Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘Contoh pelaku’


Contoh pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA

Para pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA lebih dicintai iblis daripada pelaku maksiat karena mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah yakni mereka menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah atau sebaliknya mereka menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah

Oleh karena para pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA tidak menyadarinya sehingga mereka sulit bertaubat.

Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang-orang yang melakukan BID’AH dalam URUSAN AGAMA.

Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 )

Contoh pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA adalah mereka yang melarang (mengharamkan) Maulid Nabi namun mereka membolehkan melaksanakan “pekan memorial” atau sepekan mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab

Beberapa alasan fatwa ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih al Utsaimin membolehkan kegiatan mengenang ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab dapat dilihat dalam gambar di atas.

Dalam sebuah diskusi, salah seorang yang sepakat dengan fatwa pekan memorial tersebut menyampaikan pendapatnya sebagai berikut

***** awal kutipan ******
Tidak ada yang salah dengan fatwa tersebut karena pekan memorial TIDAK DIANGGAP mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah.

Pekan memorial itu hanya mengenang Muhammad bin Abdul Wahhab.

Syah syah saja atau boleh mengenang pahlawan yang dianggap berjasa menurut negara masing-masing.

Contohnya negara kita mengenang para pahlawan seperti mengenang perjuangan Jendral Sudirman.

Ummat sekarang harus tahu sejarah perjuangan para pendahulu yang memperjuangkan Islam di negerinya, mau ulama atau pahlawan lainnya.
***** akhir kutipan *****

Fatwa ulama panutan mereka tersebut untuk menjawab pertanyaan mengapa Maulid Nabi dingkari atau dilarang (diharamkan) namun pekan memorial yakni acara MENGENANG ulama mereka sebagai pahlawan tidak diingkari atau dibolehkan.

Fatwa ulama panutan mereka tersebut jelas salah karena dalil ‘aqli atau alasan mereka menggunakan logika adalah kontradiksi.

Mengapa mereka membolehkan MENGENANG ulama mereka sebagai pahlawan namun mereka melarang (mengharamkan) Maulid Nabi untuk MENGENANG Rasulullah.

Apakah lebih mulia ulama atau pahlawan mereka daripada Rasulullah?

Apakah Rasulullah bukan pahlawan bagi mereka?

Apakah mereka tidak menganggap Rasulullah memperjuangkan Islam?

Tampaknya mereka lebih mencintai ulama panutan mereka daripada mencintai Rasulullah karena mereka membolehkan mengenang dan memuji para ulama panutan mereka sepuas hati mereka dan melarang umat Islam mengenang dan memuji Rasulullah, manusia yang paling mulia.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])

Begitupula kalau dilarang (diharamkan) peringatan Maulid Nabi karena diadakan secara rutin maka hal itu bertentangan dengan sabda Rasulullah yang menganjurkan untuk melakukan kebiasaan yang baik walaupun sedikit secara rutin, konsisten atau istiqomah.

Rasulullah bersabda bersabda : “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun sedikit”

Ibnul Jauzi juga berkata : Sesungguhnya Allah lebih mencintai amalan yang dilakukan secara rutin.

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, “Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba setiap hari sabtu baik dengan berjalan kaki maupun dengan mengendarai kendaraan, sedangkan Abdullah selalu melakukannya.” (HR. Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari I/398 hadits 1174)

Dalam mengomentari hadits ini Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini dengan sekian jalur yang berbeda menunjukkan akan diperbolehkanny­a menjadikan hari-hari tertentu untuk sebuah ritual yang baik dan istiqamah. Hadits ini juga menerangkan bahwa larangan bepergian ke selain tiga masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Aqsa, dan Masjid Nabawi) tidaklah haram. ((Al Hujjatul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari III/69, Dar al-Fikr Beirut)

Para fuqaha (ahli fiqih) menetapkan bahwa peringatan Maulid Nabi maupun peringatan hari besar agama Islam lainnya seperti Nuzulul Qur’an, Isra Mi’raj, Tahun baru Islam dan lain lain hukumnya adalah MUBAH (BOLEH)

