakan bahwa itu adalah bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah yg dimaksud syari’at.
Jawab:
Kullu nafsin dzaalqotu ma’ot
Kalau gak salah terjemahannya bahwa semua yg hidup akan merasakan mati. Nah, kalau diartikan kata “Kullu” sebagai “Semua tanpa kecuali” berarti malaikat juga merasakan mati ya Mas???
Mas Hery said:
Nah apan anda masih berdasarkan perasaan, (sya rasa ga masalah). Ya memang kalau dirasa rasa seolah2 ga masalah. Karena pelaku bid’ah itu, tidak akan sadar dia melakukan suatu kebid’ahan, dan bahkan dianggap baik, dan akan berbeda dg pelaku maksiat yg dikemudian hari akan berpeluang menyadari kesalahannya karena dia tahu bahwa itu adalah salah. Termasuk mengeraskan niat, bersalaman setelah sholat, merupakan tambahan terhadap syari’at ini. Sya kadang bingung, apakah ga cukup dg apa yg Rosulullah SAW contohkan…, dan perlu nambah2 seperti ini ..yg memang kalau dirasa rasa rasanya ya beda mba…ah kayanya ga apa2 tuh…, tidak ada suatu dalil pun dari Rosulullah SAW yg mengajarkan mengeraskan niat.., bersalaman setelah sholat fardlu. Bersalaman memang disyariatkan ketika sama2 bertemu, namun jika dilakukan terus menerus setelah sholat fardlu..ini kan seolah2 menjadi bagian dari Syariat yg dibawa oleh Rosulullah SAW…, padahal Rosul ga mengajarkan hal ini. Apa menurut anda kurang cukup dg apa yg diajarkan oleh Rosulullah SAW…sehingga perlu nambah2 hal2 seperti ini.
Jawab:
Hehehe….tadi anda getol bilang kalau Imam Syafi’I membagi bid’ah hanya dari segi bahasa aja…
Nah sekarang bilang kalau melafadzkan niat sebelum shalat itu sesat.
Nah ini nih, kalau orang sudah buruk sangka duluan..jadinya gak cari info sana-sini.
Niat shalat yg dilafadzkan sebelum shalat itu yg ngajarin justru Imam Syafi’i, Mas.
Diriwayatkan, ada orang yg datang kpd Imam Syafi’I menanyakan masalah was-was ketika shalat, seperti dipermainkan oleh setan apakah ia tadi berniat shalat sunnah atau shalat wajib. Lantas oleh Imam Syafi’I dianjurkan untuk melafadzkan niat untuk memperteguh hati ketika hendak shalat.
Nah, hal ini kemudian diajarkan dan menyebar hingga kita2 saat ini.
Jadi silahkan saja mau dilafadzkan atau tidak, tokh ulama2 madzhab Syafi’I juga sadar kalau itu gak wajib.
Kalau ternyata hati lebih sreg nggak dilafadzkan ya monggo…tapi kalau nggak dilafadzkan suka lupa sdg shalat apa, ya monggo pula dilafadzkan…
Justru yg bid’ah itu yg ngerasa firqohnya sendiri yg bener, di luar firqohnya sesat..kemudian menghakimi dengan bawa2 nama Imam Syafi’I, Imam Malik, dsb…hehehe…lha wong para Imam itu aja melakukan bid’ah hasanah koq…buktinya Imam Syafi’I ngajarin melafadzkan niat sebelum shalat.
Duh, kalau saya ngebayangin Nabi Saw tu orangnya baik banget.
Kerabat saya sampai nangis2 waktu nyeritain ketemu Rasulullah Saw, dari suara Nabi Saw aja sudah gimanaaaaa begitu…penuh dengan kasih sayang, sangat tenang, seolah2 seperti orang yg sudah kenal lama…
Saya bayangkan, seandainya setelah shalat ada orang yg ngajakin salaman Nabi Saw, Insya Allah beliau akan menyambut dengan lembut…
Ah, tapi kerabat saya itu ikutan tabligh di Majelis Rasulullahnya habib Munzir, mungkin orang Salafi melengos…menganggap setan yg sdg ngaku-ngaku..hehehe…
Gak tau ya, kalau baca tulisannya orang Salafi/Wahabi ttg Rasulullah Saw digambarkan seolah2 Rasulullah Saw itu seperti keras, saklek kayak ulama Salafi/Wahabi..beda banget sm yg dilukiskan habib Munzir dan kerabat saya yg sudah pernah ketemu…
Mas Hery said:.
Sya mau nanya mba Sinta bukan NU…?? Kenapa ….???
Jawab:
NU itu apa sih? Itu kan organisasi, dan bukan aliran…
Para ulama mayoritas masuk ke NU…tetapi banyak juga yg gak masuk NU. Kalau ajarannya sama ya krn madzhabnya sama…
Kalau saya belajar dari ulama mana saja, asalkan landasannya adalah husnudzhon…
Saya juga belajar ke ulama Salafi/Wahabi koq, tapi kepala saya jd pening…apalagi baca fatwa2 ulama Saudi, nambah pening…
Ngeliat wajahnya juga suram, beda banget kalau belajar sm para habib…,geliat wajahnya udah adem. Saya lebih senang belajar sm A’a Gym, habib Munzir, A’a Hadi, A’a Reza., ustadz Arifin Ilham, lebih adem…hawanya nggak panas..
anda bukan NU…?? Ah yg bener…terus emang ikutan mana,,,,??
Jawab:
Ikutan ulama yg mayoritas dong 🙂
Koq getol banget ngebela tahlilan…???
Jawab:
Saya pakai hati nurani aja Mas…masa’ ngundang org buat doa’in keluarga kt yg meninggal masa’ sesat sih…
Umat Islam itu tdk akan bersepakat dalam kesesatan bukan…?? Muhammadiyyah , persis, salafy, MMI, Wahdah Islamiyyah, Al Atsariyyah, HTI, IM- sepakat koq—– tahlilan itu bid’ah…(bid’ah dholalah menurut anda)….hanya tasawuf/NU yg ga sepakat…, mana sebenarnya yg salah ini ya…????
Jawab:
Muhammadiyah itu akidahnya ada 2 golongan koq Mas…yg asy-aryah-maturidy dan yg Wahabi…
Simpatisan Muhammadiyah malah banyak yg belajar Tasawuf…
Buya Hamka tu jg belajar Tasawuf lho…malah dibai’at sm Abah Anom.
Kalau HTI, Persis, dsb yg anda sebutkan masih satu induk sama Wahabi krn ngikut ajarannya Muhammad Abdul Wahab. Tapi antara HTI, Persis, Salafi Turots, Salafi Yamani, dan pecahannya saling sesat-menyesatkan koq…
kalau orang arab saudi ga ngerti makna majaz maupun hakiki…sya kira terlalu sembrono ngecap seperti itu…,
Masa berdo’a pakai2 majazi…yg jelas aja lah…karena terbukti bahaya tuh….(nabi Muhammad yg menghilangkan kesusahan…(sholawat nariyyah)…meskipun anda beralasan sbg majazi…namun ini sudah berbahaya lho mba…yg menghilangkan kesusahan itu hanya Allah SWT…., Aneh bin Ajaib kalau syeikh saudi Arabia ga ngerti majazi dan hakiki…siapa sebenarnya yg bloon ini…, siapa sih yg buat sholawat nariyyah ini (yg katanya kalau dibaca 4444 kalau akan dikabulkan hajat…masya Allah kaya Rosul aja ni manusia…)
Jawab:
Kalau shalawat nariyah dibaca 4444 kali itu kata ulama siapa ya? Perasaan baru denger cerita itu…
Shalawat Nariyah itu syair Mas…namanya syair wajar dong kalau pakai kalimat majazi.
Yang baca shalawat Nariyah juga ngerti koq kalau yg menghilangkan kesusahan hanya Allah…tenang aja Mas…kami masih waras koq 🙂
Kalau soal syekh Saudi, kami udah nggak heran koq kalau fatwa2 mrk suka nyeleneh…termasuk fatwa harus meyakini bumi itu datar, kalau nggak maka kafir, halal darahnya…halal hartanya…jadi udah nggak kaget 🙂
Manuskrip kuno…, anda memang sudah tercuci otaknya bahwa salafy ini smuany ahli manipulasi kitab…?? Wah…kasihan sya kpd anda…., justru menurut sya jangan dibenci dulu mba…kan mba seneng belajar dikit2 toh…coba pelajari karya2 ulama /ustadnya…anda akan faham hakikat yg sebenarnya dari manhaj salaf ini…
Jawab:
Gimana nggak, lha wong saya dah lihat sendiri gimana yg dijadikan hujjah adalah nukilan2 ulama klasik yg sudah digunting2…
Nggak berani jujur apa adanya…
Saya juga pelajari lho karya ustadz Salafi/Wahabi, contoh spt ustadz Firanda. Beliau kan kalau nulis berapi-api, menyerang lawannya kalau nggak pakai hadist shahih lah, dsb…eh ternyata ketahuan kalau beliau sendiri pakai hadist yg gak shahih…lha, gimana tuh…(Saya ngikutin debat2nya lho yg dijawab sama ustadz2 non-Wahabi…sampai berseri tuh debat, asik ngikutinnya…hehehe)
Saya faham, hakikat manhaj salaf ini hanya seputar TBC.
Yang diurusin cuma masalahin tahlilan, Maulid Nabi, shalawat Nariyah, salaman setelah shalat…dan seputar itu. Tapi giliran orang2 Kristen bikin gereja cuma anteng aja…nggak peduli, yg sibuk memerangi Kristenisasi justru ulama2 non-Wahabi…
Hery:
Sya yakin Univ di arab saudi sangat faham kaidah2 itu…, pemalsuan yg sering anda lontarkan…masih perlu dikonfirmasi kpd mereka…jangan2 yg anda maksud asli justru punya anda yg palsu
Jawab:
Untuk mengetahui palsu atau tidaknya sebetulnya gampang koq…tinggal cocokkan aja dengan manuskripnya. Tokh yg pegang manuskripnya gak cuma Saudi aja…manuskrip2 itu tersebar di seantero negeri.
Malah yg mengenaskan, ada manuskrip2 yg memang sengaja dibeli oleh pemerintah Saudi kemudian dimusnahkan…ini saya baca di Ummati, dan yg meneliti seorang ilmuwan Islam yg sangat khawatir dengan keberadaan manuskrip2 kuno yg dihancurkan satu persatu oleh Arab Saudi.
Untuk mengetahui manuskrip itu memang benar2 kuno atau hanya copy-an buatan masa Dinasti Saudi, bisa dites dengan uji Carbon…
Mas Hery:
Apakah anda mendompleng ulama2 besar, padahal tdk pernah berikrar sbg tasawuf…
Jawab:
Gak usah dompleng…krn para ulama Sufi itu kalau yg lurus ada sanadnya.
Lho emang gak pernah baca ya gimana dalamnya ucapan Imam Ali Zainal Abidin? Beliau itu senang membuat prosa…kata2nya dalam, penuh perenungan. Lidahnya selalu basah dengan dzikir… Cara berperilaku Imam Ali Zainal Abidin ini ditiru oleh para ulama Sufi.
Mas Hery:
bukan begitu mba…., dzikir silahkan sebanyak banyaknya…namun janganlah menetapkan batasan harus sekian sekian, seribu, dan lain2….karena akan terbesit..kalau mencapai hitungan tertentu itu…(merasa amalannya lbh dari org lain, atau keinginan tertentu, karomah, atau lain2). Kecuali ada batasan dari Rosulullah SAW.
Jawab:
Kan sudah dijawab sama seorang Ulama Tasawuf yg saya tulis di atas…
Bahkan ulama Tasawuf pun mengatakan, kalau dzikir krn mencari hikmah…maka yg ada hati akan terhijab, misal dzikir dengan mencapai hitungan tertentu supaya kasyaf…atau supaya dapat karomah, maka otomatis hati akan terhijab…
Kecuali kalau dzikirnya semata2 cuma untuk mendapat ridha Allah Swt.
Kalau untuk masalah ujub, riya, karena jumlah bilangan dzikir…itu bisa kena ke siapa saja.
Yg dzikirnya sedikit tapi kalau merasa yg paling benar, yg paling ngikutin sunnah, yg paling selamat…maka itu sudah jadi hijab buat hatinya.
Kalau dzikirnya banyak tapi ngerasa amalannya melebihi orang lain, atau cari hikmah…maka itu pun jadi hijab buat hatinya.
Oleh krn itu banyak org belajar tasawuf untuk mengenali hijab2 itu…
Kalau saya baru baca2 tasawuf aja…belum ikutan tariqat, kalau pun ikutan tariqat saya mau cari yg sanadnya jelas sampai ke Rasulullah Saw… Makanya kalau ego saya besar itu krn saya masih awam soal tasawuf…(Nyadar diri..hehehe)
Mas Hery:
hh3…suudzon itu persepsi mba…, kalau mengajak utk mengikuti sunnah rosul dibilang suudzon…ya repot lah….
Jawab:
Silahkan saja mengajak untuk mengikuti sunnah Rosul…tapi yg benar. Jangan cuma main nukil-nukil, ambil perkataan ulama sepotong, lantas buat berfatwa.
Misal, kalau mau jelas arti bid’ah menurut para Imam…pelajari pula sejarah hidup mrk. Apakah mrk melakukan bid’ah juga apa nggak?
Contoh, Imam Syafi’I bikin redaksi shalawat sendiri (di luar shalat)…itu kan bid’ah juga to? Imam Syafi’I ngajarin buat melafadzkan niat sebelum shalat…itu juga bid’ah.
Hery:
Ya susah kalau pakai perasaan…, ahmadiyyah juga merasa diri mereka benar2 aja…, Ya tdk akan ada yg berani mewajibkan tahlilan atau bid’ah2 yg lainnya….Faktanya: tahlilan, itu dilakukan setiap ada yg meninggal, dan ini sudah mendarah daging, seolah2 itu merupakan syariat yg dibawa oleh Rosulullah SAW….??
Begini mba, ada ga…perintah untuk melakukan tahlilan pada hari ke 1,2,3, dll
Jawab:
Hehehe…saya rasa ulama kami masih waras, masih ngerti mana yg ibadah mahdoh mana yg bukan. Jadi ngapain mewajibkan tahlilan, lha wong emang bukan ibadah mahdoh koq…
Yg perlu diluruskan kepada masyarakat awam adalah memberi pengertian, bahwa tahlilan itu tidak diwajibkan…dan hanya adat semata. Bukan malah mengatakan sesat…
Sesat itu kalau di dalam tahlilan isinya karaokean, nyanyi-nyanyi, nah itu baru sesat…
Kalau isinya cuma dzikir, ceramah ttg perlunya mengingat mati, mendoakan si mayit…dan hal kebaikan lainnya, masa nggak boleh?
Kalau soal ibadah…apa saja asalkan niatnya Lillahi Ta’ala semua akan jadi ibadah. Segala gerak-gerik kaum muslimin kalau niatnya dan hatinya kpd Allah, itu akan jadi ibadah…
Jadi yg namanya ibadah itu nggak cuma shalat, puasa, zakat, naik haji aja Mas (ibadah mahdoh) tapi keseluruhan sikap, perilaku, dan kegiatan kaum muslimin yg baik itu semua dikategorikan sebagai ibadah.
Kalau masalah dzikir jama’ah yg dianggap bid’ah ya silahkan…
Tokh ada hadist2 dimana Rasulullah Saw ikutan dzikir bersama orang2 miskin di dalam sebuah masjid…kalau memang sesat, pastinya sudah ditegur org2 miskin yg lagi dzikir jama’ah itu…
Ah, kalian itu aneh…dzikir jama’ah dibilang sesat, padahal namanya dzikir tu ya ngingat Allah. Cuma setan yg gak suka kalau nama Allah disebut secara berjama’ah…kayak komunis aja Mas, anti sama dzikir jama’ah…
Kalau umat Islam kumpul di masjid, dzikir jama’ah..kompak…sampai terdengar orang2 kafir, yang ada orang2 kafir itu hatinya jadi ciut…
Soal berwudhu…
Saya nggak bilang wudhu itu bid’ah…yg saya bilang kalau mau ujian terus wudhu dulu nah itu namanya bid’ah hasanah…karena di jaman Nabi belum ada ujian sekolah.
Coba perhatikan konteks hadist ttg wudhu dalam hadist Imam Bukhari itu, konteksnya adalah wudhu untuk shalat malam….
Sedangkan Imam Malik setiap hendak menyampaikan hadist selalu wudhu dan shalat dulu 2 raka’at. Ini kan gak dicontohkan to oleh Nabi Saw?
Anda bilang di awal tulisan, kalau syariat Islam itu mudah…tidak usah ditambah2i, tidak usah menyusahkan diri sendiri dengan amalan yg gak dicontoh Nabi Saw..betul ndak?
Nah, Imam Malik malah nambah2i amalan ibadah, padahal kalau cuma nyampaikan hadist bisa langsung sampaikan begitu aja kan? Gak usah pakai wudhu dan shalat dulu…ini kan lebih merepotkan diri sendiri…betul nggak? Tapi kenapa Imam Malik malah lebih senang repot? Krn Imam Malik menganggapnya sebagai ibadah…
Untuk masalah Maulid…
Kaum anda ini lucu, kalau sama Maulid Nabi Saw bencinya setengah mati….eh giliran ulamanya wafat malah di Maulid-kan.
Contoh, Maulid syekh Ustmaimin yg isinya pembacaan syair2 yg menyanjung syeh tsb sampai setinggi langit…
Apa nggak aneh tuh…
Padahal kesolehannya syekh Utsmaimin gak ada seujung kukunya dibanding Nabi Saw….
Untuk masalah mimpi bertemu Nabi Saw, saya sudah pernah baca di web2 milik Salafi/Wahabi…sepertinya ustadz Firanda jg pernah nyinggung hal tsb.
Tapi saya rasa itu hanya alasan saja, krn bisa jadi mereka gak pernah bermimpi ketemu Nabi Saw..sehingga mereka membuat -buat pernyataan bahwa bisa saja setan mengaku-ngaku jadi Nabi.
Karena mereka tahu kalau ulama2 kami hampir sebagian besarnya pernah bertemu dg Nabi Saw…bahkan ada yg sering bertemu Nabi Saw.
Awal mula kami tertarik ikut di MR krn ingin dapat bertemu Nabi Saw…krn kami dengar banyak yg sudah mengalaminya setelah ikut MR. Dan ternyata malah kerabat saya itu yg bertemu…dalam keadaan terjaga pula…subhanallah..
Tapi ya gak tau lah kalau Salafi/Wahabi nganggepnya cuma setan yg ngaku2…biarin aja kalau mereka ngomong gitu…
@ mas Hery dan simpatisan Salafi/Wahabi
Berikut ini jawaban dari seorang ulama Sufi ketika ditanya ttg ilmu hikmah dan tariqah
# APA BEDANYA ILMU HIKMAH DAN THARIQAH?
>>> Kalau berdzikir atau ibadah yg lainnya ya harus lillahi ta’ala, namun yg namanya ibadah baik dzikir ya tentu harus mengikuti sunnah rosulullah SAW…, karena dalam salah satu haditsnya” barang siapa yg tdk menyukai sunnahku maka bukan ummatku”. Coba mba renungkan, orang yg berdzikir mengikuti tatacara mursyidnya…dan mengabaikan sunnah rosulullah SAW…??apa nda takut dg ancaman rosulullah itu..??
dzikir sirri; yg hanya menyebut Allah didalam hati, atau nantinya hanya Hu Hu Hu…dsb, ini kan nda diajarkan Rosulullah SAW…mba,,apa kita malah seneng dg dzikir2 seperti ini…?? Ah..terus terang sya nda sepakat dg mba Sinta…kalau harus seperti itu…, akhirnya kita akan pertanggungjawabkan masing 2 toh mba…silahkan aja kalau mau dzikir satu juta…kalau sanggup..hati2 error, ada juga yg belajar tasawuf kerjaannya ke kuburan melulu..akhirnya error juga…
dzikir zahar: yg kencang sekali…, justru ini menyalahi AL Qur’an, bukankah kita diperintahkan dg suara lembut…dalam berdzikir dan berdo’a…karena kita bukan menyeru dan meminta kepada Tuhan yang Tuli…???
Mas Hery, berdzikir boleh dengan untaian dzikir yang kita kehendaki. Berdoa saja boleh dengan bahasa Indonesia
Mas Hery, untuk mengetahui Tasawuf itu apa ya harus banyak cari informasi yg banyak ttg hal ini.
Jangan seperti ulama Wahabi/Salafi yg berani mengatakan ulama Sufi halal darahnya hanya lantaran mendapat 1 atau 2 kasus yg melenceng.
Krn kalau sampai salah dalam menyatakan kekafiran terhadap sesama muslim, kekafiran itu akan berbalik kepada dirinya.
Mungkin mas Hery pernah punya kasus gak ngenakin dengan teman mas Hery yg katanya ikut tarekat Abah Anom itu. Tapi apakah memang betul yg ditangkap oleh teman mas Hery itu sesuai dengan ajarannya Abah Anom?
Soalnya saya juga punya kenalan, yg katanya ikut tarekat Abah Anom, tapi nggak sholat, dengan alasan tanpa shalat 5 waktu pun pada hakekatnya dia sudah shalat.
Padahal setahu saya, Abah Anom itu sangat menekankan sholat 5 waktu, sangat menekankan dalam menjalankan ibadah sunnah, sangat menekankan dalam berakhlak, dzikir, dsb…
A’a Gym itu salah satu yg pernah berguru dengan Abah Anom.
Ternyata, akhirnya ketahuan kalau kenalan saya ini selepas keluar dr Abah Anom malah kumpul2 sama kumpulan orang2 yg nyeleneh…yg dzikirnya cuma pengen cari sensasi terselubung. Jadi yg bikin kenalan saya jadi menyimpang ini bukan karena Abah Anom-nya…tapi krn salah pergaulan setelah keluar dr Abah Anom.
Untuk masalah dzikir “hu..hu..hu” itu tidak dilakukan oleh semua ulama Tasawuf. Karena mayoritas ulama Tasawuf mengajarkan dzikir sesuai tuntunan Nabi Saw, misal astaghfirullah, subhanallah, allahuakbar..dsb..
Memang ada tarekat tertentu yg dzikirnya seperti itu..namun kita husnudzhon saja, mungkin itu hanya dhahirnya saja..batinnya mungkin sdg dzikir sesuai dengan tuntunan Nabi Saw.
Lagipula dzikir itu kan artinya mengingat Allah. Untuk mengingat Allah kita bisa pakai bahasa apa saja, sama dengan berdoa.
Misal, seorang muslim bule mengatakan “oh God”, tentu yg dimaksud olehnya adalah Allah. Dan mengucapkan “oh God” ini sudah dihitung sbg dzikir, krn pd saat itu ia sedang teringat pd Allah.
Sedangkan arti dari “hu” atau “huwa” adalah “Tuhan”.
Untuk dzikir zahar, itu maksudnya bukan dzikir teriak2.
Ulama yg mayoritas sepakat bahwa yg dimaksud di sini adalah dzikir yg dikeraskan suaranya, dikeraskan bukan berarti teriak dong mas Hery…karena kalau teriak2 akan ganggu oranglain.
Kenapa diperbolehkan dzikir Zahar? Karena ada hadist yg membolehkannya.
