Orang-orang yang terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH kelak mendapatkan azab kubur karena mereka DURHAKA kepada Allah Ta’ala
Salah satu alasan meluangkan atau mengorbankan waktu untuk membuat status atau tulisan maupun memberikan komentar adalah agar orang-orang yang meneruskan KEBID’AHAN ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang dikabarkan telah bertaubat persis sebelum Beliau wafat di penjara sehingga belum sempat “mengkoreksi” kekeliruannya dapat TERSADARKAN dan turut BERTAUBAT pula sebelum ajal menjemput SEHINGGA mereka TIDAK TERJERUMUS mengikuti firqah MUJASSIMAH karena orang-orang yang TERJERUMUS mengikuti firqah MUJASSIMAH kelak mereka akan mendapatkan azab kubur di ALAM BARZAKH (alam penantian) yang lebih lama dari ALAM DUNIA sampai hari dibangkitkan kembali.
Orang-orang yang terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH kelak mendapatkan azab kubur karena mereka terjerumus DURHAKA (‘AASHIN) kepada Allah Ta’ala AKIBAT mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga menimbulkan FITNAH yakni mereka menyebarluaskan KEBOHONGAN mengenai Allah seperti mengatakan bahwa,
Allah Ta’ala memiliki WAJAH tanpa KEPALA, dua mata, dua telinga, pinggang, dua tangan KEDUA-DUANYA kanan, kelak MENYINGKAP betis, dua kaki yang seolah-olah “MENJUNTAI” ke bawah Arsy yakni ke kursi dan terkadang menggunakan kakinya sebagai JARIHAH (anggota badan) untuk membenamkan penghuni neraka dan SEMUA itu akan BINASA kecuali wajahnya.
Pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi (W. 597H) yang MEMBERSIHKAN fitnah-fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241 H) dengan kitabnya berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih ketika menyampaikan tentang firqah MUJASSIMAH, mereka tidak mendapatkan nash / dalil shorih bahwa Allah memiliki kepala.
***** awal kutipan *****
Sementara tentang kepala mereka berkata, “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”
***** akhir kutipan *****
Imam Ibn al Jawzi al-Hanbali mencontohkan ke-MUJASSIMAH-an dari al-Qadli Abu Ya’la al-Mujassim (W. 458H) yang semula mengikuti mazhab Hambali,
***** awal kutipan *****
Sementara al-Qadli Abu Ya’la al-Mujassim memahami kata “Saq” dalam makna literalnya, ia berkeyakinan bahwa Allah memiliki betis, karena itulah ia mengatakan bahwa “Saq” adalah bagian dari sifat Dzat-Nya.
Pemahaman sesatnya ini sama persis dengan pemahamannya tentang makna “al-Qadam”, “القدم” ia pahami secara literal, ia mengatakan bahwa Allah memiliki telapak kaki yang diletakan di dalam neraka.
Dalam pemahaman sesatnya ini ia mengutip riwayat tidak benar bahwa menurutnya sahabat Abdullah ibn Mas’ud berkata: “Allah membuka betis kaki kanan-Nya hingga kemudian mengeluarkan sinar yang menerangi bumi”.
Aku (Ibnul Jawzi) katakan: “Pemahaman literal Abu Ya’la tentang makna “Sâq” dan makna “Qadam” ini murni merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya). Dan apa yang ia sebutkan dari perkataan sahabat Abdullah ibn Mas’ud adalah bohong besar dan sangat mustahil.
Tidak boleh menetapkan suatu sifat bagi Allah dengan riwayat palsu semacam ini. Juga tidak boleh diyakini bahwa Dzat Allah sebagai sinar atau cahaya yang menerangi bumi [karena bila demikian maka apa bedanya dengan matahari, bulan, bintang dan lainnya yang notabene makhluk-Nya?!].
Adapun argumen Abu Ya’la yang mengatakan bahwa penyandaran kata “Saq” kepada Allah memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki betis [artinya menurut Abu Ya’la teks ini tidak boleh ditakwil]; adalah pendapat bodoh yang tidak berdasar. Sesungguhnya dalam penggunaan bahasa jika dikatakan: “Kasyafa ‘An Syiddatih” (menyingkap kesulitan yang sangat dahsyat)
***** akhir kutipan *****
Berikut kutipan penjelasan Al Imam Al Hafizh Ibn al Jawzi al-Hanbali ketika mencontohkan KEKELIRUAN firqah MUJASSIMAH yang mengatakan dan meyakini bahwa Tuhan memiliki betis dan akan membuka betis-Nya tersebut berdalilkan firman Allah Ta’ala yang artinya, “pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa” (QS Al Qalam [68] : 42)
***** awal kutipan *****
Makna yang benar sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama bahwa yang dimaksud “Saq”, “ساق” dalam ayat ini adalah “asy-Syiddah”, “الشدة”, artinya “kesulitan yang sangat dahsyat”; dengan demikian makna ayat tersebut adalah: “Hari di mana kesulitan yang sangat dahsyat akan diangkat (dihilangkan)”.