Pada hakikatnya segala perkara yang MUBAH (BOLEH) pun adalah IBADAH dan BERPAHALA karena seluruh sikap dan perbuatan selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan RasulNya adalah amal kebaikan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Azza wa Jalla

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, jika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. (HR Muslim 1674)

Dalam riwayat Ibnu Hibban, disebutkan: “Senyummu dihadapan saudaramu adalah shadaqah. Menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan manusia adalah shadaqah. Petunjukmu kepada seseorang yang tersesat di jalan juga shadaqah.”. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (al-Ihsan:474, 529)

Semua contoh perkara di atas adalah yang disebut dengan ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat.

Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan

Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan.

Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)

Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.

Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf

Firman Allah Ta’ala yang artinya

Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)

Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.

Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Oleh karenanya dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat apapun, termasuk yang tidak ada pada zaman Rasulullah selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan larangan RasulNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka hukum asalnya adalah mubah (boleh).

Alm KH Ali Mustafa Yakub , Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta sebelumnya, menyampaikan bahwa peringatan Maulid Nabi termasuk wilayah muamalah, “selama tidak melakukan hal-hal yang mengharamkan, ya boleh-boleh saja”. Beliau mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah yang terlarang.

Para fuqaha (ahli fiqih) berpendapat atau berfatwa bahwa peringatan Maulid Nabi hukumnya mubah (boleh) sedangkan pahala yang diperoleh kaum muslim dari peringatan Maulid Nabi adalah dari bentuk kegiatan yang mengisi acara peringatan Maulid Nabi.

Umat Islam boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya atau selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah

Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.

Pendapat Al-Imam Abu Syamah Rahimahullah (wafat 655 H). Beliau ulama agung bermazhab Syafi’i dan merupakan guru besar dari Al-Imam Al-Hujjah Al-Hafidz Asy-Syekhul Islam An-Nawawiy Ad-Damasyqiy Asy-Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam Abu Syamah menuturkan, “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini yaitu apa yang dikerjakan (rayakan) setiap tahun dihari kelahiran (Maulid) Nabi dengan bershadaqah, mengerjakan yang ma’ruf, menampakkan rasa kegembiraan, maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara’ membaca sya’ir dengan rasa cinta kepada Nabi, mengagungkan beliau, dan bersyukur kepada Allah atas perkara dimana dengan (kelahiran tersebut) menjadi sebab adanya Rasul-nya yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam” Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415, karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh As-Sayyid Al-Bakri Syatha Ad-Dimyathiy. Darul Fikr, Beirut – Lebanon.

Begitupula Rasulullah juga memperingati kelahirannya dengan sabdanya bahwa puasa Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya

Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.

Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.

Begitupula dengan peringatan atau perayaan ulang tahun dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di esok hari maupun di akhirat kelak

Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)

Dapat kita simpulkan bahwa perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun hukum asalnya adalah mubah (boleh) selama kegiatan yang mengisi acara tersebut tidak melanggar laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Pahala diperoleh dari bentuk kegiatan untuk mengisi perayaan atau peringatan Maulid Nabi maupun perayaan ulang tahun tersebut.

Mereka yang merasa atau mengaku mengikuti Salaf namun pada kenyataannya mereka mengikuti Salafnya adalah mengikuti orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim.