Diriwayatkan suatu ketika Nabi Saw masuk ke masjid, lalu mendapati kedua sahabat yaitu Umar Ra dan Abu Bakar Ra sedang berdzikir. Umar berdzikir dg suara zahar/keras, sedangkan Abu Bakar Ra sdg dzikir dengan suara lirih.
Lalu Nabi Saw bertanya, kpd Umar Ra mengapa dzikir dg suara keras? Dan dijawab oleh Umar Ra, bahwa ia dzikir Zahar agar ia tidak mengantuk. Nabi kemudian mengatakan, “kamu benar.”
Ketika Abu Bakar Ra ditanya ttg mengapa dzikir secara lirih? Dijawab oleh Abu Bakar Ra, bahwa Allah tidak tuli.
Dan Nabi Saw pun mengatakan “engkau pun benar”
Begitulah akhlak Nabi Saw, sangat bijaksana.
Adapun yg saya baca di web/blog ustadz2 Salafi/Wahabi, mereka melarang dzikir zahar dengan menggunakan hadist yg konteksnya sdg dalam perjalanan menuju medan perang. Tentunya jika nabi Saw tidak melarang dzikir zahar pd saat itu, pasukan Islam akan ketahuan oleh musuh, sedangkan mrk sedang tidak siaga…
Jadi melarang dzikir zahar hanya dg modal hadist tsb kurang pas…krn tidak diperhatikan konteksnya
susah diskusi sama orang yang punya referensi terbatas macam si hery yg kadang gak nyambung antara apa yang disampaikan nya dengan apa yang disampaikan oleh lawan diskusi. Belum lagi masalah konsistensi yang payah, alias gak konsisten. Menurut saya diskusi ini gak bawa manfa’at buat dirinya sendiri
menurut saya hery sudah tidak layak diajak diskusi dia cenderung ngebahas kemana – mana sehingga dia dengan mudah muter-muter , model diskusi seperti hery tidak akan membuahkan Natijah yang bermanfaat , hanya buang2 waktu.
@Mas hery lebih baik diakhiri saja diskusi ini kasihan ada yang bilang hawanya panas katanya..kita udah menyampaikan apa yang kita tahu…
إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali” [QS. Huud : 88].
A’udzubillaahi minal jahli wal hawa, wamimman yatakallamu bil jahli wal hawa. (Aku berlindung kepada Allah dari kebodohan dan hawa nafsu, dan dari orang-orang yg bicara berdasarkan kebodohan dan hawa nafsu).
islah apanya yud……..? yang perlu diperbaiki itu pemahaman kaum wahabi terutama yang nt sama hery sebarkan , masa Ahlu sunnah dikoreksi gak bener nt yud…..?
Betul Mas…coba bandingkan dakwahnya A’a Gym sama dakwahnya Salafi, contoh dakwahnya ustadz Firanda.
A’a Gym dakwahnya Senyum, Sapa, Salam, Baik Sangka.
Ustadz Arifin Ilham dakwahnya intropeksi diri, dzikir, baik sangka..
Habib Mundzir dakwahnya mengajak menjadi pecinta Sayidina Muhammad Saw
A’a Hadi dakwahnya intropeksi diri, Baik sangka
Begitu jg dakwah ustadz2 yg lainnya dr kalangan ulama yg mayoritas…
Kalau dakwah ustadz Wahabi/Salafi…TBC, TBC, dan TBC…padahal umat Islam banyak yg diterkam sama para Salibis tapi cuma asyik ngebahas TBC melulu…
Terus terang kepala saya pening baca dakwahnya ulama Saudi, karena dikit2 syirik, musyrik, kafir, halal darahnya….serem Mas..
-Ahmadsyahid-
“saya kan dah jawab dalilnya adalah Dalil tentang bolehnya ber-Ijtihad , dan saya tidak pernah ber-Ijtihad sendiri maupun berkelompok saya…..”
——————————————-
Sejak kapan ijtihad = MEMBUAT amalan baru dalam agama? Itu kata siapa mas?
Apabila pengertiannya seperti itu, nanti dg mengatas namakan ‘ijtihad’ seseorg bisa seenaknya menciptakan amalan-amalan baru yg TIDAK PERNAH diajarkan, diperintahkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam dan para Sahabat Radyallahu anhu….
Amalan-amalan yg memang sudah jelas-jelas ada PERINTAH, CONTOH dan DIAJARKAN langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam saja BELUM sepenuhnya kita laksanakan, ini malah sudah muncul ‘amalan’ baru lagi ‘ala ahmadsyahid’.
Dalam diskusi yg kecil ini saja sudah muncul ‘amalan’ baru yakni membaca yasin sebelum ‘buang air’ dan adzan sebelum makan….. seolah-olah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasalam TIDAK PERNAH mengajarkan bagaimana adab sebelum makan dan ‘buang air’.
MEMBOLEHKAN adzan sebelum makan dan baca yasin sebelum ‘buang air’ memangnya hasil ‘ijtihad’ siapa mas kalo bukan hasil ‘ijtihad’ mas ‘ahmadsyahid’ sendiri? Atau mas ‘ahmadsyahid’ ini hanya ‘asbun’ saja?
Nanti saya tanya sholawat sambil nungging atau baca Al-Quran sambil kayang jg pasti anda bilang boleh…. kalo gitu makin banyak aja ‘campur tangan’ manusia dalam Islam ini seperti agama nasrani dan yahudi…. Na’udzubillah…
“…..saya hanya mengikuti pendapat para Ulama tentang adanya Bid`ah Hasanah…..”
——————————————-
Saya juga HANYA mengikuti Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasalam , para Sahabat Radhyallahu anhu bahwa SETIAP bid’ah dalam agama itu sesat walaupun dianggap baik oleh manusia.
“….yang nyuruh bikin kesesatan itu siapa him…….?”
—————————————————–
Yg MEMBOLEHKAN adzan sebelum makan dan baca yasin sebelum ‘buang air’. Adzan sebelum shalat Duha yg jelas-jelas PERUNTUKKANnya utk shalat aja TIDAK BOLEH karena TIDAK ADA PERINTAHNYA, apalagi adzan sebelum makan?
“…..nt menyamakan Bid`ah Hasanah dengan Bid`ah Madzmumah , nt mencampur adukkan keduanya , tolong difahami him konteks yang sedang kita diskusikan adalah Bid`ah Hasanah, jangan dicampur adukkan……..”
—————————————————-
Justru para ‘aktivis’ bidah hasanah di Indonesia-lah yg tidak paham makna bid’ah itu sendiri, karena masih MENCAMPUR ADUKAN antara arti kata ‘bid’ah’ secara BAHASA dan arti kata ‘bid’ah’ secara ISTILAH. Perlu diingat bahwa kata ‘bidah’ itu BUKAN bahasa Indonesia mas.
Sebagai bukti contoh, masih ada saja org berkata : “Kalo yasinan, tahlilan dsb itu termasuk bid’ah, berarti naik haji pake PESAWAT bid’ah donk? ceramah pake MICHROPHONE juga bid’ah juga donk?”
“kita hanya dapat mengikuti Al-qur`an dan As-sunnah , apa yang dilarang keduanya kita larang apa yang diperintah keduanya kita laksanakan , ada perkara yang tidak dilarang tidak pula diperintah , ini yang disebut al-`afu atau at-tark , hukumnya mengikuti hukum Taklif yang lima….”
—————————————————————–
Nah… sedangkan setiap perbuatan yg bersifat HABLUMINALLAH yg dilakukan dalam rangka utk MENDEKATKAN DIRI kepada Allah Subhanahu wata’ala dan MENGANDUNG NILAI PAHALA di dalamnya, maka itu TERMASUK kedalam perbuatan yg ADA PERINTAHNYA mas, BUKAN perbuatan yg tidak dilarang, apalagi TIDAK DIPERINTAHKAN, karena ;
Dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami.”
Berkata Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian” [HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), dari Shahabat al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu.]
Dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat) dan tidaklah seekor burung pun yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan kami memiliki ilmunya”[ HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang shahih]
Dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami, ‘Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air besar!’ Maka, Salman Radhiyallahu ‘anhu menjawab, ‘Ya!’”[ Riwayat Muslim (no. 262 (57)), Abu Dawud (no. 7), at-Tirmidzi (no. 16) dan Ibnu Majah (no. 316), dari Salman al-Farisiz]
Jadi, apakah mungkin ADA PERBUATAN/AMALIAH yg sifatnya HABLUMINALLAH yg dilakukan utk MENDEKATKAN DIRI kepada Allah Subhanahu wata’ala dan MENGANDUNG NILAI PAHALA di dalamnya, tapi TIDAK ADA PERINTAHNYA/TIDAK DIAJARKAN DAN TIDAK DICONTOHKAN dari Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasalam? Mungkinkah?
“adapun soal Tabarruk dengan Tanah Kuburan as-sholihin banyak riwayat yang membolekannya , kenapa nt melarangnya…….?”
———————————————————–
Perkataan mas ‘ahmadsyahid’ ini bisa dilihat dari beberapa sisi,
Pertama, setiap keberkahan itu datangnya dari Allah Subhanahu wata’ala, dan setiap hal-hal yg mengandung keberkahan pasti diberitahu oleh Allah Subhanahu wata’ala melaui Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam, seperti contohnya air zam-zam, makanan sahur, madu, kurma dsb.
Kedua, sejak kapan TANAH KUBURAN mengandung kerberkahan? Apalgi bisa MENYEMBUHKAN SAKIT PERUT? apabila mengandung keberkahan, hrs ada dalilnya dan jika benar dapat menyembuhkan sakit perut, hrs ada pembuktian ilmiah secara MEDIS yg membuktikannya, jika keduanya tidak bisa DIBUKTIKAN, maka perbuatan MAKAN TANAH KUBURAN utk MENYEMBUHKAN SAKIT PERUT adalah sebuah KEBODOHAN.
Ketiga, bertabaruk dg kuburan orang sholeh dibolehkan, apakah menurut mas ‘ahmadsyahid’ ini GUS DUR yg merupakan dedengkot LIBERAL, IMAM-nya orag-orang LIBERAL, ‘BAPAK PLIRALISME’ termasuk orang sholihin?
Keempat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam adalah manusia TERBAIK dan PALING MULIA no.1 di dunia sampai saat ini, dan Abu Bakar adalah manusia terbaik no.2 setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam, tapi pernahkan Abu Bakar MAKAN TANAH KUBURAN Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasalam?
Waallahu alam….
usuf Ibrahim
Sejak kapan ijtihad = MEMBUAT amalan baru dalam agama? Itu kata siapa mas?
Apabila pengertiannya seperti itu, nanti dg mengatas namakan ‘ijtihad’ seseorg bisa seenaknya menciptakan amalan-amalan baru yg TIDAK PERNAH diajarkan, diperintahkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam dan para Sahabat Radyallahu anhu….
Nanti saya tanya sholawat sambil nungging atau baca Al-Quran sambil kayang jg pasti anda bilang boleh…. kalo gitu makin banyak aja ‘campur tangan’ manusia dalam Islam ini seperti agama nasrani dan yahudi…. Na’udzubillah…
Him ijtihad itu mencari ” legalitas ” atas sebuah perkara (amalan ) yang tidak terdapat aturannya baik dalam Qur`an maupun Sunnah Nabi jika tidak diatur oleh qur`an dan Hadist perkara (amalan) itu adalah perkara baru , seperti hokum an-Nabidz….
Adapun soal adzan sebelum makan atau baca yasin sebelum ke mck hokum asalnya adalah boleh , kecuali ” `awaridl ” yang menyertainyalah yang menyebabkan perbedaan hukumnya , karena memang tidak ada larangan akan keduanya , lalu apa dasarnya nt ngelarang keduanya………..?
yi : Saya juga HANYA mengikuti Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasalam , para Sahabat Radhyallahu anhu bahwa SETIAP bid’ah dalam agama itu sesat walaupun dianggap baik oleh manusia.
Justru jika nt memahami dengan BENAR tidak sepotong – potong maka nt akan sependapat dengan Mayoritas Sahabat Nabi , Imam Syafi`I dan para Ulama besar lainnya bahwa ada Bid`ah Hasanah, dan nt gak terjerumus dalam Bid`ah ” melarang Tanpa dalil “.
Yi : Yg MEMBOLEHKAN adzan sebelum makan dan baca yasin sebelum ‘buang air’. Adzan sebelum shalat Duha yg jelas-jelas PERUNTUKKANnya utk shalat aja TIDAK BOLEH karena TIDAK ADA PERINTAHNYA, apalagi adzan sebelum makan?.
Nah ini nt terjatuh dalam Bid`ah dolalah him gak ngerasa ” ngelarang tanpoa Dalil “.
Yi : Justru para ‘aktivis’ bidah hasanah di Indonesia-lah yg tidak paham makna bid’ah itu sendiri, karena masih MENCAMPUR ADUKAN antara arti kata ‘bid’ah’ secara BAHASA dan arti kata ‘bid’ah’ secara ISTILAH. Perlu diingat bahwa kata ‘bidah’ itu BUKAN bahasa Indonesia mas.
Sebagai bukti contoh, masih ada saja org berkata : “Kalo yasinan, tahlilan dsb itu termasuk bid’ah, berarti naik haji pake PESAWAT bid’ah donk? ceramah pake MICHROPHONE juga bid’ah juga donk?”
Him sebaiknya nt pelajari lagi tentang Bid`ah hasanah coba cermati pernyataan Imam as-Syafi`i…….. < adapun pertanyaan2 diatas yang nt sampaikan , itu semata mata agar kaum wahabi sadar akan kekeliruannya dalam memahami Hadist tentang Bid`ah.
Nah… sedangkan setiap perbuatan yg bersifat HABLUMINALLAH yg dilakukan dalam rangka utk MENDEKATKAN DIRI kepada Allah Subhanahu wata’ala dan MENGANDUNG NILAI PAHALA di dalamnya, maka itu TERMASUK kedalam perbuatan yg ADA PERINTAHNYA mas, BUKAN perbuatan yg tidak dilarang, apalagi TIDAK DIPERINTAHKAN, karena ;
Dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami.”
Berkata Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian” [HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), dari Shahabat al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu.]
Dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat) dan tidaklah seekor burung pun yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan kami memiliki ilmunya”[ HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang shahih]
Dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami, ‘Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air besar!’ Maka, Salman Radhiyallahu ‘anhu menjawab, ‘Ya!’”[ Riwayat Muslim (no. 262 (57)), Abu Dawud (no. 7), at-Tirmidzi (no. 16) dan Ibnu Majah (no. 316), dari Salman al-Farisiz]
Jadi, apakah mungkin ADA PERBUATAN/AMALIAH yg sifatnya HABLUMINALLAH yg dilakukan utk MENDEKATKAN DIRI kepada Allah Subhanahu wata’ala dan MENGANDUNG NILAI PAHALA di dalamnya, tapi TIDAK ADA PERINTAHNYA/TIDAK DIAJARKAN DAN TIDAK DICONTOHKAN dari Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasalam? Mungkinkah?
Nt ini aneh him , bawain dalil – dalil diatas kok masih " memperkarakan " dan " melarang " tanpa dalil……..ck ckc ck….? Coba him pahami yang bener , kok nt bisa bawa dalil tapi gak faham isinya….?
“adapun soal Tabarruk dengan Tanah Kuburan as-sholihin banyak riwayat yang membolekannya , kenapa nt melarangnya…….?”
———————————————————–
Perkataan mas ‘ahmadsyahid’ ini bisa dilihat dari beberapa sisi,
Pertama, setiap keberkahan itu datangnya dari Allah Subhanahu wata’ala, dan setiap hal-hal yg mengandung keberkahan pasti diberitahu oleh Allah Subhanahu wata’ala melaui Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam, seperti contohnya air zam-zam, makanan sahur, madu, kurma dsb.
Benar semua keberkahan manfaan dan madhorot dari Allah SWT lalu metodologi yang nt gunakan ini metodologi apa him……………..?
Kedua, sejak kapan TANAH KUBURAN mengandung kerberkahan? Apalgi bisa MENYEMBUHKAN SAKIT PERUT? apabila mengandung keberkahan, hrs ada dalilnya dan jika benar dapat menyembuhkan sakit perut, hrs ada pembuktian ilmiah secara MEDIS yg membuktikannya, jika keduanya tidak bisa DIBUKTIKAN, maka perbuatan MAKAN TANAH KUBURAN utk MENYEMBUHKAN SAKIT PERUT adalah sebuah KEBODOHAN.
Dua syarat ini dari mana him apa dalilnya……? Nt kok seneng bikin syare`at baru…..?
Ketiga, bertabaruk dg kuburan orang sholeh dibolehkan, apakah menurut mas ‘ahmadsyahid’ ini GUS DUR yg merupakan dedengkot LIBERAL, IMAM-nya orag-orang LIBERAL, ‘BAPAK PLIRALISME’ termasuk orang sholihin?
Setahu saya Gusdur ini orang shalih …..bahkan banyak yang berpendapat jika Gusdur ini Waliyullah …… kenapa nt tidak mengedepankan Husnudzon……….? Su`udzon melulu nih yusuf ibrahim.
Keempat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam adalah manusia TERBAIK dan PALING MULIA no.1 di dunia sampai saat ini, dan Abu Bakar adalah manusia terbaik no.2 setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam, tapi pernahkan Abu Bakar MAKAN TANAH KUBURAN Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasalam?
Waallahu alam…
Him tidak ada yang meragukan kemulyaan Nabi Saw dan Sahabatnya Sayidina Abu Bakar Ra , adapun Riwayat Tabarruk dengan tanah Makam Rosulallah SAW dating dari Putri beliau Sayidatina Fathimah az-zahra al-Bathuul , bahkan di madinah ada Turobu syifa ( tanah obat) , dan Masih banyak riwayat lainnya , silahkan lihat al-mughni libni qudamah juz 2 hal 213 , wafa ul wafa juz 2 hal 444 , Irsyadu syari juz 2 hal 390 , Matholib ulinuha juz 1 hal 926 , mirqothul mafatih juz 11 hal 108.
Riwayat yang sangat banyak tentang Tabarruk dengan atsar as-sholihin termasuk dengan makam as-sholihin , semua ini bertentangan dengan " faham kaum wahabi "
kalo nt gak tahu riwayat2 seperti ini sebaiknya nt diam , jangan gegabah him semua amalan Ahlu Sunnah wal-jama`ah ini ada dalilnya him , kalo gak tahu Tanya jangan memvonis dan menghukumi.
Wallahu a`lam bishowab.
1. Kullu nafsin dzaalqotu ma’ot
“Kullu” sebagai “Semua tanpa kecuali” berarti malaikat juga merasakan mati ya Mas???
>>> itu ayat Al Qur’an Mba…?? Al Qur’an itu pedoman bagi manusia, bukan pedoman bagi malaikat. Wallohu a’lam, Kullu syaiin halikun illa wajhahu (Allah Befirman “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya).
2. Imam syafi’i membolehkan niat kalau was2, ini ijtihad beliau, dan itu sebenarnya bertentangan dg hadits. Kalau was2 maka boleh kata beliau, namun setelah ga was2…masa baca terus…? Harusnya ikutin cara Rosulullah SAW donk Mba…?? Rusak Mba…agama kalau ditambah2 begini…, dan perlu dicermati Imam Syafi’I kalau ga salah ga mengajarkan melafalkan niat seperti saat ini usolli fardlu..dst.., itu mah buatan Indonesia …,
Rosulullah SAW kalau melihat yg sesat/seperti ahmadiyyah-> ga mungkin cumin diam senyum aja…pasti dibantai tuh. Wong Rosulullah pernah berniat membakar rumah yg ga mau sholat berjamaah ke mesjid…, ini artinya apa…? Keras itu bukan sesuatu yg salah, dan kelembutan itu tdk selamanya benar. Ya…silahkan saja mengaku2 ketemu Rosulullah SAW dan lain2…itu Hak Anda dan kaum tasawuf…., tpi anda perlu waspada juga…kalau yg pernah mengaku ketemu Rosul-> namun prilakunya jauh dari AJaran Sunnah Rosulullah SAW…?? Maka hal itu dipertanyakan…?? Lagian apakah ada keterangan dari hadits bahwa Rosul pernah diijinkan untuk ketemu manusia…?? Ah…jangan2 ini khurafat..maaf Mba…sya cuman khawatir aja…
3. NU itu apa sih? Itu kan organisasi, dan bukan aliran…
Para ulama mayoritas masuk ke NU…tetapi banyak juga yg gak masuk NU. Kalau ajarannya sama ya krn madzhabnya sama…
Kalau saya belajar dari ulama mana saja, asalkan landasannya adalah husnudzhon…
Saya juga belajar ke ulama Salafi/Wahabi koq, tapi kepala saya jd pening…apalagi baca fatwa2 ulama Saudi, nambah pening…
Ngeliat wajahnya juga suram, beda banget kalau belajar sm para habib…,geliat wajahnya udah adem. Saya lebih senang belajar sm A’a Gym, habib Munzir, A’a Hadi, A’a Reza., ustadz Arifin Ilham, lebih adem…hawanya nggak panas..
>>> hhhe….Kalau saya belajar bukan karena mukanya adem…enak dilihat…, sya mah cari yg berlandaskan AL Qur’an dan As-sunnah yg shahih…> Begini kalau mba miris lihat mukanya, atau dah benci dg salafy….maka bisa melalui pendekatan mempelajari muhammadiyyah, persis, wahdah islamiyyah, atau MMI…mungkin mba akan dapatkan juga sudut pandang mereka terhadap salafy dan sudut pandang mereka trhdp NU/tasawuf. Untuk di Indonesia mereka berada di posisi tengah….mudah2an..persepsi anda trhdp NU/Tasawuf dan juga ssalafy akan sedikit ada perubahan….
4. Ikutan ulama yg mayoritas dong
>>mayoritas yg mana…??? NU, Muhammadiyyah, Persis, Salafy, MMI, IM, Wahdah I, HTI, dll…mana yg mayoritas itu mba…??
5. Saya pakai hati nurani aja Mas…masa’ ngundang org buat doa’in keluarga kt yg meninggal masa’ sesat sih…
>>> ya terserah aja deh mba…, kalau masanya masanya…ya susah…
6. Muhammadiyah itu akidahnya ada 2 golongan koq Mas…yg asy-aryah-maturidy dan yg Wahabi…
>>>> Muhammdiyyah dibawah din syamsuddin yg saya maksud …, sya jg pernah kalau dibai’at di suryalaya…tapi kesininya ga sreg dg hati…, ada hal2 ya ga pas…, Ya ga tau lah mudah2an Allah SWT member taufik dan hidayah kepada mba dan saya…, ya kalau yg sejalan dg sunnah Rosulullah SAW tasawuf ya..ok2 aja….sya baca juga wejangan2an syaikh abdul qodir jailani…, namun kalau dzikir ala tasawufnya sya ga sreg…
7. Kalau shalawat nariyah dibaca 4444 kali itu kata ulama siapa ya? Perasaan baru denger cerita itu…
Shalawat Nariyah itu syair Mas…namanya syair wajar dong kalau pakai kalimat majazi.