Penggunaan kata seperti ini biasa dipakai dalam bahasa Arab, seperti dalam sebuat bait sya’ir;
وقامت الحرب على ساق
[Artinya: “Peperangan terjadi dengan sangat dahsyat”].
Dalam bait sya’ir lainnya mengatakan:
وأن شمرت عن ساقها الحرب شمرا
[Artinya: “Bahwa peperangan telah menyingsingkan kedahsyatannya”, artinya peperangan tersebut terjadi dengan sangat dahsyat. Kata “ساق” di sini berarti “شدة”, artinya “dahsyat”].
Ibnu Qutaibah berkata: “Dasar penggunaan kata “Saq” dalam makna ini adalah karena bila seseorang tengah menghadapi urusan yang besar dan dahsyat maka ia membutuhkan kepada KEKUATAN TEKAD dan KESUNGGUHAN dalam menghadapinya, lalu ia MENYINGSINGKAN celananya hingga NAMPAK betisnya, dari sini kemudian kata “Saq” dalam bahasa Arab biasa dipergunakan (dipinjamkan) untuk MENGUNGKAPKAN tentang adanya kesulitan yang sangat dahsyat” [dalam Istilah Ilmu Balaghah disebut Majaz Isti’ârah].
Dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Sahih masing-masing menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
إن الله عز وجل يكشف عن ساقه
[artinya Allah Azza wa Jalla menampakkan betisnya]
Penyandaran (Idlafah) kata “Saq” dalam hadits ini bukan untuk mengungkapkan bahwa Allah memiliki betis, tapi Idlafah di sini dimaksudkan untuk MENGUNGKAPKAN bahwa Allah akan MENGHILANGKAN atau MENGANGKAT segala kesulitan yang sangat dahsyat di di hari kiamat kelak dari orang-orang mukmin. Dan makna “Yaksyifu”, “يكشف” artinya “Yuzilu”, “يزيل”; artinya mengangkat atau menghilangkan.
Diriwayatkan bahwa Sa’id ibn Jabir sangat marah terhadap orang yang memahami firman Allah dalam QS. Al Qalam [68] ayat 42 di atas dalam makna literalnya, lalu beliau berkata: “Yang dimaksud ayat tersebut adalah terangkatnya segala kesulitan yang sangat dahsyat di saat itu”.
***** akhir kutipan *****
Salah satu penyebab timbulnya KERUSAKAN dalam PERKARA I’TIQOD adalah AKIBAT orang-orang TERKECOH atau TERKELABUI oleh ulama rujukan firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang MELABELI pemahamannya SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK makna MAJAZ maupun TAFWIDH sebagai mazhab atau manhaj SALAF sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa 4/149,
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR
***** akhir kutipan *****
Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat TERJERUMUS DURHAKA (‘aashin) kepada Allah karena PENGINGKARAN makna MAJAZ dalam Al Qur’an
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang berjudul Al Iman hal. 94 mengatakan,
***** awal kutipan *****
فهذا بتقدير أن يكون في اللغة مجاز ، فلا مجاز في القرآن ، بل وتقسيم اللغة إلى حقيقة ومجاز تقسیم مبتدع محدث لم ينطق به السلف
“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk majaz dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk majaz.
Bahkan pembagian bahasa kepada hakikat (makna dzahir) dan majaz adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.
***** akhir kutipan *****
Padahal dalam percakapan antar manusia saja dikenal MAKNA DZAHIR (makna tersurat) dan MAKNA MAJAZ (makna tersirat)
Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (W. 751 H) murid dari Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
Jadi pada kenyataannya “Dakwah Tauhid” mereka adalah MENYERUKAN untuk “mengikuti” ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga MEREKA secara tidak langsung MENGAJAK orang-orang untuk mengikuti firqah MUJASSIMAH.
Firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang menyebarluaskan FITNAH seolah-olah Allah Ta’ala dan Rasulullah MELARANG TAKWIL dan mereka MEWAJIBKAN untuk mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka menimbulkan FITNAH dan menyebarluaskan KEBOHONGAN mengenai Allah.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (SELALU dengan MAKNA DZAHIR) untuk menimbulkan FITNAH dengan MENCARI-CARI TAKWILNYA, padahal tidak ada yang mengetahui TAKWILNYA melainkan Allah.” (QS. Ali Imran [3] : 7)
Pengertian orang-orang yang “MENCARI-CARI TAKWILNYA” atau “mengada-ngada takwil” adalah mereka MENTAKWIL (memaknai) TANPA ILMU hanya berdasarkan MAKNA DZAHIR sehingga mereka menimbulkan FITNAH sebagaimana contohnya yang disampaikan oleh Imam Suyuthi dalam kitab tafsir Jalalain, ketika menafsirkan (QS. Ali Imran [3] : 7) menjelaskan bahwa FITNAH berasal dari
لجهالهم بوقوعهم في الشبهات واللبس
kalangan orang-orang jahil (TANPA ILMU hanya berdasarkan MAKNA DZAHIR) yang justru menjerumuskan mereka ke dalam hal-hal yang syubhat dan kabur pengertiannya.
Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-ali-imran-dengan-tafsir/1
Apabila mereka berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabihat yakni ayat dengan banyak makna terkait sifat Allah HARUS dimaknai dengan MAKNA DZAHIR dan TIDAK BOLEH dimaknai dengan MAKNA MAJAZ maka apakah menurut mereka wajah Allah BERADA di Timur dan Barat karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS Al Baqarah [2] : 115)
Berikut kutipan penjelasan Imam Suyuthi dalam kitab tafsir Jalalain tentang makna wajah Allah dalam firman Allah Ta’ala surat Al Baqarah [2) ayat 115,
***** awal kutipan *****
ونزل لما طعن اليهود في نسخ القبلة أو في صلاة النافلة على الراحلة في السفر حيثما توجهت
Ketika orang-orang Yahudi mengecam penggantian kiblat atau tentang salat sunah di atas kendaraan selama dalam perjalanan dengan menghadap ke arah yang dituju, turunlah ayat,
ولله المشرق والمغرب
(Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat)
أي الأرض كلها لأنهما ناحيتها
karena keduanya merupakan ujung dan pangkalnya,
فأينما تولوا
(maka ke mana saja kamu menghadap)
وجوهكم في الصلاة بأمره
maksudnya menghadapkan mukamu di waktu shalat atas perintah-Nya,
فثمَّ
(maka di sanalah)
هناك
di arah sanalah
وجه الله
(wajah Allah)
قبلته التي رضيها
maksudnya kiblat yang diridhai-Nya
***** akhir kutipan *****
Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-al-baqarah-dengan-terjemahan-dan-tafsir/12
Begitupula jika SEMUA itu (yakni WAJAH tanpa KEPALA, dua mata, dua telinga, pinggang, betis, jari, dua tangan yang kedua-duanya kanan, dua kaki yang ditempatkan di kursi dan terkadang kakinya sebagai JARIHAH untuk membenamkan penghuni neraka) AKAN BINASA kecuali WAJAHNYA,
Apakah Tuhan mereka seperti Angry Bird yakni burung yang hanya tampak wajah pemarahnya ?
Mu’atilah adalah orang-orang yang mengingkari sifat-sifat Allah.
Sedangkan firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang MENGGANTI sifat Allah dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda.
Contoh ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) sebelum bertaubat terjerumus durhaka (aashin) kepada Allah Ta’ala karena secara tidak langsung “memenjarakan” Allah Ta’ala dengan menetapkan sifat makhluk atau benda yakni BERADA dan BERBATAS dengan Arsy.
Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat mengatakan bahwa,
- Tuhan BERADA atau BERTEMPAT di atas Arsy, maka keduanya ini memiliki BENTUK dan BATASAN (Muwafaqat Sharih al Ma’qul j.2 h 29)
- “Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyah)
- Nabi Muhammad didudukan oleh Allah di atas ‘arsy bersama-Nya!” (Majmu Fatawa juz 4, hal.374)
Jadi Ibnu Taimiyah TERBUKTI mengikuti firqah MUJASSIMAH yakni Ibnu Taimiyah MENGGANTI kemuliaan dan keagungan sifat ISTIWA Allah dengan sifat makhluk atau benda yakni sifat BERBATAS dengan Arsy.
Laqob atau julukan MUSYABBIHAH bagi yang berakidah TASYBIH dan MUJASSIMAH bagi yang berakidah TAJSIM
Jadi firqah MUSYABBIHAH adalah orang-orang yang MENYERUPAKAN Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya
Sedangkan firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang MEN-JISIM-KAN Allah Ta’ala dengan MENGGANTI sifat-sifat Allah dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda seperti contohnya mereka mengganti sifat ISTIWA Allah dengan ISTIQRAR artinya MENETAP TINGGI dalam pengertian TIDAK BERJARAK yakni MENEMPEL di atas Arsy atau artinya BERARAH dalam pengertian BERJARAK yakni “MELAYANG” arah atas Arsy.
Orang-orang yang terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH yakni mereka yang MEN-JISIM-KAN Allah Ta’ala dengan mengitsbatkan (menetapkan) arah, jarak, tempat, ukuran, BATASAN seperti BERBATAS dengan Arsy dan sifat-sifat fisikal lainnya maupun ANGGOTA-ANGGOTA badan ADALAH karena mereka mensifati Allah atau memaknai sifat Allah dengan MAKNA DZAHIR atau secara hissi (indrawi atau fisikal, materi, jisim).
