Tidak ada laranganNya membaca surat selain Al Kahfi setiap malam Jum’at
Hal yang harus kita ingat bahwa tidak semua yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah perkara terlarang
Janganlah terhasut oleh perkataan seperti “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” yang mirip dengan perkataan orang-orang kafir sebagaimana yang termuat dalam firmanNya, waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu lau kaana khairan maa sabaquunaa ilaihi wa-idz lam yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiimun (QS al Ahqaaf [46]:11 )
“Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” bukan firmanNya dan bukan pula perkataan Rasulullah maupun para Sahabat.
Andaikan perkataan “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” itu baik tentulah Rasulullah, para Sahabat, Salafush sholeh lainnya maupun Imam Mazhab yang empat sering mengucapkannya
Dalam hadits yang telah terbukukan ada riwayat tentang kebiasaan Rasulullah membaca surat Al Kahfi setiap malam Jum’at. Apakah membaca surat yang lain adalah perkara terlarang?
Dari Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
“Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul ‘atiq.” (Sunan Ad-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan al-Nasai dan Al-Hakim)
Hal yang perlu kita ingat bahwa tidak dapat menghukumi sebuah kebiasaan dengan hanya bermodalkan hadits-hadits yang telah dibukukan saja karena jumlah hadits yang telah dibukukan jumlahnya lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh seorang al hafidz (100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh seorang al hujjah (300.000 hadits)
Jadi tidak ada laranganNya untuk membaca surat selain surat Al Kahfi pada malam Jum’at
Begitupula tidak terlarang berwashilah dengan amal kebaikan berupa bacaan surah Yasin dalam membuka sebuah acara atau membuka dan mengakhir doa
Untuk itulah dalam perkara kebiasan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dapat ditanyakan kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mereka mendapatkan pengajaran tentang kebiasan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari orang tua mereka secara turun temurun yang bersambung kepada apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Hal yang harus diingat bahwa sebuah larangan hanya berasal dari Allah Azza wa Jalla yang dapat kita ketahui dari nash yang shahih
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Telah sempurna agama Islam maka telah sempurna atau tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang didiamkanNya atau dibolehkanNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.”
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Jadi segala perkara terkait dengan dosa tidak boleh berdasarkan anggapan manusia namun harus berdasarkan apa yang telah diwahyukanNya .
Manusia berdasarkan anggapannya baik tidak boleh menetapkannya sebagai perkara kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa jika tidak diwahyukanNya. Sejauh-jauhnya ditetapkan sebagai perkara sunnah (mandub) atau anjuran untuk dikerjakan dalam arti jika dikerjakan mendapatkan kebaikan (pahala) dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Manusia berdasarkan anggapanya buruk tidak boleh menetapkannya sebagai perkara larangan atau perkara haram yang jika dilanggar berdosa jika tidak diwahyukanNya. Sejauh-jauhnya ditetapkan sebagai perkara makruh dalam arti anjuran untuk dihindari.
Para Imam Mujtahid dalam beristinbat menghindari metodologi istinbat seperti al-Maslahah al-Mursalah atau Al-Istislah yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata yang oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang”
Metode istinbat, al maslahah-mursalah atau istislah pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik ra (W. 97 H.), pendiri mazhab Malik namun pada akhirnya beliau meninggalkannya. Sejak setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahahmursalah kepada Imam Malik ra.
Menurut Imam Syafi’i cara-cara penetapan hukum seperti itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakannya sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri (akal pikiran sendiri) yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Itulah yang dimaksud dengan perkataan imam Asy Syafi’I, “Siapa yang menganggap baik maka ia telah membuat syari’at.” adalah terkait ibadah mahdah atau urusan agama (urusan kami)
Ibnu Hazm termasuk salah seorang ulama yang menolak cara-cara penetapan hukum seperti itu Beliau menganggap bahwa cara penetapan seperti itu menganggap baik terhadap sesuatu atau kemashlahatan menurut hawa nafsunya (akal pikiran sendiri), dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil (Allah ta’ala tidak turunkan keterangan padanya).
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Jadi pelaku bid’ah dalam urusan agama (urusan kami) adalah mereka yang mengada-ada larangan yang tidak dilarangNya atau mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya
Mereka yang melakukan dan mentaati bid’ah dalam urusan agama (urusan kami) termasuk perbuatan menyekutukan Allah (QS al-A’raf [7] : 33) yakni menjadikan para ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Setuju sekali dengan artikel diatas, agama Islam sangat luas berisi salam, rahmat dan berkah, tidak ada batasan tentang amal shalih yang kita pilih untuk diamalkan, pun pada waktu yang kita tentukan sendiri.
Boleh disimak artikel-artikel saya di:
http://wirid-al-quran.blogspot.com/2014/08/keajaiban-surat-yaasiin-pengalaman.html
http://wirid-al-quran.blogspot.com/2014/07/urutan-urutan-surat-surat-al-quran-yang.html
salaam