Yang baca shalawat Nariyah juga ngerti koq kalau yg menghilangkan kesusahan hanya Allah…tenang aja Mas…kami masih waras koq
Kalau soal syekh Saudi, kami udah nggak heran koq kalau fatwa2 mrk suka nyeleneh…termasuk fatwa harus meyakini bumi itu datar, kalau nggak maka kafir, halal darahnya…halal hartanya…jadi udah nggak kaget ,
>>>> Syair itu kalau ga salah nyanyian kalau bahasa, lho…ya kalau ngerti kenapa ga Nabi dibilang yg menghilangkan kesusahan…?? Dimana makna majazi nya…., ya kalau memang suka bikin sholawat…ya isinya minimal jangan ada yg nyerepet ke hal2 yg berpotensi menduakan Allah lah…, terus terang sya ragu sufi ini..jangan2…taktik yahudi juga…buat menjauhkan umat islam terhadap sunnah Rosulullah SAW…Wallohu a’lam…
Ya kalau anda bilang nyeleneh yo monggo lah…mungkin suatu saat..anda juga berbalik malah menjadi simpatisan manhaj salaf…Wallohu a’lam (Itu Hak Allah untuk membolak balik hati)
8)
. Gimana nggak, lha wong saya dah lihat sendiri gimana yg dijadikan hujjah adalah nukilan2 ulama klasik yg sudah digunting2…
Nggak berani jujur apa adanya…
Saya juga pelajari lho karya ustadz Salafi/Wahabi, contoh spt ustadz Firanda. Beliau kan kalau nulis berapi-api, menyerang lawannya kalau nggak pakai hadist shahih lah, dsb…eh ternyata ketahuan kalau beliau sendiri pakai hadist yg gak shahih…lha, gimana tuh…(Saya ngikutin debat2nya lho yg dijawab sama ustadz2 non-Wahabi…sampai berseri tuh debat, asik ngikutinnya…hehehe).
>>Coba deh baca karya2 Ustad Luqman Ba’abduh….,
9)
Saya faham, hakikat manhaj salaf ini hanya seputar TBC.
Yang diurusin cuma masalahin tahlilan, Maulid Nabi, shalawat Nariyah, salaman setelah shalat…dan seputar itu. Tapi giliran orang2 Kristen bikin gereja cuma anteng aja…nggak peduli, yg sibuk memerangi Kristenisasi justru ulama2 non-Wahabi…
>>mba emang orang kristen harus diperangi…?? Ya ngga begitu lah…, anda pasti tahu mana yg harus diperangi dan mana yg tidak…, berusaha mengingatkan ummat dari hal2 baru yg menjauhkan mereka dari Petunjuk Rosulullah SAW…sya kira ini bentuk kepedulian agar Islam ini tdk tercampur dg hal2 yg keluar dari Petunjuk Rosulullah SAW
10.
Untuk mengetahui palsu atau tidaknya sebetulnya gampang koq…tinggal cocokkan aja dengan manuskripnya. Tokh yg pegang manuskripnya gak cuma Saudi aja…manuskrip2 itu tersebar di seantero negeri.
Malah yg mengenaskan, ada manuskrip2 yg memang sengaja dibeli oleh pemerintah Saudi kemudian dimusnahkan…ini saya baca di Ummati, dan yg meneliti seorang ilmuwan Islam yg sangat khawatir dengan keberadaan manuskrip2 kuno yg dihancurkan satu persatu oleh Arab Saudi.
Untuk mengetahui manuskrip itu memang benar2 kuno atau hanya copy-an buatan masa Dinasti Saudi, bisa dites dengan uji Carbon…
11. Gak usah dompleng…krn para ulama Sufi itu kalau yg lurus ada sanadnya.
Lho emang gak pernah baca ya gimana dalamnya ucapan Imam Ali Zainal Abidin? Beliau itu senang membuat prosa…kata2nya dalam, penuh perenungan. Lidahnya selalu basah dengan dzikir… Cara berperilaku Imam Ali Zainal Abidin ini ditiru oleh para ulama Sufi.
>>> Imam Ali ga pernah toh berikrar sbg tasawuf…?? Ya membuat prosa dalam ya ga apa2…, tapi jangan sampai nyerepet2 kedalam hal2 yg syirik. Orang arab saudi yg tiap hari bahasa arab koq ngomongnya…mereka pasti tahu…kapan prosa itu layak bermakna majazi dan kapan tidak…, tapi yow is …ga apa2….silahkan aja…
12.
Kan sudah dijawab sama seorang Ulama Tasawuf yg saya tulis di atas…
Bahkan ulama Tasawuf pun mengatakan, kalau dzikir krn mencari hikmah…maka yg ada hati akan terhijab, misal dzikir dengan mencapai hitungan tertentu supaya kasyaf…atau supaya dapat karomah, maka otomatis hati akan terhijab…
Kecuali kalau dzikirnya semata2 cuma untuk mendapat ridha Allah Swt.
>>>>>justru yg jadi masalah sebenarnya batasan itu, menetapkan batasan. Kalau mau dzikir ya silahkan sebanyak2 nya…nda usah netapkan batasan2 tertentu, …penetapan dan tatacara batasan dzikir itu kewenangan Rosulullah SAW. Ingatlah hadits…Man righibba an sunnatii falaisa minni…
13.
Silahkan saja mengajak untuk mengikuti sunnah Rosul…tapi yg benar. Jangan cuma main nukil-nukil, ambil perkataan ulama sepotong, lantas buat berfatwa.
Misal, kalau mau jelas arti bid’ah menurut para Imam…pelajari pula sejarah hidup mrk. Apakah mrk melakukan bid’ah juga apa nggak?
Contoh, Imam Syafi’I bikin redaksi shalawat sendiri (di luar shalat)…itu kan bid’ah juga to? Imam Syafi’I ngajarin buat melafadzkan niat sebelum shalat…itu juga bid’ah.
>>>> coba saya dikasih tahu mba… redaksi sholawat bikinan Imam Syafi’I itu…?? Dan mana lafadz niat yg diajarkan oleh imam syafi’i itu….??
14. Hehehe…saya rasa ulama kami masih waras, masih ngerti mana yg ibadah mahdoh mana yg bukan. Jadi ngapain mewajibkan tahlilan, lha wong emang bukan ibadah mahdoh koq…
>>> kalau mewajibkan tahlilan-> ya ga bakal ada…, bid’ah itu bukan hanya dalam konteks mewajibkan atau tidak, namun termasuk juga melakukan amalan yg dibiasakan terus menerus yg seolah2 itu adalah bagian dari ajaran Rosulullah SAW. Ga susah sih…ada ga hadits rosul ngajarin untuk memperingati hari kematian 1-7, 40, 100, 1000 hari itu…, bukankah kita ini harus meneladani Rosulullah SAW …?? Tpi koq..knapa kita malah seneng neladanin kyai2 NU…?? Tpi ya udah lah…itu tanggung jawab anda…,
15. Yg perlu diluruskan kepada masyarakat awam adalah memberi pengertian, bahwa tahlilan itu tidak diwajibkan…dan hanya adat semata. Bukan malah mengatakan sesat…
>>> ga sekencang itu kali…, cuman dan itu bukan dari petunjuk Rosulullah SAW. Dan itu ga ada dari nabi-Nya, Sya pun ga bakalan tunjuk langsung kalau ada yg tahlilan …hai itu bid’ah itu sesat…nda…nda bakal seperti itu…, kasihan orang awam kalau begitu…, sya kalau bisa..ya mungkin hanya menyampaikan hal2 scara santun…, dan itu terserah mereka mau sepakat atau nda…
16.
Sesat itu kalau di dalam tahlilan isinya karaokean, nyanyi-nyanyi, nah itu baru sesat…
Kalau isinya cuma dzikir, ceramah ttg perlunya mengingat mati, mendoakan si mayit…dan hal kebaikan lainnya, masa nggak boleh?
– mendo’akan, dzikir, ceramah ya emang ga ada yg melarang, justru itu bagus, namun sebagai Umat Islam…ya hendaknya kita mengikuti tatacara Rosulullah SA.., meskipun anda katakana bukan ibadah mahdah…ya iyah…bukan, namun itu menyerupai syariat…artinya menandingi syariat …padahal bukanlah ajaran syariat –. Yg tahlilan 1-7 hari dst itu…dg ritual , bacaan, khusus,…
17.
Kalau soal ibadah…apa saja asalkan niatnya Lillahi Ta’ala semua akan jadi ibadah. Segala gerak-gerik kaum muslimin kalau niatnya dan hatinya kpd Allah, itu akan jadi ibadah…
Jadi yg namanya ibadah itu nggak cuma shalat, puasa, zakat, naik haji aja Mas (ibadah mahdoh) tapi keseluruhan sikap, perilaku, dan kegiatan kaum muslimin yg baik itu semua dikategorikan sebagai ibadah.
>>betul mba…, sya sepakat, kalau suami mba bekerja, itu ibadah,…,
>>> namun tahlilan ini menurut saya…ga bisa diklasifikasikan kedalam ibadah ghoru mahdhoh itu…, karena mempunyai tatacara khusus, bacaan khusus, waktunya jg tertentu, oleh karena itu tahlilan ini seolah2 ibadah yg diajarkan oleh syariat padahal ga ada perintahnya..
18.
Kalau masalah dzikir jama’ah yg dianggap bid’ah ya silahkan…
Tokh ada hadist2 dimana Rasulullah Saw ikutan dzikir bersama orang2 miskin di dalam sebuah masjid…kalau memang sesat, pastinya sudah ditegur org2 miskin yg lagi dzikir jama’ah itu…
>>> ya udah deh terserah…kita pertanggungjawabkan masing2 toh…
19.
Ah, kalian itu aneh…dzikir jama’ah dibilang sesat, padahal namanya dzikir tu ya ngingat Allah. Cuma setan yg gak suka kalau nama Allah disebut secara berjama’ah…kayak komunis aja Mas, anti sama dzikir jama’ah…
Kalau umat Islam kumpul di masjid, dzikir jama’ah..kompak…sampai terdengar orang2 kafir, yang ada orang2 kafir itu hatinya jadi ciut…
>>>> logika anda mengatakan seperti itu..ya karena itu berdasarkan akal. Agama ini wahyu mba…coba dicek ulang ayat2 Al Qur’an
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (cek surat al a’rof ayat : 205)
Logika anda benar, namun bertentangan dg Wahyu Ilahi
20.
Soal berwudhu…
Saya nggak bilang wudhu itu bid’ah…yg saya bilang kalau mau ujian terus wudhu dulu nah itu namanya bid’ah hasanah…karena di jaman Nabi belum ada ujian sekolah.
Coba perhatikan konteks hadist ttg wudhu dalam hadist Imam Bukhari itu, konteksnya adalah wudhu untuk shalat malam….
Sedangkan Imam Malik setiap hendak menyampaikan hadist selalu wudhu dan shalat dulu 2 raka’at. Ini kan gak dicontohkan to oleh Nabi Saw?
Anda bilang di awal tulisan, kalau syariat Islam itu mudah…tidak usah ditambah2i, tidak usah menyusahkan diri sendiri dengan amalan yg gak dicontoh Nabi Saw..betul ndak?
Nah, Imam Malik malah nambah2i amalan ibadah, padahal kalau cuma nyampaikan hadist bisa langsung sampaikan begitu aja kan? Gak usah pakai wudhu dan shalat dulu…ini kan lebih merepotkan diri sendiri…betul nggak? Tapi kenapa Imam Malik malah lebih senang repot? Krn Imam Malik menganggapnya sebagai ibadah…
>>> Ada itu hadits utsman bahwa siapa yg wudlu dan sholat dua rokaat maka Allah akan ampuni dosanya…, setelah sholat mau belajar , mau nyampein hadits dll. Ya itu mah terserah anda, mau tidur , atau aktivitas lainnya…itu mah bukan bid’ah…, jangan paksakan supaya anda meligitimasi adanya bid’ah hasanah…, imam malik tahu persis mana bid’ah dlm agama ini.
Ada juga wudhu sebelum tidur
Anjuran untuk berwudhu sebelum tidur dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Al Baro’ bin ‘Azib bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kamu mendatangi tempat tidurmu maka berwudhulah seperti wudhu untuk shalat, lalu berbaringlah pada sisi kanan badanmu” (HR. Bukhari dan Muslim). (http://buletin.muslim.or.id/fiqih/meraih-pahala-sebelum-tidur)
Jadi wudhu itu ibadah, dan bukan hanya untuk sholat aja…, menyucikan diri bukankah disukai Allah SWT. Kalau imam malik ga batal, apakah wudhu lagi gara2 mau nyampein hadits…??, sya kira ga bakalan toh…??…dan itu ga ngerepotkan buat Imam Malik…justru suatu ibadah yg dicintai Allah SWT..
21. Maulid syekh Ustmaimin yg isinya pembacaan syair2 yg menyanjung syeh tsb sampai setinggi langit…
….
Untuk masalah mimpi bertemu Nabi Saw, saya sudah pernah baca di web2 milik Salafi/Wahabi…sepertinya ustadz Firanda jg pernah nyinggung hal tsb.
Tapi saya rasa itu hanya alasan saja, krn bisa jadi mereka gak pernah bermimpi ketemu Nabi Saw..sehingga mereka membuat -buat pernyataan bahwa bisa saja setan mengaku-ngaku jadi Nabi.
Karena mereka tahu kalau ulama2 kami hampir sebagian besarnya pernah bertemu dg Nabi Saw…bahkan ada yg sering bertemu Nabi Saw.
Awal mula kami tertarik ikut di MR krn ingin dapat bertemu Nabi Saw…krn kami dengar banyak yg sudah mengalaminya setelah ikut MR. Dan ternyata malah kerabat saya itu yg bertemu…dalam keadaan terjaga pula…subhanallah..
Tapi ya gak tau lah kalau Salafi/Wahabi nganggepnya cuma setan yg ngaku2…biarin aja kalau mereka ngomong gitu…
>>> Maulid syek utsaimin…?? Baru denger…, info dr mana mba..? jangan sering suudzon dan fitnah2 gitu…
Utk mimpi ketemu Rosulullah SAW, dan pernah ketemu dalam keadaan terjaga…?? Kan dah jelas…kalau mimpi ya ok…ada potensi benarnya…, kalau dlm keadaan terjaga…hadits darimana lagi tuh mba…?? Apa ada keterangan sahabat yg ketemu nabi setelah wafat…?? Apa syeikh atau teman anda lebih hebat dari sahabat…?? Sya kira kesolehannya jauh dibaawah sahabat tuh…??
itu ayat Al Qur’an Mba…?? Al Qur’an itu pedoman bagi manusia, bukan pedoman bagi malaikat. Wallohu a’lam, Kullu syaiin halikun illa wajhahu (Allah Befirman “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya).
jawab:
Ayat Al-Qur’an itu menjelaskan ttg segala hal…bukan hanya menjelaskan ttg manusia saja. Tapi jg menjelaskan ttg kehidupan secara luas…baik itu tumbuhan, binatang, maupun malaikat.
Oh ya, ngomong2 kalau Wahabi/Salafi kan mengartikan ayat2 mustasyabihat secara letterlux, Allah punya wajah namun wajah-Nya berbeda dari makhluk2-Nya, Allah punya tangan namun tangan-Nya berbeda dari makhluk2-Nya, Allah punya mulut namun berbeda dari makhluk2-Nya, Allah punya kaki namun berbeda dari makhluk2-Nya…betul kan???
Nah bagaimana kalian menyikapi ayat di atas : Bahwa segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya.
Kalian kan ngotot kalau kata wajah, tangan, kaki, lengan, dan yg sifat2 materi itu bukan majazi…
Apa mas Hery mau bilang kalau yg nggak binasa cuma wajah Allah saja? Sedangkan kaki, tangan, mulut, lengan, mata, hidung, dan semua sifat jisim Allah itu akan binasa???
Kalau kata “kullu” diartikan sbg “semua tanpa kecuali” berarti kaki, tangan, mata,
mulut dan jisim2 lainnya yg diartikan secara letterlux oleh Salafi/Wahabi akan binasa dong…..kan kalian gak meyakini sifat2 jisim itu bermakna majazi….iya kan???
itu ayat Al Qur’an Mba…?? Al Qur’an itu pedoman bagi manusia, bukan pedoman bagi malaikat. Wallohu a’lam, Kullu syaiin halikun illa wajhahu (Allah Befirman “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya).
jawab:
Ayat Al-Qur’an itu menjelaskan ttg segala hal…bukan hanya menjelaskan ttg manusia saja. Tapi jg menjelaskan ttg kehidupan secara luas…baik itu tumbuhan, binatang, maupun malaikat.
Oh ya, ngomong2 kalau Wahabi/Salafi kan mengartikan ayat2 mustasyabihat secara letterlux, Allah punya wajah namun wajah-Nya berbeda dari makhluk2-Nya, Allah punya tangan namun tangan-Nya berbeda dari makhluk2-Nya, Allah punya mulut namun berbeda dari makhluk2-Nya, Allah punya kaki namun berbeda dari makhluk2-Nya…betul kan???
Nah bagaimana kalian menyikapi ayat di atas : Bahwa segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya.
Kalian kan ngotot kalau kata wajah, tangan, kaki, lengan, dan yg sifat2 materi itu bukan majazi…
Apa mas Hery mau bilang kalau yg nggak binasa cuma wajah Allah saja? Sedangkan kaki, tangan, mulut, lengan, mata, hidung, dan semua sifat jisim Allah itu akan binasa???
Kalau kata “kullu” diartikan sbg “semua tanpa kecuali” berarti kaki, tangan, mata,
mulut dan jisim2 lainnya yg diartikan secara letterlux oleh Salafi/Wahabi akan binasa dong…..kan kalian gak meyakini sifat2 jisim itu bermakna majazi….iya kan??? Anda kan sebelumnya keukeuh kalau menakwil ayat2 mustasyabihat itu sesat…
Ingat ya, kalian itu nyebarin kata “sesat” bagi orang yg menakwil…
Mas Hery:
Imam syafi’i membolehkan niat kalau was2, ini ijtihad beliau, dan itu sebenarnya bertentangan dg hadits. Kalau was2 maka boleh kata beliau, namun setelah ga was2…masa baca terus…? Harusnya ikutin cara Rosulullah SAW donk Mba…?? Rusak Mba…agama kalau ditambah2 begini…, dan perlu dicermati Imam Syafi’I kalau ga salah ga mengajarkan melafalkan niat seperti saat ini usolli fardlu..dst.., itu mah buatan Indonesia …,
Jawab:
koq yakin itu buatan org Indonesia?
Lagipula apa salahnya sih ucapin “Ushali fardhal dst..”? Lha wong ngucapinnya juga di luar sholat. Kalau pas lagi sholat ngucapin “ushali fardhal dst” nah itu baru bid’ah dholalah.
Kalau mau sholat anda ngobrol dulu sama teman di samping anda…emang salah ya? Ngucapin “ushali” kan cuma untuk mengukuhkan hati kalau akan melakukan shalat tertentu. Kalau pun gak ucapin ushali juga nggak apa2…
Jadi ngapain diributin….
Masalah ushali aja ribut….tapi giliran Yahudi bunuhin orang2 Palestina kalian malah nggak ribut…
Aneh dengan pola pikir kalian yg kebalik-balik…gak bisa membedakan mana yg paling penting untuk diributkan…benar-
benar firqoh yg aneh…
mas Hery:
21. Maulid syekh Ustmaimin yg isinya pembacaan syair2 yg menyanjung syeh tsb sampai setinggi langit…
….
Untuk masalah mimpi bertemu Nabi Saw, saya sudah pernah baca di web2 milik Salafi/Wahabi…sepertinya ustadz Firanda jg pernah nyinggung hal tsb.
Tapi saya rasa itu hanya alasan saja, krn bisa jadi mereka gak pernah bermimpi ketemu Nabi Saw..sehingga mereka membuat -buat pernyataan bahwa bisa saja setan mengaku-ngaku jadi Nabi.
Karena mereka tahu kalau ulama2 kami hampir sebagian besarnya pernah bertemu dg Nabi Saw…bahkan ada yg sering bertemu Nabi Saw.
Awal mula kami tertarik ikut di MR krn ingin dapat bertemu Nabi Saw…krn kami dengar banyak yg sudah mengalaminya setelah ikut MR. Dan ternyata malah kerabat saya itu yg bertemu…dalam keadaan terjaga pula…subhanallah..
Tapi ya gak tau lah kalau Salafi/Wahabi nganggepnya cuma setan yg ngaku2…biarin aja kalau mereka ngomong gitu…
>>> Maulid syek utsaimin…?? Baru denger…, info dr mana mba..? jangan sering suudzon dan fitnah2 gitu…
Utk mimpi ketemu Rosulullah SAW, dan pernah ketemu dalam keadaan terjaga…?? Kan dah jelas…kalau mimpi ya ok…ada potensi benarnya…, kalau dlm keadaan terjaga…hadits darimana lagi tuh mba…?? Apa ada keterangan sahabat yg ketemu nabi setelah wafat…?? Apa syeikh atau teman anda lebih hebat dari sahabat…?? Sya kira kesolehannya jauh dibaawah sahabat tuh…??
Jawab:
Hehehe….baca berita dong. Saya kan berusaha untuk obyektif, saya gak mau nilai duluan kalau gak cari2 info dulu ke sana-sini….
Cari dong beritanya, lha wong ulama2 anda di Arab Saudi yg bikin Maulid buat syekh Ustmaimin….masa’ gak tau sih? Sibuk bid’ah-bid’ahin orang terus sih….
Kalau masalah bertemu dengan Nabi Saw dalam keadaan terjaga itu udah gak asing, karena para Imam pun banyak yg diberi bonus bertemu dengan Nabi Saw dalam keadaan terjaga…bahkan mereka sering mengalaminya. Contoh, Imam Ghazali, yg sudah terkenal sering bertemu dgn Nabi Saw…
Kalau kerabat saya bertemu dengan Nabi Saw dalam keadaan terjaga itu semata2 sbg peneguh hati. Memangnya Allah nggak kuasa melakukan itu?
Saya malah ragu, apakah ulama kalian bertemu dg baginda Rasul….lha wong kalian aja sibuk ghibahin orangtua Nabi Saw…
Jadi wudhu itu ibadah, dan bukan hanya untuk sholat aja…, menyucikan diri bukankah disukai Allah SWT. Kalau imam malik ga batal, apakah wudhu lagi gara2 mau nyampein hadits…??, sya kira ga bakalan toh…??…dan itu ga ngerepotkan buat Imam Malik…justru suatu ibadah yg dicintai Allah SWT..
Jawab:
Ingat ya…yg saya tekankan bukan pd wudhunya….tapi pada sholatnya. Ada gak perintah wudhu lalu sholat dulu sebelum menulis atau menyampaikan hadist???
Kalau untuk Ahmadiyah jelas kesesatannya….
Tapi apakah cara bicara Nabi Saw penuh dengan kebencian? Nabi Saw itu orangnya lembut sekali….cara memperlakukan prang itu sangat santuuun sekali. Kalaupun beliau tegas, nada bicaranya jauh dari ego….
Saya mau tanya, ttg hadist berikut, kurang lebihnya :
Kalian akan memerangi Arab, Persia, Rhum, dan yg terakhir Dajjal. Kesemuanya dimenangkan oleh kalian…
Arab yg dimaksud itu mana ya?
Dan muslimin yg memerangi Arab tsb apakah Salafi/Wahabi?
Atau jangan2 Arab yg diperangi itu adalah Saudi Arabia…
Dan yg memerangi adalah mayoritas ulama yg memang getol menentang Yahudi yg jadi sobat karibnya Arab Saudi?