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
“Maha suci Allah dari batas-batas, batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib telah mengingatkan bahwa KELAK,
قوم من هذه الأمة عند إقتراب الساعة كفارا يُنكرون خالقهم فيصفونه بالجسم والأعضاء
“Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya KUFUR dalam I’TIQOD) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat JISIM (sifat benda atau makhluk yakni sifat fisikal seperti arah, ukuran, jarak, batasan maupun tempat) dan ANGGOTA-ANGGOTA BADAN.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi wafat 725 H dalam kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi)
Ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W 728H) dalam kitabnya Majmu Fatawa Juz 3 hal 229 MENGAKUI TIDAK mengikuti AKIDAH imam mazhab yang empat dan termasuk tidak mengikuti AKIDAH Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241H)
***** awal kutipan *****
مَعَ أَنِّي فِي عُمْرِي إلَى سَاعَتِي هَذِهِ لَمْ أَدْعُ أَحَدًا قَطُّ فِي أُصُولِ الدِّينِ إلَى مَذْهَبٍ حَنْبَلِيٍّ وَغَيْرِ حَنْبَلِيٍّ، وَلَا انْتَصَرْت لِذَلِكَ، وَلَا أَذْكُرُهُ فِي كَلَامِي، وَلَا أَذْكُرُ إلَّا مَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ سَلَفُ الْأُمَّةِ سَلَفُ الْأُمَّةِ وَأَئِمَّتُهَا.
Sesungguhnya aku (Ibnu Taimiyah) sepanjang umurku hingga sekarang, aku tidak pernah mengajak seorangpun dalam masalah USHULUDDIN (AQIDAH) untuk mengikuti MAZHAB HAMBALI dan (mazhab) selainnya, aku tidak pernah membela kepada mazhab-mazhab tersebut dan tidak pernah menyebutkan (pendapat-pendapat mazhab tersebut) dalam perkataanku, dan aku juga tidak pernah menyebutkan (dalam masalah aqidah) kecuali perkara – perkara yang telah disepakati oleh Salaful Ummah dan para imamnya.
***** akhir kutipan *****
Dalam pengakuannya tersebut, Ibnu Taimiyah (W. 728H) mengaku mengikuti Salaful Ummah atau Salafus Sholeh
NAMUN pada kenyataannya ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) TERBUKTI tidak mengikuti Salafus Sholeh karena Ibnu Taimiyah justru MENGINGKARI TAFWIDH secara MUTLAK.
Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat berkata,
أن قول أهل التفويض الذين يزعمون أنهم متبعون للسنة والسلف من شر أقوال أهل البدع والإلحاد
“Maka menjadi jelaslah bahwa ucapan para penganut Tafwidh yang menyangka dirinya mengikuti sunnah, adalah merupakan sejelek-jelek ucapan ahli bid’ah dan ahli ilhad.” (Dar’ut Ta’arudhil Aqli Wan Naqli : 1/115)
Al Hafizh Adz Dzahabi menjelaskan pengertian TAFWIDH adalah,
فَقَولُنَا فِي ذَلِكَ وَبَابِهِ: الإِقرَارُ، وَالإِمْرَارُ، وَتَفْويضُ مَعْنَاهُ إِلَى قَائِلِه الصَّادِقِ المَعْصُومِ
“Pendapat kami dalam masalah dan bab ini adalah: mengakuinya dan membiarkannya (sebagaimana teks atau lafadznya) dan TAFWIDH MAKNA (mengembalikan maknanya) kepada pengucapnya ash Shadiq al Ma’shum (yakni Rasulullah)” (Siyaru alaminubala Adz Dzahabi 8/105)
Firqah Mujassimah “SYULIT” menerima kenyataan Salafus Sholeh mayoritas atau pada umumnya beriman dan membiarkan sebagaimana yang datang atau sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Firqah Mujassimah MENGINGKARINYA tidak dengan mengutip contoh-contoh perkataan dari Salafus Sholeh NAMUN dengan logika atau akal pikiran mereka semata sehingga mereka mengatakan,
“TIDAK MUNGKIN Salafus Sholeh tidak mengetahui maknanya dan TIDAK MUNGKIN pula Rasulullah tidak menjelaskan maknanya kepada Salafus Sholeh.
Salafus Sholeh yang berbahasa ibu dengan bahasa Arab tentu BUKAN TIDAK mengetahui MAKNA DZAHIRNYA
NAMUN para ulama terdahulu seperti contohnya pembesar mazhab Hambali, Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi Al Hanbali (W. 597H) menjelaskan bahwa, “Sesungguhnya pada dasarnya teks-teks itu memang harus dipahami dalam makna dzahirnya jika itu dimungkinkan NAMUN jika ada tuntutan (kebutuhan) takwil maksudnya jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah dengan sifat yang TIDAK LAYAK (tidak patut) bagi-Nya maka berarti teks tersebut BUKAN dalam makna dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis atau makna kiasan)”.
Jadi JIKA dipaksakan DIMAKNAI dengan MAKNA DZAHIR akan TERJERUMUS mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat yang TIDAK LAYAK (tidak patut) bagi-Nya seperti memaknai sifat Allah atau mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda MAKA ulama Salaf (terdahulu) maupun ulama Khalaf (kemudian) telah SEPAKAT meyakininya BUKAN dalam MAKNA DZAHIR dan MEMALINGKANNYA dari makna dzahirnya.