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim terkenal gigih menjalankan sunnah Rasulullah namun mereka tampaknya belum paham dengan hukum dalam Islam yakni hukum taklifi sehingga mereka menganggap apa yang telah disunnahkan (dicontohkan) oleh Rasulullah semuanya adalah sebuah kewajiban dan sebaliknya apa yang tidak pernah disunnahkan (dicontohkan) oleh Rasulullah semuanya adalah perkara terlarang atau bid’ah dholalah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/01/12/belum-paham-taklifi/

Begitupuka mereka yang merasa atau mengaku mengikut Salaf, dalam menghadapi BID’AH (MUHDATS) atau PERKARA BARU yakni perkara yang mereka TIDAK TEMUKAN HADITS-nya atau TIDAK TEMUKAN SUNNAH Rasulullah langsung mereka MEMVONIS sebagai perkara TERLARANG atau BID’AH DHOLALAH dan ngeyel atau keukeuh (bersikukuh) mengingkari adanya BID’AH HASANAH

Sedangkan para Sahabat atau Salafush Sholeh tidaklah seperti mereka sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/02/26/salaf-menghadapi-bidah/

Contohnya Sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu ketika akan diutus oleh Rasulullah ke Yaman untuk menjadi pemimpin di negeri Yaman, Rasulullah bertanya

فإِنْ لمْ تجِدْ فيِ سُنّةِ رسُولِ الله ولا فيِ كتِابِ الله ؟

Bagaimana jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah ?

Sahabat Muadz menjawab

أجْتهِدُ رأْيِ ولا آلو فضرب

Saya akan berijtihad dengan akal pikiran saya dan tidak akan berlebih-lebihan

Rasulullah memujinya dengan sabdanya, “Umatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram adalah Muadz bin Jabal”

Jadi para Sahabat atau Salafush Sholeh dalam menghadapi BID’AH (MUHDATS) atau PERKARA BARU atau PERKARA yang TIDAK DIJUMPAI SUNNAH Rasulullah tidak langsung MEMVONIS sebagai perkara TERLARANG namun menimbangnya dengan berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukumnya) mengikuti hukum dalam Islam yang kita kenal dengan HUKUM TAKLIFI yang membatasi umat Islam untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perbuatan yakni wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh, haram.

Jadi mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH pada kenyatannya mereka akan terjerumus BID’AH dalam URUSAN AGAMA

Pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA adalah orang-orang yang menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah yakni mereka menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah atau sebaliknya mereka menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru (BID”AH) dalam URUSAN AGAMA yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perkara agama atau urusan agama meliputi perkara kewajiban (jika ditinggalkan berdosa) maupun larangan (jika dilanggar berdosa) berasal dari Allah Azza wa Jalla bukan menurut akal pikiran manusia.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS al-Hasyr [59]:7)

Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).

Perintah Allah dan RasulNya hukumnya ada dua yakni Wajib dan Sunnah (mandub).

Sedangkan larangan Allah dan RasulNya hukumnya ada dua pula yakni Haram dan Makruh.

Selebihnya hukumnya adalah mubah (boleh) dan Allah Ta’ala tidak lupa.

Para fuqaha (ahli fiqih) mengingatkan bahwa perkara larangan yang jika dikerjakan berdosa maupun perkara yang disyariatkan dan merupakan suatu kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa haruslah berdasarkan dalil yang jelas (qathi).

Oleh karenanya para fuqaha (ahli fiqih) mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah atau hukum asalnya adalah mubah (boleh) sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/15/amrun-mubah/

Jadi mereka yang menuduh dan memfitnah Rasulullah telah menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah Ta’ala (Hr Bukhari 7380 dan Muslim 177) atau menuduh (menganggap) Allah Ta’ala lupa adalah para pelaku BID’AH dalam URUSAN AGAMA yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)

Begitupula mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH pada umumnya akibat salah memahami firman Allah Ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)

Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”

Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.

Para Imam Mujtahid telah mengingatkan bahwa contoh perbuatan menyekutukan Allah adalah mereka yang salah dalam berijtihad dan beristinbat (menggali hukum) dari Al Qur’an dan Hadits sehingga mereka terjerumus melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya

Firman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)

Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syuura [42]:21)

Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya

Firman Allah Ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)

Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya

Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti

1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah

Namun Rasulullah menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”

Jadi orang-orang yang GAGAL PAHAM BID’AH akibat salah memahami dan menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Nasrani yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau sebaliknya menganggap baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya sehingga mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Read Full Post »