>>>> Muhammdiyyah dibawah din syamsuddin yg saya maksud …, sya jg pernah kalau dibai’at di suryalaya…tapi kesininya ga sreg dg hati…, ada hal2 ya ga pas…, Ya ga tau lah mudah2an Allah SWT member taufik dan hidayah kepada mba dan saya…, ya kalau yg sejalan dg sunnah Rosulullah SAW tasawuf ya..ok2 aja….sya baca juga wejangan2an syaikh abdul qodir jailani…, namun kalau dzikir ala tasawufnya sya ga sreg…
Jawab:
Hehehe….orang Muhammadiyah emang byk yg suka bid’ah2in amalan orglain, tapi mrk gak anti takwil. Malah kalau saudaranya ada yg meninggal, tahlilannya diganti jd pengajian… kalau hal ini kemudian menyebar dan pengajian seperti ini dijadikan tradisi…ya pada akhirnya jadi bid’ah hasanah juga….betul???
——–
Ah, kalian itu aneh…dzikir jama’ah dibilang sesat, padahal namanya dzikir tu ya ngingat Allah. Cuma setan yg gak suka kalau nama Allah disebut secara berjama’ah…kayak komunis aja Mas, anti sama dzikir jama’ah…
Kalau umat Islam kumpul di masjid, dzikir jama’ah..kompak…sampai terdengar orang2 kafir, yang ada orang2 kafir itu hatinya jadi ciut…
>>>> logika anda mengatakan seperti itu..ya karena itu berdasarkan akal. Agama ini wahyu mba…coba dicek ulang ayat2 Al Qur’an
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (cek surat al a’rof ayat : 205)
Logika anda benar, namun bertentangan dg Wahyu Ilahi
Jawab:
Untuk mengetahui kandungan ayat al-Qur’an itu harus diperjelas dengan hadist. Lha jelas ada hadistnya dimana Rasulullah Saw tidak melarang Umar Ra dzikir zahar…
Yang nggak boleh tuh dzikir zahar yg teriak2….kayak pendeta Kristen tuh, yg kalau nyebut nama tuhannya pakai teriak2…
Masa gak bisa bedain sih…
Yang nggak suka dengar gemuruh suara dzikir tu orang2 kafir…Yahudi dan
antek2nya…
Sekarang kalian malah tasyabuh dengan orang kafir yg senang memerangi muslim yg lg dzikir jama’ah…
ga sekencang itu kali…, cuman dan itu bukan dari petunjuk Rosulullah SAW. Dan itu ga ada dari nabi-Nya, Sya pun ga bakalan tunjuk langsung kalau ada yg tahlilan …hai itu bid’ah itu sesat…nda…nda bakal seperti itu…, kasihan orang awam kalau begitu…, sya kalau bisa..ya mungkin hanya menyampaikan hal2 scara santun…, dan itu terserah mereka mau sepakat atau nda…
Jawab:
Tapi pada kenyataannya….mayoritas Salafi/Wahabi lantang kalau menghakimi “sesat”. Ulama2 yg mayoritas pun mrk kritik dgn ungkapan “sesat”. Entah itu habib Munzir, ustadz Arifin Ilham, ustadz Abu Sangkan…dsb…dsb..
Imam Ali ga pernah toh berikrar sbg tasawuf…?? Ya membuat prosa dalam ya ga apa2…, tapi jangan sampai nyerepet2 kedalam hal2 yg syirik. Orang arab saudi yg tiap hari bahasa arab koq ngomongnya…mereka pasti tahu…kapan prosa itu layak bermakna majazi dan kapan tidak…, tapi yow is …ga apa2….silahkan aja…
Jawab:
Hadeuh….orang Arab Saudi yg non-Salafi/Wahabi buktinya ngerti kalau shalawt Nariyah itu cuma berisi kalimat majazi. Cuma orang Arab Saudi yg Salafi/Wahabi aja kali’ yg gak ngerti…
Kalau Imam Ali Zainal Abidin berikrar Tasawuf ya nggak mungkin dong, lha wong istilah Tasawuf itu baru ada bbrp abad setelah beliau hidup. Tapi cikal bakal tasawuf itu ada, awal mulanya ya diambil dari pemikiran serta kehidupan Imam Ali
Zainal yg sangat wara’ dan zuhud’.
mas Hery:
mba emang orang kristen harus diperangi…?? Ya ngga begitu lah…, anda pasti tahu mana yg harus diperangi dan mana yg tidak…, berusaha mengingatkan ummat dari hal2 baru yg menjauhkan mereka dari Petunjuk Rosulullah SAW…sya kira ini bentuk kepedulian agar Islam ini tdk tercampur dg hal2 yg keluar dari Petunjuk Rosulullah
Jawab:
yg kalian ributkan hanyalah hal-hal yg sifatnya furu’….itu-itu saja yg diributkan, nggak ada habiskan.
Sedangkan di luar sana, saudara2 muslim banyak yg jd incaran salibis…namun kalian diam aja, cuma asyik sama si TBC ini. Di luar sana, anak2 muda byk yg kena narkoba…kalian jg cuma diam aja, tetap asyik sm TBC. Justru ulama2 kami yg keluar-masuk kampung bahkan sampai ke pedalaman2 buat mengenalkan Islam pd org2 kafir, sedangkan ulama-ulama kalian hanya sibuk merebut masjid2 agar jama’ahnya berpahaman seperti kalian.
Kalau umat Islam cuma sibuk ngurusin hal-hal furu’, kapan bisa maju???
mas Heri:
hhhe….Kalau saya belajar bukan karena mukanya adem…enak dilihat…, sya mah cari yg berlandaskan AL Qur’an dan As-sunnah yg shahih…> Begini kalau mba miris lihat mukanya, atau dah benci dg salafy….maka bisa melalui pendekatan mempelajari muhammadiyyah, persis, wahdah islamiyyah, atau MMI…mungkin mba akan dapatkan juga sudut pandang mereka terhadap salafy dan sudut pandang mereka trhdp NU/tasawuf. Untuk di Indonesia mereka berada di posisi tengah….mudah2an..persepsi anda trhdp NU/Tasawuf dan juga ssalafy akan sedikit ada perubahan
Jawab:
Hehehe….kan ada dalilnya di surah al-Fath:29, bahwa dari wajah-wajah mereka terdapat tanda2 sujud (wajah lho, bukan jidat…).
Dalam hadist malah banyak disebutkan tanda orang beriman, yaitu wajahnya bercahaya….
Maksudnya wajahnya enak dilihat, adem, tenang, baru lihat wajahnya aja udah ingat sama Allah, yach macam kalau lihat wajah A’a Gym, habib Munzir, ustadz Arifin Ilham, A’a Hadi, A’a Reza, habib Ali al-Jufri, habib Umar bin Hafidz, habib Alwi al Maliki, habib Yahya….dst…
Bukannya yg suram karena hatinya terlalu banyak mencela…
mas Heri:
>>mayoritas yg mana…??? NU, Muhammadiyyah, Persis, Salafy, MMI, IM, Wahdah I, HTI, dll…mana yg mayoritas itu mba…??
Jawab:
ya ampun mas Hery….sempit bgt pemikirannya. pantesan aja kena sama firqoh ini…
Berapa juta sih umat Islam di Indonesia? Brp persen sih yg ikut NU? Yg ikut NU itu cuma bbrp juta org aja Mas. Sisanya gak milih ikut organisasi mana2….dan yg gak milih ini jumlahnya lebih besar. Dan mrk ini adalah silent majority.
Contoh A’a Gym, beliau gak ikut mana2…
ustadz Arifin Ilham juga idem gak milih mana2…
A’a Hadi, A’a Reza, habib Munzir jg gak milih kemana2…
Tapi mrk semua masih satu madzhab….yaitu Syafi’i.
Mayoritas muslim di dunia ini itiqodnya sesuai dengan ke-4 madzhab yaitu Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i.
Sedangkan kalian sejatinya menyempal dr yg mayoritas, sejatinya bikin madzhab sendiri yaitu madzhab Wahabi. Itiqod kalian berbeda dari 4 madzhab di atas….dan yg jelas ulama2 kalian fatwanya sering bikin panas telinga para ulama 4 madzhab di atas.
4 madzhab di atas mengedepankan husnudzhon….tidak sembarangan mensyirik-musyrikan muslimin, dan lebih peduli untuk memerangi orang2 kafir melalui dakwah.
Intinya madzhab Wahabi (HTI, Persis, Salafi Turots, Salafi Yamani, dan pecahan2 Salafi yg lain, dsb) yg punya itiqod anti takwil dan menyematkan sifat2 jasmani kpd Allah itu
minoritas. Sedangkan 4 madzhab yg tidak anti takwil ini adalah mayoritas pengikutnya.
Jadi umat Islam yg tidak bersepakat atas kesesatan sudah jelas itu umat Islam yg mana, yg global….yaitu yg ikut 4 madzhab.
Kalau soal dzikir Tasawuf, sudah jelas gak semua tarekat pakai dzikir “hu…huwa..dsb”. Bisa pilih mau ikut tarekat mana yg cocok dengan kita.
Kadang pemahaman kita belum nyampe dgn pemahaman beberapa wali Sufi….tapi sebaiknya tetap mengedepankan husnudzhon.
Seperti halnya nabi Musa As yg gak memahami maksud dan perbuatan nabi Khidir As yg melubangi kapal, atau membunuh seorang anak…
Si zainal yg mengaku banyak referensi…..ngomentarnya sentimen mulu…, suudzon mulu…masya Allah…smoga sya dan ente diampuni Allah…SWT.
hery, kapan saya mengaku punya banyak referensi? ente kan referensinya cuma ustadz2 ente doang dikit2 luqman ba’abduh, emang siapa luqman ba’abduh?
afwan
tanah kuburan gusdur bisa nyembuhin sakit perut…?? …….,ngerti bahasa arab memang benar ga menjamin faham mana Tauhid yg benar…., jangan2 nanyain sama kyai tentang masa depan /nasib juga boleh…??
Saudara hery
Sepertinya anda terlalu berlebihan….
Jangankan tanah kuburan….obat dari dokter saja tidak mampu menyembuhkan…kalau bukan kerena Allah maka tidak ada sesuatupun yg dapat menyembuhkan.
Apakah anda lupa dgn kisah Nabi Nuh AS ? Betapa kotoran manusia yg ada didalam kapal dapat menyembuhkan segala penyakit atas kehendak-Nya.
Perhatikan ungkapan anda ini:
” [..] apabila mengandung keberkahan, hrs ada dalilnya dan jika benar dapat menyembuhkan sakit perut, hrs ada pembuktian ilmiah secara MEDIS yg membuktikannya, jika keduanya tidak bisa DIBUKTIKAN,[..] adalah sebuah KEBODOHAN.”
Bisakah kotoran manusia dibuktikan secara medis dpt menyembuhkan segala penyakit ?
Saudara hery…cobalah anda tanya dulu orang yg mengambil tanah kuburan itu…Siapakah yg menyembuhkannya ? Setelah anda bertanya dan tahu jawabannya barulah anda buat kesimpulan.
Maaf kalau ada salah kata
mantabzzz jg ust kite nyang atu enih……assalamualaykum pak ustaz Huasini…
1. itu ayat Al Qur’an Mba…?? Al Qur’an itu pedoman bagi manusia, bukan pedoman bagi malaikat. Wallohu a’lam, Kullu syaiin halikun illa wajhahu (Allah Befirman “segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya).
jawab:
Ayat Al-Qur’an itu menjelaskan ttg segala hal…bukan hanya menjelaskan ttg manusia saja. Tapi jg menjelaskan ttg kehidupan secara luas…baik itu tumbuhan, binatang, maupun malaikat.
>>> betul menjelaskan…namun sebagai pedoman bagi manusia, segala perintah dan larangannya itu diperuntukkan bagi manusia bukan…??(ya sbgian bagi jin).., anda tahu bahwa semuanya akan musnah kecuali Allah…??dalam ayat tersebut, jadi kullu itu bermakna smua..(namun konteksnya tentu terbatas, misal anda bilang smua buku di ruangan itu milik suami mba.., maka konteksnya pembicaraannya adalah..ruangan itu, tdk ke tempat2 yg lain). Kalau memang bermakna sebagian, maka kenapa Allah tdk langsung saja berfirman sebagian…, makanya kullu bid’atun dholallah itu (tetap semuanya)…namun perlu diperhatikan mana yg hanya bid’ah secara lughoh dan mana yg secara syariat..)
2. Oh ya, ngomong2 kalau Wahabi/Salafi kan mengartikan ayat2 mustasyabihat secara letterlux, Allah punya wajah namun wajah-Nya berbeda dari makhluk2-Nya, Allah punya tangan namun tangan-Nya berbeda dari makhluk2-Nya, Allah punya mulut namun berbeda dari makhluk2-Nya, Allah punya kaki namun berbeda dari makhluk2-Nya…betul kan???
>>> Salah Besar ANda…, Yadullah dan Wajhullah itu tersurat dalam Al Qur’an namun kalau mulut itu sepertinya tdk ada..?? Makanya jangan ditelan mentah2…, pikir secara cermat…., Yg tdka ada dalam AL Qur’an dan Al hadits…maka tidak ada akal untuk menetapkan sifat bagi Allah.
Justru anda yg mungkin menakwilkan yadullah dg kekuatan….. itu tdk bersandar pada dalil, namun bersandar pada akal…, mana dalilnya mba…????atau apa takwilnya kalau memang anda suka takwil dg akal..??
Nah bagaimana kalian menyikapi ayat di atas : Bahwa segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya.
Kalian kan ngotot kalau kata wajah, tangan, kaki, lengan, dan yg sifat2 materi itu bukan majazi…
>>> oh iya mba selama ada dlm Al Qur’an…itu bermakna hakiki, namun jangan ditambah2 dg yg tdk ada dlm AL Qur’an (seperti mulut, telinga, dll)…ini nantinya jadi fitnah anda terhadap salaf….
Apa mas Hery mau bilang kalau yg nggak binasa cuma wajah Allah saja? Sedangkan kaki, tangan, mulut, lengan, mata, hidung, dan semua sifat jisim Allah itu akan binasa???
Kalau kata “kullu” diartikan sbg “semua tanpa kecuali” berarti kaki, tangan, mata,
mulut dan jisim2 lainnya yg diartikan secara letterlux oleh Salafi/Wahabi akan binasa dong…..kan kalian gak meyakini sifat2 jisim itu bermakna majazi….iya kan???
>>> Sya ga bakal bilang begitu…,itu pikiran nyeleneh anda saja…, saya hanya menyampaikan ayat tersebut bermakna semua makhluk akan binasa(sehingga menjadi benarlah bahwa semua makhluk hidup itu akan mati), begitu maknanya, jangan dibulak balik…?itu namanya anda mempermainkan ayat Al Qur’an…., anda mengakui akan adanya wajhullah…?? Atau tidak…????? Hanya pertanyaan bodoh..kalau bilang dzat Allah akan binasa…, (dan mungkin menurut Allah berfirman wajhahu itu sudah mencakup dzat Allah..wallohu a’lam)
Kalau menurut anda apa makna illa wajhahu itu…??? Apakah ridho-NYa…??? Ko ga match ya dg konteksnya…???
3. Mayoritas muslim di dunia ini itiqodnya sesuai dengan ke-4 madzhab yaitu Hanafi, Maliki, Hambali, dan Syafi’i.
>>>
itiqod apanya…?? Manhaj salaf itu bukan berarti keluar dari 4 madzhab, imam madzhab itu bisa dijadikan referensi. Jangan fanatik madzhab mba shinta…, kebenaran itu tdk hanya ada di Imam Syaf’I …kebenaran itu bertebaran di ulama2 lainnya juga…, jadi peluang Imam Syafi’I bersandar pada dalil yg lemah atau bahkan ijtihadnya salah..itu tetap ada. Oleh karena itu Imam Syafi’i pun tdk merasa diri sebagai seseorang yg MUTLAK BENAR tanpa salah, dia pun mengatakan jika ada pendapatnya yg bertentangan dg hadits shahih, maka ambilah hadist shahih itu. Anda juga jangan berfikir sempit, bahwa ulama yg berbeda fatwanya dg imam madzhab ..maka dia dibilang keluar dari jamaah kaum muslimin, sya kira anda keliru…, apakah tdk mungkin setelah imam madzhab tidak ada ulama yg lebih mumpuni…?? Ya mungkin saja, buktinya ahlul hadits, bukanlah seorang imam madzhab, dan banyak juga yg lainnya.
Dan juga terkadang mengaku bermadzhab imam syafii..namun dia ga mau ngikutin imam syafi’i…gimana ini: anda tahu kaidah ushul fiqh menurut ulama…? Bahwa asal ibadah itu terlarang(tdk boleh) kecuali ada dalil yg memerintahkannya. (Prof. Quraish shihab pun mengatakan demikian, tadi pagi di metro TV), artinya apa…(kembali ketahlilan)…janganlah membuat rutual ibadah tertentu kalau tdk ada perintahnya…(sebenarnya siapa coba yg ngikutin Imam Syafi’i)…
4. Sedangkan kalian sejatinya menyempal dr yg mayoritas, sejatinya bikin madzhab sendiri yaitu madzhab Wahabi. Itiqod kalian berbeda dari 4 madzhab di atas….dan yg jelas ulama2 kalian fatwanya sering bikin panas telinga para ulama 4 madzhab di atas.
>>> bukan berbeda, namun pemahaman anda yg keliru…, seharusnya ga usah panas, bantahan ilmiah bisa disampaikan, dan kalau hujjahnya kurang kuat harus punya sifat legowo…, imam madzhab itu ga ada yg pernah tahlilan pada hari ke 1-7, 40,dst…siapa sebenarnya yg menyelisihi para imam itu apalagi berikrar tasawuf…, ga ada sepertinya tuh mba…??
Itiqod yg mana yg anda maksud, anda duga salafy itu tajsim, tashbih itu dugaan kurang berdasar……., dah sya sampaikan bahwa…yg anda duga itu keliru…, justru salaf beriman kepada sifat2 Allah sebagaimana ia sifatkan dalam AL Qur’an…, anda aja belum bisa menerima…coba dikaji terus…ga ada yg salah koq. Kalau kita beriman trhdp Yadullah dan Wajhullah janganlah anda bayangkan tangan dan wajah seperti manusia karena itu lah yg namanya tasybih dan tajsim itu, kita hanya beriman..udah itu aja. Justru anda ga mengimani ayat2 Sifat, sehingga maknanya diganti dg makna lainnya…., itu artinya anda beragama ini berdasarkan akal…bukan berpedoman trhdp wahyu (dan bukan anti takwil, takwil kalau ada dari sahabat yg akan kita terima, bukan takwil dari syeikh anda..)
5. 4 madzhab di atas mengedepankan husnudzhon….tidak sembarangan mensyirik-musyrikan muslimin, dan lebih peduli untuk memerangi orang2 kafir melalui dakwah.
>>>kalau 4 madzhab itu masih ada..sya kira akan melarang orang yg berbuat syirik, contoh meminta kekuburan, dll…., mba shinta : coba dikaji lagi ilmu tauhidnya…,
6. Jadi umat Islam yg tidak bersepakat atas kesesatan sudah jelas itu umat Islam yg mana, yg global….yaitu yg ikut 4 madzhab.
>>>
imam madzhab ga pernah berikrar tasawuf dang a pernah tahlilan…masa dibilang ngaku2 mengikuti imam madzhab…ini namanya dusta dan fitnah…bukan sekedar manipulasi…
7. Kalau soal dzikir Tasawuf, sudah jelas gak semua tarekat pakai dzikir “hu…huwa..dsb”. Bisa pilih mau ikut tarekat mana yg cocok dengan kita.
Kadang pemahaman kita belum nyampe dgn pemahaman beberapa wali Sufi….tapi sebaiknya tetap mengedepankan husnudzhon.
Seperti halnya nabi Musa As yg gak memahami maksud dan perbuatan nabi Khidir As yg melubangi kapal, atau membunuh seorang anak…
>>>
selama bersandar pada AL Qur’an dan As-sunnah ya kita harus husnudzon, namun kalau keluar dari koridor sunnah rosul…kita harus..waspada mba…, tarekat mana yg cocok…?? Lha emang tarekat itu maennya cocok2an gitu kah…?? Anda tuh dah lengket banget dg tarekat…, kenapa ga nyontoh rosulullah SAW langsung dalam dzikir ataupun ibadah lainnya…, jangan anda kira bahwa yg tdk dzikir scara lisan itu ..lupa terhadap Allah. Mereka bekerja , mengais rejeki, dalam rangka menafkahi keluarga, selama diniatkan karena Allah..itu smua ibadah…ada pahalanya…,jadi jangan dipersempit ..dzikir itu hanya dg lisan saja..dan menganggap org tasawuf lbh banyak dzikirnya..
Kenapa dipersulit, belum nyampe pemahaman, dll……., syariat yg diajarkan oleh Rosulullah SAW itu tdk lah untuk mempersulit diri,,,
8. Hehehe….kan ada dalilnya di surah al-Fath:29, bahwa dari wajah-wajah mereka terdapat tanda2 sujud (wajah lho, bukan jidat…).
Dalam hadist malah banyak disebutkan tanda orang beriman, yaitu wajahnya bercahaya….
Maksudnya wajahnya enak dilihat, adem, tenang, baru lihat wajahnya aja udah ingat sama Allah, yach macam kalau lihat wajah A’a Gym, habib Munzir, ustadz Arifin Ilham, A’a Hadi, A’a Reza, habib Ali al-Jufri, habib Umar bin Hafidz, habib Alwi al Maliki, habib Yahya….dst…
Bukannya yg suram karena hatinya terlalu banyak mencela…
>>>> ya..kalau cwe mah ya bgtu…senenggya yg enak dilihat…, wajah adem ayem itu ya relative mba…., kalau teh ninih lihat muka aa gym…(pas dulu dimadu)..kayanya ga adem lg…hhh3…, bukankah Allah tdk melihat rupa kalian , tpi Allah melihat hatinya bukan…??
Dan jelas Allah lebih menyukai yg berusaha menghidupkan sunnah Rosul-Nya, dibanding yg seneng dg mengada2 dalam ibadah ini…
9. Tapi pada kenyataannya….mayoritas Salafi/Wahabi lantang kalau menghakimi “sesat”. Ulama2 yg mayoritas pun mrk kritik dgn ungkapan “sesat”. Entah itu habib Munzir, ustadz Arifin Ilham, ustadz Abu Sangkan…dsb…dsb.
>>> menghakimi kan bukan tunjuk langsung mukanya toh…?? Itu hanya fatwa…, begini kalau yg diajarkannya bertentangan dg Sunnah Rosulullah SAW…maka fatwa itu akan keluar…, namun tdk lah kepada orang2 awam..yg belum faham. Itu hanya kepada para ustadz..yg menurut salafy..ada hal2 yg perlu diluruskan…, karena kalau tdk..itu bahaya…masalahnya akan tersebar luas…, bgtu mba….,
10. Hadeuh….orang Arab Saudi yg non-Salafi/Wahabi buktinya ngerti kalau shalawt Nariyah itu cuma berisi kalimat majazi. Cuma orang Arab Saudi yg Salafi/Wahabi aja kali’ yg gak ngerti…
>>> majazi..ya jangan yg berlebihan…apalagi merusak akidah.., yg biasa2 aja…, coba sholawat yg dibuat imam syafi’i seperti apa…??