PERBEDAAN di antara ulama Salaf (terdahulu) dan Khalaf (kemudian) hanya terjadi pada masalah apakah diberikan maknanya SESUAI kaidah-kaidah bahasa Arab ataupun TIDAK diberi makna tetapi TAFWIDH yakni diserahkan maknanya kepada Allah Ta`ala sendiri.
TAFWIDH dan TAKWIL itu hanya sebuah PILIHAN karena sama-sama MENGINGKARI atau MEMALINGKAN dari MAKNA DZAHIRNYA dan TAFWIDH disebut juga TAKWIL IJMALI, sedangkan TAKWIL seperti contohnya TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ disebut TAKWIL TAFSHILI.
Salafus Sholeh dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan BANYAK MAKNA) terkait sifat-sifat Allah pada umumnya (mayoritas) memilih ITSBAT LAFADZ TANPA TAFSIR yakni mereka membenarkan dan mengitsbatkan (menetapkan) dengan MEMBIARKAN sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang datang yakni sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dan BUKAN berdasarkan MAKNANYA secara bahasa artinya mereka MEMALINGKAN teks atau lafadznya dari makna dzahir maupun makna majaz secara keseluruhan atau global (IJMALI) dan lalu TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala yang disebut juga TAKWIL IJMALI.
Sedangkan para ulama khalaf (kemudian), dikarenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda MAKA mereka menakwilkan atau memaknai ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) tersebut dengan makna yang patut (layak) bagi Allah Ta’ala yang SESUAI dengan kaidah-kaidah bahasa Arab atau tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) yang disebut dengan TAKWIL TAFSHILI.
Berikut kutipan contoh pendapat atau pemahaman Salafus Sholeh sebagaimana yang disampaikan oleh Al Hafizh Ad Dzahabi dalam kitab Mukhtashar Al Uluw.
***** awal kutipan *****
Sufyan Ats Tsauriy (W. 191H) mengatakan bahwa ia pernah suatu saat berada di sisi Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian ada seseorang yang bertanya pada beliau,
الرحمن على العرش استوى كيف استوى
“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’ atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?”
Robi’ah menjawab,
الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن الله الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق
“Istiwa’ itu telah diketahui (disebutkan dalam Al Qur’an), Al Kaifu ghairu maquul (Al Kaifa yakni sifat makhluk atau benda tidak masuk akal ditujukan bagi istiwa Allah) Risalah (wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya menyampaikan, sedangkan kita wajib membenarkan (dengan MEMBIARKAN sebagaimana teks atau lafadznya).”
***** akhir kutipan *****
Contoh Salaf lain yang hidup sebelum abad 2 Hijriah, Sufyan bin Uyainah (W. 198H) berkata:
ما وصف الله تبارك وتعالى به نفسه في كتابه فقراءته تفسيره،
“Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan (teks atau lafadz) tersebut adalah tafsirannya.
ليس لأحد أن يفسره بالعربية ولا بالفارسية
Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al Imam Al Hafizh Al Baihaqidi dalam kitab Al Asma’ wash Shifat 2 : 117)
Jadi boleh bagi orang yang tidak memiliki kompetensi (orang awam) hanya sampai teks atau lafadznya seperti Yadullah yang artinya Tangan Allah dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Begitupula boleh bagi orang awam hanya sampai teks atau lafadznya seperti istiwa yang artinya bersemayam yang mempunyai makna dzahir dan makna majaz dan lalu TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Begitupula firqah MUJASSIMAH menyebarluaskan fitnah seolah-olah Imam Syafi’i (W. 204H) menterjemahkan ISTAWA Allah atas Arsy artinya BERADA di atas Arsy dan BILA KAIFA ditejermahkan tanpa ditanya bagaimananya.
Berikut kutipan contoh terjemahan mereka
***** awal kutipan *****
الرحمن على العرش استوى بلا كيف
Ar-Rahman BERADA di atas ‘Arsy tanpa ditanya bagaimananya. Dan atsar dari para salaf tentang yang seperti ini banyak.
Dan madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i radhiallahu ‘anhu menunjukkan berada di atas jalan ini, dan ini juga merupakan madzhab Ahmad bin Hanbal, dan Al-Husain bin Al-Fadhl Al-Bajali dan dari kalangan para ulama mutaakhirin adalah Abu Sulaiman Al-Khotthoobi” (Al-Asmaa’ wa as-Shifaat 2/308)
***** akhir kutipan *****
Imam Syafi’i ketika ditanya terkait firman Allah Ta’ala, “Ar-Rahmanu alal arsy istawa” (QS. Thaha [20] : 5) menyarankan kepada orang-orang yang tidak memiliki kompetensi atau orang awam untuk membiarkan sebagaimana ia datang yakni sebagaimana teks atau lafadz yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah
awal kutipan
إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم
“Ini termasuk ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna), jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya (orang AWAM) adalah agar mengimaninya dengan MEMBIARKAN sebagaimana ia datang (sebagaimana TEKS atau LAFADZNYA) dan tidak membahas atau membicarakannya secara detail KARENA bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam KESESATAN TASYBIH.
