Tuhan melihat kepada hati hambaNya
Sebenarnya apa yang menyebabkan mereka merasa telah beribadah sesuai dengan cara beribadah atau manhaj Salafush Sholeh sedangkan mereka tidak melihat langsung cara beribadah atau manhaj Salafush Sholeh ?
Semua itu diakibatkan mereka membaca sebuah hadits yang tentunya ada sanad yang tersusun dari Tabi’ut Tabi’in , Tabi’in dan Sahabat. Lalu mereka katakan bahwa mereka beribadah telah sesuai dengan cara beribadah atau manhaj Salafush Sholeh. Mereka sebenarnya telah sesuai dengan akal pikiran mereka sendiri.
Merekapun berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka sampaikan adalah cara beribadah atau manhaj Salafush Sholeh.
Tidak ada yang dapat memastikan upaya pemahaman (itjihad) yang mereka lakukan pasti benar.
Kemungkinan salahnya semakin besar dikarenakan mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atasnamakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh.
Lebih baik dan selamat kita mengikuti apa yang disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat melihat langsung cara sholat atau cara ibadah lainnya dari Salafush Sholeh atau manhaj Salafush Sholeh dan dengan kompetensi mereka dalam berijtihad dan beristinbat dituliskan dalam kitab-kitab fiqih mereka agar umat Islam dikemudian hari yang tidak bertemu atau tidak melihat cara sholat atau cara ibadah lainnya dari Salafush Sholeh atau tidak mengetahui manhaj Salafush Sholeh dapat melihat atau mengetahui melalui kitab fiqih yang mereka tuliskan.
Imam Mazhab yang empat masih terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan aqidahnya. Tidak tercampur dengan akal pikiran yang berunsurkan hawa nafsu atau kepentingan. Zaman kehidupan yang relatif lebih dekat dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , kecil kemungkinan tercampur ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi.
Ulama Ibnu Taimiyyah yang menjadi panutan mereka semula bermazhab atau berguru dengan para ulama bermazhab Hambali namun pada akhirnya ulama Ibnu Taimiyyah lebih bersandar kepada upaya pemahamannya sendiri melalui muthola’ah , menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri sehingga pemahamannya bertentangan dengan pemahaman Imam Mazhab yang empat. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/ dan bantahan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang terurai dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat yang telah diakui dan disepakati oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)
Begitupula Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” telah membantah apa yang dipahamai oleh Ibnu Taimiyyah maupun apa yang dipahami oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab. Kutipannya dapat di baca pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Ciri seorang ulama masih tersambung sanad ilmunya adalah pendapatnya tidak bertentangan dengan ulama-ulama yang sholeh sebelumnya dan tidak pula bertentangan dengan pendapat Imam Mazhab yang empat artinya sanad ilmu ulama Ibnu Taimiyyah terputus hanya sampai pada akal pikirannya sendiri.
Bahkan karena kesalahpahamannya mengakibatkan ulama Ibnu Taimiyyah wafat di penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau uraian dalam tulisan pada http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
Mereka memelihara jenggot, mereka menjaga pakaian agar tidak isbal maka mereka merasa telah beribadah sesuai dengan cara beribadah atau manhaj Salafush Sholeh dan mereka merasa telah dekat dengan Allah ta’ala dan pasti masuk surga. Sedangkan kaum muslim yang tidak seperti mereka pasti akan masuk neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian (apa yang tampak secara dzahir), tetapi Allah melihat kepada hati kalian (batin).” (HR Muslim)
Abdullah bin Abbas ra berpesan, “Makan dan pakailah apa yang anda sukai, tetapi bila anda keliru, akibatnya ada dua, sombong dan berlebihan”
Imam Sayyidina Ali ra berkata, “Saya heran terhadap orang yang sombong. Padahal dia berasal dari air yang hina dan akan menjadi bangkai. Sombong dapat menghalangi tambahan nikmat. Orang yang menyombongkan diri sendiri, akalnya sudah rusak. Rakus, sombong dan dengki merupakan kendaraan menuju lembah yang dipenuhi dosa”.
Pada suatu kali, Abu Ubaidah ra pernah menjadi imam sholat. Ketika dia pergi meninggalkan tempat itu, dia berkata, “Setan telah menggodaku hingga aku merasa bahwa aku lebih baik daripada orang lain. Oleh karena itu, aku tidak mau menjadi imam lagi”.
Jika seorang ulama gemar memperturutkan hawa nafsunya seperti memperolok-olok, mencela, menghujat, merendahkan, meremehkan muslim lainnya atau masih gemar serampangan memggunakan kata-kata kadzdzab , ahlul bid’ah , penyembah thaghut , sesat, kafir atau gemar menjuluki muslim lainnya sebagai hizbiyyun, kuburiyyun maka ulama tersebut tidak termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mustahil yang haq bercampur dengan yang bathil.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Firman Allah ta’ala yang artinya
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Tujuan beragama adalah untuk mencapai muslim yang berakhlakul karimah atau muslin yang ihsan
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Ulama yang termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah ulama yang meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , ulama yang berakhlakul karimah yakni sholeh, ihsan, shiddiq, amanah, fathonah, tabligh.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Imam Sayyidina Ali ra berpesan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan akhlak mulia sebagai perantara antara Dia dan hambaNya. Oleh karena itu,berpeganglah pada akhlak, yang langsung menghubungkan anda kepada Allah”
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Ulama yang termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau ulama yang berakhlakul karimah adalah ulama yang tidak keras atau bersikap lemah lembut dan saling mencintai terhadap muslim lainnya sehingga dicintai oleh Allah ta’ala
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Bukhari 5552) (HR Muslim 4685)
Ciri atau tanda telah termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang ihsan yang terbaik adalah muslim yang bermakrifat yakni muslim yang menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah muslim yang telah meraih maqom disisiNya yakni muslim yang telah mendapatkan karunia ni’mat dari Allah sehingga berada di jalan yang lurus, berada dalam kebenaran.
Firman Allah ta’ala
”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik untuk bukan Nabi dalam meraih maqom disisiNya sehingga menjadi kekasih Allah (wali Allah) dengan mencapai shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh dari Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, “Beliau melihat dengan mata hatinya.” (HR Muslim 257)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Jika belum dapat bermakrifat yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Rasulullah bersabda yang artinya “jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Kaum muslim yang meyakini dalam pengawasan Allah Azza wa Jalla atau kaum muslim yang bermakrifat yakni menyaksikan Allah Azza wa Jalla dengan hatinya (ain bashiroh) maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, mencegah dirinya dari perbuatan maksiat, mencegah dirinya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sehingga terwujud dalam berakhlakul karimah
Muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanNya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurnaan, keindahan dan keagunganNya, sehingga nyatalah bukti kebesaranNya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembunyi padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolongan“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Alhamdulillah… informasi yang sangat bermanfaat.
Mohon izin copas Bang Zon…