11. Kalau Imam Ali Zainal Abidin berikrar Tasawuf ya nggak mungkin dong, lha wong istilah Tasawuf itu baru ada bbrp abad setelah beliau hidup. Tapi cikal bakal tasawuf itu ada, awal mulanya ya diambil dari pemikiran serta kehidupan Imam Ali
Zainal yg sangat wara’ dan zuhud’.
>>> ya namun kan udah distorsi dg hal2 yg keluar dari sunnah Rosulullah SAW…, begini mba kalau zuhud atau waro ya itu bukan hanya milik tasawuf…smua org islam akan berusaha untuk seperti itu…,
12. yg kalian ributkan hanyalah hal-hal yg sifatnya furu’….itu-itu saja yg diributkan, nggak ada habiskan.
Sedangkan di luar sana, saudara2 muslim banyak yg jd incaran salibis…namun kalian diam aja, cuma asyik sama si TBC ini. Di luar sana, anak2 muda byk yg kena narkoba…kalian jg cuma diam aja, tetap asyik sm TBC. Justru ulama2 kami yg keluar-masuk kampung bahkan sampai ke pedalaman2 buat mengenalkan Islam pd org2 kafir, sedangkan ulama-ulama kalian hanya sibuk merebut masjid2 agar jama’ahnya berpahaman seperti kalian.
Kalau umat Islam cuma sibuk ngurusin hal-hal furu’, kapan bisa maju??
>>> istilah furu’ itu muncul dikalangan ahli2 fiqh…, sebenarnya baik furu’ maupun ushul itu sangat penting dalam islam itu. Misal, qunut subuh…(ini menurut pemahaman sya)….ternyata dalilnya dho’if…dan ga bisa dijadikan hujjah.., maka janganlah dilakukan..karena itu bid’ah…(tentunya beda ketika Imam Syafi’I dalam berfatwa..karena beliau sudah berijtihad, sedangkan ahli2 hadist datang kemudian), sehingga kita harus ikut dalil yg shahih. (ini ilustrasi saja). artinya apa…furu…kalau bertentangan dg hadist shahih..itu bahaya juga…karena..kita dianggap tdk ta’at kepada rosul…, tdk mau menjalankan perintah rosul(hadits)…
Begitu juga dg tauhid, dan lain2..janganlah disepelekan…., DIAM…?? Fatwa arab saudi..tentunya tdk serampangan mba…ga maen hantam sana2 dalam berjihad…, anda aja blm tahu hakikat sebenarnya dari arab saudi, karena sudah tercemari dg kebencian dan istilah wahabi itu…
Anda tahu haji itu dibawah naungan mana…?? Yg ngurusin umat sedunia dalam rangka haji,,itu ulama2 arab saudi dan pemerintah disana mba…, jadi janganlah terbutakan dg hal ini.., buktinya Negara arab..sejauh ini makmur2 aj..karena diberkahi Allah SWT…, justru Indonesia..banyak bencana sana sini..karena mungkin banyak kesyirikan /kemaksiatan dimana mana…
13. Untuk mengetahui kandungan ayat al-Qur’an itu harus diperjelas dengan hadist. Lha jelas ada hadistnya dimana Rasulullah Saw tidak melarang Umar Ra dzikir zahar…
Yang nggak boleh tuh dzikir zahar yg teriak2….kayak pendeta Kristen tuh, yg kalau nyebut nama tuhannya pakai teriak2…
Masa gak bisa bedain sih…
Yang nggak suka dengar gemuruh suara dzikir tu orang2 kafir…Yahudi dan
antek2nya…
Sekarang kalian malah tasyabuh dengan orang kafir yg senang memerangi muslim yg lg dzikir jama’ah…
>>> memang betul harus diperjelas dg hadist dalam memahami al qur’an…., sya ragu referensi anda shahih dalilnya…, dan dzikir jahar yg dilakukan umar itu seperti apa..?? apa bareng2..?? atau sendirian, apa yg diucapkannya…??
Anda tahu : tarekat naqsabandiyyah(abah anom) itu dzikirnya..kencang2…, sya pernah ikut mba…, jadi…apakah seperti itu yg diajarkan rosul, termasuk umar..??,
Bukan memerangi, mengingatkan bahwa kita ini harus sesuai tuntunan sunnah rosulullah SAW…, koq sukanya mengada ngada…bingung sya, kenapa ga ikutin aja contoh dari rosulullah SAW…apa kalian ga suka dg apa yg dicontohka rosul dan sahabatnya…??
betul menjelaskan…namun sebagai pedoman bagi manusia, segala perintah dan larangannya itu diperuntukkan bagi manusia bukan…??(ya sbgian bagi jin).., anda tahu bahwa semuanya akan musnah kecuali Allah…??dalam ayat tersebut, jadi kullu itu bermakna smua..(namun konteksnya tentu terbatas, misal anda bilang smua buku di ruangan itu milik suami mba.., maka konteksnya pembicaraannya adalah..ruangan itu, tdk ke tempat2 yg lain). Kalau memang bermakna sebagian, maka kenapa Allah tdk langsung saja berfirman sebagian…, makanya kullu bid’atun dholallah itu (tetap semuanya)…namun perlu diperhatikan mana yg hanya bid’ah secara lughoh dan mana yg secara syariat..)
Jawab:
jelas dan gamblang di dalam Al-Qur’an banyak2 ayat2 yg menggunakan kata “kullu” namun maknanya “sebagian”.
Dan untuk mengetahui makna yg sbenarnya harus dengan ilmu bahasa yg mendalam, baik nahwu, mantiq, balagoh, dsb.
Jadi gak boleh asal2an ngartiin secara letterlux. Bahasa Al-Qur’an itu indah, saking indahnya sampai2 orang2 jahiliyah menganggapnya syair…namun syair yg penuh dg kebenaran. Kalau ngartiin “kullu” sebagai “semua tanpa kecuali” namanya cuma nerjemahin aja….bukan mengartikan.
mas Hery:
>>> Salah Besar ANda…, Yadullah dan Wajhullah itu tersurat dalam Al Qur’an namun kalau mulut itu sepertinya tdk ada..?? Makanya jangan ditelan mentah2…, pikir secara cermat…., Yg tdka ada dalam AL Qur’an dan Al hadits…maka tidak ada akal untuk menetapkan sifat bagi Allah.
Justru anda yg mungkin menakwilkan yadullah dg kekuatan….. itu tdk bersandar pada dalil, namun bersandar pada akal…, mana dalilnya mba…????atau apa takwilnya kalau memang anda suka takwil dg akal..??
Jawab:
Hehehe….mulut dan telinga itu ulama Wahabi yg bilang, saya baca di http://www.abu-syafiq.blogspot.com
Kenapa mereka sampai menyifatkan kata mulut dan telinga…krn telah terperosok dengan akidah tasybih.
Itulah akibatnya kalau anti takwil…akan banyak manusia yg salah tangkap dan terperosok pd jurang tasybih. Oleh karena itulah ulama besar kami menakwil ayat2 mustasyabihat untuk menyelamatkan umat dr akidah jisim.
Mas Hery, anda itu koq nuduh kami nakwil2 tangan Allah dengan kekuatan….lha wong yg nakwil begitu adalah Ibnu Abbas Ra.
Dari sini saja sudah kelihatan kalau kalian itu memang gak sejalan dengan Ulama Salaf. Silahkan anda menjelek-jelekan takwil, secara gak langsung anda sudah menjelek-jelekan Ibnu Abbas Ra.
Inilah kalau belajar cuma dengan 1 mata, jadinya gak obyektif.
mas Hery:
>>> Sya ga bakal bilang begitu…,itu pikiran nyeleneh anda saja…, saya hanya menyampaikan ayat tersebut bermakna semua makhluk akan binasa(sehingga menjadi benarlah bahwa semua makhluk hidup itu akan mati), begitu maknanya, jangan dibulak balik…?itu namanya anda mempermainkan ayat Al Qur’an…., anda mengakui akan adanya wajhullah…?? Atau tidak…????? Hanya pertanyaan bodoh..kalau bilang dzat Allah akan binasa…, (dan mungkin menurut Allah berfirman wajhahu itu sudah mencakup dzat Allah..wallohu a’lam)
Kalau menurut anda apa makna illa wajhahu itu…??? Apakah ridho-NYa…??? Ko ga match ya dg konteksnya…???
Jawab:
wajhullah menurut anda “dzat” Allah?
Hehehe….jadi pengen ketawa.
Katanya gak boleh nakwil….koq anda sendiri malah nakwil jadi kata tsb?
Kalau anda anti takwil harusnya wajhullah ya wajhullah….namun berbeda dr makhluk2-Nya.
Trus anda bilang bahwa wajhullah sudah mencakup keseluruhan dzat Allah…lagi2 anda mentakwil.
Anda ini nyuruh kami jangan nakwil, tapi giliran ayat tsb dibenturkan dg ke-antitakwil-an anda, malah gak konsisten dg anti takwil anda.
Kami juga mengimani bahwa ayat2 mustasyabihat arti sejatinya dikembalikan kpd Allah. Menakwil itu dilakukan agar umat Islam tdk terjebak pd faham tasybih.
Saya pun pernah mengatakan hal tsb kpd seorang Wahabi, tapi saya langsung diberi fatwa syekh Arab Saudi yg intinya kalau
menyerahkan makna sepenuhnya pd Allah berarti telah kufur. Krn Allah sudah menyifati diri-Nya dengan sifat2 tubuh tersebut, dan itu harus diimani bahwa memang Allah punya mata secara hakiki, tangan hakiki, kaki hakiki, duduk di atas kursi secra hakiki, dan naik turun ke langit dunia di 1/3 malam secara hakiki. Namun dalam
bingkai Kamistlihi Syai’un….
Nah yg hakiki2 itu yg gak kami imani….krn kalau mengimani Allah punya bentuk itu tasyabuh dg Yahudi dan Nasrani…
Ini salah satu link yg memberikan bukti berupa scan kitab ulama Wahabi yg nyebutin kalau Allah serupa dengan Nabi Adam As.
@ Ustadz Ahmad Syahid mohon dicek bahasa Arabnya dan mohon ditranslate agar kami semua bisa mengerti tulisan di scan kitab tsb…syukron
Klik—->
http://abu-syafiq.blogspot.com/2008/05/aqidah-sesat-kesemua-wahhabi-rupa.html?m=1
Mas Hery:
Itiqod apanya…?? Manhaj salaf itu bukan berarti keluar dari 4 madzhab, imam madzhab itu bisa dijadikan referensi. Jangan fanatik madzhab mba shinta…, kebenaran itu tdk hanya ada di Imam Syaf’I …kebenaran itu bertebaran di ulama2 lainnya juga…, jadi peluang Imam Syafi’I bersandar pada dalil yg lemah atau bahkan ijtihadnya salah..itu tetap ada. Oleh karena itu Imam Syafi’i pun tdk merasa diri sebagai seseorang yg MUTLAK BENAR tanpa salah, dia pun mengatakan jika ada pendapatnya yg bertentangan dg hadits shahih, maka ambilah hadist shahih itu. Anda juga jangan berfikir sempit, bahwa ulama yg berbeda fatwanya dg imam madzhab ..maka dia dibilang keluar dari jamaah kaum muslimin, sya kira anda keliru…, apakah tdk mungkin setelah imam madzhab tidak ada ulama yg lebih mumpuni…??
Jawab:
Hadist shahih versi syekh al-Bani, begitu maksudnya?
Maaf ya, tapi syekh al-Bani sendiri banyak salahnya koq, krn ada hhadist yg beliau hukumi shahih di bukunya yg satu, namun pd buku yg lain dihukumi dho’if, padahal hadistnya sama.
Untuk masalah itiqod, kalian dikatakan menyempal krn beritiqod menyifati Allah dengan anggota badan. Lalu sibuk mencari dalil untuk mengkafirkan orangtua Nabi Saw. Belum lg ulama2 kalian yg mudah takfiri.
Mas Hery:
Ya mungkin saja, buktinya ahlul hadits, bukanlah seorang imam mazhab, dan banyak juga yg lainnya.
Dan juga terkadang mengaku bermadzhab imam syafii..nammau ngikutin imam syafi’i…gimana ini: anda tahu kaidah ushul fiqh menurut ulama…? Bahwa asal ibadah itu terlarang(tdk boleh) kecuali ada dalil yg memerintahkannya. (Prof. Quraish shihab pun mengatakan demikian, tadi pagi di metro TV), artinya apa…(kembali ketahlilan)…janganlah membuat rutual ibadah tertentu kalau tdk ada perintahnya…(sebenarnya siapa coba yg ngikutin Imam Syafi’i)…
Jawab:
Hadeuh…pakai bawa2 nama Quraish Shihab segala. Lha wong Quraish Shihab aja kalau diundang tahlilan juga datang koq Mas…
Buktinya pas tahlilan ibu Ainun Habibie, beliau malah jadi pengisi ceramahnya…
Lha…jadi sebetulnya pak Quraish Shihab jg ngerti kl ada bid’ah hasanah…:-)
Mas Hery:
selama bersandar pada AL Qur’an dan As-sunnah ya kita harus husnudzon, namun kalau keluar dari koridor sunnah rosul…kita harus..waspada mba…, tarekat mana yg cocok…?? Lha emang tarekat itu maennya cocok2an gitu kah…??
Jawab:
Lho, maksudnya tuh cara mursyidnya ngajarin kita apakah sesuai dengan diri kita, dengan cara kita menangkap apa yg diajarkan, dsb…
Ibaratnya kita mau sekolah, dilihat dulu gimana cara gurunya ngajar, materi ajarannya, dsb…
Bukan main asal masuk tarekat aja
————–
Mas Hery:
Anda tuh dah lengket banget dg taekat…, kenapa ga nyontoh rosulullah SAW langsung dalam dzikir ataupun ibadah lainnya…, jangan anda kira bahwa yg tdk dzikir scara lisan itu ..lupa terhadap Allah. Mereka bekerja , mengais rejeki, dalam rangka menafkahi keluarga, selama diniatkan karena Allah..itu smua ibadah…
ada pahalanya…,jadi jangan dipersempit ..dzikir itu hanya dg lisan saja
Jawab:
Dzikir kalau cuma pakai lisan aja namanya dzikir lalai Mas…
Dzikir itu harus pakai hati.
Nah itulah kalau pemahaman dzikir cuma sampai kerongkongan, nggak masuk ke hati, jadinya seperti anak panah yg menjauh dari busurnya.
Jadi beragamanya cuma sebatas dalil, tapi gak nyantel ke hati…
Anda itu lucu…menyamaratakan semua tarekat. Dari awal saya beritahu agar jangan menyamaratakan semua tarekat, tapi tetep aja kukuh semua tarekat harus sama di mata anda. Yg ada di kepala anda semua tarekat ngajarin dzikir “hu..hu..hu”, semua tarekat ngajarin dzikir dg bilangan tetentu, semua tarekat ngajarin dzikir teriak-teriak…
Padahal tarekat juga beda2..
Tapi mungkin emang hobi dr kaum anda selalu menyamaratakan….main gebyah uyah, ya monggo sajalah..
..Mas Hery:
dan menganggap org tasawuf lbh banyak dzikirnya..
Kenapa dipersulit, belum nyampe pemahaman, dll……., syariat yg diajarkan oleh Rosulullah SAW itu tdk lah untuk mempersulit diri,,
Jawab:
Mas Hery, kadang orang tu pemahamannya beda2.
Ada org yg dzikirnya 100 langsung nyantel. Tapi ada orang yg dzikir 1000 baru nyantel (maksudnya baru merasakan diri hadir di dzikirnya, bukan dzikir lalai).
Jadi jangan main pukul rata…
Mas Hery:
ya namun kan udah distorsi dg hal2 yg keluar dari sunnah Rosulullah SAW…, begini mba kalau zuhud atau waro ya itu bukan hanya milik tasawuf…smua org islam akan berusaha untuk seperti itu…,
Jawab:
Hadeuh Mas…saya gak pernah bilang kalau zuhud dan waro’ itu milik tasawuf.
Justru Tasawuf itu ada, awal mulanya dari para ulama Islam yg hidupnya zuhud dan waro’. Para ulama yg hidupnya zuhud dan waro’ ini kemudian dipelajari ajarannya, istilah kasarnya tuh dipelajari resep rahasianya apa yg bisa bikin mereka zuhud dan waro’. Nah, resep2 yg dipelajari ini kemudian disebut dengan istilah tasawuf. Ngerti nggak maksudku?
Sdr husaini:
ah masya iya kotoran manusia dpt menyembuhkan(yg bener aja…), coba kaji ulang itu referensi anda jangan sampai itu hadist mungkar…(kalau memang ada), anda dpt referensi dari mana…?? sejijik itu kah ajaran Islam…??? betul pengobatan itu hanyalah usaha, namun tentunya usaha itu kan harus syar’iyyah…dan salah satunya adalah lewat ilmu pengetahuan/kedokteran…., kalau lewat dukun apa boleh…?? atau pakai jimat biar sembuh…apa dibolehkan…??silahkan anda renungkan..!!
Berhubung mas Hery ngotot mengatakan kata “Kullu” berarti “semua”, sehingga tidak ada tempat bagi bid’ah hasanah….maka mohon dijawab titipan dari blog tetangga:
Kalau memang wahabi lebih faham ( Mengerti ) dalam ilmu hadist, tolong terangkan kepada kami tentang hadist dibawah ini sesuai nahwu shoraf mantiq dan balagoh :
كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
1. Dimana maudhu’ nya?
Ada brp?
2. Dimana mahmul nya? Ada berapa?
3. Dimana muqaddam? Ada berapa?
4. Dimana taali nya? Ada berapa?
5. Dimana muqaddimah shugro nya? Ada berapa?
6. Dimana muqaddimah kubro nya ? Ada berapa?
7. Tolong diqiyas kan dan dimana letak pembuangan had wasath nya sesuai syikil awal kah? Syikil tsani kah? Syikil tsalist kah? Atau syikil robi’ kah?
8. Apakh boleh di aksul mustawi? kan disni sesuai keif dan kam nya?
9. Apakah shoh tanaqudh dibahasan ini sesuai keif dan kam nya?
10. Saya juga minta ta’rif bid’ah sesuai had tam?
11. Sesuai had naqish?
12. Sesuai rasm tam?
13. Sesuai rasm naqish?
14. Sesuai alfazh?
15. Apakah natijahnya kulliyah mujabah?
16. Atau kah juz-iyah mujabah?
17. Tunjukkan dimana musnadnya?
18. Dimana musnad ilaih nya?
19. Adakah dsini hazfu muhdhaf? Dimana?
20. Tunjukkan dimana qosharnya?
21. Dimana ijaz nya?
22. Dimana ithnab nya?
23. Adakh dsini janas?
24. Kullu kepada muhdatsah itu idhofat apa?
25. Kullu kepada bid’ah itu idhofat apa?
26. Muhdatsah itu mashdar apa?
27. Bid’ah itu mashdar apa?
28. Dholalah itu mashdar apa?
29. Hurup jar pada finnar bima’na apa?
30. Fi itu muta’alliq nya kemana?
Ingat !!!!! Yang berkata ini adalah Rasulullah SAW yang diberikan mu’jizat jawaami’ul kalam.
Disini terdapat pembahasan ilmu nahwu, sharaf, mantiq dan balagah yang tinggi, bukan sembarangan menterjemahkan!!
Jika memaknakan kalimat itu dengan : “SETIAP BID’AH YAITU SESAT”
Ini namanya terjemah, dan terjemah yang dangkal seperti ini tidak bisa di ambil hukum untuk mengatakan maulid, tahlilan, peringatan isro mi’roj itu adalah bid’ah dholalah.
——
Monggo Mas Hery dijawab dulu supaya bisa akurat menghukumi bid’ah….supaya bisa dipertanggungjawabkan di akhirat nanti
mas Hery ini selalu menganggap yg di luar firqohnya ke dukun dan pakai jimat. Dia selalu main gebyah uyah, pukul rata. Mungkin dihatinya cuma ada penyakit dan penyakit….penyakit buruk sangka…
Shinta
pada 14 Agustus 2012 pada 1:10 am
Ini salah satu link yg memberikan bukti berupa scan kitab ulama Wahabi yg nyebutin kalau Allah serupa dengan Nabi Adam As.
@ Ustadz Ahmad Syahid mohon dicek bahasa Arabnya dan mohon ditranslate agar kami semua bisa mengerti tulisan di scan kitab tsb…syukron
Klik—->
http://abu-syafiq.blogspot.com/2008/05/aqidah-sesat-kesemua-wahhabi-rupa.html?m=1
bismillaahirrohmaanirrohiim
1. jelas dan gamblang di dalam Al-Qur’an banyak2 ayat2 yg menggunakan kata “kullu” namun maknanya “sebagian”.
Dan untuk mengetahui makna yg sbenarnya harus dengan ilmu bahasa yg mendalam, baik nahwu, mantiq, balagoh, dsb.
Jadi gak boleh asal2an ngartiin secara letterlux. Bahasa Al-Qur’an itu indah, saking indahnya sampai2 orang2 jahiliyah menganggapnya syair…namun syair yg penuh dg kebenaran. Kalau ngartiin “kullu” sebagai “semua tanpa kecuali” namanya cuma nerjemahin aja….bukan mengartikan.
>>>
itu persepsi anda…silahkan saja mba sinta…, menurut hemat sya Kullu dalam hadits ttg bid’ah itu bermakna semua dg didukung beberapa penjelasan ulama (yg tentunya nda mungkin ga faham masalah nahwu, mantiq atau balaghoh). Dan in yg saya yakini lebih selamat…kita akan pertanggungjawabkan masing2 toh..
2. Hehehe….mulut dan telinga itu ulama Wahabi yg bilang, saya baca di http://www.abu-syafiq.blogspot.com
Kenapa mereka sampai menyifatkan kata mulut dan telinga…krn telah terperosok dengan akidah tasybih.
Itulah akibatnya kalau anti takwil…akan banyak manusia yg salah tangkap dan terperosok pd jurang tasybih. Oleh karena itulah ulama besar kami menakwil ayat2 mustasyabihat untuk menyelamatkan umat dr akidah jisim.
>>> kalau abu syafiq yg mendakwa seperti itu, pantas saja karena dia orang sufi yg sangat membenci …, sudah dijelaskan bahwa tasybih itu menyerupakan yadullah dg tangan manusia , dst.
>>>asy ariyyah itu lebih banyak danit kaum sufi.., padahal jelas2 diakhir riwayatnya dia bertaubat mengakui akidah yg dibawa Imam Ahmad bin hambal. Imam Malik juga meyakini akan Istiwa’nya Allah…,adapaun kaifiyatnya ga diketahui. Ini Imam ahlusunnah menyifati sifat Istiwa’ Allah. Kalau mba..mungkin harus ditakwil kah…?? Salaf hanya beriman saja, tanpa menyerupakan dg makhluk.
3. Mas Hery, anda itu koq nuduh kami nakwil2 tangan Allah dengan kekuatan….lha wong yg nakwil begitu adalah Ibnu Abbas Ra.