***** akhir kutipan *****
Begitupula Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241H) ketika ditanya Nuzulnya Allah, Beliau memilih TAFWIDH yakni beriman dan membenarkannya dengan MEMBIARKAN sebagaimana teks atau lafadz yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya TANPA KAIFA dan TANPA MAKNA (tanpa makna dzahir maupun makna majaz) dan MENYERAHKAN MAKNANYA kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mazhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (W. 620H) dalam kitab Lum’atul I’tiqad,
***** awal kutipan *****
وَمَا أَشْبَهَ هَذِهِ الْأَحَادِيْثَ
Hadits-hadits yang semisal hadits ini (hadits nuzul)
نُؤْمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا
Kami beriman dan membenarkannya
بِلَا كَيْفٍ وَلَا مَعْنًى
BILA KAIFA WALA MA’NA yakni TANPA KAIFA dan TANPA MAKNA DZAHIR maupun MAKNA MAJAZ (Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Lum’atul I’tiqad, Hal 3)
***** akhir kutipan *****
Lalu Imam Ahmad bin Hanbal menjelaskan bahwa Nuzulnya Allah BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya tanpa sifat-sifat JISIM yakni tanpa sifat-sifat makhluk atau benda seperti TANPA HAD (tanpa batas) dan tanpa ujung (kiri, kanan, atas, bawah, depan, belakang)
وَلَا نَصِفُ اللهَ بِأَكْثَرَ مِمَّا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ بِلَا حَدِّ وَلَا غَايَةٍ
maka kita tidak menyifati Allah lebih daripada apa yang Allah Ta’ala sifatkan tentang diri’-Nya TANPA HAD (batas) dan ujung”
Contoh kajian kitabnya dapat disaksikan dalam video pada https://bit.ly/3qe3qCZ
Firqah Mujassimah menyebarluaskan fitnah seolah-olah Imam Malik (W. 174H) menciptakan istilah TAFWIDH KAIFIYAH yakni “menyerahkan” kaifiyah kepada Allah.
Padahal Imam Malik berkata,
الاستواء معلوم والكيف غير معقول
Al Istiwa ma’lum wal kaifu ghairu ma’qul”
Al Istiwa maknanya diketahui (ada banyak) NAMUN Kaifa yakni sifat-sifat JISIM (sifat-sifat makhluk atau benda) tidak masuk akal atau TIDAK BOLEH ditujukan bagi istiwa Allah.
Jadi firqah MUJASSIMAH yang menciptakan istilah TAFWIDH KAIFIYAH dan ketika mereka mengatakan “menyerahkan kaifiyah kepada Allah” maka sama artinya mereka mengatakan ADA KAIFA yakni ADA sifat-sifat JISIM (sifat makhluk atau benda) bagi sifat Istiwa Allah NAMUN “kaifiyahnya diserahkan kepada Allah Ta’ala”.
Jadi jelaslah bahwa ADA KAIFA namun “kaifiyiah diserahkan kepada Allah” BERTENTANGAN dengan BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya tanpa sifat-sifat JISIM yakni tanpa sifat makhluk atau benda seperti arah (jihah), jarak, ruang, waktu, BERBATAS (had) dengan Arsy.
Contoh tulisan yang memuat daftar ulama yang melarang berkeyakinan ada kaifiyah bagi Allah Ta’ala https://www.hmetro.com.my/addin/2021/10/770751/perbahasan-kaifiyyat-bagi-allah
Begitupula firqah MUJASSIMAH menyebarluaskan fitnah seolah-olah Imam Abu Hanifah (W.150H) memaknai ISTAWA Allah dengan ISTIQRAR artinya menetap atau melayang tinggi di atas arsy sebagaimana tulisan yang mereka publikasikan pada http://rumaysho.com/933-di-manakah-allah-4.html
***** awal kutipan *****
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah MENETAP TINGGI di atas ‘Arsy”.
***** akhir kutipan *****
Padahal Imam Abu Hanifah (W.150H) dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah).
Imam Abu Hanifah mengkafirkan atau menetapkan kufur dalam perkara i’tiqod adalah karena dua ungkapan atau pernyataan si penanya yakni
“Aku tidak mengetahui di mana Tuhanku, apakah Dia di langit ataukah di bumi?”
“Allah di atas ‘Arsy, dan aku tidak tahu arah ‘Arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”
Dengan kedua ungkapan atau pernyataan orang tersebut telah menetapkan adanya arah dan tempat bagi istiwa Allah sehingga menjadi kafir atau terjerumus kekufuran dalam i‘tiqod
Setiap yang berlaku arah dan tempat maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yang baharu (huduts).
Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz.
Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan (kufur dalam i’tiqod) orang mengatakan dua ungkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).
TIDAK ADA satupun mufassir (ahli tafsir) yang menterjemahkan ISTAWA dalam MAKNA DZAHIR dengan pengertian BERADA sehingga firman Allah Ta’ala, “Arrahmanu ‘alal’ arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5) ARTINYA menjadi “Ar Rahman, yang BERADA di atas Arsy kecuali firqah MUJASSIMAH
Para mufassir (ahli tafsir) menterjemahkan ISTAWA artinya BERSEMAYAM adalah karena kata BERSEMAYAM serupa dengan ISTAWA mempunyai MAKNA DZAHIR dan MAKNA MAJAZ (makna kiasan).
Contoh kata BERSEMAYAM yang tidak dapat dimaknai dengan MAKNA DZAHIR, makna duduk atau bertempat dalam sebuah petuah Bung Karno tertanggal 23 Oktober 1946 yakni berbunyi:
Orang tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.
Istiwa maknanya diketahui ada banyak namun JUMHUR ulama TELAH SEPAKAT seperti ulama umat Islam pada umumnya Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari maupun ulama firqah Wahabi, Ibnu Utsaimin MELARANG memaknai Istiwa Allah dengan MAKNA DZAHIR seperti sifat JISIM Istiqrar di atas Arsy.
Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari dalam kitab Al Ibanah hal 102 MEMILIH TAFWIDH dan MELARANG memaknai Istiwa Allah dengan MAKNA DZAHIR seperti sifat JISIM Istiqrar yang artinya menetap tinggi dan bahkan ada yang mengartikan melayang tinggi.
وأنه مستو على عرشه بلا كيف ولا استقرار
Dan Sesungguhnya Dia Istiwa atas Arasy-Nya BILA KAIFA wa LA ISTIQRAR.
Jadi Istiwa Alllah atas Arsy BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya tanpa sifat-sifat JISIM yakni tanpa sifat makhluk atau benda seperti arah (jihah), jarak, ruang, waktu, BERBATAS (had) dengan Arsy.
Contoh pemalsuan kitab Al Ibanah adalah penghilangan kata BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya TANPA sifat-sifat JISIM yakni tanpa sifat-sifat makhluk atau benda sebagaimana hasil contoh pengkajian pada https://jundumuhammad.wordpress.com/2011/03/04/pemalsuan-kitab-al-ibanah-imam-abu-hasan-al-asyariy/
Sedangkan ulama firqah Wahabi, Ibnu Utsaimin melarang memaknai Istiwa Allah dengan MAKNA DZAHIR seperti sifat JISIM Istiqrar dengan kalimat pertanyaan,
الاستواء على الشيء في اللغة العربية يأتي بمعنى الاستقرار والجلوس
Istiwa di atas sesuatu dalam bahasa Arab bermakna ISTIQRAR (menetap) dan JULUS (duduk).
Ulama mereka, Ibnu Utsaimin bertanya
لكن هل يصح أن نثبته في استواء الله على العرش ؟
Tetapi apakah boleh kita menetapkan makna tersebut pada istiwa Allah atas Arsy?
Ulama mereka, Ibnu Utsaimin memilih MENTAKWIL atau memaknai ISTIWA dengan MAHA TINGGI.
ولكن نقول : معنى الاستواء : العلو ، هذا أمر لاشك فيه
Tapi kita katakan makna ISTIWA adalah MAHA TINGGI. Inilah yang tidak diragukan.
Sumber : Liqa’ bab al Maftuh pertanyaan nomor 450.
Para ulama mengingatkan bahwa HANYA firqah MUJASSIMAH yang memaknai Allah Ta’ala TINGGI di atas Arsy dalam pengertian arah atau tempat.
Contohnya Al-Mufassir Al Imam al-Qurthubi (W. 671H) dalam kitab tafsirnya al-Jami Li Ahkam al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Qurthubi ketika menafsirkan firnan Allah Ta’ala surat Al Baqarah ayat 255 menyampaikan para ulama mengatakan bahwa kaum JAHIL (tidak berilmu) yakni firqah Mujassimah yang memaknai Maha Tinggi adalah ketinggian arah atau tempat
Berikut kutipan penjelasannya
***** awal kutipan *****
ﻭ” ﺍﻟﻌﻠﻲّ ” ﻳﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻭﺍﻟﻤﻨﺰﻟﺔ ﻻ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ، ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﺰﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺤﻴﺰ
“al-‘Aliyy” adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan bukan dalam ketinggian tempat, karena Allah Maha Suci dari bertempat”
وحكى الطبري عن قوم أنهم قالوا: هو العلي عن خلقه بارتفاع مكانه عن أماكن خلقه
Ath Thabari (W. 310H) mengisahkan dari satu kaum bahwa mereka berkata: “Dia Allah Maha Tinggi atas hamba ciptaan-Nya dengan ketinggian tempat-Nya dari tempat makhluk-Nya.”