>>> ibnu abbas memang benar ahli tafsir, dan salaf pun bukan anti takwil secara total, asalkan ada menurut hadist(para sahabat)..ya itu harus diikuti. Coba tolong dijelaskan mba tafsir ayat2 sifat menurut Ibnu Abbas…, biar kami dikasih pencerahan…??
4. Dari sini saja sudah kelihatan kalau kalian itu memang gak sejalan dengan Ulama Salaf. Silahkan anda menjelek-jelekan takwil, secara gak langsung anda sudah menjelek-jelekan Ibnu Abbas Ra.
Inilah kalau belajar cuma dengan 1 mata, jadinya gak obyektif.
>>> itu pengkelabuan aja mba…, bukan menjelek2kan takwil, takwil itu harus bersandar pada dalil yg shahih…?? Sepakat ga mba…??
5. wajhullah menurut anda “dzat” Allah?
Hehehe….jadi pengen ketawa.
Katanya gak boleh nakwil….koq anda sendiri malah nakwil jadi kata tsb?
Kalau anda anti takwil harusnya wajhullah ya wajhullah….namun berbeda dr makhluk2-Nya.
Trus anda bilang bahwa wajhullah sudah mencakup keseluruhan dzat Allah…lagi2 anda mentakwil.
Anda ini nyuruh kami jangan nakwil, tapi giliran ayat tsb dibenturkan dg ke-antitakwil-an anda, malah gak konsisten dg anti takwil anda.
>>> tuh kan anda ni salah persepsi terus…, Wajhullah ya memang artinya Wajhullah (seperti ulama2 salaf bahwa tafsirnya itu qiroatnya…Yg Punya blog jg tahu ttg tafsirnya itu bacaannya), sya hanya mengatakan MUNGKIN bagi Allah berfirman dg wajhullah itu bermakna mencakup dzat Allah. Sekali lagi mungkin, hanya dugaan sya yg belum tentu kebenarannya (krn sya tdk bersandar pada dalil).
6. Kami juga mengimani bahwa ayat2 mustasyabihat arti sejatinya dikembalikan kpd Allah. Menakwil itu dilakukan agar umat Islam tdk terjebak pd faham tasybih.
>>> tasybih apa yg anda takutkan terjebak…?? Coba baca disini: http://www.dakwatuna.com/2007/09/248/tauhid-al-asma-wa-ash-shifat/.
7. Saya pun pernah mengatakan hal tsb kpd seorang Wahabi, tapi saya langsung diberi fatwa syekh Arab Saudi yg intinya kalau
menyerahkan makna sepenuhnya pd Allah berarti telah kufur. Krn Allah sudah menyifati diri-Nya dengan sifat2 tubuh tersebut, dan itu harus diimani bahwa memang Allah punya mata secara hakiki, tangan hakiki, kaki hakiki, duduk di atas kursi secra hakiki, dan naik turun ke langit dunia di 1/3 malam secara hakiki. Namun dalam
bingkai Kamistlihi Syai’un….
>> Ya sya bukan dalam rangka mengatakan kufur atau tdk, itu urusan ulama. Pandangan sya begini mba : Allah berfirman dalam al Qur’an tentang sifat2 yang mempunyai kesamaan dari segi bahasa dg manusia, namun itu hanyalah dari segi bahasa, dan mengenai kaifiyat, bentuk , dll itu jelas berbeda(Laitsa kamitslihi syaiun), dan kita wajib bukan…??mengimani ayat2 Al Qur’an itu…?? Secara umum ayat al qur’an itu kan maknanya hakiki, beberapa ada yg ditakwil(bermakna majazi)..kalau memang Allah dan Rosul-Nya(termasuk sahabat) menjelaskannya. Kalau tdk ada, maka lebih baik berhenti saja terhadap pemahaman mereka, dari pada menakwil2 sendiri.
8. Nah yg hakiki2 itu yg gak kami imani….krn kalau mengimani Allah punya bentuk itu tasyabuh dg Yahudi dan Nasrani.
>>> bagaimana mengenai istiwa menurut mba…?? apa itu makna majazi…?? Berarti anda bertentangan dg faham Imam Malik.., yg jelas2 beliau mengimani sifat Istiwanya Allah a’lal Arsy (ya Karena ini ayat Al Qur’an)…adapun kaifiyyatnya tdk diketahu, ya..kenapa..karena kita tidak pernah tahu Dzat Allah sehingga sifat2 Allah seperti Istiwa’ tdk ada yg tahu tatacaranya.
9. Hadist shahih versi syekh al-Bani, begitu maksudnya?
Maaf ya, tapi syekh al-Bani sendiri banyak salahnya koq, krn ada hhadist yg beliau hukumi shahih di bukunya yg satu, namun pd buku yg lain dihukumi dho’if, padahal hadistnya sama.
Untuk masalah itiqod, kalian dikatakan menyempal krn beritiqod menyifati Allah dengan anggota badan. Lalu sibuk mencari dalil untuk mengkafirkan orangtua Nabi Saw. Belum lg ulama2 kalian yg mudah takfiri.
>> hadits Shahih itu bukan hanya milik syekh al albani rhm, bukankah imam ahli hadits itu banyak. Jadi keliru kalau kita ga mengikuti hadits shahih dan mengikuti pendapat imam madzhab yg masih bertentangan dg hadist shahih bukan…??? Ya itulah makna perkataan Imam Syafi’I ttg harusnya mengikuti hadist yg shahih itu.
10. Hadeuh…pakai bawa2 nama Quraish Shihab segala. Lha wong Quraish Shihab aja kalau diundang tahlilan juga datang koq Mas…
Buktinya pas tahlilan ibu Ainun Habibie, beliau malah jadi pengisi ceramahnya…
Lha…jadi sebetulnya pak Quraish Shihab jg ngerti kl ada bid’ah hasanah…:-)
>>> kenapa hadeuh2 begitu…benar kan kata beliau ngatakan bahwa asal ibadah itu terlarang………., kalau beliau di undang untuk ceramah atau tahlilan ya untuk menghargai sesama saudara ..ya datang. Tapi coba anda tanyakan mengenai hukum tahlilan kepadanya… Beliau pasti faham ttg yg dicontohkan Imam Ahmad yg berjamaah subuh dg imam syafi’I beliau tetap ikut qunut, meski dia berfatwa bahwa dalil qunut itu lemah dang a bisa dijadikan rujukan. Sya pun kalau diundang ..ya mungkin datang juga…
11. Lho, maksudnya tuh cara mursyidnya ngajarin kita apakah sesuai dengan diri kita, dengan cara kita menangkap apa yg diajarkan, dsb…
Ibaratnya kita mau sekolah, dilihat dulu gimana cara gurunya ngajar, materi ajarannya, dsb…
Bukan main asal masuk tarekat aja
>>> ya berarti ada yg ga cocok da ada yg cocok.., kayanya ajaran islam yg bener itu siapapun yg nyampaikan..akan mudah diterima..ga maen cocok2an aja…,
12. Dzikir kalau cuma pakai lisan aja namanya dzikir lalai Mas…
Dzikir itu harus pakai hati.
Nah itulah kalau pemahaman dzikir cuma sampai kerongkongan, nggak masuk ke hati, jadinya seperti anak panah yg menjauh dari busurnya.
>>> ih tentu donk..memang harus begitu…,dan dzikir2 yg utama adalah mengikuti yg disyariatkan, bukan bikin2 yg baru. Ini sbg bukti cinta dan taat kepada Allah dan Rosul-Nya. Kalau seneng bikin2 dalam tatacara ibadah ..bisa semerawut agama ini mba..
Jadi beragamanya cuma sebatas dalil, tapi gak nyantel ke hati…
>>> ya harus nyampai ke hati atuh,..
Anda itu lucu…menyamaratakan semua tarekat. Dari awal saya beritahu agar jangan menyamaratakan semua tarekat, tapi tetep aja kukuh semua tarekat harus sama di mata anda. Yg ada di kepala anda semua tarekat ngajarin dzikir “hu..hu..hu”, semua tarekat ngajarin dzikir dg bilangan tetentu, semua tarekat ngajarin dzikir teriak-teriak…
Padahal tarekat juga beda2..
Tapi mungkin emang hobi dr kaum anda selalu menyamaratakan….main gebyah uyah, ya monggo sajalah.
>>> beda2 gimana mba…? hampir smuanya ada standar tarekat tasawuf koq…, jadi mba tarekat yg mana nih…?? Jadi kalau mba dzikir setelah sholat itu sperti apa mba…?? atau dzikir2 lainnya itu.. mba pakai yg mana…??
13. Mas Hery, kadang orang tu pemahamannya beda2.
Ada org yg dzikirnya 100 langsung nyantel. Tapi ada orang yg dzikir 1000 baru nyantel (maksudnya baru merasakan diri hadir di dzikirnya, bukan dzikir lalai).
Jadi jangan main pukul rata…
>>>>. Ya ga apa2 dzikirlah sebanyak2nya…, namun janganlah membuat aturan harus sekian2, kan yg berhak membuat aturan itu hanyalah Alllah dan Rosul-Nya toh mba…, tasawuf itu kadang membuat batasan2 tertentu. Misal: habis sholat ga usah baca subahanalloh, Alhamdulillah, allohu akbar,(masing 33kali) dan bacalah laailaha illallah 165 kali…, padahal sunnah rosulullah adalah membaca nya. Ini satu contoh yg lebih mengedepankan aturan tarekat disbanding sunnah/petunjuk Rosulullah SAW.
14. Hadeuh Mas…saya gak pernah bilang kalau zuhud dan waro’ itu milik tasawuf.
Justru Tasawuf itu ada, awal mulanya dari para ulama Islam yg hidupnya zuhud dan waro’. Para ulama yg hidupnya zuhud dan waro’ ini kemudian dipelajari ajarannya, istilah kasarnya tuh dipelajari resep rahasianya apa yg bisa bikin mereka zuhud dan waro’. Nah, resep2 yg dipelajari ini kemudian disebut dengan istilah tasawuf. Ngerti nggak maksudku?
>> kalau anda bilang harus masuk ke hati jangan dalil melulu. Ini scara tdk langsung anda mengklaim bahwa tasawuflah yg hanya bisa meresap kehati.., bgtu jg dg zuhud dan waro…, ??
Resep2 dari ulama salaf sepertinya ada perbedaan dg tarekat lho mba…, ya sebenarnya kalau wejangan2 untuk tadzkiyatunnafs memang bagus…sya akui…, namun ada beberapa yg sya nda sepakat terutama ttg dzikir2 yg baru itu..
15. Jika memaknakan kalimat itu dengan : “SETIAP BID’AH YAITU SESAT”
Ini namanya terjemah, dan terjemah yang dangkal seperti ini tidak bisa di ambil hukum untuk mengatakan maulid, tahlilan, peringatan isro mi’roj itu adalah bid’ah dholalah.
——
Monggo Mas Hery dijawab dulu supaya bisa akurat menghukumi bid’ah….supaya bisa dipertanggungjawabkan di akhirat nanti
>>> Seandaanya sya sekaliber imam ahmad…ga bakal sya jawab..pertanyaan2..yg disisipi kesombongan /mengagung2kan kepandaian..yg baru secuil dari ilmu Allah.., kalau org indonesia mengakui lbh hebat bahasa arabnya dari orang arab saudi…, dan menganggap salafy (dari arab saudi yg disana banyak juga universitas bahkan syeikh2 dg level doctor…) ga ngerti ilmu nahwu dan shorof…., terlalu sembrono sya kira mba…
16. mas Hery ini selalu menganggap yg di luar firqohnya ke dukun dan pakai jimat. Dia selalu main gebyah uyah, pukul rata. Mungkin dihatinya cuma ada penyakit dan penyakit….penyakit buruk sangka…
>>> ga smuanya mba ….anda salah persepsi(atau anda kena penyakit yg buruk sangka terus terhadap salafy..)…ada beberapa yg doyan pakai jimat dan dukun dan itu kebanyakan dari NU.., bukan smua org NU..begitu sya kira maksudnya….
mas Hery:
bagaimana mengenai istiwa menurut mba…?? apa itu makna majazi…?? Berarti anda bertentangan dg faham Imam Malik.., yg jelas2 beliau mengimani sifat Istiwanya Allah a’lal Arsy (ya Karena ini ayat Al Qur’an)…adapun kaifiyyatnya tdk diketahu, ya..kenapa..karena kita tidak pernah tahu Dzat Allah sehingga sifat2 Allah seperti Istiwa’ tdk ada yg tahu tatacaranya.
Jawab:
Mari kita sama2 kaji…
Dalam karya Imam al-Bayhaqi yg berjudul al-Asma’ Wa ash-Shifat, yg dinilai memiliki sanad yg baik oleh Imam Ibnu Hajar al-Astqalani dalam Fath al-Bari, dikatakan:
“Suatu ketika kami berada di majelis Al-Imam Malik, tiba-tiba seorang datang menghadap al-Imam, seraya berkata:
‘Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa (bagaimanakah Istawa Allah)?
Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan orang tsb maka beliau menundukan kepala dengan badan bergetar dan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab pertanyaan orang tsb:
ar-Rahman ‘Ala al-arsy istawa adalah sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena “bagaimana” (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau adalah seorang yg berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini.”
(Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h 408)
Jadi orang itu dikeluarkan karena bertanya “bagaimana” istawa Allah. Seandainya orang itu bertanya “apa makna dari Istawa” tanpa mengambil makna dzahirnya tentulah Imam Malik akan menjelaskan maknanya.
Jadi Imam Malik tidak menakwil dikarenakan orang tsb bertanya “bagaimana” dan bukan bertanya “apa maknanya” dari kata Istawa.
Karena Imam Malik sendiri menakwil mengenai makna dari Allah turun di 1/3 malam terakhir sebagai turunnya “Rahmat dan Perintah-Nya.”
Riwayat lain dari al-Lali’ka’i dari ummu Salamah; Ummu al-Mu’minin, dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, Imam Malik mengatakan “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”
——-
-“al-Istawa Ghair Majhul”: Istawa sudah jelas diketahui (maksudnya sudah jelas diketahui kalau kata itu disebutkan dlm al-Qur’an)
-“Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul” : dan adanya sifat benda (al-Kayf) adalah tidak masuk akal (Ghairu Ma’qul).
Dalil dari al-Lalika’i malah menggunakan kata “al-Istiwa madzkur” artinya”kata al-Istawa telah benar2 disebutkan (dalam al-Qur’an)”.
Artinya apa?
Artinya adalah kata Istiwa itu benar-benar telah disebutkan dalam al-Qur’an, namun sangat tidak masuk akal jika kata Istiwa itu disifatkan dengan sifat benda.
Jadi dengan adanya kalimat “Wal al-Kayf Ghairu Ma’qul” menunjukkan kalau kata Istiwa tersebut bukan untuk tujuan menetapkan makna duduk atau bersemayam bagi Allah.
Juga bukan untuk menetapkan makna duduk atau bersemayam yg kayfiyyah
duduk atau bersemayam-Nya tidak diketahui oleh kita.
Jadi dengan adanya kata “Al-Kayf Ghair Ma’qul” sudah menegaskan bahwa kata Istawa tersebut bukanlah kayfiyyah, sebab kayfiyyah adalah sifat benda. Dengan demikian, karena kata Istawa ini bukan kayfiyyah maka jelas maknanya bukan dalam pengertian duduk atau bersemayam.
Karena duduk atau bersemayam
itu hanya berlaku pada sesuatu yg memiliki anggota tubuh. Padahal jelas dikatakan
oleh Imam Malik, mensifatinya dengan sifat benda adalah tidak masuk akal.
Namun sayangnya, ketika ucapan Imam
Malik ini berada di tangan Wahabi Arab Saudi, kata “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”, DIRUBAH menjadi “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah
Majhulah”.
Perkataan yg kedua ini sama sekali bukan riwayat yg benar dari Imam
Malik atau yg lainnya.
Tujuan merubah perkataan Imam
Malik ini adalah agar menetapkan adanya kayfiyyah bagi Istawa Allah, lalu mereka mengatakan kayfiyyahnya tidak diketahui.
Karena itu mereka sering mengatakan : “Allah bersemayam atau bertempat di arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui”, atau “Allah duduk di atas arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui.”
Jadi perkataan kaum musyabbihah “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” tidak lain hanyalah untuk mengelabui orang awam seolah-olah Imam Malik-lah yg telah mengatakan hal tsb.
(diambil dr note’s fb Forum Aswaja Indonesia, dengan mempersingkat tulisannya)
Al-Hafizh al-Bayhaqi dalam karyanya berjudul al-Asma’ Wa ash-Shifat, dengan sanad yang baik (jayyid), -sebagaimana penilaian al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari-, meriwayatkan dari al-Imam Malik dari jalur Abdullah ibn Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn Wahb-, berkata:
“Suatu ketika kami berada di majelis al-Imam Malik, tiba-tiba seseorang datang menghadap al-Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?. Abdullah ibn Wahab berkata: Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan orang tersebut maka beliau menundukan kepala dengan badan bergetar dengan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab perkataan orang itu: “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena “bagaimana” (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”. Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis al-Imam Malik (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)”.
Anda perhatikan; Perkataan al-Imam Malik: “Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”, hal itu karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan kata-kata “Bagaimana?”. Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut, sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya, maka tentu al-Imam Malik tidak membantah dan tidak mengusirnya.
Adapun riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) yang mengatakan: “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul (al-Istiwa sudah jelas diketahui dan adanya al-Kayf (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal)”, yang dimaksud “Ghair Majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an. Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an.
Dari sini dapat dipahami bahwa al-Lali’ka’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman mengatakan “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”, sama sekali bukan untuk tujuan menetapkan makna duduk atau bersemayam bagi Allah. Juga sama sekali bukan untuk menetapkan makna duduk atau bersemayam yang Kayfiyyah duduk atau bersemayam-Nya tidak diketahui oleh kita. Hal ini berbeda dengan orang-orang Wahhabiyyah yang salah paham terhadap pernyataan al-Lalika’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Hanya saja, –menurut mereka–, Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. A’udzu Billah.
Untuk membantah keyakinan kaum Wahhabiyyah tersebut, kita katakan kepada mereka: Dalam perkataan al-Lalika-i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman terdapat kata “al-Kayf Ghair Ma’qul”, ini artinya bahwa Istawa tersebut bukan Kayfiyyah, sebab Kayfiyyah adalah sifat benda. Dengan demikian, oleh karena kata Istawa ini bukan Kayfiyyah maka jelas maknanya bukan dalam pengertian duduk atau bersemayam. Karena duduk atau bertempat itu hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki anggota badan, seperti pantat, lutut dan lainnya. Sementara Allah maha suci dari pada anggota-anggota badan.
Yang mengherankan, kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyyah di atas seringkali memutarbalikan perkataan dua Imam di atas. Mereka sering mengubahnya dengan mengatakan “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah”. Perkataan semacam ini sama sekali bukan riwayat yang benar berasal dari al-Imam Malik atau lainnya. Tujuan kaum Musyabbihah mengucapkan kata tesebut tidak lain adalah untuk menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Istawa Allah, lalu mereka mengatakan Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. Karena itu mereka seringkali mengatakan: “Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui”. Atau terkadang mereka juga berkata: “Allah duduk di atas arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui”. jadi, Perkataan kaum Musyabbihah “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” tidak lain hanyalah untuk mengelabui orang-orang awam bahwa semacam itulah yang telah dikatakan dan yang dimaksud oleh Al-Imam Malik. A’udzu Billah.
Al-Hafizh al-Bayhaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata: Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap beliau, seraya bekata: Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimankah Istawa Allah? Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau berkata: “al-Istiwa’ telah jelas -penyebutannya dalam al-Qur’an- (al-Istiwa Ghair Majhul), dan “Bagaimana (sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-Kayf Ghair Ma’qul), beriman kepada adanya sifat al-Istiwa adalah wajib, dan mempermasalahkan masalah al-Istiwa tersebut adalah perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”. Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya. Al-Imam al-Bayhaqi berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).
Dalam mengomentari peristiwa ini, asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai berikut:
“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu mempertanyakan Kayfiyyah Istiwa bagi Allah. Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna zhahirnya. Tentu makna zhahir Istawa adalah duduk bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yan lain. Makna zhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia meragukan tentang Kayfiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik. Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).
Ada pelajaran penting yang dapat kita tarik dari peristiwa ini. Jika al-Imam Malik sangat marah terhadap orang tersebut hanya karena menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, hingga mengklaimnya sebagai ahli bid’ah, maka tentunya beliau akan lebih marah lagi terhadap mereka yang dengan terang-terangan mengartikan Istawa dengan duduk, bertempat atau bersemayam! Dapat kita pastikan seorang yang berpendapat kedua semacam ini akan lebih dimurkai lagi oleh al-Imam Malik. Hal itu karena mengartikan Istawa dengan duduk atau bersemayam tidak hanya menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, tapi jelas merupakan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.
Dan sesungguhnya sangat tidak mungkin seorang alim sekaliber al-Imam Malik berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat dan arah. Al-Imam Malik adalah Imam kota Madinah (Imam Dar al-Hijrah), ahli hadits terkemuka, perintis fiqih madzhab Maliki, sudah barang tentu beliau adalah seorang ahli tauhid, berkeyakinan tanzih, mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya. Tentang kesucian tauhid al-Imam Malik ibn Anas, al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah, dalam karyanya berjudul al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa telah menuliskan pernyataan al-Imam Malik bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah hadits, riwayat al-Imam Malik bahwa Rasulullah bersabda: “La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta” (Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta). Dalam penjelasan hadits ini al-Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus menyebut nabi Yunus dalam hadits ini, tidak menyebut nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman akidah tanzih, -bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah-. Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy -ketika peristiwa Mi’raj-, sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam -ketika beliau ditelan oleh ikan besar-, dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah sama saja. Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”. Dengan demikian, hadits ini oleh al-Imam Malik dijadikan salah satu dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (Lihat penjelasan ini dalam al-Muqtafa Fi syaraf al-Mustahafa. Perkataan Al-Imam Malik ini juga dikutip oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil. Demikian pula perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin).
Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an-Nu’man dari Abdullah ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata: “Allah berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”, adalah riwayat yang sama sekali tidak benar (Ghair Tsabit). Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”. Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”. Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya).
Dengan demikian pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Malik di atas adalah riwayat yang sama sekali tidak benar. Dan kata-kata tersebut yang sering kali dikutip oleh kaum Musyabbihah dan dinisbatkan kepada al-Imam Malik tidak lain hanyalah kedustaan belaka.
Baca selengkapnya di:
https://m.facebook.com/note.php?note_id=192280804141940&refid=9
mantab …….jeng shinta@…..
1. Jadi dengan adanya kata “Al-Kayf Ghair Ma’qul” sudah menegaskan bahwa kata Istawa tersebut bukanlah kayfiyyah, sebab kayfiyyah adalah sifat benda. Dengan demikian, karena kata Istawa ini bukan kayfiyyah maka jelas maknanya bukan dalam pengertian duduk atau bersemayam.
Karena duduk atau bersemayam
itu hanya berlaku pada sesuatu yg memiliki anggota tubuh. Padahal jelas dikatakan
oleh Imam Malik, mensifatinya dengan sifat benda adalah tidak masuk akal.
Namun sayangnya, ketika ucapan Imam
Malik ini berada di tangan Wahabi Arab Saudi, kata “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”, DIRUBAH menjadi “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah”.