قال ابن عطية: وهذا قول جهلة مجسمين
Ibnu Athiyah (W. 541H) berkata: “Ini adalah pendapat kaum JAHIL (tidak berilmu) yakni MUJASSIMAH
***** akhir kutipan *****
Akidah firqah MUJASSIMAH yang meyakini Allah Ta’ala BERADA yakni BERTEMPAT (menetap / melayang tinggi) maupun BERARAH di arah atas Arsy BERTENTANGAN dengan sabda Rasulullah,
قَالَ كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
“Allah ADA dan TIDAK ADA sesuatu apapun selain Dia” (HR. Bukhari 2953 atau Fathul Bari 3191 / 3192)
Jadi sabda Rasulullah yakni “Allah ADA dan TIDAK ADA sesuatu apapun selain Dia” TENTU termasuk TANPA arah maupun tempat MENUNJUKKAN bahwa Allah maujud bila makan artinya Allah ADA tanpa arah maupun tempat.
Begitupula sabda Rasulullah yakni “Allah ADA dan TIDAK ADA sesuatu apapun selain Dia” MENUNJUKKAN bahwa KEBERADAAN wujud SELAIN Allah TIDAK mengubah atau TIDAK akan mempengaruhi KEBERADAAN Allah Ta’ala.
Setiap manusia yang telah baligh dan berakal (mukallaf) yang beragama Islam wajib meyakini bahwa Allah Ta’ala bersifat Qiyamuhu Binafsihi (Maha Mengurus diri-Nya sendiri) yakni Allah Ta’ala TIDAK MEMBUTUHKAN makhluk-Nya dan TIDAK pula DIPENGARUHI oleh makhluk-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ
Allahu la ilaha illa huwal Hayyul Qayyum
Artinya, “Allah, TIDAK ADA tuhan SELAIN Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali Imran [3] : 2)
Contohnya KEBERADAAN Arsy-Nya TIDAK AKAN mempengaruhi KEBERADAAN Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala TINGGI di atas Arsy namun TIDAK BERSENTUH dan TIDAK BERJARAK dengan Arsy-Nya sebagaimana Imam Baihaqi dalam al-Asmâ’ wa as-Shifât, juz 2, halaman 308 menegaskan bahwa
وَالْقَدِيمُ سُبْحَانَهُ عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ لَا قَاعِدٌ وَلَا قَائِمٌ وَلَا مُمَاسٌّ وَلَا مُبَايَنٌ عَنِ الْعَرْشِ
“Allah Yang Maha Qadim, TINGGI di atas Arsy namun TIDAK DUDUK dan TIDAK BERDIRI, TIDAK MENYENTUH dan TIDAK BERJARAK atau TIDAK TERPISAH dari Arsy.
Salah satu POKOK KEKELIRUAN sehingga mereka TERJERUMUS mengikuti firqah MUJASSIMAH adalah karena mereka memaknai BA’IN artinya TERPISAH dari makhluk dalam makna atau pengertian jarak dan batas.
Padahal mereka dapat memeriksa pada kamus bahasa Arab dan cara paling mudah pada zaman NOW (sekarang) adalah menggunakan google translate dan ketik,
بائن من خلقه.
dan artinya adalah “Dibedakan dari ciptaan-Nya”
Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W 728H) sebelum bertaubat TERJERUMUS mengikuti firqah MUJASSIMAH adalah karena NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA memahami SELALU dengan MAKNA DZAHIR seperti contohnya MEMAKNAI,
المباينة في الحيّز والجهة، ويقابله الاتّصال
Mubayanah (terpisah) dalam makna dzahir dalam pengertian batasan dan arah, ini adalah lawan kata dari ketersambungan fisik.
ونشعر هذه المقابلة على هذه التّقيّد بالمكان إمّا صريحا وهو تجسيم
Kita menyadari ungkapan ini dari keterkaitannya dengan tempat, apabila secara gamblang dinyatakan maka berarti tajsîm (meyakini Allah Ta’ala adalah jism).
Syekh Ibnu Khaldun (W. 808 H) menjelaskan bahwa pengertian MUBAYANAH pada hak Allah Ta’ala yang telah disepakati oleh jumhur ulama Salaf maupun Khalaf
وأمّا المعنى الآخر للمباينة، فهو المغايرة والمخالفة
Adapun makna keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah perbedaan dan ketidaksamaan
فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويّته ووجوده وصفاته
Maka dikatakan bahwa Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya.
Jadi makna KETERPISAHAN (MUBAYANAH) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk yang telah disepakati oleh jumhur ulama adalah BA’IN artinya TERPISAH dalam makna atau pengertian BERBEDA atau TIDAK SERUPA dari makhluk-makhluk-Nya dari sisi apapun sebagaimana firman Allah Ta’ala “Laisa Kamitslihi Syaiun” (QS. Asy Syura [42] : 11).
Contohnya kalau manusia DEKAT BERSENTUH dan JAUH BERJARAK.
Sedangkan Allah Ta’ala DEKAT TIDAK BERSENTUH dan JAUH TIDAK BERJARAK.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat (QS Al Baqarah [2] : 186)
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tinggalkan komentar