Perkataan yg kedua ini sama sekali bukan riwayat yg benar dari Imam
Malik atau yg lainnya.
>>>>>> Menurut Imam Malik : Ghoiru majhul (bukan tdk diketahui), dan kaifiyatnya tdk diketahui.
Kalau anda cermati bahwa Imam Malik pun mengetahui bahwa Istiwanya Allah a’lal arsy, karena ini ayat AL Qur’an. Artinya apa…beliau bukankah mengimani ayat tersebut..? dan tdk menakwilkannya…???
Kalau anggapan merubah2 itu , itu hanya persepsi anda…ya..mungkin tdk berdasar, apalagi menuduh salaf memaknai duduk seperti manusia…
2. Tujuan merubah perkataan Imam
Malik ini adalah agar menetapkan adanya kayfiyyah bagi Istawa Allah, lalu mereka mengatakan kayfiyyahnya tidak diketahui.
Karena itu mereka sering mengatakan : “Allah bersemayam atau bertempat di arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui”, atau “Allah duduk di atas arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui.”
Jadi perkataan kaum musyabbihah “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” tidak lain hanyalah untuk mengelabui orang awam seolah-olah Imam Malik-lah yg telah mengatakan hal tsb.
>>>> begini mba salaf hanya mengimani…ayat tersebut, dan tidak menakwilkannya, tdk juga merubah maknanya, tdk juga menyelewengkan maknanya (kecuali ada penjelasan dari Rosulullah SAW dan sahabatnya, kalau tdk ada berarti Rosul dan sahabatnya pun tdk menakwilkannya).
Coba menurut mba…?? apakah Imam Malik menakwilkannya…??? Arrohmanu a’lal arsyisy tawa’ itu ayat Al Qur’an mba…? Allah sendiri yang berfirman, dan kita wajib beriman bukan. Dan salaf tdk mengatakan istiwa’ itu duduk seperti manusia atau apa lah…
Ok …,mba…memang suka dg takwil,,,,,apakah mba juga menakwilkan istiwa tersebut….???
Dr. Shalih al fauzan, itu a’lal arsyis tawa’ itu bukan berarti seperti duduk menempel di kursi seperti manusia, menurut beliau Allah itu berada diketinggian jauh lagi diatasnya arsy,.
3. Nah ini menurut referensi anda…:
“ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena “bagaimana” (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”. Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis al-Imam Malik (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)”.
>>>lihat perkataan Imam Malik, sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya sendiri, tdk boleh dikatakan bagaimana2…(jadi kalau ada yg menakwilkan - artinya apa ———-? Bertentangan dg Imam Malik toh…??
Sebenarnya anda menakwilkan apa sih dg makna istiwa itu…??
4. Anda perhatikan; Perkataan al-Imam Malik: “Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”, hal itu karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan kata-kata “Bagaimana?”. Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut, sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya, maka tentu al-Imam Malik tidak membantah dan tidak mengusirnya.
>>>>
Bagaimana..itu…?? nanya caranya…??, itu hanya dugaan anda jika imam malik ditanya maknanya sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya.
Ini anda yg beranggapan , bukan Imam Malik, jadi justru anda mba..yg ga sesuai dg perkataan Imam Malik..
Benar benar diketahui, ya memang tersebut dalam AL Qur’an oleh karena itu kita harus beriman. Kalau menurut anda mustahil Allah punya tempat/duduk diatas arsy….ya karena persepsi anda istiwa yg dimaksud seperti manusia, padahal menurut salafy (Dr Shalih al fauzan), bukan begitu …makan A’la itu jauh berada diatasnya lagi…
Coba Anda cek lagi perkataan sahabat/tabi’in yg mengatakan bahwa tafsirnya adalah qiroaatnya/bacaannya…
5. Untuk membantah keyakinan kaum Wahhabiyyah tersebut, kita katakan kepada mereka: Dalam perkataan al-Lalika-i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman terdapat kata “al-Kayf Ghair Ma’qul”, ini artinya bahwa Istawa tersebut bukan Kayfiyyah, sebab Kayfiyyah adalah sifat benda. Dengan demikian, oleh karena kata Istawa ini bukan Kayfiyyah maka jelas maknanya bukan dalam pengertian duduk atau bersemayam. Karena duduk atau bertempat itu hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki anggota badan, seperti pantat, lutut dan lainnya. Sementara Allah maha suci dari pada anggota-anggota badan.
>>>
Lho…memang betul istiwa itu bukan kaifiyyah nya tdk diketahui, dan itu bukan urusan kita mba, dan sya pun sepakat bahwa maknanya bukan duduk…
Kalau bersemayam…ga tau makan aslinya itu seperti apa..?? coba bukan terjemahan Al Qur’an bahasa indonesia yg anda atau ustad anda yg berhaluan As’ary….apa terjemahannya…ttg istiwa’…?? Sya yakin pasti bersemayam…..coba deh cek…
Dan menurut sya lebih aman istiwa ya istiwa aja…, adapun kaifiyyatnya: wallohu a’lam.
6. “Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu mempertanyakan Kayfiyyah Istiwa bagi Allah. Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna zhahirnya.
Tentu makna zhahir Istawa adalah duduk bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yan lain. Makna zhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia meragukan tentang Kayfiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik. Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).
>>> dan ini dibantah oleh syeikh al Fauzan bahwa a’la : yg dimaksud diatas itu bukan nempel, makan zahir yg dimaksud bukan dimaknai seperti kaifiyyat manusia, hanya bacaannya.
>>>>>>salafy tdk mengatakan bahwa Sifat Tangan Allah seperti tangan manusia,, Wajhullah seperti wajahnya manusia…dll.,,, jadi apa yg anda sampaikan adalah karena kedangkalan anda terhadap pemahaman salaf…, kalau anda telusuri sendiri…insya Allah akan faham…
7. Coba ajarkan saya bahwa salafusholih menakwilkan ayat sifat seperi yadullah, wajhullah, dll…seperti ibnu abbas, dan yg lainnya…??, jangan2 anda keliru mba…
saudara2 mari kita berikan tepuk tangan yang paling meriah buat saudara kita hery…
Saya sengaja gak jawab masalah yg bid’ah krn gak terlalu penting dibandingkan masalah akidah…untuk yg masalah bid’ah sy jawab lain waktu.
Saya:
Namun sayangnya, ketika ucapan Imam
Malik ini berada di tangan Wahabi Arab Saudi, kata “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”, DIRUBAH menjadi “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah”.
Perkataan yg kedua ini sama sekali bukan riwayat yg benar dari Imam
Malik atau yg lainnya
.
Mas Hery: Menurut Imam Malik : Ghoiru majhul (bukan tdk diketahui), dan kaifiyatnya tdk diketahui.
Jawab:
Istiwa Ghoiru Majhul maksudnya bahwa memang benar kata Istiwa itu disebutkan (dlm al-Qur’an).
(Mohon untuk mengartikannya dihubungkan dengan riwayat dari al-Lalika’I yg mengatakan “al-Istiwa ghoiru madzkur” krn “ghoiru madzkur sbg penegas bhw kata tsb disebutkan dlm Al-Qur’an)
Kata “Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul” artinya adalah “Dan kayf
(Sifat benda) adalah sesuatu yg tidak masuk akal.
Maksudnya apa??? Maksudnya bahwa kata Istiwa tidak boleh di sifati dengan sifat benda.
Artinya apa?
Bahwa kata Istiwa itu tidak boleh diartikan sebagai bersemayam…karena kata bersemayam itu sendiri sudah bentuk dr sifat benda.
Ngerti nggak maksudnya???
Lagipula arti kata Istiwa itu banyak mas Hery, bukan cuma bersemayam aja….kenapa koq Wahabi pakai kata bersemayam ini untuk mengartikan Istiwa??? Termasuk dlm terjemahan bahasa Indonesia yg sebetulnya diprotes oleh banyak ulama…
Mas Hery:
Kalau anda cermati bahwa Imam Malik pun mengetahui bahw kata Istiwanya Allah a’lal arsy, karena ini ayat AL Qur’an. Artinya apa…beliau bukankah mengimani ayat tersebut..? dan tdk menakwilkannya…??
Jawab:
Jelas Imam Malik mengimani ayat itu bukan sbg bersemayam…krn kata bersemayam itu adalah bentuk dr sifat benda.
Kenapa saya bicara demikian? Karena pd kenyataannya Imam Malik Ra bukanlah seorang yg anti takwil…
Jika seseorang telah menakwil hadist2 mustasyabihat, tentunya beliau mengakui adanya takwil.
Mas Hery:
Anggapan merubah2 itu , itu hanya persepsi anda…ya..mungkin tdk berdasar, apalagi menuduh salaf memaknai duduk seperti manusia…
Jawab:
Coba cek perkataan Imam Malik versi Wahabi, bukankah kata2nya menjadi “al-Istiwa ma’lum wal kayfiyyah majhulah”???
Kalau kalimatnya seperti itu ya jadi berbeda pengertiannya…
“Al-Istiwa ma’lum” itu berarti kata istiwa maklum sbg bersemayam
“Wal kayfiyyah majhulah” namun kayfiyyahnya tidak diketahui.
Mau dibilang bersemayamnya kayak manusia atau nggak, namun dengan menyebut Allah “bersemayam” tentunya itu sudah menyifati dengan sifat benda..
Bandingkan dengan ucapan Imam Malik versi ahlusunnah:
“Al-Istiwa Ghoiru Majhul” artinya, kata Istiwa memang tersebut (maksudnya disebut dlm al-Qur’an)
“”Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul” artinya, bahwa sifat benda (pd kata Istiwa) adalah suatu hal yg tidak masuk akal. Intinya gak boleh disifati sebagai bersemayam..
Lagipula kata Istiwa ini punya beberapa arti, kenapa masih menisbahkan pd kata “bersemayam” atau “duduk bertempat”?.
Mas Hery:
begini mba salaf hanya mengimani…ayat tersebut, dan tidak menakwilkannya, tdk juga merubah maknanya, tdk juga menyelewengkan maknanya (kecuali ada penjelasan dari Rosulullah SAW dan sahabatnya, kalau tdk ada berarti Rosul dan sahabatnya pun tdk menakwilkannya).
Jawab:
Silahkan untuk tidak menakwil….tapi tidak menakwil pun harus pd koridor yg benar. Yaitu benar2 diserahkan maknanya secara keseluruhan pd Allah. Tidak usah pakai embel2 bagaimana cara bersemayamnya, krn dengan mengatakan “bagaimana” meskipun diberi penekanan berbeda dr makhluk2-Nya, namun itu sudah mengindikasikan kalau yg bicara itu mengimani Allah punya bentuk/materi meskipun diberi akhiran bahwa materi /bentuk Allah itu berbeda dr makhluk2-Nya
Jelas Ibnu Abbas Ra menakwil kata “Istiwa” itu. Nnt sy tuliskan takwilan Ibnu Abbas Ra…dan tentunya ini berkaitan dg majazi, krn tokh beliau memajazkan kata2 dlm ayat2 mustasyabihat
Mas Hery:
Coba menurut mba…?? apakah Imam Malik menakwilkannya…??? Arrohmanu a’lal arsyisy tawa’ itu ayat Al Qur’an mba…? Allah sendiri yang berfirman, dan kita wajib beriman bukan. Dan salaf tdk mengatakan istiwa’ itu duduk seperti manusia atau apa lah…
Jawab:
Sekarang saya balik bertanya pd anda, “Apakah Imam Malik anti takwil???”
Kalau Imam Malik Ra orang yg anti takwil, tentunya ia akan mengartikan hadist ttg “turunnya Allah” di 1/3 malam terakhir sama persis spt Wahabi. Kenyataannya tidak demikian….
Artinya beliau memajazkan sifat benda tersebut…
Perlu dicatat kitab karangan al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki, yaitu al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa telah menuliskan pernyataan al-Imam Malik bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Mas Hery:
Ok …,mba…memang suka dg takwil,,,,,apakah mba juga menakwilkan istiwa tersebut….???
Dr. Shalih al fauzan, itu a’lal arsyis tawa’ itu bukan berarti seperti duduk menempel di kursi seperti manusia, menurut beliau Allah itu berada diketinggian jauh lagi diatasnya arsy,.
Jawab:
Saya akan nakwil sesuai Ibnu Abbas Ra dan para ulama khalaf…
Mengatakan Allah berada ketinggian jauh di arah atas arsy itu sama saja dengan memberikan sifat benda pd Allah…
Allah itu Laisa Kamistlihi Syai’un tidak memerlukan arah seperti makhluk2-Nya
Jika saya katakan Imam Syafi’I berada di ketinggian jauh di atas para ulama masa kini, apakah saya lantas menunjukkan arah bagi Imam Syafi’i???
Mas Hery:
lihat perkataan Imam Malik, sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya sendiri, tdk boleh dikatakan bagaimana2…(jadi kalau ada yg menakwilkan - artinya apa ———-? Bertentangan dg Imam Malik toh…??
Jawab:
Sudah dijawab pd jawaban saya di atas…bahwa kata Istiwa menurut Imam Malik tidak boleh disifati dengan sifat benda, jadi kata Istiwa tidak boleh diartikan dengan “bersemayam” atau “duduk bertempat” meskipun diberi embel2 berbeda dari makhluk2-Nya. Krn kata bersemayam dan bertempat itu sudah mensifati Allah dgn benda/materi…
Artinya justru kata istiwa tsb memungkinkan untuk ditakwil, krn untuk meniadakan sifat benda pd kata Istiwa salah satunya dg caraitakwil, sebagaimana Imam Malik menakwil hadist ttg “sifat turun” Allah sebagai “yanzilu amrihi”
Lho…memang betul istiwa itu bukan kaifiyyah nya tdk diketahui, dan itu bukan urusan kita mba, dan sya pun sepakat bahwa maknanya bukan duduk…
Kalau bersemayam…ga tau makan aslinya itu seperti apa..?? coba bukan terjemahan Al Qur’an bahasa indonesia yg anda atau ustad anda yg berhaluan As’ary….apa terjemahannya…ttg istiwa’…?? Sya yakin pasti bersemayam…..coba deh cek…
Jawab:
Betul, ustadz2 yg berhaluan Asy-ary jg pakai kata “bersemayam” tapi biasanya mrk kalau ditanya akan menjelaskan maknanya sesuai dengan takwil Ibnu Abbas Ra dan para ulama khalaf, semisal Abu Hanifah, Imam Nawawi, Imam Syafi’I dsb…
Mas Hery:
Dan menurut sya lebih aman istiwa ya istiwa aja…, adapun kaifiyyatnya: wallohu a’lam.
Jawab:
Silahkan kalau anda lebih memilih tidak menakwil, tapi jangan setengah-setengah. Kalau anda berpandangan bahwa Allah ada “di atas” itu sama saja anda menyifati dg sifat benda.
Bukankah yg tahu makna kata “di atas” itu hanya Allah?
Akidah Allah ada tanpa arah dan tempat itu akidah para ulama Salaf, dan khalaf…kecuali Ibnu Taymimah sebelum Ibnu Taymimah bertobat.
Imam Ali bin Abi Thalib-lah yg memperkenalkan akidah “Allah ada tanpa arah dan tempat”…
Imam Hambali pun berakidah yg sama…beliau memilih untuk tidak menakwil, namun beliau tidak mau membahas dengan mengatakan “tangan Allah berbeda dari tangan makhluk2-Nya” atau yg serupa dengan kalimat tsb, krn mengatakan “tangan Allah berbeda dari tangan makhluk-Nya” itu sama saja mengimani bahwa Allah punya tangan…namun bentuknya berbeda dr tangan makhluk-makhluk-Nya
.
@mas Heri:
Untuk ulama Wahabi yg mengatakan bahwa Allah berada di ketinggian di atas arsy…sebaiknya saya beri sanggahannya berupa perkataan Imam Abu Hanifah yg akidahnya sama dengan akidah para ulama kami, yaitu Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat
—->
Terjemah:
Lima: Apa yang beliau (Imam Abu Hanifah) tunjukan –dalam catatannya–: “Dalam Kitab al-Fiqh al-Absath bahwa ia (Imam Abu Hanifah) berkata: Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu”. Dialah yang mengadakan/menciptakan segala sesuatu dari tidak ada, oleh karenanya maka tempat dan arah itu bukan sesuatu yang qadim (artinya keduanya adalah makhluk/ciptaan Allah). Dalam catatan Imam Abu Hanifah ini terdapat pemahaman2 penting:
Terdapat argumen bahwa seandainya Allah berada pada tempat dan arah maka berarti tempat dan arah tersebut adalah sesuatu yang qadim (tidak memiliki permulaan), juga berarti bahwa Allah adalah benda (memiliki bentuk dan ukuran). Karena pengertian “tempat” adalah sesuatu/ruang kosong yang diwadahi oleh benda, dan pengertian “arah” adalah puncak/akhir penghabisan dari tujuan suatu isyarat dan tujuan dari sesuatu yang bergerak. Dengan demikian maka arah dan tempat ini hanya berlaku bagi sesuatu yang merupakan benda dan yang memiliki bentuk dan ukuran saja; dan ini adalah perkara mustahil atas Allah (artinya Allah bukan benda) sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan yang lalu. Oleh karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu sesuatu”.
Sementara apa yang disangkakan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy adalah sesuatu yang qadim (tidak bermula) adalah pendapat SESAT, sebagaimana kesesatan ini telah dijelaskan dalam Kitab Syarh al-Aqa’id al-’Adludliyyah.
Sebagai jawaban bahwa Allah tidak dikatakan di dalam alam adalah oleh karena mutahil Allah berada di dalam susuatu yang notabene makhluk-Nya. Dan bahwa Allah tidak dikatakan di luar alam adalah oleh karena Allah ada (tanpa permulaan) sebelum adanya segala makhluk, dan Dia ada sebelum adanya segala tempat dan arah. Karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Dia (Allah) adalah Pencipta segala sesuatu”.
Keterangan:
Kitab ini berjudul Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam adalah karya Imam al-Bayyadli. Isinya adalah penjelasan aqidah yang diyakini oleh Imam Abu Hanifah sesuai risalah2 yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah sendiri.
Jadi mas Hery, anda mau ikut akidah Wahabi yg mengikuti akidah Ibnu Taymimah sebelum bertobat?
Apa mau ikut akidah para ulama yg mayoritas yg mengikuti akidah Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ghazali, Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Abu Hanifah, Imam As-Suyuthi, Imam Nawawi, Imam Nawawi Albantani, dsb..dsb..???
baca artikel terbaru dari bang H Zon ………
1.
Lagipula arti kata Istiwa itu banyak mas Hery, bukan cuma bersemayam aja….kenapa koq Wahabi pakai kata bersemayam ini untuk mengartikan Istiwa??? Termasuk dlm terjemahan bahasa Indonesia yg sebetulnya diprotes oleh banyak ulama…
>>bukan salafy mba…., salafy arab saudi kalau nerjemahin istiwa ya tetap istiwa ..(mereka kan org arab), yg sya maksud adalah terjemahan yg ada di Indonesia..termasuk keluaran kemenag..silahkan di cek..
2.
Kenapa saya bicara demikian? Karena pd kenyataannya Imam Malik Ra bukanlah seorang yg anti takwil…
Jika seseorang telah menakwil hadist2 mustasyabihat, tentunya beliau mengakui adanya takwil.
>> ya sepakat mba..memang bukan anti takwil, selama ada takwil dari para sahabat, maka kita tingga mengikuti saja kan.., tawi kalau takwil dari orang2 belakangan…kalau ga ada hujjahnya..maka ga bisa dijadikan dasar..
3.
Coba cek perkataan Imam Malik versi Wahabi, bukankah kata2nya menjadi “al-Istiwa ma’lum wal kayfiyyah majhulah”???
Kalau kalimatnya seperti itu ya jadi berbeda pengertiannya…
“Al-Istiwa ma’lum” itu berarti kata istiwa maklum sbg bersemayam
“Wal kayfiyyah majhulah” namun kayfiyyahnya tidak diketahui.
Mau dibilang bersemayamnya kayak manusia atau nggak, namun dengan menyebut Allah “bersemayam” tentunya itu sudah menyifati dengan sifat benda..
>>> sya tanya mba…??? mba punya nama ga…?? Allah punya nama ga…?? apakah lantas kita katakan kita menyifati Allah gara2 punya nama sebagaimana makhluknya semuanya punya nama…?? kalau sya mah ga pusing mengenai takwil mba…, kalau Allah SWT mensifati dirinya istiwa’ alal arsy-> sya hanya beriman dg ayat itu…,adapun hakikat istiwa’ menurut Allah …wallohu a’lam, gitu saja.
4.
Bandingkan dengan ucapan Imam Malik versi ahlusunnah:
“Al-Istiwa Ghoiru Majhul” artinya, kata Istiwa memang tersebut (maksudnya disebut dlm al-Qur’an)
“”Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul” artinya, bahwa sifat benda (pd kata Istiwa) adalah suatu hal yg tidak masuk akal. Intinya gak boleh disifati sebagai bersemayam..
Lagipula kata Istiwa ini punya beberapa arti, kenapa masih menisbahkan pd kata “bersemayam” atau “duduk bertempat”?.
>>>
wah ini mah makna menurut persepsi anda…, sepertinya Imam Malik ga bilang “Intinya gak boleh disifati sebagai bersemayam”, salafy jug aga bilang begitu…yg sya sampaikan adalah terjemahan di Indonesia…
5.
Coba cek perkataan Imam Malik versi Wahabi, bukankah kata2nya menjadi “al-Istiwa ma’lum wal kayfiyyah majhulah”???
Kalau kalimatnya seperti itu ya jadi berbeda pengertiannya…
“Al-Istiwa ma’lum” itu berarti kata istiwa maklum sbg bersemayam
“Wal kayfiyyah majhulah” namun kayfiyyahnya tidak diketahui.
Mau dibilang bersemayamnya kayak manusia atau nggak, namun dengan menyebut Allah “bersemayam” tentunya itu sudah menyifati dengan sifat benda..
>>>>>> siapa yg bilang bersemayam…?? itu diterjemahan bhasa indonesia yg haluannya asy’ari sepertnya mba…??
6.
Saya akan nakwil sesuai Ibnu Abbas Ra dan para ulama khalaf…
Mengatakan Allah berada ketinggian jauh di arah atas arsy itu sama saja dengan memberikan sifat benda pd Allah…
Allah itu Laisa Kamistlihi Syai’un tidak memerlukan arah seperti makhluk2-Nya.
>>> sya tanya mba…? kenapa kalau anda berdo’a tangan anda ke atas, kenapa ga ke bawah…??…sya ragu anda yg serng mengklaim takwil menurut ibnu Abbas. R.a
>>lihat hadits ttg seorang budak yg ditanya rosul…?? dimanakah Allah…?? Allah ada dilangit…
>>> cek juga…surat al mulk… Aamintum man fisamai…dst…(apakah kamu ga takut pada Yang Aada Dilangit…..dst…),
>>jadi menurut anda Allah ada dimana…??? ada dimana mana kah..??
7.
Jika saya katakan Imam Syafi’I berada di ketinggian jauh di atas para ulama masa kini, apakah saya lantas menunjukkan arah bagi Imam Syafi’i???
>>>ya terserah mba….mau menunjukkan arah atau tdk…,sya hanya beriman terhadap AL Qur’an dan Al Hadits…dan tdk akan menakwil, walau bertentangan dg logika, karena agama ini bukan logika, namun u disampaikan Allah kepada Rosulullah SAW, selama Allah dan Rosul-Nya menyampaikan keterangan tentang ayat2 mutasyabihat..maka akan sya imani, n jika tdk ada bgtu jg dri sahabat..maka sya akan berhenti pada pemahaman mereka…
8. Betul, ustadz2 yg berhaluan Asy-ary jg pakai kata “bersemayam” tapi biasanya mrk kalau ditanya akan menjelaskan maknanya sesuai dengan takwil Ibnu Abbas Ra dan para ulama khalaf, semisal Abu Hanifah, Imam Nawawi, Imam Syafi’I dsb…
>>>>>>>>>
Ya artinya: dia sendir yg nakwil dg bersemayam…, sekali lagi sya masih ragu dg klaim anda itu..
9.
Akidah Allah ada tanpa arah dan tempat itu akidah para ulama Salaf, dan khalaf…kecuali Ibnu Taymimah sebelum Ibnu Taymimah bertobat.
Imam Ali bin Abi Thalib-lah yg memperkenalkan akidah “Allah ada tanpa arah dan tempat”…
Kalau memang itu benar akidah Imam Ali—> ok sya sepakat…, jadi menurut anda Allah ada dimana….???
>> diatas arsy-> menurut anda itu arah ya..?? terus gimana kalau Allah sendiri dan berfirman demikian…??
10.
Imam Hambali pun berakidah yg sama…beliau memilih untuk tidak menakwil, namun beliau tidak mau membahas dengan mengatakan “tangan Allah berbeda dari tangan makhluk2-Nya” atau yg serupa dengan kalimat tsb, krn mengatakan “tangan Allah berbeda dari tangan makhluk-Nya” itu sama saja mengimani bahwa Allah punya tangan…namun bentuknya berbeda dr tangan makhluk-makhluk-Ny.
>>>>
Imam Ahmad jg meyakini bahwa Allah turun sepertiga malam sebagaimana dalam hadits, udah beliau hanya beriman aja…ga ngebahas lebih lanjut kan..?,kaifiyat dll..itu urusan Allah..,
Ketika Allah berfirman : sungguh kekallah Wajhu Robbika…, bi a’yunina, Yadullah fauqo aidihim, dll…, salaf hanya menetapkan sifat sebagaima Allah tetapkan dlm AL Qur’an sendiri…, hati2 dg mu’tazilah..yg mana mereka jika tdk masuk akal..maka akan mereka mencari2 takwilnya agar pas dg akalnya…
11.
Sementara apa yang disangkakan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy adalah sesuatu yang qadim (tidak bermula) adalah pendapat SESAT, sebagaimana kesesatan ini telah dijelaskan dalam Kitab Syarh al-Aqa’id al-’Adludliyyah.
Sebagai jawaban bahwa Allah tidak dikatakan di dalam alam adalah oleh karena mutahil Allah berada di dalam susuatu yang notabene makhluk-Nya. Dan bahwa Allah tidak dikatakan di luar alam adalah oleh karena Allah ada (tanpa permulaan) sebelum adanya segala makhluk, dan Dia ada sebelum adanya segala tempat dan arah. Karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Dia (Allah) adalah Pencipta segala sesuatu”.
>>> Arsy itu mahkluk toh mba…?? terus trang sya ragu..jangan2 ini fitnah terhadap Ibnu Taimiyyah…,
Sekali lagi sya tanya mba..Allah dimana..??
12.
ini berjudul Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam adalah karya Imam al-Bayyadli. Isinya adalah penjelasan aqidah yang diyakini oleh Imam Abu Hanifah sesuai risalah2 yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah sendiri.
>>mhon maaf sya baru dengar Imam bayaddli.. , boleh tahu nama lengkapnya…?? tpi ok lah kalau itu dijadikan rujukan anda…sya menghargai itu…
13.
Jadi mas Hery, anda mau ikut akidah Wahabi yg mengikuti akidah Ibnu Taymimah sebelum bertobat?
Apa mau ikut akidah para ulama yg mayoritas yg mengikuti akidah Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ghazali, Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Abu Hanifah, Imam As-Suyuthi, Imam Nawawi, Imam Nawawi Albantani, dsb..dsb..???
>>> Sya mengikuti akidah ahlusunnah waljamaah mba…, sekali lagi kalau syiah itu sesat wajar mereka pun mengakui bahwa mereka syiah, adapun yg anda klaim wahabi..tdk ada satu ulamapun dari mereka..yg mengklaim sbg wahabi..yg ada adalah salafy…yaitu suatu manhaj, metode mengikuti pemahaman salafusholih 3 generasi terbaik ummat ini, akidah para imam yg anda sebutkan tadi..ternyata berbeda persepsi antara salafy dg asy’ari…, sya pun hanya berusaha mengikuti dan mencari yg benar..dan itu Hak Allah untuk memberikan taufik dan hidayahnya kepada hamba-Nya yg terpilih…, sya bukan dalam rangka memaksakan bahwa pendapat sya yg benar dan pendapat anda yg salah. Jika menurut anda ada beberapa hal yg perlu dikaji dan dianggap benar..silahkan anda kaji…, kalau memang menurut anda salah semua..ya..ditinggalkan saja…, prinsip saya ilmu itu tersebar dimana2..jika bersandar pada dalil yg shahih maka sya akan sepakat dg siapapun.., sebelumnya mohon maaf lahir dan bathin..kepada smuanya..
Assalamu’alaikum buat mas Zon, dan seluruh mas-mas yg kumpul di blog ini….termasuk saudara kita dr firqoh Wahabi
Mohon maaf lahir bathin….
maaf baru bisa online lg…
langsung saja…menjawab pertanyaan mas Hery:
Untuk seluruh pertanyaan mas Hery di atas silahkan lihat jawabannya di sini—–>
http://m.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fallahadatanpatempat.blogspot.com%2Fp%2Fbantahan-ke-atas-wahabi.html&h=OAQHdKdJd&s=1
kalau saya ditanya Allah dimana, maka akan saya jawab Allah itu dekat lebih dekat drpd urat leher kita sendiri
Silahkan cek ricek di link yg saya beri di atas, dari masalah bid’ah, tawasul Imam Husein kpd Nabi Saw sebelum wafat dlm peristiwa Karbala, syair Imam Syafi’i atas Rasulullah Saw, ulama Salafi yg bangga menyebut dirinya Wahabi, hadist Jariyah, dsb….semua dibahas di link yg saya beri.
Kalau anda memang bernyali silahkan masuk ke link tersebut dan lihat hadist2 seputar tawasul setelah nabi Saw wafat, dll….
sebagai orang yang tidak banyak tahu… saya Nyimak saja….
dan hasil nya…
wahabism banyak muter-muter…
maaf… saya menilai secara individu , bukan dari golongan manapun.
aku malah jadi atut……. ya Allah yang Maha Tahu atas semua yang yang terjadi baik di langit maupun di bumi, hanya Engkau yang tahu apkah tindakanku ber tahlil, ber tawasul itu hal yang salah atau benar, sungguh kami hanya ingin mengagungkan nama-Mu ya ALLAH… ya Rosululloh syafaatmu kunanti di hari kiamat nanti amiin….
Assalamu’alaikum, dialog yg menarik, sampai2 saya sempatkan berjam2 untuk mengikuti dan membaca tulisan2 temen2 yg ada di blog ini. Sedikit hanya ingin menambahkan, saya sbg orang awam, melhat komentar2 dari temen2 yang berhujah baik dengan dalil Al Quran maupun As Sunnah dan bahkan dengan memakai perkataan para ulama, syeikh ataupun habib,..akhirnya saya simpulkan bahwa kita sebagai manusia sering berlebihan dan tidak pernah merasa puas dengan segala hal. Baik itu dalam hal kebaikan maupun dalam hal kejelekan.
Rasa berlebihan dan tidak pernah puas itu yg sebenarnya menjadikan umat Islam sendiri terjebak dalm perbedaan dan perpecahan. Misal berlebihan dalam mengagungkan seorang syeikh ,habib ataupun ulama, yg menjadikan seolah2 pendapat syeikh, habib, atau ulama tersebut yg paling bener. Sehingga butalah hati kita dari menerima kebenaran yg berasal dari orang lain atau golongan lain. Begitu juga sifat ketidak puasan hati kita dalam melakukan ibadah yg sesuai dengan Sunnah Rasul, shg membuat kita mengadakan suatu ibadah lain yg mungkin ibadah itu bisa memuaskan hati (nafsu) kita.
Teman2 yg saya hormati, dari menyimak dialog2 tentang upacara tahlilan diatas, yg menjadi pertanyaan saya adlah kenapa kita tdk seperti para sahabat yg mencukupkan diri hanya beribadah dengan mencontoh (sami’na wa atho’na) kpd Rasulullah saja? Bukankah mulai dari bangun tidur sampai akn tidur lagi Rasulullah telah memberikan Uswatun Khasanah? apakah Rasul tidak memberikan contoh cara bersedekah? apakah tidak ada hadits yg menerangkan dimana biasanya Rasul membaca Al Quran? Atau dimana Rasul melarang membaca Al Quran? Ataupun untuk apa kita disuruh membaca Al Quran? Apakah tidak ada satu haditspun yg menerangkan bagaimana tata cara Rasul mengurus orang yg telah meninggal hingga usai mengkuburkannya? Atau tidak adakah dalam kitab2 hadits tentang bagaimana cara Rasul mendo’akan orang yg sudah meninggal dunia???
Kalau semua itu dalam kitab2 hadits yg telah dikumpulkan oleh para ulama seperti dalam kitab hadits yg tujuh itu ada, maka untuk apa kita bersusah payah melakukan suatu hal yg tidak pernah dicontohkan oleh Rasul, bahkan tidak dikenal dikalangan generasi awal???Apakah kalian mengira Rasulullah menyembunyikan sebagian Risalah langit, shg umatnya prlu mencari2 bentuk ibadah lain? sekali lagi kenapa kita tidak meniru para sahabat yg mencukupkan diri hanya beribadah dg cara Rasulullah saja???Bukankah salah satu ciri orng yg bertaqwa itu adlah mencintai dan mencukupkan diri hanya dengan agama (ajaran) Rasulullah??
Kalau kita mau merenung sejenak…,sejenak saja…Syahadat pertama “Asyhadualla ilahailallah” mempunyai arti yg diantaranya, dalam beribadah kita harus ikhlas lillahita’ala..sedangkan syahadat yg kedua “wa asyhaduanna Muhammadarrasulullah” mempunyai makna diantaranya dalam beribadah kita harus mencontoh (itiba’) hanya kpd Rasulullah, disebutkan dalm hadits “…innal khoiro huda, huda Muhammad salallahu’alahiwasalam…”.( sebaik2nya contoh dalah contoh dari Nabi Muhammad salallahu’alaihiwassalam). Jika kita mau berfikir, dalam syahadat, sudah jelas diterangkan syarat diterimanya ibadah itu harus ikhlas dan sesuai dengan sunnah rasul…Kedua syarat itu harus terpenuhi, tidak boleh hanya memilh salah satunya saja agar ibadah kita diterima..
Sekian dulu dari saya, jika ada perkataan saya yg kurang berkenan saya minta mohon maaf sebesar2nya..
Wa’allaykum salam mas Styabayu terimakasih atas pencerahan yang antum sampaikan pertanyaannya bagaimana kita dapat mencontoh Nabi mas sadang kita hidup tentu jauh dari kehidupan beliau ??? inilah yang jadi permasalahannya ,………..silahkan baca https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/07/25/sembarang-ulama/ …….
Begini mas, ini logika saya sbg org awam. Saya tahu, masalah sanad sangat penting dalam mencari suatu kebenaran ilmu,tapi kita semua juga hars menyadari bahwa tidak ada manusia yg maksum didunia ini selain para nabi dan Rasul, iyakan?? Bahkan baik itu seorang imam mahdzab, syeikh ataupun habib (keturunan Rasulullah)…dan tentunya kita sepakat dalam masalah ini. Selanjutnya, bukankah para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, misal imam 4 madzhab, Imam Bukhori wa Muslim, mereka banyak bersepakat dalam masalah2 urusan agama, terutama dalam masalah fikih?? yang mana dalam hal ini tentunya menjadi rujukan bagi firqah2 yg ngaku sebagai Ahlussunnah wal jama’ah, misal N.U, Muhammadiyah,FPI,Sufi beserta tariqotnya,Jama’ahTabligh, para habib2,dll… bahkan termasuk yg kita sebut Wahabi…mereka semua mengaku Ahlussunnah wal Jama’ah (mohon koreksinya kalu saya salah dalm menyebut firqah2 diatas).
Lalu kenapa kita tidak melakukan suatu ibadah yg hanya tlah disepakati oleh para Ulama Ahlussunnah wal jama’ah saja?? misal, bukankah Kitab Assahihaih merupakan salah satu kitab rujukan bagi para ahlussunnah?? dan bahkan tidak ada para Ulama Ahlussunnah yg tidak mengakui kesahihan kedua kitab tersebut, kecuali sangat sedikit sekali (krn sekali lagi, bahkan Imam Bukhari wa MUslim pun tidak maksum). Dalm kitab trsebut sangat banyak sekali hadits2 yg berisi tentang amalan2 Rasulullah, dan kalaupun kita mau, saya yakin temen2 akan kewalahan dalm mengamalkan seluruh amalan yg ada di kedua kitab tersebut. Lalu sekali lagi untuk apa kita mengamalkan amalan yg masih menjadi perdebatan?? Bukankah itu termasuk Syubhat?? Sedangkan dalm masalah perkara syubhat bukankah kita dianjurkan untuk meninggalkannya?? Sesederhana itulah pemikiran saya sebagai orang awam.
Selain itu menurut pemikiran saya (lagi), terpecahnya umat Islam adalah dikarenakan perbedaan dalm menafsirkan ajaran2 Rasulullah (Hal ini berhubungan dg syahadat yg kedua), sedangkan untuk masalah Ikhlas lillahita’ala (syahadat yg pertama), semua ulama pasti akan sepakat bahwa salah satu syarat diterimanya ibadah adlah harus Ikhlas. Contoh kecil perbedaan penafsiran ajaran rasulullah adlah beberapa orang ketika akan sholat tidak perlu melafalkan niat, sedang bebrapa orang melafalkan niat, bahkan mensunnahkannya, dan dalam hal ini salah satu dalil yg jadi rujukan mereka adalah hadits “Innamal A’malu biniyat….”. (tolong koreksi jika salah). Mereka sama2 memakai dalil yg sama tpi cara implementasinya yg berbeda. Dulu ketika saya masih kecil, diajarkan sebelum sholat melafalkan niat “Ushalli…” akan tetapi ketika beranjak dewasa timbul pertanyaan dalm hati saya , apakah dalm sholat Rasulullah melafalkan niat apa tidak?? dan ternyata sampai hari ini (sejauh pengetahuan saya) tidak ada satu dalil pun yg mengatakan Rasulullah ketika akan sholat melafalkan niyat, maka sayapun tidak lagi melafalkan niyat, begitulah kira2.
Temen2 yg saya hormati, sebenarnya kalau kita mau menyimak lagi dialog2 diatas, kita akan mengetahui telah terjadi suatu kesepakatan bahwa memang ada yang namanya bid’ah ( lepas itu scr bahasa, ataupun dalam hal pembagiannya), Dan dalam hal ini yg dimaksud Bid’ah adalah dalm urusan agama. Ya to??? Lalu untuk masalah tahlilan, temen2 juga telah sepakat bahwa ada hadits (lepas dari sahih tidaknya hadits, krn saya bukan ahli hadits) yg mengatakan bahwa Rasulullah memenuhi undangn keluarga mayit..(koreksi kalau salah)
Maka yang menjadi pertanyaan disini adalah, kenapa kalau kita sama2 mengaku sbg ahlussunnah, kita tidak hanya mencukupkan diri dengan mencontoh Rasulullah saja??? Maksud saya jika dalm hadits itu tidak ada acara membaca Al Quran ataupun sholawatan, ya jangan ditambahi dengan membaca Al Quran ataupun bacaan2 lain. Untuk kita renungkan, dalam hal ini sebenarnya yg dikatakan bid’ah adlah tatacara/upacara/ritual tahlillannya..bukan menghadiri jamuannya. Suatu ibadah jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yng diajarkan Rasulullah, padahal Rasulullah telah mengajarkannya, maka menurut saya itu menyelisihi sunnah Rasul.
Kalau Rasulullah hanya mencontohkan menghadiri jamuan makan tanpa adanya ritual lain (dalam hal ini membaca Al Quran atau bacaan lain), maka ya jangan menambahkan ritual lain. Cukup dengan memakan hidangan yg disuguhkan dan mngkin memberikan nasehat kpd keluarga sang mayat agar bersabar atas musibah yg telah menimpanya, sebagaimana byk hadits yg menyebutkannya.
Dan dengan mencukupkan ibadah hanya dengan mencontoh Rasulullah itulah yg menurut saya sebaik2nya iman. Karena hal itu merupakan bentuk praktek dalam hal Sami’na wa atho’na kepada Allah dan RasulNya.
Sesederhana itulah pemikiran saya…mohon ma’af jika ada kata yg ndak berkenan.
Uwoo…verry good comment yang terakhir. Ini sangat adil lho… hidupkan sunnah rasululloh yang jelas dan nyata-nyata terang dan jelas tapi sudah mulai ditinggalkan. Contoh, sholat dengan menggunakan sutrah, sholat sunnah rawatib, memanjangkan jenggot (Ini ada lho…sungguh ada dan tidak perlu diperdebatkan, apa ada yang mau mendebat?Astaghfirulloh). Untuk yang memberi makan, alangkah luar biasa baiknya jika ada tetangga yang anggota keluarganya meninggal kita cepat-cepat buat makanan tuh, lalu dikirim ke rumahnya, sehingga kita jelas-jelas melaksanakan sunnah rasululloh saw. yang jelas dan terang ada (Sekali lagi, ada yang mau mendebat sunnah yang ini?).
Setuju… Ini komen Angga terakhir dan benar-benar jelas, insyaAlloh diredhoi Alloh.
Agama itu siasat, Wali Songo bersiasat transformasi sosial berjalan, setelah siasat berhasil ya harus dikembalikan pada rel sebenarnya, jangan keterusan siasat bahkan kebablasan sehingga menjadi kontra produktif, transformasi sosialnya negatif tidak sesuai jaman. Maka harus kembali kepada rel syariat dan contoh-contoh yang jelas dari Rosul dan sahabat.
Wallohua’lam bishshwaab
MN
Mas Nadjib masa bersiasat menyuruh manusia berbuat dosa
Silahkan baca tulisan terkait pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/10/20/sedekah-tahlil/
Nabi memiliki beberapa anak, yang anak laki2 semua
meninggal sewaktu masih kecil. Anak-anak perempuan
beliau ada 4 termasuk Fatimah, hidup sampai
dewasa.
Ketika Nabi masih hidup, putra-putri beliau yg
meninggal tidak satupun di TAHLIL i, kl di do’akan
sudah pasti, karena mendo’akan orang tua,
mendo’akan anak, mendo’akan sesama muslim amalan
yg sangat mulia.
Ketika NABI wafat, tdk satu sahabatpun yg TAHLILAN
untuk NABI,
padahal ABU BAKAR adalah mertua NABI,
UMAR bin KHOTOB mertua NABI,
UTSMAN bin AFFAN menantu NABI 2 kali malahan,
ALI bin ABI THOLIB menantu NABI.
Apakah para sahabat BODOH….,
Apakah para sahabat menganggap NABI hewan….
(menurut kalimat sdr sebelah)
Apakah Utsman menantu yg durhaka.., mertua
meninggal gk di TAHLIL kan…
Apakah Ali bin Abi Tholib durhaka.., mertua
meninggal gk di TAHLIL kan….
Apakah mereka LUPA ada amalan yg sangat baik,
yaitu TAHLIL an koq NABI wafat tdk di TAHLIL i..
Semua Sahabat Nabi SAW yg jumlahnya RIBUAN,
Tabi’in dan Tabiut Tabi’in yg jumlahnya jauh lebih
banyak, ketika meninggal, tdk ada 1 pun yg
meninggal kemudian di TAHLIL kan.
cara mengurus jenazah sdh jelas caranya dalam
ISLAM, seperti yg di ajarkan dalam buku2 pelajaran
wajib dr SD – Perguruan tinggi. Termasuk juga tata
cara mendo’akan Orang tua yg meninggal dan tata
cara mendo’akan orang2 yg sdh meninggal dr kaum
muslimin.
Saudaraku semua…, sesama MUSLIM…
saya dulu suka TAHLIL an, tetapi sekarang tdk
pernah sy lakukan. Tetapi sy tdk pernah mengatakan
mereka yg tahlilan berati begini.. begitu dll.
Para tetangga awalnya kaget, beberapa dr mereka
berkata:” sak niki koq mboten nate ngrawuhi
TAHLILAN Gus..”
sy jawab dengan baik:”Kanjeng Nabi soho putro
putrinipun sedo nggih mboten di TAHLILI, tapi di
dongak ne, pas bar sholat, pas nganggur leyeh2,
lan sakben wedal sak saget e…? Jenengan Tahlilan
monggo…, sing penting ikhlas.., pun ngarep2
daharan e…”
mereka menjawab: “nggih Gus…”.
sy pernah bincang-bincang dg kyai di kampung saya,
sy tanya, apa sebenarnya hukum TAHLIL an..?
Dia jawab Sunnah.., tdk wajib.
sy tanya lagi, apakah sdh pernah disampaikan
kepada msyarakat, bahwa TAHLILAN sunnah, tdk
wajib…??
dia jawab gk berani menyampaikan…, takut timbul
masalah…
setelah bincang2 lama, sy katakan.., Jenengan
tetap TAHLIl an silahkan, tp cobak saja
disampaikan hukum asli TAHLIL an…, sehingga
nanti kita di akhirat tdk dianggap menyembunyikan
ILMU, karena takut kehilangan anggota.., wibawa
dll.
Untuk para Kyai…, sy yg miskin ilmu ini,
berharap besar pada Jenengan semua…., TAHLIL an
silahkan kl menurut Jenengan itu baik, tp sholat
santri harus dinomor satukan..
sy sering kunjung2 ke MASJID yg ada pondoknya.
tentu sebagai musafir saja, rata2 sholat jama’ah
nya menyedihkan.
shaf nya gk rapat, antar jama’ah berjauhan, dan
Imam rata2 gk peduli.
selama sy kunjung2 ke Masjid2 yg ada pondoknya,
Imam datang langsung Takbir, gk peduli tentang
shaf…
Untuk saudara2 salafi…, jangan terlalu keras
dalam berpendapat…
dari kenyataan yg sy liat, saudara2 salfi memang
lebih konsisten.., terutama dalam sholat.., wabil
khusus sholat jama’ah…
tapi bukan berati kita meremehkan yg lain.., kita
do’akan saja yg baik…
siapa tau Alloh SWT memahamkan sudara2 kita kepada
sunnah shahihah dengan lantaran Do’a kita….
demikian uneg2 saya, mohon maaf kl ada yg tdk
berkenan…
semoga Alloh membawa Ummat Islam ini kembali ke
jaman kejayaan Islam di jaman Nabi…, jaman
Sahabat.., Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in
Amin ya Robbal Alamin